Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut Undang Undang No. 24/2007 bencana adalah peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau nonalam
maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Secara geografis sebagian besar wilayah di Indonesia berada pada kawasan
rawan bencana alam, dan salah satu bencana yang serring terjadi adalah bencana
longsor. Bencana tanah longsor telah menjadi bencana skala nasional karena
frekuensi kejadiannya yang sering terjadi serta besarnya resiko yang
ditimbulkannya yaitu kehilangan nyawa dan harta benda. Data Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2015 menyatakan terdapat 1.560 bencana
alam yang terjadi di Indonesia dan ± 50% diantaranya adalah bencana longsor.
Sutikno (2000) menyebutkan longsor terjadi karena adanya gangguan
keseimbangan gaya yang bekerja pada lereng yaitu gaya penahan (shear strength)
dan gaya peluncur (shear stress). Gaya penahan massa tanah pada lereng
dipengaruhi oleh kandungan air, berat masa tanah itu sendiri dan berat bangunan.
Ketidakseimbangan gaya yang bekerja pada lereng menyebabkan lereng menjadi
tidak stabil. Ketidakstabilan tersebut menyebabkan massa tanah atau batuan
bergerak turun. Selain dari faktor alam beberapa hasil aktifitas manusia yang tidak
terkendali dalam mengeksploitasi alam juga dapat menjadi faktor penyebab
ketidakstabilan lereng yang dapat mengakibatkan terjadinya longsor. Dilihat dari
karakteristik fisik alamnya, salah satu daerah yang memiliki potensi bencana
longsor adalah Kabupaten Bantaeng.
Kabupaten Bantaeng terletak di bagian selatan Provinsi Sulawesi Selatan,
berbatasan dengan Kabupaten Gowa, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Bulukumba dan
Kabupaten Jeneponto. Kabupaten Bantaeng secara administrasi terdiri dari 8
kecamatan dan 67 desa/kelurahan. Kabupaten Bantaeng merupakan salah satu
kabupaten yang sebagian wilayahnya berada pada daerah pegunungan yang
termasuk dalam daerah gunungapi Lompobattang (P3G Bandung, 1982). Sehingga

1
pada wilayah pegunungan Kabupaten Bantaeng termasuk dalam kelompok tipe
batuan vulkanik yang merupakan satuan batuan bidang gelincir karena sifatnya
yang kompak apabila tanah di atasnya jenuh air sehingga sangat rentan terhadap
gerakan tanah (Wilopo dan Agus, 2005).
Dengan garis kontur yang rapat menunjukkan kabupaten Bantaeng dipenuhi
oleh lahan dengan kelas kelerengen yang datar hingga sangat curam (>70 %).
Dengan tipologi kelerengan lebih dari 15% maka dapat disimpulkan bahwa di lihat
dari aspek kelerengan, Kabupaten Bantaeng termasuk dalam wilayah potensial
longsor (Karnawati, 2001).
Tidak hanya dari aspek topografinya, kondisi penggunaan lahan dominan di
kabupaten Bantaeng berupa tegalan/kebun dengan persentase sebesar 48,04% atau
luas 19,016 ha. Menurut Karnawati (2005) guna lahan tegalan memiliki sifat yang
sangat peka terhadap erosi/gerakan tanah karena lemahnya sistem perakaran
tanaman ini sebagai pengikat tanah.
Selain itu, di Kabupaten Bantaeng tercatat memiliki 7 titik lokasi rawan
bencana tanah longsor yang berada di tiga kecamatan yaitu 3 titik pada Kecamatan
Eremerasa, 1 titik pada Kecamatan Bantaeng dan 3 titik pada Kecamatan Sinoa
(Dinas PU dan Kimpraswil Kabupaten Bantaeng, 2016).
Hal tersebut diperkuat dengan data dari BNPB (Badan Nasional
Penanggulangan Bencana) pada tahun 2012 yang menunjukkan bahwa wilayah
pegunungan di Kabupaten Bantaeng berada pada zona bencana tanah longsor
“rendah” hingga “tinggi”, sehingga perlu dilakukannya pengkajian lebih lanjut
untuk melihat sebaran wilayah rawan longsor.
Penelitian kerawanan longsor ini menggunakan pendekatan keruangan
(spasial) dengan menggabungkan parameter-parameter yang dinilai menjadi faktor
penyebab bencana tanah longsor dan penilaian bobot dari para ahli/expert.

