Anda di halaman 1dari 21

FAKTOR RISIKO PENULARAN IBU HAMIL DENGAN HIV PADA BAYINYA

Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada bayi dan anak merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang sangat serius karena jumlah penderita banyak dan
selalu meningkat sebagai akibat jumlah ibu usia subur yang menderita penyakit HIV
bertambah. Sebagian besar (>90 %) infeksi HIV pada bayi ditularkan oleh ibu
terinfeksi HIV (Setiawan, 2009: 489).
Angka penularan vertikal dari ibu ke bayi sangat bervariasi pada berbagai
populasi. Tanpa pencegahan, angka rata-rata penularan HIV dari ibu ke bayi sekitar 14
– 42 %. Angka penularan vertikal di negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa
Barat berkisar antara 15 sampai 20 %, sedangkan di negara berkembang, angka
penularan vertikal berkisar antara 24 sampai 40 %. Akan tetapi, angka penularan
vertikal di indonesia sampai saat ini beum diketahui dengan jelas (Setiawan, 2009:
490).
Menurut I Made Setiawan (2009:490), penularan HIV lebih sering terjadi pada
masa kehamilan tua dan pada saat partus, dan sangat jarang terjadi pada masa
permulaan kehamilan, maka yang menjadi sasaran penting untuk mencegah penularan
vertikal adalah janin pada fase akhir intauterin (kehamilan) dan pada waktu
intrapartum.
A. Faktor risiko penularan HIV dari ibu hamil ke janin yang dikandungnya
Tingginya angka penularan vertikal dari ibu ke janin sangat dipengaruhi
oleh adanya faktor risiko pada ibu hamil yang terinfeksi HIV. Faktor risiko
tersebut adalah beratnya infeksi HIV yang diderita ibu, adanya penyakit infeksi
lain pada genitalia ibu, dan kebiasaan ibu (Setiawan, 2009: 490).
Beratnya keadaan infeksi HIV pada ibu merupakan faktor risiko utama
terjadinya penularan perinatal. Berdasarkan hasil studi, ternyata angka penularan
vertikal lebih tinggi pada ibu terinfeksi HIV dengan gejala yang sangat berat
dibanding ibu terinfeksi HIV tanpa gejala. Beratnya keadaan penyakit ibu
ditentukan dengan menggunakan kriteria klinis dan jumlah partikel virus yang
terdapat dalam plasma serta keadaan imunitas ibu (Setiawan, 2009: 490).
Menurut Rulina Suradi (2003:181), risiko transmisi vertikal dari ibu hamil
ke janinnya tergantung pada beberapa faktor, yaitu:
1. Usia kehamilan
Transmisi vertikal jarang terjadi pada waktu ibu hamil muda, karena
plasenta merupakan barier yang dapat melindungi janin dari infeksi pada ibu.
Transmisi terbesar terjadi pada waktu hamil tua atau trimester akhir dan waktu
persalinan.
2. Kondisi kesehatan ibu
Stadium dan progresivitas penyakit ibu, ada tidaknya komplikasi,
kebiasaan merokok, penggunaan obat-obat terlarang dan defisiensi vitamin A
dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke janin.
3. Jumlah viral load (beban virus di dalam darah)
4. Pemberian profilaksis obat abti retroviral (ARV)
Menurut Kementerian Kesehatan RI dalam Pedoman Nasional
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (2012:11), ada tiga faktor
utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke anak, yaitu faktor
ibu, bayi/anak, dan tindakan obstetrik. Namun, yang berpengaruh terhadap
penularan HIV selama masa kehamilan adalah faktor ibu, yang terdiri dari:
a) Jumlah virus (viral load)
Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat
persalinan dan jumlah virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusui
bayinya sangat mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke anak. Risiko
penularan HIV menjadi sangat kecil jika kadar HIV rendah kurang dari
1.000 kopi/ml) dan sebaliknya jika kadar HIV di atas 100.000 kopi/ml.
b) Jumlah sel CD4
Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih berisiko menularkan HIV
ke janinnya. Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV
semakin besar.
c) Status gizi selama hamil
Berat badan rendah serta kekurangan vitamin dan mineral selama
hamil meningkatkan risiko ibu untuk menderita penyakit infeksi yang
dapat meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke janin.
d) Penyakit infeksi selama hamil
Penyakit infeksi seperti sifilis, infeksi menular seksual, infeksi
saluran reproduksi lainnya, malaria, dan tuberkulosis, berisiko
meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke janin. Penularan
HIV dari ibu ke anak pada umumnya terjadi pada saat persalinan dan
pada saat menyusui. Risiko penularan HIV pada ibu yang tidak
mendapatkan penanganan PPIA saat hamil diperkirakan sekitar 15 – 45
%. Risiko penularan 15 – 30 % terjadi pada saat hamil dan bersalin,
sedangkan peningkatan risiko transmisi HIV sebesar 10 -20 % pada masa
nifas dan menyusui (Kemenkes RI, 2012: 13).
Berikut ini adalah tabel risiko penularan HIV dari ibu ke anak saat
hamil, bersalin, dan menyusui (Kemenkes RI, 2012: 13)
WAKTU RISIKO

