Intially, the environmental global agenda or more known as 21 Agenda appeared because of
the global commitment in order to overcome the environmental destruction in the world. The
mutually commitment between various countries in this world began through the existence
of conferences, conventions, associations, and the Earth Summit convention (KTT Bumi).
According to to the report of the UN Conference on environment and development, the
environmental global agenda aimed to reach the “change”.
Environmental global agenda in general discuss about :
CLIMATE CHANGE
Berbagai penelitian ilmiah mengatakan bahwa karbondioksida (CO2) di lapisan atmosfir yang
merupakan konsekuensi hasil sisa pembakaran dari batu bara, kayu hutan, minyak, dan gas,
telah meningkat hampir mendekati angka 20% sejak dimulainya revolusi industri. Kawasan
perindustrian yang dibangun hampir di seluruh daratan benua dunia telah menghasilkan
limbah “Gas Rumah Kaca” (GRK), seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dan
nitrousoksida (N2O), yang dapat menyebabkan terjadinya “efek rumah kaca”. Efek inilah yang
kemudian mangakibatkan naiknya suhu di permukaan bumi. Observasi lapangan dari stasiun
meteorologi di Kutub Utara telah menunjukan adanya peningkatan temperatur suhu tahunan
hingga 1°C dalam satu tahun terakhir. Dampak buruk dari meningkatnya suhu tersebut adalah
melelehnya gletser (melting of glaciers) dan tenggelamnya bongkahan es di wilayah Alaska
dan Siberia, sehingga dapat menyebabkan naiknya permukaan laut hingga mampu
menenggelamkan pulau-pulau dan menimbulkan banjir besar di berbagai wilayah dataran
rendah. Negara-negara kepulauan seperti Indonesia inilah yang nantinya akan dengan sangat
mudah menerima efek dahsyat akibat meningkatnya ketinggian air laut dan munculnya badai
topan. Naiknya suhu juga memnyebabkan cuaca ekstrem, dan bencana-bencana lain. Yang
pada akhirnya akan berdampak secara langsung kepada sektor ekonomi dan sosial, khusunya
bagi negara-negara berkembang.
CLIMATE CHANGE CONVENTION
Sehingga perlu adanya instrumen hukum internasional maupun nasional untuk melindungi
dan menjaga kelestarian lingkungan dari ancaman perubahan iklim dan pemanasan global
yang semakin memperparah kualitas lingkungan hidup umat manusia.
Adapun tujuan utama dari Konvensi Perubahan Iklim sebagaimana tercantum dalam Pasal 2,
yaitu untuk mestabilkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer pada tingkat tertentu
dari kegiatan manusia yang membahayakan sistem iklim. Guna mencapai tujuan tersebut
disepakatilah prinsip-prinsip dasar Konvensi yang menekankan pada prinsip kesetaraan
(equality principle) dan prinsip kehati-hatian (precautionary principle), seperti misalnya
tercantum dalam Pasal 3 yang menyatakan bahwa setiap Pihak memiliki tanggung jawab
umum yang sama, namun secara khusus harus dibedakan sesuai dengan kemampuannya
(common but differentiated responsibilities).
Seluruh ketentuan kewajiban yang terdapat di Pasal 4 dalam Konvensi tersebut berlaku
terhadap seluruh pihak, salah satunya yaitu kerjasama untuk saling mengembangkan dan
saling berbagi penelitian ilmiah, teknologi, informasi sosio-ekonomi dan hukum yang terkait
dengan sistem iklim dan perubahan iklim, termasuk terhadap konsekuensi ekonomi dan sosial
dari berbagai strategi kebijakan. Namun demikian, terdapat perbedaan kewajiban antara
negaranegara industri (Annex I dan Annex II) dengan negara-negara berkembang, dimana
negaranegara Annex I secara kolektif berkewajiban untuk menurunkan emisinya sebesar 5%
dari tingkat emisi pada tahun 1990 dalam kurun waktu tahun 2008 s.d. 2012. Yang dimaksud
dengan Negara-negara Annex-I adalah Negara-negara yang telah mengkontribusikan gas rumah kaca
sejak revolusi industri tahun 1850-an. Ada 40 negara yang masuk dalam Annex-I atau negara-negara
industri dan negara-negara maju contohnya Belgia, Bulgaria, Kanada, inlandia, Perancis, Jerman, Italia,
Jepang, Luksemburg, Monako, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Polandia, Portugal, Rumania, Rusia,
Inggris, etc. Sedangkan untuk negara annex 2 terdiri dari G77 + Cina (131 negara), OPEC (11
negara), GRULAC (33 negara), Kelompok Afrika (53 negara), AOSIS (42 negara), dan CEIT (11
negara).
