Anda di halaman 1dari 10

“THE ENVIRONMENTAL GLOBAL AGENDA’

Intially, the environmental global agenda or more known as 21 Agenda appeared because of
the global commitment in order to overcome the environmental destruction in the world. The
mutually commitment between various countries in this world began through the existence
of conferences, conventions, associations, and the Earth Summit convention (KTT Bumi).
According to to the report of the UN Conference on environment and development, the
environmental global agenda aimed to reach the “change”.
Environmental global agenda in general discuss about :

 Long term environmental strategies in order to achieving sustainable deveopment by


the year 2000 and beyond
 The ways concern for the environment among countries over the world
 The ways and means by which the how international community can deal more
effectively with environment concerns
 To unifiy the perceptions of long term environmental issues and the appropriate
efforts needed to deal with the problems of protecting and enhancing the
environment
The environmental global agenda :
1. Stockholm Conference 1972
Perhatian terhadap masalah lingkungan mulai mendapat perhatian yang serius
semenjak dilangsungkannya “United Nations Conference on the Human Environment”
(Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup) di Stockholm tanggal 5 – 12 Juni 1972.
Konferensi ini atas prakarsa negara-negara maju dan diterima oleh Majelis Umum
PBB. Hari pembukaan konferensi akhirnya ditetapkan sebagai Hari Lingkungan Hidup
Sedunia yaitu 5 Juni.
Konferensi ini menghasilkan :
- Kesepakatan untuk menanggulangi masalah lingkungan yang sedang melanda
dunia.
- mengusulkan berdirinya sebuah badan PBB khusus untuk masalah lingkungan
dengan nama : United Nations Environmental Programme (UNEP).
- Mengembangkan konsep ecodevelopment atau pembangunan berwawasan
ekologi.
Namun dalam perjalanan, ternyata kesepakatan kesepakatan Stockholm tidak bisa
menghentikan masalah lingkungan yang dihadapi dunia. Negara-negara maju masih
meneruskan pola hidup yang mewah dan boros dalam menggunakan energi. Laju
pertumbuhan industri, pemakaian kendaraan bermotor, konsumsi energi meningkat
sehingga limbah yang dihasilkan juga meningkat pula. Sementara negara-negara
berkembang meningkatkan exploatasi Sumber Daya Alamnya untuk meningkatkan
pembangunan dan sekaligus untuk membayar utang luar negerinya. Keterbatasan
kemampuan ekonomi dan teknologi serta kesadaran lingkungan yang masih rendah,
menyebabkan peningkatan pembangunan yang dilakukan tidak disertai dengan
melindungi lingkungan yang memadai. Maka kerusakan sumber daya alam dan
Lingkungan Hidup di negara berkembang juga semakin parah.
2. Nairobi Conference 1982
Sepuluh tahun setelah Stockholm, 105 negara menghadiri konferensi di Nairobi, kenya
pada tanggal 5 Juni 1982 sebagai konverensi dunia PBB yang kedua tentang lingkungan
hidup manusia. Apabila Deklarasi Stockholm lahir di negara maju. Deklarasi Nairobi
lahir di negara berkembang dan dipelopori oleh semangat tinggi kebanyakan negara-
negara berkembang untuk membangun tanpa kerusakan lingkungan. Beberapa isu
yang menjadi pusat perhatian pada konferensi tersebut dan sekarang masih tetap
relevan adalah : (1) masalah atmosfer, seperti menurunya kualitas udara di
permukiman kota, (2) pencemaran lautan oleh minyak bumi dan substansi lainnya; (3)
pencemaran air permukaan dan air tanah; dan (4) degradasi biota daratan dan tata
lingkungan biologis.
Konferensi ini membahas tentang :
- Perlunya pengelolaan lingkungan dan analisis dampak lingkungan serta
pembangunan sosial ekonomi berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
- Menyadari eskalasi masalah lingkungan, mempertegas kerja UNEP sebagai motor
pelaksana komitmen mengenai lingkungan hidup
3. United Nation Convention On Environment and Development (UNCED) 1992
Harapan konferensi stockholm agar lingkungan hidup dunia yang semakin baik yang
ternyata tidak terwujud. Kerusakan lingkungan global semakin parah. Penipisan
lapisan ozon yang berakibat semakin meningkatnya penitrasi sinar ultra violet ke bumi
yang merugikan kehidupan manusia, semakin banyaknya spesies flora dan fauna yang
punah, pemanasan global dan perubahan iklim semakin nyata dan betul-betul sudah
di depan mata. Oleh karena itu masyarakat global memperbaharui kembali tekadnya
untuk menanggulangi kerusakan lingkungan global dengan mengadakan KTT Bumi di
Rio de Jeneiro pada bulan Juni 1992 dengan tema Pembangunan Berkelanjutan
(Sustainable Development). KTT ini kita kenal dengan United Nations Conference on
Environment and Development (UNCED). Secara garis besar ada 5 hal pokok yang
dihasilkan oleh KTT Bumi di Rio de Jeneiro yaitu :
- Deklarasi Rio tentang lingkungan dan pembangunan. Deklarasi ini berisikan 27
prinsip dasar yang menekankan keterkaitan antara pembangunan dan lingkungan
serta pengembangan kemitraan global baru yang adil.
- Konvensi tentang perubahan iklim
- Konvensi tentang keanekaragaman hayati
- Prinsip pengelolaan hutan
- Agenda 21, menyusun program aksi untuk terwujudnya pembangunan
berkelanjutan untuk saat ini dan abad ke 21 : biogeofisik, sosekbud, kelembagaan,
LSM.
4. World Summit On Suistainable Development (WSSD), 2002
WSSD diadakan di Johannesburg, Afrika Selatan pada bulan September 2002. 3 tujuan
utama diselenggarakannya WSSD yaitu :
- Mengevaluasi 10 tahun pelaksanaan agenda 21 dan memperkuat komitmen
politik dalam pelaksanaan agenda 21 di masa datang
- Menyusun program aksi pelaksanaan agenda 21 untuk 10 tahun ke depan
- Mengembangkan kerjasama bilateral dan multilateral
5. Millenium Development Goals, 2000
MDG’s awalnya dikembangkan oleh OECD dan kemudian diadopsi dalam United
Nations Millineum Declaration yang ditandatangani September 2000 oleh 189 negara
maju dan berkembang.
Komitmen dalam MDG’s yang dicetuskan dalam sidang Umum PBB 2000 mencakup:
- Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan,
- Pemenuhan pendidikan dasar untuk semua
- Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan
- Menurunkan angka kematian anak usia di bawah 5 tahun
- Meningkatkan kesehatan ibuMemerangi AIDS/HIV, malaria, dan penyakit
menular lainnya
- Memberikan jaminan akan kelestarian lingkungan hidup
- Mengembangkan kerjasama global dalam pembangunan
Komitmen yang mencakup 8 sasaran tersebut harus dicapai pada tahun 2015 dan
sebagi angka dasar masing-masing sasaran adalah data tahun 1999. Kewajiban
masing-masing negara yang berkomitmen dengan MDG’s adalah melaporkan secara
periodik dengan indikator yang jelas dan terukur.

