Anda di halaman 1dari 15

Tugas Perabaikan Ujian Anastesiologi.

Heribertus Edo Tigit

11 2015077

1. Apa resiko pada Anestesi pasien Hipertiroid dan hipotiroid?


2. Apa resiko pada anestesi pasien dengan moma uteri?
3. Kenapa pilih fentanyl dan midazolam, Efeka profopol, fetanyl dan midazolam
menyebabkan hipotesi , kenapa tetap diberikan?
4. Beda pelumpuh otot?
5. Fluid managenmet intraoperasi dan perdarahan?
6. Alderete score?
7. Spinal anestesi kontra indikasi absolut?
8. ASA?

Jawaban

1. Resiko dan anastesiologi pada pasien mioma uteri yang akan di histerektomi.

Pada tindakan histerektomi pada miom uteri resiko utama yang perlu kita perhatikan
adalah adanya perdarahan yang masif. Selain itu beberapa hal juga bisa terjadi seperti:
- pada pasien dengan mioma uteri terjadi stres hormonal sehingga consenterasi
dopamine, vasopresin, epinephirne, norepineprhirne, angiotensin dan cortisol dalam
darah meningkat, untuk mengatasinya pada premedikasi atau selama operasi juga
tekanan darah di rasa meningkat bisa kita berikan a2 agonis untuk menekan respon ini.

- Pada teknik pembedahan diberikan dokter bedah vasopresin pada kapsul mioma
untuk mencegah perdarahan. Ini sering menyebabkan hipertensi dan
bradycardia. Untuk mengatasinya diberikan nitroglyserin sebagai vasodilator.

- Mioma dapat menyebabkan gangguan pada hemodinamik karena mioma dapat


menyebabkan perdarahan. Mioma tipe submucosa dapat menyebabkan perdarahan
yang sangat sulit di atasi. Perdarahan dapat di atasi dengan melakukan
histerektomi. Mioma submucosa ini akan tumbuh dan bertangkai dan dapat keluar
dan masuk ke dalam vagina. Untuk mengatasinya bisa kita berikan pengantian
cairan kristaloid intravena.

2. Anestesi untuk bedah tiroid (subtotal tiroidektomi) adalah alternatif tindakan pada
terapi medis lanjutan. Komplikasi bedah lebih sering terjadi pada keadaan dimana
persiapan preoperatif tidak adekuat

Preoperatif Anestesia

• Tunda operasi sampai klinis dan lab eutiroid.


• Diharapkan preoperatif tes fungsi tiroid normal, HR < 85 x / menit (saat
istirahat).
• Benzodiazepin pilihan yang baik preoperatif sedasi.
• Obat antitiroid dan β - adrenergik antagonis lanjut sampai hari operasi.
• Pada bedah darurat, sirkulasi hiperdinamik dapat kontrol degan titrasi esmolol
Intraoperatif

• Monitor fungsi kardiovaskuler dan temperatur


• Proteksi mata karena eksotalmus beresiko terjadinnya ulserasi dan abrasi
kornea
• Elevasi meja operasi 15 – 20 derajat yang dapat membantu aliran vena &
mengurangi perdarahan (walaupun meningkatkan resiko emboli air pada vena)
• Intubasi
• Hindari : Ketamin, Pancuronium, Agonis adrenergik
• Induksi dengan tiopental, dosis tinggi bisa sebagai antitiroid.
• Anestesi dalam selama laringoskopi dan stimulasi bedah untuk
menghindari takikardi, hipertensi aritmia ventrikular.
• Pelumpuh otot digunakan secara hati-hati, karena dapat meningkatkan insiden
miopati dan myiastenia gravis, dan sebaiknnya sebelum diberikan pelumpuh
otot sebaiknnya dicoba dilakukan ventilasi terlebih dahulu
•.
Post Operatif

Penyulit pasca bedah :

1. Badai tiroid (Thyroid storm)

• Tanda : Hiperpireksia, takikardi, hipotensi, perubahan kesadaran (agitasi,


delirium, koma)
• Sering terjadi pada operasi pada pasien hipertiroid akut.
• Terjadi 6 – 24 jam sesudah pembedahan, tapi dapat terjadi intra operatif.
• Dibedakan dari hipertermia maligna, feokromositoma, anestesi yang tidak
adekuat.
2. Kerusakan nerves larygeal recurent

• Bilateral : Pasien tak mampu bicara (Aponia & stridor) ž Reintubasi


• Unilateral : Serak
Tes fungsi pita suara : kemampuan mengucapkan huruf (i atau e)

3. Obstruksi jalan napas setelah operasi, disebabkan oleh hematoma atau


trakeomalasia akan membutuhkan intubasi trakea yang segera.

