Oleh :
NIM. 30116015
BHAKTI WIYATA
KEDIRI
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu infeksi virus yang
menyerang sel darah putih di dalam tubuh (limfosit) yang mengakibatkan turunnya
kekebalan tubuh manusia dan membuatnya lebih rentan terhadap berbagai penyakit, sulit
sembuh dari berbagai penyakit infeksi oportunistik dan bisa menyebabkan kematian.
Transmisi virus terjadi melalui cairan tubuh yang terinfeksi seperti hubungan seksual,
homoseksual, penggunaan jarum yang terkontaminasi, transfusi darah atau produk darah
seperti hemifili dan bayi yang lahir dari ibu dengan HIV (Baratawidjaja,2016).
HIV telah ada di Indonesia sejak kasus pertama ditemukan pada tahun 1987,
kemudian kassusnya terus meningkat akibat dampak perubahan ekonomi dan perubahan
kumulatif HIV/AIDS dari bulan April 1987 hingga Juni 2014 telah mencapai angka
142.950 penderita HIV. Infeksi HIV sendiri merupakan salah satu masalah kesehatan
utama dan salah satu penyakit menular yang dapat mempengaruhi kematian ibu dan anak
(Ariningtyas,2017).
Menurut data World Health Organization (WHO) tahun 2013 terdapat 33,4 juta
orang dengan HIV/AIDS di seluruh dunia dengan 15,7 juta (47%) adalah perempuan.
Terdapat lebih 6,5 juta perempuan di Indonesia menjadi populasi rawan tertular dan
menularkan dan lebih dari 24.000 perempuan usia subur telah terinfeksi HIV. Lebih dari
9.000 perempuan hamil dengan HIV positif dalam setiap tahunnya dan lebih dari 30%
(3000 ibu hamil) diantaranya akan melahirkan bayi yang tertular bila tak ada pencegahan
penularan dari ibu HIV (Human Immuno Deficiency Virus) positif kepada bayi.
Berdasar Permenkes RI Nomor 74 Tahun 2014 Ibu hamil merupakan salah satu
kelompok berisiko tertular HIV.Sirkulasi darah pada janin dan sirkulasi darah ibu hamil
dipisahkan oleh beberapa lapisan sel pada plasenta, plasentalah yang bertugas untuk
melindungi janin dari infeksi HIV. Namun, jika terjadi peradangan, infeksi maupun
kerusakan pada plasenta, maka HIV dapat menembus plasenta sehingga terjadi penularan
HIV dari ibu ke anak. Resiko keseluruhan penularan HIV dari ibu ke anak sebesar 20-
50%. Penularan HIV dari ibu ke anak berdasarkan waktu penularan yaitu terjadi saat
kehamilan sebesar 5-10%, pada proses persalinan sebesar 10-20% dan pada saat
menyususi (ASI) sebesar 5-20%. Akan tetapi dengan terapi antiretroviral (ARV) jangka
panjang resiko penularan HIV dari ibu dan anak dapat diturunkan hingga 1-5%
Tes HIV merupakan pintu gerbang utama atau critical gateway dalam upaya
penanganan kasus HIV. Dengan diketahuinya status HIV seseorang, maka aka nada
pemberdayaan baik dari diri sendiri atau pasangan dalam pencegahan penularan
HIV/AIDS. Pada ibu hamil, dengan diketahuinya status HIV seseorang akan dapat segera
mungkin dilakukan program pencegahan penularan dari ibu ke anak (PPIA). Penyuluhan
dan tes HIV juga merupakan salah satu titik awal dalam penanganan HIV menurut
Saat ini sudah banyak digunakan metode pemeriksaan yang cepat. Pertimbangan
pemakaian metode ini adalah waktu yang dibutuhkan singkat, sarana dan prasarana yang
sederhana dan jumlah sampel dalam sekali pemeriksaan cukup banyak. Penggunaan
metode Rapid Diagnostic Test Immunochromatografi (RDT) ini biasa digunakan pada
Menurut penelitian Agnes Sri Harti, dkk tentang “pemeriksaan HIV 1 dan HIV 2
metode Immunochromatografi rapit test sebagai skrening test deteksi AIDS” dimana pada
dengan AIDS didapatkan 5 sampel yang menunjukkan positif mengandung antibodi HIV
dapat digunakan sebagai skrining test deteksi antibodi HIV (Harti dkk, 2014).
