Anda di halaman 1dari 37

Skenario

Pasien, wanita, usia 39 tahun, datang ke RSGM dengan keluhan mulut terasa
terbakar sejak satu minggu yang lalu. Selain itu pasien juga mengeluhkan lidah
terasa tebal dan kurang bisa merasakan rasa makanan. Pasien berusaha mengatasi
keluhannya dengan memakai obat kumur tetapi keluhan tetap ada. Saat ini pasien
merasa lemas, susah tidur pada malam hari akibat sering buang air kecil, sering
lapar dan haus. TB=155cm, BB= 37kg.BMI (body mass index)=15,4. Klinis intra
oral didapatkan plak putih yang luas pada dorsum lidah,berbatas jelas, dapat
dikerok, tidak sakit. Gingiva kemerahan, mengkilat, BOP (Bleeding on Probing)
+,dan oedem pada semua regio. Gigi 31,32, 41,42 PD (probing depth) 5mm dan
gigi goyang derajat 2.

1
Step 1
1. Body Mass Index : perhitungan berat dan tinggi badan, untuk mengukur
derajat berat badan ideal.
Step 2
1. Apa saja pemriksaan yang dilakukan pada kasus di skenario?
2. Apa yang menyebabkan pasien merasakan sensasi mulut terbakar?
3. Apa yang menyebabkan keluhan pasien tetap ada meskipun telah memakai
obat kumur?
4. Pada skenario, pasien mengeluh sering buang air kecil, lapar, dan haus.
Apakah ada hubungan dengan penyakit sistemik?
5. Apakah penyakit sistemik ada hubungannya dengan keluhan pada rongga
mulut pasien?
6. Apa diagnosis yang sesuai pada kasus di skenario?
7. Bagaimana kegawatdaruratan pada skenario?
8. Bagaimana rencana perawatan yang sesuai pada kasus di skenario?
9. Bagaimana prognosis rencana perawatan pada kasus di skenario?
10. Apakah ada hubungan dari kondisi jaringan periodontal dengan Candidiasis
pada RM ataupun sebaliknya?
Step 3
1. Apa pemeriksaan yang dilakukan pada skenario?
 Pemeriksaan subyektif (anamnesis), berkaitan dengan lesi putih
pada pasien (apakahada rasa skita atau tidak, apakah sudah
mengonsumsi obat atau tidak), untuk penyakit peridontalnya mulai
kpana sudah mulai goyang giginya.
 Riwayat sistemik pada pasien
 Pemeriksaan obyektif
o Pemeriksaan umum : keadaan uumum pasien saat datang ke
dokter (lemas dll)
o Pemeriksaan vital sign

2
o IO : dilihat bentuk, lokasi, sakit atrau tidak (lsei putih). Gigi
goyang dilihat dari probing depth, BOP, tes mobilitas gigi,
tekstur, kontur, warna dan konsistensi (gingiva).
Perlu dilakukan pengerokan pada lesi putih
o EO : melihat kesimeetrisa wajah, memeriksa kelenjar limfe,
 Pemeriksaan penunjang : RO panoramik. HPA swab, kultur, tes lab
(tes gula darah, untuk mengetahui penyakit sistemik pasien), biopsi
(jika curiga pada keganasan tidak bisa dikerok)
2. Apa yang menyebabkan pasien merasakan sensasi mulut terbakar?
 Karena mungkin OH yang buruk, maupun xerostomia karena di
skenario menggunakan obat kumur.
 Pada pemeriksaan sering Bak, diduga mengidap DM, karena sering
mengalami mati rasa, xerostomia, dan sensasi mulut terbakar.
 Karena petanda epitel pada mulut pasien sudah menipis, adanya
infeksi karena bakteri atau jamur sehingga keratin mukosa pada RM
menipis.
 Karena adanya infeksi jamur pada lidah pasien, sebenarnya rasa
sakit tetapi pasien menginterprestasikan dengan rasa terbakar.
3. Apa yang menyebabkan keluhan pasien tetap ada meskipun telah memakai
obat kumur?
 Candidiasis karena obat kumur yang di jual secara umum bersifat
membunuh bakteri tidak pada jamur. Dan xerostomia pasien
semakin memparah keadan cadidiasis.
 Penggunaan obat kumur menyebabkan ketidakseimbangan
organisme RM.
 Karena etiologi utamanya adalah manifestasi keadaan sistemik yang
diderita pasien.
4. Pasien mengluh sering BAK, lapar dan haus apakah ada hubungan dengan
penyakit sistemik?
 Pada pemeriksaan sering Bak, diduga mengidap DM, karena sering
mengalami mati rasa, xerostomia, dan sensasi mulut terbakar.

3
 Dari sering lapar dan haus sangat menginterprestasikan pasien
menderita DM, karena tinggi gula darah pada pasien.
 Orang BAK pada malam hari mengimplikasikan diduga mengidap
DM.
5. Apakah penyakit sistemik ada hubungannya pada keluhannya?
 Iya, karena plak putih pada penderita DM mengalami xerostomia.
Karena self cleansing yang tergganggu diakbatkan sekresi saliva
yang terngganggu.
 Periondotitis, pada orang DM menyebabkan stress oksidatif
sehingga mengganggu vaskularitas, akibatnya pasokan nutrisi
terhambat.
 Penggunaan atibiotik, karena pada pengidap DM sering mengalami
infeksi. Karena antibiotik membunuh bakteri tidak pada jamur.
 Pada orang DM, sel-selnya kekurangan ATP, epitel pada RM rentan
terinfeksi jamur atau bakteri.
 Penyakit periodontalnya karena self cleansing yang kurang
sehingga terjadi akumulasi plak dan kalkulus.
 Karena pasien mengalami burning mouth syndrome makanya pasien
jadi males makan, intake makanan kurang  nutrisi yang masuk
kurang. Pada skenaroi yang terjadi DM tipe 1, karena herediter, BMI
rendah (sel-sel dalam tupuh kekurangan energi. Sehingga akan
bermanifestasi pada RM. Karena sistemiknya bermanifestasi pada
RM.
 Pada pasien DM , padsa saat glikolisis tidak dapat merubah gula
menjadi ATP.
6. Apa diagnosis yang sesuai dengan skenario?
 Suspect Candidiasis pseudomembrane
DD : leukoplakia
 Gigi goyang derajat 2 : periodontitis karena manifestasi kelainan
sistemik.

4
7. Kegawatdaruratan pada skenario?
 Suspect Candidiasis pseudomembrane karena memiliki rasa sakit
pada lidah dan kebas pada lidah.
 Gigi goyang derajat 2 karena manifestasi kelainan sistemik.
8. Rencana perawatan pada skenario?
 Suspect Candidiasis pseudomembrane : antijamur topikal. Setelah
itu diswab dan kultur ke mikrobiologi.
 Periodontitis karena kelainan sistemik : Karena sistemiknya,
dikonsultasikan ke dokter penyakit dalam terlebih dahulu. Jika
masih terkontrol bisa dilakukan SRP dan kuretase.
9. Prognosis sesuai rancana perawatan pada kasus?
 Good jika penyakit sistemik pasien terkontrol, kooperatif, tulang
adekuat
 Fair jika penyakit sistemik pasien terkontrol terbatas, gigi goyang,
jaringan tulang kurang adekuat, sedikit kooperatif
 Poor jika penyakit sistemik pasien tidak terkontrol
 Foto RO untuk mengetahui tulang alveolarnya mengalami resorbsi.
10. Apakah ada hubungan dari kondisi jaringan periodontal dengan Candidiasis
pada RM ataupun sebaliknya?
 Candidiasis bisa menyebabkan penyakit periodontal, tetapi jarang
terjadi.
 Penyakit periodontal tidak bisa menyebabkan candidiasis.