5. Hipoparatiroidsme

Gejala Hipokalsemi akut akibat pengangkatan kelenjar paratiroid (12 – 72 jam


post ops) berupa carpo pedal syndrom sampai laringospasme.

6. Pneumothoraks , kemungkinan terjadi akibat eksplorasi leher.

Hipotiroid

Preoperatif
• Pasien dengan hipotiroid berat yang tidak terkoreksi (T4 < 1 µg/dl) atau koma
myxedema, harus dibatalkan untuk operasi elektif dan harus diterapi segera
dengan hormon tiroid terutama untuk operasi emergensi.
• Pasien yang telah dieutiroidkan biasanya menerima dosis obat tiroid pada pagi
hari pembedahan, harus di ingat bahwa rata rata preparat yang diberikan
mempunyai waktu paruh yang lama (t1/2 T4 adalah 8 hari).
• Tidak ada bukti yang mendukung untuk menunda bedah elektif (termasuk
bedah by-pass arteri koronaria) menyebabkan perubahan hipotiroidisme ringan
ke hipotiroidisme yang sedang.1
Intraoperatif

• Pasien dengan hipotiroid lebih mudah mengalami hipotensi dengan obat-obat


anestesi, sebab obat anestesi menurunkan kardiak output, menumpulkan reflek
baroreseptor dan menurunkan volume intravaskular. Untuk ini ketamin sering
dianjurkan untuk induksi.
• Masalah lain yang dapat timbul termasuk hipoglikemia, anemia, hiponatremia ,
dan hipotermia karena metabolisme basal rate yang rendah.
• Perhatian yang cermat harus diberikan untuk mempertahankan temperatur
tubuh.
Postoperatif

• Pemulihan anestesi mungkin melambat pada pasien hipotiroid,


hipotermia, depresi pernafasan atau biotranformasi obat yang lambat.
• Pasien harus tetap di intubasi sampai bangun dan normotermia, sebab pasien
ini mudah terjadi depresi pernafasan.
• Obat non opioid seperti keterolak merupakan pilihan untuk nyeri pasca operasi.

3. Kenapa pilih fentanyl dan midazolam, Efek profopol, fetanyl dan midazolam
menyebabkan hipotesi , kenapa tetap diberikan?
Midazolam sebagai obat premedikasi

Midazolam memiliki onset yang sangat cepat yaitu 1 hingga 2 menit setelah
pemberian IV. Onset yang cepat menyebabkan clearance yang cepat dari midazolam
dengan durasi 15 hingga 80 menit. Selain itu keunggulan lainnya midazolam adalah
menyebabkan iritasi yang minimal pada pemberian IV atau IM.

Midazolam menurunkan resistensi vascular sistemik dan tekanan darah sistemik


(terutama pada hypovolemia) ketika dosis besar di berikan untuk induksi anestesi.

Pada penggunaan klinis, midazolam dapat digunakan pada premedikasi dengan dosis
0.25mg/kgBB dengan efek minimal terhadap ventilasi dan saturasi oksigen.

Fentanyl sebagai obat premedikasi

Fentanyl dipilih sebagai obat premedikasi karena dapat mempermudah intubasi akibat
dari penekanan reflek laring. Fentanyl biasa diberikan dengan dosis 1 hingga 2 µg/kg
IV. Interaksi dengan midazolam dapat meningkatkan potensi dari midazolam dan juga
menurunkan kebutuhan dosis propofol.

Propofol sebagai obat induksi

Propofol dipilih sebagai obat induksi karena dapat memiliki masa pulih yang cepat
dan efek “Hangover” yang lebih kecil dibandingkan dengan methohexital, thiopental
dan ketamine atau etomidate. Selain itu onset yang cepat dan durasi yang cepat
menyebabkan obat ini menjadi pilihan sebagai obat induksi.
Propofol menyebabkan penurunan tekanan darah tetapi akan kembali akibat dari
intubasi. Interaksi dengan fentanyl dan midazolam akan mengurangi dosis dari
propofol hingga 10%.

Penggunaan klinis sebagai obat induksi dengan dosis 1.5 hingga 2.5 mg/kgBB.
Pemberian secara bersamaan propofol, fentanyl dan midazolam dalam waktu
berdekatan menimbulkan hipotensi tetapi akan kembali normal karena intubasi akibat
reflex laring.