“CLIMATE CHANGE CONVENTION”

CLIMATE CHANGE

Berbagai penelitian ilmiah mengatakan bahwa karbondioksida (CO2) di lapisan atmosfir yang
merupakan konsekuensi hasil sisa pembakaran dari batu bara, kayu hutan, minyak, dan gas,
telah meningkat hampir mendekati angka 20% sejak dimulainya revolusi industri. Kawasan
perindustrian yang dibangun hampir di seluruh daratan benua dunia telah menghasilkan
limbah “Gas Rumah Kaca” (GRK), seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dan
nitrousoksida (N2O), yang dapat menyebabkan terjadinya “efek rumah kaca”. Efek inilah yang
kemudian mangakibatkan naiknya suhu di permukaan bumi. Observasi lapangan dari stasiun
meteorologi di Kutub Utara telah menunjukan adanya peningkatan temperatur suhu tahunan
hingga 1°C dalam satu tahun terakhir. Dampak buruk dari meningkatnya suhu tersebut adalah
melelehnya gletser (melting of glaciers) dan tenggelamnya bongkahan es di wilayah Alaska
dan Siberia, sehingga dapat menyebabkan naiknya permukaan laut hingga mampu
menenggelamkan pulau-pulau dan menimbulkan banjir besar di berbagai wilayah dataran
rendah. Negara-negara kepulauan seperti Indonesia inilah yang nantinya akan dengan sangat
mudah menerima efek dahsyat akibat meningkatnya ketinggian air laut dan munculnya badai
topan. Naiknya suhu juga memnyebabkan cuaca ekstrem, dan bencana-bencana lain. Yang
pada akhirnya akan berdampak secara langsung kepada sektor ekonomi dan sosial, khusunya
bagi negara-negara berkembang.
CLIMATE CHANGE CONVENTION

