Anda di halaman 1dari 11

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rinitis Alergi


2.1.1 Definisi
Rinitis alergi merupakan penyakit alergi tipe 1 pada mukosa
hidung, yang ditandai dengan bersin berulang, rhinorrhea, dan hidung
tersumbat (Okubo et al.,2011). Gejala rinitis alergi dapat dicetuskan oleh
berbagai faktor, diantaranya adalah udara dingin debu, uap, bau cat, polusi
udara, tinta cetak, bau masakan, bubuk detergen, serta bau minuman
beralkohol. Selain itu, predisposisi genetik juga memegang peranan
penting. Probabilitas seorang anak mengalami alergi adalah 20% atau 47%
bila salah satu atau kedua orang tua mereka mengalami alergi (Dhingra
dan Dhingra, 2010).

2.1.2 Etiologi
2.1.2.1 Alergen inhalan
2.1.2.1.1 Polusi Udara
Selama bertahun-tahun, polusi udara di perkotaan menjadi bahan
penelitian sebagai etiologi ekstrinsik yang penting dari penyakit alergi.
Perhatian dikonsentrasikan pada zat yang berbentuk gas seperti ozon dan
nitrogen dioksida. Studi epidemiologi menunjukkan hubungan yang kuat
antara polusi udara dengan penyakit alergi. Telah dibuktikan bahwa polusi
udara dapat memperkuat reaksi alergi dengan modifikasi epitel,
mempengaruhi imunitas, dan meningkatan sensitivitas terhadap alergen.
2.1.2.1.2 Airborne allergen
Alergen ini memicu rinitis tipe perennial (bulu binatang) dan tipe
seasonal (serbuk sari). Pengembangan hipersensitivitas diasosiasikan
dengan keberadaan sekresi dari tungau debu rumah.
Bulu, kulit, liur, dan urin binatang peliharaan (khususnya kucing
dan anjing) juga menjadi sumber alergen yang penting. Bulu binatang

Universitas Sumatera Utara


ternak seperti kuda dan sapi dapat menjadi alergen yang berperan dalam
alergi yang terkait dengan perkerjaan.
Eksaserbasi gejala alergi selama musim tertentu berhubungan
dengan serbuk sari dari tanaman tertentu yang berbunga pada musim
tersebut. Penyerbukan tanaman yang dibantu oleh serangga memproduksi
serbuk sari dengan jumlah relatif sedikit dan hanya dapat memicu gejala
dengan kontak dekat (Jenerowicz et al., 2012).
2.1.2.2 Alergen Ingestan
Berdasarkan data WHO, alergi makanan diderita oleh 4-10% anak
dan 2-4% dewasa (Jerenowicz et al., 2012). Munasir dan Rakun dalam
IDAI (2010) menyebutkan bahwa alergen ingestan lebih berperan pada
masa bayi dan anak.
2.1.2.3 Alergen Kontaktan
Pada rinitis alergi, alergen kontaktan tidak memiliki peran yang
signifikan karena alergen ini lebih berdampak pada dermatitis kontak/iritan
(Jenerowicz et al., 2012).
2.1.2.4 Alergen Injektan
Alergen injektan dapat berupa obat-obatan yang diinjeksikan
ataupun venom dari gigitan serangga. Alergen ini tidak berperan secara
signifikan namun dapat memicu eksaserbasi pada rinitis alergi (Jenerowicz
et al., 2012).