5
Step 4
`
DM Keluhan utama lidah
terasa tebal

Pemeriksaan
Pemeriksaan subyektif Pemeriksaan obyektif
penunjang

Umum Intra oral Ekstra oral

Diagnosis : Candidiasis
oral pseudomembrane

Periondotitis karena
kelainan sistemik

Konsultasi ke
dokter penyakit
dalam

Rencana perawatan

Normal

Pro OM Pro Perio

6
Step 5
1. Mahasiswa mampu mengkaji pemeriksaan subjektif.
2. Mahasiswa mampu mengkaji pemeriksaan obyektif.
3. Mahasiswa mampu mengkaji pemeriksaan penunjang.
4. Mahasiswa mampu mengkaji penegakan diagnosis beserta DD.
5. Mahasiswa mampu mengkaji prognosis.
6. Mahasiswa mampu mengkaji rencana perawatan sesuai dengan
kegawatdaruratan
7. Mahasiswa mampu mengkaji manifestasi DM pada RM.
PR
1. Kapan DM bermanifestasi pada RM?
2. Apakah burning mouth syndrome merupakan gejala atau diagnosis?

7
Step 7
1. Mahasiswa mampu mengkaji pemeriksaan subjektif.

2. Mahasiswa mampu mengkaji pemeriksaan obyektif.


Pemeriksaan objektif adalah pemeriksaan yang dilakukan berdasarkan
pengamatan dan keaktifan operator. Tujuan pemeriksaan obyektif adalah
untuk mengidentifikasi kelainan yang ada pada gigi dan mulut
(Wijaya,2003).
Pemeriksaan ekstra oral, meliputi :
1. Pemeriksaan kepala, wajah, dan leher
A. Pemeriksaan kepala
Pemeriksaan pada kepala dilakukan untuk mengetahui bentuk
dan fungsi kepala serta kelainan yang terdapat dikepala. Pemeriksaan
pada kepala dapat dilakukan dengan cara inspeksi dan palpasi.

Gambar. Pemeriksaan secara palpasi pada kepala


B. Pemeriksaan wajah
Pemeriksaan bentuk wajah terdiri atas 3 pemeriksaan yaitu
tipe wajah, kesimetrisan wajah, dan profil wajah. Tipe wajah ada 3,
yaitu sempit, normal, dan lebar. Kesimetrisan wajah ada 2, yaitu

8
simetris bilateral dan asimetris. Dikatakan simetris bilateral apabila
wajah terbagi 2 sama lebar dan anatomisnya sama jika ditarik garis
median dari garis rambut ke titik glabela, subnasion (perbatasan
septum nasal dengan bibir atas), dan menton. Profil wajah terbagi
menjadi wajah datar, cembung dan cekung. Untuk menentukan profil
wajah, tarik garis dari titik glablea, subnasion dan pogonion (dagu)
dan dilihat dari arah sagital.
Pemeriksaan pada wajah dapat dilakukan melalui pengamatan dan
palpasi, pemeriksa dapat mengamati simetris atau tidaknya wajah.

Gambar. Simetris wajah


C. Pemeriksaan leher
Pemeriksaan pada leher bertujuan untuk mengetahui integritas
leher, bentuk leher serta organ yang berkaitan, dan memeriksa sistem
limfatik. Pemeriksaan pada leher dilakukan dengan cara inspeksi dan
palpasi. Inspeksi pada leher untuk melihat adanya asimetris, denyutan
abnormal, tumor maupun pembesaran kelenjar limfe dan tiroid.
Pemeriksaan palpasi dilakukan pada tulang hyoid, tulang rawan tiroid,
kelenjar tiroid, pembuluh karotis, dan kelenjar limfe.

9
Gambar. Pemeriksaan secara palpasi pada leher

Pemeriksaan intra oral meliputi :

1. Pemeriksaan Bibir
Pemeriksaan intra oral yang dapat dilakukan
diantaranya adalah melihat mukosa intra oral dari pasien, yaitu
palpasi mukosa labial bibir bawah, mukosa labial bibir atas dan
mukosa bukal untuk melihat konsistensi, karakteristik jaringan
dan indurasi. Setelah itu lakukan juga inspeksi dan palpasi pada
bagian mucobucal fold atas dan bawah untuk melihat
karakteristik jaringan serta pada forniks bawah untuk melihat
posisi frenulum bibir bawah. Palpasi dan inspeksi dilakukan
terus hingga melihat semua anatomi pada intra oral yang
kemungkinan dapat terjadi kelainan atau penyakit, maka palpasi
juga pada bagian retromolar pad, tuberositas, palatum untuk
melihat rugae yang ada pada palatum.
2. Pemeriksaan Palatum Durum dan Tuberositas Maksilaris
Palatum durum diperiksa dengan cara inspeksi dan
palpasi. Inspeksi palatum durum dilakukan untuk melihat
adanya ulserasi, pembengkakan, atau tanda-tanda peradangan.
Inspeksi visual langsung palatum durum dapat dicapai dengan
cara menggunakan mirror. Sedangkan palpasi dilakukan dengan
menggunakan jari telunjuk dan rasakan terhadap adanya

10
pembengkakan. Palatum durum, mirip dengan gingiva cekat,
dalam keadaan normal berwarna kurang pink dibandingkan
mukosa rongga mulut lainnya karena adanya peningkatan
keratinisasi (Burkhart dan DeLong, 2012).
Pada palatum durum terdapat papilla incisivus yang
terletak di posterior gigi incisivus maksilla. Struktur anatomis
normal ini tampak sebagai nodul kecil imobil yang terletak
langsung di bawah muara ductus nasopalatinal, dimana
kumparan neurovaskuler keluar dari maksila untuk mensupai
mukosa palatum. Tuberositas maksila merupakan daerah distal
molar terakhir, jaringan warna pink secara homogen.
Pemeriksaan tuberositas maksila dilakukan dengan cara palpasi
untuk mengetahui nyeri dan pembengkakan (Burkhart dan
DeLong, 2012).

Gambar 1. Struktur normal dari palatum durum

Gambar 2. Contoh tindakan palpasi palatum durum

11
Gambar 3. Struktur normal tuberositas maksila

3. Pemeriksaan Palatum Molle dan Uvula


Palatum molle memiliki mukosa yang tidak berkeratin,
berwarna pink-salmon, licin, dan mengkilat. Palatum molle
biasanya diperiksa dengan inspeksi. Uvula adalah struktur
jaringan lunak yang terdiri dari otot dan jaringan ikat dan dilapisi
dengan selaput lendir. Uvula dapat diperiksa dengan inspeksi.
Pemeriksaan uvula dilakukan dengan inspeksi warna uvula,
inspeksi lesi dan pembengkakan. Jika terlihat adanya
pembengkakan, kemungkinan klien mengalami uvulitis.
Uvulitis merupakan peradangan pada uvula yang bisa
disebabkan oleh dehihdrasi, merokok, atau reaksi alergi karna
virus dan bakteri (Burkhart dan DeLong, 2012).

Gambar 4. Struktur normal palatum molle

12
Gambar 5. Contoh tindakan inspeksi palatum molle

Gambar 6. Contoh tindakan inspeksi uvula


4. Pemeriksaan dasar mulut
Area dibawah lidah disebut dasar mulut. Membran
mukosa disini bersifat licin, elastis dan banyak terdapat
pembuluh darah yang menyebabkan lidah ini mudah bergerak,
serta pada mukosa dasar mulut tidak terdapat papillae. Dasar
mulut dibatasi oleh otot-otot lidah dan otot-otot dasar mulut
yang insertionya disebelah dalam mandibula. Disebelah dalam
mandibula ini terdapat kelenjar-kelenjar ludah sublingualis dan
submandibularis. (Liod dan Robert, 2103)

5. Pemeriksaan Lidah
Pemeriksaan dilakukan dengan meminggirkan sedikit
lidah dan lihat lingual space kemudian palpasi aspek lingual
dengan menggerakan jari dari sisi satu ke sisi yang lainnya.
Kemudian lakukan palpasi dari bagian intra oral dan ekstra oral
pada daerah submandibula untuk memeriksa glandula saliva
submandibula. Setelah itu lakukan pemeriksaan sekresi saliva
dengan cara keringkan terlebih dahulu anterior dasar mulut