Demikian pentingnya pemeriksaan HIV pada ibu hamil, deteksi dini HIV pada ibu
hamil dapat membantu menurunkan angka resiko penularan virus HIV pada bayi yang
dilahirkan, berdasarkan hal ini peneliti memilih melakukan pemeriksaan skrening HIV
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas yang menjadi pokok permasalahan dalam karya
tulis ilmiah ini: ”Apakah pemeriksaan skrining HIV dengan menggunakan metode
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Untuk membantu pemeriksaan dini infeksi HIV pada ibu hamil di Puskesmas
Untuk mengetahui ada tidaknya antibodi HIV pada ibu hamil di Puskesmas
D. Manfaat penelitian
1. Bagi Peneliti
Dapat membantu serta memberikan informasi tentang pemeriksaan dini infeksi HIV
3. Bagi Program Studi D3 Teknologi Laporatorium Klinik IIK Bhakti Wiyata Kediri
Sebagai sumber referensi tambahan tentang prinsip dasar dan cara kerja pemeriksaan
E. Batasan Masalah
Dalam pembuatan Karya Tulis Ilmiah ini penulis hanya membatasi pemeriksaan
skrining HIV metode Immunochromatografi pada sampel serum pada ibu hamil yang
TINJAUAN PUSTAKA
A. Defini HIV
Human Immunodeficiency Virus atau yang lebih dikenal dengan HIV merupakan
virus yang hanya menginfeksi manusia., virus ini dapat mereproduksi diri sendiri di
dalam sel dan dapat menyebabkan kekebalan tubuh manusia turun sehingga gagal
(AIDS). Acquired yang berarti ditularkan dari orang ke orang. Immune yang berarti
mempertahankan diri dari benda asing, bakteri, dan virus). Deficiency berarti
Virus HIV adalah retrovirus yang termasuk dalam keluarga lentivirus. Retrovirus
membentuk virus DNA dan dikenali selama periode inkubasi yang panjang. Seperti
retrovirus yang lain, HIV menginfeksi tubuh dengan periode inkubasi yang panjang
(klinik laten), dan utamanya menyebabkan munculnya tanda dan gejala AIDS. HIV
terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit untuk mereplikasi diri.
(Nursalam,2018).
B. Struktur Virus HIV
HIV terdiri dari suatu bagian inti yang berbentuk silindris yang dikelilingi oleh
lipid bilayer envelope. Pada lipid bilayer tersebut terdapat dua jenis glikoprotein yaitu
gp120 dan gp41. Fungsi utama protein ini adalah untuk memediasi pengenalan sel
CD4+ dan reseptor kemokin dan memungkinkan virus untuk melekat pada sel CD4+
yang terinfeksi. Bagian dalam terdapat dua kopi RNA juga berbagai protein dan enzim
yang penting untuk replikasi dan maturasi HIV antara lain adalah p24, p7,p9,
p17,reverse transkriptase, integrase, dan protease. Tidak seperti retrovirus yang lain,
HIV menggunakan sembilan gen untuk mengkode protein penting dan enzim. Ada tiga
gen utama yaitu gag, pol, dan env. Gen gag mengkode protein inti, gen pol mengkode
enzim reverse transkriptase, integrase, dan protease, dan gen env mengkode komponen
struktural HIV yaitu glikoprotein. Sementara itu, gen rev, nef, vif, vpu, vpr, dan tat
penting untuk replikasi virus dan meningkatkan tingkat infeksi HIV (Calles, 2006,.
Kummar, 2015).
Siklus hidup HIV berawal dari infeksi sel, produksi DNA virus dan integrasi ke
dalam genom, ekspresi gen virus dan produksi partikel virus. Virus menginfeksi sel
yang terutama mengikat sel CD4 dan reseptor kemokin (CXCR4 dan CCR5) dari sel
manusia. Oleh karena itu virus hanya dapat menginfeksi dengan efisien pada sel CD4+.