2.1.3 Patofisiologi
Diatesis mengenai produksi antibodi IgG adalah yang paling
penting. Sebagai respon terhadap masuknya antigen ke membran mukosa,
antibodi IgE diproduksi di mukosa hidung dan jaringan limfatik regional.
Antigen yang menjadi penyebab tersering adalah antigen inhalan, yaitu
Dermatophagoides dan serbuk sari.
Pada individu yang telah tersensitisasi, alergen yang dihirup
mukosa hidung masuk melalui sel epitel dan berikatan dengan antibodi
IgE di sel mast yang terdistribusi di seluruh mukosa hidung. Mediator

Universitas Sumatera Utara


kimia seperti histamin dan leukotrien dilepaskan dari sel mast sebagai
reaksi ikatan antigen-antibodi. Hal tersebut mengiritasi ujung saraf
sensorik dan pembuluh darah mukosa hidung sehingga menyebabkan
bersin, watery rhinorrhea, dan pembengkakan mukosa hidung (hidung
tersumbat). Proses ini merupakan fase awal.
Berbagai sel inflamasi, seperti eosinofil yang teraktivasi,
menginfiltrasi mukosa hidung yang terpapar antigen sebagai respon
terhadap sitokin, mediator kimia, dan kemokin. Leukotrien, yang
diproduksi oleh sel-sel inflamasi ini menyebabkan pembengkakan mukosa
hidung. Fase ini merupakan fase akhir yang terjadi setelah 6-10 jam
setelah paparan dengan antigen (Okubo et al., 2011).

Gambar 2.1 Fase awal dan akhir patofisiologi rinitis alergi (Okubo et al.,
2011)

Universitas Sumatera Utara


2.1.4 Gejala Klinis
2.1.4.1 Bersin
Bersin disebabkan oleh iritasi histamin pada saraf sensorik
(trigeminus) di mukosa hidung yang ditransmisikan ke pusat bersin di
medulla oblongata. Efek iritan dari histamin pada saraf sensorik
dibangkitkan oleh alergi dan menyebabkan bersin.
2.1.4.2 Watery Rhinorrhea
Iritasi saraf sensorik pada mukosa hidung menyebabkan eksitasi
saraf parasimpatis, dan menyebabkan refleks bersin. Hal ini memicu
pelepasan asetilkolin oleh saraf parasimpatis. Histamin bertindak langsung
pada pembuluh darah mukosa hidung dan menyebabkan kebocoran
plasma.
2.1.4.3 Pembengkakan Mukosa Hidung
Pembengkakan mukosa hidung disebabkan oleh edema pada
mukosa hidung akibat kebocoran plasma dan kongesti pembuluh darah
mukosa. Aksi langsung oleh mediator inflamasi seperti histamin, PAF,
prostaglandin D2, kinin, dan secara spesifik, eosinofil, memegang peranan
penting pada pembengkakan mukosa hidung yang diobservasi pada fase
akhir. Fase awal rinitis alergi disebabkan oleh reaksi antigen-antibodi tipe
1 IgE. Lalu, sel inflamasi yang menginfiltrasi menyebabkan fase akhir.
Iritasi antigen yang berlangsung terus menerus menyebabkan lesi kronik
(Okubo et al., 2011).

2.1.5 Klasifikasi
2.1.5.1 Berdasarkan Waktu
Berdasarkan waktu munculnya gejala, rinitis alergi dibagi menjadi
dua, yaitu perennial dan seasonal (Okubo et al., 2011). Tipe seasonal
muncul selama musim tertentu ketika serbuk sari pada tanaman tertentu
menyebar di udara. Sementara itu, tipe perennial muncul sepanjang tahun
(Dhingra dan Dhingra, 2010).

Universitas Sumatera Utara


2.1.5.2 Berdasarkan Gejala
Rinitis alergi dapat dibagi berdasarkan gejala dominan yang timbul
yaitu bersin dan rhinorrhea, hidung tersumbat, dan kombinasi keduanya.
2.1.5.3 Berdasarkan Tingkat Keparahan
Klasifikasi ini ditentukan oleh tingkat keparahan gejala, hasil tes,
dan inspeksi pada mukosa hidung. Secara umum, tingkat keparahan gejala
ditentukan berdasarkan gejala yang dominan (Okubo et al., 2011).
Greiner, Hellings, Ratiroti, et al. (2011) menyebutkan bahwa
klasifikasi rinitis alergi berdasarkan ARIA (2001) ditentukan berdasarkan
frekuensi terjadinya gejala dan HRQL pasien (Gambar 2.2)