13
kemudian untuk menstimulasi produksi saliva dengan cara
menekan-nekan secara perlahan pada daerah glandula dari ekstra
oral kemudian perhatikan keluarnya saliva pada intra oral
(Gibson, 2002)
3. Mahasiswa mampu mengkaji pemeriksaan penunjang.
Walaupun tidak secara rutin dilaksanakan, pemeriksaan penunjang
dagnostik seperti radiografi, pemeriksaan laboratoris (darah, urin, atau
cairan jaringan yang lainnya, identifikasi mikrobiologik) dan pemeriksaan
jaringan biopsi sangat diperlukan untuk menegakan diagnosis. penyakit atau
kasus tertentu. Hanya perlu dicatat bahwa untuk pemeriksaan demikian
memerlukan waktu yang relatif lama dan juga biaya tambahan.
Dalam kasus ini ada beberapa pemeriksaan penunjang yang harus
dilakukan. Guna menetapkan diagnosis definitive untuk lesi purih yang
diderita pasien, dapat dilakukan biopsi dengan anestesi local dan kultur
mikrobiologi tambahan.
Pemeriksaan Penunjang Diabetes
1. Macam – macam Pemeriksaan Gula Darah

Menurut Depkes (2008) ada macam – macam pemeriksaan gula darah,


yaitu:
1) Gula darah sewaktu

Suatu pemeriksaan gula darah yang dilakukan setiap waktu


tanpa tidak harus memperhatikan makanan terakhir yang dimakan.
2) Gula darah puasa dan 2 jam setelah makan

Suatu pemeriksaan gula darah yang dilakukan pasien sesudah


berpuasa selama 8 – 10 jam, sedangkan pemeriksaan gula darah 2 jam
sesudah makan yaitu pemeriksaan yang dilakukan 2 jam dihitung
sesudah pasien menyelesaikan makan.

Pemeriksaan penyaring

Pemeriksaan penyaring menurut Kesehatan (2014) sebagai berikut :

14
Pemeriksaan penyaring yang ditujukan pada seorang yang memiliki
risiko DM namun belum menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan
penyaring sendiri bertujuan untuk menemukan pasien dengan DM, TGT
(toleransi glukosa terganggu) ataupun GDPT (glukosa darah puasa
terganggu), sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan
TGT dan GDPT juga sebagai intoleransi glukosa, yaitu tahapan sementara
menuju DM. Kedua kondisi tersebut merupakan faktor risiko untuk
terjadinya DM dan penyakit kardiovaskular di kemudian hari. Pemeriksaan
penyaring dikerjakan pada kelompok yang mempunyai salah satu faktor
risiko DM.
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan dengan cara melalui
pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa.
Apabila pemeriksaan penyaring ditemukan hasil yang positif, maka perlu
dilakukan konfirmasi dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa atau
dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar.
Cara pelaksanan TTGO

Menurut WHO dalam buku Kesehatan (2014) ada cara pelaksanaan TTGO
sebagai berikut :
a. Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari –
hari dengan karbohidrat yang cukup dan tetap melaksanakan kegiatan
jasmani seperti biasa.
b. Berpuasa paling sedikit 8 jam di mulai malam hari sebelum
pemeriksaan, minum air putih tanpa gula masih diperbolehkan.
c. Diperiksa kadar glukosa darah puasa.
d. Diberikan glukosa 75 gram untuk orang dewasa, atau 1,75 gram / kgBB
untuk anak – anak, dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam
waktu 5 menit.
e. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk
pemeriksaan 2 jam sesudah minum larutan glukosa selesai
f. Diperiksa kadar glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa
g. Selama proses pemeriksaan pasien yang diperiksa tetap istirahat dan

15
tanpa merokok.
Nilai Normal Kadar Gula Darah

Nilai untuk kadar gula darah dalam darah bisa dihitung dengan
beberapa cara dan kriteria yang berbeda. Berikut ini tabel untuk
penggolongan kadar glukosa dalam darah sebagai patokan penyaring (lihat
tabel 2.1).
Tabel 2.1 Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan
penyaring dan diagnosa DM (mg/dl)
Buka Belum DM
n pasti
DM DM
Kadar Glukos Plasma Vena <10 100 – ≥200
a 0 199
darah Sewakt Plasma Kapiler <90 90 – 199 ≥200
u
(mg/dL
)
Kadar Glukos Plasma Vena <10 100 – ≥126
a 0 125
darah puasa Plasma Kapiler <90 90 – 99 ≥100
(mg/dL
)
Sumber : (Kesehatan 2014)
Sedangkan menurut Rudi (2013) hasil pemeriksaan kadar gula darah
dikatakan normal bila :
a. Gula darah sewaktu : < 110 mg/dL
b. Gula darah puasa : 70 – 110 mg/dL
c. Waktu tidur :110 – 150 mg/dL
d. 1 jam setelah makan :< 160 mg/dL
e. 2 jam setelah makan :< 140 mg/dL
f. Pada wanita hamil :<140 mg/dL

16
Kriteria diagnosis diabetes melitus

Menurut Chris (2014) kriteria diagnosis diabetes melitus dapat ditegakkan


melalui tiga cara, yaitu :

 Jika keluhan klasik ditemukan, maka hasil pemeriksaan sesaat pada


glukosa plasma sewaktu lebih dari 200 mg/dl. Glukosa plasma sewaktu
merupakan dari hasil pemeriksaan sesaat pada satu waktu tanpa tidak
memperhatikan waktu makan teratur.
 Pemeriksaan kadar glukosa plasma puasa lebih dari 126 mg/dl dengan
adanya keluhan klasik. Puasa dimana tidak ada asupan kalori
sekurangnya 8 jam.
 Kadar gula plasma 2 jam pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) >
200 mg/dL.
Hasil pemeriksaan yang tidak memasuki kriteria normal dapat
digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau
glukosa darah puasa terganggu (GDPT). Kelompok toleransi glukosa
terganggu (TGT) yaitu bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa
plasma 2 jam sesudah beban antara 140 – 199 mg/dl. Kelompok glukosa
darah puasa terganggu (GDPT) yaitu sesudah pemeriksaan glukosa plasma
puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO gula
darah 2 jam <140 mg/dl.
Pemeriksaan Penunjang Oral Kandidiasis
Diagnosis kandidiasis ditentukan berdasarkan gejala klinis yang
menyebar dan tidak mudah dibedakan dari infectious agent yang telah ada.
Diagnosis laboratorium dapat dilakukan melalui pemeriksaan spesimen
mikroskopis, biakan, dan serologi. Tujuan pemeriksaan laboratorium
adalah untuk menemukan C. albicans di dalam bahan klinis baik dengan
pemeriksaan langsung maupun dengan biakan. Bahan pemeriksaan
bergantung pada kelainan yang terjadi, dapat berupa kerokan kulit atau
kuku, dahak atau sputum, sekret bronkus, urin, tinja, usap mulut, telinga,
vagina, darah, atau jaringan. Cara mendapatkan bahan klinis harus

17
diusahakan dengan cara steril dan ditempatkan dalam wadah steril, untuk
mencegah kontaminasi jamur dari udara (Babic, 2010). Identifikasi spesies
dapat dilakukan dengan uji morfologi dan kultur jamur untuk spesifikasi
dan uji sensitivitas.
Pemeriksaan ini tidak disarakan untuk digunakan sebagai diagnosis
karena tingginya kolonisasi. Diagnosis pada lesi Kandida juga dapat
dilakukan dengan pemeriksaan histologi terhadap sayatan spesimen hasil
biopsy (Vandepitte, 2003).
Pemeriksaan Langsung Candida albicans dengan Larutan KOH
Pemeriksaan langsung dengan larutan KOH dapat berhasil bila
jumlah jamur cukup banyak. Keuntungan pemeriksaan ini dapat dilakukan
dengan cara sederhana, dan terlihat hubungan antara jumlah dan bentuk
jamur dengan reaksi jaringan (Greenwood, 2007). Pemeriksaan langsung
harus segera dilakukan setelah bahan klinis diperoleh sebab C. albicans
berkembang cepat dalam suhu kamar sehingga dapat memberikan
gambaran yang tidak sesuai dengan keadaan klinis. Gambaran pseudohifa
pada sediaan langsung/apus dapat dikonfirmasi melalui pemeriksaan kultur,
merupakan pilihan untuk menegakkan diagnosis kandidiasis superfisial
(Bhavan, 2010). Bentuk pseudohifa pada pewarnaan KOH dapat dilihat
pada Gambar 2 berikut ini.
Pemeriksaan Langsung Candida albicans dengan Pewarnaan Gram
Pemeriksaan langsung dengan pewarnaan Gram sedikit
membutuhkan waktu dibandingkan pemeriksaan dengan KOH.
Pemeriksaan ini dapat melihat jamur C. albicans berdasarkan
morfologinya, tetapi tidak dapat mengidentifikasi spesiesnya. Pemulasan
dengan pewarnaan Gram dapat disimpan untuk penilaian ulangan
(Greenwood, 2007). Pewarnaan Gram memperlihatkan gambaran seperti
sekumpulan jamur dalam bentuk blastospora, hifa atau pseudohyfae, atau
campuran keduanya. Sel jaringan seperti epitel, leukosit, eritrosit, dan
mikroba lain seperti bakteri atau parasite juga dapat terlihat dalam sediaan.
Jamur muncul dalam bentukan budding yeast cells dan pseudomycelium