Pada teknik pembiusan dengan induksi menggunakan propofol biasanya digunakan


juga fentanyl dan midazolam. Meskipun ketiganya sama-sama memiliki efek
hipotensi, namun kombinasi ketiganya sebagai agen untuk pembiusan masih
diterima. Hal ini karena pada premedikasi efek hipotensif dari fentanyl dan
midazolam yang relatif sangat cepat onset dan durasinya memang dapat membuat
hipotensi pada pasien pada masa-masa awal pembiusan namun ketika intubasi
dilakukan terjadi revers tekanan darah menjadi tinggi karena stimulasi yang di
berikan pada laring. Biasanya pada saat intubasi otak masih dapat di stimulasi
dengan rangsangan, dalam kasus ini kita berikan rangsangan pada laring dengan
memasukan laringoskopi, sehingga timbul gejala seperti frekuensi nadi semakin
cepat dan tekanan darah meninggi. Dalam keadaan ini efek hipotensif dari
midazolam dan fentanyl serta propofol masih bisa di terima.

Pelumpuh otot
Berdasarkan cara kerjanya muscle relaxant dibagi dalam 2 golongan
a. Golongan depolarizing (succinyl cholin)
Jenis ini mengurangi kepekaan membran otot dengan cara menimbulkan
depolarisasi motor end palte, namun agen ini (suksinil kolin) tidak mengalami
hirolisa secepat asetil kolin, sehingga depolarisasi yang ditimbulkan juga lebih
lama, sehingga otot kehilangan respon berkontraksi, maka terjadilah
kelumpuhan.
b. Golongan non depolarizing (tubocurarine, pancuronium bromide, galamin dll)
Jenis ini mencegh bergabungnya asetil kolin dengan reseptor membran
dengan cara menduduki reseptor membran, akibatnya reseptor membran
tidak bida diduduki oleh asetil kolin, sehingga menghambat terjadi nya
depolarisasi dan terjadilah kelumpuhan otot.

Berdasarkan lama kerjanya: dibagi dalam 4 golongan

a. Ultra short acting (succinnyl choline)


b. Short acting (mivacurium)
c. Intermediate acting (rucoronium)
d. Long acting (pancuronium)

Pada operasi di ini saya pilih rucoronioum karena:

Onset nya cepat, cukup untuk melakukan intubasi

Onset : 2 menit

Rocoronium merupakan jenis pelumpuh otot non depolarisai dengan kelebihan


mempunyai sifat vagolitik, sehingga baik digunakan untuk operasi yang memerlukan
stimulasi vagal atau operasi di rongga abdomen-pelvis. Rucoro nium tidak menyebabkan
pelepasan histamin.

Untuk pemilihan preparat pelumpuh otot lain bisa menggunakan hampir semua
pelumpuh otot kecuali galain karena menyebabkan blokade vagal sehingga
menimbulkan takikardi jika di berika stimulasi selama operasi pada rongga
abdomen/pelvis.

Pada kasus histerektomi boleh menggunakan tubokurarin namun perlu di perhatikan


penggunaannya karena memiliki efek hipotensi dan brakikardi akibat pengaruh pada
ganglion para simpatik lebih kuat dari simpatik. Selain itu tobokurarin juga
menyebabkan pelepasan histamin, sehingga kemungkinan terjadi bronkospasme terjadi
lebih besar. Hal ini membuat rucoronium lebih baik.

Pada kasus mioma uteri masih bisa digunakan tubokurarine namun pada pasien hamil
perlu dipertimbangkan karena dapat menembus barier pasenta.
1. Neostigmin
Neostigmin adalah antikolinesterase yang menghambat hidrolisis asetilkolin
melalui mekanisme kompetisi dengan asetilkolin untuk berikatan dengan
asetilkolinesterase. Asetilkolin terakumulasi pada sinapsis kolinergik dan
efeknya memanjang dan meningkat sehingga depolarisasi yang ditimbulkan juga
lebih lama, sehingga otot kehilangan respon berkontraksi, maka terjadilah
kelumpuhan.
Neostigmin biasanya diberika intraoperativ atau post-surgery untuk me-revers
efek dari obat pelumpuh otot golongan nondepelarisasi.

