Anda di halaman 1dari 46

TUGAS

MATA KULIAH KEBIDANAN KOMUNITAS


Journal Reading
“Maternal Deaths In Eastern Indonesia: 20 Years and Still Walking: An
Ethnographic Study”
Sosiologi Angka Kematian Ibu
Dosen Pengampu dr. Muljohadi Sungkono, Sp.OG (K)

Oleh
Firda Kalzum Kiah (186070400111002)
Hening Ryan A. (186070400111006)
Zaida Maulidiyah (186070400111010)
Istifadatul Ilmiya (186070400111014)
Anggie Diniayuningrum (186070400111018)
Dini Ria (186070400111022)

PROGRAM STUDI MAGISTER KEBIDANAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2019

1
BAB I
RESUME JURNAL DAN IDENTIFIKASI MASALAH

1.1 Resume Jurnal


Identitas Jurnal
Judul:
Maternal Deaths In Eastern Indonesia: 20 Years and Still Walking: An
Ethnographic Study
Penulis:
Suzanne Belton1*, Bronwyn Myers2 and Frederika Rambu Ngana3
1
Menzies School of Health Research, Casuarina, Darwin, NT, Australia.
2
Department of Research Institute for the Environment and Livelihoods, Charles
Darwin University, Casuarina, Darwin, NT, Australia.
3
Nusa Cendana University, Kupang, Nusa Tenggara Timur, Indonesia.
Jurnal:
BMC Pregnancy and Childbirth 2014, 14:39
Received: 17 June 2013 Accepted: 16 January 2014
Published: 22 January 2014
doi:10.1186/1471-2393-14-39
Impact Factor: 2.331 (https://bmcpregnancychildbirth.biomedcentral.com/about)
Publisher: BioMed Central

1. Latar Belakang
Kematian ibu masih merupakan masalah yang sulit diatasi bagi Indonesia
meskipun upaya kerjasama telah dilakukan baik oleh pemerintah dan sektor non-
pemerintah. Rasio kematian ibu (AKI) di Indonesia menurun dan kemudian
meningkat dalam 20 tahun terakhir, dengan jumlah kematian ibu per 100.000
kelahiran hidup menurun dari 390 pada 1991, menjadi 228 pada 2007, dan 220
pada 2010, (jumlahnya dua kali dari Sasaran Pembangunan Milenium (MDG)
102/100.000 kelahiran hidup tahun 2015). Provinsi Indonesia Timur, Nusa
Tenggara Timur (NTT) masih mengalami tingkat kematian ibu yang tinggi. MMR

2
untuk provinsi NTT tetap lebih tinggi dari rata-rata nasional, dengan 271/100.000
kelahiran hidup pada tahun 2010, dan daerah pedesaan di Timor Tengah Selatan
(TTS) sangat tinggi dengan MMR 596 pada tahun 2010.
Tantangan dalam memberikan perawatan kesehatan ibu yang memadai di
Indonesia adalah terbatasnya akses ke fasilitas yang berkualitas, terbatasnya
ketersediaan staf kesehatan, kurangnya kesadaran dan kendala budaya mengenai
keselamatan ibu, status gizi dan kesehatan perempuan yang rendah, serta tidak
terpenuhi kebutuhan kontrasepsi, dan sistem yang lemah untuk pencatatan
kematian ibu. Kehadiran tenaga terampil saat melahirkan diakui sebagai salah satu
faktor penting untuk mengurangi angka kematian ibu. Data resmi untuk tahun
2010 menunjukkan, di Indonesia dan provinsi NTT masing-masing, 82% dan 76%
kelahiran dibantu oleh dukun terampil. Studi di Indonesia menunjukkan bahwa
wanita yang menerima perawatan antenatal, kemungkinan lebih banyak di
damping oleh tenaga terampil pada saat kelahiran. Perawatan antenatal umumnya
jarang dilakukan oleh wanita dari daerah pedesaan, keluarga miskin, pendidikan
kurang dan wanita memiliki persepsi khusus tentang melahirkan di rumah.
Makalah Thaddeus dan Maine 'Terlalu Jauh untuk Berjalan' 1994
menggambarkan berbagai faktor hambatan dalam mengakses perawatan
kegawatdaruratan maternal, yaitu terdapat tiga jenis keterlambatan, (I) keputusan
untuk mencari perawatan, (II) kedatangan di fasilitas kesehatan; dan (III)
penyediaan perawatan yang memadai. Lebih dari satu dekade kemudian dalam
jurnal, Gabrysch & Campbell pada tahun 2009 menjelaskan 20 penentu
penggunaan layanan kesehatan ibu dan membagi ke dalam empat kategori: faktor
sosial-budaya; manfaat/kebutuhan yang dirasakan; aksesibilitas ekonomi dan
aksesibilitas fisik. Mereka mengamati bahwa keterlambatan dalam keputusan
untuk mencari perawatan ditentukan oleh faktor sosial-budaya, dan keterlambatan
dalam mencapai fasilitas kesehatan dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan
geografis.
Studi dalam jurnal ini berfokus pada sebuah kecamatan di provinsi NTT di
mana medannya kasar dan jalanannya buruk dan hambatan geografis cenderung
menjadi penghalang untuk mengakses kegawatdaruratan perawatan kesehatan
(penundaan kedua). Namun beberapa kematian ibu yang relatife terjadi dekat

3
dengan fasilitas kesehatan menunjukkan adanya keterlambatan dalam mencari
perawatan darurat (pertama keterlambatan). Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk menggambarkan keterbatasan atau hambatan dalam mengakses perawatan
ibu pada saat keadaan darurat pada kasus kematian ibu di kecamatan pedesaan di
NTT. Kami ingin menggambarkan keadaan kematian ibu melalui metodologi
etnografi di mana keluarga menjelaskan perilaku mencari kesehatan dan persepsi
mereka tentang penyebab komplikasi kelahiran, serta akses mereka ke perawatan
kesehatan selama kehamilan dan kegawatdaruratan maternal. Kami meneliti
alasan untuk memilih tempat kelahiran dan memilih pembantu kelahiran, serta
keputusan tentang persiapan kelahiran dan akses kesejahteraan sosial Indonesia
dalam bentuk kartu perawatan kesehatan (Jamkesmas, JPS). Kerangka studi kami
berada di dalam unit keluarga besar dan terletak pada tingkat desa.

2. Metode
Penelitian ini dilakukan di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia
Bagian Timur, yang merupakan salah satu provinsi termiskin di Indonesia. Hingga
pada saat penelitian ini akan dilakukan, dalam satu kecamatan hanya 4 dari 11
desa yang memiliki bidan.
Karakteristik penduduknya meliputi agama mayoritas adalah Kristen,
sebagian besar penduduk berbahasa Indonesia, pekerjaan penduduk mayoritas
bergerak di bidan pertanian dan industri rumahan, serta pertambangan yang
sebagian kecil dilakukan oleh penduduk.
Peserta dalam penelitian ini adalah keluarga yang terdapat kejadian
kematian ibu. Peneliti melibatkan petugas gereja untuk membantu melakukan
pendekatan dan menyampaikan pesan untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.
Terdapat 11 keluarga yang diminta untuk berpartisipasi dan tidak ada yang
menolak. Partisipan dalam penelitian ini meliputi suami, ibu, ibu mertua, saudara
laki-laki, saudara perempuan, dan kerabat dari suami ibu yang meninggal. Selain
itu, wawancara juga dilakukan bersama dukun beranak.
Peneliti juga berharap dapat melakukan wawancara pada orang yang
berperan dalam membuat keputusan tentang akses perawatan kesehatan ibu dan
yang telah memberikan perawatan langsung selama kelahiran dan periode

4
postnatal, namun tidak ada dokter dan bidan yang diwawancara. Para pemimpin
desa dan perangkat desa juga diwawancarai tentang struktur dan infrastruktur
organisasi desa dan proses pelaporan kematian di desa. Tabel 1 berikut ini
merincikan hal-hal yang ditanyakan kepada partisipan

Pengumpulan data dan analisis


Tim peneliti terdiri atas:
a. Seorang pria yang lebih tua berpendidikan yang berbicara bahasa lokal,
b. Seorang pemimpin wanita yang berbicara bahasa lokal,
c. Satu peneliti yang terlatih secara akademis yang berbicara bahasa local
d. Satu peneliti yang terlatih secara akademis yang berbicara Bahasa Indonesia
dan Inggris
e. Dua akademisi Australia yang terlatih masing-masing dalam antropologi medis
dan geografi.
Tim telah melewati pelatihan bersama sebelum pengumpulan data dalam
permainan peran, praktik wawancara dan diskusi tentang kematian ibu dan etika
penelitian. Setelah pelatihan dan berbagi informasi budaya, tim peneliti
melakukan perjalanan ke desa-desa dan datang ke rumah partisipan.
Izin etik penelitian (Ethical Clearence) diperoleh dari Human Research
Ethics Committee (# H10081) Universitas Charles Darwin dan izin diperoleh dari
universitas di Indonesia yang terlibat dalam penelitian ini.
Mayoritas responden buta huruf dan lebih menyukai kebiasaan tradisional
mereka untuk berbicara dengan orang asing. Wawancara dilakukan dalam
kelompok antara 2 hingga 12 orang, dikarenakan keluarga lebih menyukai
diwawancarai dalam kelompok daripada individu. Ketika menjawab pertanyaan,
keluarga mendiskusikan jawabannya terlebih dahulu. Seringkali pewawancara
mendorong wanita untuk berbicara, karena pria cenderung mendominasi
pembicaraan.

5
Lokasi-lokasi utama dalam kisah kematian ibu dicatat dengan alat geo-
positioning (GPS), termasuk rumah sakit, pusat kesehatan (puskesmas), pos
kesehatan (posyandu), telepon umum, dan rumah tempat kematian ibu terjadi.
Data resmi menunjukkan bahwa 11 kematian ibu telah terjadi, di 11 desa,
di kecamatan studi selama periode 2008 hingga 2010. Peneliti mewawancarai
delapan keluarga yang pernah mengalami kematian ibu, dan kepala desa dari lima
desa tempat keluarga ini berada. Wawancara dilakukan dengan semua tim peneliti
yang hadir pada Juni 2011 dengan keluarga yang telah mengalami kematian ibu
sembilan bulan hingga tiga tahun sebelumnya.
Peneliti menggunakan wawancara terjadwal yang dimodifikasi yang telah
diuji coba di Sulawesi Selatan. Setiap wawancara memakan waktu satu hingga
dua jam. Wawancara dengan anggota keluarga dan pemimpin desa membahas
topik-topik yang diuraikan dalam Tabel 2. Analisis data menggunakan analisis
tematik.