Sehingga perlu adanya instrumen hukum internasional maupun nasional untuk melindungi
dan menjaga kelestarian lingkungan dari ancaman perubahan iklim dan pemanasan global
yang semakin memperparah kualitas lingkungan hidup umat manusia.

Maka masyarakat internasional menyepakati sebuah perjanjian internasional yang dikenal


dengan Konvensi Perubahan Iklim 1992. Tujuan dari kesepakatan dokumen tersebut
dipertegas kembali dalam sebuah protokol tambahan yaitu Protokol Kyoto 1997 yang
memuat tentang komitmen pembatasan dan pengurangan emisi oleh negara-negara industri
sebesar 5% di bawah tingkat emisi tahun 1990 dalam periode 2008-2012. Indonesia sebagai
negara yang sedang berkembang merupakan negara yang sangat rentan terhadap dampak
buruk perubahan iklim. Untuk itu, Indonesia meratifikasi Protokol Kyoto pada 24 Juni 2004
dengan urutan negara ke-124 dan mengesahkannya melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun
2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on
Climate Change.

Adapun tujuan utama dari Konvensi Perubahan Iklim sebagaimana tercantum dalam Pasal 2,
yaitu untuk mestabilkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer pada tingkat tertentu
dari kegiatan manusia yang membahayakan sistem iklim. Guna mencapai tujuan tersebut
disepakatilah prinsip-prinsip dasar Konvensi yang menekankan pada prinsip kesetaraan
(equality principle) dan prinsip kehati-hatian (precautionary principle), seperti misalnya
tercantum dalam Pasal 3 yang menyatakan bahwa setiap Pihak memiliki tanggung jawab
umum yang sama, namun secara khusus harus dibedakan sesuai dengan kemampuannya
(common but differentiated responsibilities).

Seluruh ketentuan kewajiban yang terdapat di Pasal 4 dalam Konvensi tersebut berlaku
terhadap seluruh pihak, salah satunya yaitu kerjasama untuk saling mengembangkan dan
saling berbagi penelitian ilmiah, teknologi, informasi sosio-ekonomi dan hukum yang terkait
dengan sistem iklim dan perubahan iklim, termasuk terhadap konsekuensi ekonomi dan sosial
dari berbagai strategi kebijakan. Namun demikian, terdapat perbedaan kewajiban antara
negaranegara industri (Annex I dan Annex II) dengan negara-negara berkembang, dimana
negaranegara Annex I secara kolektif berkewajiban untuk menurunkan emisinya sebesar 5%
dari tingkat emisi pada tahun 1990 dalam kurun waktu tahun 2008 s.d. 2012. Yang dimaksud
dengan Negara-negara Annex-I adalah Negara-negara yang telah mengkontribusikan gas rumah kaca
sejak revolusi industri tahun 1850-an. Ada 40 negara yang masuk dalam Annex-I atau negara-negara
industri dan negara-negara maju contohnya Belgia, Bulgaria, Kanada, inlandia, Perancis, Jerman, Italia,
Jepang, Luksemburg, Monako, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Polandia, Portugal, Rumania, Rusia,
Inggris, etc. Sedangkan untuk negara annex 2 terdiri dari G77 + Cina (131 negara), OPEC (11
negara), GRULAC (33 negara), Kelompok Afrika (53 negara), AOSIS (42 negara), dan CEIT (11
negara).

Protokol Kyoto dijadikan kesepakatan internasional untuk meletakan komitmen bersama


dalam mengurangi emisi GRK dengan cara mengatur soal pengurangannya secara lebih tegas
dan terikat hukum. Walaupun Protokol Kyoto mengatur ketentuan pengurangan emisi GRK
hanya selama periode pertama dari tahun 2008 hingga 2012, namun target jangka
panjangnya
adalah adanya pengurangan rata-rata cuaca global antara 0,02°C dan 0,28°C pada tahun
2050.

Protokol Kyoto ditandatangani pada tanggal 11 Desember 1997 dan mulaiditerapkan pada
tanggal 16 Februari 2005 . Sampai tahun 2008 ini, ada 183 negara yang telah meratifikasi
Protokol Kyoto.

Mekanisme Protokol Kyoto


Protokol Kyoto memiliki beberapa yang dikenal sebagai ―mekanisme fleksibel‖ (flexible
mechanisms). Adapun ketiga mekanisme tersebut antara lain:
 Emissions Trading (Perdagangan Emisi)
Emissioins Trading, atau yang lebih dikenal dengan istilah Carbon Trading, merupakan
mekanisme yang disetujui oleh negara-negara Annex II dalam Protokol Kyoto yang bertujuan
untuk mengurangi emisi. Mekanisme ini terdapat dalam pasal 17 Protokol Kyoto. Dalam
Carbon Trading ini, negara-negara yang memiliki kelebihan kuota emisi, dapat ―berbagi‖
dengan negara-negara maju yang telah kehabisan jatah emisi karbon. Negara-negara maju
dapat membeli emisi karbon yang tersisa dari negara-negara berkembang sehingga mereka
tetap dapat melanjutkan produksi tanpa terkena sanksi dari Komite Kepatuhan Protokol
Kyoto. Emissions Trading ini memang lebih dikenal sebagai Carbon Trading karena karbon
merupakan gas rumah kaca paling berbahaya dari gas-gas lainnya dan paling banyak
penyebarannya. Bahkan sampai ada yang dinamakan sebagai ―pasar karbon‖, dimana
jumlah emisi gas dapat diperjualbelikan antar negara.
Aktivitas penyaluran dana dari negara-negara penghasil emisi karbon kepada negara-negara
yang memiliki potensi sumberdaya alam untuk mampu menyerap emisi karbon secara alami
dengan tujuan “Pengurangan” emisi karbon.
Jika sebuah negara menghasilkan gas rumah kaca dibawah yang telah ditentukan, maka negara tersebt
dapat menjual jatah emisi tersebut ke negara – negara lain yang tidak mampu memenuhi jumlah
penggunaan gas rumah kaca sesuai dengan yang telah disepakati.

 Clean Development Mechanism (CDM)


CDM dapat ditemukan dalam pasal 12 dari Protokol Kyoto. CDM mengizinkan negara-negara
yang sudah mencapai ambang batas jumlah emisi (negara-negara Annex II) untuk membantu
negara-negara berkembang dalam proyek pengurangan emisi mereka. Proyek tersebut dapat
menghasilkan angka Certified Emission Reduction (CER), dimana kesetaraannya sama dengan
satu ton CO2 yang dapat diukur dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya. Mekanisme ini
dilihat sebagai terobosan baru dalam investasi lingkungan global dan angka kredit dapat
dinilai sebagai alat ganti rugi. Aktivitas-aktivitas dari CDM meliputi, misalnya, penggunaan
energi surya sebagai bahan bakar atau instalasi listrik yang lebih efisien. Mekanisme ini
dimulai pada tahun 2006 dengan lebih dari 1000 proyek yang telah didaftarkan dan dapat
menghasilkan CER sebanyak lebih dari 2,7 milyar ton (setara dengan CO2) yang didedikasikan
pada periode awal Protokol Kyoto 2008 – 2012.
“Sebagai contoh, di Indonesia,
apabila masyarakat dan industri dapat bekerja sama untuk memulihkan jutaan hektar hutan yang
rusak, mereka dapat menghasilkan uang dari penjualan kredit karbon sekaligus juga dapat
membantu untuk mengurangi emisi karbon yang dihasilkan. Dengan mengurangi kemiskinan
masyarakat pedesaan dan mengelola hutan secara benar, akan banyak keuntungan yang dapat
diperoleh, seperti misalnya mengurangi konflik akibat terbatasnya sumber daya alam, mengurangi
penebangan liar dan mengurangi penggunaan api untuk pembersihan lahan.

 Joint Implementation

JI merupakan salah satu mekanisme Protokol Kyoto yang terdapat dalam artikel 6 yang
menyatakan bahwa untuk mecapai target pengurangan emisi seperti yang terdapat pada
artikel 3, maka Negara-negara Annex I (beserta perusahaan-perusahaan atau firma-firma
yang terdapat dalam Negara-negara ini) dapat mentrasfer atau menerima dari pihak lain,
ERUs (Emissions Reduction Units) yang dihasilkan dari proyek-proyek yang bertujuan
mengurangi emisi yang disebabkan kegiatan manusia (antropogenik), dan penerimaan
dari ERUs akan menjadi suplemen terhadap tindakan-tindakan domestic untuk mencapai
komitmen yang terdapat dalam artikel 3 tersebut. JI merupakan aktivitas yang berbasis
proyek dimana suatu Negara dapat menerima ERUs ketika Negara itu memberikan
bantuan dana kepada proyek-proyek pengurangan emisi yang dilakukan oleh Negara lain.

Sebagai salah satu mekanisme Protokol Kyoto yang berbasis pasar, maka JI yang sering
disebut sebagai AIJ (Activities Implemented Jointly), dianggap dapat mengkombinasikan
keuangan internasional dan kerjasama antar Negara untuk mengurangi emisi gas rumah
kaca. Negara-negara seperti Amerika Serikat yang tergabung dalam Umbrella Group
menginginkan agar mekanisme JI diperluas lagi dalam pasar kuota, kredit dan debit yang
dapat diperdagangkan dalam usaha pengurangan emisi gas rumah kaca, sehingga
keuangan akan menjadi lebih fleksibel dan berbasis pasar. Hal ini menyebabkan beberapa
kelompok lingkungan menjadi skeptic terhadap mekanisme karena system-sistem yang
ada dapat dieksploitasi oleh pemerintah yang lebih berorientasi pada bisnis, yang
menginginkan lebih sedikit biaya yang dikeluarkan untuk mencapai komitmen
internasional mereka dalam masalah lingkungan. Meskipun begitu, masih ada kelompok
yang menganggap JI dapat menambah potensi untuk meninggalkan command and control
approach dan menciptakan motif-motif baru untuk perilaku terhadap emisi gas rumah
kaca yang lebih bertanggung jawab.

Ketiga mekanisme di atas dimaksudkan untuk memudahkan negara-negara dalam mematuhi


pasal-pasal perjanjian Protokol Kyoto. Dengan demikian, emisi gas rumah kaca dapat dikurangi
sehingga lingkungan dapat diselamatkan dengan segera. Memang, ketiga mekanisme di atas akan
sangat banyak menguntugkan negara-negara maju. Namun, dengan adanya mekanisme
tersebutlah maka negara-negara maju tidak akan merasa terlalu dirugikan.

Dampak dalam politik dan hukum

Secara hukum ratifikasi atau pengesahan suatu konvensi tidak selalu ditindaklanjuti
dengan pengesahan protokolnya. Jika ternyata ada negara yang mengesahkan konvensi, tetapi
menolak protokolnya, itu adalah hak negara tersebut karena menurut pertimbangannya
terdapat hal-hal yang merugikan. Dengan kata lain, perlu tidaknya pengesahan adalah
kedaulatan setiap negara yang di dasari berbagai pertimbangan, termasuk pertimbangan-
pertimbangan politis, hukum nasional, dan finansial serta peluang melakukan pengembangan
bisnis. dampak politis yaitu sehubungan dengan relasi kita dengan negara berkembang
lainnya, dampak hukum nasional dan lokal sehubungan dengan tatanan peraturan secara
sektoral, dan keberadaan pemerintah di daerah.
Secaran konstitusional, pengesahan protokol kyoto sebenarnya dapat dilakukan
dengan keputusan presiden, apalagi konvensinya telah diratifikasi dengan UU No 6/1994.
Namun demikian, menurut UU No 24/2000 tentang perjanjian internasional, diamanatkan
bahwa untuk pengesahan perjanjian internasional tentang lingkungan hidup harus dilakukan
dengan UU.

Dampak bisnis
Pasar Karbon Global
Untuk mencapai target penirunan emisinya negara-negara industri dapat
melakukannya secara domestik, tetapi dapat dipastikan bahwa cara tersebut akan memakan
biaya yang tinggi. Oleh karena itu, mereka akan pergi ke pasar karbon global di luar negeri
melalui proyek-proyek investasi baru di berbagai sektor dengan menggunakan mekanisme
kyoto (JI, ET, dan CDM). Sektor-sektor yang dapat menurunkan emisi antara lain ialah
energi, industri, transportasi, kehutanan, pertanian, dan limbah domestik. Dalam mekanisme
kyoto, proyek yang absah akan menghasilkan CER bagi investor, sementara tuan rumah akan
mendapatkan dana tambahan investasi yang sesuai dengan banyaknya GRK setara karbon
yang direduksi dan jumlahnya akan disahkan oleh badan pelaksana CDM yang telah
terbentuk dalam CoP7.
Sebagai negara berkembang indonesia tidak memiliki kewajiban untuk menurunkan
emisinya, tetapi dapat berpartisipasi melalui CDM.

Dampak Kelembagaan dan SDM


Agar indonesia dapat berpartisipasi dalam kegiatan CDM, maka langkah awal yang
harus dilakukan adalah mengesahkan protokol kyoto. Kemudian di susul dengan penyusunan
peraturan/per-undangan yang akan belaku secara nasional dan dirancang untuk memperlancar
implementasi protokol. Jadi, pengesahan protokol adalah prasyarat mutlak untuk dapat
berpartisipasi dalam kegiatan CDM.

Tindakan tersebut juga akan dilakukan oleh pemerintah daerah (provinsi, kabupaten,
dan kota). Oleh karena itu, pemerintah pusat juga perlu melakukan sosialisasi agar
pemerintah daerah juga memiliki pemahaman yang sama tentang implementasi protokol
melalui CDM. Kerangka peraturan di daerah yang kondusif akan memberikan daya tarik
tertentu bagi kemungkinan investasi. Mengingat kemungkinan investasi CDM juga dapat
meliputi beberapa daerah yang bertetangga, maka peraturan di beberapa daerah yang
harmonis juga dapat menjadi daya tarik yang lain.

THE CHALLENGE OF KYOTO PROTOCOL

Penolakan Amerika Serikat untuk Meratifikasi Protokol Kyoto

Hingga kini, Salah satu negara besar yang paling signifikan pengaruhnya untuk mewujudkan
misi Protokol Kyoto dengan mengurangi emisi dunia adalah Amerika Serikat. Amerika Serikat,
selaku penyumbang emisi terbesar dunia, hingga kini belum meratifikasi Protokol Kyoto.
Inilah yang merupakan tantangan terbesar dari Protokol Kyoto, membuat negara
penyumbang emisi terbesar dunia seperti Amerika Serikat bersedia meratifikasi Protokol
Kyoto dan dengan itu mengurangi tingkat polusinya.
Alasan Amerika tidak meratifikasi protokol kyoto :
- alasan ekonomi.
Bush mengatakan, Kyoto Protokol hanya akan membahayakan kondisi perekonomian
dan kondisi perburuhan mereka. Pemaksaan pengurangan emisi akan menyebabkan
produktivitas industri Amerika Serikat menurun, karena emisi merupakan produk
sampingan dari hasil produksi industri-industri. Dan pengurangan emisi berarti sama
dengan mengurangi kegiatan produksi itu sendiri. Pengurangan kegiatan produksi
tentu akan berdampak buruk pada perekonomian mereka, apalagi Protokol Kyoto
mewajibkan Amerika Serikat mengurangi sampai 30%-an dari emisinya, jumlah yang
sangat besar yang tentu akan mempengaruhi perekonomian Amerika Serikat.
Menurunnya kegiatan perekonomian pada akhirnya akan berdampak pada penurunan
kehidupan buruh, yang upahnya berasal dari persentase hasil produksi suatu pabrik.
Penurunan hasil produksi yang diakibatkan penurunan emisi pabrik kemudian akan
berdampak pada penurunan upah buruh, yang lantas berdampak pada buruknya
standar kehidupan rakyat Amerika secara keseluruhan. Sehingga dapat disimpulkan
alasan pertama Amerika Serikat tidak mau meratifikasi Protokol Kyoto adalah karena
Protokol Kyoto dinilai akan menghancurkan kehidupan ekonomi dan kehidupan sosial
rakyat Amerika Serikat
- Alasan kedua Amerika Serikat dan beberapa negara maju lain tidak mau meratifikasi
Protokol Kyoto adalah karena Protokol Kyoto tidak mewajibkan negara berkembang
untuk mengurangi emisi, seperti yang diwajibkan Protokol Kyoto pada negara maju.
Beberapa negara maju merasa hal itu tidak adil, karena menurut mereka negara
berkembang merupakan penyumbang emisi yang cukup besar di dunia. Protokol
Kyoto dinilai seakan menutup mata pada emisi dari negara berkembang—termasuk di
dalamnya Cina, Rusia, India, dan Brazil—dan cenderung menyalahkan negara maju
atas semua kadar emisi dunia. Penegasan terhadap emisi negara berkembang pada
akhirnya akan membuat usaha negara maju mengurangi emisi mereka pada akhirnya
tidak berguna, karena diperkirakan negara berkembang akan menghasilkan tingkat
emisi lebih tinggi dibanding negara-negara industri yang dikenai kewajiban
mengurangi emisinya pada 20209. Selain itu, jumlah penduduk yang besar dari negara
berkembang juga seharusnya mampu mengurangi emisi karbon dunia.
- Protokol Kyoto juga, menurut Amerika Serikat, memiliki banyak kelemahan dari segi
struktur dan substansi. Salah satunya adalah Protokol Kyoto dinilai salah dalam
menentukan sasaran yang hanya berfokus pada pengurangan emisi CO2, padahal
banyak gas rumah kaca lain yang perlu mendapat perhatian; Protokol Kyoto dinilai
cacat tujuan (misobjective) dan Amerika Serikat menyebut Protokol Kyoto sebagai
perjanjian yang cacat (flawed agreement) dan karenanya menolak meratifikasinya.
Amerika Serikat juga menegasi fakta-fakta yang ditawarkan ilmuwan dan para
pemerhati lingkungan bahwa pengurangan emisi akan menyumbangkan usaha
signifikan dalam mengatasi kerusakan lingkungan akibat perubahan iklim. Menurut
Amerika Serikat, usaha pengurangan emisi tidak akan memberikan dampak signifikan
pada kerusakan akibat perubahan iklim, malah upaya pengurangan emisi ini akan
mendatangkan akibat baru, misalnya akibat ekonomi dan sosial yang telah disebutkan
sebelumnya.
- Alasan keempat Amerika Serikat tidak mau meratifikasi Protokol Kyoto adalah karena
Protokol Kyoto mempunyai unsur memaksa, Amerika Serikat dipaksa untuk
mengurangi kadar emisinya, padahal di satu sisi Amerika Serikat merasa tidak
mendapat insentif apa-apa yang dapat menariknya untuk ikut meratifikasi Protokol
Kyoto. Unsur pemaksaan di sini merupakan salah satu alasan utama, karena jika mau
dibandingkan dengan Protokol Montreal dan kerjasama AP6—dua perjanjian yang
sudah diratifikasi Amerika Serikat, padahal keduanya sama-sama bertujuan
mengurangi tingkat emisi dunia seperti Protokol Kyoto—Protokol Kyoto memiliki
unsur pemaksaan di dalamnya, dan ini yang tidak disukai Amerika Serikat. Amerika
Serikat ingin agar dirinya diberi kebebasan untuk melakukan caranya sendiri dalam
melindungi lingkungan hidup.

