Anda di halaman 1dari 77

GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN PEDAGANG BAKSO

TENTANG BORAKS DAN ANALISIS KANDUNGAN BORAKS PADA


BAKSO DI PONTIANAK TIMUR

KARYA TULIS ILMIAH

Oleh:
AULIYA MARDHIAH PRAMAISYANI
NIM 20142120623

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PONTIANAK


JURUSAN GIZI PRODI D III GIZI
TAHUN 2017

i
HALAMAN PERSETUJUAN

Karya Tulis Ilmiah ini telah diperiksa, disetujui dan akan diujikan

dihadapan Tim Penguji Karya Tulis Ilmiah Jurusan Gizi Politeknik

Kesehatan Pontianak

Pontianak, Juni 2017

Pembimbing Utama

Ir. Jonni Syah R Purba, M.Kes


NIP.196208061986031006

Pembimbing Pendamping

Suaebah, S.Gz, M.Kes


NIP. 197709182000122001

ii
BIODATA PENULIS

Nama : Auliya Mardhiah Pramaisyani

Tempat, tanggal lahir : Sui. Kakap, 10 mei 1996

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jln. Djohansyah Bakri, Antibar

Nama Orang Tua : Ayah : Raimin

Ibu : Syf. Nurfadillah

Alamat : Jln. Djohansyah Bakri , Antibar

JENJANG PENDIDIKAN

1. SD : SDN 02 MEMPAWAH TIMUR

2. SMP : SMPN 01 MEMPAWAH HILIR

3. SLTA : SMAN 01 MEMPAWAH HILIR

iii
GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN PEDAGANG BAKSO
TENTANG BORAKS DAN ANALISIS KANDUNGAN BORAKS PADA
BAKSO DI PONTIANAK TIMUR

Pramaisyani1), Purba2), Suaebah3),

Xi + 62 halaman + 8 tabel + 2 gambar + 5 lampiran

ABSTRAK

Pemerintah telah memperbolehkan penggunaan boraks sebagai


bahan makanan tetapi dibatasi oleh Undang-Undang Kesehatan dan
Keselamatan Nasional batasnya hanya 1 gram per 1 kilogram pangan.
Tujuan dalam penelitian ini untuk melakukan analisa kualitatif dan
kuantitatif kandungan boraks pada bakso ,ciri fisik bakso berboraks dan
gambaran pengetahuan pedagang bakso tentang boraks didaerah
Pontianak Timur. Jenis penelitian ini adalah observasional berbasis
laboratorium dengan pemeriksaan kadar boraks yang dilakukan secara
kuantitatif pada sampel dan dengan pendekatan cross sectional dimana
sampel diambil bersamaan dengan pengumpulan data pengetahuan
pedagang.
Berdasarkan hasil penelitian secara kualitatif tidak terdeteksi adanya
boraks pada 17 sampel bakso didaerah Pontianak Timur, pengujian
secara kuantitatif pada bakso yang terdeteksi mengandung boraks
diperoleh kadar boraks adalah 0,0031 dan 0,0036 ppm, bakso yang
mengandung boraks dalam penelitian ini memiliki tekstur yang lebih
kenyal dan tahan selama 3 hari. Kemudian tingkat pengetahuan pedagang
bakso yang menjadi responden berjualan di daerah Pontianak Timur
adalah sebesar 23,5 % kurang dan 76,5 % tergolong baik. Perlunya
dilakukan penyuluhan dan sosialisasi mengenai bahan tambahan pangan
baik melalui media cetak dan media elektronik oleh dinas terkait dan
Puskesmas setempat. Perlu adanya pengawasan oleh dinas terkait
terhadap produk makanan jajanan dan perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut mengenai uji kualitatif dan uji kuantitatif boraks.

Daftar Bacaan : 30 (2000-2016)


Kata Kunci : Boraks, Pedagang Bakso
Keterangan :1) Peneliti utama,2) pembimbing utama,3) pembimbing
pendamping

iv
Description of Knowledge Level of Meatball Traders About
Borax and Analysis of Borax Content in Meatballs in East
Pontianak.

Pramaisyani1), Purba2), Suaebah3),

Xi + 62 pages + 8 tables + 2 pictures + 5 attachments

ABSTRACT

The government has allowed the use of borax as a foodstuff but is


limited by the National Health and Safety Act limits only 1 gram per 1
kilogram of food. The purpose of this research is to conduct qualitative and
quantitative analysis of borax content in meatballs, physical characteristics
of breaming meatballs and knowledge of meatball traders about borax in
East Pontianak. The type of this research is laboratory-based
observasional with examination of borax level which is done quantitatively
in the sample and with cross sectional approach where the sample is
taken together with the collecting of knowledge data of the trader.
Based on the results of qualitative research is not detected the
existence of borax on 17 samples of meatballs in East Pontianak, the
quantitative test on the meatballs that are detected containing borax
obtained borax content is 0.0031 and 0.0036 ppm, the boron-containing
meatballs in this study have more texture Supple and resistant for 3 days.
Then the level of knowledge of meatball traders who became the
respondents selling in East Pontianak area amounted to 23.5% less and
76.5% quite good. The need for counseling and dissemination of food
additives through the printed and electronic media by the relevant
agencies and local health centers. It is necessary to supervise by related
departments on food products of snack and further research on qualitative
and quantitative tests of borax.