3. Hasil
Informasi dari Kepala Desa atau Perwakilannya.
Enam desa memiliki populasi rata-rata mulai dari 1700-2300, terdiri dari
400-700 keluarga. Penghidupan dari pertanian adalah yang paling umum (~ 95%)
dengan pekerjaan lain termasuk guru, pegawai negeri, dan ojek. Makanan pokok
adalah jagung dan singkong, dan periode tersibuk untuk kegiatan pertanian adalah
Agustus hingga Oktober untuk menyiapkan ladang, dan April untuk panen jagung.
Bahasa yang paling umum digunakan adalah Dawan dan beberapa penduduk desa

6
tidak dapat berbahasa Indonesia. Masing-masing desa memiliki antara satu dan
tiga sekolah dasar, dan satu sekolah menengah pertama. Malnutrisi diidentifikasi
sebagai masalah umum dan proporsi yang tinggi dari penduduk desa yang
diklasifikasikan hidup dalam kemiskinan. Semua desa memiliki satu telepon
umum pada bertempat di pusat, namun dalam banyak kasus telepon tersebut tidak
berfungsi. Sinyal ponsel bervariasi di antara lokasi dan umumnya cukup kuat
untuk pesan teks, meskipun hanya di bagian puncak bukit di beberapa desa. Satu
desa tidak memiliki listrik; tidak berfungsinya tenaga panel dan tidak mampu
menjalankan generator. Di desa ini tidak ada daya untuk mengisi ulang ponsel
meski sinyalnya memadai.
Semua desa mengalami hambatan akses melalui jalan darat karena banjir
musiman, tanah longsor dan kerusakan jalan. Hujan terberat dan paling persisten
biasanya dialami dari Januari hingga April, dengan akibatnya penutupan jalan
sering dialami pada bulan April dan Mei. Wawancara dilakukan pada Juni 2011,
setelah periode sangat basah, dan banyak jalan rusak, dan beberapa tetap
terpotong oleh tanah longsor.
Semua desa berada antara 10 dan 30 km dari kecamatan (di mana klinik
kesehatan berada), namun medan yang berat dan jalan yang buruk berarti rata-rata
kecepatan dengan mobil kurang dari 10 km/jam, sehingga waktu tempuh dengan
mobil dari desa-desa ini ke klinik kecamatan antara satu sampai empat jam.
Beberapa desa memiliki layanan bus setiap hari dan truk bepergian dari desa ke
pasar lokal di desa terdekat seminggu sekali. Semua desa memiliki beberapa ojek
kecuali salah satu desa hanya punya satu sepeda motor. Tidak ada desa yang
secara permanen memiliki mobil ditempat. Ambulans dari klinik kecamatan
dipanggil dalam beberapa keadaan darurat medis, tetapi transportasi bermotor
dibatasi oleh bagian jalan, dan hanya sejauh di mana jalan terkadang terpotong
oleh banjir. Penduduk desa biasanya berjalan kaki untuk berkunjung ke desa
tetangga dan pasar. Dalam kegawatdaruratan medis ketika jalan terpotong, pasien
dibawa oleh beberapa anggota keluarga, baik dalam gendongan atau kursi yang
dipanggul dengan tiang.
Sebagian besar desa terdiri dari tiga atau empat dusun, dengan sebagian
besar memiliki posyandu, tetapi tidak semua dusun memiliki posyandu. Jika tidak

7
ada bidan di desa, seorang bidan dari klinik kecamatan mengunjungi masing-
masing posyandu sehari setiap bulannya. Sebagian besar di desa-desa, setiap
keluarga memiliki kartu perawatan kesehatan (Jamkesmas, JPS), dan di satu desa
di mana sedikit orang memiliki kartu JPS, diyakini kepala desa bahwa sebagian
besar keluarga memenuhi syarat untuk memilikinya. Pemegang JPS berhak untuk
mendapat perawatan kesehatan gratis di klinik kecamatan, dan mereka yang tidak
memiliki kartu diharuskan membayar Rp1.000 per kunjungan. Pemegang JPS
juga berhak gratis mendapat layanan ambulans jika diperlukan, namun pengguna
umumnya merasa berkewajiban untuk membayar bahan bakar atau membayar
pengemudi (kurang-lebih USD $ 10-30) jika mereka menggunakan ambulans.
Salah satu pemimpin desa mengatakan bahwa beberapa penduduk desa mungkin
mengunjungi posyandu, tetapi mereka “malu” untuk mengunjungi puskesmas di
kecamatan karena kurangnya privasi di sana.
Sistem tabungan untuk pengeluaran yang terkait dengan kelahiran
(Tabulin) telah terbentuk di banyak desa. Dengan adanya tabulin, ketika seorang
wanita hamil dia bisa menyisihkan uang pada kader setiap bulan selama
kehamilan. Jumlahnya bervariasi antar desa mulai dari Rp 2.000 hingga 20.000
(USD 0,2-2) per bulan. Setengah dari desa yang diselidiki, tabulin telah
diperkenalkan baru-baru ini dan tidak didukung secara luas karena
ketidakpercayaan. Di sebuah desa tempat seorang bidan tinggal, bidan membuat
persiapan untuk potensi terjadinya kegawatdaruratan maternal selama kunjungan
pertama antenatal dengan mengumpulkan nama dan nomor telepon dari sekitar 20
saudara laki-laki dari wanita tersebut, termasuk suaminya, sehingga bidan dapat
memanggil mereka untuk membawa ibu ke ambulans yang ditemui mereka jika
diperlukan. Tidak ada desa yang tampaknya memiliki sistem kesiapsiagaan desa
aktif (desa siaga).
Ketika ditanya tentang tindakan pada saat terdapat kelahiran, pemimpin
desa menjelaskan bahwa, para pendukung memindahkan ke klinik terdekat
menjelang tafsiran kelahiran, dan mencari bantuan bidan. Ini merupakan kondisi
di bawah program departemen kesehatan ibu dan anak (Revolusi KIA) yang telah
dilaksanakan sejak 2009. Namun, banyak pemimpin desa juga menyebutkan
bahwa sebagian besar wanita melahirkan secara tradisional di rumah bulat dan

8
sering dibantu oleh dukun bayi. Semua pemimpin desa membenarkan bahwa sejak
2010 ada denda untuk melahirkan di rumah dengan IDR 250.000 atau 500.000
(USD 25 atau 50) dan hampir semua mengakui bahwa denda jarang ditegakkan.
Jika kematian ibu terjadi, biasanya bidan akan melaporkan kematian ini ke
puskesmas kecamatan, dan kader, atau Kepala dusun melaporkan ke pemimpin
desa, yang pada gilirannya melaporkan kematian ke pemimpin kecamatan
(Camat). Desa juga memiliki sistem pengumuman kematian dengan
membunyikan lonceng atau membunyikan pesan pada tanduk kerbau, ditambah
pengumuman di kebaktian gereja.
Informasi Dari Keluarga
Delapan keluarga dihubungi. Karena medan dan logistik tidak dapat
menghubungi semua keluarga dalam sampel. Saat keluarga menceritakan
peristiwa yang mengelilingi kematian perempuan beberapa tema muncul:
keterpencilan; kemiskinan; kebiasaan tradisional; disfungsi sistem kesehatan dan
fatalisme.
Keterpencilan
Sedangkan rumah tempat kematian ibu terjadi adalah antara 5 dan 15 km dari
klinik kesehatan dan sekitar 35 km dari perawatan kegawatdaruratan ibu, lokasi-
lokasi ini dapat dianggap terpencil dari perawatan karena perjalanan itu lambat
dan telekomunikasi terbatas. Dalam banyak kasus ponsel tidak tersedia atau tidak
ada sinyal ponsel sehingga anggota keluarga berjalan ke dukun beranak atau bidan
desa untuk mencari perawatan.
Para suami menggambarkan sungai yang naik dan akan membahayakan hidup jika
ada upaya untuk menyeberang.
Pewawancara: Yang saya maksudkan adalah mengapa Anda tidak membawanya
pos kesehatan desa di [nama desa]? Kenapa Anda tidak membawanya ke [lokasi
pos kesehatan] untuk melahirkan?
Suami: Hujan sedang turun, bagaimana mungkin kita pergi? Kami tidak bisa
keluar rumah, apa yang bisa kami lakukan, kami hanya tidak bisa. [Kasus 4]
Selama musim hujan di wilayah ini, banjir sungai dan tanah longsor
menyebabkan hambatan untuk akses kesehatan. Kami memperkirakan perjalanan
dari rumah ke klinik perawatan kegawatdaruratan kebidanan terdekat dan

9
menghitung proporsi populasi dengan lebih dari dua jam waktu perjalanan sebagai
ukuran keterpencilan dari EmOC. Saat musim basah proporsi penduduk yang jauh
dari EmOC menurut ukuran ini lebih besar daripada di musim kemarau: dua kali
lebih besar untuk studi di kecamatan dan peningkatan yang jauh lebih besar untuk
subdistrik lainnya.
Kemiskinan
Semua keluarga miskin, tinggal di perumahan sederhana, sebagian dengan
lantainya tanah, tidak ada listrik, dan tidak ada sanitasi atau air mengalir.
Semuanya layak mendapatkan kartu Jamkesmas, tetapi terdapat 2 keluarga
pemegang kartu dengan tanpa keterangan bebas biaya perawatan, dan bahkan
mereka membayar Rp. 150.000 hingga 300.000 (USD $16 hingga 33) untuk
mendapatkan layanan kesehatan.
Pewawancara: Apakah Anda memiliki kartu Jamkesmas?
Suami: Kami tidak memiliki Jamkesmas. Mereka (staf klinik) tidak memberi kami
kartu Jamkesmas.
Pewawancara: Mengapa mereka tidak memberi Anda kartu Jamkesmas?
Suami: Kami melamar untuk Jamkesmas tetapi staf klinik tidak memberikannya
kepada kami. [Kasus 4]
Kami mencatat bahwa keterlambatan birokrasi dan ketidakpastian tingkat desa
menghambat warga desa yang memenuhi syarat untuk memegang kartu perawatan
kesehatan.
Kebiasaan Ritual Tradisi
Wanita dan keluarga mereka lebih suka melahirkan keluarga mereka dekat
dengan rumah bundar, tempat itu merupakan tempat utama, panen jagung dan
simbol kesuburan, dan merupakan wilayah perempuan (seperti yang diamati oleh
Kambaru Windi & Whittaker). Dukun membantu dengan memotong tali pusat dan
menangani plasenta. Anggota keluarga mendampingi selama persalinan dan
membantu para wanita pada waktu nifas dan menyiapkan makanan khusus untuk
wanita itu. Jika itu dirasakan bahwa para wanita sakit saat proses kelahiran, maka
upacara naketi dilakukan untuk meningkatkan kesehatan dan ini dapat menunda
untuk mencari perawatan kesehatan. Hanya satu wanita dalam penelitian kami

10
yang mengeluh kesakitan (nyeri dada) selama periode antenatal dan dia dibawa ke
perawatan kesehatan dengan ambulans.
Ayah mertua: Dia berdarah lebih dari satu jam. Plasentanya tidak keluar. Ini
pertama kalinya terjadi padanya. Dia melahirkan tiga anak perempuan sebelum
bayi ini dan dia baik-baik saja. Dia mengatakan itu jika dia pernah melahirkan
bayi laki-laki maka dia akan mati.
Ibu mertua: Dia juga mengatakan bahwa jika dia melahirkan seorang bayi
perempuan maka dia tidak akan mati.
Pewawancara: Apakah dia tahu bahwa dia akan melahirkan bayi laki-laki?
Ibu mertua: Ya, benar.
Ayah mertua: Dukun memintanya untuk melakukan naketi karena plasenta tidak
keluar.
Ibu mertua: Ibunya datang dan meminta kami melakukan naketi. Kemudian kami
melakukan upacara naketi dengan mengumpulkan kain tenun (tenun ikat),
tanaman dan ayam tetapi kemudian keluarga mengambilnya kembali. Mungkin
jika kita selesai melakukan upacara naketi, bidan dapat menemukannya masih
hidup. [Kasus 6].
Meskipun upacara tidak membahayakan secara langsung, upacara dapat
menghabiskan waktu berharga yang lebih baik digunakan untuk mencari
perawatan darurat kebidanan.
Dua dari wanita yang meninggal belum menikah, dan keluarga mereka
melaporkan bahwa para wanita ini sangat malu karena hamil tanpa memiliki
suami yang bertanggung jawab untuk mereka. Menurut keterangan dari saudara,
wanita tersebut menolak untuk mencari bidan atau mengakui kehamilan secara
publik. Keluarga melaporkan bahwa wanita meninggal setelah lebih dari 24 jam
setelah melahirkan, mungkin karena kehilangan darah, dan keluarga enggan untuk
membayar biaya atau mencari perawatan kesehatan. Kematian ini belum
dilaporkan dan tidak dimasukkan secara resmi ke catatan. Kedua keluarga
mengatakan itu adalah keinginan wanita untuk tidak menerima perawatan
kesehatan, namun wanita yang meninggal tidak bisa menceritakan kisah mereka
sendiri.