Setelah virus berikatan dengan reseptor sel, membran virus bersatu dengan
membran sel pejamu dan virus masuk sitoplasma. Disini envelop virus dilepas oleh
protease virus dan RNA menjadi bebas. Kopi DNA dari RNA virus disintesis oleh
enzim transkriptase dan kopi DNA bersatu dengan DNA pejamu. DNA yang
terintegrasi disebut provirus. Provirus dapat diaktifkan, sehingga diproduksi RNA dan
protein virus. Sekarang virus mampu membentuk struktur inti, bermigrasi ke membran
sel, memperoleh envelop lipid dari sel pejamu, dilepas berupa partikel virus yang dapat
menular dan siap menginfeksi sel lain. Integrasi provirus dapat tetap laten dalam sel
terinfeksi untuk berbulan-bulan atau tahun, sehingga tersembunyi dari sistem imun
d. Genom virus dan enzim dilepas setelah dikeluarkan dari core protein
2. Provirus tetap laten sebagai kejadian dalam sel terinfeksi memacu aktifasi
virus
d. ssRNA HIV dan protein bersatu dibawah membrane sel pejamu, tempat
diperlukan untuk masuk dan menimbulkan infeksi sel. Galur HIV-1 yang
tropic untuk sel T, menggunakan koreptor CXR4, sedang galur yang tropik
kemokin, dan ligan normalnya dapat mencegah infeksi sel oleh HIV
(Baratawidjaja,2016).
D. Patogenesis
rektum atau mukosa vagina yang kemudian bergerak dan bereplikasi di KGB setempat
Virus kemudian disebarkan melalui viremia yang disertai dengan sindrom dini akut
benupa panas, mialgia dan artralgia. Pejamu memberikan respons seperti terhadap
infeksi virus umumnya. Virus menginfeksi sel CD4+, makrofag dan sel dendritik dalam
fase ini. Fase ini kemudian dikontrol sel T CD8 dan antibodi dalam sirkulasi terhadap
p42 dan protein envelop gp120 dan gp41. Efikasi sel Tc dalam mengontrol virus terlihat
dari menurunnya kadar virus. Respons imun tersebut menghancurkan HIV dalam KGB
yang merupakan reservoir utama HIV selama fase selanjutnya dan fase laten
(Baratawidjaja,2016).
yang diikat sel dendritik. Meskipun hanya kadar rendah virus diproduksi dalam fase
laten, destruksi sel CD4 berjalan terus dalam kelenjar limfoid. Akhirnya jumlah sel CD4
dalam sirkulasi menurun. Hal itu dapat memerlukan beberapa tahun. Kemudia menyusul
fase progresif kronis dan penderita menjadi rentan terhadap berbagai infeksi oleh kuman
nonpatogenik (Baratawidjaja,2016).
sel pejamu membentuk provirus. Provirus tetap laten sampai kejadian dalam sel
partikel virus. Meskipun CD4 berikatan dengan envelop glikoproein HIV-1, diperlukan
reseptop kedua supaya dapat masuk dan terjadi infeksi. Galur tropic sel T HIV-1
CCR5. Kedua reseptor ini merupakan reseptor kemokin dan ligan normalnya dapat
menghambat infeksi HIV ke dalam sel. Subyek yang baru terifeksi HIV dapat disertai
gejala atau tidak. Gejala utama berupa sakit kepala, sakit tenggorok, panas ruam dan
malase yang terjadi sekitar 2-6 minggu setelah infeksi, tetapi juga dapat terjadi antara 5
hari dan 3 bulan. Gejala Klinis infeksi primer dapat berupa demam, nyeri otot/sendi,
lemah mukokutan (ruam kulit, ulkus di mulut), limfadenopati, neurologis (nyeri kepala,
nyeri belakang kepala, fotofobia, meningitis, ensefalitis) dan saluran cerna ( anoreksia,
nausea, diare, jamur di mulut). Gejala-gejala bervariasi dari ringan sampai berat
1. Transmisi virus
3. Serokonversi
Infeksi HIV menyebabkan destruksi sel T CD4+ dan sebagian besar virus yang
terdapat dalam darah berasal dari sel T CD4+ yang mengalami lisis. Dapat diduga
bahwa penurunan sel T CD4+ terutama disebabkan destruksi sel inti oleh virus HIV.
peningkatan permeabilitas membran dan lisis osmotik sel CD4+ , membran sel
terinfeksi melakukan fusi dengan sel lain yang belum terinfeksi melalui interaksi
Pembentukan syncytia adalah lethal untuk sel terinfeksi maupun yang tidak
terinfeksi. DNA virus yang tidak berintegrasi dan terdapat dalam sitoplasma dapat
menjadi toksik untuk sel terinfeksi. Produksi virus dapat mengganggu sintesis dan
ekspresi protein sel dan berkibat kematian sel. Pengikatan gpl20 pada CD4 intraseluler
yang baru dibentuk dapat mengganggu proses ekspresi CD4 pada pcrmukaan sel.