Protokol Kyoto ditandatangani pada tanggal 11 Desember 1997 dan mulaiditerapkan pada
tanggal 16 Februari 2005 . Sampai tahun 2008 ini, ada 183 negara yang telah meratifikasi
Protokol Kyoto.
Joint Implementation
JI merupakan salah satu mekanisme Protokol Kyoto yang terdapat dalam artikel 6 yang
menyatakan bahwa untuk mecapai target pengurangan emisi seperti yang terdapat pada
artikel 3, maka Negara-negara Annex I (beserta perusahaan-perusahaan atau firma-firma
yang terdapat dalam Negara-negara ini) dapat mentrasfer atau menerima dari pihak lain,
ERUs (Emissions Reduction Units) yang dihasilkan dari proyek-proyek yang bertujuan
mengurangi emisi yang disebabkan kegiatan manusia (antropogenik), dan penerimaan
dari ERUs akan menjadi suplemen terhadap tindakan-tindakan domestic untuk mencapai
komitmen yang terdapat dalam artikel 3 tersebut. JI merupakan aktivitas yang berbasis
proyek dimana suatu Negara dapat menerima ERUs ketika Negara itu memberikan
bantuan dana kepada proyek-proyek pengurangan emisi yang dilakukan oleh Negara lain.
Sebagai salah satu mekanisme Protokol Kyoto yang berbasis pasar, maka JI yang sering
disebut sebagai AIJ (Activities Implemented Jointly), dianggap dapat mengkombinasikan
keuangan internasional dan kerjasama antar Negara untuk mengurangi emisi gas rumah
kaca. Negara-negara seperti Amerika Serikat yang tergabung dalam Umbrella Group
menginginkan agar mekanisme JI diperluas lagi dalam pasar kuota, kredit dan debit yang
dapat diperdagangkan dalam usaha pengurangan emisi gas rumah kaca, sehingga
keuangan akan menjadi lebih fleksibel dan berbasis pasar. Hal ini menyebabkan beberapa
kelompok lingkungan menjadi skeptic terhadap mekanisme karena system-sistem yang
ada dapat dieksploitasi oleh pemerintah yang lebih berorientasi pada bisnis, yang
menginginkan lebih sedikit biaya yang dikeluarkan untuk mencapai komitmen
internasional mereka dalam masalah lingkungan. Meskipun begitu, masih ada kelompok
yang menganggap JI dapat menambah potensi untuk meninggalkan command and control
approach dan menciptakan motif-motif baru untuk perilaku terhadap emisi gas rumah
kaca yang lebih bertanggung jawab.
Secara hukum ratifikasi atau pengesahan suatu konvensi tidak selalu ditindaklanjuti
dengan pengesahan protokolnya. Jika ternyata ada negara yang mengesahkan konvensi, tetapi
menolak protokolnya, itu adalah hak negara tersebut karena menurut pertimbangannya
terdapat hal-hal yang merugikan. Dengan kata lain, perlu tidaknya pengesahan adalah
kedaulatan setiap negara yang di dasari berbagai pertimbangan, termasuk pertimbangan-
pertimbangan politis, hukum nasional, dan finansial serta peluang melakukan pengembangan
bisnis. dampak politis yaitu sehubungan dengan relasi kita dengan negara berkembang
lainnya, dampak hukum nasional dan lokal sehubungan dengan tatanan peraturan secara
sektoral, dan keberadaan pemerintah di daerah.