4. Terapi cairan pada operasi

Status cairan harus dinilai dan dikoreksi sebelum dilakukannya induksi anestesi
untuk mengurangi perubahan kardiovaskuler dekompensasi akut. Penilaian status
cairan ini didapat dari :
 Anamnesa : Apakah ada perdarahan, muntah, diare, rasa haus. Kencing terakhir,
jumlah dan warnanya.
 Pemeriksaan fisik. Dari pemeriksaan fisik ini didapat tanda-tanda obyektif dari
status cairan, seperti tekanan darah, nadi, berat badan, kulit, abdomen, mata dan
mukosa.
 Laboratorium meliputi pemeriksaan elektrolit, BUN, hematokrit, hemoglobin dan
protein.
Defisit cairan dapat diperkirakan dari berat-ringannya dehidrasi yang terjadi.
 Pada fase awal pasien yang sadar akan mengeluh haus, nadi biasanya meningkat
sedikit, belum ada gangguan cairan dan komposisinya secara serius. Dehidrasi
pada fase ini terjadi jika kehilangan kira-kira 2% BB (1500 ml air).
 Fase moderat, ditandai rasa haus. Mukosa kering otot lemah, nadi cepat dan
lemah. Terjadi pada kehilangan cairan 6% BB.
 Fase lanjut/dehidrasi berat, ditandai adanya tanda shock cardiosirkulasi, terjadi
pada kehilangan cairan 7-15 % BB. Kegagalan penggantian cairan dan elektrolit
biasanya menyebabkan kematian jika kehilangan cairan 15 % BB atau lebih.
Cairan preoperatif diberikan dalam bentuk cairan pemeliharaan, pada dewasa 2
ml/kgBB/jam. Atau 60 ml ditambah 1 ml/kgBB untuk berat badan lebih dari 20 kg.
Pada anak-anak 4 ml/kg pada 10 kg BB I, ditambah 2 ml/kg untuk 10 kgBB II, dan
ditambah 1 ml/kg untuk berat badan sisanya. Kecuali penilaian terhadap keadaan
umum dan kardiovaskuler, tanda rehidrasi tercapai ialah dengan adanya produksi
urine 0,5-1 ml/kgBB.
Terapi cairan selama operasi meliputi kebutuhan dasar cairan dan penggantian sisa
defisit pra operasi ditambah cairan yang hilang selama operasi. Berdasarkan beratnya
trauma pembedahan dikenal pemberian cairan pada trauma ringan, sedang dan berat.
Pada pembedahan dengan trauma ringan diberikan cairan 2 ml/kg BB/jam untuk
kebutuhan dasar ditambah 4 ml/kg BB/jam sebagai pengganti akibat trauma
pembedahan. Cairan pengganti akibat trauma pembedahan sedang 6 ml/kg BB/jam
dan pada trauma pembedahan berat 8 ml/kg BB/jam.
Cairan pengganti akibat trauma pembedahan pada anak, untuk trauma
pembedahan ringan 2 ml/kg BB/jam, sedang 4 ml/kgBB/jam dan berat 6
ml/kgBB/jam.
Pemilihan jenis cairan intravena tergantung pada prosedur pembedahan dan
perkiraan jumlah perdarahan. Perkiraan jumlah perdarahan yang terjadi selama
pembedahan sering mengalami kesulitan., dikarenakan adanya perdarahan yang sulit
diukur/tersembunyi yang terdapat di dalam luka operasi, kain kasa, kain operasi dan
lain-lain. Dalam hal ini cara yang biasa digunakan untuk memperkirakan jumlah
perdarahan dengan mengukur jumlah darah di dalam botol suction ditambah perkiraan
jumlah darah di kain kasa dan kain operasi. Satu lembar duk dapat menampung 100 –
150 ml darah, sedangkan untuk kain kasa sebaiknya ditimbang sebelum dan setelah
dipakai, dimana selisih 1 gram dianggap sama dengan 1 ml darah. Perkiraan jumlah
perdarahan dapat juga diukur dengan pemeriksaan hematokrit dan hemoglobin secara
serial.
Pada perdarahan untuk mempertahankan volume intravena dapat diberikan
kristaloid atau koloid sampai tahap timbulnya bahaya karena anemia. Pada keadaan
ini perdarahan selanjutnya diganti dengan transfusi sel darah merah untuk
mempertahankan konsentrasi hemoglobin ataupun hematokrit pada level aman, yaitu
Hb 7 – 10 g/dl atau Hct 21 – 30%. 20 – 25% pada individu sehat atau anemia kronis.
Kebutuhan transfusi dapat ditetapkan pada saat prabedah berdasarkan nilai
hematokrit dan EBV. EBV pada neonatus prematur 95 ml/kgBB, fullterm 85
ml/kgBB, bayi 80 ml/kgBB dan pada dewasa laki-laki 75 ml/kgBB, perempuan 65
ml/kgBB.
Untuk menentukan jumlah perdarahan yang diperlukan agar Hct menjadi 30%
dapat dihitung sebagai berikut :

