Anda di halaman 1dari 4

KASUS PANDAWA

(Analisis Berdasarkan Paradigma Postpositivisme)

A. Peristiwa Hukum1

KSP Pandawa Mandiri Group (untuk selanjutnya disingkat ”KSP PMG”), lebih
dikenal oleh nasabah atau mitra usahanya dengan sebutan ”Pandawa Group”. Hal ini tidak
terlepas dari sejarah berdirinya KSP PMG. Jauh sebelum KSP PMG ada, Nuryanto selaku
pendiri dari KSP PMG awal mula menjalankan usaha berjualan bubur ayam.

Pada tahun 2009, usaha berjualan bubur ayam oleh Nuryanto berkembang dengan
adanya beberapa orang yang menitipkan modal untuk dikelola oleh Nuryanto dalam
mengembangkan usahanya yang dibantu oleh Istri dan adik-adiknya. Usaha Nuryanto
kemudian berkembang dengan membuka pangkalan bubur ayam baru dan berjualan pecel lele
serta usaha lainnya, yang kemudian dinamakannya sendiri dengan nama ”Pandawa Group”.
Orang pertama yang menitipkan modal ialah H. Ridwan dengan nilai Rp. 10.000.000,-
(sepuluh juta rupiah) yang kemudian diberikan pembagian keuntungan kepada H. Ridwan
oleh Nuryanto sejumlah Rp. 2.000.000,- untuk setiap bulannya selama 3 (tiga) tahun. Seiring
berjalannya waktu semakin bertambah orang yang menitipkan uangnya kepada Nuryanto dan
usaha bubur ayam nuryanto berkembang menjadi 25 gerai/pangkalan.

Kemudian, awal 2013 seluruh usaha bubur ayam milik Nuryanto berhenti beroperasi
karena para karyawannya memilih untuk membuka usaha bubur ayam sendiri. Setelah usaha
bubur ayamnya tutup, Nuryanto masih memegang dana orang-orang yang menitipkan
uangnya sebelumnya kepada dirinya sejumlah Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah).
Dana tersebut kemudian dipinjamkan oleh Nuryanto kepada teman-temannya sesama
pedagang kaki lima dengan yang dijalankan sendiri oleh Nuryanto baik itu dalam hal
penyalurannya maupun penagihan bunga yang diberikannya sebesar 20% (duapuluh persen)
setiap bulannya. Di tahun 2013 tersebut usaha simpan pinjam Nuryanto berkembang hingga
menembus angka 1 Milyar lebih. Dalam menjalankan usaha simpan pinjam, Nuryanto
menggunakan nama yang digunakan sebelumnya yakni ”Pandawa Group” sebagaimana
kesaksiannya di Persidangan. Ketika akan membentuk unit usaha Koperasi Simpan Pinjam
Pandawa Group, tidak bisa dilakukan oleh Nuryanto sebab nama Pandawa Gropu telah

1
Kronologi kejadian ini, bersumber dari keterangan beberapa saksi dalam persidangan terhadap kasus
Pandawa Group di Pengadilan Negeri Depok.

1
digunakan segingga ditambahkan kata mandiri, maka sejak Januari 2015 berdirilah Koperasi
Simpan Pinjam Pandawa mandiri Group.

Sejak 2013, ketika Nuryanto fokus untuk menjalankan usaha simpan pinjamnya, maka
ribuan orang telah bergabung, bahkan hingga saat ini telah ada ratusan ribu orang yang
bergabung untuk menitipkan modalnya kepada KSP PMG dan/atau Nuryanto. Sistem yang
dijalankan oleh Nuryanto berkembang dengan pesat karena menggunakan sistem Multilevel
Marketing yang mengsyaratkan anggota untuk merekrut orang agar mendapatkan penghasilan
yang semakin banyak.

Dari ribuan orang bahkan sampai raturan ribu orang tersebut, sebanyak 26 orang
lainnya ditangkap dan didakwa bersama-sama dengan Nuryanto melakukan tindakan
kejahatan di bidang Perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) Undang-
Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-
Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992
Tentang Perbankan Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Kasus ini sempat menyita perhatian
publik secara nasional dikarenakan korbannya yang begitu banyak dan kerugian yang diderita
cukup besar.

B. Analisis Berdasarkan Paradigma Postpositivisme

Menganalisa suatu persoalan atau peristiwa hukum dapat dilakukan dengan


menggunakan metode penelitian yang umum digunakan. Menurut Satirios Sarantakos, ada
dua tipe penelitian social yang sangat popular yakni positivis (quantitative) dan non-positivis
(qualitative). Penelitian kuantitatif menggunakan prinsip dan teknik teoretis dan metodologis
kuantitatif, dan berfokus antara lain pada kuantifikasi dan statistik. Sedangkan penelitian
kualitatif menggunakan prinsip dan teknik teoretis dan metodologis kuantitatif, dan
memfokuskan antara lain pada kata-kata, makna, gambar dan objek.2 Di saat sekarang ini,
dari kedua jenis penelitian ini, maka quantitative research yang lebih popular dibandingkan
dengan qualitative research.3 Selain itu, Neuman berpendapat bahwa penelitian sosial datang
dalam berbagai bentuk dan ukuran. Kita dapat mengatur penelitian dalam beberapa cara,
seperti eksperimental versus non-eksperimental, studi kasus versus penelitian lintas-kasus,
atau kualitatif versus kuantitatif. Kita dapat mengatur banyak jenis studi di sepanjang lima
dimensi. Dimensi meliputi bagaimana kita menggunakan temuan penelitian dan audiens