Selama hamil 5 – 10 %

Bersalin 10 – 20 %

Menyusui (ASI) 5 – 20 %

Risiko penularan keseluruhan 20 – 50 %

Tabel 1. Waktu dan risiko penularan HIV dari ibu ke anak


Apabila ibu tidak menyusui bayinya, risiko penularan HIV
menjadi 20 - 30 % dan akan berkurang jika ibu mendapatkan pengobatan
ARV. Pemberian ARV jangka pendek dan ASI eksklusif memiliki risiko
penularan HIV sebesar 15 – 25 % dan risiko penularan sebesar 5 – 15 %
apabila ibu tidak menyusui (PASI). Akan tetapi, dengan terapi anti
retroviral (ARV) jangka panjang, risiko penularan HIV dari ibu ke anak
dapat diturunkan lagi hingga 1 – 5 %, dan ibu yang menyusui secara
eksklusif memiliki resiko yang sama untuk menularkan HIV ke anaknya
dibandingkan dengan ibu yang tidak menyusui. Dengan pelayanan PPIA
yang baik, maka tingkat penularan dapat diturunkan menjadi kurang dari
2 % (Kemenkes RI, 2012: 13).
B. Mekanisme penularan HIV dari ibu hamil ke janin yang dikandungnya
Walaupun masih belum jelas, mekanismenya diduga melalui
plasenta. Pemeriksaan patologi menemukan HIV dalam plasenta ibu yang
terinfeksi HIV. Sel limfosit atau monosit ibu yang terinfeksi HIV atau virus
HIV itu sendiri dapat mencapai janin secara langsung melalui lapisan
sinsitiotrofoblas, atau secara tidak langsung melalui trofoblas dan
menginfeksi sel makrofag plasenta (sel Houfbauer) yang mempunyai reseptor
CD4 (McFarland, 2013).
Plasenta diduga juga mempunyai efek anti HIV-1 dengan
mekanisme yang masih belum diketahui. Salah satu hormon plasenta yaitu
human chorionic gonadotropin (hCG) diduga melindungi janin dari HIV-1
melalui beberapa cara, seperti menghambat penetrasi virus ke jaringan
plasenta, mengkontrol replikasi virus di dalam sel plasenta, dan menginduksi
apoptosis sel-sel yang terinfeksi HIV-1 (McFarland, 2013).
Menurut Pediatric Virology Committee of the AIDS Clinical Trials
Group (PACTG), transmisi dikatakan intra uterin/infeksi awal, jika tes
virology positif dalam 48 jam setelah kelahiran dan tes berikutnya juga positif
(McFarland, 2013).
Beberapa penelitian mengemukakan faktor-faktor yang berperan
pada transmisi antepartum, yaitu malnutrisi yang seringkali ditemukan pada
wanita dengan HIV-AIDS akan meningkatkan resiko transmisi karena akan
menurunkan imunitas, meningkatkan progresivitas penyakit ibu,
meningkatkan resiko berat badan lahir rendah dan prematuritas dan
menurunkan fungsi imunitas gastrointestinal dan integritas fetus. Pada
penelitian prospektif random terkontrol, defisiensi vitamin A (kurang dari
1,05 mmol/L) yang dihubungkan dengan gangguan fungsi sel T dan sel B
ternyata berhubungan dengan peningkatan transmisi HIV. Namun penelitian
Dreyfuss, dkk tidak dapat membuktikan bahwa defisiensi mikronutrien akan
meningkatkan transmisi antepartum atau sebaliknya (McFarland, 2013).
Jadi, dengan adanya plasenta, sirkulasi darah ibu dipisahkan oleh
beberapa lapis sel yang terdapat pada plasenta. Plasenta melindungi janin dari
infeksi HIV. Meskipun oksigen, makanan, antibodi dan obat-obatan memang
dapat menembus plasenta, tetapi tidak oleh HIV. Plasenta justru melindungi
janin dari infeksi HIV (Kemenkes RI, 2012: 13). Namun, perlindungan
menjadi tidak efektif apabila ibu:
1. Mengalami infeksi viral, bakterial, dan parasit (terutama malaria) pada
plasenta selama kehamilan.
2. Terinfeksi HIV selama kehamilan, membuat meningkatnya muatan virus
(viral load) pada saat itu.
3. Mempunyai daya tahan tubuh yang menurun.
4. Mengalami malnutrisi selama kehamilan yang secara tidak langsung
berkontribusi untuk terjadinya penularan dari ibu ke janin.
Jadi, apabila terjadi inflamasi, infeksi ataupun kerusakan pada plasenta,
maka HIV bisa menembus plasenta sehingga terjadi penularan HIV dari ibu ke
janin (Kemenkes RI, 2012: 13).