Secaran konstitusional, pengesahan protokol kyoto sebenarnya dapat dilakukan
dengan keputusan presiden, apalagi konvensinya telah diratifikasi dengan UU No 6/1994.
Namun demikian, menurut UU No 24/2000 tentang perjanjian internasional, diamanatkan
bahwa untuk pengesahan perjanjian internasional tentang lingkungan hidup harus dilakukan
dengan UU.
Dampak bisnis
Pasar Karbon Global
Untuk mencapai target penirunan emisinya negara-negara industri dapat
melakukannya secara domestik, tetapi dapat dipastikan bahwa cara tersebut akan memakan
biaya yang tinggi. Oleh karena itu, mereka akan pergi ke pasar karbon global di luar negeri
melalui proyek-proyek investasi baru di berbagai sektor dengan menggunakan mekanisme
kyoto (JI, ET, dan CDM). Sektor-sektor yang dapat menurunkan emisi antara lain ialah
energi, industri, transportasi, kehutanan, pertanian, dan limbah domestik. Dalam mekanisme
kyoto, proyek yang absah akan menghasilkan CER bagi investor, sementara tuan rumah akan
mendapatkan dana tambahan investasi yang sesuai dengan banyaknya GRK setara karbon
yang direduksi dan jumlahnya akan disahkan oleh badan pelaksana CDM yang telah
terbentuk dalam CoP7.
Sebagai negara berkembang indonesia tidak memiliki kewajiban untuk menurunkan
emisinya, tetapi dapat berpartisipasi melalui CDM.
Tindakan tersebut juga akan dilakukan oleh pemerintah daerah (provinsi, kabupaten,
dan kota). Oleh karena itu, pemerintah pusat juga perlu melakukan sosialisasi agar
pemerintah daerah juga memiliki pemahaman yang sama tentang implementasi protokol
melalui CDM. Kerangka peraturan di daerah yang kondusif akan memberikan daya tarik
tertentu bagi kemungkinan investasi. Mengingat kemungkinan investasi CDM juga dapat
meliputi beberapa daerah yang bertetangga, maka peraturan di beberapa daerah yang
harmonis juga dapat menjadi daya tarik yang lain.
Hingga kini, Salah satu negara besar yang paling signifikan pengaruhnya untuk mewujudkan
misi Protokol Kyoto dengan mengurangi emisi dunia adalah Amerika Serikat. Amerika Serikat,
selaku penyumbang emisi terbesar dunia, hingga kini belum meratifikasi Protokol Kyoto.
Inilah yang merupakan tantangan terbesar dari Protokol Kyoto, membuat negara
penyumbang emisi terbesar dunia seperti Amerika Serikat bersedia meratifikasi Protokol
Kyoto dan dengan itu mengurangi tingkat polusinya.
Alasan Amerika tidak meratifikasi protokol kyoto :
- alasan ekonomi.
Bush mengatakan, Kyoto Protokol hanya akan membahayakan kondisi perekonomian
dan kondisi perburuhan mereka. Pemaksaan pengurangan emisi akan menyebabkan
produktivitas industri Amerika Serikat menurun, karena emisi merupakan produk
sampingan dari hasil produksi industri-industri. Dan pengurangan emisi berarti sama
dengan mengurangi kegiatan produksi itu sendiri. Pengurangan kegiatan produksi
tentu akan berdampak buruk pada perekonomian mereka, apalagi Protokol Kyoto
mewajibkan Amerika Serikat mengurangi sampai 30%-an dari emisinya, jumlah yang
sangat besar yang tentu akan mempengaruhi perekonomian Amerika Serikat.
Menurunnya kegiatan perekonomian pada akhirnya akan berdampak pada penurunan
kehidupan buruh, yang upahnya berasal dari persentase hasil produksi suatu pabrik.