18
juga terlihat pada sebagian besar sediaan seperti pada Gambar 2 (Bhavan,
2010).

(1) (2)
Gambar 2 (1) Pseudohifa pada pewarnaan KOH (mata anak
panah). (2) Budding yeast cells (anak panah). (Dikutip dari:
Murray)
Pemeriksaan Kultur pada Candida albicans
Media kultur yang dipakai untuk biakan C. albicans adalah
Sabouraud dextrose agar/SDA dengan atau tanpa antibiotic (Greenwood,
2007). , ditemukan oleh Raymond Sabouraud (1864-1938) seorang ahli
dermatologi berkebangsaan Perancis. Pemeriksaan kultur dilakukan dengan
mengambil sampel cairan atau kerokan sampel pada tempat infeksi,
kemudian diperiksa secara berturutan menggunakan Sabouraud’s dextrose
broth kemudian Sabouraud’s dextrose agar plate. Pemeriksaan kultur darah
sangat berguna untuk endokarditis kandidiasis dan sepsis. Kultur sering
tidak memberikan hasil yang positif pada bentuk penyakit diseminata
lainnya. Sabouraud’s dextrose broth/SDB berguna untuk membedakan C.
albicans dengan spesies jamur lain seperti Cryptococcus, Hasenula,
Malaesezzia. Pemeriksaan ini juga berguna mendeteksi jamur kontaminan
untuk produk farmasi. Pembuatan SDB dapat ditempat dalam tabung atau
plate dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 24-48 jam, setelah 3 hari
tampak koloni C. albicans sebesar kepala jarum pentul, 1-2 hari kemudian
koloni dapat dilihat dengan jelas. Koloni C. albicans berwarna putih
kekuningan, menimbul di atas permukaan media, mempunyai permukaan
yang pada permulaan halus dan licin dan dapat agak keriput dengan bau

19
ragi yang khas. Pertumbuhan pada SDB baru dapat dilihat setelah 4-6
minggu, sebelum dilaporkan sebagai hasil negatif. Jamur dimurnikan
dengan mengambil koloni yang terpisah, kemudian ditanam seujung jarum
biakan pada media yang baru untuk selanjutnya dilakukan identifikasi
jamur. Pertumbuhan C. albicans dan jamur lain/C. dublinensis pada SDB
dapat dilihat pada Gambar 3 di berikut ini.
Sabouraud’s dextrose agar plate/SDA plate direkomendasikan
untuk sampel atau bahan klinis yang berasal dari kuku dan kulit. Media ini
selektif untuk fungi dan yeast melihat pertumbuhan dan identifikasi C.
albicans yang mempunyai pH asam/pH 5,6 (Yunihastuti, 2015).
Penambahan antibiotika membuat media ini lebih selektif yang bertujuan
untuk menekan bakteri yang tumbuh bersama jamur di dalam bahan klinis
(Biotec, 2006). Pertumbuhan pada SDA plate terlihat jamur yang
menunjukkan tipikal kumpulan mikroorganisma yang tampak seperti krim
putih dan licin disertai bau khas/yeastodour. Pertumbuhan SDA plate
dapat dilihat pada Gambar 3.

(1) (2)
Gambar 3. (1) Pertumbuhan C. albicans dan C. dublinensis pada SDB. (2)
Pertumbuhan C. albicans pada SDA berbentuk krim berwarna putih, licin
disertai bau yang khas (Murray, 2003)

20
Pemeriksaan Penunjang Periodontitis
Kelainan dapat terjadi pada jaringan keras dan jaringan lunak dalam
rongga mulut. Suatu kelainan yang terjadi baik pada jaringan keras maupun
jaringan lunak pada rongga mulut dapat diketahui melalui pemeriksaan
obyektif dan ditunjang oleh pemeriksaan radiografi. Dengan pemeriksaan
radiografi operator bisa melihat kondisi jaringan yang terletak dibawah
mukosa yang tidak dapat dilihat secara langsung. Sehingga dapat
memastikan kelainan yang terjadi di daerah tersebut. Salah satu kelainan
pada jaringan lunak gigi yang dapat dilihat pada pemeriksaan radiografi
adalah kelainan yang terjadi pada jaringan penyangga gigi, seperti
periodontitis. Dengan pemeriksaan radiografi dapat diketahui bagaimana
gambaran periodontitis dan bagaimana membedakannya dengan kelainan
yang lain.

Gambar 2.1. Periodontitis kronis secara Radiografi.

Tingkat kerusakan jaringan periodontal yang timbul akibat


periodontitis kronis secara umum disebabkan oleh waktu. Sejalan dengan
peningkatan usia, kehilangan attachment dan tulang semakin sering terjadi
dan semakin parah yang diakibatkan oleh rusaknya akumulasi. Dikatakan
periodontitis kronis general bila > 30% permukaan yang terlibat atau > 30%
sisi yang diukur dalam mulut menunjukkan kehilangan attachment dan
tulang. Adapun klasifikasi periodontitis kronis berdasarkan tingkat
keparahannya yaitu (Melnick, 2014):

1. Slight periodontitis, apabila kehilangan attachment klinis diantara 1-2


mm
2. Moderate periodontitis, apabila kehilangan attachment klinis diantara 3-
4 mm

21
3. Severe periodontitis, apabila kehilangan attachment klinis 5 mm atau
lebih

Figure of radiographic evaluation of diabetic patient (S.A) with imbalanced


metabolic control and generalized periodontal disease (case from personal
archive) (Valea, 2014)

4. Mahasiswa mampu mengkaji penegakan diagnosis beserta DD.

5. Mahasiswa mampu mengkaji prognosis.


a. Excellent prognosis
Tidak ada kehilangan tulang (bone loss), kondisi gingival yang
sangat baik, pasien sangat kooperatif, tidak ada faktor sistemik/ lingkungan.
b. Good prognosis
Satu atau lebih mengikuti hal-hal sebagai berikut: dukungan tulang
yang adequat, kemungkinan kontrol faktor etiologi dan pemeliharaan gigi
yang adequat, pasien kooperatif, tidak ada faktor sistemik/ lingkungan, (jika
ada) faktor sistemik tersebut terkontrol.
c. Fair prognosis
Satu atau lebih mengikuti hal-hal sebagai berikut: dukungan tulang
yang sedikit adequat, beberapa gigi goyang, furcation involvolment grade I,
kemungkinan pemeliharaan yang adequat, kerja sama pasien diterima,
terdapat faktor sistemik/ lingkungan yang terbatas.
d. Poor prognosis