Reading list : 30 ( 2000-2016)


Key words : borax, meatballs traders
Information : The researcher, main supervasior, second supervasior

v
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat

dan rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan tugas akhir Karya Tulis Ilmiah

ini. Penulisan Karya Tulis Ilmiah ini dilakukan dalam rangka memenuhi

salah satu syarat untuk mencapai gelar Ahli Madya Gizi di Politeknik

Kesehatan Kemenkes Pontianak. Saya menyadari sangatlah sulit bagi

saya untuk menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini tanpa bantuan dan

bimbingan dari berbagai pihak sejak penyusunan proposal sampai dengan

terselesaikannya laporan hasil Karya Tulis Ilmiah ini. Bersama ini saya

menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya serta penghargaan

yang setinggi-tingginya kepada :

1. Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes Pontianak Bapak Khayan

SKM, M.Kes yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk

menimba ilmu.

2. Kepala Jurusan Politeknik Kesehatan Kemenkes Pontianak Bapak

Edy Waliyo S.Gz, M.Gz yang telah memberikan sarana dan

prasarana kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas

ini dengan baik dan lancar.

3. Bapak Ir. Jonni Syah R Purba, M.Kes selaku dosen pembimbing

utama yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk

membimbing saya dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.

vi
4. Ibu Suaebah, S.Gz, M.Kes selaku dosen pembimbing kedua yang

dengan sabar membantu dan membimbing saya sehingga saya

dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini.

5. Pembimbing Akademik pak Agus Hermansyah SKM, MPH yang

telah membimbing saya sejak awal semester hingga semester akhir

ini.

6. Orang tua, adik-adiku yang tercinta serta sahabat-sahabat yang

tak dapat disebutkan satu persatu.

Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas

segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga

Karya Tulis Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Pontianak, Januari 2017

Penulis

vii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................... ii


ABSTRAK .......................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .......................................................................... vi
DAFTAR ISI ..................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ................................................................................ x
DAFTAR GAMBAR............................................................................ xi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................ xii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................. 12
A. Latar Belakang ...................................................................... 12
B. Masalah Penelitian................................................................ 16
C. Tujuan Penelitian .................................................................. 16
D. Manfaat Penelitian ................................................................ 17
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................ 18
A. Keamanan Pangan ............................................................... 18
B. Bahan Tambahan Pangan .................................................... 19
C. Boraks ................................................................................... 23
D. Analisa Kandungan Boraks pada Makanan .......................... 28
E. Bakso .................................................................................... 31
F. Pengetahuan......................................................................... 32
BAB III KERANGKA PENELITIAN, PERTANYAAN PENELITIAN,
DEFINISI OPERASIONAL .............................................................. 36
A. Kerangka Penelitian .............................................................. 36
B. Pertanyaan Penelitian ........................................................... 36
C. Definisi Operasional .............................................................. 36
BAB IV METODE PENELITIAN ...................................................... 38
A. Jenis Penelitian ..................................................................... 38
B. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................... 38
C. Populasi dan Sampel ............................................................ 38
D. Alat dan Bahan ..................................................................... 39
E. Prosedur Kerja Penelitian ..................................................... 40
F. Jenis Data ............................................................................. 42

viii
G. Teknik Pengumpulan Data .................................................... 42
H. Instrumen Penelitian ............................................................. 43
I. Pengolahan Data .................................................................. 43
J. Analisis Data ......................................................................... 44
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................. 45
A. Hasil ...................................................................................... 45
B. Pembahasan ......................................................................... 50
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ............................................. 62
A. Kesimpulan ........................................................................... 62
B. Saran .................................................................................... 62
DAFTAR PUSTAKA

ix
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Distribusi Usia Pedagang Bakso yang menjadi Responden di


Daerah Pontianak Timur Tahun 2017………………….…...……...45
Table 2 Distribusi Jenis Kelamin Pedagang Bakso yang menjadi
Responden diDaerah Pontianak Timur Pada Tahun 2017….......46
Tabel 3 Distribusi Pendidikan Pedagang Bakso yang menjadi Responden
pada Tahun 2017………………………………...………………..…46
Tabel 4 Distribusi Pendapatan Pedagang Bakso yang menjadi Responden
di Daerah Pontianak Timur Tahun 2017………………..…..……..47
Tabel 5 Distribusi Tingkat Pengetahuan Pedagang Bakso yang menjadi