1.2 Rumusan Masalah


Kabupaten Bantaeng merupakan salah satu kabupaten yang sebagian
wilayahnya berada pada daerah pegunungan yang termasuk dalam daerah
gunungapi Lompobattang (P3G Bandung, 1982). Dengan garis kontur yang rapat
menunjukkan kabupaten Bantaeng dipenuhi oleh lahan dengan kelas kelerengen
yang datar hingga sangat curam (>70 %). Oleh karena itu potensi bahaya tanah

2
longsor sangat dapat terjadi, sehingga perlu dilakukannya pengkajian lebih lanjut
untuk melihat sebaran wilayah rawan longsor dan mengukur tingkat kerawanannya.
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka penulis dapat menyimpulkan
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Faktor-faktor dominan apa yang berpengaruh terhadap tingkat kerawanan
bencana tanah longsor di lokasi penelitian?
2. Bagaimana tingkat kerawanan bencana tanah longsor di lokasi penelitian?
3. Bagaimana tingkat kesesuaian Rencana Pola Ruang Kabupaten Bantaeng
dengan potensi kerawanan bencana tanah longor?

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan uraian rumusan masalah, maka tujuan penelitian dalam penelitian
ini antara lain:
1. Mengidentifikasi faktor-faktor dominan yang berpengaruh terhadap tingkat
kerawanan bencana tanah longsor di lokasi penelitian.
2. Menganalisis tingkat kerawanan bencana tanah longsor di lokasi penelitian.
3. Mengetahui tingkat kesesuaian RTRW Kabupaten Bantaeng dengan potensi
kerawanan bencana tanah longsor.

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Diharapkan mampu meningkatkan pemahaman terhadap kebencanaan
khususnya bencana tanah longsor.
2. Diharapkan dapat menjadi acuan/pedoman untuk arahan pemanfaatan ruang di
Kabupaten Bantaeng.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian


Ruang lingkup penelitian ini terdiri dari dua bagian, yaitu ruang lingkup
wilayah penelitian dan ruang lingkup substansi.

1. Ruang Lingkup Wilayah Penelitian


Ruang lingkup wilayah dalam penelitian ini adalah Kabupaten Bantaeng yang
secara administrasi terbagi ke dalam 8 wilayah kecamatan dengan luas wilayah
sebesar 395,83 km2.

3
2. Ruang Lingkup Substansi
Penelitian ini terfokus pada analisis tingkat kerawanan longsor di lokasi
penelitian menggunakan metode SMCA (Spatial Multi Criteria Analysis). SMCA
merupakan pendekatan analisis berbasis keruangan dengan menggabungkan
parameter-parameter penyebab bencana untuk mengidentifikasi wilayah kerawanan
longsor.

1.6 Sistematika Penulisan


Penulisan laporan ini terbagi atas enam bab dan masing-masing bab diuraikan
kedalam sub bab dengan sistematika sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan
Berisi latar belakang studi, rumusan permasalahan penelitian, tujuan yang ingin
dicapai, manfaat penelitian, ruang lingkup wilayah studi, dan lingkup substansi,
serta sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Pustaka
Merupakan tinjauan literatur yang menyangkut kajian kepustakaan berupa
referensi baik teori-teori maupun hasil kajian keilmuan yang berkaitan dengan
tingkat kerawanan bencana tanah longsor.
Bab III Metode Penelitian
Merupakan bab yang memuat tahapan dan pendekatan yang digunakan dalam
penelitian untuk menjawab persoalan dan mencapai tujuan penelitian.
Bab IV Gambaran Umum
Memaparkan tentang letak geografis dan kondisi eksisting fisik lokasi
penelitian yang dijadikan sebagai parameter penilaian kerawanan bencana tanah
longsor.
Bab V Hasil dan Pembahasan
Merupakan bab yang berisi analisis wilayah kerawanan longsor dengan menilai
bobot dari setiap faktor-faktor penyebab/pemicu longsor dan menganalisis tingkat
kerawanan dan kesesuaiannya terhadap RTRW Kabupaten Bantaeng.
Bab VI Penutup
Merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari hasil analisis yang telah
dilakukan pada bab sebelumnya. Selain itu, pada bab ini juga berisi saran untuk
kajian lanjutan.

Anda mungkin juga menyukai