Gambar 2.2 Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan ARIA (2001) (Greiner,


Hellings, Ratiroti, et al., 2011)

2.1.6 Diagnosis
2.1.6.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Riwayat lengkap dan hasil pemeriksaan fisik pasien sangat berguna
dalam memberi petunjuk pada kemungkinan alergen yang menyebabkan
rinitis alergi (Dhingra dan Dhingra, 2010). Riwayat atopi dalam keluarga
merupakan faktor predisposisi rinitis alergi yang terpenting. Pada anak,

Universitas Sumatera Utara


terdapat tanda karakteristik pada muka seperti allergic salute, allergic
crease, Dennie’s line, dan allergic face.
Pemeriksaan THT dapat dilakukan dengan menggunakan
rinoskopi, sekaligus juga menyingkirkan kelainan seperti infeksi, polip
hidung, atau tumor.
2.1.6.2 Pemeriksaan Penunjang
a. Pada hitung darah lengkap, eosinofilia perifer bisa ditemukan tetapi
temuan ini tidak konsisten.
b. Nasal smear menunjukkan jumlah eosinofil yang tinggi pada rinitis
alergi. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan saat rinitis alergi aktif
secara klinis atau setelah uji provokasi hidung.
c. Uji alergi pada kulit membantu identifikasi alergen spesifik (Okubo et
al., 2011).
d. Radioallergosorbent test (RAST) merupakan suatu uji in vitro dan
mengukur konsentrasi antibodi IgE spesifik pada serum pasien.
Pemeriksaan ini dapat dilakukan tetapi hasilnya kurang spesifik bila
dibandingkan dengan uji alergi pada kulit (Munasir dan Rakun dalam
IDAI, 2010).
e. Uji provokasi hidung merupakan metode untuk merangsang mukosa
hidung dengan cara meletakkan sedikit alergen pada ujung tusuk gigi
dan meminta pasien untuk menghirup. Hal ini juga digunakan untuk
mengobservasi apakah gejala alergi muncul. (Dhingra dan Dhingra,
2010).

2.1.7 Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan rinitis alergi adalah mengurangi
gejala dan memperbaiki HRQL. Pemilihan terapi dilakukan berdasarkan
keparahan gejala, tipe penyakit, dan gaya hidup (Okubo et al., 2011).
2.1.7.1 Terapi Nonfarmakologi
a. Edukasi

Universitas Sumatera Utara


Pasien harus diberi pengetahuan tentang rinitis alergi, perjalanan
penyakit, dan tujuan penatalaksanaan. Penatalaksanaan medis
bertujuan untuk mengurangi gejala atau mengganggu kerja sistem
imun untuk mengurangi hipersensitivitas, atau keduanya. Selain
itu, pasien juga harus diberikan informasi mengenai keuntungan
dan efek samping yang mungkin terjadi untuk mencegah
ekspektasi yang salah dan meningkatkan kepatuhan pasien
terhadap obat yag diresepkan (Greiner, Hellings, Ratiroti, et al.,
2011).
b. Menghindari alergen secara komplit
Menurut studi placebo-controlled oleh O’Meara (2005) dalam
Greiner, Hellings, Ratiroti, et al.(2011), penggunaan nasal filter,
yang dapat mencegah akses serbuk sari ke dalam hidung,
mengurangi gejala rinitis pada subjek yang alergi terhadap serbuk
sari.
2.1.7.2 Terapi Farmakologi
a. Topikal
i. Kortikosteroid
Semprot atau tetes: fluticasone, mometasone, ciclesonide,
triamcinolone, flunisolide, beclametason, dan betamethasone
Keuntungan: terapi antiinflamasi paling poten, sangat
mengurangi gejala pada hidung, memiliki efek pada gejala
konjunktiva, memperbaiki HRQL, bioavailibilitas rendah.
Kerugian: membutuhkan beberapa hari untuk mengurangi
gejala dan memiliki efek samping epistaxis
ii. Antihistamin
Azelastine, Olopatadine
Keuntungan: efektif dan aman untuk mengatasi gatal pada
hidung, bersin, dan rhinorrhea, onset cepat (15 menit)
Kerugian: pengabaian terhadap gejala sistemik lain
iii. Chromone