Responden di Daerah Pontianak Timur Tahun 2017………….…47

Tabel 6 Hasil Uji Pemeriksaan Boraks pada Bakso dengan Kertas

Turmerik di Daerah Pontianak Timur Tahun 2017………………..48

Tabel 7 Hasil Uji Kuantitatif Boraks pada Sampel di Wilayah Pontianak

Timur Tahun 2017……………………………………………………49

Table 8 Gambaran Tingkat Pengetahuan Pedagang Bakso dengan

Analisis Kandungan Bakso secara Kualitatif di Daerah Pontianak

Timur Tahun 2017……………………………………………………50

x
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Struktur Kimia Boraks…….….………………….….24


Gambar 2 Kerangka Penelitian ………..….…..………….…...36

xi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuesioner Penelitian

Lampiran 2. Inform Consent

Lampiran 3. Surat Peminjaman Laboratorium

Lampiran 4. Dokumentasi

Lampiran 5. Hasil Pengolahan Data

xii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Makanan merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi kehidupan

manusia. Ada empat fungsi pokok makanan bagi kehidupan manusia

salah satunya adalah berperan didalam mekanisme pertahanan tubuh

terhadap berbagai penyakit. Namun agar makanan tersebut dapat bekerja

sebagaimana mestinya kualitas makanan haruslah diperhatikan. Kualitas

tersebut mencakup ketersediaan zat-zat gizi yang dibutuhkan dalam

makanan dan pencegahan terjadinya kontaminasi makanan dengan zat-

zat sehingga dapat mengakibatkan gangguan kesehatan. Untuk

mencegah kontaminasi dengan zat-zat yang dapat mengakibatkan

gangguan kesehatan maka diperlukannya penerapan sanitasi makanan

(Notoatmodjo, 2003).

Sanitasi makanan adalah usaha untuk mengamankan makananan

agar tetap bersih, sehat dan aman. Sanitasi makanan yang buruk dapat

disebabkan 3 faktor yaitu faktor fisik, faktor kimia dan faktor mikrobiologi.

Faktor fisik yang terkait dengan kondisi ruang yang tidak mendukung

pengamanan makanan, faktor kimia karena adanya zat- zat kimia yang

digunakan untuk mempertahankan kesegaran bahan makanan dan juga

cemaran logam berat, dan faktor mikrobiologi karena adanya kontaminasi

oleh bakteri, virus, jamur dan parasit (Mulia, 2005)

Saat ini ada banyak jenis makanan atau minuman yang siap

dimakan atau dipersiapkan atau dijual oleh penjual kaki lima dipinggir

12
jalan atau ditempat-tempat umum lainnya yang biasanya disebut dengan

makanan jajanan atau street food (Mulia, 2005).

Untuk menjaring pembeli makanan jajanan diupayakan agar menarik

dan membangkitkan selera. Semua itu dilakukan dalam batas-batas yang

masih disukai pembeli, warna alami yang pudar dipudarkan dengan

pewarna tambahan. Tidak jarang jajanan itu pun ditambah dengan hiasan

berwarna warni. Untuk itu semua penjual jajanan mungkin mungkin

menggunakan bahan-bahan secara tidak benar, misalnya menggunakan

pewarna yang bukan pewarna makanan. Agar tidak mudah basi, tidak

jarang digunakan bahan pengawet yang tidak seharusnya digunakan pada

makanan yang terkenal adalah boraks untuk bakso (Rasyid, 2011).

Biasanya untuk meningkatkan keuntungannya maka penjual

makanan jajanan menambah, mengganti sebagian, bahkan seluruhnya

bahan jajanan itu dengan bahan lain yang jauh lebih murah tanpa

memikirkan kembali kemungkinan munculnya bahaya akibat dari

upayanya itu. Upaya penjual makanan dilakukan sejak memilih bahan

pokok, bahan tambahan, ataupun bahan pengawetnya (Rasyid, 2011).

Peran bahan tambahan pangan (BTP) khususnya bahan pengawet

menjadi semakin penting sejalan dengan kemajuan teknologi produksi

bahan tambahan pangan sintetis. Bahan tambahan pengawet umumnya

digunakan untuk mengawetkan pangannya yang sifatnya mudah rusak

(Cahyadi , 2008).

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 33 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan (BTP) jenis

13
bahan tambahan pangan golongan pengawet yang dilarang

penggunaanya dalam produk pangan adalah boraks. Namun pemerintah

telah memperbolehkan penggunaan boraks sebagai bahan makanan

tetapi dibatasi oleh Undang-Undang Kesehatan dan Keselamatan

Nasional batasnya hanya 1 gram per 1 kilogram pangan. Namun dalam

kenyataanya penggunaan boraks dalam bahan makanan tidak ditentukan

kadarnya, pembuat makanan dalam menyampurkan boraks tidak

menggunakan aturan ini melainkan hanya dengan kira-kira (Widyaningsih

dan Murtini, 2006). Boraks merupakan pengenyal serta membuat bakso

lebih tahan lama (Sultan H, 2002). Di Provinsi Kalimantan Barat masih

terdapat 6% jajanan yang positif mengandung boraks yang diuji

dilaboratorium (BPOM, 2013), sedangkan 9% jajanan dari 992 makanan

jajanan yang beredar di 98 sekolah dari Kota dan Kabupaten yang ada di

Kalimantan Barat positif mengandung boraks (BPOM, 2013).

