Anda di halaman 1dari 28

TUGAS 1

Definisi dan Perbedaan Paradigma Kuantitatif dan Paradigma Kualitatif

Nama : Tsabita Tiara H

NIM : B.231.21.0206

Mata Kuliah : Metodologi Penelitian

Dosen Pengampu : Dr. RR. Dian Indriana T.,


S.E., M.Si., Ak.CA.CRP

“Guna memenuhi tugas Metodologi Penelitian


Semester 5”

S1 AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS

SEMARANG
Definisi Paradigma Kuantitatif

Paradigma kuantitatif merupakan satu pendekatan penelitian yang

dibangun berdasarkan filsafat positivisme. Positivisme adalah satu aliran

filsafat yang menolak unsur metafisik dan teologik dari realitas sosial.

Karena penolakannya terhadap unsur metafisis dan teologis, positivisme

kadang-kadang dianggap sebagai sebuah varian dari Materialisme (bila

yang terakhir ini dikontraskan dengan Idealisme).

Neuman (2003) dan Smith (1983), misalnya, menyamakan

pendekatan kuantitatif dengan pendekatan positivis, sedangkan pendekatan

kualitatif disamakan dengan pendekatan interpretif. Setiap pendekatan

memiliki asumsi dasar yang berbeda. Asumsi dasar inilah yang kemudian

memengaruhi perbedaan cara pandang peneliti terhadap sebuah fenomena

dan juga proses penelitian secara keseluruhan. Asumsi yang dimaksud

adalah ontologi, epistemologi, hakikat dasar manusia, serta aksiologi.

a) Ontologi

Ontologi merupakan representasi pengetahuan formal dengan

seperangkat konsep dalam suatu gejala dan hubungan antara konsep-konsep

yang ada dalam gejala tersebut (Gruber, 1993). Ontologi juga digunakan

untuk menjelaskan sifat dari gejala tersebut. Dalam ilmu sosial, gejala yang

dimaksud adalah gejala sosial yang dilihat sebagai sesuatu yang nyata.
Dalam dunia yang sebenarnya, pasti tidak akan pernah ditemukan

wujud buah semangka berdaun sirih. Pohon sirih hanya akan menghasilkan

buah sirih, sedangkan buah semangka hanya berasal dari pohon semangka.

Orang yang menggunakan pendekatan kuantitatif akan melihat bahwa

gejala sosial adalah gejala yang nyata. Jadi, jika seseorang kehilangan uang

karena isu tuyul, ini bukan dianggap sebagai sebuah gejala sosial karena

sukar untuk dilihat dengan mata kepala. Akan tetapi, jika nantinya dapat

ditemukan suatu alat yang dapat melihat langsung tuyul dan banyak orang

menyaksikan keberadaan tuyul sedang mengambil uang, itu akan menjadi

suatu gejala yang dianggap nyata.

b) Epistemologi

Epistemologi merupakan studi tentang pengetahuan dan pembenaran.

Sebagai studi tentang pengetahuan, epistemologi berkaitan dengan

pertanyaan-pertanyaan: apa syarat perlu dan cukup dari pengetahuan? Apa

sumber-sumber pengetahuan? Apa struktur dan batas-batasnya? Sebagai

studi tentang pembenaran, epistemologi bertujuan untuk menjawab

pertanyaan: bagaimana kita memahami konsep pembenaran? Apa yang

membuat keyakinan dibenarkan, sedangkan yang lain tidak dibenarkan?

Dalam kaitannya dengan penelitian, epistemologi berbicara mengenai

hakikat ilmu pengetahuan seperti yang telah diuraikan pada kalimat awal

paragraf ini. Jika dihubungkan dengan ontologi, pengetahuan yang


dimaksud terkait dengan gejala yang nyata. Segala sesuatu yang dapat

dipelajari oleh ilmu pengetahuan adalah sebuah objek.

Dalam epistemologi, terdapat tiga asumsi dasar yang dijelaskan berikut ini.

(1) Kaitan antara Ilmu dan Nilai

Individu adalah seseorang yang bebas nilai. Bebas nilai dapat diartikan

bahwa individu tidak dipengaruhi oleh nilai-nilai yang ada di antara

orangorang yang sedang diteliti. Bebas nilai karena individu telah memiliki

seperangkat nilai yang ia gunakan untuk meneliti orang- orang tersebut.

Nilai yang ia bawa dan gunakan adalah nilai-nilai yang sifatnya universal.

Ketika pada suatu pagi kita yang tinggal di Jakarta mengalami kemacetan,

kita akan mengeluh mengapa macet. Kemudian, kita mengambil

kesimpulan bahwa kemacetan terjadi karena hari pertama kerja dari libur

panjang. Padahal, Jakarta sudah sejak lama mengalami kemacetan karena

jumlah kendaraan yang semakin banyak dan tidak adanya moda

transportasi massal yang memadai. Kalau tidak ingin macet, pergilah di luar

jam kerja, misalnya pukul 04.00 pagi atau saat hari libur Lebaran. Jadi,

keluhan kita tentang macet tidak akan pernah ada karena selalu diukur dari

nilai yang berlaku secara umum.