IMUNITAS IBU HAMIL DENGAN HIV


1. Pengaruh HIV Terhadap Sistem Imun
Human Immunodeficiency Virus terutama menginfeksi limfosit CD4 atau T
helper (Th), sehingga dari waktu ke waktu jumlahnya akan menurun, demikian juga
fungsinya akan semakin menurun. Th mempunyai peranan sentral dalam mengatur
sistem imunitas tubuh. Bila teraktivasi oleh antigen, Th akan merangsang baik respon
imun seluler maupun respon imun humoral, sehingga seluruh sistem imun akan
terpengaruh. Namun yang terutama sekali mengalami kerusakan adalah sistem imun
seluler. Jadi akibat HIV akan terjadi gangguan jumlah maupun fungsi Th yang
menyebabkan hampir keseluruhan respon imunitas tubuh tidak berlangsung normal
(Palmer S,2013).
a. Imun Seluler
Untuk mengatasi organisme intra seluler seperti parasit, jamur dan bakteri
intraseluler yang paling diperlukan adalah respon imunitas seluler yang disebut Cell
Mediated Immunity (CMI). Fungsi ini dilakukan oleh sel makrofag dan CTLs
(cytotoxic T Lymphocyte atau TC), yang teraktivasi oleh sitokin yang dilepaskan
oleh limfosit CD4. Demikian juga sel NK (Natural Killer), yang berfungsi
membunuh sel yang terinfeksi virus atau sel ganas secara direk non spesifik,
disamping secara spesifik membunuh sel yang di bungkus oleh antibody melalui
mekanisme antibody dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC). Mekanisme ini
tidak berjalan seperti biasa akibat HIV. Sel Th : Jumlah dan fungsinya akan
menurun. Pada umumnya penyakit indikator AIDS tidak terjadi sebelum jumlah
CD4 mencapai 200/uL bahkan sebagian besar setelah CD4 mencapai 100/uL.
Makrofag : Fungsi fagositosis dan kemotaksisnya menurun, termasuk juga
kemampuannya menghancurkan organisme intra seluler, misalnya kandida albikans
dan toksoplasma gondii. Sel Tc : Kemampuan sel T sitotoksik untuk menghancurkan
sel yang terinfeksi virus menurun, terutama pada infeksi stadium lanjut, sehingga
terjadi reaktivasi virus yang tadinya laten, seperti herpes zoster dan retinitis
sitomegalo. Demikian juga sering terjadi differensiasi sel ke arah keganasan atau
malignansi. Sel NK : Kemampuan sel NK untuk menghancurkan secara langsung
antigen asing dan sel yang terinfeksi virus juga menurun. Belum diketahui dengan
jelas apa penyebabnya, diperkirakan kemungkinan karena kurangnya IL-2 atau efek
langsung HIV (Li H, Bar KJ, 2010).
b. Imunitas Humoral
Imunitas humoral adalah imunitas dengan pembentukan antibodi oleh sel
plasma yang berasal dari limfosit B, sebagai akibat sitokin yang dilepaskan oleh
limfosit CD4 yang teraktivasi. Sitokin IL-2, BCGF (B cell growth factors) dan
BCDF (B cell differentiation factors) akan merangsang limfosit B tumbuh dan
berdifferensiasi menjadi sel Plasma. Dengan adanya antibody diharapkan akan
meningkatkan daya fagositosis dan daya bunuh sel makrofag dan neutrofil melalui
proses opsonisasi . HIV menyebabkan terjadi stimulasi limfosit B secara poliklonal
dan non-spesifik, sehingga terjadi hipergammaglobulinaemia terutama IgA dan IgG.
Disamping memproduksi lebih banyak immunoglobulin, limfosit B pada odha
(orang dengan infeksi HIV/AIDS) tidak memberi respon yang tepat Terjadi
perubahan dari pembentukan antibodi IgM ke antibodi IgA dan IgG. Infeksi bakteri
dan parasit intrasel menjadi masalah berat karena respons yang tidak tepat, misalnya
reaktivasi Toxoplasma gondii atau CMV tidak direspons dengan pembentukan
immunoglobulin M (IgM) (Alter G, 2009).
2. Fase Infeksi Akut
Setelah transmisi HIV melalui mukosa genital yang merupakan transmisi utama,
sel dendritic (DC) yang ada di lamina propria mukosa vagina akan menangkap HIV. Sel
dendritik bertindak sebagai antigen presenting cell (APC) dan mempresentasikan
HIV ke sel limfosit CD4 sehingga dapat merangsang limfosit T. Hal ini terjadi karena sel
dendritik mengekpresikan molekul major histocompatibility complex (MHC) klas I,
MHC klas II dan molekul kostimulator lain pada permukaannya. Setelah HIV tertangkap
DC akan menuju kelenjar limfoid dan mempresentasikannya kepada sel limfosit T.
Disamping mengangkut HIV kekelenjar limfe, sel dendritik juga mengaktivasi sel
limfosit CD4, dengan demikian akan meningkatkan infeksi dan replikasi HIV pada sel
limfosit Th. Terikatnya HIV ke DC melalui pengikatan protein envelop gp 120 pada
sekelompok molekul yang disebut C-type lectin receptor. Termasuk dalam C-type lectin
receptor adalah dendritic cel –specific ICAM -3-grabbing non-integrin (DC-
SIGN),mannose receptor dan Langerin. Masing-masing molekul ini dapat mengikat gp
120 dan ini lalu dipresentasikan pada sel DC yang berbeda. DC sel mengekspresikan
molekul CD4 dan molekul CCR5 tapi tidak mempunyai CXCR4. Mungkin ini
berpengaruh dan dapat menjelaskan mengapa hampir 95% strain HIV yang ditemukan
pada infeksi primer adalah strain M- tropik atau R5 HIVstrain. Sama seperti transmisi
mukosa, transmisi HIV secara vertikal juga terutama Strain R5. Pada manusia waktu
lama dari infeksi mukosa sampai terjadi viremia, berkisar antara 4-11 hari. Hal ini juga
tergantung dari apakah ada hal-hal lain yang merusak barier mukosa, seperti misalnya
inflamasi dan infeksi (cervisitis, urethritis, ulkus genitalis, dsb) (Alter G, 2009).
HIV baik sebagai virus bebas ataupun yang berada dalam sel yang terinfeksi akan