 EBV
 Estimasi volume sel darah merah pada Hct prabedah (RBCV preop)
 Estimasi volume sel darah merah pada Hct 30% prabedah (RBCV%)
 Volume sel darah merah yang hilang, RBCV lost = RBCV preop – RBVC 30%)
 Jumlah darah yang boleh hilang = RBCV lost x 3
Transfusi dilakukan jika perdarahan melebihi nilai RBCV lost x 3.
Selain cara tersebut di atas, beberapa pendapat mengenai penggantian cairan
akibat perdarahan adalah sebagai berikut :
Berdasar berat-ringannya perdarahan :

 Perdarahan ringan, perdarahan sampai 10% EBV, 10 – 15%, cukup diganti dengan
cairan elektrolit.
 Perdarahan sedang, perdarahan 10 – 20% EBV, 15 – 30%, dapat diganti dengan
cairan kristaloid dan koloid.
 Perdarahan berat, perdarahan 20 – 50% EBV, > 30%, harus diganti dengan
transfusi darah.
Klasifikasi Shok Akibat Perdarahan :
Intravenous fluid replacement in haemorrhagic shock
Class I 2.5 l Ringer-lactate solution or 1.0
(haemorrhage 750 ml (15%)) L polygelatin

Class II 1.0 l polygelatin plus 1.5 L


(haemorrhage 800-1500 ml (15- Ringer-lactate solution
30%))

Class III 1.0. l Ringer-lactate solution plus


(haemorrhage 1500-2000 ml (30- 0.5 l whole blood or 0.1-1.5 l
40%)) equal volumes of concentrated red
cells and polygelatin

Class IV 1.0 l Ringer-lactate solution plus


(haemorrhage 2000 ml (48%)) 1.0 l polygelatin plus 2.0 l
whole blood or 2.0 l equal
volumes of concentrated red cells
and polygelatin or hestastarch

Diketahui: pasien wanita 37 dengan BB 55kg direncanakan op Hiterektomi untuk mioma


uteri. Pasien puasa 6 jam sebelumnya. Perdarahan intraoperative ±500 cc. Operasi 1
jam 25 menit (1,42 jam)

- Langkah pertama: menghitung volume cairan yang hilang selama puasa.


Perhitungan dengan rumus Holliday-Segar

Volume cairan = 6 jam puasa x {(4 cc/kg x 10kg pertama) + (2 cc/kg x 10 kg


kedua) + (1cc/kg x 35 kg sisanya)} /jam =
6 jam x { 40 cc + 20 cc + 35 cc)/jam
= 6 jam x 95 cc/jam = 564 cc kira-kira 1 kolf kristaloid
- Langkah kedua: menghitung volume cairan maintanance intraoperative
Perhitungan dengan rumus Holiday-Segar

Volume cairan = 1,42 jam operasi x {(4 cc/kg x 10kg pertama) + (2 cc/kg x 10
kg kedua) + (1cc/kg x 35 kg sisanya)} /jam =
6 jam x { 40 cc + 20 cc + 35 cc)/jam
= 1,42 jam x 95 cc/jam = 134.9 cc kristaloid

- Langkah ketiga: menghitung estimasi volume kehilangan darah selama operasi


histerektomi

Hiterektomi termasuk dalam jenis operasi besar dengan trauma jaringan


lunak yang besar slama operasi, perhitungan kehilangan volume darah
dengan menggunakan kristaloid 6-8 cc/kgBB/jam

Volume cairan = 1,42 jam operasi x 7cc/kgBB x 55 kg


Volume cairan = 546.7 cc cairan kristaloid selama operasi

Jadi total pemberian selama operasi


564 cc+ 134.9 cc + 546.7 cc = 1.245,4 cc cairan kristaloid

Jumlah tetesan permenit= 1.245,4 cc x 20 / 1,42 jam x 60 menit


= 14 tpm kristaloid

5. Klasifikasi ASA

Untuk menentukan prognosis ASA (American Society of Anesthesiologists)


membuat klasifikasi berdasarkan status fisik pasien pra anestesi yang membagi
pasien kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai berikut: ASA 1, yaitu pasien
dalam keadaan sehat yang memerlukan operasi. ASA 2, yaitu pasien dengan
kelainan sistemik ringan sampai sedang tanpa keterbatasan aktivitas sehari hari.
ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sisemik berat dengan
keterbatasan aktivitas sehari hari. ASA 4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik
berat yang secara langsung mengancam kehiduannya dengan tidak mampu
melakukan aktivitas sehari hari. ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan hidup
walaupun dioperasi atau tidak. ASA 6, yaitu pasien dengan kematian otak, dimana
akan dilakukan donor dari pasien tersebut.