(2) Kaitan antara Ilmu dan Akal Sehat

Ilmu pengetahuan adalah cara terbaik yang dimiliki manusia. Segala

sesuatu yang diperoleh dengan menggunakan cara yang ilmiah atau yang

kita kenal sebagai ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang lebih baik
dibandingkan akal sehat belaka. Misalnya, kita ingin mendapatkan

keuntungan yang besar dalam berusaha. Menurut Hermawan Kertajaya—

pakar pemasaran Indonesia—hal itu dapat melalui MOST (Marketing

Oriented Selling Techniques). MOST adalah ilmu pengelolaan sumber daya

penjualan dengan menyinergikan pola pikir pemasaran yang berciri

strategiclong term dengan pola pikir penjualan yang tactical-short term.

Intinya, jangan hanya mengejar keuntungan jangka pendek, tetapi harus

dipikirkan strategi pemasaran jangka panjangnya, misalnya dengan

melakukan pemasaran dengan cara-cara yang unik.

(3) Metodologi

Pola-pola yang universal dan berlaku ketat digunakan dalam

pendekatan kuantitatif. Pola yang digunakan adalah baku dan bersifat linier.

Setelah tahap pertama, baru masuk ke tahap kedua, sesudah tahap kedua

baru masuk tahap ketiga, dan seterusnya. Proses yang dilakukan adalah

sebuah proses deduktif yang mengandung pengertian berangkat dari sebuah

konsep yang bersifat umum menuju hal yang bersifat khusus. Artinya,

peneliti memulai dari generalisasi yang sudah ada (teori) untuk melihat

sesuatu yang khusus (kasus).

Salah satu dasar dalam pendekatan ini adalah nomotetik. Nomotetik

merupakan pemikiran Immanuel Kant untuk menggambarkan

kecenderungan menggeneralisasi suatu keadaan. Istilah ini selalu

dipertentangkan dengan idiografik yang menggambarkan usaha untuk


mengetahui atau memahami sesuatu secara spesifik. Dalam ilmu sosial,

nomotetik melahirkan kecenderungan untuk melihat terjadinya suatu gejala

karena adanya atau disebabkan oleh gejala lain dan mengabaikan berbagai

gejala lainnya. Misalnya, kemacetan terjadi karena adanya kecelakaan.

Padahal, penyebab kemacetan itu beragam, seperti ada mobil mogok,

banjir, dan sebagainya.

c) Hakikat Dasar Manusia

Pada hakikatnya, manusia diatur dan dipengaruhi oleh lingkungannya.

Sejak kecil, seorang anak akan dipengaruhi pandangan orang tua atau

gurunya. Seorang anak kecil, ketika diminta menggambar pemandangan,

akan diarahkan menggambar gunung, pohon, sawah, matahari, dan awan

oleh orang tua atau gurunya. Pandangan seperti ini tentu saja berpengaruh

terhadap pola pikir anak bahwa yang namanya pemandangan harus terkait

dengan gunung, pohon, sawah, matahari, dan awan. Bagaimana jika si anak

ingin menggambar pemandangan yang hanya mencakup pot dan bunga

yang ada di rumahnya. Orang tua atau guru akan memarahi si anak. Anak

tidak boleh mengungkapkan kreativitasnya karena bertentangan dengan

pemahaman orang tua dan guru.

d) Aksiologi

Istilah aksiologi merujuk pada bahasa Yunani, yaitu axios yang berarti

nilai dan logos yang berarti logika atau teori. Aksiologi adalah ilmu tentang

nilai. Dalam melakukan sebuah penelitian, pendekatan kuantitatif


didasarkan pada nilai. Tujuan melakukan penelitian adalah menjelaskan

sebuah gejala dan menemukan sebuah hukum yang universal. Pendekatan

ini mencari penjelasan mengapa sebuah peristiwa terjadi dengan memakai

pola-pola yang sudah ada. Jika pola yang sudah ada tidak dapat dipakai

untuk menjelaskan kejadian yang ada, dicari pola baru yang lebih universal

sehingga dapat digunakan untuk menerangkan kejadian tersebut.

Dalam penelitian kuantitatif diyakini, bahwa satu-satunya pengetahuan

(knowledge) yang valid adalah ilmu pengetahuan (science), yaitu

pengetahuan yang berawal dan didasarkan pada pengalaman (experience)

yang tertangkap lewat pancaindera untuk kemudian diolah oleh nalar

(reason). Secara epistemologis, dalam penelitian kuantitatif diterima suatu

paradigma, bahwa sumber pengetahuan paling utama adalah fakta yang

sudah pernah terjadi, dan lebih khusus lagi hal-hal yang dapat ditangkap

pancaindera (exposed to sensory experience). Hal ini sekaligus

mengindikasikan, bahwa secara ontologis, obyek studi penelitian kuantitatif

adalah fenomena dan hubungan-hubungan umum antara fenomena-

fenomena (general relations between phenomena). Yang dimaksud dengan

fenomena di sini adalah sejalan dengan prinsip sensory experience yang

terbatas pada external appearance given in sense perception saja. Karena

pengetahuan itu bersumber dari fakta yang diperoleh melalui pancaindera,

maka ilmu pengetahuan harus didasarkan pada eksperimen, induksi dan

observasi.
Bagaimana pandangan penganut kuantitatif tentang fakta? Dalam

penelitian kuantitatif diyakini sejumlah asumsi sebagai dasar ontologisnya

dalam melihat fakta atau gejala. Asumsi-asumsi dimaksud adalah; (1)

obyek-obyek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, baik bentuk,

struktur, sifat maupun dimensi lainnya; (2) suatu benda atau keadaan tidak

mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu; dan (3) suatu gejala

bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan, melainkan

merupakan akibat dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jadi diyakini

adanya determinisme atau proses sebab-akibat (causalitas). Dalam

kaitannya dengan poin terakhir, lebih jauh Russel Keat & John Urry, seperti

dikutip oleh Tomagola, mengemukakan bahwa setiap individual event/case

tidak mempunyai eksistensi sendiri yang lepas terpisah dari kendali

empirical regularities. Tiap individual event/case hanyalah manifestasi atau

contoh dari adanya suatu empirical regularities.

Sejalan dengan penjelasan di atas, secara epistemologi, paradigma

kuantitatif berpandangan bahwa sumber ilmu itu terdiri dari dua, yaitu

pemikiran rasional data empiris. Karena itu, ukuran kebenaran terletak pada

koherensi dan korespondensi. Koheren besarti sesuai dengan teori-teori

terdahulu, serta korespondens berarti sesuai dengan kenyataan empiris.

Kerangka pengembangan ilmu itu dimulai dari proses perumusan hipotesis

yang deduksi dari teori, kemudian diuji kebenarannya melalui verifikasi

untuk diproses lebih lanjut secara induktif menuju perumusan teori baru.
Jadi, secara epistemologis, pengembangan ilmu itu berputar mengikuti

siklus; logico, hypothetico, verifikatif.

Dalam metode kuantitatif, dianut suatu paradigma bahwa dalam setiap

event/peristiwa sosial mengandung elemen-elemen tertentu yang berbeda-

beda dan dapat berubah. Elemen-elemen dimaksud disebut dengan variabel.

Variabel dari setiap even/case, baik yang melekat padanya maupun yang

mempengaruhi/dipengaruhinya, cukup banyak, karena itu tidak mungkin

menangkap seluruh variabel itu secara keseluruhan. Atas dasar itu, dalam

penelitian kuantitatif ditekankan agar obyek penelitian diarahkan pada

variabel-variabel tertentu saja yang dinilai paling relevan. Jadi, di sini

paradigma kuantitatif cenderung pada pendekatan partikularistis.

Lebih khusus mengenai metode analisis dan prinsip pengambilan

kesimpulan, Julia Brannen, ketika menjelaskan paradigma kuantitatif dan

kualitatif, mengungkap paradigma penelitian kuantitaif dari dua aspek

penting, yaitu: bahwa penelitian kuantitatif menggunakan enumerative

induction dan cenderung membuat generalisasi (generalization)[12].

Penekanan analisis data dari pendekatan enumerative induction adalah

perhitungan secara kuantitatif, mulai dari frekuensi sampai analisa statistik.

Selanjutnya pada dasarnya generalisasi adalah pemberlakuan hasil temuan

dari sampel terhadap semua populasi, tetapi karena dalam paradigma

kuantitatif terdapat asumsi mengenai adanya “keserupaan” antara obyek-


obyek tertentu, maka generalisasi juga dapat didefinisikan sebagai

universalisasi.

Definisi Paradigma Kualitatif

Penelitian kualitatif adalah satu model penelitian humanistik, yang

menempatkan manusia sebagai subyek utama dalam peristiwa

sosial/budaya. Jenis penelitian ini berlandaskan pada filsafat fenomenologis

dari Edmund Husserl (1859-1928) dan kemudian dikembangkan oleh Max

Weber (1864-1920) ke dalam sosiologi. Sifat humanis dari aliran pemikiran

ini terlihat dari pandangan tentang posisi manusia sebagai penentu utama

perilaku individu dan gejala sosial. Dalam pandangan Weber, tingkah laku

manusia yang tampak merupakan konsekwensi-konsekwensi dari sejumlah

pandangan atau doktrin yang hidup di kepala manusia pelakunya. Jadi, ada

sejumlah pengertian, batasan-batasan, atau kompleksitas makna yang hidup

di kepala manusia pelaku, yang membentuk tingkah laku yang terkspresi

secara eksplisit.

Sementara itu Noeng Muhadjir (1994:12) mengemukakan beberapa

nama yang dipergunakan para ahli tentang metodologi penelitian kualitatif

yaitu: grounded research, ethnometodologi, paradigma naturalistik,

interaksi simbolik, semiotik, heuristik, hermeneutik, atau holistik.

Perbedaan tersebut dimungkinkan karena perbedaan titik tekan dalam

melihat permasalahan serta latar brlakang disiplin ilmunya, istilah

grounded research lebih berkembang dilingkungan sosiologi dengan


tokohnya Strauss dan Glaser (untuk di Indonesia istilah ini

diperkenalkan/dipopulerkan oleh Stuart A. Schleigel dari Universitas

California yang pernah menjadi tenaga ahli pada Pusat Latihan Penelitian

Ilmu-ilmu Sosial Banda Aceh pada tahun 1970-an), ethnometodologi

lebih berkembang di lingkungan antropologi dan ditunjang antara lain oleh

Bogdan, interaksi simbolik lebih berpengaruh di pantai barat Amerika

Serikat dikembangkan oleh Blumer, Paradigma naturalistik dikembangkan

antara lain oleh Guba yang pada awalnya memperoleh pendidikan dalam

fisika, matematika dan penelitian kuantitatif.

Secara lebih rinci Patton (1990:88) mengemukakan penamaan macam-

macam penelitian kualitatif (Qualitative inquiry) berdasarkan tradisi

teoritisnya yang diuraikan dalam bentuk tabel sebagai berikut :

Tabel 2.

Variety in qualitative Inquiry : Theoritical traditions

No Perspektif Akar Ilmu Pertanyaan Utama

Apa kebudayaan masyarakat


1 Ethnography Anthropology
ini?

Apa struktur dan esensi

2 Phenomenology Philosophy pengalaman atas gejala-gejala

ini bagi masyarakat tersebut?


Apa pengalaman saya

mengenai gejala-gejala ini

Psikologi dan apa pengalaman essensial


3 Heuristics
Humanistik bagi yang lain yang juga

mengalami gejala ini secara

intens?

Bagaimana orang memahami

kegiatan sehari-hari mereka

4 Ethnomethodology Sosiology sehingga berprilaku dengan

cara yang dapat diterima

secara sosial?

Apa simbul dan pemahaman

Symbolic umum yang telah muncul dan


5 Psikologi sosial
interactionism memberikan makna bagi

interaksi sosial masyarakat?

Bagaimana orang-orang

mencapai tujuan mereka


Echological Psikologi
6 melalui prilaku tertentu
Psychology lingkungan
dalam lingkungan yang

tertentu?

Bagaimana dan kenapa


7 System theory Interdisipliner
sistem ini berfungsi secara
keseluruhan?

Apa yang mendasari


Chaos theory: non Fisika teoritis:
8 keteraturan gejala-gejala
-linier dynamics ilmu-ilmu alam
yang tak teratur jika ada?

Apa kondisi-kondisi yang

melahirkan prilaku atau


Teologi, filsafat,
9 Hermeneutics produk yang dihasilkan
kritik sastra
yang memungkinkan

penafsiran

makna?
Bagimana perspektif ideologi
Orientaional, Ideologi, ekonomi
10 seseorang berujud dalam
qualitative politik
suatu gejala?

Dalam perkembangannya, belakangan ini nampaknya istilah penelitian

kualitatif telah menjadi istilah yang dominan dan baku, meskipun mengacu

pada istilah yang berbeda dengan pemberian karakteristik yang berbeda pula,

namun bila dikaji lebih jauh semua itu lebih bersifat saling

melengkapi/memperluas dalam suatu bingkai metodologi penelitian kualitatif.

Oleh karena itu dalam wacana metodologi penelitian, umumnya diakui

terdapat dua paradigma utama dalam metodologi penelitian yakni paradigma

positivist (penelitian kuantitatif) dan paradigma naturalistik (penelitian

kualitatif), ada ahli yang memposisikannya secara diametral, namun ada juga

yang mencoba menggabungkannya baik dalam makna integratif maupun


bersifat komplementer, namun apapun kontroversi yang terjadi kedua jenis

penelitian tersebut memiliki perbedaan-perbedaan baik dalam tataran

filosofis/teoritis maupun dalam tataran praktis pelaksanaan penelitian, dan

justru dengan perbedaan tersebut akan nampak kelebihan dan kekurangan

masing-masing, sehingga seorang peneliti akan dapat lebih mudah memilih

metode yang akan diterapkan apakah metode kuantitatif atau metode kualitatif

dengan memperhatikan obyek penelitian/masalah yang akan diteliti serta

mengacu pada tujuan penelitian yang telah ditetapkan.

Meskipun dalam tataran praktis perbedaan antara keduanya seperti

nampak sederhana dan hanya bersifat teknis, namun secara esensial keduanya

mempunyai landasan epistemologis/filosofis yang sangat berbeda. Penelitian

kuantitatif merupakan pendekatan penelitian yang mewakili paham positivisme,

sementara itu penelitian kualitatif merupakan pendekatan penelitian yang

mewakili paham naturalistik (fenomenologis). Untuk lebih memahami landasan

filosofis kedua paham tersebut, berikut ini akan diuraiakan secara ringkas kedua

aliran faham tersebut.

1. Positivisme

Positivisme merupakan aliran filsafat yang dinisbahkan/bersumber dari

pemikiran Auguste Comte seorang folosof yang lahir di Montpellier Perancis

pada tahun 1798, ia seorang yang sangat miskin, hidupnya banyak

mengandalkan sumbangan dari murid dan teman-temannya antara lain dari

folosof inggris John Stuart Mill (juga seorang akhli ekonomi), ia meninggal
pada tahun 1857. meskipun demikian pemikiran-pemikirannya cukup

berpengaruh yang dituangkan dalam tulisan-tulisannya antara lain Cours de

Philosophie Positive (Kursus filsafat positif) dan Systeme de Politique Positive

(Sistem politik positif).

Salah satu buah pikirannya yang sangat penting dan berpengaruh adalah

tentang tiga tahapan/tingkatan cara berpikir manusia dalam berhadapan dengan

alam semesta yaitu: tingkatan Teologi, tingkatan Metafisik, dan tingkatan

Positif

 Tingkatan Teologi (Etat Theologique). Pada tingkatan ini manusia

belum bisa memahami hal-hal yang berkaitan dengan sebab akibat.

Segala kejadian dialam semesta merupakan akibat dari suatu perbuatan

Tuhan dan manusia hanya bersifat pasrah, dan yang dapat dilakukan

adalah memohon pada Tuhan agar dijauhkan dari berbagai bencana.

Tahapan ini terdiri dari tiga tahapan lagi yang berevolusi yakni dari

tahap animisme, tahap politeisme, sampai dengan tahap monoteisme.

 Tingkatan Metafisik (Etat Metaphisique). Pada dasarnya tingkatan ini

merupakan suatu variasi dari cara berfikir teologis, dimana Tuhan atau

Dewa-dewa diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak misalnya dengan

istilah kekuatan alam. Dalam tahapan ini manusia mulai menemukan

keberanian dan merasa bahwa kekuatan yang menimbulkan bencana

dapat dicegah dengan memberikan berbagai sajian-sajian sebagai

penolak bala/bencana.
 Tingkatan Positif (Etat Positive). Pada tahapan ini manusia sudah

menemukan pengetahuan yang cukup untuk menguasai alam. Jika pada

tahapan pertama manusia selalu dihinggapi rasa khawatir berhadapan

dengan alam semesta, pada tahap kedua manusia mencoba

mempengaruhi kekuatan yang mengatur alam semesta, maka pada

tahapan positif manusia lebih percaya diri, dengan ditemukannya

hukum-hukum alam, dengan bekal itu manusia mampu

menundukan/mengatur (pernyataan ini mengindikasikan adanya

pemisahan antara subyek yang mengetahui dengan obyek yang

diketahui) alam serta memanfaatkannya untuk kepentingan manusia,

tahapan ini merupakan tahapan dimana manusia dalam hidupnya lebih

mengandalkan pada ilmu pengetahuan.

Dengan memperhatikan tahapan-tahapan seperti dikemukakan di atas

nampak bahwa istilah positivisme mengacu pada tahapan ketiga (tahapan

positif/pengetahuan positif) dari pemikiran Comte. Tahapan positif merupakan

tahapan tertinggi, ini berarti dua tahapan sebelumnya merupakan tahapan yang

rendah dan primitif, oleh karena itu filsafat Positivisme merupakan filsafat yang

anti metafisik, hanya fakta-fakta saja yang dapat diterima. Segala sesuatu yang

bukan fakta atau gejala (fenomin) tidak mempunyai arti, oleh karena itu yang

penting dan punya arti hanya satu yaitu mengetahui (fakta/gejala) agar siap

bertindak (savoir pour prevoir).


Manusia harus menyelidiki dan mengkaji berbagai gejala yang terjadi

beserta hubungan-hubungannya diantara gejala-gejala tersebut agar dapat

meramalkan apa yang akan terjadi, Comte menyebut hubungan-hubungan

tersebut dengan konsep-konsep dan hukum-hukum yang bersifat positif dalam

arti berguna untuk diketahui karena benar-benar nyata bukan bersifat spekulasi

seperti dalam metafisika.

2. Fenomenologi

Edmund Husserl adalah filosof yang mengmbangkan metode

Fenomenologi, dia lahir di Prostejov Cekoslowakia dan mengajar di berbagai

Universitas besar Eropa, meninggal pada tahun 1938 di Freiburg. Hasil

pemikirannya dapat diselamatkan dari kaum Nazi, dengan membawa seluruh

buku dan tulisannya ke Universitas Leuven Belgia, sehingga kemudian dapat

dikembangkan lebih lanjut oleh murid-muridnya. Diantara tulisan-tulisan

pentangnya adalah: Logische Untersuchungen (Penyelidikan-penyelidikan

Logis) dan Ideen zu einer reinen Phanomenologie und Phanomenologischen

Philosophie (gagasan-gagasan untuk suatu fenomenologi murni dan filsafat

fenomenologi)

Dalam faham fenomenologi sebagaimana diungkapkan oleh Husserl,

bahwa kita harus kembali kepada benda-benda itu sendiri (zu den sachen

selbst), obyek-obyek harus diberikan kesempatan untuk berbicara melalui

deskripsi fenomenologis guna mencari hakekat gejala-gejala (Wessenchau).

Husserl berpendapat bahwa kesadaran bukan bagian dari kenyataan melainkan


asal kenyataan, dia menolak bipolarisasi antara kesadaran dan alam, antara

subyek dan obyek, kesadaran tidak menemukan obyek-obyek, tapi obyek-obyek

diciptakan oleh kesadaran.

Kesadaran merupakan sesuatu yang bersifat intensionalitas (bertujuan),

artinya kesadaran tidak dapat dibayangkan tanpa sesuatu yang disadari. Supaya

kesadaran timbul perlu diandaikan tiga hal yaitu: ada subyek, ada obyek, dan

subyek yang terbuka terhadap obyek-obyek. Kesadaran tidak bersifat pasif

karena menyadari sesuatu berarti mengubah sesuatu, kesadaran merupakan

suatu tindakan, terdapat interaksi antara tindakan kesadaran dan obyek

kesadaran, namun yang ada hanyalah kesadaran sedang obyek kesadaran pada

dasarnya diciptakan oleh kesadaran.

Berkaitan dengan hakekat obyek-obyek, Husserl berpandapat bahwa

untuk menangkap hakekat obyek-obyek diperlukan tiga macam reduksi guna

menyingkirkan semua hal yang mengganggu dalam

mencapai wessenchauyaitu: Reduksi pertama. Menyingkirkan segala sesuatu

yang subyektif, sikap kita harus obyektif, terbuka untuk gejala-gejala yang

harus diajak bicara. Reduksi kedua. Menyingkirkan seluruh pengetahuan

tentang obyek yang diperoleh dari sumber lain, dan semua teori dan hipotesis

yang sudah ada Reduksi ketiga. Menyingkirkan seluruh tradisi pengetahuan.

Segala sesuatu yang sudah dikatakan orang lain harus, untuk sementara,

dilupakan, kalau reduksi-reduksi ini berhasil, maka gejala-gejala akan

memperlihatkan dirinya sendiri/dapat menjadi fenomin


3. Perbandingan tataran Filosofis

Kedua aliran filsafat tersebut terus berkembang dengan dukungan

pengikut-pengikutnya, yang dalam wacana metodologi penelitian telah

mendorong lahirnya paradigma penelitian kuantitatif (positivisme) dan

paradigma penelitian kualitatif (fenomenologi). Kedua paradigma pendekatan

penelitian tersebut nampak sekali mempunyai asumsi/aksioma dasar filosofis

dan paradigma berbeda yang menurut Lincoln dan Guba perbedaan tersebut

terletak dalam asumsi/aksioma tentang kenyataan, hubungan pencari tahu

dengan tahu (yang diketahui), generalisasi, kausalitas, dan masalah nilai. untuk

lebih rincinya dapat dilihat dalam tabel berikut.

Dalam pandangan positivisme dari sudut ontologi meyakini bahwa

realitas merupakan suatu yang tunggal dan dapat dipecah-pecah untuk

dipelajari/dipahami secara bebas, obyek yang diteliti bisa dieliminasikan dari

obyek-obyek lainnya, sedangkan dalam pandangan fenomenologi kenyataan itu

merupakan suatu yang utuh, oleh karena itu obyek harus dilihat dalam suatu

konteks natural tidak dalam bentuk yang terfragmentasi.

Dari sudut epistemologi, positivisme mensyaratkan adanya dualisme

antara subyek peneliti dengan obyek yang ditelitinya, pemilahan ini

dimaksudkan agar dapat diperoleh hasil yang obyektif, sementara itu dalam

pandangan Fenomenologis subyek dan obyek tidak dapat dipisahkan dan aktif

bersama dalam memahami berbagai gejala. Dari sudut aksiologi, positivisme

mensyaratkan agar penelitian itu bebas nilai agar dicapai obyektivitas konsep-
konsep dan hukum-hukum sehingga tingkat keberlakuannya bebas tempat dan

waktu, sedangkan dalam pandangan fenomenologi penelitian itu terikat oleh

nilai sehinggan hasil suatu penelitian harus dilihat sesuai konteks.

Untuk lebih jelasnya berikut ini akan dikemukakan perbandingan antara

paradigma positivisme dan paradigma alamiah (fenomenologi) dengan mengacu

pada pendapat Lincoln dan Guba, sebagaimana terlihat dalam tabel berikut :

Tabel 3.

Perbedaan Aksioma Paradigma Positivisme dan Alamiah

Paradigma
No. Aksioma Tentang Paradigma Positivisme
Naturalistik/Kualitatif

1 Hakikat kenyatan Kenyataan adalah Kenyataan adalah ganda, dibentuk,

tunggal, nyata dan dan me-rupakan keutuhan

fragmentaris

2 Hubungan pencari Pencari tahu dengan Pencari tahu dengan yang tahu aktif

tahu dan yang yang tahu adalah bebas, bersama, jadi tidak dapat

tahu jadi dipisahkan

ada dualism
3 Kemungkinan Generalisasi atas dasar Hanya waktu dan konteks

Generalisasi bebas-waktu dan yang mengikat hipotesis kerja

bebas- konteks (pernyataan idiografis) yang

(pernyataan dimungkinkan

nomotetik)
4 Kemungkinan Terdapat penyebab Setiap keutuhan berada dalam

hubungan sebab sebenarnya yang secara keadaan mempe-ngaruhi

akibat temporer terhadap, atau secara bersama-sama sehingga

secara simultan terhadap sukar mem-bedakan mana

akibatnya sebab dan

mana akibat
5 Peranan nilai Inkuirinya bebas nilai Inkuirinya terikat nilai

(Sumber : Lexy J. Moleong : 2000 : 31)

4. Perbandingan tataran Metodologis

Memahami landasan filosofis penelitian kualitatif dalam perbandingannya

dengan penelitian kuantitatif merupakan hal yang penting sebagai dasar bagi

pemahaman yang tepat terhadap penelitian kualitatif, namun demikian bagi

seorang peneliti penguasaan dalam tingkatan operasional lebih diperlukan lagi

agar dalam pelaksanaan penelitian tidak terjadi kerancuan metodologis, dan

penelitian benar-benar dilaksanakan dalam suatu bingkai pendekatan yang jelas

dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam tataran metodologis perbedaan landasan filosofis terrefleksikan

dalam perbedaan metode penelitian, dimana positivisme dimanifestasikan

dalam metode penelitian kuantitatif sedangkan fenomenologi dimanifestasikan

dalam metode penelitian kualitatif. Kedua pendekatan ini sering diposisikan

secara diametral, meskipun belakangan ini terdapat upaya untuk

menggabungkannya baik dalam bentuk paralelisasi maupun kombinasi, adapun

perbedaan antara metode kuantitatif dengan kualitatif adalah sebagai berikut :


Tabel 4.

Perbedaan Metode Kuantitatif dengan Kualitatif

No. Metode Kuantitatif Metode Kualitatif

Menggunakan hipotesis yang Hipotesis dikembangkan sejalan


1
ditentukan sejak awal penelitian dengan penelitian/saat penelitian

Definisi yang jelas dinyatakan Definisi sesuai konteks atau saat


2
sejak awal penelitian berlangsung

Deskripsi naratif/kata-kata,
3 Reduksi data menjadi angka-angka
ungkapan atau pernyataan

Lebih memperhatikan reliabilitas


Lebih suka menganggap cukup
4 skor yang diperoleh melalui
dengan reliabilitas penyimpulan
instrumen penelitian

Penilaian validitas menggunakan Penilaian validitas melalui

5 berbagai prosedur dengan pengecekan silang atas

mengandalkan hitungan statistik sumber informasi

Mengunakan deskripsi prosedur Menggunakan deskripsi prosedur


6
yang jelas (terinci) secara naratif

7 sampling random Sampling purposive

Menggunakan analisis logis


Desain/kontrol statistik atas
8 dalam mengontrol variabel
variabel eksternal
eksternal
Menggunakan desain khusus untuk Mengandalkan peneliti dalam
9
mengontrol bias prosedur mengontrol bias

Menyimpulkan hasil menggunakan Menyimpulkan hasil secara


10
statistik naratif/kata-kata

Memecah gejala-gejala menjadi Gejala-gejala yang terjadi dilihat


11
bagian-bagian untuk dianalisis dalam perspektif keseluruhan

Memanipulasi aspek, situasi atau Tidak merusak gejala-gejala yang

12 kondisi dalam mempelajari terjadi secara alamiah

gejala yang kompleks /membiarkan keadaan aslinya

(diadaptasi dari Jack R. Fraenkel & Norman E. Wallen. 1993: 380)

Terdapat sejumlah aliran filsafat yang mendasari penelitian kualitatif,

seperti Fenomenologi, Interaksionisme simbolik, dan Etnometodologi. Harus

diakui bahwa aliran-aliran tersebut memiliki perbedaan-perbedaan, namun

demikian ada satu benang merah yang mempertemukan mereka, yaitu

pandangan yang sama tentang hakikat manusia sebagai subyek yang

mempunyai kebebasan menentukan pilihan atas dasar sistem makna yang

membudaya dalam diri masing-masing pelaku.

Bertolak dari proposisi di atas, secara ontologis, paradigma kualitatif

berpandangan bahwa fenomena sosial, budaya dan tingkah laku manusia tidak

cukup dengan merekam hal-hal yang tampak secara nyata, melainkan juga

harus mencermati secara keseluruhan dalam totalitas konteksnya. Sebab tingkah


laku (sebagai fakta) tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan begitu saja dari

setiap konteks yang melatarbelakanginya, serta tidak dapat disederhanakan ke

dalam hukum-hukum tunggal yang deterministik dan bebas konteks.

Dalam Interaksionisme simbolis, sebagai salah satu rujukan penelitian

kualitatif, lebih dipertegas lagi tentang batasan tingkah laku manusia sebagai

obyek studi. Di sini ditekankankan perspektif pandangan sosio-psikologis, yang

sasaran utamanya adalah pada individu ‘dengan kepribadian diri pribadi’ dan

pada interaksi antara pendapat intern dan emosi seseorang dengan tingkah laku

sosialnya.

Paradigma kualitatif meyakini bahwa di dalam masyarakat terdapat

keteraturan. Keteraturan itu terbentuk secara natural, karena itu tugas peneliti

adalah menemukan keteraturan itu, bukan menciptakan atau membuat sendiri

batasan-batasannya berdasarkan teori yang ada. Atas dasar itu, pada hakikatnya

penelitian kualitatif adalah satu kegiatan sistematis untuk menemukan teori dari

kancah – bukan untuk menguji teori atau hipotesis. Karenanya, secara

epistemologis, paradigma kualitatif tetap mengakui fakta empiris sebagai

sumber pengetahuan tetapi tidak menggunakan teori yang ada sebagai bahan

dasar untuk melakukan verifikasi.

Dalam penelitian kualitatif, ‘proses’ penelitian merupakan sesuatu yang

lebih penting dibanding dengan ‘hasil’ yang diperoleh. Karena itu peneliti

sebagai instrumen pengumpul data merupakan satu prinsip utama. Hanya


dengan keterlibatan peneliti alam proses pengumpulan datalah hasil penelitian

dapat dipertanggungjawakan.

Khusus dalam proses analisis dan pengambilan kesimpulan, paradigma

kualitatif menggunakan induksi analitis (analytic induction) dan ekstrapolasi

(extrpolation). Induksi analitis adalah satu pendekatan pengolahan data ke

dalam konsep-konsep dan kateori-kategori (bukan frekuensi). Jadi simbol-

simbol yang digunakan tidak dalam bentuk numerik, melainkan dalam bentuk

deskripsi, yang ditempuh dengan cara merubah data ke formulasi. Sedangkan

ekstrapolasi adalah suatu cara pengambilan kesimpulan yang dilakukan

simultan pada saat proses induksi analitis dan dilakukan secara bertahap dari

satu kasus ke kasus lainnya, kemudian –dari proses analisis itu--dirumuskan

suatu pernyataan teoritis.

Perbedaan Paradigme Kuantitatif dan Paradigme Kualitatif

 Paradigma Kuantitatif

1. Cenderung menggunakan metode kuantitatif, dalam pengumpulan dan

analisa data, termasuk dalam penarikan sampel.

2. Lebih menenkankan pada proses berpikir positivisme-logis, yaitu suatu

cara berpikir yang ingin menemukan fakta atau sebab dari sesuatu

kejadian dengan mengesampingkan keadaan subyektif dari individu di

dalamnya.
3. Peneliti cenderung ingin menegakkan obyektifitas yang tinggi, sehingga

dalam pendekatannya menggunakan pengaturan-pengaturan secara ketat

(obstrusive) dan berusaha mengendalikan stuasi (controlled).

4. Peneliti berusaha menjaga jarak dari situasi yang diteliti, sehingga peneliti

tetap berposisi sebagai orang “luar” dari obyek penelitiannya.

5. Bertujuan untuk menguji suatu teori/pendapat untuk mendapatkan

kesimpulan umum (generasilisasi) dari sampel yang ditetapkan.

6. Berorientasi pada hasil, yang berarti juga kegiatan pengumpulan data

lebih dipercayakan pada intrumen (termasuk pengumpul data lapangan).

7. Keriteria data/informasi lebih ditekankan pada segi realibilitas dan

biasanya cenderung mengambil data konkrit (hard fact).

8. Walaupun data diambil dari wakil populasi (sampel), namun selalu

ditekankan pada pembuatan generalisasi.

9. Fokus yang diteliti sangat spesifik (particularistik) berupa variabel-

variabel tertentu saja. Jadi tidak bersifat holistik.

 Paradigma Kualitatif

1. Cenderung menggunakan metode kualitatif, baik dalam pengumpulan

maupun dalam proses analisisnya.

2. Lebih mementingkan penghayat-an dan pengertian dalam menangkap

gejala (fenomenologis).

3. Pendekatannya wajar, dengan menggunakan pengamatan yang bebas

(tanpa pengaturan yang ketat).


4. Lebih mendekatkan diri pada situasi dan kondisi yang ada pada sumber

data, dengan berusaha menempatkan diri serta berpikir dari sudut

pandang “orang dalam”.

5. Bertujuan untuk menemukan teori dari lapangan secara deskriptif dengan

menggunakan metode berpikir induktif. Jadi bukan untuk menguji teori

atau hipotesis.

6. Berorientasi pada proses, dengan mengandalkan diri peneliti sebagai

instrumen utama. Hal ini dinilai cukup penting karena dalam proses itu

sendiri dapat sekaligus terjadi kegiatan analisis, dan pengambilan

keputusan.

7. Keriteria data/informasi lebih menekankan pada segi validitasnya, yang

tidak saja mencakup fakta konkrit saja melainkan juga informasi simbolik

atau abstrak.

8. Ruang lingkup penelitian lebih dibatasi pada kasus-kasus singular,

sehingga tekannya bukan pada segi generalisasinya melainkan pada segi

otensitasnya.

9. Fokus penelitian bersifat holistik, meliputi aspek yang cukup luas (tidak

dibatasi pada variabel tertentu).


REFERENSI

https://www.researchgate.net/publication/331896018_PARADIGM

A_PENELITIAN_KUANTITATIF_DAN_KUA_1/link/5c92

337f92851cf0ae89fe26/download

Anda mungkin juga menyukai