22
Satu atau lebih mengikuti hal-hal sebagai berikut: kehilangan tulang
yang moderat-cepat, terdapat kegoyangan gigi, furcation involvolment
grade I dan II, kesulitan dalam pemeliharaan dan atau kerja sama pasien
yang ragu-ragu, terdapat faktor sistemik/ lingkungan.
e. Questionable prognosis
Satu atau lebih mengikuti hal-hal sebagai berikut: Kehilangan tulang
yang cepat, furcation involvolment grade II dan III, kegoyangan gigi,
daerahnya sulit dijangkau, terdapat faktor sistemik/ lingkungan.
f. Hopeless prognosis
Satu atau lebih mengikuti hal-hal sebagai berikut: kehilangan tulang
yang cepat, daerahnya tidak dapat dilaukan pemeliharaan, indikai
pencabutan, terdapat faktor sistemik/ lingkungan yang tidak terkontrol.
Pada skenario ditemukan pasien dengan keluhan :
1. Gingiva kemerahan, mengkilat
2. BOP (Bleeding on Probing) +
3. Oedem pada semua regio
4. Gigi 31, 32, 41, 42 Probing Depth 5 mm
5. Gigi goyang derajat 2
6. Pasien merasa lemas, susah tidur pada malam hari akibat sering buang
air kecil, sering lapar dan haus  suspect Diabetes Melitus
Dapat disimpulkan bahwa prognosis pada skenario adalah Fair Prognosis.
6. Mahasiswa mampu mengkaji rencana perawatan sesuai dengan
kegawatdaruratan
Hasil pemeriksaan subyektif dan obyektif dokter gigi kepada pasien
meliputi lidah terasa terbakar, plak putih intra oral yang luas pada dorsum
lidah, batas jelas, kemerahan dapat dikerok dan tidak sakit, pasien merasa
lemas, susah tidur pada malam hari karena sering buang air kecil serta sering
lapar dan haus. Hasil yang didapatkan dari anamnesa tersebut, diduga pasien
menderita diabetes mellitus yang bermanifestasi candidiasis pada mukosa
oral. Menurut penelitian Nur’aeny (2017), Hasil 14 sampel penderita
Diabetes Mellitus positif jamur Candida albicans, mengalami kondisi mulut

23
kering yang ditandai dengan keinginan untuk banyak minum, hasil
observasi kondisi rongga mulut dalam keadaan kering dan juga lembab serta
beberapa ditemukan adanya bercak keputihan disekitar rongga mulut.
Sekitar 57,1% persen penderita kandidiasis mengeluhkan rasa sakit,
terbakar atau perih dan sekitar 4,1% mengeluhkan rasa panas/ terbakar pada
saat melakukan aktivitas terutama saat makan dan minum. Kondisi tersebut
dapat disebabkan karena Candida sp yang melekat pada permukaan mukosa
rongga mulut atau lidah melalui hifa yang dimilikinya dapat terlepas dan
meninggalkan mukosa berwarna merah serta terkadang disertai perdarahan
ringan. Hal tersebut yang dapat menyebabkan munculnya rasa sakit dan
terbakar di rongga mulut sebagai bentuk tanda inflamasi.
Hasil pemeriksaan obyektif dokter gigi kepada pasien mengenai
keadaan periodontal pasien meliputi gingiva kemerahan mengkilat, BOP +,
oedem pada semua gigi, PD gigi 31, 32, 41,42 5mm dan gigi goyang derajat
2. Beberapa keadaan yang mendukung adanya dugaan terdapat kelainan
sistemik berupa diabetes mellitus dapat dijadikan salah satu faktor untuk
menegakkan suatu diagnosis. Menurut American Academy of
Periodontology (1999), kelainan sistemik yang sesuai dengan skenario
adalah periodontitis dari manifestasi penyakit sistemik.
Rencana perawatan yang dapat dilakukan yaitu :
1. Pasien datang ke dokter gigi dengan keluhan utama terdapat sensasi
terbakar pada rongga mulut, maka dokter gigi dapat menuliskan rencana
perawatan medikasi berupa obat kumur nystatin dengan
penatalaksanaan pasien diinstruksikan berkumur selama 2 menit dengan
dosis 2 – 4 ml, setelah itu pasien dilarang untuk makan dan minum
selama 20 menit. Terapi dapat diberikan selama 7 – 14 hari dan sebisa
mungkin menghilangkan faktor predisposisi penyebab kandidiasis oral
(Nur’aeny, 2017).
2. Lesi bercak putih dipastikan kembali dengan cara melakukan swab pada
bagian lesi kemudian dikonsulkan pada laboratorium mikrobiologi
(untuk pemilihan obat pada lesi tersebut). Apabila lesi tersebut karena

24
jamur, terapi antijamur dapat diberikan sampai keadaan patologis dan
klinis dari jamur hilang.
3. Jika terdapat kondisi sistemik, pemberian topikal kadang tidak begitu
berefek sehingga diperlukan pemberian secara sistemik. Fluconazole
dapat di berikan sebagai pilihan medikasi kandida secara sistemik
dengan dosis sehari sekali (Kadek dan Jirna, 2018).
4. Pasien diduga DM sehingga dirujuk pada dokter penyakit dalam untuk
dilakukan cek laboratorium dan perawatan sampai dengan keadaan gula
darah pasien menjadi normal
5. Apabila kondisi gula darah pasien menjadi normal, dokter gigi
melakukan evaluasi kembali apakah keadaan periodontal menjadi baik
atau tetap seperti pada saat kunjungan pertama
6. Apabila tetap seperti keadaan awal (poket) maka dapat dilakukan
perawatan periodontal fase 1 yaitu scalling root planning , kemudian di
evaluasi kembali apakah keadaan patologis jaringan periodontal sudah
mereda, apabila belum mereda dapat dilakukan perawatan periodontal
fase 2 berupa kuretase.
7. Mahasiswa mampu mengkaji manifestasi DM pada RM.
Penyakit DM dapat menimbulkan beberapa manifestasi didalam rongga
mulut. Diantaranya yakni:
1. Gingivitis dan Periodontitis
Pada penderita DM tidak terkontrol kadar glukosa didalam cairan
krevikular gingiva (GCF) lebih tinggi dibanding pada DM yang terkontrol.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aren dkk menunjukkan bahwa
selain GCF, kadar glukosa juga lebih tinggi kandungannya didalam saliva.
Peningkatan glukosa ini juga berakibat pada kandungan pada lapisan
biofilm dan plak pada permukaan gigi yang berfungsi sebagai tempat
perlekatan bakteri. Berbagai macam bakteri akan lebih banyak
berkembangbiak dengan baik karena asupan makanan yang cukup sehingga
menyebabkan terjadinya karies dan perkembangan penyakit periodontal.

25
Serta terdapat penurunan respon imun. Perubahan vaskuler juga
terjadi sehingga akan terjadi peningkatan aktivitas kolagen serta perubahan
respon dan kemotaksis dari PMN terhadap antigen plak, sehingga
menyebabkan fagositosis terhambat.

2. Xerostomia
Hiperglikemia mengakibatkan meningginya jumlah urin
sehingga cairan dalam tubuh berkurang dan sekresi saliva juga
berkurang. Dengan berkurangnya saliva, dapat mengakibatkan
terjadinya xerostomia.

3. Oral Candidiasis
Kandidiasis oral merupakan infeksi bakteri oportunistik yang
terjadi dalam keadaan hiperglikemia karena keadaan tersebut dapat

26
menyebabkan terjadinya disfungsi aliran saliva karena adanya
kehilangan cairan dari tubuh dalam jumlah yang banyak, sehingga aliran
saliva juga berkurang. Selain itu, juga menyebabkan komplikasi berupa
microangiopathy yang paling sering muncul pada penderita diabetes
mellitus terkontrol atau tidak terkontrol. Oleh itu, Kandidiasis dapat
ditemukan pada penderita diabetes mellitus bila didukung berbagai
faktor yang ada pada penderita diabetes mellitus, seperti terjadinya
defisiensi imun, berkurangnya aliran saliva, keadaan malnutrisi dan
pemakaian gigi tiruan dengan oral hygiene yang buruk.