6. Skor pemulihan pasca anastesi

Setelah dilakukan pembedahan pasien dirawat diruang pulih sadar. Pasien yang
dikelola adalah pasien pasca anestesi umum ataupun anestesi regional. Di ruang pulih
sadar dimonitor jalan nafasnya apakah bebas atau tidak, ventilasinya cukup atau tidak
dan sirkulasinya sudah baik atau tidak.Pasien dengan gangguan jalan nafas dan
ventilasi harus ditangani secara dini. Selain obstruksi jalan nafas karena lidah yang
jatuh kebelakang atau spasme laryng, pasca bedah dini kemungkinan terjadi muntah
yang dapat berakibat aspirasi. Anestesi yang masih dalam, dan sisa pengaruh obat
pelumpuh otot akan berakibat penurunan ventilasi . Gangguan sirkulasi terjadi pada
pasien yang terapi cairan yang diberikan selama pembedahan belum sadar dapat
terjadi gangguan jalan nafas. Pasien yang belum sadar diberikan oksigen dengan
kanula nasal atau masker sampai pasien sadar betul. Pasien yang sudah keluar dari
pengaruh obat anestesi akan sadar kembali. Hipoksia dan hiperkardia terjadi pada
pasien dengan gangguan jalan nafas dan ventilasi. Menggigil akan menambah beban
jantung dan sangat berbahaya pada pasien dengan penyakit jantung. Kartu observasi
selama diruang pulih sadar harus ditulis dengan jelas sehingga dapat dibaca bila
pasien sudah kembali ke bangsal.

Bila keadaan umum dan tanda vital pasien normal dan stabil,maka pasien dapat
dipindahkan ke ruangan dengan pemberian instruksi pasca operasi.
Kriteria yang digunakan dan umunya yang dinilai pada pasien dengan anestesi
umum adalah warna kulit, kesadaran, sirkulasi, pernafasan, dan aktivitas motorik,
seperti skor Aldrete. Idealnya pasien baru boleh dikeluarkan bila jumlah skor total
adalah 10. Namun bila skor total telah di atas 8 tanpa ada nilai 0, pasien boleh
keluar ruang pemulihan.
Skor Aldrete

Penilaian Skor

Warna Merah muda 2

Pucat 1

Sianotik 0

Pernafasan Dapat bernafas dalam dan batuk 2

Dangkal namun pertukaran udara adekuat 1

Apnea atau obstruksi 0

Sirkulasi Tekanan darah menyimpang < 20 % dari normal 2

Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal 1

Tekanan darah menyimpang < 50 % dari normal 0

Kesadaran Sadar, siaga, dan orientasi 2

Bangun namun cepat kembali tertidur 1

Tidak berespons 0

Aktifitas Seluruh ekstremitas dapat digerakkan 2

Dua ekstremitas dapat digerakkan 1

Tidak bergerak 0
7. Kontrandikasi spinal anestesi

Pada pasien spinal anestesi dengan hypovolemia atau syok akan meningkatkan risiko
hipotensi. Pasien dengan peningkatan tekanan intra kranial akan meningkatkan risiko
herniasi brain ketika cairan serebrospinal hilang melalui jarum anestesi atau peningkatan
tekanan intracranial akibat dari injeksi cairan dengan volume besar ke epidural atau
subarachnoid. Koagulopati atau trombositopenia akan meningkatkan risiko epidural
hematom. Sepsis akan meningkatkan risiko meningitis. Infeksi pada tempat penyuntikan
akan meningkatkan risiko meningitis. Penolakan pasien merupakan hal yang perlu
diperhatikan karena merupakan kontra indikasi pada spinal anestesi. Pada prosedur spinal
anestesi biasa pasien mengeluh sakit kepala karena perbahan tekanan intrakranial yang
disebabkan karena bocornya cairan serebrospinal yang tidak disengaja.

Anda mungkin juga menyukai