Tetapi ada anggapan bahwa penurunan jumlah CD4+ dan rasio CD4/CD8 tidak hanya
disebabkan destruksi sel oleh virus tetapi akibat gangguan “trafficking” limfosit.
Penurunan jumlah sel CD4+ terutama disebabkan kematian sel dan apoptosis akibat
pembunuhan langsung oleh virus atau mekanisme litik yang lain, pada saat infeksi HIV
akut, penurunan jumlah limfosit dalam darah tepi tidak spesiflk untuk CD4+ tetapi juga
terjadi penurunan jumlah subset CD8 dan CD4. Selain itu, pada saat jumlah limfosit
dalam darah tepi berkurang >80%, ukuran kelenjar getah bening dan rasio CD4/CD8
dalam kelenjar masih normal, sekalipun terdapat banyak sel yang mengandung HIV-
RNA(Widoyono,2011).
Penurunan CD4+ dalam darah tepi tidak saja disebabkan oleh lisis sel
CD4+ oleh virus tetapi ekstravasasi sel CD4+ merupakan salah satu faktor yang
berperan dalam penurunan CD4+ dalam darah. Ada dua kemungkinan penurunan
jumlah CD4+ pada infeksi HIV yaitu: l) gangguan renewal CD4+ secara aktif
karena kerusakan yang terjadi oleh virus dan 2) sistem imun tidak mampu
mengatasi kehilangan kronis CD4+ yang teljadi terus menerus setiap hari karena
diri dapat disebabkan perubahan pada sel precursor dan lingkungannya akibat
infeksi HIV. Ketidak mampuan sistem imun untuk regenerasi sel T terbukti dari
hal yang perlu dipertimbangkan dalam mengatasi infeksi HIV, yaitu bahwa
pengobatan penyakit ini dengan menekan replikasi Virus saja tidak cukup tetapi
perlu disertai upaya untuk meningkatkan fungsi atau rekonstitusi sistem imun
(Widoyono,2011).
F. Penularan HIV/AIDS
Hubungan seksual secara vaginal,anal, dan oral dengan penderita HIV tanpa
mani, cairan vagina, darah mengenai selaput lendir vagina, penis, dubur, atau mulut
sehingga HIV yang terdapat dalam cairan tersebut masuk ke aliran darah
Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in utero), selama
persalinan, atau melalui ASI (Kemenkes Republik Indonesia, 2012; WHO, 2017).
Berdasarkan laporan CDC Amerika, prevalensi penularan HIV dari ibu ke bayi
adalah 0,01% sampai 0,7% (Oyeledun, 2017). Bila ibu baru terinfeksi HIV dan
belum ada gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20% sampai 35%,
sedangkan gejala AlDS sudah jelas pada ibu kemungkinan penularan pada bayi
melalui transfusi feto-maternal atau kontak antara kulit atau membran mukosa bayi
dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan (Lily, 2004). Semakin lama
proses kelahiran, semakin besar risiko penularan, sehingga lama persalinan bisa
dicegah dengan operasi sectio caesaria (WHO, 2017). Transmisi lain terjadi selama
periode postpartum melalui ASI, risiko bayi tertular melalui ASI dari ibu yang
Ada tiga faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke anak,
a. Faktor Ibu
Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan dan
jumlah virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya sangat
Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih berisiko menularkan HIV ke
bayinya. Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV semakin
besar.
Berat badan rendah serta kekurangan vitamin dan mineral selama hamil
Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain, seperti mastitis, abses, dan
ASI.
b. Faktor Bayi
Bayi lahir prematur dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) lebih
rentan tertular HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan tubuhnya
Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke bayi akan semakin
besar.
Bayi dengan luka di mulutnya lebih berisiko tertular HIV ketika diberikan
ASI.
c. Faktor obstetrik
Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Faktor
obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak
1) Jenis persalinan
2) Lama persalinan
ibu ke anak semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara
penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang
dari 4 jam.