Asam borat atau yang dikenal boraks yang seharusnya digunakan

sebagai pembersih, fungisida dan insektisida yang bersifat toksik pada

manusia (Eka , 2013). Boraks dinyatakan dapat mengganggu kesehatan

bila digunakan dalam makanan misalnya bakso. Efek negatif yang

ditimbulkan dapat berjalan lama meskipun yang digunakan dalam jumlah

sedikit, Jika tertelan boraks dapat mengakibatkan efek pada susunan

syarat pusat, ginjal dan hati. Dosis fatal untuk dewasa 15-20 gram dan

untuk anak-anak 3-6 gram (Simpus, 2005).

Penggunaan boraks yang tidak sesuai dengan standar ketetapan

undang-undang kesehatan dan keselamatan nasional juga dipengaruhi

14
oleh minimnya pengetahuan pedagang tentang keamanan pangan.

Berdasarkan penelitian tingkat pengetahuan pedagang yang kurang

tentang keamanan pangan adalah sebesar 29,41% sedangkan tingkat

pengetahuan pedagang yang baik hanya 17,65% (Aminah, 2006).

Pengetahuan atau (knowledge) adalah hasil penginderaan manusia atau

hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya mata,

hidung, telinga, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2005). Pengetahuan

seseorang merupakan domain sangat penting dalam membentuk tindakan

seseorang (overt behavior) (Chandra , 2009).

Berdasarkan uraian masalah diatas maka peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian tentang “Gambaran tingkat pengetahuan pedagang

bakso tentang boraks dan analisis kandungan boraks pada bakso di

Pontianak Timur”

15
B. Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah yang akan diteliti

adalah gambaran tingkat pengetahuan pedagang bakso tentang boraks

dan analisis kandungan boraks pada bakso.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Untuk menganalisis kandungan boraks pada bakso dan

mengukur tingkat pengetahuan pedagang bakso terhadap

boraksdisekitar daerah Pontianak Timur.

2. Tujuan khusus

a. Untuk menganalisis secara kualitatif kandungan zat boraks pada

bakso didaerah Pontianak Timur.

b. Untuk menganalisis secara kuantitatif kandungan zat boraks pada

bakso didaerah Pontianak Timur.

c. Untuk membedakan secara fisik bakso yang mengandung boraks

dan tidak mengandung boraks

d. Untuk mengukur tingkat pengetahuan pedagang terhadap boraks

pada bakso.

16
D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

Bagi peneliti sendiri untuk menambah pengetahuan dan

pengalaman dalam menerapkan ilmu yang di peroleh selama

perkuliahan terutama mata kuliah Pengawasan Mutu Pangan.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penlitian ini dapat menjadi referensi sebagai bahan ajar

maupun untuk menambah bahan bacaan bagi mahasiswa/I Politeknik

Kesehatan Pontianak khususnya pada Jurusan Gizi.

3. Bagi Penjaja Makanan

Bagi penjaja makanan penelitian ini akan membuat penjaja

makanan memiliki keingintahuan yang tinggi untuk mengetahui

kegunaan boraks yang sesungguhnya.

17
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Keamanan Pangan

Untuk melaksanakan Undang-Undang nomor 7 tahun 1996 dan

memberikan perlindungan kepada masyarakat maka pemerintah

menerbitkan Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 2004 tentang

Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Keamanan pangan adalah kondisi dan

upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan

cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu,

merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Pangan yang aman

serta bermutu dan bergizi tinggi penting perannya bagi pertumbuhan,

pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan serta peningkatan

kecerdasan masyarakat (Cahyadi , 2008). Agar makanan dapat berfungsi

dengan baik, maka diperlukan berbagai syarat agar memenuhi kriteria

seperti yang diharapkan. Selain makanan harus mangandung zat gizi

(lemak, protein, karbohidrat, mineral dan vitamin), makanan harus baik

dan tidak kalah pentingnya yang untuk diperhatikan adalah bahwa makan

harus aman untuk dikonsumsi. Setelah ketiga unsur tersebut terpenuhi,

maka baru dapat disebut dengan makanan sehat (Marwanti, 2010).

Keamanan pangan merupakan karakteristik yang sangat penting

dalam kehidupan, baik oleh produsen pangan maupun oleh konsumen.

Bagi produsen harus tanggap bahwa kesadaran konsumen semakin tinggi

sehingga menuntut perhatian yang lebih besar para aspek ini. Kebersihan

suatu produk pangan untuk menembus dunia internasional sangat

18
ditentukan oleh faktor ini pula. Di lain pihak sebagai konsumen sebaiknya

mengetahui bagaimana cara menentukan dan mengkonsumsi makanan

yang aman. Bahan-bahan atau organisme yang mungkin terdapat didalam

makanan dan dapat menimbulkan keracunan atau penyakit menular terdiri

dari bahan kimia beracun (misalnya beberapa bahan tambahan makanan,

obat-obatan, logam dan pestisida) (Marwanti, 2010).