4. Sindrom Mulut Terbakar


Sindroma mulut terbakar Pasien dengan sindroma mulut
terbakar biasanya muncul tanpa tanda-tanda klinis, walaupun rasa sakit
dan terbakar sangat kuat. Pada pasien dengan diabetes mellitus tidak
terkontrol, faktor yang menyebabkan terjadinya sindroma mulut
terbakar yaitu berupa disfungsi kelenjar saliva, kandidiasis dan kelainan
pada saraf.6,16 Adanya kelainan pada saraf akan mendukung terjadinya
gejala-gejala paraesthesias dan tingling, rasa sakit / terbakar yang
disebabkan adanya perubahan patologis pada saraf-saraf dalam rongga
mulut.
5. Dental Caries (Karies Gigi)
Diabetes Mellitus bisa merupakan faktor predisposisi bagi
kenaikan terjadinya dan jumlah dari karies. Keadaan tersebut

27
diperkirakan karena pada diabetes aliran cairan darah mengandung
banyak glukosa yang berperan sebagai substrat kariogenik. (2) Karies
gigi dapat terjadi karena interaksi dari 4 faktor yaitu gigi, substrat ,
kuman dan waktu.
Pada penderita Diabetes Melitus telah diketahui bahwa jumlah
air liur berkurang sehingga makanan melekat pada permukaan gigi, dan
bila yang melekat adalah makanan dari golongan karbohidrat
bercampur dengan kuman yang ada pada permukaan gigi dan tidak
langsung dibersihkan dapat mengakibatkan keasaman didalam mulut
menurun, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya lubang atau caries
gigi.
Bagaimana cara pencegahan dan peningkatkan kesehatan rongga
mulut pada penderita diabetes melitus?
Berikut hal-hal yang perlu dilakukan oleh penderita Diabetes
Mellitus agar dapat menjaga atau mengupayakan supaya kesehatan
rongga mulut tetap terjaga dengan baik :
o Pertama dan yang terpenting adalah mengontrol kadar gula darah.
Kemudian rawat gigi dan gusi, serta ke dokter gigi untuk
pemeriksaan rutin setiap enam bulan.
o Untuk mengontrol sariawan dan infeksi jamur, serta hindari
merokok.
o Kontrol gula darah yang baik juga dapat membantu mencegah atau
meringankan mulut kering yang disebabkan oleh diabetes.
o Menggunakan dental floss paling tidak sekali sehari untuk
mencegah plak muncul di gigi.
o Menggunakan pembersih mulut anti bakteri untuk mengurangi
jumlah bakteri penyebab sakit gigi pada mulut.
o Menggosok gigi, terutama setelah makan. Gunakan sikat gigi
dengan bulu yang lembut.
o Perbaiki pola hidup, jauhkan dari penyebab stres.
o Bila ada gigi yang tanggal harus segera ''diganti''.

28
o Jangan lupa informasikan mengenai kondisi diabetes bila
berkunjung ke dokter gigi, terutama bila hendak mencabut gigi.
o Kecuali sangat mendesak, sebaiknya hindari perawatan gigi bila
kadar gula darah sedang tinggi. Turunkan dahulu kadar gula darah,
baru kunjungi dokter gigi kembali.
o Pemakaian alat-alat seperti gigi tiruan atau kawat orthodontik perlu
mendapat perhatian khusus. Pemakai gigi tiruan harus melepas gigi
tiruan sebelum tidur dan dibersihkan dengan seksama agar
meminimalkan kemungkinan terjadinya infeksi jamur karena
kebersihan yang tidak terjaga.
PR
1. Kapan DM bermanifestasi pada RM?
Diabetes adalah penyakit sistemik yang termasuk kelompok
penyakit metabolik di mana ada kadar glukosa darah tinggi. Orang dengan
diabetes memiliki kecenderungan lebih tinggi secara signifikan untuk
mengembangkan penyakit mulut dibandingkan dengan orang sehat.
Perbedaan ini dalam prevalensi berasal dari, di antara faktor-faktor lain,
vaskular dan perubahan neuropatik yang datang dengan diabetes(Saini,
2010; Mealaey, 2003).
Selain itu, komplikasi oral dalam bentuk gingivitis, periodontitis,
multipel periodontal abses dan disfungsi kelenjar saliva yang memimpin ke
kualitatif dan kuantitatif (xerostomia) perubahan saliva, pada gilirannya
mempengaruhi oral rongga infeksi oportunistik seperti kandidiasis,
akumulasi plak yang lebih besar, luka yang tertunda penyembuhan,
parestesia oral dan perubahan rasa dll.
Selain komplikasi yang lebih umum yang timbul sebagai akibat dari
penyakit ini, pasien diabetes yang tidak mengontrol kadar glukosa darah
mereka dengan hati-hati akan beresiko tinggi terhadap sistemik dan
komplikasi oral (Arunkumar et al, 2015).
Di antara semua penyakit mulut, periodontitis (penghancuran
struktur pendukung gigi, ligamen periodontal dan alveolar tulang), adalah

29
masalah umum pada penderita diabetes dan merupakan penyebab utama
untuk kehilangan gigi secara dini, perubahan dalam fungsi fisiologis oral
tersebut sebagai pengunyahan dan mempengaruhi fungsi pencernaan
(Arunkumar et al, 2015).
Banyak penelitian membuktikan hubungan dua arah antara diabetes
dan periodontal penyakit; diabetes dapat memperberat periodontitis, dan
periodontitis dapat berdampak negatif terhadap kontrol diabetes. Ada
hubungan yang jelas antara tingkat hiperglikemia dan tingkat keparahan
periodontitis (Mirza, 2007; Lamster, 2008).

2. Apakah burning mouth syndrome merupakan gejala atau diagnosis?


A. Defenisi SMT

Sindrom Mulut Terbakar (SMT) didefinisikan sebagai nyeri sensasi


terbakar pada lidah atau mukosa oral tanpa adanya lesi pada rongga mulut.(anil
dkk,207) Sensasi terbakar dapat terjadi unilateral atau bilateral dan cenderung
berkurang saat makan atau minum.(vellapally S, 2016) International Association
for the Study of Pain menyatakan SMT sebagai kelainan khusus dengan
karakteristik rasa terbakar kronis di rongga mulut atau rasa nyeri tanpa adanya
perubahan mukosa.(scolly C, 2008) SMT disebut juga stomatopirosis (sensasi
mulut terbakar), glossopirosis (sensasi lidah terbakar), stomatodinia (nyeri pada
mulut), glossodinia (nyeri pada lidah), dan disestesia oral (gangguan sensasi)

B. Etiologi SMT

30
SMT merupakan kelainan pada rongga mulut yang kronis dan memiliki
gambaran klinis yang kompleks sehingga etiologinya dianggap multifaktorial.(anil
dkk,207) Etiologi SMT dapat dikelompokkan menjadi faktor lokal, sistemik, dan
psikogenik.(vellapally S, 2016)

1. Faktor lokal

a. Gigitiruan

Gigitiruan yang dihubungkan dengan SMT umumnya dipengaruhi oleh desain dan
bahan gigitiruan. Desain gigitiruan yang tidak tepat dapat menimbulkan sensasi
terbakar pada mulut karena peningkatan stres fungsional terhadap otot rongga
mulut.(vellapally S, 2016) Gejala mulut terbakar ditemukan pada 50% pasien
dengan desain gigitiruan yang salah.(tseikhin dkk, 2007) Bahan gigitiruan juga
dapat menyebabkan sensasi terbakar pada mukosa mulut.(vellapally S, 2016)
Monomer sisa pada bahan gigitiruan akrilik me.rupakan salah satu penyebab
terjadinya SMT.10 Monomer methyl-methacrylate yang digunakan dalam
pembuatan gigitiruan menunjukkan reaksi positif terhadap tes tempel (patch
test). (anil dkk,207) Penggantian gigitiruan pada pasien dapat menyembuhkan
gejala SMT sebanyak 25%.(tseikhin dkk, 2007) b. Infeksi Rongga Mulut Infeksi
rongga mulut yang disebabkan oleh berbagai mikroorganisme dikaitkan dengan
SMT, terutama Candida albicans.(coculescu Dkk, 2014) Candida dapat
menyebabkan SMT dengan invasi ke jaringan mukosa, menyebabkan
hipersensitivitas, atau dengan memproduksi toksin.(muzyka BC dkk, 1999)c.
Xerostomia