11
Seorang saudara laki-laki menceritakan kata-kata saudara perempuannya yang
sudah mati:
Saudara adopsi: Dia meninggal semuanya diserahkan pada Tuhan, setelah dia
melahirkan, untuk membiarkannya mati.
Pewawancara: Mengapa dia mengatakan itu?
Saudara adopsi: Dia tidak berdaya (menyerah) kepada Tuhan untuk
membiarkannya mati ketika dia melahirkan. Dia memikirkan itu karena dia tidak
punya suami, dia tidak ingin membuat masalah untuk keluarganya terutama untuk
orang tua angkatnya. [Kasus 7]
Dalam beberapa kasus wanita yang menikah menurut hukum tetapi belum
menyelesaikan upacara belis (harga pengantin).
Disfungsi Sistem Kesehatan
Ada beberapa contoh sistem kesehatan di mana yang disfungsional untuk
para wanita ini. Dalam kasus-kasus ini para wanita sehat dan menjalani
pemeriksaan rutin kehamilan. Untuk satu wanita, kembar tidak teridentifikasi pada
periode antenatal dan hanya ditemukan oleh keluarga selama kelahiran.
Kutipan berikut menggambarkan urutan peristiwa yang tidak
menguntungkan yang mengakibatkan keterlambatan fatal dalam mengakses
perawatan kegawatdaruratan ibu: hujan deras, tidak terdiagnosis kembar,
manajemen perdarahan yang buruk, tidak ada telekomunikasi dan kurangnya
transportasi.
Suami: Ketika istri saya meninggal, ada seorang dokter dan seorang perawat di
sini. Perawat memanggil tiga kali ke klinik kesehatan untuk mengirim ambulans
untuk menjemput Istri saya, tetapi mobil rusak. Pada saat bersamaan, di sana juga
terdapat seorang wanita yang melahirkan di sebuah desa tidak jauh dari kami.
Ambulans sibuk mengantar wanita tersebut untuk dibawa ke klinik tetapi setelah
tiba di klinik, mobil mogok. Kami menunggu mobil selama dua hari. Istri saya
kehilangan banyak darah.
Dia pergi ke klinik secara rutin. Kami punya lima anak. Dia selalu pergi ke
klinik sejak anak pertama kali. Anak pertama kami sudah lulus dari SMP dan anak
kedua telah lulus dari sekolah dasar. Istri saya sebelumnya tidak pernah
bermasalah dengan kehamilannya, tetapi pada kehamilan terakhir ini, dia

12
mengatakan dia tidak memiliki kekuatan yang sama untuk melahirkan seperti
sebelumnya. Jadi, saya menyuruhnya melahirkan di rumah sakit (klinik) karena
kami tidak akan bisa mendapatkan bantuan di sini. Istri saya setuju untuk pergi ke
rumah sakit (klinik) jadi kami sudah menyiapkan segala sesuatu seperti bose
(makanan tradisional dari pulau Timor), periuk (pot masakan tradisional), dan
kain (selimut) untuk dibawa bersama kami. Setelah dia meninggal, kami
menyimpan barang-barang itu. Masalah kita di sini adalah jalan yang terlalu jauh
[dari rumah] dan sulit untuk mencapai klinik. Pada saat kelahiran, semua keluarga
dan saya merawat istri saya. Ibu saya membantu istri saya untuk melahirkan. Saya
hanya memeluk istri saya. Dia berdarah terlalu banyak seperti air keluar seember.
[Kasus 5]
Sang suami melanjutkan dengan menceritakan bagaimana mereka
mencoba menelepon ambulans tetapi penerimaan telepon buruk dan hujan deras.
Keluarga itu berhasil berbicara dengan seorang dokter yang menyarankan
mengangkat kakinya tetapi menurut keluarga mereka tidak memberikan obat dan
tidak melakukan apa pun. Ini adalah kehamilannya yang kelima dan terakhir yang
tidak terdiagnosis bayi laki-laki kembar yang selamat saat kelahiran.
Dalam kasus lain, seorang wanita muda meninggal karena pendarahan setelah
plasenta tidak keluar. Disamping keluarga, dukun dan staf kader menyadari hal itu
bahwa ada sesuatu yang salah, dia mati kehabisan darah.
Ibu: Rumahnya ada di lembah gunung, jadi dia datang ke sini dua bulan sebelum
melahirkan karena dia ingin melahirkan di dekat klinik kesehatan. Ketika dia
merasakan sakit di rahimnya, saya menelepon kader jam 11 malam. Kader duduk
bersama kami sampai hampir jam 2 pagi. Kita meminta kader untuk memanggil
bidan tetapi dia berkata “sekarang pukul 1.30 pagi, sudah terlambat. Jika kita
memanggil bidan yang ahli saat ini, dia tidak akan menjawab panggilan kita.
Tidak peduli, matahari akan segera terbit”. Jadi dia membuat kami tidak
menelepon bidan. Saya merasa bodoh sekarang. Dan kemudian saya berkata
kepadanya “Tolong, panggil bidan untuk saya”. Tapi kadernya berkata, “Tunggu
sebentar, matahari akan segera terbit, pagi akan segera tiba”. Ada banyak
pendarahan. Disana ada darah seperti ketika kita membunuh binatang, mungkin
disebabkan oleh cedera besar. Darah mengalir saat dia duduk. Kami menggunakan

13
karung untuk menyimpannya. Kemudian pada jam 3.30 pagi, saya mencoba
menelpon ke nomor ponsel bidan sendiri, tetapi jam 4 pagi dia meninggal. Dia
(wanita) ingin memanggil bidan sendirian tapi jam 4 pagi dia melihat kader dan
berkata "ini sangat disayangkan" dan kemudian dia meninggal. [Kasus 8]
Fatalisme
Beberapa keluarga yang kami wawancarai mengatakan itu adalah cara
Tuhan dan tidak ada yang salah, mereka merasakan mereka memiliki sedikit
kendali atas apakah kehamilan istri mereka selamat atau bayi selamat dari
kelahiran.
Pewawancara: Jadi, apa yang dikatakan staf klinik?
Suami: Mereka tidak mengatakan apa-apa. Ketika hal-hal seperti ini terjadi kita
selalu berpikir; Tuhan telah memanggil kembali istriku. [Kasus 4]
Dalam satu kasus wanita yang meninggal sebelum menikah dan putrinya selamat
dari kelahiran. Ibunya juga tidak menikah dan meninggal saat melahirkannya.
Keluarga percaya anak yang selamat dikutuk dengan nasib yang sama.
Saudara adopsi: Maafkan saya, wanita yang meninggal itu, Ibunya juga meninggal
satu bulan setelah melahirkan. Dia juga tidak punya suami. Kami membesarkan
anak perempuannya (wanita yang meninggal). Tapi dia (wanita yang meninggal)
juga meninggal setelah melahirkan, dan kemudian kami mengambil untuk
merawat putrinya (bayi) sekarang. Bayi tidak punya ayah, sama seperti ibunya.
Pewawancara: Jadi, ceritanya sama dengan cerita ibunya. [Kasus 5]
Dalam semua kasus terdapat keterlambatan dalam mengakses perawatan
maternal saat keadaan darurat. Dalam tiga kasus kebutuhan perawatan darurat
diketahui setelah beberapa waktu, dan keterlambatan diperparah karena
permintaan perawatan hanya bisa disampaikan dengan berjalan ke bidan atau
dukun. Untuk lima kasus dimana kebutuhan untuk perawatan darurat diketahui
dengan cepat, di sana terdapat jarak keterlambatan dari salah satu atau keduanya
dalam permintaan perawatan untuk akses ke perawatan kesehatan. Dua keluarga
tidak mencari perawatan karena stigma orang yang hamil sebelum menikah. Satu
keluarga harus berjalan untuk menghubungi bidan dan yang lain menghubungi
klinik dengan sepeda motor. Di dua kasus perawatan diminta melalui telepon

14
tetapi di salah satu kasus-kasus ini bidan berada pada proses kelahiran lain dan
dalam kasus lain ambulan mogok.

4. Pembahasan
Dalam wawancara yang telah dilakukan terhadap 8 keluarga, peneliti
bertujuan menggambarkan keterbatasan atau hambatan dalam mengakses
perawatan ibu darurat untuk kasus kematian ibu di daerah pedesaan dan terpencil
dengan mempertimbangkan model Three Delays. Peneliti fokus perencanaan
kesehatan pada intervensi di tingkat desa. Peneliti ingin mengeksplorasi alasan
pemilihan lokasi persalinan dan pemilihan dukun beranak. Berdasarkan hasil
wawancara dengan keluarga, proses persalinan banyak dilakukan di dukun
beranak, dan berbagai alasan muncul yang secara tematis dianalisis menjadi
tema: keterpencilan, kemiskinan, kebiasaan tradisional, disfungsi sistem kesehatan
dan fatalisme.
a. Keterlambatan
Pada hampir semua kasus terdapat kombinasi keterlambatan yang
mengakibatkan keterlambatan fatal dalam pemberian perawatan darurat yang
diterima.
- Keterlambatan dalam mencari perawatan, terbagi menjadi 2 jenis yaitu
keterlambatan dalam mengenali kebutuhan perawatan darurat (mis.
Keparahan perdarahan atau infeksi yang tidak dikenali); dan keterlambatan
memutuskan untuk mencari perawatan (mis. stigma yang terkait dengan
kehamilan yang sebelum menikah).
- Keterlambatan dalam menerima perawatan setelah keputusan untuk mencari
perawatan dicapai, dibagi menjadi dua tahap: keterlambatan dalam
menyampaikan permintaan perawatan (mis. Tidak ada telepon dan perjalanan
ke bidan); dan keterlambatan bantuan datang (mis. bidan atau ambulans tidak
tersedia).
Untuk meningkatkan akses ke perawatan ibu darurat memerlukan
kombinasi pendekatan yang mencakup pertimbangan sosial dan geografis.
Mengatasi satu aspek saja dalam isolasi tidak akan menyelesaikan masalah dan
diperlukan kerangka kerja analitis yang kompleks. Walaupun keluarga lebih

15
senang untuk persalinan di dukun beranak, sebagian besar ibu dan keluarga tetap
mendukung untuk melakukan perawatan antenatal dan mencari bantuan
bidan/klinik jika terjadi keadaan darurat. Keluarga berhak mendapatkan bantuan
kesejahteraan sosial dalam bentuk kartu perawatan kesehatan tetapi seringkali
tidak memilikinya. Penelitian yang dilakukan oleh Titaley et al. (ibid) menyatakan
bahwa penduduk desa bingung tentang hak yang diberikan oleh kartu Jamkesmas.