B. Bahan Tambahan Pangan

1. Pengertian Bahan Tambahan Pangan (BTP)

Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan yang ditambahkan

dengan sengaja ke dalam makanan dalam jumlah kecil dengan tujuan

untuk memperbaiki penampakan, cita rasa, tekstur dan memperpanjang

daya simpan. Selain itu, juga dapat meningkatkan nilai gizi seperti protein,

mineral dan vitamin (Widyaningsih, T.D dan Murtini, ES, 2006). Menurut

Peraturan Menteri Kesehatan RI No.33 tahun 2012 Bahan Tambahan

Pangan adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan

dan biasanya bukan merupakan bahan dasar makanan, mempunyai atau

tidak mempunyai nilai gizi yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam

makanan untuk maksud teknologi (temasuk organoleptik) pada

pembuatan,pengolahan, penyediaan, perlakuan, pewadahan,

pengemasan, penyimpanan atau pengangkutan makanan untuk

menghasilkan atau diharapkan menghasilkan (langsung atau tidak

langsung) suatu komponen atau mempengaruhi sifat khas makanan

tersebut ( (Budiyanto, 2001).

19
Penggunaan bahan tambahan pangan dalam proses produksi

pangan perlu diwaspadai bersama, baik oleh produsen maupun oleh

konsumen. Dampak penggunaanya dapat berakibat positif maupun negatif

bagi masyarakat. Penyimpangan dalam penggunaannya akan

membahayakan kita bersama, khusunya generasi muda sebagai penerus

pembangunan bangsa. Di bidang pangan kita memerlukan sesuatu yang

lebih baik untuk masa yang akan datang, yaitu pangan yang aman untuk

dikonsumsi, lebih bermutu, bergizi dan lebih mampu bersaing dalam pasar

global. Kebijakan keamanan pangan (food safety) dan pembangunan gizi

nasional (food nutrient) merupakan bagian integral dari kebijakan pangan

nasional, termasuk pengunaan bahan tambahan pangan (Cahyadi , 2008).

2. Bahan Tambahan Pangan yang Diizinkan

Bahan tambahan pangan yang diizinkan untuk digunakan pada

makanan berdasarkan Permenkes No. 33 tahun 2012 adalah :

a. Anti oksidan dan oksidan sinergisi, bahan tambahan pangan yang

digunakan untuk mencegah terjadinya proses oksidasi. Contoh : asam

askorbat dan asam eritrobat serta garamnya untuk produk daging, ikan

dan buah-buahan kaleng. Butilhidroksi anisol (BHA) atau butilhidroksi

toluen (BHT) untuk lemak, minyak dan margarin.

b. Anti kempal, bahan tambahan pangan yang dapat mencegah

mengempalnya makanan yang berupa serbuk, tepung atau bubuk.

Contoh: Ca silikat, Mg karbonat, dan SI dioksida untuk merica dan

rempah lainnya. Garam stearat dan tri Ca fosfat pada gula, kaldu dan

susu bubuk.

20
c. Pengatur keasaman, bahan tambahan pangan yang dapat

mengasamkan, menetralkan, dan mempertahankan derajat keasaman

makanan. Contoh: Asam laktat, sitrat, dan malat digunakan pada jeli.

Natrium bikarbonat, karbonat, dan hidroksida digunakan sebagai

penetral pada mentega.

d. Pemanis buatan, bahan tambahan pangan yang dapat menyebabkan

rasa manis pada makanan yang tidak atau hampir tidak mempunyai

nilai gizi. Contoh: sakarin dan siklamat.

e. Pemutih dan pematang tepung merupakan bahan tambahan pangan

yang dapat mempercepat proses pemutihan tepung dan atau

pematangan tepung hingga dapat memperbaiki mutu penanganan.

f. Pengemulsi, pemantap dan pengental merupakan bahan tambahan

pangan yang dapat membantu terbentuknya atau memantapkan

sistem dispersi yang homogen pada makanan. Biasa digunakan untuk

makanan yang mengandung air atau minyak. Contoh: polisorbat untuk

pengemulsi es krim dan kue, peltin untuk pengental pada jamu, jeli,

minuman ringan dan es krim, gelatin pemantap dan pengental untuk

sediaan keju, karagen dan agar-agar untuk pemantap dan pengental

produk susu dan keju.

g. Pengawet, bahan tambahan pangan yang dapat mencegah fermentasi,

pengasaman atau penguraian lain terhadap makanan yang disebabkan

oleh mikroorganisme. Biasa ditambahkan pada makanan yang mudah

rusak atau yang disukai sebagai medium pertumbuhan bakteri atau

jamur. Contoh: asam benzoat dan garamnya dan ester para hidroksi

21
benzoat untuk produk buah-buahan, kecap, keju dan margarin, asam

propionat untuk keju dan roti.