Prevalensi SMT dengan keluhan xerostomia sekitar 46%-67%.(scala dkk, 2003)


Xerostomia merupakan perasaan subjektif dimana mulut terasa kering.
Xerostomia adalah simtom yang sering dihubungkan dengan perubahan kualitas
dan kuantitas saliva akibat penyakit sistemik, pemakaian obat-obatan, dan

31
radioterapi. Pasien dengan xerostomia sering mengeluhkan bahwa mulutnya
terasa kering dan terbakar.(vellapally S, 2016)

d. Kebiasaan parafungsional Kebiasaan parafungsional seperti bruxism dan


menjulurkan lidah dapat menstimulasi terjadinya SMT.(tseikhin dkk, 2007)
Kebiasaan parafungsional memungkinkan terjadinya perubahan neuropatik yang
dapat menyebabkan gejala SMT. Aktivitas parafungsional dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti stres, karakteristik kepribadian, dan kejiwaan.(scala dkk,
2003)2. Faktor Sistemik a. Defisiensi vitamin dan mineralDefisiensi vitamin B1, B2,
B6, B12, zat besi, dan asam folat dapat dihubungkan dengan SMT. Pasien dengan
defisiensi nutrisi mengalami SMT sebanyak 2-33%.(tseikhin dkk, 2007) Defisiensi
asam folat yang dihubungkan dengan angular cheilitisdan glossodinia dapat
mengakibatkan terjadinya SMT. Lidah akan mengalami atrofi papila, hingga
permukaan lidah menjadi licin dan berkilat.(anil dkk,207) Defisiensi asam folat dan
vit B12 dapat menyebabkan kerusakan pada sel saraf sehingga menimbulkan rasa
sakit dan terbakar di rongga mulut.(krasteva dkk, 2013)

b. Diabetes melitus Hubungan antara SMT dengan diabetes melitus ditemukan


pada 2-10% pasien. (tseikhin dkk, 2007) SMT merupakan salah satu gejala dari
diabetes yang seringkali dihubungkan dengan xerostomia dan kandidiasis.(anil
dkk,207) Penderita diabetes lebih rentan mengalami infeksi kandida yang dapat
menimbulkan sensasi terbakar pada rongga mulut.25Diabetes yang terkontrol
dapat meningkatkan penyembuhan SMT. (tseikhin dkk, 2007)

c. Perubahan hormon Perubahan hormon dianggap sebagai faktor yang penting


dalam terjadinya SMT. Prevalensi perempuan perimenopause dan
postmenopause yang datang ke klinik kesehatan untuk gejala SMT sekitar 90% dan
diketahui bahwa rasa nyeri akan muncul dari 3 tahun sebelum, hingga 12 tahun
setelah menopause. (scala dkk, 2003) Gejala SMT merupakan akibat dari
penurunan hormon estrogen selama menopause. Produksi hormon estrogen yang

32
menurun dapat menyebabkan perubahan pada rongga mulut sehingga
menyebabkan gejala SMT. (tseikhin dkk, 2007)

d. Obat-obatan

Obat antihipertensi merupakan obat-obatan yang paling berperan


mengakibatkan SMT, khususnya angiotensin converting enzyme inhibitors – ACE
inhibitors (contohnya: captropil, enalapril, lisinopril), diuretik, dan obat beta
blockers. (tseikhin dkk, 2007) Pasien yang mengkonsumsi ACE inhibitors dapat
mengalami glossitis. Penggunaan obat dalam jangka waktu yang lama dapat
menyebabkan terjadinya xerostomia.(vellapally S, 2016) Obat-obatan memiliki
peran dalam mengurangi aliran saliva dengan mengubah keseimbangan cairan
dan elektrolit.(nasri dkk, 2007)

3. Faktor Psikogenik

Terdapat perdebatan mengenai kecemasan dan depresi sebagai penyebab atau


akibat terhadap nyeri dan sensasi terbakar di mulut. (scala dkk, 2003) Beberapa
gangguan psikologis atau kejiwaan berperan dalam terjadinya SMT yaitu takut
terhadap kanker, depresi, gangguan kepribadian, dan kecemasan kronis.(tseikhin
dkk, 2007) SMT dikatakan sebagai salah satu gejala kecemasan dan depresi yang
ditimbulkan oleh stres psikologis.(vellapally S, 2016) Pasien SMT berdasarkan
fungsi psikologisnya akan sulit untuk berkonsentrasi, mudah merasa pusing, dan
memiliki perasaan yang sedih.(tseikhin dkk, 2007)

C. Gambaran Klinis dan Klasifikasi SMTGejala utama SMT adalah timbulnya rasa
terbakar atau rasa nyeri pada mukosa oral, terjadi perubahan persepsi rasa atau
disgeusia, dan xerostomia.(coculescu dkk, 2014) Gejala lain dari SMT antara lain
timbulnya rasa haus, sakit kepala, serta nyeri pada sendi temporomandibular
(TMJ), leher, bahu, dan otot suprahioid.(coculescu dkk, 2014) Rasa terbakar
biasanya terjadi di 2/3 anterior lidah, diikuti oleh dorsum lidah, lateral lidah,
anterior palatum keras, dan mukosa labial. Rasa nyeri terjadi secara spontan tanpa

33
faktor penyebab yang dapat diidentifikasi. Rasa nyeri dapat berlanjut selama 4-6
bulan dengan intensitas keparahan yang bervariasi. Lebih dari 70% pasien SMT
mengalami perubahan persepsi rasa yang biasanya dapat berupa rasa pahit,
metalik, atau campuran.(aravindhan dkk,2014)

Sindrom mulut terbakar dibagi menjadi 3 tipe berdasarkan variasi dari gejalanya.
SMT tipe I memiliki gejala yang tidak muncul pada pagi hari yang akan meningkat
sepanjang hari dimana intensitas keparahan akan memuncak pada sore
hari.(tseikhin dkk, 2007) SMT tipe II ditandai dengan gejala konstan yang terjadi
disepanjang hari.(tseikhin dkk, 2007) SMT tipe III digambarkan dengan gejala yang
dapat muncul secara intermiten dan terjadi pada tempat yang tidak biasa seperti
pada mukosa bukal, dasar mulut, tenggorokan, dan leher.(tseikhin dkk, 2007) Tipe
I (35%) biasanya dihubungkan dengan penyakit sistemik seperti defisiensi nutrisi
dan diabetes melitus. Tipe II (55%) biasanya dihubungkan dengan gangguan
psikogenik sedangkan tipe III (10%) dihubungkan dengan reaksi alergi atau faktor
lokal.(coculescu dkk, 2014)

D. Diagnosis

Diagnosis SMT dapat dilakukan dengan anamnesis yaitu menanyakan riwayat


medis pasien. Informasi dari pasien yang dapat diperoleh yaitu mengenai onset
nyeri yang dirasakan secara tiba-tiba atau intermiten, perasaan nyeri yang
meningkat sepanjang hari, nyeri bilateral pada mulut, mulut terasa kering dan
terbakar, perubahan pengecapan, dan perasaan nyeri yang berkurang saat makan
atau tidur.(anil dkk,207) Selanjutnya, pemeriksaan klinis tidak menunjukkan
perubahan pada rongga mulut.(coculescu dkk, 2014) Pemeriksaan penunjang juga
dapat dilakukan seperti pemeriksaan darah, pengukuran sekresi saliva, swab
untuk kultur mikrobiologis, pemeriksaan faktor lokal seperti kesalahan pada
gigitiruan, dan pemeriksaan psikologis.(vellapally S, 2016)

E. Penatalaksanaan

34
Melakukan edukasi kepada pasien merupakan hal yang penting. Pasien dapat
diberi penjelasan mengenai kondisi yang diderita dan meyakinkan bahwa SMT
bukanlah suatu kelainan pada rongga mulut yang ganas. (blasberg
dkk,2008)Metode psikologis dapat berguna dalam mengatasi gejala SMT pada
pasien.(nakazone dkk, 2009) Pasien dengan gejala yang parah biasanya
membutuhkan terapi obat. Terapi obat yang dinyatakan sangat membantu adalah
tricyclic antidepressants (TCA) dosis rendah seperti amitriptilin, doxepin, atau
clonazepam. (blasberg dkk,2008) Penggunaan obat antidepresan efektif untuk
pasien dengan atau tanpa depresi. Obat lain yang dapat digunakan adalah
dosulepin, fluoxetine, gabapentin, nortriptilin, dan trazodone. (scolly C, 2008)

Kasus dalam skenario bukan merupakan diagnosis dikarenakan dalam skenario yg


membuat sebsasi terbakar pada mulut adalah kemungkinan kandidiasis. Dan
karena dalam SMT tidak ada faktor yg pasti terhadap sindrom ini dan tidak ada
lesi. Namun dalam skenario, terdapat lesi yg kasusnya terdapat kandidiasis oral.
Sehingga tidak dapat di diagnosa sebagai sindroma mulut terbakar.