menuju kelenjar limfe regional dan merangsang respon imun seluler maupun humoral.
Mobilisasi limfosit ke kelenjar ini justru menyebabkan makin banyak sel limfosit yang
terinfeksi. Dalam beberapa hari akan terjadi limfopenia dan menurunnya limfosit CD4
dalam sirkulasi. Dalam fase ini didalam darah akan ditemukan HIV bebas titer tinggi dan
komponen inti p24, yang menunjukkan tingginya replikasi HIV yang tidak dapat
dikontrol oleh sistim imun. Dalam 2-4 minggu akan terjadi peningkatan jumlah sel
limfosit total yang disebabkan karena tingginya subset limfosit CD8 sebagai bagian dari
respon imunitas seluler terhadap HIV (Hladik F, 2009).
Setelah fase akut, akan terjadi penurunan jumlah HIV bebas dalam plasma
maupun dalam sel. Masih belum jelas, mengapa bisa demikian, akan tetapi analogi
dengan infeksi virus pada umumnya. Sel limfosit T sitotoksik CD8 yang sebagai efektor
sel dapat mengontrol infeksi akut oleh virus, karena dia bisa mengenal dan
menghancurkan sel yang telah terinfeksi (ini kadang- kadang dapat merugikan juga),
sehingga dapat mencegah replikasi dan pembantukan virus baru. Pada infeksi HIV sejak
awal ditemukan tingginya jumlah sel T limfosit sitotoksik (TCLs atau Tc). Sel limfosit
sitotoksik yang mempunyai petanda CD8, akan teraktivasi oleh HIV dan akan
mengeluarkan sejumlah solubel sitokin (termasuk CAF ), yang dapat menghambat
replikasi HIV dalam limfosit CD4. Keadaan seperti ini juga terjadi pada infeksi HIV
akut, bahkan sebelum serokonversi. Disamping jumlahnya menurun, maka fungsi
limfosit CD4 juga terganggu, bahkan pada stadium dimana jumlahnya masih diatas
500/ml. Ternyata kemampuannya untuk proliferasi karena rangsangan berbagai macam
antigen dan kemampuannya untuk memproduksi sitokin untuk fungsi helper juga
menurun.Terjadi penurunan respon pengenalannya terhadap antigen bakteri, virus atau
toksin yang pernah dikenal, lalu hilangnya respon terhadap sel asing (allogeneic
response).
3. Fase Kronik
Pada fase transisi ke fase kronik, terjadi switch dari ekspresi sel-secara individual
ke bentuk trapping HIV oleh jaringan sel dendritik folikuler didalam germinal senter
kelenjar limfe. Bentuk ini mendominasi keberadaan HIV dan pada saat ini terjadi
penurunan secara drastis jumlah sel-sel individual yang mengekspresikan HIV. Jadi pada
fase akut ini dapat dilihat adanya upaya sel-sel limfosit T sitotoksik untuk mengurangi
jumlah HIV. akan membentuk kompleks dengan imunoglobulin dan komplemen.
Kompleks ini akan terikat pada reseptor komplemen pada permukaan sel dendritik.
Secara klinik akan terjadi penurunan jumlah RNA HIV dalam plasma dan
menghilangnya sindroma infeksi akut. Terjadinya gejala- gejala AIDS umumnya
didahului oleh percepatan penurunan jumlah limfosit CD4, sering terjadi pada keadaan
dimana sebelumnya jumlah limfosit CD4 diatas 300/uL. Pada umumnya perubahan ini
berkorelasi dengan munculnya strain HIV yang lebih virulen, yaitu strain SI (Syncitial
Inducing), diikuti oleh gejala klinis menghilangnya gejala limfadenopati generalisata
yang merupakan prognosis yang buruk. Hal ini terjadi akibat hilangnya kemampuan
respon imun seluler untuk melawan turnoverHIV dalam kelenjar limfe, ditandai oleh
meningkatnya HIV kedalam sirkulasi karena rusaknya struktur kelenjar limfe (Schmitz
JE, 2009).
Pada infeksi HIV terjadi kehilangan CD4 yang massif, baik oleh akibat virus
sendiri maupun aktivasinya pada sistem imun yang dapat menyebabkan apoptosis CD4.
Kehilangan CD4 ini dikarenakan produksi pada sumsum tulang yang menurun,
peningkatan degradasi pada organ limfoid, dan penggunaannya yang meningkat.
Makrofag dan sel dendritik menjadi antigen presenting cell (APC) yang merespon sinyal
infeksi. Hal ini berbeda dengan infeksi HIV. Makrofag yang menangkap virus ini
menjadi mediator terjadi apoptosis sel dan selain itu perpindahannya ke organ limfoid
dapat meningkatkan penyebaran infeksinya. Makrofag yang akan menangkap HIV akan
menghasilkan chemo-attractant untuk T cell dan NK cell. kedua sel ini akan menempati
reseptor CXCR3 (Chemokine reseptor 3) sehingga Th 1 akan bermigrasi ke kelenjar
getah bening dan memberikan respon sebagai Th 1 chemokine. Namun pada pasien yang
terinfeksi HIV, CXCR3 ini menetap pada kelenjar getah bening dan dapat memberatkan
penyakitnya. Pada awalnya interferon dan IL-12 mendukung diferensiasi Th1
menghasilkan IFN-ã dalam jumlah banyak untuk mengaktifkan makrofag menghasilkan
chemokine dan disisi lain produksi IL 4 ditekan. Interaksi Th 1 dengan makrofag akan
menghasilkan IFN-ã lebih banyak lagi dan pelepasan CXCL10 (Chemokine Ligand 10).
CXCR3 yang berikatan dengan Th 1 dapat menekan produksi Th 2 sehingga
keseimbangannya dapat diatur. Ketidakseimbangan chemokine yang dihasilkan
mempengaruhi progresivitas infeksi HIV (Schmitz JE, 2009).
4. Imunologi HIV pada Kehamilan
Kehamilan menjadi tantangan besar bagi pengaturan sistem imun.12 Fungsi imun
ditekan baik pada wanita terinfeksi HIV maupun tidak terinfeksi HIV. Selama kehamilan
terjadi penurunan immunoglobulin, penurunan jumlah komplemen, dan penurunan
imunitas seluler (Rajeev Mehla PD, 2012). Nomalnya kehamilan akan membuat
progresvitas HIV pada kehamilan memburuk. Pada penelitian di Perancis
