Anda di halaman 1dari 14

KEBENARAN DALAM FILSAFAT ILMU

Nur Aisyah
nuraisyah71@student.iqt.unida.gontor.ac.id

PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Manusia diciptakan oleh Allah S.W.T dengan sebaik-baiknya ciptaan. Ada perbedaan
mendasar antara manusia dengan makhluk yang lain, yaitu akal. Makhluk lain seperti
binatang mempunyai otak yang berfungsi secara terbatas. Sementara manusia tidak hanya
mempunyai otak sebagai organ. Otak manusia mempunyai kemampuan bekerja yang terus
berkembang. Inilah yang disebut kemampuan rasional manusia. Kemampuan rasional yang
terus berkembang inilah merupakan ciri khas manusia. Aristoteles mengatakan bahwa
manusia adalah animal rasionale. Kemampuan rasional sangat berguna bagi manusia dalam
rangka memecahkan problem hidupnya. 1 Hal ini mampu mendorong manusia untuk berfikir
lebih jauh mengenai fungsi ilmu yang dapat memberikan solusi dari setiap permasalahan
kehidupannya.
Manusia dalam kehidupannya senantiasa disibukkan oleh berbagai pertanyaan
mendasar tentang dirinya. Berbagai jawaban yang bersifat spekulatif coba diajukan oleh para
pemikir sepanjang sejarah dan terkadang jawaban-jawaban yang diajukan saling kontradiksif
satu dengan yang lainnya. Perdebatan mendasar yang sering menjadi bahan diskusi dalam
sejarah kehidupan manusia adalah perdebatan seputar sumber dan asal usul pengetahuan dan
kebenaran. 2 Berkenaan dengan hal tersebut, Dalam dunia ilmu pengetahuan, filsafat
berfungsi sebagai kendaraan untuk memahami sesuatu secara mendalam.
Manusia hidup di dunia ini pada hakekatnya mempunyai keinginan untuk mencari
pengetahuan dan kebenaran. Pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk
tahu. Pengetahuan menurut arti sempit sebuah keputusan yang benar dan pasti. 3 Penganut
pragmatis, utamanya John Dewey tidak membedakan antara pengetahuan dan kebenaran

1
Wilujeng, Sri Rahayu. Ilmu Dalam Prespektif Filsafat. Jurusan Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Diponegoro. Hal 93.
2
Atabik, Ahmad. Teori Kebenaran Perspektif Filsafat Ilmu. Fikrah, Vol.2, No. 1, Juni 2014. Hal 253
3
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 85.
(antara knowledge dan truth).4 Oleh karenanya, penulis mencoba menjabarkan hal-hal yang
berkaitan dengan sumber kebenaran dalam tinjauan filsafat ilmu.
b. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan kebenaran dalam tinjauan ilmu pengetahuan?
2. Sebutkan macam-macam teori yang digunakan untuk memperoleh sumber kebenaran
dalam prespektif filsafat ilmu?
3. Bagaimana fungsi wahyu menjadi sumber utama dalam kebenaran ?
c. Tujuan
1. Untuk mengetahui sumber-sumber dalam mendapatkan kebenaran.
2. Untuk mengetahui kaitannya kebenaran dengan filsafat ilmu.
3. Menjadi bahan rujukan pengetahuan pembaca untuk pengembangan peneletian
selanjutnya.

4
Menurut Salam, pengetahuan itu harus benar kalau tidak benar disebut kontradiksi. Jadi Pengetahuan adalah
kebenaran, maka dalam kehidupan manusia memiliki berbagai pengetahuan dan kebenaran. Lihat
Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, Jakarta: Bumi Aksara, 2000, hlm. 28.
BAB II
PEMBAHASAN
a. Pengertian Filsafat dan Filsafat Ilmu
Filsafat ialah sejenis pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam
mengenai ketuhanan, alam semesta, dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan
tentang begaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai pengetahuan itu. 5 Filsafat juga
membuka tabir dari suatu fenomena yang diamati, sehingga dapat dicerna oleh akal manusia
untuk dipahami secara menyeluruh. Plato menyatakan bahwa filsafat ialah pengetahuan yang
berminat mencapai kebenaran yang asli, dan bagi Aristoteles filsafat adalah pengetahuan
yang meliputi kebenaran yang tergabung di dalamnya metafisika, logika, retorika, ekonomi,
politik, dan estetika; dan bagi Al-Farabi filsafat ialah pengetahuan tentang alam wujud
bagaimana hakikatnya yang sebenarnya. Menurut Pythagoras orang pertama yang
menggunakan kata philosopos, memberikan definisi filsafat sebagai the love for wisdom.
Menurutnya manusia yang paling tinggi nilainya ialah manusia pencinta kebijakan (love of
wisdom), sedangkan yang dimaksud olehnya dengan wisdom ialah kegiatan melakukan
perenungan tentang tuhan. Ia membagi kualitas manusia menadi tiga tingkatan; lovers of
wisdom lovers of success, dan lovers of pleasure. 6 Hal ini memungkinkan manusia untuk
terus menggali pengetahuan secara mendalam dan melahirkan berbagai disiplin keilmuan.
Filsafat berasal dari Bahasa Arab yang memiliki hubungan kuat dengan Bahasa
Yunani, bahkan asalnya memang dari Bahasa Yunani. Dalam Bahasa Yunaninya adalah
philosophia yang merupakan kata majemuk yang terdiri atas philo dan sophia; philo artinya
cinta dalam arti yang luas, yaitu ingin , dan karena itu lalu berusaha mencapai yang
diinginkan itu; sophia artinya kebijakan dengan artian pandai, pengertian yang dalam.

5
Hasbullah Bakry., , 1971, Sistematik Filsafat, Djakarta: Widjaja
6
Mayer, Frederick, 1950 A History of Ancient & Medieval Philosophy, New York: American Book
Company.
Dengan demikian, menurut namanya saja filsafat bisa diartikan ingn mencapai pandai, cinta
pada kebijakan. 7 Bertrand Russel mendefinisikan filsafat sebagai the attempt to answer
ultimate question critically. Mulder dalam bukunya mengajukan definii filsafat sebagai
pemikiran teoreti tentang susunan kenyataan sebagai keseluruhan. William James
mendefinisikan filsafat sebagai a collective name for question which have not been answered
to the satisfaction of all that have asked them. 8 Filsafat menjadi jalan untuk memperoleh
jawaban atas pertanyaan pertanyaan yang bersifat spekulatif terhadap suatu yang ingin
diketahui.
Sementara Filsafat ilmu sebagai dari bagian dari filsafat itu juga mewariskan
kerangka pikir demikian. Menurut Lewis White Beck filsafat ilmu ialah: philosophy of science
questions and evaluates the methods of scientific thinking tries to determine the value and
significance of the scientific enterprise as a whole.9 Sehingga filsafat pada dasarnya adalah
mengajukan pertanyaan yang akan diperoleh jawabannya untuk mengetahui sesuatu seperti
nilai dan ukuran. Peter A. Angeles, sebagaimana yang dikutipkan The Liang Gie,
menjelaskan bahwa filsafat ilmu merupakan “suatu analisis dan pelukisan tentang ilmu dari
berbagai sudut tinjauan, termasuk logika, metodologi, sosiologi, sejerah lmu dan lain-lain”.
Sementara A. Cornelis Benjamin mendefinisikan filsafat ilmu sebagai disiplin filsafat yang
merupakan studi kritis dan sistematis mengenai dasar-dasar ilmu penetahuan, khususnya
yang berkaitan dengan metode-metode, konsep-konsep. praduga-praduganya, serta posisinya
dalam kerangka umum cabang-cabang intelektual. 10 Dalam buku filsafat ilmu karya
Mohammad Muslih mendefinisikan filsafat ilmu dari dua sisi, yaitu sebagai disiplin ilmu dan
sebagai landasan filosofis bagi proses keilmuan. Sebagai sebuah disiplin ilmu, filsafat ilmu
merupakan cabang dari ilmu filsafat yang membicarakan objek khusus, yaitu ilmu
pengetahuan. Dengan pemaparan diatas bisa dikatakan filsafat ilmu termasuk bidang yang
unik, sebab yang dipelajari adalah ilmu itu sendiri. Sementara sebagai landasan filosofis bagi
proses keilmuan, ia tak lain adalah kerangka dasar dari proses keilmuan itu sendiri. 11 Dapat
diketahui bahwa, filsafat ilmu merupakan diskursus tersendiri dalam memahami sesuatu,
merupakan cabang dari filsafat yang fokus terhadap memaparkan ilmu itu sendiri.
b. Teori Kebenaran.
Purwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia. 12 menerangkan bahwa
kebenaran itu adalah 1). Keadaan (hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau

7
Windelband, Wilhelm, 1958, A History of Philosophy, Volume I, New Yoork: Harper Torch Books.
8
Paul Edwards, Ed., 1967, The Encyclopedia of Philosophy, New York: The Macmillan Publishing Co.
9
Lewis White Beck, 1952, Philosophy Inquiry: an Introduction to Philosophy of Science, New York: Prentce
Hall.
10
A. Cornelis Benjamin, 1975, Philosophy of Science, Totowa.
11
Mohammad Muslih, 2004, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teroi Ilmu
Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar..
12
Idzam Fautanu, Filsafat Ilmu; Teori dan Aplikasi, (Jakarta: Referensi, 2012), hlm. 96.
keadaan yang sesungguhnya. Misalnya kebenaran berita ini masih saya ragukan, kita harus
berani membela kebenaran dan keadilan. 2). Sesuatu yang benar (sugguh-sugguh ada, betul-
betul hal demikian halnya, dan sebagainya). Misalnya kebenaran-kebenran yang diajarkan
agama. 3). Kejujuran, kelurusan hati, misalnya tidak ada seorangpun sanksi akan kebaikan
dan kebenaran hatimu. Sedang menurut Abbas Hamami, kata “kebenaran” bisa digunakan
sebagai suatu kata benda yang konkrit maupun abstrak. Jika subyek hendak menuturkan
kebenaran artinya adalah proposisi yang benar. Proposisi maksudnya adalah makna yang
dikandung dalam suatu pernyataan atau statement. Adanya kebenaran itu selalu dihubungkan
dengan pengetahuan manusia (subjek yang mengetahui) mengenai obyek. 13 Jadi, kebenaran
ada pada seberapa jauh subjek mempunyai pengetahuan mengenai objek. Sedangkan
pengetahuan bersal mula dari banyak sumber. Sumber-sumber itu kemudian sekaligus
berfungsi sebagai ukuran kebenaran. 14 Sehingga kebenaran menjadi suatu penilaian
pengetahuan manusia itu sendiri yang dicapai melalui berbagai sumber yang diperoleh
seperti pemahaman, pembelajaran, dan pengalaman yang dilaluinya. Berikut teori-teori
mengenai kebenaran:
1. Teori Korespondensi
Teori kebenaran korespondensi, Correspondence Theory of Truth yang kadang
disebut dengan accordance theory of truth, adalah teori yang berpandangan bahwa
pernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan
yang ada di alam atau objek yang dituju pernyataan tersebut. Kebenaran atau keadaan benar
itu apabila ada kesuaian (correspondence) antara rti yang dimaksud oleh suatu pernyataan
atau pendapat dengan objek yang dituju oleh pertayaan atau pendapat tersebut. 15 Kebenaran
atau suatu keadaan dikatakan benar jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu
pendapat dengan fakta. Suatu proposisi adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang sesuai
dan menyatakan apa adanya. 16 Jadi, teori ini bertumpu pada pembuktian dari suatu dalil yang
dinyatakan.
Teori korespondensi ini pada umumnya dianut oleh para pengikut realisme. Di antara
pelopor teori ini adalah Plato, Aristoteles, Moore, dan Ramsey. Teori ini banyak
dikembangkan oleh Bertrand Russell (1972-1970).17 Teori ini sering diasosiasikan dengan
teori-teori empiris pengetahuan. Teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang

13
A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2011), hlm. 85
14
Atabik, Ahmad. Teori Kebenaran Perspektif Filsafat Ilmu. Fikrah, Vol.2, No. 1, Juni 2014. Hal 258.
15
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000,
cet. ke 13), hlm. 57.
16
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 112
17
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu…. 56
paling awal, sehingga dapat digolongkan ke dalam teori kebenaran tradisional karena
Aristoteles sejak awal (sebelum abad Modern) mensyaratkan kebenaran pengetahuan harus
sesuai dengan kenyataan atau realitas yang diketahuinya. 18 Sehingga kebenaran adalah
sesuatu yang didapatkan dari kenyataan yang ada, mengamati secara empiris tanpa pengaruh
dari berbagai asumsi lain.
Realisme epistemologis berpandangan, bahwa terdapat realitas yang independen
(tidak tergantung), yang terlepas dari pemikiran; dan kita tidak dapat mengubahnya bila kita
mengalaminya atau memahaminya. Itulah sebabnya realism epistemologis kadangkala
disebut objektivisme. Sedangkan idealisme epistemologis berpandangan bahwa setiap
tindakan berakhir dalam suatu ide, yang merupakan suatu peristiwa subyektif. 19 Kedua
bentuk pandangan realistas di atas sangatlah beda. Idealisme epistemologi lebih menekankan
bahwa kebenaran itu adalah apa yang ada didunia ide. Karenanya melihat merah, rasa manis,
rasa sakit, gembira, berharap dan sebagainya semuanya adalah ide. Oleh sebab itu, idealisme
epistemologis sebagaimana didefinisikan di atas sama dengan subyektivitas. 20 Mengambl
dari kedua pandangan tersebut, meski kebenaran pengetahuan diambil secara empiris,
kebenaran tersebut juga selanjutnya dinyatakan oleh pernyataan sehingga bisa bersifat
subjektifitas. Kesimpulannya adalah kebenaran bergantung kepada kesesuaian antara
pernyataan dan kenyataan yang ada.
2. Teori Koherensi
Teori ini berpendapat bahwa kebenaran ialah kesesuaian antara suatu pernyataan
dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan
diakui sebagai benar. Suatu proposisi benar jika proposisi itu berhubungan (koheren) dengan
proposisi-proposisi lain yang benar atau pernyataan tersebut bersifat koheren atau konsisten
dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.21 Teori ini menitikberatkan
kepada terhubungnya suatu pernyataan kepada pernyataan yang lain, jadi suatu proposisi
benar jika berhubungan dengan proposisi kebenaran lainnya.
Kebenaran dengan sekurang-kurangnya memiliki empat pengertian, dimana satu
keyakinan tidak dapat diragukan kebenarannya sehingga disebut pengetahuan. Pertama,
pengertian yang bersifat psikologis. Kedua, pengertian yang bersifat logis. Ketiga,
menyamakan kepastian dengan keyakinan yang tidak dapat dikoreksi. Keempat, pengertian
akan kepastian yang digunakan dalam pembicaraan umum, di mana hal itu di artikan sebagai
kepastian yang didasarkan pada nalar yang tidak dapat diragukan lagi. 22 Sebuah pernyataan

18
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu; Positivisme, Post Positivisme dan Post Modernisme, (Yogyakarta:
Rakesarasin, 2001, Edisi-2), hlm. 20.
19
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 114.
20
Atabik, Ahmad. Teori Kebenaran Perspektif Filsafat Ilmu. Fikrah, Vol.2, No. 1, Juni 2014. Hal 259.
21
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu… hlm. 55
22
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu,116
menjadi kebenaran apabila memenuhi keempat pengetahuan tersebut. Berbeda dengan teori
korespondensi yang dianut oleh penganut realism dan matrealisme, teori koherensi atau
konsistensi ini berkembang pada abad ke-19 dibawah pengaruh hegel dan diikuti oleh
pengikut madzhab idealism. Dia antaranya seorang filsuf Britania F. M Bradley (1864-
1924).23 Idealisme epistemologi berpandangan bahwa obyek pengetahuan, atau kualitas yang
kita serap dengan indera kita itu tidaklah berwujud terlepas dari kesadaran tentang objek
tersebut. Karenanya, teori ini lebih sering disebut dengan istilah subjektivisme. Pemegang
teori ini, atau kaum idealism berpegang, kebenaran itu tergantung pada orang yang
menentukan sendiri kebenaran pengetahuannya tanpa memandang keadaan real peristiwa-
peristiwa. Manusia adalah ukuran segala-galanya, dengan cara demikianlah interpretasi
tentang kebenaran telah dirumuskan kaum idealism. 24 Karenanya kebenaran ditentukan oleh
ide yang ada, dan memandang kenyataan yang ada sebagai suatu yang harus disesuaikan
dengan gagasan ide tersebut.
3. Teori Pragmatisme
Pramagtisme berasal dari bahawa Yunan pragmai, artinya yang dikerjakan, yang
dilakukan, perbuatan, tindakan, sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William James
di Amerika Serikat.25 Teori Pragmatis (The Pragmatic Theory of Truth) memandang bahwa
“kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat
fungsional dalam kehidupan praktis”; dengan kata lain, “suatu pernyataan adalah benar jika
pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. 26 Pragmatism
merupakan aliran filsafat yang lahir di Amerika serikat akhir abad ke-19, yang menekankan
pentingnya akal budi (rasio) sebagai sarana pemecahan masalah (problem solving) dalam
kehidupan manusia baik masalah yang bersifat teoritis maupun praktis. Tokoh pragmatism
awal adalah Charles Sander Pierce (1834-1914) yang dikenal juga sebagai tokoh semiotic,
William James.27 Sebagai seorang pragmatis, William James menolak “teori cermin” atau
sebagai gambaran realitas dan menggantinya dengan prinsip kegunaan dan kemanfaatannya.
Dengan kata lain, benar tidaknya satu teori justru ditentukan oleh bermanfaat tidaknya suatu
teori dalam praktis kehidupan.28 Sehingga kebenaran pragmatis menentukan bahwa
kebenaran berada dalam realitas yang ada. Gagasan ide yang ada dalam pikiran mampu
dibuktikan dalam kenyataan.

23
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu,116
24
A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2011), hlm. 85
25
A Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu kajian dalam dimensi Ontologis,............ hlm. 86
26
Jujun S. Suriasumantri, Filsfat Ilmu… hlm. 58.
27
Atabik, Ahmad. Teori Kebenaran Perspektif Filsafat Ilmu…. Hal 262.
28
Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu; Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm 52.
Amsal (2012) menyatakan, menurut teori pragmatis, kebenaran suatu pernyataan
diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan
praktis manusia. Dalam artian, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau
konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia. 29
Sehingga menurut teori ini suatu pernyataan diukur dengan menggunakan fungsional suatu
pertanyaan benar jika pertanyaan memiliki fungsi atau kegunaan.
Menimbang teori pragmatisme dengan teori-teori kebenaran sebelumya,
pragmatisme memang benar untuk menegaskan karakter praktis dari kebenaran,
pengetahuan, dan kapasitas kognitif manusia. Tapi bukan berarti teori ini merupakan teori
yang terbaik dari keseluruhan teori. Kriteria pragmatisme juga diergunakan oleh ilmuan
dalam menentukan kebenaran ilmiah dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataan
ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan
dengan masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis selama pernyataan itu fungsional
dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, sekiranya pernyataan itu
tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan
pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan, demikian seterusnya. 30
4. Teori Performatif
Teori ini berasal dari John Langshaw Austin (1911-1960)36 dan dianut oleh filsuf
lain seperti Frank Ramsey, dan Peter Strawson. Filsuf-filsuf ini mau menentang teori klasik
bahwa “benar” dan “salah” adalah ungkapan yang hanya menyatakan sesuatu (deskriptif).
Proposisi yang benar berarti proposisi itu menyatakan sesuatu yang memang dianggap benar.
Demikian sebaliknya. Namun justeru inilah yang ingin ditolak oleh para filsuf ini. 31 Teori
performatif menjelaskan, suatu pernyataan dianggap benar jika ia menciptakan realitas. Jadi
pernyataan yang benar bukanlah pernyataan yang mengungkapkan realitas, tetapi justeru
dengan pernyataan itu tercipta realitas sebagaimana yang diungkapkan dalam pernyataan itu.
Teori ini disebut juga “tindak bahasa” mengaitkan kebenaran satu tindakan yang
dihubungkan dengan satu pernyataan. 32 Teori ini menekankan pelafalan sebagai suatu
kebenaran yang di bentuk menjadi realitas. Seperti ungkapan pengangkatan seseorang
kepada suatu jabatan tertentu yang akan bertugas.
Untuk menyatakan suatu itu benar, maka cukup melakukan tindakan konsensi
(setuju/menerima atau membenarkan) terhadap yang telah dinyatakan. Dengan demikian
tindakan performatif tindakan berhubungan dengan deskripsi benar atau salah dari sebuah
keadaan faktual. Jadi sesuatu dianggap benar jika memang dapat dilaksanakan dalam