Daftar Pustaka

Anil S, Alsqah MN, Rajendran R. Burning mouth syndrome: diagnostic appraisal


and management strategies. Saudi Dent J 2007; 19(3): 128-38. (anil
dkk,207)
Arunkumar, Shantala, Shyam Amur, Uday Sambrani, and Krishna M. Burde.
Survey on Awareness and knowledge about th eEffect of Diabetes Melllitus
on Systemic and Oral Health in Patients Visiting General Medicine
Outpatient Department in Dental Hospital. SDM College of Dental Sciences
and Hospital. 2015; 4(2):100-106.
Aravindhan R, Vidyalakshmi S, Kumar MS, Satheesh C, Balasubramanium AM,
Prasad VS. Burning mouth syndrome: a review on its diagnostic and
therapeutic approach. J Pharm Bioall Sci 2014; 6: 521-5.
Babic M, Hukic M. Candida albicans and Non-albicans Species as Etiological
Agent of Vaginitis in Pregnant and Non-Pregnant Women. Institute for

35
Clinical Microbiology. Bosnian Journal of Basic Medical Sciences.
Sarajevo. 2010;10 (1): 92-7
Bhavan PS, Rajkumar R, Radhakrishnan S. Culture and Identification of Candida
albicans from Vaginal Ulcer and Separatian of Enolase on SDS-PAGE.
International Journal of Microbiology. CCSE. Coimbatore. 2010:84-93
Burkhart, N.W. dan DeLong, L., 2012, The Intraoral and Extraoral Exam, ADA
CERP, 1-33.
Blasberg B, Eliav E, Greenberg MS. Orofacial pain. In: Greenberg M, Glick M, Ship
JA. eds. Oral Medicine, 11th ed. India: BC Decker Inc, 2008: 284-5.
CARRANZA Chapter 33 (475-483), “Determination of Prognosis”, Stephen F.
Goodman and Karen F. Novak
Coculescu EC, Tovaru S, Coculescu BI. Epidemiological and etiological aspects of
burning mouth syndrome. Journal of medicine and life 2014; 7(3): 305-9.
Coculescu EC, Radu A, Coculescu BI. Burning mouth syndrome: a review on
diagnosis and treatment. J of Med and Life 2014; 7(4): 512-5.
Depkes (2008). Metode Pencegahan dan Penanggulangan Faktor Risiko Diabetes
Melitus. Jakarta : Depkes RI.
Ernawati, Tantin. Periodontitis dan Diabetes Mellitus. Bagian Periodonsia,
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember.
Gibson, J., 2002, Fisiologi dan Anatomi Modern untuk Perawat, ed.2, EGC,
Jakarta
Greenwood D, Slack R, Peutherer J, et al. Medical Microbiologi A Guide to
Microbial Infection: Pathonesis, Immunity, Laboratory Diagnosis and
Control. Churchill Livingstone Elsevier. Edinburgh. 2007:60, 596, 602-
4,614-16.
Krasteva A, Kisselova A, Dineva V, Ivanova A, Krastev Z. Folic acid and vitamin B12
levels in bulgarian patients with burning mouth syndrome. J of IMAB 2013;
19(4): 422-5.
Lamster IB, Lalla E, Borgnakke WS, Taylor GW. The relationship between oral
health and diabetes mellitus. J Am Dent Assoc 2008; 139:19–24.
Liod M Nyhus, MDS, Robert J Baker, MD, 2013, Anatomy of the Tongue and
Lip, Mastery of surgery, volume I, Little, Brown and Company, Boston,
Toronto, 109-110.
Mealey B. Diabetes mellitus. In Burket’s Oral Medicine Diagnosis & Treatment.
10th ed. Glick M, Greenberg M, Eds. Hamilton, BC Decker, 2003: 563–
577.
Melnick, Philip R, Takei HH. 2014. Treatment of periodontal abscess. Carranza’s
clinical periodontology. 12th ed. Philadelphia: W.B. Saunders Co.
Mirza KM, Khan A, Ali MM, Chaudhry S. Oral health knowledge, attitude, and
practices and sources of information for diabetic patients in Lahore,
Pakistan. Diabetes Care 2007; 30:3046-3047.

36
Murray PR, Baron EJ, Jorgensen Jh, Pfaller MA, Yolken RH. Manual of Clinical
Microbiology, 8th ed. ASM Press. Washington DC. 2003:1696-9
Muzyka BC, de Rossi SS. A review of burning mouth syndrome. Journal CME 1999;
64: 29-35.
Nakazone PA, Nogueira AVB, de Alencar FGP, Massucato EMS. Burning mouth
syndrome: a discussion about possible etiological factors and treatment
modalities. Braz J Oral Sci 2009; 8(2): 62-6.
Nasri C, Teixeira MJ, Okada M, Formigoni G, Heir G, de Siqueira JTT. Burning
mouth complaints: clinical characteristics of a brazilian sample. Clinics
2007; 62(5): 561-6.
Respati, Titi Nindya.Iwanda.Hubungan diabetes mellitus dengan karies gigi
.Semarang; UNDIP,2006.
Saini R, Al-Maweri SA, Saini D, Ismail NM, Ismail AR. Oral mucosal lesions in
non oral habit diabetic patients and association of diabetes mellitus with oral
precancerous lesions. Diabetes Res Clin Pract 2010; 89: 320–326.
Sakinah dan S Yudha P. Kondisi Pada Pasien Anak Penderita Diabetes Mellitus.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UGM. Maj. Ked. Gi
2006; 13(2):187-190.
Scully C. Oral and maxillofacial medicine. 2nd ed. Toronto: Elsevier, 2008: 171.
Scala A, Checchi L, Montevecchi M, Marini I. Update on burning mouth
syndrome: overview and patient management. Crit Rev Oral Biol Med
2003; 14(4): 275-91.
Tseikhin AM, Moricca P, Niv D. Burning mouth syndrome: will better
understanding yield better management. Pain practice 2007; 7(2): 151-62.
Vandepitte J, Verhaegen J, Engbaek K, et al. 2nd ed. World Health Organization.
Geneva. 2003:61, 76, 144-150
Ventakaraman BK. Diagnostic oral medicine. 1st ed. India: Wolters Kluwer
Health, 2013: 476-7.
Vellappally S. Burning mouth syndrome: a review of the etiopathologic factors
and management. The J of Cont Dent Pract 2016; 17(2): 171-6.
Velea. (2014). Microbiological Aspects In Periodontal Disease And Diabetes
Mellitus. Romanian Journal of Diabetes Nutrition and Metabolic Diseases.
21. 10.2478/rjdnmd-2014-0020.
Walton, R.E. dan Torabinejad, M., 2003, Prinsip dan Praktik Ilmu Endodonsia,
edisi 3, alih bahasa: Dr. Narlan Surnawinata, drg., Sp. KG (K), Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Wijaya I.2003.Asuhan Keperawatan Gigi dan Mulut.Jurusan Kesehatan Gigi
Poltekes Bandung
Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z. Infeksi Oportusnistik pada AIDS. Pokdisus
AIDS-PDPAI. Balai Penerbit FUKUI. Jakarta. 2005:16-20

37

Anda mungkin juga menyukai