RI,2013).
3. Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS
Produk darah sangat cepat menularkan HIV karena virus langsung masuk ke
Alat pemeriksaan kandungan seperti Spekulum, tenakulum, dan alat-alat lain yang
menyentuh darah, cairan vagina, atau air mani yang terinfeksi HIV dan langsung
digunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi bisa menularkan HIV (Simon,
2010). Alat tajam dan runcing seperti jarum, pisau, silet, menyunat seseorang,
membuat tato, memotong rambut, dan sebagainya bisa menularkan HIV sebab alat
Jarum suntik yang digunakan di fasilitas kesehatan, maupun yang digunakan oleh
para pengguna narkoba (Injection Drug Use) sangat berpotensi menularkan HIV.
Selain jarum suntik, pada para pemakai IDU secara bersama-sama, tempat
HIV tidak menular melalui peralatan makan, pakaian, handuk, sapu tangan, toilet
serumah dengan ODHA, gigitan nyamuk, dan hubungan sosial yang lain (Albrecht,
2007).
G. Pencegahan
universal yang baik dan dengan melakukan penapisan pada kelompok risiko tinggi.
Prinsip-prinsip kewaspadaan universal, seperti menggunakan sarung tangan ketika
bekerja dengan cairan tubuh penderita, penanganan limbah jarum suntik yang benar,
sterilisasi alat dengan cara yang benar sebelum melakukan prosedur invasif, dan
terutama pada tenaga medis, salah satu kelompok yang paling berisiko tertular HIV.
Selain itu, penapisan pada kelompok risiko tinggi (orang yang lahir di daerah dengan
semua wanita hamil, penderita HIV dan Hepatitis C, pengguna jarum suntik, penderita
perubahan perilaku untuk memutus rantai infeksi HIV (Kemenkes RI, 2012).
bergantian, serta pemakaian alat menoreh kulit dan benda tajam secara
bergantian dengan orang lain (misalnya tindik, tato, silet cukur, dan lain-lain).
menggunakan darah serta produk darah yang bebas dari HIV untuk pasien
(Nursalam, 2013).
WHO mencanangkan empat strategi untuk mencegah penularan HIV dari
ibu ke bayi dan anak, yaitu dengan mencegah jangan sampai ibu terinfeksi
apabila sudah hamil dilakukan pencegahan supaya tidak menular pada bayi
dan anaknya. Namun, bila ibu dan anak sudah terinfeksi maka sebaiknya
Penularan HIV dari ibu ke bayi bisa dicegah melalui empat cara, mulai
saat hamil, saat melahirkan, dan setelah lahir yaitu penggunaan antiretroviral
sehingga jumlah Virus yang ada dalam darah dan cairan tubuh kurang efektif
terbukti mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi sampai 80%. Bila
mempunyai risiko karena imunitas ibu yang rendah sehingga bisa terjadi
lengkap, terlalu sering melakukan periksa dalam, serta memantau analisis gas
darah dengan mengambil sampel dari kulit kepala janin selama persalinan
harus dihindari karena meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke janin
serta Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Layanan PPIA diintegrasikan
dengan paket layanan KIA, KB, kesehatan reproduksi, dan kesehatan remaja
H. Diagnostik HIV
Tes serologi terdiri atas tes cepat (rapid test), tes enzyme immunoassay,
serta tes Western Blot (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014; Ruslie,
2012). Tes cepat dapat mendeteksi antibodi terhadap HIV-l maupun HIV-2 dalam
waktu yang relatif cepat (< 20 menit). Tes Enzyme Immunoassay yang lazim
tes ELISA sangat sensitif, tapi tidak selalu spesiflk,‘ karena penyakit lain bisa
juga menunjukkan hasil positif. Beberapa penyakit yang bisa menyebabkan false
positive, antara lain adalah penyakit autoimun, infeksi virus, atau keganasan
hematologi. Kehamilan juga bisa menyebabkanfalse positif. Tes yang lain
biasanya digunakan untuk mengoniirmasi hasil ELISA, antara lain Western Blot
tinggi, dua kali hasil ELISA positif ditambah gejala klinis bisa digunakan untuk
mendiagnosis HIV. Bila metode ini dipilih, maka akan lebih baik jika dipilih dua
tipe tes ELISA yang berbeda. Tes Western Blot merupakan tes antibodi untuk
koniirmasi HIV pada kasus yang sulit. Western Blot merupakan elektroforesis gel
terhadap DNA. Iika tidak ada rantai protein yang ditemukan, berarti hasil tes
negatif. Sementara, bila hampir atau semua rantai protein ditemukan, berarti
Western Blot positif. Tes Western Blot mungkin juga tidak bisa menyimpulkan
seseorang menderita HIV atau tidak. Oleh karena itu, tes harus diulangi lagi
setelah dua minggu dengan sampel yang sama. Iika tes Western Blot tetap tidak
bisa disimpulkan, maka tes Western Blot harus diulang lagi setelah enam bulan.
Iika tes tetap negatif maka pasien dianggap HIV negative (Nursalam,2018).
I. Immunochromatografi
sampel yang memanfaatkan prinsip reaksi imunologis, yaitu adanya ikatan antigen-
garis C (kontrol/control line), antibodi yang dilabel dengan warna (Jayalie dkk, 2016).
diberikan pada ujung kertas kromatografi sehingga akan bermigrasi pada membran
kapiler menuju ujung lain kertas. Saat bermigrasi, sampel akan melewati garis T yang
berisi antigen/antibodi spesifik. Jika pada sampel terdapat target yang ingin dicari,
maka target tersebut akan berikatan dengan antigen/antibodi spesifik di garis T dan
sisanya akan berlanjut dan menempel ke garis C beserta dengan antibodi lainnya. Jika
tidak ada target yang dicari pada sampel, maka hanya terjadi ikatan di garis C saja,
yakni antara antibodi lain yang ada pada sampel dengan rekombinan protein/antibodi di
garis C. Setelah sampel sampai diujung lain strip, kemudian diberikan antibodi dengan
label pewarna yang juga akan migrasi sepanjang membran kapiler. Antibodi berlabel
ini akan berikatan dengan target, di garis T (jika ada) dan berikatan dengan antibodi di
KERANGKA KONSEP
A. Kerangka Konsep
Ibu hamil
1. Hubungan seksual
2. Pemakaian alat
kesehatan yang tidak
steril
3. Transplasenta
4. Produk darah yang
tercemar HIV
Virus bereplikasi
Plasenta
Bayi
B. Penjelasan Kerangka Konsep
ibu hamil merupakan salah satu populasi beresiko terkena inveksi HIV. Selain itu ibu
hamil dengan postif HIV mempunyai resiko penularan HIV pada bayi sebesar 20-
50% (Peraturan Mentri Kesehatan RI,2014). Berdasah hal ini maka skrining HIV
merupakan hal penting yang perlu dilakukan untuk mengetahui status HIV pada ibu
hamil untuk mengurangi resiko penularan HIV dari ibu ke anak. HIV dapat menular
akibat beberapa faktor yaitu hubungan seksual dengan orang pengidap HIV/AIDS
(ODHA), ibu terhadap bayi (transplasenta), pemakaian alat kesehatan yang tidak
HIV merupakan virus RNA yang dilapisi struktur dasar dengan lapisan luar terdiri
dari lemak dan glikoprotein sedangkan bagian dalam inti terdiri dari 2 untai rantai
RNA tunggal yang mengikat bersama-sama berasal dari protein 24 (p24). Virus HIV
dilapisi glikoprotein 120 (gp120), yang digunakan untuk interaksi virus dengan sel
reseptor tubuh termasuk limfosit CD4+, makrofag, dan monosit. Pada permukaan
membrane sel tubuh manusia terdiri dari struktur protein kompleks yang berfungsi
sebagai reseptor. Virus HIV mengikat 2 jenis reseptor sel tubuh, yaitu CXCR4 atau
CCR5 yang berfungsi untuk membantu virus memasuki sel targetnya. Kemudian
virus menginfeksi sel limfosit dimulai dengan melampirkan virus melalui gp 120
Setelah virus masuk ke dalam sel tubuh, inti virus dan RNA nasuk ke dalam sel
untuk membuat kembali material genetika virus, melapisi RNA atau melarutkan
nukleokapisid sehingga RNA virus masuk ke dalam sitoplasma sel tubuh. Selanjutnya
terjadi perubahan material genetika virus RNA menjdi DNA melalui dikeluarkan
enzym reverse transcription oleh virus HIV. Enzym reverse transcription membaca
urutan rantai RNA virus yang masuk ke dalam sel dan mentranskripsi urutan menjadi
pelengkap urutan DNA yang berfungsi untuk membuat protein virus dan menyalin
DNA virus aakan mengintegrasi kedalam kromosom DNA tubuh secara acak
dengan bantuan enzim integrase yang terdapat pada virus. Setelah DNA yang
diintegrasekan ke dalam material genetic maka akan menjadi fase laten higga
beberapa tahun. Aktivasi sel yang terinfeksi maka DNA virus ditranskrip ke dalam
mRNA. Kode mRNA berfungsi untuk memproduksi protein dan enzim virus. RNA
virus yang baru juga menyediakan material genetic untuk generasi virus berikutnya.
Setelah diproduksi, mRNA virus ditransportasi ke luar nucleus dan masuk ke dalam
sitoplasma sel manusia. Masing-masing dari mRNA sesuai dengan protein atau enzim
yang disiapkan untuk membangun partikel virus HIV baru. Virus membuat partikel
baru yang dibuat dari protein virus (gp 120 dn gpc41) an enzim. Polipeptida dipecah
menjadi partikel kecil oleh enzim protease dan mengambil protein membran sel tubuh
yang mengandung virus untuk membentuk virus baru sehingga CD4+ limfosit
menjadi rusak dan fungsinya menurun sehingga terjadi penurunan kekebalan tubuh.
Tahap terakhir dari siklus HIV adalah maturasi atau menular. Penularan HIV pada
ibu ke anak terjadi akibat sirkulasi darah janin dan sirkulasi darah ibu dipisahkan oleh
beberapa lapis sel yang terdapat di plsenta. Plasenta melindungi janin dari infeksi
HIV, akan tetapi jika terjadi peradangan, infeksi, dan kerusakan pada plasenta
sehingga HIV menembus plasenta dan terjadi penularan pada bayi (Peraturan Mentri
METODELOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Kabupaten Malang.
1. Lokasi :
Kabupaten Malang.
2. Waktu Penelitian :
1. Populasi penelitian
Malang.
2. Sampel penelitian
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah ibu hamil yang dilakukan
3. Teknik sampling
dengan mengambil kasus atau responden yang ada atau tersedia suatu tempat
D. Variabel Penelitian
Immunochromatografi.
dimaksud atau tentang apa yang diukur oleh variabel yang bersangkutan
(Notoatmodjo,2012).
Operasional Ukur
Poncokusumo embrio
tubuhnya
dilakukan, C dan T1
sehingga atau T2
dapat berarti
digunakan positif
pemeriksaan. negative
4. Satu atau
dua garis
merah pada
T berarti
invalid.
(Protap rapid
test)
F. Instrumen Penelitian
1. Instrumen Penelitian
1) Pipet tetes
2) Centrifuge
5) Spuit 3cc
6) Torniquet
a. Persiapan pasien
b. Pemberian identitas
c. Pembuatan serum
jernih.
Prosedur :
3) Dari hasil centrifuge akan memperoleh dua lapisan, lapisan atas yang
(Gandasoebrata, 2007).
2. Analitik
Pemeriksaan HIV
Metode : Imunokromatografi
garis warna.
Prosedur :
timer dijalankan
3. Post Analitik
Interpretasi Hasil
a. HIV negative (-) : terbentuk satu garis warna pada zona garis control saja.
C T1 T2
b. HIV positif (+) : terbentuk dua atau tiga garis berwarna, pada satu zona garis
c. C T1 T2 C T1 T2 C T1 T2
d. Invalid / Test gagal : jika tidak timbul garis warna pada zona control, maka tes
C T1 T2 C T1 T2 C T1 T2 C T1 T2
Keterangan :
C : Control
T1 : HIV-1
T2 : HIV-2
hasil skrining HIV (anti-HIV metode immunochromatografi) pada ibu hamil yang
diantaranya :
1. Editing
2. Coding
dan mendeskripsikan suatu data dengan tujuan agar mudah dimengerti dan
I. Kerangka Kerja
Melakukan
pengambilan darah
vena
Melakukan centrifugasi
pada darah untuk
mendapatkan serum
Melakukan pemeriksaan
HIV metode
Imunokromatografi
Hasil
Analisis
Data
Kesimpulan