h. Pengeras, bahan tambahan pangan yang dapat memperkeras atau

mencegah lunaknya makanan. Contoh: Al sulfat, Al Na sulfat untuk

pengeras pada acar ketimun dalam botol, Ca glukonat dan Ca sulfat

pada buah kaleng seperti tomat dan kaleng.

i. Pewarna, bahan tambahan pangan yang dapat memperbaiki atau

memberi warna pada makanan. Contoh: karmin, ponceau 4R, eritrosin

warna merah, green FCF, green S warna hijau, kurkumin, karoten,

yellow kuinolin, tartazin warna kuning dan karamel warna coklat.

j. Penyedap rasa dan aroma serta penguat rasa, bahan tambahan

pangan yang dapat memberikan, menambahkan atau mempertegas

rasa dan aroma. Contoh: monosodium glutamat pada produk daging.

k. Sekuestran, bahan tambahan pangan yang dapat mengikat ion logam

yang ada pada makanan sehingga dicegah terjadinya oksidasi yang

dapat menimbulkan perubahan warna dan aroma. Biasa ditambahkan

pada produk lemak dan minyak atau produk yang mengandung lemak

atau minyak seperti daging dan ikan. Contoh: asam folat dan

garamnya.

3. Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang Tidak Diizinkan

Bahan Tambahan Pangan yang tidak diizinkan atau dilarang

digunakan dalam makanan menurut Permenkes RI No. 33 Tahun 201:

a. Natrium tetraborat (boraks)

b. Formalin (formaldehyd)

22
c. Minyak nabati yang dibrominasi (brominated vegetable oils)

d. Kloramfenikol (chloramphenicol)

e. Kalium klorat (potassium chlorate)

f. Dietilpirokarbonat (diethylepirokarbonate DEPC)

g. Nitrofurazon (nitrofurazone)

h. P-Phenetilkarbamida (p-phenethycarbamide, dulcin, 4-ethoxyphenyl

urea)

i. Asam salisilat dan garamnya (salicylic acid andm its salt)

j. Rhodamin B (pewarna merah)

k. Methanil yellow (pewarna kuning)

l. Dulsin (pemanis sintesis)

m. Potasium bromat (pengeras).

C. Boraks

Boraks atau yang lebih dikenal oleh masyarakat dengan nama

“bleng” (bahasa jawa) yaitu serbuk kristal lunak yang mengandung boron,

berwarna putih atau transparan tidak berbau dan larut dalam air. Boraks

dengan dalam nama ilmiahnya dikenal sebagai natrium tetraborate

decahydrate. Boraks mempunyai nama lain natrium biborat, natrium

piroborat, natrium tetraborat yang seharusnya hanya digunakan dalam

industry non pangan. Menurut Kamus Kedokteran Dorland, boraks dikenal

sebagai bahan pembasa preparat farmasi. Boraks juga digunakan sebagai

bahan bakterisida lemah dan astringen ringan dalam lotion, obat kumur

23
dan pembersih mulut. Boraks juga disebut sebagai sodium pyroborate dan

sodium tetraborate.

Gambar 1 Struktur kimia borax

Asam borat (H3BO3) merupakan senyawa borat yang dikenal juga

dengan nama borax. Di Jawa Barat dikenal juga dengan nama “bleng”, di

Jawa Tengah dan Jawa Timur dikenal dengan nama “pijer”.

Digunakan/ditambahkan ke dalam pangan/bahan pangan sebagai

pengental ataupun sebagai pengawet (Cahyadi , 2008). Dari berbagai

penelitian yang telah dilakukan diperoleh data bahwa senyawa asam borat

ini dipakai pada lontong agar teksturnya menjadi bagus dan kebanyakan

ditambahkan pada proses pembuatan bakso. Komposisi dan bentuk asam

borat mengandung 99,0% dan 100% H3BO3.

Mempunyai bobot molekul 61,83 dengan B = 17,50% ; H = 4,88% ;

O = 77,62% berbentuk serbuk hablur kristal transparan atau granul putih

tak berwarna dan tak berbau serta agak manis (Cahyadi , 2008). Senyawa

asam borat ini mempunyai sifat-sifat kimia sebagai berikut: jarak lebur

sekitar 171°C, larut dalam 18 bagian air dingin, 4 bagian air mendidih, 5

bagian gliserol 85% dan tak larut dalam eter. Kelarutan dalam air

bertambah dengan penambahan asam klorida, asam sitrat atau asam

24
tetrat. Mudah menguap dengan pemanasan dan kehilangan satu molekul

airnya pada suhu 100°C yang secara perlahan berubah menjadi asam

metaborat (HBO2). Asam borat merupakan asam lemah dan garam

alkalinya bersifat basa. Satu gram asam borat larut sempurna dalam 30

bagian air, menghasilkan larutan yang jernih dan tak berwarna. Asam

borat tidak tercampur dengan alkali karbonat dan hidroksida (Cahyadi ,

2008).