29
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu.., 115.
30
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu…59
31
Jujun S. Susiasumantri, Filsafat Ilmu.., hlm. 59
32
Ahyar Lubis, Filsafat Ilmu, hlm., 55.
tindakan. 33 Karenanya teori ini menerangkan bahwa pernyataan yang benar dibuktikan
dingan tindakan yang nyata.
5. Agama
Agama dengan karakteristiknya sendiri memberikan jawaban atas segala persoalan
asasi yang dipertanyakan manusia; baik tentang alam, manusia, maupun tentang Tuhan.
Dalam mendapatkan kebenaran menurut teori agama adalah wahyu yang bersumber dari
Tuhan.34 Karena hakikatnya, manusia hidup di dunia ini adalah sebagai makhluk yang suka
mencari kebenaran. Dan salah satu cara untuk menemukan suatu kebenaran adalah agama.
Manusia dalam mencari dan menentukan kebenaran sesuatu dalam agama denngan
cara mempertanyakan atau mencari jawaban berbagai masalah kepada kitab Suci. Dengan
demikian, sesuatu hal dianggap benar apabila sesuai dengan ajaran agama atau wahyu
sebagai penentuk kebenaran mutlak.35 Kebenaran dalam agama bersifat dogmatic, proses
dasar penggunaan kebenaran ini dengan keyakinan yang komperhensif terhadap wahyu.
c. Agama Sebagai Teori Kebenaran
Agama merupakan istilah bahasa Indonesia secara etimologi selain bahasa Indonesia
berbeda-beda istilah. Religion (bahasa Inggris), religic (bahasa Belanda), dan din (bahasa
Arab). Tidak mudah untuk membuat definitive agama. Menurut penulis definitive agama
adalah kepecayaan seseorang terhadap sesuatu yang bersifat spiritual dan hal-hal yang ghaib
(tidak dapat dilihat oleh mata), dalam agama Islam disebut keimanan. 36 Dalam keyakinan ini
menjadi fondasi yang utama seseorang beragama.
Pengertian agama menunjukkan kepada jalan atau cara yang ditempuh untuk mencari
keridhaan tuhan. Dalam agama ada suatu yang dianggap berkuasa yaitu tuhan, zat yang
memiliki segala yang ada, yang berkuasa, yang mengatur seluruh alam beserta isinya. 37
Agama ada kaitannya dengan kehidupan. Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan
kepercayaan terhadap keyakinan adanya kekuatan ghaib, luar biasa atau supranatural yang
berpengaruh terhadap kehidupan individu dan masyarakat bahkan terhadap gejala alam.
Kepercayaan itu menimbulkan perilaku tertentu seperti berdoa, memuja dan lain-lain serta
menimbulkan sikap mental tertentu seperti rasa takut, rasa optimis, pasrah, dan lainnya dari

33
Tamrin, Abu. Relasi Ilmu, Filsafat dan Agama Dalam Dimensi Filsafat Ilmu. Jurnal Sosial & Budaya
Syar’I FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Vol. 6 No. 1 (2019), pp.71-96, DOI: 10.15408/sjsbs.v6i1.10490.
Hal 78.
34
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu… 121.
35
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu… 121.
36
Tamrin, Abu. Relasi Ilmu, Filsafat dan…. Hal.88.
37
A. Susanto, Filsafat Ilmu, … h. 12
individu dan masyarakat yang mempercayainya.38 Maka agama melahirkan kebiasaan
manusia untuk pasrah kepada Zat yang Maha Kuasa dalam segala aktifitasnya.
Sebagai umat yang beragama, manusia wajib berdoa kepada Allah Swt karena
manusia merupakan makhluk yang lemah. Doa ada yang dikabulkan segera setelah manusia
berdoa, ada yang dikabulkan di dunia, dan ada yang dikabulkan di akhirat yang merupakan
kehidupan abadi. 39 Di kalangan umat Islam, muncul tipologi yang sangat popular tentang
agama, yaitu “agama langit” (samawi) atau agama “agama wahyu” dan “agama bumi” (ardhi)
atau “agama non wahyu”. Tipologi ini diperkenankan di Indonesia melalui karya Ahmad
Abdullah al-Masdoosi, seorang sarjana Muslim Pakistan yang berjudul Living Relegions of
the Word (1962) yang kemudian dipopulerkan oleh Endang Syaifudin Anshari. 40 Agama-
agama ini menghasilkan wahyu yang memberikan pernyataan-pernyataan mengenai
kebenaran.
Salah satu agama langit adalah agama Islam. Agama Islam adalah agama yang
diwahyukan oleh Allah swt kepada Nabi Muhammad saw. Sumber hukum agama Islam
diatur dalam Alquran yang merupakan mukjizat Nabi Muhammad saw membuktikan tentang
kerasulan dan kenabian. Agama bukan wahyu adalah agama ciptaan manusia berupa
kebudayaan.41 Dalam konsepsi agama Islam terdapat konsep iman, Islam, ihsan yang dapat
dijelaskan dalam uraian rincian pembahasannya, tetapi merupakan satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan dalam kehidupan beragama. Agama thabiat berarti agama yang sesuai
dengan kemauan atau agama yang sesuai dengan kemauan alam. 42 Dalam hal ini agama
mencadi acuan utama dalam pandangan hidup seseorang.
Agama merupakan ajaran tentang philosophy and way life. Pandangan filosofis
adalah gambaran menyeluruh prinsip dasar atau word view (weltanchoung) tentang
kehidupan yang dijadikan pedoman atau pegangan oleh pribadi dan masyarakat dalam
menjalani hidup dan kehidupan mereka. Pandangan filosofis tersebut mengandung hakikat
hidup, fungsi utama (manusia), dan tujuan hidup, ajaran agama menyangkut ajaran yang
ghaib dan nyata.43 Sehingga manusi memiliki pandangan terhadap kehidupan dan kebenaran
yang diyakininya.

38
Bustanudin Agus, Agama dan Kehidupan Manusia, Pengantar Antropologi Agama, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2006), h.
39
Tamrin, Abu. Relasi Ilmu, Filsafat dan…. Hal.87
40
Kautsar Azhari Noer, Agama Langit Versus Agama Bumi; Sebuah Telaah atas Klasifikasi Agama, Titik
Temu, (Jurnal Dialog Peradaban 3 No. 3, 2011), h. 72-74
41
Tamrin, Abu. Relasi Ilmu, Filsafat dan…. Hal.88
42
Zaenal Arifin Abbas, Perkembangan Pikiran terhadap Agama, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1984), Cetakan
Kedua, h. 72-73.
43
Bustanudin Agus, Agama dan Kehidupan Manusia…, h. 57
Menurut Max Weber, tidak ada masyarakat tanpa agama, kalau masyarakat ingin
bertahan lama, harus ada Tuhan yang disembah. Masyarakat manusia dari zaman kuno
sampai dewasa ini menyembah Tuhan, walaupun berbagai bentuk dan rumusannya. Agama
menurutnya dalam bentuk konsepsi tentang supernatural, jiwa, ruh, Tuhan atau kekuatan
ghaib lainnya. 44 Agama merupakan kekuatan yang esensial untuk meyakini suatu kebenaran
terhadap realitas kehidupan.
KESIMPULAN
Manusia mencapai kepada kebenaran melalui ilmu. Filsafat ilmu mampu menjelaskan
berbagai macam teori untuk memecahkan permasalahan manusia dalam menemukan
kebenaran. Diantara teori kebenaran dalam tinjauan filsafat ilmu adalah teori korespondensi
yaitu kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada kesuaian (correspondence) antara rti yang
dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju oleh pertayaan atau
pendapat tersebut, teori koherensi yaitu bahwa kebenaran ialah kesesuaian antara suatu
pernyataan dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui,
diterima dan diakui sebagai benar, teori pragmatis bahwa realitas merupakan kebenaran, teori
peforma yaitu teori pernyataan yang membentuk suatu realitas dan Agama sebagai teori
kebenaran yang bersifat dogmatis.

44
Bustanudin Agus, Agama dan Kehidupan Manusia…, h. 62
PENUTUP
Demikian penjelasan mengenai teori kebenaran dalam prespektif filsafat ilmu.
Penulis berharap makalah ini memiliki kontribusi terhadap keilmuan yang akan dikembakan
untuk penelitian selanjutnya berkaitan dengan teori kebenaran dalam filsafat Imu.
DAFTAR PUSTAKA

A. Cornelis Benjamin, 1975, Philosophy of Science, Totowa.


Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu; Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers,
2014)
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012
A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan
Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011),
Atabik, Ahmad. Teori Kebenaran Perspektif Filsafat Ilmu. Fikrah, Vol.2, No. 1, Juni 2014
Bustanudin Agus, Agama dan Kehidupan Manusia, Pengantar Antropologi Agama,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006)
Hasbullah Bakry., , 1971, Sistematik Filsafat, Djakarta: Widjaja
Idzam Fautanu, Filsafat Ilmu; Teori dan Aplikasi, (Jakarta: Referensi, 2012)
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2000, cet. ke 13)
Kautsar Azhari Noer, Agama Langit Versus Agama Bumi; Sebuah Telaah atas Klasifikasi
Agama, Titik Temu, (Jurnal Dialog Peradaban 3 No. 3, 2011
Lewis White Beck, 1952, Philosophy Inquiry: an Introduction to Philosophy of Science,
New York: Prentce Hall.
Mayer, Frederick, 1950 A History of Ancient & Medieval Philosophy, New York:
American Book Company.

Mohammad Muslih, 2004, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan
Kerangka Teroi Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar..
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu; Positivisme, Post Positivisme dan Post Modernisme,
(Yogyakarta: Rakesarasin, 2001, Edisi-2)

Paul Edwards, Ed., 1967, The Encyclopedia of Philosophy, New York: The Macmillan
Publishing Co.

Tamrin, Abu. Relasi Ilmu, Filsafat dan Agama Dalam Dimensi Filsafat Ilmu. Jurnal Sosial
& Budaya Syar’I FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Vol. 6 No. 1 (2019),
pp.71-96, DOI: 10.15408/sjsbs.v6i1.10490. Hal 78.

Wilujeng, Sri Rahayu. Ilmu Dalam Prespektif Filsafat. Jurusan Sastra Jepang Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Diponegoro.
Windelband, Wilhelm, 1958, A History of Philosophy, Volume I, New Yoork: Harper
Torch Books.

Zaenal Arifin Abbas, Perkembangan Pikiran terhadap Agama, (Jakarta: Pustaka al-Husna,
1984), Cetakan Kedua.

Anda mungkin juga menyukai