Penurunan hasil produksi yang diakibatkan penurunan emisi pabrik kemudian akan
berdampak pada penurunan upah buruh, yang lantas berdampak pada buruknya
standar kehidupan rakyat Amerika secara keseluruhan. Sehingga dapat disimpulkan
alasan pertama Amerika Serikat tidak mau meratifikasi Protokol Kyoto adalah karena
Protokol Kyoto dinilai akan menghancurkan kehidupan ekonomi dan kehidupan sosial
rakyat Amerika Serikat
- Alasan kedua Amerika Serikat dan beberapa negara maju lain tidak mau meratifikasi
Protokol Kyoto adalah karena Protokol Kyoto tidak mewajibkan negara berkembang
untuk mengurangi emisi, seperti yang diwajibkan Protokol Kyoto pada negara maju.
Beberapa negara maju merasa hal itu tidak adil, karena menurut mereka negara
berkembang merupakan penyumbang emisi yang cukup besar di dunia. Protokol
Kyoto dinilai seakan menutup mata pada emisi dari negara berkembang—termasuk di
dalamnya Cina, Rusia, India, dan Brazil—dan cenderung menyalahkan negara maju
atas semua kadar emisi dunia. Penegasan terhadap emisi negara berkembang pada
akhirnya akan membuat usaha negara maju mengurangi emisi mereka pada akhirnya
tidak berguna, karena diperkirakan negara berkembang akan menghasilkan tingkat
emisi lebih tinggi dibanding negara-negara industri yang dikenai kewajiban
mengurangi emisinya pada 20209. Selain itu, jumlah penduduk yang besar dari negara
berkembang juga seharusnya mampu mengurangi emisi karbon dunia.
- Protokol Kyoto juga, menurut Amerika Serikat, memiliki banyak kelemahan dari segi
struktur dan substansi. Salah satunya adalah Protokol Kyoto dinilai salah dalam
menentukan sasaran yang hanya berfokus pada pengurangan emisi CO2, padahal
banyak gas rumah kaca lain yang perlu mendapat perhatian; Protokol Kyoto dinilai
cacat tujuan (misobjective) dan Amerika Serikat menyebut Protokol Kyoto sebagai
perjanjian yang cacat (flawed agreement) dan karenanya menolak meratifikasinya.
Amerika Serikat juga menegasi fakta-fakta yang ditawarkan ilmuwan dan para
pemerhati lingkungan bahwa pengurangan emisi akan menyumbangkan usaha
signifikan dalam mengatasi kerusakan lingkungan akibat perubahan iklim. Menurut
Amerika Serikat, usaha pengurangan emisi tidak akan memberikan dampak signifikan
pada kerusakan akibat perubahan iklim, malah upaya pengurangan emisi ini akan
mendatangkan akibat baru, misalnya akibat ekonomi dan sosial yang telah disebutkan
sebelumnya.
- Alasan keempat Amerika Serikat tidak mau meratifikasi Protokol Kyoto adalah karena
Protokol Kyoto mempunyai unsur memaksa, Amerika Serikat dipaksa untuk
mengurangi kadar emisinya, padahal di satu sisi Amerika Serikat merasa tidak
mendapat insentif apa-apa yang dapat menariknya untuk ikut meratifikasi Protokol
Kyoto. Unsur pemaksaan di sini merupakan salah satu alasan utama, karena jika mau
dibandingkan dengan Protokol Montreal dan kerjasama AP6—dua perjanjian yang
sudah diratifikasi Amerika Serikat, padahal keduanya sama-sama bertujuan
mengurangi tingkat emisi dunia seperti Protokol Kyoto—Protokol Kyoto memiliki
unsur pemaksaan di dalamnya, dan ini yang tidak disukai Amerika Serikat. Amerika
Serikat ingin agar dirinya diberi kebebasan untuk melakukan caranya sendiri dalam
melindungi lingkungan hidup.