Universitas Sumatera Utara


Sodium cromoglicate, nedocromil sodium
Keuntungan: aman untuk gejala rinitis alergi
Kerugian: penggunaan beberapa kali sehari, efek pada gejala
lemah
iv. Antikolonergik
Ipratropium bromide
Keuntungan: efek baik hanya pada gejala rhinorrhea
Kerugian: penggunaan 3 kali sehari
Efek samping: hidung kering, epistaxis, retensi urin, dan
glaukoma
v. Dekongestan
Ephedrine, pseudoephedrine, xylometazoline
Keuntungan: agen vasokonstriktif yang poten hanya pada
hidung tersumbat, onset cepat (10 menit)
Kerugian: sering digunakan pasien secara berlebihan, efek
samping iritasi hidung dan gejala rhinorrhea memburuk
(rebound phenomenon)
b. Sistemik
i. Antihistamin
Generasi pertama – tidak dianjurkan karena efek samping
sedasi dan retardasi psikomotor
Generasi kedua: levocetirizine dan cetirizine, desloratadine dan
loratadine, fexofenadine, acrivastine, rupatadine, carebastine
dan ebastine
Keuntungan: efektif mengurangi gejala seperti hidung gatal,
bersin, dan rhionrrhea, mengurangi gejala konjunktiva, onset
cepat (1 jam), dan interaksi obat sedikit
Kerugian: efek pada hidung tersumbat kurang baik
ii. Kortikosteroid
Hydrocortisone, prednisolone

Universitas Sumatera Utara


Keuntungan: terapi antiinflamasi sistemik, mengurangi seluruh
gejala
Kerugian: hanya boleh digunakan jangka pendek
iii. Antileukotrien
Antagonis respetor leukotrien: montelukast dan zafirlukast
Inhibitor sintesis leukotrien: zileuton
Hanya montelukast yang boleh digunakan sebagai terapi rinitis
alergi
Keuntungan: efektif untuk hidung tersumbat, rhinorrhea, dan
gejala konjunktiva, efektif untuk gejala bronkial pada beberapa
pasien, umumnya ditoleransi dengan baik
Efek samping: sakit kepala, gejala pada sistem pencernaan,
ruam, dan sindrom Churg-Strauss
iv. Dekongestan
Pseudoephedrine
Keuntungan: mengurangi gejala hidung tersumbat
Efek samping: hipertensi, insomnia, agitasi, dan takikardi
(Greiner, Hellings, Ratiroti, et al., 2011)

2.1.8 Komplikasi
2.1.8.1 Sinusitis berulang
Gajala klinis saat rinitis alergi mengalami eksaserbasi dapat
menyebabkan obstruksi pada sinus paranasal dan menyebabkan sinusitis
berulang.
2.1.8.2 Polip hidung
Iritasi yang terjadi pada mukosa hidung secara berulang pada rinitis
alergi dapat memicu pertumbuhan polip pada hidung.
2.1.8.3 Otitis media serosa akut
Kondisi ini dapat terjadi karena adanya penyumbatan berulang
pada tuba Eustachius.
2.1.8.4 Masalah orthodontic

Universitas Sumatera Utara


Gejala hidung tersumbat pada rinitis alergi meyebabkan pasien
bernapas melalui mulut. Kondisi ini, terutama pada anak-anak dapat
menyebabkan masalah orthodontic.
2.1.8.5 Asma bronkial
Pasien dengan rinitis alergi menunjukkan kelainan pada saluran
napas bagian bawah termasuk perubahan secara fisiologi, histologi, dan
biokimia. Survei epidemiologi menunjukkan bahwa rinitis alergi
merupakan faktor independen untuk terjadinya asma bronkial (Dhingra
dan Dhingra, 2010).