b. Kehamilan di luar nikah


Stigma buruk tentang kehamilan diluar nikah telah menyebabkan kematian
dua orang wanita. Kedua wanita tersebut menyembunyikan kehamilannya dan
tidak melakukan pemeriksaan antenatal agar tidak menarik perhatian. Pihak
keluarga memberikan cerita yang berbelit-belit tentang bagaimana proses
pencarian perawatan kesehatan yang tidak efektif pada saat persalinan meskipun
terdapat dukun beranak dan bidan di dekat mereka. Kedua wanita itu
menghabiskan satu hari penuh untuk mati. Dalam satu kasus, kepala desa merasa
ada yang tidak beres dalam keluarga dan memanggil kepala keluarga untuk
menawarkan bantuan, namun pihak keluarga mengatakan tidak ada bantuan yang
diperlukan. Kedua kasus tersebut adalah kasus yang paling menyedihkan karena
kematian seharusnya dapat dihindari.
Para perempuan yang hamil di luar nikah ini tampaknya tidak memiliki
siapa pun untuk berbicara dengan mereka. Namun, dengan bekal pendidikan yang
ada pada para pemimpin desa, bidan dan dokter, harus melindungi perempuan
yang mengalami situasi ini. Perempuan yang hamil di luar nikah berisiko tinggi

16
diabaikan oleh keluarga mereka dan menjadi bahan pembicaraan yang
berkembang di lingkungan tempat tinggal sehingga berisiko dengan
menyembunyikan kehamilan mereka.
c. Disfungsi sistem kesehatan
Ada beberapa contoh disfungsi sistem kesehatan. Kesalahan dapat terjadi
dalam sistem apa pun dan tidak mengherankan bahwa tim peneliti mendengar
kasus-kasus di mana ini terjadi ketika peneliti berurusan dengan kasus kematian
ibu. Kesalahan yang paling jelas adalah kasus kembar yang tidak terdiagnosis
dalam sebuah keluarga yang kemungkinan besar akan bersedia membawa wanita
itu ke rumah sakit sebelum tahap akhir kehamilannya, seandainya mereka
diperingatkan sebelumnya. Kisah manajemen wanita ini menunjukkan kesalahan
lebih lanjut dengan kesalahan penanganan perdarahannya, dan transportasi darurat
yang tidak efektif. Meskipun dia berhasil bertahan hidup dua hari setelah
kelahiran, ini tidak cukup.
Penelitian ini hanya mendapatkan laporan kematian dari orang awam dan
beberapa pemberitahuan kematian resmi yang dibuat oleh staf yang sering tidak
hadir selama kematian, dua penyebab kematian yaitu perdarahan dan infeksi.
Secara global, perdarahan adalah penyebab utama kematian pada wanita hamil
dan semua staf perlu dilatih dalam manajemen perdarahan antenatal, intrapartum
dan postpartum. Pemasangan infus dan pemberian cairan, serta misoprostol oral
yang dapat diberikan di lingkungan di luar rumah sakit oleh tenaga kesehatan
selain dokter. Jenis manajemen ini perlu dimulai sebelum evakuasi darurat yang
memakan waktu berjam-jam. Misoprostol dapat digunakan untuk mencegah
kematian akibat perdarahan dan ada bukti yang tersedia mengenai keamanan dan
efektivitas biaya.
Kemungkinan penyebab lain kematian beberapa wanita dalam penelitian
ini adalah infeksi nifas setelah persalinan tidak bersih. Kurang tersedianya air
mengalir dan kurangnya sanitasi menjadi alasan terjadinya persalinan yang tidak
bersih. Tidak jelas dari penelitian ini mengapa bidan atau kader yang tinggal di
desa tidak mengunjungi perempuan setelah persalinan dan menilai pemulihan
pascapersalinan perempuan. Untuk mencegah terjadinya kematian setelah
persalinan akibat sepsis, di daerah ini memberikan antibiotik pada semua wanita

17
yang melahirkan di rumah yang dapat diberikan oleh bidan baik secara oral
maupun intravena. Promosi kesehatan mengenai sabun dan cuci tangan sebelum
membantu wanita melahirkan juga dapat membantu.
d. Fatalisme
Rasa fatalisme dapat menurunkan motivasi individu yang merasa bahwa
mereka memiliki sedikit kendali atas masa depan mereka. Dalam artikel Thaddeus
dan Maine 1994 mereka mendalilkan bahwa pendidikan dan bentuk-bentuk
pengetahuan modern dapat mengurangi terhadap pemikiran fatalistik. Sebagai
orang termiskin di pinggiran Indonesia, yang membentuk kelompok agama
minoritas, dapat dipahami bahwa mereka merasakan hal ini dan demikian pula
D'Branduoso telah mencatat sikap fatalistik di Jawa. Namun, mobilisasi desa
dimungkinkan dan orang dapat mengendalikan beberapa elemen dari keadaan
mereka. Hal ini sebagian tergantung pada tekad dan kepemimpinan masyarakat
ini.
Sementara fatalisme adalah cara normal untuk menghilangkan kesedihan
dan rasa bersalah tentang apa yang mungkin berbeda, tidak membantu ketika
mempertimbangkan, memotivasi desa untuk mempersiapkan dan bertindak untuk
mencegah kematian ibu dan bayi. Kepala desa dan bidan perlu memiliki
keterampilan untuk bekerja dengan masyarakat untuk mengatasi masalah yang
mungkin mempengaruhi banyak keluarga. Di daerah ini, orang-orang yang
beragama Kristen dan pemimpin agama dapat memotivasi penduduk desa dan
mendiskusikan kehendak Tuhan dengan cara yang menunjukkan bahwa
mengambil inisiatif juga merupakan ketetapan hati Tuhan. Skema mobilisasi desa
seperti transportasi, menghemat uang dan membantu perempuan untuk pergi ke
layanan kesehatan dapat menyelamatkan nyawa.
Keterbatasan penelitian ini adalah jumlah keluarga yang sedikit, fokus
pada faktor tingkat desa dan penelitian lintas budaya di Indonesia; Namun studi
ini mungkin mirip dengan konteks yang sebanding lainnya.

5. Kesimpulan

18
Dalam penelitian dengan jumlah sampel yang kecil di desa-desa di
Indonesia Timur, dapat dilihat beberap hal yang menyebabkan kematian ibu yaitu
sebagai berikut:
a. Keterlambatan dalam mengenali, mencari dan menerima perawatan kebidanan
darurat dasar.
b. Hambatan geografis penting dan masalah keterpencilan.
c. Sebagian besar wanita telah melakukan perawatan antenatal dan begitu terlibat
dengan sistem perawatan kesehatan. Namun, dalam semua kecuali satu kasus,
realisasi bahwa perawatan darurat diperlukan ditunda: penundaan yang
mungkin dihindari jika ada petugas persalinan yang terampil hadir.
d. Para wanita yang belum menikah tidak termasuk dari sistem perawatan
kesehatan, karena mereka tidak melakukan perawatan antenatal dan tidak ada
bidan yang dipanggil.
Penelitian ini menggambarkan bahwa berbagai faktor sosial dan geografis
berkaitan mempengaruhi hasil kelahiran, termasuk hambatan musiman untuk
transportasi, adat istiadat sosial yang mengakar bertentangan dengan perawatan
ibu hamil, dan rasa ketidakberdayaan untuk dapat mengubah nasib seseorang.

1.2 Identifikasi Masalah dan Penyelesaian


Berdasarkan hasil resume dari jurnal diatas adapun tujuan dari penelitian
ini adalah untuk menggambarkan keterbatasan atau hambatan dalam mengakses
perawatan ibu pada saat keadaan darurat pada kasus kematian ibu di kecamatan
pedesaan di NTT. Peneliti ingin menggambarkan keadaan kematian ibu melalui
metodologi etnografi di mana keluarga menjelaskan perilaku mencari kesehatan
dan persepsi mereka tentang penyebab komplikasi kelahiran, serta akses mereka
ke perawatan kesehatan selama kehamilan dan kegawatdaruratan maternal.
Peneliti meneliti alasan untuk memilih tempat kelahiran dan memilih pembantu
kelahiran, serta keputusan tentang persiapan kelahiran dan akses kesejahteraan
sosial Indonesia dalam bentuk kartu perawatan kesehatan (Jamkesmas, JPS).
Masalah-masalah yang muncul dalam jurnal adalah sebagai berikut.
1. Akses terhadap layanan kesehatan.

19
a. Telekomunikasi. Setiap desa memiliki satu telepon umun di ousat masing-
masing desa, namun banyak yang tidak berfungsi. Adapun penggunaan
ponsel terkendala sinyal tergantung lokasi, misalnya di bagian puncak bukit
di beberapa desa. Selain itu, tidak adanya listrik akibat tidak berfungsinya
tenaga panel dan tidak mampu menjalankan generator. Di desa ini tidak ada
daya untuk mengisi ulang ponsel meski sinyalnya memadai.
b. Transportasi. Adanya kesulitan untuk akses jalan darat karena banjir
musiman, tanah longsor dan kerusakan jalan. Hujan terberat dan paling
persisten biasanya dialami dari Januari hingga April, dengan akibatnya
penutupan jalan sering dialami pada bulan April dan Mei. Jarak dari faskes
ke pemukiman warga adalah sekitar 10-km ditempuh dengan medan berat
sehingga kecepatan maksimal kendaraan hanya 10km/jam, sehingga waktu
tempuh dengan mobil dari desa-desa ini ke klinik kecamatan antara satu
sampai empat jam. Ada beberapa desa yang memiliki layanan bus setiap
hari dan truk seminggu sekali. Tidak ada desa yang secara permanen
memiliki mobil ditempat. Ambulans dari klinik kecamatan dipanggil dalam
beberapa keadaan darurat medis, tetapi transportasi bermotor dibatasi oleh
bagian jalan, dan hanya sejauh di mana jalan terkadang terpotong oleh
banjir. Dalam kegawatdaruratan medis ketika jalan terpotong, pasien
dibawa oleh beberapa anggota keluarga, baik dalam gendongan atau kursi
yang dipanggul dengan tiang.dimana jarak kef askes jauh dan tidak terdapat
transportasi yang memadai untuk menangani kedaruratan dengan cepat.
Pemecahan masalah berupa meningkatkan akses ke perawatan ibu darurat
memerlukan kombinasi pendekatan yang mencakup pertimbangan sosial dan
geografis.
2. Kemiskinan. Ada beberapa keluarga miskin yang layak mendapatkan
Jamkesmas dari pemerintah namun tidak mendapatkannya. Hal ini terjadi
karena keterlambatan birokrasi dan ketidakpastian tingkat desa menghambat
warga desa yang memenuhi syarat untuk memegang kartu perawatan
kesehatan.
Keluarga berhak mendapatkan bantuan kesejahteraan sosial dalam bentuk kartu
perawatan kesehatan tetapi seringkali tidak memilikinya. Penelitian yang

20
dilakukan oleh Titaley et al. (ibid) menyatakan bahwa penduduk desa bingung
tentang hak yang diberikan oleh kartu Jamkesmas.
3. Kebiasaan Ritual Tradisi. Terdapat ritual yang memperlambat untuk tindakan
kegawatdaruratan. Meskipun upacara tidak membahayakan secara langsung,
upacara dapat menghabiskan waktu berharga yang lebih baik digunakan untuk
mencari perawatan darurat kebidanan. Selain itu, bagi wanita yang hamil tanpa
suami, mereka merasa malu dan tidak mau memeriksakan kehamilannya ke
tenaga kesehatan serta tidak mau melahirkan di bidan karena malu.
Pada kasus perempuan hamil tanpa suami, sudah seharusnya para pemimpin
desa, bidan dan dokter, harus melindungi perempuan yang mengalami situasi
ini. Perempuan yang hamil di luar nikah berisiko tinggi diabaikan oleh
keluarga mereka dan menjadi bahan pembicaraan yang berkembang di
lingkungan tempat tinggal sehingga berisiko dengan menyembunyikan
kehamilan mereka.
4. Disfungsi sistem kesehatan. Pada beberapa kasus yang teridentifikasi dalam
penelitian adalah terjadi kesalahan diagnosis, dimana ibu rutin melakukan
pemeriksaan, ibu mengalami kehamilan kembar, namun tidak terdiaagnosis
oleh tenaga kesehatan yang memeriksa. Sehingga pada saat proses persalinan
terjadi kegawatdaruratan yang menyebabkan perdarahan dan berakibat pada
kematian akibat penanganan perdarahan yang tidak efektif. Pada kasus yang
terjadi. keterlambatan fatal dalam mengakses perawatan kegawatdaruratan ibu:
hujan deras, tidak terdiagnosis kembar, manajemen perdarahan yang buruk,
tidak ada telekomunikasi dan kurangnya transportasi.
Penyebab lain kematian beberapa wanita dalam penelitian ini adalah infeksi
nifas setelah persalinan tidak bersih. Kurang tersedianya air mengalir dan
kurangnya sanitasi menjadi alasan terjadinya persalinan yang tidak bersih.
Pemecahan masalah yang ditawarkan untuk mencagah kematian akibat infeksi
yaitu dengan memberikan antibiotik pada semua wanita yang melahirkan di
rumah yang dapat diberikan oleh bidan baik secara oral maupun intravena.
Promosi kesehatan mengenai sabun dan cuci tangan sebelum membantu wanita
melahirkan juga dapat membantu.

21
5. Fatalisme yaitu pasrah pada keadaan dan mengganggap semua adalah takdir
dari Tuhan. Mereka menganggap mereka memiliki sedikit kendali atas apakah
kehamilan istri mereka selamat atau bayi selamat dari kelahiran. Hal ini dapat
menyebabkan keterlambatan dalam penanganan kegawatdaruratan.
Pemecahan masalah berupa melakukan pendekatan oleh tokoh masyakat yang
ada di desa tersebut untuk memberikan motivasi.
Kepala desa dan bidan perlu memiliki keterampilan untuk bekerja dengan
masyarakat untuk mengatasi masalah yang mungkin mempengaruhi banyak
keluarga. Di daerah ini, orang-orang yang beragama Kristen dan pemimpin
agama dapat memotivasi penduduk desa dan mendiskusikan kehendak Tuhan
dengan cara yang menunjukkan bahwa mengambil inisiatif juga merupakan
ketetapan hati Tuhan.

22
BAB II
PERATURAN PEMERINTAH INDONESIA
DALAM RANGKA UNTUK MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN IBU

2.1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 97 Tahun


2014, tentang Pelayanan Kesehatan pada Ibu sebelum dan selama hamil,
persalinan dan setelah melahirkan.
a. Pasal 5, Pelayanan Kesehatan Sebelum Hamil dilakukan untuk
mempersiapkan perempuan dalam menjalani kehamilan dan persalinan
yang sehat dan selamat serta memperoleh bayi yang sehat. Kegiatan
Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil sebagaimana dimaksud
meliputi:
1) pemeriksaan fisik
2) pemeriksaan penunjang
3) pemberian imunisasi
4) suplementasi gizi
5) konsultasi kesehatan
6) pelayanan kesehatan lainnya
b. Pasal 12, Pelayanan Kesehatan Masa Hamil bertujuan untuk memenuhi
hak setiap ibu hamil memperoleh pelayanan kesehatan yang berkualitas
sehingga mampu menjalani kehamilan dengan sehat, bersalin dengan
selamat, dan melahirkan bayi yang sehat dan berkualitas. Pelayanan
kesehatan masa hamil wajib dilakukan wajib dilakukan melalui pelayanan
antenatal terpadu. Pelayanan antenatal terpadu merupakan pelayanan
kesehatan komprehensif dan berkualitas yang dilakukan melalui:

23
1) pemberian pelayanan dan konseling kesehatan termasuk stimulasi dan
gizi agar kehamilan berlangsung sehat dan janinnya lahir sehat dan
cerdas
2) deteksi dini masalah, penyakit dan penyulit/komplikasi kehamilan
3) penyiapan persalinan yang bersih dan aman
4) perencanaan antisipasi dan persiapan dini untuk melakukan rujukan
jika terjadi penyulit/komplikasi
5) penatalaksanaan kasus serta rujukan cepat dan tepat waktu bila
diperlukan
6) melibatkan ibu hamil, suami, dan keluarganya dalam menjaga
kesehatan dan gizi ibu hamil, menyiapkan persalinan dan kesiagaan
bila terjadi penyulit/komplikasi.
Pelayanan Kesehatan Masa Hamil dilakukan sekurang-kurangnya 4
(empat) kali selama masa kehamilan.
c. Pasal 15, Pelayanan Kesehatan Masa sesudah melahirkan, pelayanan pada
masa ini meliputi : pelayanan kesehatan bagi ibu dan bayi baru lahir.
Pelayanan kesehatan bagi ibu paling sedikit 3 (tiga) kali selama masa
nifas dengan periode
1) 1 (Satu) kali pada periode 6 (enam) jam sampai dengan 3 (tiga) hari
pascapersalinan
2) 1 (Satu) kali pada periode 4 (empat) hari sampai dengan 28 (dua puluh
delapan) hari pascapersalinan
3) 1 (Satu) kali pada periode 29 (dua puluh sembilan) hari sampai
dengan 42 (empat puluh dua) hari pascapersalinan.
Kegiatan Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud meliputi:
1) pemeriksaan tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu
2) pemeriksaan tinggi fundus uteri
3) pemeriksaan lokhia dan perdarahan
4) pemeriksaan jalan lahir
5) pemeriksaan payudara dan anjuran pemberian ASI Eksklusif
6) pemberian kapsul vitamin A
7) pelayanan kontrasepsi pascapersalinan

24
8) konseling
9) penanganan risiko tinggi dan komplikasi pada nifas.
d. Pasal 16, Pelayanan kontrasepsi pascapersalinan bertujuan untuk menjaga
jarak kehamilan berikutnya atau membatasi jumlah anak yang
dilaksanakan dalam masa nifas. Dilaksanakan melalui pemilihan metode
kontrasepsi sesuai pilihan pasangan suami istri, sesuai indikasi, dan tidak
mempengaruhi produksi Air Susu Ibu. Pelayanan kontrasepsi meliputi :
1) pergerakan pelayanan kontrasepsi
2) pemberian atau pemasangan kontrasepsi
3) penanganan terhadap efek samping, komplikasi, dan kegagalan
kontrasepsi.
Dalam memeberikan pelayanan yang komperhensif dalam rangka
menurunkan angka kematian ibu di Indonesia juga dipengaruhi oleh:
a. pasal 40, Setiap fasilitas pelayanan kesehatan wajib memberikan Pelayanan
Kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah
melahirkan, penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi, dan pelayanan
kesehatan seksual sesuai dengan standar.
b. Pasal 42, Sumber daya manusia dalam pelayanan kesehatan harus tenaga
kesehatan
c. Pasal 45, Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin ketersediaan,
pemerataan, dan keterjangkauan obat dan perbekalan kesehatan dalam
penyelenggaraan pelayanan kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil,
persalinan, dan masa sesudah melahirkan, penyelenggaraan pelayanan
kontrasepsi, dan pelayanan kesehatan seksual.
d. Pasal 55, Pemerintah daerah kabupaten/kota melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan Kesehatan masa sebelum
hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan,
penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi, dan pelayanan kesehatan seksual
diwilayahnya dengan melakukan pelatihan tenaga kesehatan dan penyediaan
fasilitas pelayanan kesehatan

2.2 Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019

25
Sistem desentralisasi yang berlaku di Indonesia membuat dua pertiga nasib
dan kualitas hidup warga sangat ditentukan oleh baik buruknya kinerja pemerintah
daerah. Mulai dari kebersihan lingkungan, seperti pengelolaan sampah, hingga
kualitas sekolah dan pelayanan kesehatan, semuanya tergantung pada tinggi
rendahnya mutu pelayanan publik di daerah.
Pentingnya peran pemerintah daerah bukan hanya berlaku di Indonesia saja,
melainkan juga di seuruh dunia. Dalam bukunya If Major Ruled The World
(2013), Benjamin Barber meletakkan harapan kepada para wali kota untuk
mengatasi masalah–masalah besar dunia (perubahan iklim, pencegahan terorisme,
pengurangan kemiskinan, tata niaga perdagangan obat). Menurutnya pemerintah
daerah merupakan tenaga dan energi perubahan. Menurut Barber, ada tiga alasan
yang mendasari pemikiran tersebut yaitu :
a. Kota merupakan hunian bagi lebih dari separuh penduduk dan karenanya
merupakan mesin penggerak ekonomi
b. Kota telah menjadi rumah pencetus dan inkubator berbagai inovasi sosial,
ekonomi dan budaya
c. Para pemimpin kota dan pemerintah daerah tidak terbebani dengan isu
kedaulatan serta batas–batas bangsa yang menghalangi mereka untuk bekerja
sama.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor : K.02.02/Menkes/52/2015
ditetapkan Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019. Tujuan
indikator Kementerian Kesehatan bersifat dampak (impact atau outcome). dalam
peningkatan status kesehatan masyarakat, indikator yang akan dicapai salah
satunya adalah menurunnya angka kematian ibu dari 359 per 100.00 kelahiran
hidup (SP 2010), 346 menjadi 306 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2012).
Sasaran Strategis Kementerian Kesehatan adalah:
1. Meningkatnya Kesehatan Masyarakat, dengan sasaran yang akan dicapai
adalah:
1) Meningkatnya persentase persalinan di fasilitas kesehatan sebesar 85%
2) Menurunnya persentase ibu hamil kurang energi kronik sebesar 18,2%
2. Meningkatnya Akses dan Mutu Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dengan
sasaran yang akan dicapai adalah:

26
1) Jumlah kecamatan yang memiliki minimal 1 Puskesmas yang
terakreditasi sebanyak 5.600.
2) Jumlah kab/kota yang memiliki minimal 1 RSUD yang terakreditasi
sebanyak 481 kab/kota.
3. Meningkatnya Jumlah, Jenis, Kualitas dan Pemerataan Tenaga Kesehatan,
dengan sasaran yang akan dicapai adalah:
1) Jumlah Puskesmas yang minimal memiliki 5 jenis tenaga kesehatan
sebanyak 5.600 Puskesmas.
2) Persentase RS kab/kota kelas C yang memiliki 4 dokter spesialis dasar
dan 3 dokter spesialis penunjang sebesar 60%.
3) Jumlah SDM Kesehatan yang ditingkatkan kompetensinya sebanyak
56,910 orang.
Potensi dan tantangan dalam penurunan kematian ibu dan anak adalah
jumlah tenaga kesehatan yang menangani kesehatan ibu khususnya bidan
sudah relatif tersebar ke seluruh wilayah Indonesia, namun kompetensi
masih belum memadai. Demikian juga secara kuantitas, jumlah Puskesmas
PONED dan RS PONEK meningkat namun belum diiringi dengan
peningkatan kualitas pelayanan.
4. Diberlakukannya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Menurut peta jalan
menuju Jaminan Kesehatan Nasional ditargetkan pada tahun 2019 semua
penduduk Indonesia telah tercakup dalam JKN (Universal Health Coverage -
UHC). Diberlakukannya JKN ini jelas menuntut dilakukannya peningkatan
akses dan mutu pelayanan kesehatan, baik pada fasilitas kesehatan tingkat
pertama maupun fasilitas kesehatan tingkat lanjutan, serta perbaikan sistem
rujukan pelayanan kesehatan.
5. Penyehatan Lingkungan. Upaya penyehatan lingkungan juga menunjukkan
keberhasilan yang cukup bermakna. Persentase rumah tangga dengan akses
air minum yang layak meningkat dari 47,7 % pada tahun 2009 menjadi
55,04% pada tahun 2011. Angka ini mengalami penurunan menjadi 41,66%
pada tahun 2012, akan tetapi kemudian meningkat lagi menjadi 66,8% pada
tahun 2013. Kondisi membaik ini mendekati angka target 68% pada tahun
2014. Pada tahun 2013 proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan

27
terhadap air minum layak adalah 59,8% yang berarti telah meningkat bila
dibandingkan tahun 2010 mencapai 45,1%, sedangkan akses sanitasi dasar
yang layak pada tahun 2013 adalah 66,8% juga meningkat dari 55,5% dari
tahun 2010. Demikian juga dengan pengembangan desa yang melaksanakan
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) sebagai upaya peningkatan
penyehatan lingkungan, capaiannya terus mengalami peningkatan
6. Aksesibilitas Serta Mutu Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan. Aksesibilitas
obat ditentukan oleh ketersediaan obat bagi pelayanan kesehatan. Pada tahun
2013, tingkat ketersediaan obat dan vaksin telah mencapai 96,82%,
meningkat dari pada tahun sebelumnya yang mencapai 92,5%. Walaupun
demikian, ketersediaan obat dan vaksin tersebut belum terdistribusi merata
antar-provinsi. Disparitas ini mencerminkan belum optimalnya manajemen
logistik obat dan vaksin. Untuk itu, perlu didorong pemanfaatan sistem
pengelolaan logistik online serta skema relokasi obat vaksin antar
Provinsi/Kabupaten/Kota yang fleksibel dan akuntabel. Melalui e-logistic,
pemantauan ketersediaan obat dan vaksin akan semakin real time dan
memudahkan pengelolaannya bagi pelaksanaan program kesehatan.
Walaupun ketersediaan obat dan vaksin cukup baik, tetapi pelayanan
kefarmasian di fasilitas pelayanan kesehatan pada umumnya masih belum
sesuai standar. Hal ini terutama disebabkan oleh masih rendahnya penerapan
formularium dan pedoman penggunaan obat secara rasional. Di lain pihak,
penduduk yang mengetahui tentang seluk-beluk dan manfaat obat generik,
masih sangat sediki. Dalam upaya peningkatan ketersediaan obat dan alat
kesehatan yang aman, bermutu, dan berkhasiat tersebut, pemerintah telah
menyusun Formularium Nasional dan e-catalog untuk menjamin
terlaksananya penggunaan obat rasional. Konsep Obat Esensial diterapkan
pada Formularium Nasional sebagai acuan dalam pelayanan kesehatan,
sehingga pelayanan kefarmasian dapat menjadi costeffective.
7. Kesetaraan Gender. Kualitas SDM perempuan harus tetap perlu ditingkatkan,
terutama dalam hal: (1) perempuan akan menjadi mitra kerja aktif bagi laki-
laki dalam mengatasi masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik; dan (2)
perempuan turut mempengaruhi kualitas generasi penerus karena fungsi

28
reproduksi perempuan berperan dalam mengembangkan SDM di masa
mendatang. Indeks Pemberdayaan Gender (IPG) Indonesia telah meningkat
dari 63,94 pada tahun 2004 menjadi 68,52 pada tahun 2012. Peningkatan IPG
tersebut pada hakikatnya disebabkan oleh peningkatan dari beberapa
indikator komponen IPG, yaitu kesehatan, pendidikan, dan kelayakan hidup.
8. Berlakunya Undang-Undang Tentang Desa. Pada bulan Januari 2014 telah
disahkan UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Sejak itu, maka setiap desa
akan mendapat rata-rata Rp 1 Miliar, dana sebesar ini akan sangat besar
artinya bagi pemberdayaan masyarakat desa. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS) dan pengembangan Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat
(UKBM) akan lebih mungkin diupayakan di tingkat rumah tangga di desa,
karena cukup tersedianya sarana-sarana yang menjadi faktor pemungkinnya
(enabling factors).

2.3 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2016


tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan
Pendekatan Keluarga
Program Indonesia Sehat merupakan salah satu program dari agenda ke-5 Nawa Cita,
yaitu Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia Indonesia. Program ini didukung oleh
program sektoral lainnya yaitu Program Indonesia Pintar, Program Indonesia Kerja,
dan Program Indonesia Sejahtera. Program Indonesia Sehat selanjutnya menjadi
program utama Pembangunan Kesehatan yang kemudian direncanakan
pencapaiannya melalui Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan Tahun
2015-2019, yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kesehatan R.I. Nomor
HK.02.02/Menkes/52/2015.
Sasaran dari Program Indonesia Sehat adalah meningkatnya derajat kesehatan dan
status gizi masyarakat melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat
yang didukung dengan perlindungan finansial dan pemerataan pelayanan
kesehatan. Sasaran ini sesuai dengan sasaran pokok Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJMN) 2015-2019, yaitu: (1) meningkatnya status
kesehatan dan gizi ibu dan anak, (2) meningkatnya pengendalian penyakit, (3)
meningkatnya akses dan mutu pelayanan kesehatan dasar dan rujukan terutama di
daerah terpencil, tertinggal dan perbatasan, (4) meningkatnya cakupan pelayanan

29
kesehatan universal melalui Kartu Indonesia Sehat dan kualitas pengelolaan
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Kesehatan, (5) terpenuhinya kebutuhan
tenaga kesehatan, obat dan vaksin, serta (6) meningkatnya responsivitas sistem
kesehatan.
Program Indonesia Sehat dilaksanakan dengan menegakkan tiga pilar utama,
yaitu: (1) penerapan paradigma sehat, (2) penguatan pelayanan kesehatan, dan (3)
pelaksanaan jaminan kesehatan nasional (JKN). Penerapan paradigma sehat
dilakukan dengan strategi pengarusutamaan kesehatan dalam pembangunan,
penguatan upaya promotif dan preventif, serta pemberdayaan masyarakat.
Penguatan pelayanan kesehatan dilakukan dengan strategi peningkatan akses
pelayanan kesehatan, optimasi sistem rujukan, dan peningkatan mutu
menggunakan pendekatan continuum of care dan intervensi berbasis risiko
kesehatan. Pelaksanaan JKN dilakukan dengan strategi perluasan sasaran dan
manfaat (benefit), serta kendali mutu dan biaya. Kesemuanya itu ditujukan kepada
tercapainya keluarga-keluarga sehat.
Upaya pendukung program yang saat ini dirasakan kurang maka perlu dilakukan
penetapan area prioritas yang dapat memberikan dampak yang signifikan dalam
upaya peningkatan kesehatan masyarakat tanpa meninggalkan program diluar area
prioritas.
Dalam rangka menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI), kegiatan intervensi
dilakukan mengikuti siklus hidup manusia (Ibu hamil dan bersalin) sebagai
berikut:
a. Mengupayakan jaminan mutu Ante Natal Care (ANC) terpadu.
Meningkatkan jumlah Rumah Tunggu Kelahiran (RTK).
b. Meningkatkan persalinan di fasilitas kesehatan.
c. Menyelenggarakan konseling Inisiasi Menyusui Dini dan KB pasca
persalinan.
d. Meningkatkan penyediaan dan pemanfaatan buku KIA.
Program Indonesia Sehat dilaksanakan untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang didukung
dengan pelindungan finansial dan pemerataan pelayanan kesehatan. Untuk
melaksanakan Program Indonesia Sehat diperlukan pendekatan keluarga, yang

30
mengintegrasikan upaya kesehatan perorangan (UKP) dan upaya kesehatan
masyarakat (UKM) secara berkesinambungan, dengan target keluarga, berdasarkan
data dan informasi dari Profil Kesehatan Keluarga.
a. Pasal 1, Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga
bertujuan untuk:
1) meningkatkan akses keluarga berserta anggotanya terhadap pelayanan
kesehatan yang komprehensif, meliputi pelayanan promotif dan preventif
serta pelayanan kuratif dan rehabilitatif dasar;
2) mendukung pencapaian standar pelayanan minimal kabupaten/kota; melalui
peningkatan akses dan skrining kesehatan;
3) mendukung pelaksanaan jaminan kesehatan nasional dengan meningkatkan
kesadaran masyarakat untuk menjadi peserta Jaminan Kesehatan Nasional;
dan
4) mendukung tercapainya tujuan Program Indonesia Sehat dalam rencana
strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019.
b. Pasal 2 ayat (1), Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga terdiri
atas 4 (empat) area prioritas yang meliputi:
1) penurunan angka kematian ibu dan bayi;
2) penurunan prevalensi balita pendek (stunting);
3) penanggulangan penyakit menular; dan
4) penanggulangan penyakit tidak menular.
c. Pasal 3 ayat (1), Dalam rangka penyelenggaraan Program Indonesia Sehat
Dengan Pendekatan Keluarga, ditetapkan 12 (dua belas) indikator utama sebagai
penanda status kesehatan sebuah keluarga sebagai berikut:
1) keluarga mengikuti program Keluarga Berencana (KB);
2) Ibu melakukan persalinan di fasilitas kesehatan;
3) bayi mendapat imunisasi dasar lengkap;
4) bayi mendapat Air Susu Ibu (ASI) eksklusif;
5) balita mendapatkan pemantauan pertumbuhan;
6) penderita tuberkulosis paru mendapatkan pengobatan sesuai standar;
7) penderita hipertensi melakukan pengobatan secara teratur;
8) penderita gangguan jiwa mendapatkan pengobatan dan tidak ditelantarkan;
9) anggota keluarga tidak ada yang merokok;
10) keluarga sudah menjadi anggota Jaminan Kesehatan Nasional (JKN);

31
11) keluarga mempunyai akses sarana air bersih; dan
12) keluarga mempunyai akses atau menggunakan jamban sehat
d. Pasal 5 ayat (1), Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan
Keluarga dilaksanakan oleh Puskesmas.
e. Pasal 5 ayat (2), Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan
Keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk memperkuat
fungsi Puskesmas dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM)
dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) di tingkat pertama di wilayah kerjanya.
f. Pasal 6 ayat (1), Pelaksanaan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan
Keluarga di tingkat Puskesmas dilakukan melalui kegiatan:
1) melakukan pendataan kesehatan seluruh anggota keluarga;
2) membuat dan mengelola pangkalan data Puskesmas;
3) menganalisis, merumuskan intervensi masalah kesehatan, dan menyusun
rencana Puskesmas;
4) melaksanakan kunjungan rumah dalam upaya promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif;
5) melaksanakan pelayanan kesehatan (dalam dan luar gedung) melalui
pendekatan siklus hidup; dan
6) melaksanakan Sistem Informasi dan Pelaporan Puskesmas.
Pendekatan keluarga merupakan pengembangan dari kunjungan rumah oleh
Puskesmas dan perluasan dari upaya Perawatan Kesehatan Masyarakat
(Perkesmas), yang meliputi kegiatan berikut:
a. Kunjungan keluarga untuk pendataan/pengumpulan data profil kesehatan
keluarga dan peremajaan (updating) pangkalan datanya.
b. Kunjungan keluarga dalam rangka promosi kesehatan sebagai upaya promotif
dan preventif.
c. Kunjungan keluarga untuk menindaklanjuti pelayanan kesehatan dalam
gedung.
d. Pemanfaatan data dan informasi dari profil kesehatan keluarga untuk
pengorganisasian/pemberdayaan masyarakat dan manajemen Puskesmas.
Kunjungan rumah (keluarga) dilakukan secara terjadwal dan rutin, dengan
memanfaatkan data dan informasi dari profil kesehatan keluarga (family folder).
Dengan demikian,pelaksanaan upaya Perkesmas harus diintengrasikan ke dalam

32
kegiatan pendekatan keluarga. Dalam menjangkau keluarga, Puskesmas tidak
hanya mengandalkan UKBM yang ada sebagaimana selama ini dilaksanakan,
melainkan juga langsung berkunjung ke keluarga. Perlu diperhatikan, bahwa
pendekatan keluarga melalui kunjungan rumah ini tidak berarti mematikan
UKBM-UKBM yang ada, tetapi justru untuk memperkuat UKBM-UKBM yang
selama ini dirasakan masih kurang efektif
Pendekatan keluarga adalah pendekatan pelayanan oleh Puskesmas yang
mengintegrasikan upaya kesehatan perorangan (UKP) dan upaya kesehatan
masyarakat (UKM) secara berkesinambungan, dengan target keluarga, didasarkan
pada data dan informasi dari profil kesehatan keluarga. Tujuan dari pendekatan
keluarga adalah sebagai berikut:
a. Meningkatkan akses keluarga beserta anggotanya terhadap pelayanan
kesehatan komprehensif, meliputi pelayanan promotif dan preventif serta
pelayanan kuratif dan rehabilitatif dasar.
b. Mendukung pencapaian Standar Pelayanan Minimum (SPM) kabupaten/kota
dan provinsi, melalui peningkatan akses dan skrining kesehatan.
c. Mendukung pelaksanaan JKN dengan meningkatkan kesadaran masyarakat
untuk menjadi peserta JKN.
d. Mendukung tercapainya tujuan Program Indonesia Sehat dalam Renstra
Kementerian Kesehatan Tahun 2015 – 2019.
Puskesmas dapat menambah pelayanannya dengan melaksanakan UKM
pengembangan bila UKM esensial telah dapat dilaksanakan. Pelaksanaan UKM
tidaklah mudah, karena terdapat tiga kegiatan utama berikut yang harus dilakukan:
a. Mengupayakan agar pembangunan semua sektor berwawasan kesehatan.
Pembangunan di sektor lain harus memperhitungkan kesehatan, yakni
mendukung atau minimal tidak merugikan kesehatan. Wujud kegiatannya
adalah dengan mengembangkan konsep institusi sehat seperti sekolah sehat,
pesantren sehat, masjid sehat, pasar sehat, warung sehat, kantor sehat, dan lain-
lain.
b. Memberdayakan masyarakat, yakni mengorganisasikan gerakan atau peran
serta masyarakat untuk pembangunan kesehatan, yang berupa berbagai bentuk

33
UKBM seperti Posyandu, Posbindu Penyakit Tidak Menular, UKS, Saka
Bhakti Husada (SBH), Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren), dan lain-lain.
c. Memberdayakan keluarga, yakni menggugah partisipasi segenap keluarga
(sebagai kelompok masyarakat terkecil) untuk berperilaku hidup sehat,
mencegah jangan sampai sakit, bahkan meningkatkan derajat kesehatannya.
Dalam rangka meningkatkan aksesibilitas pelayanan, Puskesmas didukung oleh
jaringan pelayanan Puskesmas dan jejaring fasilitas pelayanan kesehatan. Jaringan
pelayanan Puskesmas mencakup fasilitas berikut:
a. Puskesmas pembantu yang memberikan pelayanan kesehatan secara permanen
di suatu lokasi dalam wilayah kerja Puskesmas.
b. Puskesmas keliling yang memberikan pelayanan kesehatan yang sifatnya
bergerak (mobile), untuk meningkatkan jangkauan dan mutu pelayanan bagi
masyarakat di wilayah kerja Puskesmas yang belum terjangkau oleh pelayanan
dalam gedung Puskesmas.
c. Bidan desa yang ditempatkan dan bertempat tinggal pada satu desa dalam
wilayah kerja Puskesmas.
Jejaring fasilitas pelayanan kesehatan adalah klinik, rumah sakit, apotek,
laboratorium, dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.

2.4 RPJMD dan Revolusi KIA NTT


a. RPJMD Provinsi NTT
8 agenda pembangunan prioritas tahun 2013 -2018 yaitu:
1) Peningkatan kualitas pendidikan, kepemudaan dan keolahragaan;
2) Pembangunan kesehatan;
3) Pemberdayaan ekonomi kerakyatan dan pengembangan pariwisata;
4) Pembenahan sistem hukum dan reformasi birokrasi;
5) Percepatan pembangunan infrastruktur berbasis tata ruang dan lingkungan
hidup;
6) Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
7) Pembangunan perikanan dan kelautan.
8) Penanggulangan kemiskinan, bencana dan pembangunan kawasan
perbatasan.

34
(RPJMD NTT 2013 – 2018)

b. Revolusi KIA
Pemerintah Nusa Tenggara Timur dalam upaya menurunkan angka
kematian ibu dan bayi adalah dengan mencanangkan program Revolusi KIA
yang ditetapkan dalam Peraturan Gubernur No. 42 Tahun 2009. Revolusi
KIA merupakan upaya percepatan penurunan kematian ibu melahirkan dan
bayi baru lahir melalui persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan yang
terlatih pada fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai. Tujuan utama
revolusi KIA adalah mencegah kematian ibu hamil dan bayi baru lahir serta
penyelamatan ibu hamil atau ibu bersalin dan bayi, neonatal untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang sejahtera, dengan mottonya
“Datang satu pulang harus dua lebih juga boleh, tidak boleh satu apalagi nol”.
Revolusi KIA memiliki indikator keberhasilan antara dan akhir. Indikator
keberhasilan antara yaitu jumlah fasilitas kesehatan yang memadai,
pembuatan peraturan-peraturan yang memayungi, jumlah ibu hamil yang
melahirkan difasilitas kesehatan. Sedangkan indikator keberhasilan akhir
yaitu penurunan kematian ibu dan bayi sesuai dengan target yang ditetapkan.
Tujuan penyelenggaraan revolusi kesehatan ibu dan anak adalah:
1) Terwujudnya peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan ibu
melahirkan dan bayi di seluruh wilayah Kabupaten/Kota se-Provinsi Nusa
Tenggara Timur;
2) Tersedianya fasilitas kesehatan yang memadai dan siap 24 jam;
3) Tersedianya pelayanan kesehatan ibu dan bayi yang terjangkau, bermutu dan
aman;
4) Tertanganinya semua ibu melahirkan di fasilitas kesehatan yang memadai
dan siap 24 jam;
5) Tertanganinya kasus kegawatdaruratan obstetri dan bayi secara tepat waktu,
tepat sasaran dan tepat penanganan;

35
6) Tersedianya tempat, tenaga dan peralatan, obat dan bahan yang cukup di
fasilitas pelayanan persalinan yang memadai;
7) Terwujudnya perubahan perilaku masyarakat dan tenaga kesehatan terhadap
pola pencarian pengobatan dan pertolongan persalinan dilaksanakan oleh
tenaga kesehatan yang profesional;
8) Tercapainya penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi.
Revolusi kesehatan ibu dan anak dilaksanakan melalui optimalisasi
pemenuhan dan pemanfaatan fasilitas kesehatan yang memadai dan siap 24 jam
dan diperuntukan bagi pelayanan kesehatan ibu dan bayi.
1) Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud meliputi:
a) Pelayanan pemeriksaan kehamilan;
b) Pertolongan persalinan normal maupun komplikasi;
c) Pelayanan pemeriksaan ibu nifas;
d) Pelayanan gawat darurat;
e) Pelayanan rujukan.
2) Pelayanan kesehatan bayi sebagaimana dimaksud meliputi:
a) Pelayanan perawatan bayi normal;
b) Pelayanan bayi sakit;
c) Pelayanan penanganan bayi dengan komplikasi;
d) Penanganan gawat darurat;
e) Pelayanan rujukan

36
3) Penanganan permasalahan jurnal menurut jurnal dan peraturan yang ada di Indonesia
No Permasalahan Jurnal Pemecahan masalah dalam Jurnal Manajemen/Peraturan Pemerintah
1 Keterlambatan dalam meningkatkan akses pelayanan kesehatan yang 1. Meningkatnya Akses dan Mutu Fasilitas
mengenali, mencari dan yang mempertimbangkan sosial dan geografis. Pelayanan Kesehatan, dengan sasaran
menerima perawatan kebidanan Mengatasi dengan mengisolasi ibu tidak akan yang akan dicapai dengan setiap
darurat dasar dan tidak menyelesaikan masalah, tetapi diperlukan kecamatan memiliki minimal 1
memiliki kartu jaminan kerangka kerja analitis yang kompleks. sebagian
Puskesmas yang terakreditasi dan
kesehatan besar ibu dan keluarga tetap mendukung untuk
Puskesmas minimal memiliki 5 jenis
melakukan perawatan antenatal dan mencari
bantuan bidan/klinik jika terjadi keadaan darurat.
tenaga kesehatan
Keluarga berhak mendapatkan bantuan 2. Diberlakukannya Sistem Jaminan Sosial
kesejahteraan sosial dalam bentuk kartu perawatan Nasional (SJSN). Menurut peta jalan
kesehatan menuju Jaminan Kesehatan Nasional
ditargetkan pada tahun 2019 semua
penduduk Indonesia telah tercakup dalam
JKN.
3. Revolusi KIA di NTT yang ditetapkan
dalam Peraturan Gubernur No. 42 Tahun
2009, yang mengatur bahwa semua
persalinan harus ditolong oleh tenaga
kesehatan yang terlatih di fasilitas
kesehatan yang memadai.
2 Kehamilan di luar nikah Para pemimpin desa, bidan dan dokter harus 1. Petugas kesehatan wajib memberika
cenderung menyembunyikan melindungi perempuan yang hamil di luar nikah pelayanan kesehatan ibu hamil minimal 4
kehamilannya dan tidak karena berisiko tinggi diabaikan oleh keluarga dan kali pelayanan.

37
melakukan pemeriksaan menjadi bahan pembicaraan di lingkungan tempat 2. Kesetaraan gender dengan peningkatan
antenatal tinggal sehingga berisiko dengan dari beberapa indikator IPG yaitu
menyembunyikan kehamilan kesehatan, pendidikan, dan kelayakan
hidup
3. Memberdayakan keluarga, yakni
menggugah partisipasi segenap keluarga
(sebagai kelompok masyarakat terkecil)
untuk berperilaku hidup sehat, mencegah
jangan sampai sakit, bahkan
meningkatkan derajat kesehatannya
3 Disfungsi sistem kesehatan 1. petugas kesehatan perlu dilatih dalam 1. Pemerataan Bidan sudah relatif tersebar
manajemen perdarahan antenatal, intrapartum ke seluruh wilayah Indonesia, namun
dan postpartum. kompetensi masih belum memadai.
2. Untuk mencegah terjadinya kematian setelah 2. Penetapan standar pelayanan ibu nifas
persalinan akibat sepsis, bidan diharapkan
sebanyak 3 kali untuk menhindari dan
memberikan antibiotic pada semua wanita
deteksi dini terjadinya komplikasi
yang melahirkan di rumah baik secara oral
maupun intravena.
3. Pengembangan desa yang melaksanakan
3. Promosi kesehatan mengenai sabun dan cuci Sanitasi Total Berbasis Masyarakat
tangan sebelum membantu wanita melahirkan (STBM) sebagai upaya peningkatan
penyehatan lingkungan dan meningkatkan
sanitasi air layak.
4. Pemerataan obat dengan menggunakan
logistic online untuk daerah-daerah yang
terpencil.

38
4 Hambatan geografis dan daerah Skema mobilisasi desa seperti transportasi, 1. Secara kuantitas jumlah Puskesmas
terpencilan menghemat uang dan membantu ibu untuk pergi PONED dan RS PONEK meningkat
ke layanan kesehatan. namun belum diiringi dengan
peningkatan kualitas pelayanan.
2. Berlakunya Undang-Undang Tentang
Desa sehingga desa mendapat dana
untuk peningkatan PHBS dan dan
pengembangan Upaya Kesehatan
Bersumberdaya Masyarakat (UKBM).
3. Memberdayakan masyarakat, yakni
mengorganisasikan gerakan atau
peran serta masyarakat untuk
pembangunan kesehatan, yang berupa
berbagai bentuk UKBM seperti
Posyandu, Posbindu Penyakit Tidak
Menular, UKS, Saka Bhakti Husada
(SBH), Pos Kesehatan Pesantren
(Poskestren), dan lain-lain.
4. Puskesmas pembantu yang memberikan
pelayanan kesehatan secara permanen di
suatu lokasi dalam wilayah kerja
Puskesmas.
5. Puskesmas keliling yang memberikan
pelayanan kesehatan yang sifatnya

39
bergerak (mobile), untuk meningkatkan
jangkauan dan mutu pelayanan bagi
masyarakat di wilayah kerja Puskesmas
yang belum terjangkau oleh pelayanan
dalam gedung Puskesmas.
6. Bidan desa yang ditempatkan dan
bertempat tinggal pada satu desa dalam
wilayah kerja Puskesmas

5 Fatalisme Kepala desa dan bidan perlu memiliki 1. SDM Kesehatan yang ditingkatkan
keterampilan untuk bekerja dengan masyarakat kompetensinya sebanyak 56,910 orang.
untuk mengatasi masalah yang mungkin 2. Berlakunya Undang-Undang Tentang
mempengaruhi banyak keluarga Desa sehingga desa mendapat dana untuk
peningkatan PHBS dan dan
pengembangan Upaya Kesehatan
Bersumberdaya Masyarakat (UKBM).
3. Mengupayakan agar pembangunan semua
sektor berwawasan kesehatan.
Pembangunan di sektor lain harus
memperhitungkan kesehatan, yakni
mendukung atau minimal tidak merugikan
kesehatan. Wujud kegiatannya adalah
dengan mengembangkan konsep institusi
sehat seperti sekolah sehat, pesantren

40
sehat, masjid sehat, pasar sehat, warung
sehat, kantor sehat, dan lain-lain

41
BAB III
TANGGAPAN DAN SARAN

3.1 Tanggapan
Angka kematian ibu di Indonesia sangatlah sulit diatasi. Di daerah
Indonesia bagian Timur, terutama Nusa Tenggara Timur (NTT) mengalami
tingkat angka kematian ibu yang tinggi. Adapun faktor – faktor yang
mempengaruhi yaitu keterpencilan, kemiskinan, kebiasaan tradisional, disfungsi
sistem kesehatan dan fatalisme.
Keterpencilan suatu daerah mengakibatakan keterbelakangan, terbelakang
mendapatkan informasi, terbelakang mendapatkan akses kesehatan,
keterbelakangan dari fasilitas yang seharusnya disediakan oleh negara. Hal
tersebut terlihat jarak rumah tempat kematian ibu terjadi adalah antara 5 dan 15
km dari klinik kesehatan dan sekitar 35 km dari perawatan kegawatdaruratan ibu,
lokasi-lokasi ini dapat dianggap terpencil dari perawatan karena perjalanan itu
lambat dan telekomunikasi terbatas. Dalam banyak kasus ponsel tidak tersedia
atau tidak ada sinyal ponsel sehingga anggota keluarga berjalan ke dukun beranak
atau bidan desa untuk mencari perawatan. Besarnya dana desa yang diberikan
oleh Negara kepada desa seharusnya dapat digunakan untuk membantu mengatasi
masalah geografis sehingga tidak terjadi kematian ibu dan bayi, seperti
memperbaiki dan memfungsikan kembali rumah tunggu sebagaimana mestinya,
sehingga ibu-ibu yang mendekati tafsiran persalinannya ataupun ibu hamil yang
beresiko tidak perlu kembali ke rumah mereka yang jauh dan bisa memperoleh
pelayanan segera jika terjadi kegawatdaruratan.
Kemiskinan adalah keadaan di mana terjadi ketidakmampuan untuk
memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung,
pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat
pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan
pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Pada penelitian ini, semua
keluarga miskin, tinggal di perumahan sederhana, sebagian dengan lantainya
tanah, tidak ada listrik, dan tidak ada sanitasi atau air mengalir. Pada bidang
pendidikan dapat ditemukan angka buta huruf yang sangat tinggi dan kemauan

42
masyarakat untuk bersekolah juga rendah. Pada bidang kesehatan, malnutrisi
diidentifikasi sebagai masalah umum dan proporsi yang tinggi dari penduduk desa
yang diklasifikasikan hidup dalam kemiskinan.
Tradisi atau disebut juga dengan kebiasaan merupakan sesuatu yang sudah
dilaksanakan sejak lama dan terus menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok
masyarakat, seringkali dilakukan oleh suatu negara, kebudayaan, waktu, atau
agama yang sama. Kebiasaan ini diwariskan turun temurun. Seiring berjalannya
waktu, tradisi harus dikaji ulang keberadaanya, apabila ada yang salah harus
segera diluruskan. Di NTT, mempunyai tradisi melahirkan dirumah bundar dan
ditolong oleh dukun. Adat istiadat dan budaya tidak mudah untuk di rubah apalagi
dihilangkan karena sudah menjadi kebiasaan dan kepercayaan masyarakat secara
turun temurun, sehingga hal ini menjadi tantangan bagi tenaga kesehatan untuk
dapat mengarahkan masyarakat agar kebiasaan tersebut tidak membahayakan
kesehatan dan nyawa ibu serta bayi. Adanya Revolusi KIA yang diatur dalam
Pergub tersebut diharapkan dapat menjamin kesehatan dan keselamatan ibu dan
bayi, sehingga dapat menurunkan angka kematian ibu dan bayi.
Selain itu, wanita hamil diluar pernikahan tidak mendapatkan perhatian/
diabaikan oleh keluarganya sendiri. Stigma buruk tentang kehamilan diluar nikah
telah menyebabkan kematian dua orang wanita. Kedua wanita tersebut
menyembunyikan kehamilannya dan tidak melakukan pemeriksaan antenatal agar
tidak menarik perhatian. Hal ini menunjukkan bahwa peran serta tenaga
kesehatan, tokoh masyarakat dan tokoh agama sangat penting dalam memberikan
pengetahuan dan pemahaman terkait gender kepada masyarakat tentang
pandangan-pandangan yang ada di masyarakat yang terkadang dapat berdampak
pada kesehatan dan kematian ibu dan bayi.
Disfungsi sistem kesehatan menunjukkan lemahnya sebuah pelayanan
kesehatan. Ada beberapa contoh sistem kesehatan di mana yang disfungsional
untuk para wanita ini. Dalam kasus-kasus ini para wanita sehat dan menjalani
pemeriksaan rutin kehamilan. Untuk satu wanita, kembar tidak teridentifikasi pada
periode antenatal dan hanya ditemukan oleh keluarga selama kelahiran.
Fatalisme adalah ajaran atau paham bahwa manusia dikuasai oleh nasib.
Rasa fatalisme dapat menurunkan motivasi individu yang merasa bahwa mereka

43
memiliki sedikit kendali atas masa depan mereka. Dalam artikel Thaddeus dan
Maine 1994 mereka mendalilkan bahwa pendidikan dan bentuk-bentuk
pengetahuan modern dapat mengurangi terhadap pemikiran fatalistic. Sementara
fatalisme adalah cara normal untuk menghilangkan kesedihan dan rasa bersalah
tentang apa yang mungkin berbeda, tidak membantu ketika mempertimbangkan,
memotivasi desa untuk mempersiapkan dan bertindak untuk mencegah kematian
ibu dan bayi. Kepala desa dan bidan perlu memiliki keterampilan untuk bekerja
dengan masyarakat untuk mengatasi masalah yang mungkin mempengaruhi
banyak keluarga. Di daerah ini, orang-orang yang beragama Kristen dan
pemimpin agama dapat memotivasi penduduk desa dan mendiskusikan kehendak
Tuhan dengan cara yang menunjukkan bahwa mengambil inisiatif juga merupakan
ketetapan hati Tuhan. Skema mobilisasi desa seperti transportasi, menghemat
uang dan membantu perempuan untuk pergi ke layanan kesehatan dapat
menyelamatkan nyawa.

3.2 Saran
a. Pemerataan tenaga kesehatan, terutama bidan di seluruh wilayah
Indonesia. Salah satu caranya yaitu mencetak tenaga yang kompeten dan
berkomitmen. Hal ini dapat dilakukan dengan pemberian beasiswa pada
putra daerah untuk sekolah bidan, dan ketika lulus langsung mengabdi atau
kembali ke daerah asal.
b. Memutus mata rantai pencarian dukun yang berasal dari pertolongan
persalinan. Contohnya adalah dengan program kemitraan dukun dan bidan,
dukun hanya sebagai pendamping saja dan tidak boleh menolong
persalinan.
c. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam segala bidang, salah
satunya kesehatan. Melibatkan tokoh masyarakat dan pemuka agama
dalam pelaksanaanya. Contohnya, setelah acara gereja dihari minggu,
tokoh agama memberikan waktu 20 menit untuk penyuluhan tentang
kesehatan. Meminta bantuan tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk
meluruskan kembali budaya yang salah dan merugikan kesehatan.

44
d. Meningkatkan pendidikan masyarakat, dengan membangun sekolah,
menambah tenaga guru/ pengajar, dan penyuluhan tentang pentingnya
pendidikan. Hal tersebut dikarenakan banyaknya angka buta huruf pada
kasus tersebut.
e. Membangun infrastruktur terutama pembangunan jalan, sarana
telekomunikasi dan pembangunan klinik pratama didaerah tersebut.
f. Mengaktifkan dan memfungsikan rumah tunggu agar keadaan geografis
tidak lagi mejadi hambatan bagi ibu hamil untuk mendapatkan pelayanan
secara cepat dan tepat.
g. Pembenahan birokrasi terkait dengan asuransi kesehatan masyarakat.
h. Meningkatkan perlindungan terhadap wanita, termasuk pada wanita hamil
diluar pernikahan.

45
DAFTAR PUSTAKA

Dinkes Provinsi NTT. 2009. Revolusi KIA di Provinsi NTT.


Kementerian Kersehatan RI, 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 97 Tahun 2014 tentang pelayanan kesehatan masa sebelum
hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan,
penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi, serta pelayanan kesehatan seksual.
Kementrian Kesehatan RI. 2015. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan
Tahun 2015-2019

46

Anda mungkin juga menyukai