mengelompokkan 57 wanita hamil dengan HIV dan 114 wanita hamil tanpa terinfeksi
HIV dan dikuti selama 61 bulan ternyata tidak ada perbedaan progresivitas yang
bermakna (Rajeev Mehla PD, 2012). Penelitian di Switzerland mengelompokkan 32
HIV dalam kehamilan dan 416 HIV tidak hamil yang deperhitungkan usia dan jumlah
CD4nya diikuti selama 4,8 tahun untuk hamil dan 3,6 tahun untuk kontrol (Aluvihare
VR, 2010). Hasilnya menunjukkan tidak ada perbedaan progresivitas penyakit dan rata-
rata usia kematiannya, kecuali sudah terdapat infeksi seperti pneumoni bakteri
(Aluvihare VR, 2010).
Respon imun fetal maternal pada kehamilan dipengaruhi oleh timus sebagai
toleransi pusat dan T reg (T regulator) sebagai pengatur toleransi perifer. Ukuran dan
strukstur thymus mengecil selama kehamilan, namun ukuran dan fungsinya akan
kembali normal setelah post partum (Aluvihare VR, 2010. Sedikitnya T reg pada
kehamilan memicu terjadinya abortus, stillbirth, berat badan lahir rendah, persalinan
premature. Keseimbangan Th1 dan Th2 enjadi suatu hal penting untuk dicapai dalam
mempertahankan kehamilan. Infeksi HIV menyebabkan penurunan jumlah CD4 dan Th
2, dan penurunan aktivasi imun lain. Pada penelitian yang membandingkan penggunaan
HAART meunjukkan perbedaan profil imunologi yang bermakna (Aluvihare VR, 2014).
Proses pengaturan imunologi sistemik berubah pada saat kehamilan. Penelitian pada
tikus menunjukkan peningkatan T reg sejak awal kehamilan yang dipicu oleh antigen
paternal. Kegagalan kehamilan pun dapat terjadi bila tidak adanya T reg ini. Penelitian
pada manusia juga menunjukkan hal yang sama; sedikitnya T reg pada lapisan desidual
dapat menginduksi abortus, preeklampsia, dan infertilitas (Ono E, 2018). Pada HIV
negative T reg diperluas saat awal kehamilan dan akan menurun lebih rendah lagi setelah
post partum. Berbeda dengan infeksi HIV, T reg tidak berubah hingga trimenter kedua.
Treg pada infeksi HIV diakumulasikan pada jaringan limfoid dan pada post partum
jumlah T reg lebih tinggi pada pasien infeksi HIV dibandingkan dengan HIV negatif
(Guerin LR, 2009)
Sutton, dkk membuktikan dalam penelitiannya bahwa produksi interleukin-2 IL-2
pada wanita tidak hamil HIV negative lebih tinggi dibandingkan dengan positif HIV.
Produksi IL 2 padawanita hamil dikatakan menurun pada seluruh trimester kehamilan.
Produksi IL 2 pun tidak meningkat dengan pemberiaan antivirus kombinasi (Sutton MY,
2014).
Human Leucocyte antigen-G (HLA-G) dapat menghambat respon imun cell
mediated dan dapat menembus plasenta menyebarkan infeksi HIV-1 sehingga
meningkatkan risiko transmisi vertikal. Selain itu Major Histocompatibility Complex
(MHC) mengkode HLA-G untuk menghambat natural killer cell (NK cells) sehingga
mendukung masuknya virus melewati barrier plasenta pada wanita hamil positive HIV 1.
Rendahnya NK cell akan meningkatkan isiko transmisi vertikal (Sutton MY, 2014).
Aktivasi CD38 dan HLA-DR pada sel Tmenjadi indicator aktivasi sel. Infeksi
HIV mengaktivasi CD8 untuk menekspresikan antigen HLA-DR. aktivasi imun CD8
pada kehamilan mempengaruhi progresivitas imun tidak baik. Kehamilan yang
mempengaruhi aktivasi imun sel T CD8 berhubungan erat dengan jumlah CD4 sebagai
indicator status imunitas. Kehamilan akan menekan ekspresi limfosit CD8 ini, kehamilan
tidak mempengaruhi aktivasi CD8, namun aktivasi CD8 akan menurun pada wanita
hamil positif HIV. Aktivasi imun kronik CD8 pada HIV menjadi faktor menurunnya
jumlah CD4. Ekspresi HLA-DR dan CD38 pada limfosit T CD8 akan mengenali CD4
yang dieliminasi oleh infeksi HIV. Jumlah CD8, CD38, dan HLA-DR yang menurun
pada wanita hamil positif HIV dapat menjadi parameter prognostik status imunitasnya
(Sutton MY, 2014).
Sehingga infeksi HIV akan menurunkan jumlah sel CD4+ yang disebabkan oleh
efek sitopatik virus dan kematian sel. Jumlah sel T yang hilang selama perjalanan dari
mulai infeksi hingga tahap lanjut jauh lebih besar dibandingkan jumlah sel yang
terinfeksi, hal ini diduga akibat sel T yang diinfeksi kronik diaktifkan dan rangsang
kronik menimbulkan apoptosis. Kehamilan yang mempengaruhi aktivasi imun sel T CD8
berhubungan erat dengan jumlah CD4 sebagai indicator status imunitas. Kehamilan akan
menekan ekspresi limfosit CD8 ini, kehamilan tidak mempengaruhi aktivasi CD8,
namun aktivasi CD8 akan menurun pada wanita hamil positif HIV.
SOLUSI SUPAYA IMUNITAS PADA IBU HAMIL DENGAN HIV TIDAK
MENURUN DAN MENULARKAN HIV PADA ANAKNYA
Strategi untuk mencegah penularan vertikal dari ibu hamil ke janin yang
dikandungnya (masa antenatal) adalah dengan memberikan antiretroviral (ARV) dan
memperbaiki faktor risiko dalam hal ini imunitas. Usaha ini memerlukan kerja sama antara
dokter ahli HIV dari kelompok kerja HIV/AIDS yang merawat ibu pada saat sebelum hamil
dan dokter kebidanan yang merawatnya pada saat hamil. Tujuan perawatan saat kehamilan
adalah untuk mempertahan kesehatan dan status nutrisi ibu, serta mengobati ibu agar jumlah
viral load tetap rendah sampai pada tingkat yang tidak dapat dideteksi ( Setiawan, 2009: 491).
Anggota tim sebaiknya terdiri dari seorang pembina untuk ibu terinfeksi HIV, dokter
kebidanan, pekerja sosial, keluarga atau teman, dokter anak, dan perawat. Dengan kerja sama