BUT...... IN FACT
alasan yang membuat AS dan negara maju menolak peratifikasian Protokol Kyoto tidak valid dan
kurang kuat dalam menjelaskan ketidakbersediaan mereka meratifikasi Protokol Kyoto, karena
menurut penulis, semua alasan yang dikemukakan di atas bukanlah alasan sebenarnya. Alasan
pertama, saat AS mengatakan peratifikasian Protokol Kyoto akan berdampak buruk pada
kehidupan ekonomi dan sosial rakyatnya, penulis menilai hal tersebut sebenarnya bisa diatasi
dengan meningkatkan usaha-usaha lain yang tidak menggunakan bahan bakar yang menghasilkan
emisi. Amerika Serikat bisa mengantisipasi akibat dari pengurangan emisi itu dengan dua cara.
Cara pertama adalah, melakukan berbagai riset teknologi yang memungkinkan industri-industri
untuk menggunakan berbagai bahan bakar yang memang tidak menghasilkan emisi sebanyak bahan
bakar yang kini biasa digunakan, misalnya dengan menggunakan bahan bakar biofuel yang akan
menghasilkan emisi CO2 yang lebih sedikit dibanding bahan bakar minyak. Cara kedua adalah, AS
dapat mengantisipasi pengurangan produktivitas yang lantas berdampak pada menurunnya upah
buruh dengan lebih mengembangkan industri kecil dan menengah yang tidak menggunakan mesin-
mesin pabrik dan lebih menggunakan keterampilan tangan, sehingga tidak menghasilkan emisi
yang berbahaya.
Alasan kedua yang menyebabkan Amerika Serikat menolak peratifikasian Protokol Kyoto adalah
karena Protokol Kyoto tidak memberi kewajiban bagi negara berkembang untuk mengurangi emisi.
Penulis menilai, alasan ini tidak masuk akal karena memang negara berkembang merupakan negara
yang perekonomiannya tidak tergantung pada industri dan karenanya negara berkembang memang
tidak menghasilkan polutan sebanyak yang dihasilkan negara maju, terutama Amerika Serikat yang
kehidupan perekonomiannya memang berfokus pada perindustrian. Sehingga penulis menilai, di
sini memang negara berkembang tidak mempunyai kewajiban untuk mengurangi emisi karena
memang emisi yang dihasilkan negara berkembang berjumlah sedikit—bahkan bila semua emisi
negara berkembang digabung.
Alasan ketiga yang penulis lihat paling tidak rasional adalah anggapan bahwa Protokol Kyoto
merupakan produk perjanjian yang cacat (flawed agreement) dan bahwa Protokol Kyoto cacat
secara tujuan (misobjective) karena dinilai hanya berkonsentrasi pada
pengurangan gas CO2 tanpa peduli pada gas rumah kaca lain. Berdasarkan data bahwa 60% dari
gas rumah kaca terdiri dari CO210, dapat disimpulkan CO2 merupakan gas rumah kaca utama yang
turut menyumbang pada terjadinya pemanasan global, dan karena CO2 memang merupakan gas
utama terbanyak penyusun gas rumah kaca, tepatlah kiranya agar usaha pengurangan emisi lebih
diarahkan pada upaya pengurangan CO2. Dan lagi, penegasian Amerika Serikat bahwa
pengurangan emisi akan tidak memberikan dampak signifikan bagi perbaikan lingkungan akibat
perubahan iklim tidaklah benar karena berbagai ilmuwan sudah membuktikan dengan berbagai
riset bahwa emisi CO2 yang meningkat jelas memperparah kondisi pemanasan global dunia.
Unsur pemaksaan yang disebutkan Amerika Serikat dalam alasan terakhir juga, penulis rasa,
hanya merupakan dalih semata karena terbukti, tanpa adanya pemaksaan, Amerika Serikat
terbukti tidak melakukan kewajibannya mengurangi tingkat emisi (berdasarkan Protokol
Montreal dan AP6 yang disetujuinya). Di sini penulis melihat unsur pemaksaan dalam Protokol
Kyoto memanglah unsur yang penting dan harus ada untuk menjamin terlaksananya visi-misi
Protokol Kyoto, untuk mengikat anggota yang meratifikasinya.