Efek boraks yang diberikan pada makanan dapat memperbaiki

struktur dan tekstur makanan. Seperti contohnya bila boraks diberikan pada

bakso akan membuat bakso tersebut sangat kenyal dan tahan lama.

Parahnya, makanan yang telah diberi boraks dengan yang tidak atau masih

alami, sulit untuk dibedakan jika hanya dengan panca indera, namun harus

dilakukan uji khusus boraks di Laboratorium (Depkes R. I, 2002).

1. Kegunaan Boraks

Boraks bisa didapatkan dalam bentuk padat atau cair (natrium

hidroksida atau asam borat). Baik boraks maupun asam borat memiliki

sifat antiseptik dan biasa digunakan oleh industri farmasi sebagai

ramuan obat, misalnya dalam salep, bedak, larutan kompres, obat oles

mulut dan obat pencuci mata. Selain itu boraks juga digunakan

sebagai bahan solder, pembuatan gelas, bahan pembersih/pelicin

porselin, pengawet kayu dan antiseptik kayu (Aminah, 2006)

2. Pengawet Boraks pada Makanan

Meskipun bukan pengawet makanan, boraks sering pula

digunakan sebagai pengawet makanan. Selain sebagai pengawet,


25
bahan ini berfungsi pula mengenyalkan makanan. Makanan yang

sering ditambahkan boraks diantaranya adalah bakso. Bakso yang

menggunakan boraks memiliki kekenyalan khas yang berbeda dari

kekenyalan bakso yang menggunakan banyak daging (Yuliarti N,

2007).

3. Dampak Boraks terhadap Kesehatan

Boraks merupakan racun bagi semua sel. Pengaruhnya terhadap

organ tubuh tergantung konsentrasi yang dicapai dalam organ tubuh.

Karena kadar tertinggi tercapai pada waktu diekskresi maka ginjal

merupakan organ yang paling terpengaruh dibandingkan dengan organ

yang lain. Dosis tertinggi yaitu 10-20 gr/kg berat badan orang dewasa

dan 5 gr/kg berat badan anak-anak akan menyebabkan keracunan

bahkan kematian. Sedangkan dosis terendah yaitu dibawah 10-20

gr/kg berat badan orang dewasa dan kurang dari 5 gr/kg berat badan

anak-anak (Saparinto C Hidayati D, 2006).

Efek negatif dari penggunaan boraks dalam pemanfaatannya

yang salah pada kehidupan dapat berdampak sangat buruk pada

kesehatan manusia. Boraks memiliki efek racun yang sangat

berbahaya pada sistem metabolisme manusia sebagai halnya zat-zat

tambahan makanan lain yang merusak kesehatan manusia. Dalam

Peraturan Menteri Kesehatan No. 33 tahun 2012 boraks dinyatakan

sebagai bahan berbahaya dan dilarang untuk digunakan dalam

pembuatan makanan. Dalam makanan boraks akan terserap oleh

darah dan disimpan dalam hati. Karena tidak mudah larut dalam air

26
boraks bersifat kumulatif. Dari hasil percobaan dengan tikus

menunjukkan bahwa boraks bersifat karsinogenik.

Selain itu boraks juga dapat menyebabkan gangguan pada bayi,

gangguan proses reproduksi, menimbulkan iritasi pada lambung, dan

atau menyebabkan gangguan pada ginjal, hati, dan testis (Sultan H,

2002). Sering mengkonsumsi makanan berboraks akan menyebabkan

gangguan otak, hati, lemak dan ginjal. Dalam jumlah banyak, boraks

menyebabkan demam, anuria (tidak terbentuknya urin), koma,

merangsang sistem saraf pusat, menimbulkan depresi, apatis,

sianosis, tekanan darah turun, kerusakan ginjal, pingsan bahkan

kematian (Widyaningsih, T.D dan Murtini, ES, 2006).

Keracunan kronis dapat disebabkan oleh absorpsi dalam waktu

lama. Akibat yang timbul diantaranya anoreksia, berat badan turun,

muntah, diare, ruam kulit, alposia, anemia dan konvulsi. Penggunaan

boraks apabila dikonsumsi secara terus-menerus dapat mengganggu

gerak pencernaan usus, kelainan pada susunan saraf, depresi dan

kekacauan mental. Dalam jumlah serta dosis tertentu, boraks bisa

mengakibatkan degradasi mental, serta rusaknya saluran pencernaan,

ginjal, hati dan kulit karena boraks cepat diabsorbsi oleh saluran

pernapasan dan pencernaan, kulit yang luka atau membran mukosa

(Saparinto C Hidayati D, 2006).