2.2 Kualitas Hidup


Kualitas hidup merujuk pada evaluasi yang dapat dilakukan terhadap
kesejahteraan seseorang. Hal ini diasumsikan sebagai kepuasan subjektif
seseorang terhadap sebaik apa seseorang dalam menjalani hidupnya.
Pernyataan baik atau tidaknya kehidupan seseorang tidak dinilai dari apakah
dia berguna bagi orang lain, tetapi dinilai dari sebaik apa seseorang menjalani
kehidupannya sendiri.
Sejak awal abad ini, beberapa organisasi mempublikasi laporan-
laporan sosial. Laporan-laporan ini berisi data statistik tentang perubahan
sosial dan tren sosial yang menunjukkan data konsumsi, masukan, edukasi,
perumahan, dan perawatan medis (Bognar, 2005).
Menurut CDC, kualitas hidup adalah sebuah konsep multidimensi
yang luas yang mencakup evaluasi subjektif dari aspek positif dan negatif dari
kehidupan. Meskipun kesehatan merupakan salah satu aspek penting dalam
kualitas hidup, terdapat juga beberapa aspek lain yang mempengaruhi kualitas
hidup seperti aspek budaya, sistem nilai, dan spiritualitas.

2.2.1 Kualitas Hidup terkait Kesehatan - Health-Related Quality of Life (HRQL)


Menurut WHO (1997) dalam da Silva, da Silva, Morates, et al.
(2009), sehat adalah keadaan fisik, mental yang lengkap, dan bukan hanya
ketiadaan penyakit. Sementara itu, HRQL didefinisikan sebagai persepsi

Universitas Sumatera Utara


individual terhadap posisi seseorang di kehidupannya dalam konteks
kebudayaan dan sistem nilai yang berlaku pada kehidupannya dan
hubungannya dengan tujuan, harapan, standard, dan perhatian seseorang.
HRQL merupakan suatu konsep yang luas mengenai cara yang kompleks
dalam kesehatan fisik, keadaan psikologis, kepercayaan personal,
hubungan sosial, dan hubungan dengan lingkungan.
Pada investigasi HRQL, parameternya antara lain subjektivitas,
kondisi fisik, psikologis, dan sosial, juga bipolaritas (autonomi dan
ketergantungan). Hal ini diikuti dengan pengukuran kesehatan dan efek
dari perawatan klinis yang mengikutsertakan tidak hanya perubahan pada
frekuensi dan keparahan penyakit tetapi juga pengukuran pada perbaikan
kesejahteraan dan kualitas hidup.

2.2.2 HRQL pada Penderita rinitis alergi kelompok usia remaja


Pada anak-anak, gejala pada hidung mengganggu kegiatan mereka
di sekolah dan menyebabkan mereka malu karena diejek teman-teman
sekolahnya. Prestasi di sekolah dapat menurun karena berkurangnya
perhatian saat jam pelajaran, kelelahan, efek samping pengobatan, dan
sering tidak masuk sekolah.
Penelitian pada remaja yang dilakukan di Brazil menunjukkan
bahwa gejala fisik (paling sering pada hidung) lebih sering dikeluhkan
daripada gejala emosional. Faktor-faktor ketidaknyamanan lain yang juga
sering disebutkan antara lain kelelahan, haus, rasa cemas, penggunaan
obat, dan perasaan malu saat gejala muncul (da Silva, da Silva, Morates, et
al., 2009).
Pada 9 dari 11 penelitian yang dilakukan oleh para ahli pada tahun
1991-2009, didapatkan data bahwa rinitis alergi berkolerasi dengan
gangguan ansietas. Berdasarakan data pada 10 dari 12 penelitian yang
dilakukan para ahli pada tahun 1993-2008, penderita rinitis alergi
kelompok usia remaja memiliki kecenderungan lebih besar untuk
mengalami depresi (Sansone dan Sansone, 2011).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai