Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

ARSITEKTUR NUSANTARA DAN


ACEH
“GEDUNG DPRD JAWA BARAT (1977)”

DISUSUN OLEH :

CICI ANJANI PITALOKA (170160018)


KELAS : IIIC

TEKNIK ARSITEKTUR
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
2018/2019
GEDUNG DPRD JAWA BARAT (1977)
Sejarah DPRD Provinsi Jawa Barat Pada Masa Kolonial

Sejarah berdirinya Gedung Sate di Bandung terjadi sebelum 27 Juli 1920, dimana gedung
yang dulu memiliki nama Gouvernemens Bedrijven (GB) ini selesai dirancang cetak birunya
oleh sebuah tim yang beranggotakan Ir. J. Gerber, Ir. G. Hendriks, dan Ir. Eh. De Roo.
Rancangan cetak biru gedung GB ini juga melibatkan Gementee (wali kota) Bandung yang
pada masa itu dengan Kol.Pur. VL. Slors sebagai ketua mereka. Untuk membangun gedung
GB ini dibutuhkan 2.000 orang pekerja, di mana 150 di antaranya merupakan orang
Tiongkok dan bertugas sebagai pengukir kayu atau pemahat batu.
Dari sisa 1.850 pekerja, hampir seluruhnya pernah memiliki pengalaman membangun gedung
penting karena mereka pernah bekerja dalam pembangunan Gedong Sirap (ITB) dan Gedong
Papak.
Dari Zaman Belanda

Sejarah berdirinya Gedung Sate di Bandung mulai tercatat ketika batu pertama diletakkan
pada tanggal 27 Juli 1920. Peletakkan batu pertama ini dilakukan oleh Johanna Catherina
Coops, putri sulung dari Walikota Bandung saat itu, B. Coops, bersama dengan Petronella
Roelefsen yang menjadi wakil Gubernur Jendral J.P Graaf Van Limburg Stirum.
Pembangunan gedung yang bertujuan untuk dijadikan pusat pemerintahan Belanda ini
memilih kota Bandung sebagai ibu kota karena menurut mereka, iklim kota Bandung pada
masa itu mirip dengan iklim yang ada di Perancis Selatan kala musim panas tiba.
4 tahun adalah waktu yang dibutuhkan oleh tim beranggotakan 2.000 orang itu untuk
menyelesaikan GB, tepatnya pada bulan September 1942. Ketika selesai, bagian gedung yang
termasuk di dalamnya adalah bangunan utama GB itu sendiri yang di dalamnya terdapat
kantor pusat pos, Perpustakaan (PTT), serta telepon dan telegraf.
Ternyata, kemegahan dan keunikan yang disajikan oleh Gedung Sate ini tidak dikerjakan
oleh Ir. J. Gerber sendirian, karena ia mendapatkan banyak masukan dari maestro Belanda
dalam bidang seni arsitektur, yaitu Dr. Hendrik Petrus Berlage. Berlage menyarankan Gerber
bahwa ia harus memasukkan sedikit nuansa tradisional Indonesia dalam gedung yang akan ia
buat di daerah Indonesia tersebut.
Selama proses pembuatan dan penyelesaiannya, Gedung Sate di Bandung menuai banyak
pujian dari banyak kalangan. Rata-rata pujiannya berisi tentang betapa mempesonanya
gedung yang memiliki gaya arsitektur lain dari yang lain ini, hingga menyebut gaya tersebut
sebagai Indo Europeeschen architectuur stijl (gaya arsitektur Indo-Eropa).
D. Ruhl juga menuliskan bahwa menurutnya Gedung Sate adalah gedung dengan gaya
arsitektur yang paling indah di Indonesia. Tulisannya ini bisa ditemui pada buku dengan judul
Bandoeng en haar Hoogvlakte yang diterbitkan pada tahun 1952. Pendapat lain muncul dari
dua arsitek terkenal Belanda yaitu Cor Pashier dan Jam Wittenberg, dimana menurut mereka
Gedung Sate adalah hasil eksperimen penggabungan dua gaya arsitektur yaitu Indonesia dan
Eropa.
Dalam rancangan cetak biru GB, Gerber menyatukan beberapa gaya arsitektur, seperti
misalnya pada jendela, tema yang digunakan adalah Moor Spanyol. Gaya yang berbeda
digunakan untuk bangunan secara keseluruhan yang bergaya Rennaisance Italia. Untuk
menaranya sendiri, Gerber memilih gaya Asia, terutama gaya atap pura yang ada di Bali dan
pagoda yang ada di Thailand.
Dilihat pada atap GB, puncaknya dihiasi dengan “tusuk sate” yang memiliki 6 buah benda
bulat. Terjadi perdebatan tentang benda ini, dimana ada versi yang mengatakan bahwa benda
tersebut adalah sate, jambu air, atau bahkan melati yang berjumlah 6 buah. Jumlah benda
tersebut adalah representasi dari biaya pembangunan gedung megah itu, yaitu 6 juta gulden.
Awal sejarah berdirinya Gedung Sate di Bandung dibangun agar bisa menjadi pusat
pemerintahan Hindia Belanda, tepat setelah Batavia dinilai tidak lagi pantas menjadi ibu kota
karena perkembangannya. Pengguna awal gedung ini ditargetkan adalah Departemen Lalu
Lintas dan Pekerjaan Umum.
Namun dialih fungsikan sehingga hanya Jawatan Pekerjaan Umum yang menggunakan
gedung ini. Pada tanggal 3 Desember 1945, terjadi peristiwa berdarah dimana peristiwa
tersebut merenggut nyawa 7 orang pemuda yang mempertaruhkan nyawa mereka untuk
mempertahankan gedung yang indah tersebut dari pasukan-pasukan Gurkha yang berusaha
menyerang.
Demi mengenang ke-7 orang pemuda yang dengan gagah berani menggadaikan nyawa,
dibuatlah sebuah tugu peringatan dengan batu sebagai bahannya dan diletakkan di bagian
belakang halaman Gedung Sate. Tugu ini kemudian dipindahkan pada 3 Desember 1970 atas
perintah dari Menteri Pekerjaan Umum.
Pada tahun 1980, GB kemudian lebih dikenal dengan nama Kantor Gubernur. Hal ini masuk
akal karena gedung ini kemudian menjadi pusat aktivitas dari pemerintahan yang ada di
Provinsi Jawa Barat. Sebelumnya, pusat pemerintahan di Jawa Barat terletak di Gedung Kerta
Mukti yang ada di Jalan Braga, Bandung.
Ruang kerja bagi Gubernur terpilih terdapat di lantai 2. Di lantai tersebut, juga terdapat
ruangan bagi para Wakil Gubernur, Asisten Biro, dan Sekretaris Daerah.
Kesempurnaan GB sendiri semakin memesona ketika gedung baru yang “menyontek” gaya
arsitektur Gedung Sate dengan sedikit sentuhan asli buah karya Ir. Sudibyo dibangun pada
tahun 1977. Gedung baru yang menambahkan daftar cerita dalam sejarah berdirinya Gedung
Sate di Bandung ini diperuntukkan khusus bagi para Anggota DPRD provinsi Jawa Barat
ketika mereka harus melaksanakan tugas mereka sebagai penyampai aspirasi masyarakat
daerah yang mereka ayomi.
Gedung ini juga kini menjadi objek wisata kota karena beberapa dari mereka mengaku
memiliki ikatan emosi maupun sejarah dengan gedung yang dibuat pada masa kolonial
Belanda tersebut.
Sejarah DPRD Provinsi Jawa Barat Setelah Kemerdekaan

Dalam tahun awal berdirinya Republik Indonesia, istilah DPRD Provinsi Jawa Barat belum
digunakan. Meski demikian, hal ini tidak berarti bahwa tidak terdapat lembaga legislatif
semacam DPRD. Pada tahun awal kemerdekaan lembaga semacam DPRD ini sesungguhnya
telah juga hadir dengan nama Badan Perwakilan Rakyat Daerah (BPRD) Jawa Barat. Karena
itu asal-usul dari kehadiran DPRD Provinsi Jawa Barat tidak dapat dipisahkan dari kehadiran
BPRD Jawa Barat tersebut. Pada masa itu, BPRD dipimpin oleh R. Otto Iskandardinata
dengan wakilnya Dr. Soeratman Erwin dan Mr. Samsudin.

Selanjutnya, pada masa transisi setelah kembalinya status Republik Indonesia Serikat ke
dalam NKRI, di Jawa Barat dibentuk DPRD Sementara yang terdiri dari 60 orang anggota
yang berasal dari 22 Parpol dan dipimpin oleh Djaja Rahmat (1950-1955).
Istilah DPRD Provinsi Jawa Barat baru dikenal pada tahun 1955 yaitu setelah Pemilihan
Umum Pertama yang dilakukan pada 29 September 1955. Sebagai tindaklanjut dari upaya
untuk mewujudkan DPRD atas dasar pemilihan itu, pemerintah mengeluarkan UU No.
19/1956 yang merupakan ketentuan hukum pemilihan daerah. Setahun kemudian, untuk
pertama kali dalam sejarah perkembangannya, diadakan pemilihan terhadap anggota DPRD
Jawa Barat. Pada kurun waktu 1957-1960 jumlah anggota DPRD Jawa Barat sebanyak 75
orang yang berasal dari 14 Parpol dan diketuai oleh Oja Somantri.

Pada masa yang dikenal dengan Orde Lama sampai dengan 1974, Undang-undang yang
menjadi landasan bagi kehadiran DPRD Jawa Barat adalah UU No. 18/1965, dan salah satu
pasalnya memasung eksistensi DPRD yakni DPRD dalam menjalankan tugasnya
bertanggungjawab kepada Kepala Daerah. Selain itu, dalam UU ini juga disebutkan, bahwa
keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh DPRD harus mendapatkan tandatangan dari
Kepala Daerah. Ini berarti kedudukan DPRD di bawah Kepala Daerah. Ketentuan hukum
yang terdapat dalam UU No. 18/1965 mengakibatkan kekuasaan DPRD terhadap Kepala
Daerah terasa sangat lemah yang pada gilirannya mempengaruhi pelaksanaan fungsi dan
peran legislatifnya. Pada periode 1960-1967 , DPRD Jawa Barat dikomandoi oleh Letjen.
TNI.H. Mashudi dan selanjutnya pada periode 1967-1971 DPRD Jawa Barat diketuai oleh
Rachmat Sulaeman dengan jumlah anggota DPRD 70 orang yang berasal dari 8 Parpol.

Seiring dengan dikeluarkannya UU No. 5/1974, terjadi juga perubahan dalam kedudukan
DPRD. Ketentuan hukum yang terdapat dalam UU ini menyatakan, bahwa Pemerintah
Daerah adalah Kepala Daerah dan DPRD. Penafsiran terhadap statement ini adalah DPRD
dan Kepala Daerah dalam kedudukan yang sama tinggi. Yang membedakannya adalah
bahwa Kepala Daerah merupakan pelaksana dari peraturan perundangan di daerah sedangkan
DPRD melaksanakan tugas di bidang legislatif. Periode 1971-1977 DPRD Tingkat I Provinsi
Jawa Barat , kembali dipimpin oleh Rahmat Sulaeman dengan anggota berjumlah 74 orang
dari 4 Fraksi.

Selanjutnya, berturut-turut dalam era kepemimpinan Presiden Soeharto, pada tahun 1977-
1982 DPRD Jawa Barat diketuai oleh Brigjen TNI (Purn) H. Adjat Sudradjat, Mayjen TNI
(Purn) Suratman (1982-1992), Brigjen TNI (Purn) H. Agus Muhyidin (1992-1997). Pada
masa ini seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk Jawa Barat, maka jumlah anggota
legislative pun mengalami peningkatan menjadi 100 orang anggota.
Pada tahun 1997 terjadi gerakan reformasi yang pada akhirnya meruntuhkan kepemimpinan
Orde Baru. Hal ini berpengaruh terhadap masa kerja DPRD provinsi Jawa Barat yang hanya
berlangsung selama tiga tahun, karena pada tahun 1998 sebagaimana tuntutan reformasi
dilaksanakan Pemilu, dipimpin oleh Mayjen TNI (Purn) H. Abdul Nurhaman, S.Ip, S.Sos.

Lahirnya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 sebagai reaksi dari gerakan reformasi,
merangkum dua pikiran utama yakni penyerahan sebanyak mungkin kewenangan
pemerintahan dalam hubungan dosmetik kepada daerah (kecuali keuangan dan moneter,
politik luar negeri, peradilan dan keagamaan) serta penguatan peran DPRD dalam pemilihan
dan penetapan Kepala Daerah. Pemberdayaan fungsi-fungsi DPRD dalam bidang legislasi,
representasi, dan penyalur aspirasi masyarakat harus dilakukan. Kebijakan desentralisasi
merupakan bagian dari kebijakan demokratisasi pemerintahan. Karena itu penguatan peran
DPRD baik dalam proses legislasi maupun pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah
perlu dilakukan. Dalam UU 22/1999 ditentukan posisi DPRD sejajar dengan pemerintah
daerah, bukan sebagai bagian dari pemerintah daerah.

Pada periode 1999-2004 , DPRD Provinsi Jawa Barat sesuai kewenangannya memlih Kepala
Daerah, memilih anggota MPR dari utusan daerah, mengusulkan pengangkatan dan
pemberhentian Kepala daerah dan hak DPRD meminta pertanggungjawaban Kepala daerah.
Kepemimpinan DPRD pada periode ini dipimpin oleh Ir. H. Idin Rafiudin (dalam perjalanan
kepemimpinannya beliau wafat) yang selanjunya digantikan oleh Drs.H. Eka Santosa.

Sejalan dengan perkembangan demokrasi, dan perbaikan kehidupan ketatanegaraan,


Pemerintah mengeluarkan UU No. 32 tahun 2004. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
didefinisikan sebagai lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selanjutnya, dalam hubungannya dengan eksekutif,
pasal 3 menyebutkan bahwa pemerintah daerah terdiri atas pemerintah dan DPRD. Hal itu
berarti DPRD berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari pemerintah daerah.

Seiring dengan perubahan dan perkembangan sosial dan politik yang terjadi di masyarakat,
maka pada lima tahun terakhir juga terjadi perubahan perundang-undangan, yaitu dengan
terbitnya UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD ( UU MD3) serta
UU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah.

Anda mungkin juga menyukai