yang baik maka faktor risiko yang terjadi dapat dihindari sehingga penularan perinatal
berkurang (Setiawan, 2009: 491).
Menurut I Made Setiawan (2009:491), tatalaksana untuk mengurangi penularan
vertikal dari ibu hamil dengan HIV ke bayi pada masa antenatal (hamil) adalah sebagai
berikut:
1. Konseling dan tes antibodi HIV terhadap Ibu
Petugas yang melakukan perawatan antenatal di puskesmas maupun di tempat
perawatan antenatal lain sebaiknya mulai mengadakan pengamatan tentang kemungkinan
adanya ibu hamil yang berisiko untuk menularkan penyakit HIV kepada bayinya.
Anamnesis yang dapat dilakukan antara lain dengan menanyakan apakah ibu pemakai
obat terlarang, perokok, mengadakan hubungan seks bebas, dan lain-lainnya. Bila
ditemukan kasus tersebut di atas, harus dilakukan tindakan lebih lanjut.
Risiko penularan HIV secara vertikal dapat berkurang sampai 1-2% dengan
melakukan tata laksana yang baik pada ibu dan anak. Semua usaha yang akan dilakukan
sangat tergantung pada temuan pertama dari ibu-ibu yang berisiko. Oleh karena itu,
semua ibu usia subur yang akan hamil sebaiknya diberi konseling HIV untuk mengetahui
risiko, dan kalau bisa, sebaiknya semua ibu hamil disarankan untuk melakukan tes HIV-1
sebagai bagian dari perawatan antenatal, tanpa memperhatikan faktor risiko dan
prevalensi HIV-1 di masyarakat. Akan tetapi, ibu hamil sering menolak untuk dilakukan
tes HIV, karena peraturan yang memaksa ibu hamil untuk dites HIV belum ada.
Cukup banyak ibu hamil sudah terinfeksi HIV-1 pada saat masa pancaroba dan
dewasa muda yang justru pada masa ini mereka tidak terjangkau oleh sistem pelayanan
kesehatan. Pada hal pada masa-masa ini banyak terjadi penularan melalui hubungan seks
bebas, dan juga banyak sebagai pengguna obat terlarang. Kepada mereka harus diberi
konseling dan disarankan untuk dilakukan tes infeksi HIV-1. Kemudian, jika ditemukan
ada ibu hamil yang terinfeksi HIV dan sebagai pengguna obat terlarang, maka harus
dimasukkan ke dalam program pengobatan atau program detoksifikasi.
Ibu yang sudah diketahui terinfeksi HIV sebelum hamil, perlu dilakukan
pemeriksaan untuk mengetahui jumlah virus di dalam plasma, jumlah sel T CD4+, dan
genotipe virus. Juga perlu diketahui, apakah ibu tersebut sudah mendapat anti retrovirus
(ARV) atau belum. Data tersebut kemudian dapat digunakan sebagai bahan informasi
kepada ibu tentang risiko penularan terhadap pasangan seks, bayi, serta cara
pencegahannya. Selanjutnya, ibu harus diberi penjelasan tentang faktor risiko yang dapat
mempertinggi penularan infeksi HIV-1 dari ibu ke bayi.
2. Pencatatan dan pemantauan ibu hamil
Banyak ibu terinfeksi HIV hamil tanpa rencana. Ibu hamil sangat jarang
melakukan perawatan prenatal. Di samping itu, ibu-ibu ini sering terlambat untuk
melakukan perawatan prenatal. Kelompok ibu-ibu ini juga sangat jarang melakukan
konseling dan tes HIV pada waktu prenatal, sehingga mereka tidak dapat dicatat dan
dipantau dengan baik.
Catatan medis yang lengkap sangat perlu untuk ibu hamil terinfeksi HIV
termasuk catatan tentang kebiasaan yang meningkatkan risiko dan keadaan sosial yang
lain, pemeriksaan fisik yang lengkap, serta pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui
status virologi dan imunologi. Pada saat penderita datang pertama kali harus dilakukan
pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan ini akan digunakan sebagai data dasar untuk
bahan banding dalam melihat perkembangan penyakit selanjutnya. Pemeriksaan tersebut
adalah darah lengkap, urinalisis, tes fungsi ginjal dan hati, amylase, lipase, gula darah
puasa, VDRL, gambaran serologis hepatitis B dan C, subset sel T, dan jumlah salinan
RNA HIV.
Selanjutnya, ibu harus selalu dipantau. Cara pemantauan ibu hamil terinfeksi HIV
sama dengan pemantauan ibu terinfeksi HIV tidak hamil. Pemeriksaan jumlah sel T
CD4+ dan kadar RNA HIV-1 harus dilakukan setiap trimester (yaitu, setiap 3 - 4 bulan)
yang berguna untuk menentukan pemberian ARV dalam pengobatan penyakit HIV pada
ibu. Bila fasilitas pemeriksaan sel T CD4+ dan kadar HIV-1 tidak ada maka dapat
ditentukan berdasarkan kriteria gejala klinis yang muncul. Pengobatan dan profilaksis
antiretrovirus pada ibu terinfeksi HIV Untuk mencegah penularan vertikal dari ibu ke
bayi, maka ibu hamil terinfeksi HIV harus mendapat pengobatan atau profilaksis
antiretrovirus (ARV). Tujuan pemberian ARV pada ibu hamil, di samping untuk
mengobati ibu, juga untuk mengurangi risiko penularan perinatal kepada janin atau
neonatus. Ternyata ibu dengan jumlah virus sedikit di dalam plasma (<1000 salinan
RNA/ml), akan menularkan HIV ke bayi hanya 22%, sedangkan ibu dengan jumlah
muatan virus banyak menularkan infeksi HIV pada bayi sebanyak 60%. Jumlah virus
dalam plasma ibu masih merupakan faktor prediktor bebas yang paling kuat terjadinya
penularan perinatal. Karena itu, semua wanita hamil yang terinfeksi HIV harus diberi
pengobatan antiretrovirus (ARV) untuk mengurangi jumlah muatan virus.
Menurut Kementerian Kesehatan RI dalam Pedoman Nasional Pencegahan
Penularan HIV dari Ibu ke Anak (2012:22), tujuan pemberian ARV adalah sebagai
berikut:
a. Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat
b. Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan HIV
c. Memperbaiki kualitas hidup ODHA
d. Memulihkan dan memelihara fungsi kekebalan tubuh, dan
e. Menekan replikasi virus secara maksimal.
Cara paling efektif untuk menekan replikasi HIV adalah dengan memulai
pengobatan dengan kombinasi ARV yang efektif. Semua obat yang dipakai harus
dimulai pada saat yang bersamaan pada pasien baru. Terapi kombinasi ARV harus
menggunakan dosis dan jadwal yang tepat. Obat ARV harus diminum terus menerus
secara teratur untuk menghindari timbulnya resistensi. Diperlukan peran serta aktif
pasien dan pendamping/keluarga dalam terapi ARV. Di samping ARV, timbulnya infeksi
oportunistik harus mendapatkan perhatian dan tatalaksana yang sesuai (Kemenkes RI,
2012: 22).
Pemilihan antiretrovirus untuk ibu hamil terinfeksi HIV sama dengan ibu yang
tidak hamil. Yang harus diketahui dari ibu hamil terinfeksi HIV adalah status penyakit
HIV (beratnya penyakit AIDS ditentukan berdasarkan hitung sel T CD4+, perkembangan
infeksi ditentukan berdasarkan jumlah muatan virus, antigen p24 atau RNA/DNA HIV di
dalam plasma), riwayat pengobatan antiretrovirus saat ini dan sebelumnya, usia
kehamilan, dan perawatan penunjang yang diperlukan seperti perawatan psikiater,
nutrisi, aktivitas seksual harus memakai kondom, dan lain-lain. ARV cukup aman
diberikan kepada ibu hamil. Obat ini tidak bersifat teratogenik pada manusia, dan tidak
bersifat lebih toksik pada ibu hamil dibandingkan dengan ibu tidak hamil. Walaupun
demikian, pemantauan jangka penwdek dan jangka panjang tentang toksisitas dari
paparan sampai penggunaan kombinasi ARV untuk janin di dalam kandungan dan pada
bayi adalah sangat penting, karena keterbatasan informasi, dan data yang ada sering tidak
sesuai (Setiawan, 2009: 492).
Indikasi pemberian antiretrovirus pada wanita hamil sama dengan pada wanita
tidak hamil. Untuk wanita hamil yang sudah mendapat pengobatan antiretrovirus,
keputusan untuk mengganti obat adalah sama dengan wanita tidak hamil. Rejimen
kemoprofilaksis ZDV diberikan tunggal atau bersama dengan antiretrovirus lain, mulai
diberikan pada usia kehamilan 14 minggu dan jangan ditunda. Karena dengan menunda
maka efektivitasnya akan menurun. Hal ini harus didiskusikan dan ditawarkan kepada
seluruh ibu hamil yang terinfeksi agar risiko penularan HIV perinatal berkurang
(Setiawan, 2009: 492).
Prevention USA menyarankan untuk memberikan pengobatan dan profilaksis
antiretrovirus kepada ibu pada saat intrapartum sebagai berikut:
a. Pemberian ZDV intravena disarankan untuk seluruh ibu hamil terinfeksi HIV, tanpa
memandang jenis antivirus yang diberikan pada saat antepartum; ini bertujuan
mengurangi penularan HIV perinatal.
b. Untuk ibu yang mendapat pengobatan antivirus antepartum yang mengandung obat
stavudine (d4T), maka obat ini distop selama pemberian ZDV intravena pada saat
persalinan.
c. Pada mereka yang mendapat antiretrovirus kombinasi, pengobatannya harus
diteruskan selama persalinan dan sebelum dilakukan bedah saesar sesuai jadwal
dengan tepat.
d. Mereka yang mendapat terapi kombinasi dengan dosis yang sudah ditentukan
termasuk ZDV, maka pada saat persalinan harus diberi ZDV intravena, sementara
komponen antiretrovirus yang lain terus diberikan secara oral.
e. Untuk ibu yang sudah mendapat antiretrovirus tetapi pada saat menjelang persalinan
ternyata jumlah penurunan virus kurang optimal (misal >1000 salinan/mL) maka
disarankan untuk dilakukan bedah saesar. Tidak disarankan untuk menambahkan
NVP dosis tunggal pada saat intrapartum atau kepada neonatus yang dilahirkan.
Ibu dengan status HIV yang tidak jelas yang datang pada saat akan melahirkan,
harus dilakukan pemeriksaan tes cepat terhadap antibodi HIV, dan pemberian ZDV
intravena harus dimulai jika hasil test positif (tanpa menunggu hasil tes konfirmasi) tes
konfirmasi dilakukan sesudah melahirkan, dan bayi harus mulai diberi ZDV. Jika hasil
tes positif, maka disarankan untuk memberikan ZDV kepada neonatus selama 6 minggu,
dan jika hasil tes negatif, maka pemberian ZDV pada neonatus distop.
Pada ibu terinfeksi HIV yang sedang melahirkan tetapi tidak mendapat
pengobatan antiretrovirus antepartum, disarankan pemberian ZDV intravena selama
melahirkan kepada bayinya selama 6 minggu. Beberapa ahli sering mengkombinasi obat
ini dengan NVP dosis tunggal yang diberi kepada ibu dan neonatus. Jika digunakan NVP
dosis tunggal (sendiri atau dikombinasi dengan ZDV), maka harus dipertimbangkan
untuk memberikan 3TC pada saat melahirkan dan kepada ibu diberikan ZDV/3TC
selama 7 hari sesudah melahirkan untuk mengurangi terjadinya resistensi virus terhadap
NVP pada ibu.
Menurut Kementerian Kesehatan RI dalam Pedoman Nasional Pencegahan
Penularan HIV dari Ibu ke Anak (2012:), ARV pada ibu hamil dengan HIV selain dapat
mengurangi resiko penularan HIV dari ibu ke anak adalah untuk mengoptimalkan
kondisi kesehatan ibu dengan cara menurunkan kadar HIV serendah mungkin. Pilihan
terapi yang direkomendasikan untuk ibu hamil dengan HIV adalah terapi menggunakan
kombinasi tiga obat (2 NRTI + 1 NNRTI). Seminimal mungkin hindari triple nuke (3
NRTI). Regimen yang direkomendasikan untuk ibu hamil adalah sebagai berikut:

POPULASI TARGET PEDOMAN TATALAKSANA

Pasien naive HIV + CD4 ≤ 350 cell/mm3


asimptomatik

Pasien naive HIV + Stadium 2 dengan CD4 ≤ 350 cell/mm3


simptomatik atau stadium 3 atau 4 tanpa memandang

nilai CD4-nya.

ibu hamil a. ARV diberikan mulai pada usia

kehamilan ≥ 14 minggu, berapa pun


stadium klinis dan nilai CD4-nya
b. Jika usia kehamilannya ≤ 14 minggu
namun ada indikasi, ARV dapat
segera diberikan.

Tabel 2. Saat yang tepat untuk memulai pengobatan ARV pada ibu hamil
Data yang tersedia menunjukkan bahwa pemberian ARV kepada ibu selama
hamil dan dilannjutkan selama menyusui adalah intervensi PPIA yang paling efektif
untuk kesehatan ibu dan juga mengurangi risiko pebularana HIV dan kematian bayi
(Kemenkes RI, 2012: 23).
Pemberian ARV untuk ibu hamil dengan HIV mengikuti Pedoman
Tatalaksana Klinis dan terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa, Kementerian
Kesehatan 2011. Pemberian ARV disesuaikan dengan kondisi klinis ibu dan
mengikuti ketentuan sebagai berikut:
a. Ibu hamil merupakan indikasi pemberian ARV
b. Untuk perempuan yang status HIV-nya diketahui sebelum kehamilan, dan pasien
sudah mendapatkan ART, maka saat hamil ART tetap diteruskan dengan regimen
yang sama seperti saat sebelum hamil.
c. Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui sebelum umur kehamilannya 14
minggu, jika ada indikasi dapat diberikan ART. Namun jika tidak ada indikasi,
pemberian ART ditunggu hingga umur kehamilannya 14 minggu. Regimen ART
yang diberikan sesuai dengan kondisi klinis ibu.
d. Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui pada umur kehamilan ≥ 14
minggu, segera diberikan ART berapapun nilai CD4 dan stadium klinisnya.
Regimen ART yang diberikan sesuai dengan kondisi klinis ibu.
e. Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui saat menjelang persalianan,
segera diberikan ART sesuai kondisi klinis ibu. Pilihan kombinasi regimen ART
sama dengan ibu hamil yang lain.
.
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Data on the size of the HIV/AIDS epidemic: data by WHO
region by WHO region. WHO. 2012. Diunduh pada h t t p : / / a p p s . w h o . i n t / g h o /
d a t a / node.main.619?lang=en tanggal 6 Februari 2019.

2. World Health Organization. Data on the size of the HIV/AIDS epidemic: Number of
people (all ages) living with HIV by country. WHO. 2012. Diunduh pada
http://apps.who.int/gho/data/ node.main.620?lang=en tanggal 6 Februari 2019.

3. Palmer S, Wiegand AP, Maldarelli F, Bazmi H, Mican JM, Polis M, et al. New real-time
reverse transcriptase-initiated PCR assay with single-copy sensitivity for human
immunodeficiency virus type 1 RNA in plasma. J Clin Microbiol. 2013;41(10):4531-6.

4. Li H, Bar KJ, Wang S, Decker JM, Chen Y, Sun C, et al. High Multiplicity Infection by
HIV-1 in Men Who Have Sex with Men. PLoS Pathog. 2010;6(5):e1000890.

5. Alter G, Martin MP, Teigen N, Carr WH, Suscovich TJ, Schneidewind A, et al.
Differential natural killer cell-mediated inhibition of HIV-1 replication based on distinct
KIR/HLA subtypes. J Exp Med. 2009;204(12):3027-36.

6. Hladik F, Sakchalathorn P, Ballweber L, Lentz G, Fialkow M, Eschenbach D, et al.


Initial events in establishing vaginal entry and infection by human immunodeficiency
virus type-1. Immunity. 2009;26(2):257-70.

7. Schmitz JE, Kuroda MJ, Santra S, Sasseville VG, Simon MA, Lifton MA, et al. Control
of viremia in simian immunodeficiency virus infection by CD8+ lymphocytes. Science.
2009; 283(5403):857-60.

8. Rajeev Mehla PD. Chemokine Deregulation in HIV. Infection: Role of Interferon


Gamma Induced Th1-Chemokine Signaling. J Clin Cell Immunology. 2012.
9. Aluvihare VR, Kallikourdis M, Betz AG. Tolerance, suppression and the fetal allograft. J
Mol Med (Berl). 2010;83(2):88-96.

10. Aluvihare VR, Kallikourdis M, Betz AG. Regulatory T cells mediate maternal tolerance
to the fetus. Nat Immunol. 2014;5(3):266-71.

11. Zoller AL, Schnell FJ, Kersh GJ. Murine pregnancy leads to reduced proliferation of
maternal thymocytes and decreased thymic emigration. Immunology. 2007;121(2):207-
15.

12. Ono E, Dos Santos AM, Machado DM, Succi RC, Amed AM, Salomao R, et al.
Immunologic features of HIV-1-infected women on HAART at delivery. Cytometry B
Clin Cytom. 2018;74(4):236-43.

13. Guerin LR, Prins JR, Robertson SA. Regulatory T-cells and immune tolerance in
pregnancy: a new target for infertility treatment? Hum Reprod Update. 2009;15(5):517-
35.
14. Nilsson J, Boasso A, Velilla PA, Zhang R, Vaccari M, Franchini G, et al. HIV-1-driven
regulatory T-cell accumulation in lymphoid tissues is associated with disease progression
in HIV/ AIDS. Blood. 2016;108(12):3808-17.

15. Sutton MY, Holland B, Denny TN, Garcia A, Garcia Z, Stein D, et al. Effect of
pregnancy and human immunodeficiency virus infection on intracellular interleukin-2
production patterns. Clin Diagn Lab Immunol. 2014;11(4):780-5.

16. Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan penyehatan


Lingkungan. 2012. Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak
(PPIA) Edisi Kedua. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

17. McFarland, Elizabeth J. 2013. Human Immunodeficiency Virus (HIV) Infection


in:Current Pediatric Diagnosis&Treatment. 16th edition.. McGraw&Hill Company.
Singapore (1140-50).
18. Rusadi, Rulina. 2003. Tatalaksana Bayi dari Ibu Pengidap HIV/AIDS.Volume 4
Nomor 4.

19. Setiawan, I Made. 2009. The Prevention Management of HIV Vertical Transmission from
Infected Mothers to Their Child. Volume 59 Nomor 10.

Anda mungkin juga menyukai