BUT...... IN FACT
alasan yang membuat AS dan negara maju menolak peratifikasian Protokol Kyoto tidak valid dan
kurang kuat dalam menjelaskan ketidakbersediaan mereka meratifikasi Protokol Kyoto, karena
menurut penulis, semua alasan yang dikemukakan di atas bukanlah alasan sebenarnya. Alasan
pertama, saat AS mengatakan peratifikasian Protokol Kyoto akan berdampak buruk pada
kehidupan ekonomi dan sosial rakyatnya, penulis menilai hal tersebut sebenarnya bisa diatasi
dengan meningkatkan usaha-usaha lain yang tidak menggunakan bahan bakar yang menghasilkan
emisi. Amerika Serikat bisa mengantisipasi akibat dari pengurangan emisi itu dengan dua cara.
Cara pertama adalah, melakukan berbagai riset teknologi yang memungkinkan industri-industri
untuk menggunakan berbagai bahan bakar yang memang tidak menghasilkan emisi sebanyak bahan
bakar yang kini biasa digunakan, misalnya dengan menggunakan bahan bakar biofuel yang akan
menghasilkan emisi CO2 yang lebih sedikit dibanding bahan bakar minyak. Cara kedua adalah, AS
dapat mengantisipasi pengurangan produktivitas yang lantas berdampak pada menurunnya upah
buruh dengan lebih mengembangkan industri kecil dan menengah yang tidak menggunakan mesin-
mesin pabrik dan lebih menggunakan keterampilan tangan, sehingga tidak menghasilkan emisi
yang berbahaya.
Alasan kedua yang menyebabkan Amerika Serikat menolak peratifikasian Protokol Kyoto adalah
karena Protokol Kyoto tidak memberi kewajiban bagi negara berkembang untuk mengurangi emisi.
Penulis menilai, alasan ini tidak masuk akal karena memang negara berkembang merupakan negara
yang perekonomiannya tidak tergantung pada industri dan karenanya negara berkembang memang
tidak menghasilkan polutan sebanyak yang dihasilkan negara maju, terutama Amerika Serikat yang
kehidupan perekonomiannya memang berfokus pada perindustrian. Sehingga penulis menilai, di
sini memang negara berkembang tidak mempunyai kewajiban untuk mengurangi emisi karena
memang emisi yang dihasilkan negara berkembang berjumlah sedikit—bahkan bila semua emisi
negara berkembang digabung.
Alasan ketiga yang penulis lihat paling tidak rasional adalah anggapan bahwa Protokol Kyoto
merupakan produk perjanjian yang cacat (flawed agreement) dan bahwa Protokol Kyoto cacat
secara tujuan (misobjective) karena dinilai hanya berkonsentrasi pada
pengurangan gas CO2 tanpa peduli pada gas rumah kaca lain. Berdasarkan data bahwa 60% dari
gas rumah kaca terdiri dari CO210, dapat disimpulkan CO2 merupakan gas rumah kaca utama yang
turut menyumbang pada terjadinya pemanasan global, dan karena CO2 memang merupakan gas
utama terbanyak penyusun gas rumah kaca, tepatlah kiranya agar usaha pengurangan emisi lebih
diarahkan pada upaya pengurangan CO2. Dan lagi, penegasian Amerika Serikat bahwa
pengurangan emisi akan tidak memberikan dampak signifikan bagi perbaikan lingkungan akibat
perubahan iklim tidaklah benar karena berbagai ilmuwan sudah membuktikan dengan berbagai
riset bahwa emisi CO2 yang meningkat jelas memperparah kondisi pemanasan global dunia.
Unsur pemaksaan yang disebutkan Amerika Serikat dalam alasan terakhir juga, penulis rasa,
hanya merupakan dalih semata karena terbukti, tanpa adanya pemaksaan, Amerika Serikat
terbukti tidak melakukan kewajibannya mengurangi tingkat emisi (berdasarkan Protokol
Montreal dan AP6 yang disetujuinya). Di sini penulis melihat unsur pemaksaan dalam Protokol
Kyoto memanglah unsur yang penting dan harus ada untuk menjamin terlaksananya visi-misi
Protokol Kyoto, untuk mengikat anggota yang meratifikasinya.

- Kanada keluar dari kyoto protocol


Karena kanada menilai kyoto protokol tidak mencapai goalsnya. Sehingga sgt
disayangkan oleh negara-negara lainnya

Anda mungkin juga menyukai