2
Satirios Sarantakos, “Social Research – 4th Edition”, Palgrave Macmillan, UK, 2013, hlm. 9.
3
Ibid.

2
utamanya; mengapa kami melakukan penelitian; jumlah kasus dan cara kami memeriksanya;
bagaimana kita menggabungkan waktu; dan memutuskan teknik mana yang digunakan untuk
mengumpulkan data. Peneliti dapat memposisikan studi penelitian tunggal pada masing-
masing dimensi penelitian sosial.4

Salah satu paradigm dalam penelitian social ialah postpositivisme, yang jika
dihubungkan dengan pendapat Sarantakos merupakan bentuk penelitian non-positivis
(qualitative). Salim menjelaskan Postpositivisme sebagai aliran yang ingin memperbaiki
kelemahan-kelemahan Positivisme yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan
langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologi aliran ini bersifat critical realism yang
memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi
suatu hal, yang mustahil bila suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti).
Oleh karena itu secara metodologi pendekatan eksperimental melalui metode triangulation
yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori.5

Selanjutnya dijelaskan secara epistomologis hubungan antara pengamat atau peneliti


dengan objek atau realitas yang diteliti tidaklah bisa dipisahkan, tidak seperti yang diusulkan
aliran Positivisme. Aliran ini menyatakan suatu hal yang tidak mungkin mencapai atau
melihat kebenaran apabila pengamat berdiri di belakang layar tanpa ikut terlibat dengan objek
secara langsung. Oleh karena itu, hubungan antara pengamat dengan objek harus bersifat
interaktif, dengan catatan bahwa pengamat harus bersifat senetral mungkin, sehingga tingkat
subjektivitas dapat dikurangi secara minimal.6

Terkait dengan peristiwa hukum yang ada di atas, kasus tersebut melibatkan raturan
ribu orang, dengan dikepalai oleh satu orang yang bernama Nuryanto. Masing-masing orang
memiliki ukuran skala peran yang berbeda meskipun perannya hampir sama namun dalam
kerangka besarannya maka terdapat perbedaan-perbedaan, khususnya dilihat dari jumlah dana
yang dihimpun oleh jalur kelompok masing-masing orang. Uniknya dari ratusan ribu orang
tersebut hanya ada ratusan orang yang diperiksa dan hanya ada 27 orang yang ditangkap dan
dihukum. Dalam putusan hakim di tingkat pertama ke 27 orang tersebut terbukti melanggar
Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Sebagaimana Telah
Diubah Dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-

4
W. Lawrence Neuman, “Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches -
Seventh Edition”, Pearson Education Limited, Edinburgh, 2014, hlm. 25.
5
Agus Salim, “Teori dan paradigma Penelitian Sosial”, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 2001,
hlm. 40.
6
Ibid.

3
Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Persoalannya ialah bagimana dengan ratusan ribu orang lainnya, yang peranannya sama
meskipun skala perannya berbeda ?. mengapa itu tidak diperiksa ?. lalu mengapa mereka
dibiarkan bebas sementara yang lain di tangkap. Ke 26 orang yang ditangkappun meskipun
peranannya berbeda akan tetapi skala kerugian yang ditimbulkan berbeda namun mereka
semua dihukum dengan hukuman yang sama yakni 8 tahun penjara.

Artinya ialah, dari sudut pandang positivis, maka aparat penegak hukum telah
menjalankan kewajibannya dengan menegakkan ketentuan Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang
No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang
No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Akan tetapi jika dipandang dari sisi paradigma
postpositivis maka pertanyaannya ialah bagaimana dengan ratusan ribu orang yang
peranannya sama namun tidak diproses sama sekali.

Ibarat bermain Judi, maka permainan itu dilarang oleh undang-undang. Jika ada 10
orang yang bermain judi dengan satu bandar, dan dilakukan penegakan hukum dengan
menangkap bandar serta 3 orang yang bermain judi kemudian menyita uang yang digunakan
dalam perjudian. Ke 7 orang lainnya tidak diproses namun justru mengaku sebagai korban
karena uangnya disita. Dalam konteks demikian positivisme mengatakan bahwa penegak
hukum sudah menegakkan hukum dengan menghukum para penjudi. Akan tetapi
postpositivisme menyatakan bahwa itu tidak cukup karena keadilan tidak diberikan merata
untuk mereka semua.

Anda mungkin juga menyukai