Gejala awal keracunan boraks bisa berlangsung beberapa jam

hingga seminggu setelah mengonsumsi atau kontak dalam dosis

27
toksis. Gejala klinis keracunan boraks biasanya ditandai dengan hal-

hal berikut (Saparinto C Hidayati D, 2006):

a. Sakit perut sebelah atas, muntah dan mencret

b. Sakit kepala, gelisah

c. Penyakit kulit berat

d. Muka pucat dan kadang-kadang kulit kebiruan

e. Sesak nafas dan kegagalan sirkulasi darah

f. Hilangnya cairan dalam tubuh

g. Degenerasi lemak hati dan ginjal

h. Otot-otot muka dan anggota badan bergetar diikuti dengan kejang-

kejang

i. Kadang-kadang tidak kencing dan sakit kuning

j. Tidak memiliki nafsu makan, diare ringan dan sakit kepala

k. Kematian.

D. Analisa Kandungan Boraks pada Makanan

1. Analisa Secara Kualitatif

Analisis kualitatif pada boraks diantaranya adalah uji nyala, uji kertas

kurkuma, dan uji kertas tumerik (Fuad , 2014).

a. Uji Nyala

Uji nyala adalah salah satu metode pengujian untuk mengetahui

apakah dalam makanan terdapat boraks atau tidak. Disebut uji nyala

karena sampel yang digunakan dibakar, kemudian warna nyala

dibandingkan dengan warna nyala boraks asli. Serbuk boraks murni

28
dibakar menghasilkan nyala api berwarna hijau. Jika sampel yang

dibakar menghasilkan warna hijau maka sampel dinyatakan positif

mengandung boraks. Prosedur dilakukan dengan melarutkan senyawa

uji dengan metanol dalam wadah (cawan penguap) kemudian dibakar,

warna api hijau menunjukkan terdapat senyawa boraks (Fuad , 2014).

b. Uji Warna dengan Kertas Turmerik

Kertas turmerik adalah kertas saring yang dicelupkan ke dalam

larutan turmerik (kunyit) yang digunakan untuk mengidentifikasi asam

borat. Uji warna kertas kunyit pada pengujian boraks yaitu dengan

cara membuat kertas tumerik dahulu yaitu:

a) Ambil beberapa potong kunyit ukuran sedang

b) Kemudian tumbuk dan saring sehingga dihasilkan cairan kunyit

berwarna kuning

c) Kemudian,celupkan kertas saring ke dalam cairan kunyit tersebut

dan keringkan.Hasil dari proses ini disebut kertas turmerik.

Selanjutnya, buat kertas yang berfungsi sebagai kontrol positif

dengan memasukkan satu sendok teh boraks ke dalam gelas yang

berisi air dan aduk larutan boraks. Teteskan pada kertas tumerik yang

sudah disiapkan. Amati perubahan warna pada kertas tumerik. Warna

yang dihasilkan tersebut akan dipergunakan sebagai kontrol positif.

Tumbuk bahan yang akan diuji dan beri sedikit air. Teteskan air

larutan dari bahan makanan yang diuji tersebut pada kertas tumerik.

29
Apabila warnanya sama dengan pada kertas tumerik kontrol positif,

maka bahan makanan tersebut mengandung boraks (Fuad , 2014).

c. Uji Warna Kertas Kurkuma

Uji warna kertas kurkuma pada pengujian boraks yaitu sampel

ditimbang sebanyak 50 gram dan di oven pada suhu 120 0C, setelah

itu di tambahkan dengan 10 gram kalsium karbonat. Kemudian

masukkan ke dalam furnance hingga menjadi abu selama 6 jam dan

dinginkan. Abu kemudian tambahkan 3 ml asam klorida 10%,

celupkan kertas kurkumin. Bila di dalam sampel terdapat boraks,

kertas kurkumin yang berwarna kuning menjadi berwarna merah

kecoklatan (Rohman, 2007).

2. Analisa Kuantitatif

Beberapa uji kuantitatif untuk boraks yaitu : metode titrimetri

(titrasi asam basa dan titrasi penambahan manitol) dan metode

spektroskopi emisi.

a. Metode Titrimetri

Penetapan kadar boraks dalam pangan dengan metode

tirimetri yaitu dengan tirasi menggunakan larutan standar NaOH

dengan penambahan manitol akan menghasilkan warna merah

muda pada akhir titrasi (Cahyadi , 2008).

b. Metode Spektroskopi Emisi

Penetapan kadar boraks dengan spektroskopi emisi dengan

pengukuran boron oksida dengan menggunakan nyala N 2OH2


30
spectrum celah lebar 5 nm, pada panjang gelombang 518 nm.

Penekanan background signal, diberikan oleh µg (blanko)

ekstrasampel B, mendekati 0 pada chart, dan mengecek penguat

signal dengan memberikan skala penuh untuk standar B

terbesar. Lakukan pembacaan larutan standar untuk setiap kali

pengukuran sampel. Ukur puncak setiap standard dan sampel

dengan menggunakan 0 µg standar B. Plot kurva standar

sejumlah B dalam sampel dari kurva ini (Cahyadi , 2008).

E. Bakso

Bakso merupakan salah satu produk olahan yang sangat populer.

Banyak orang menyukainya, dari anak-anak sampai orang dewasa. Bakso

tidak saja hadir dalam sajian seperti sajian mie bakso maupun mie ayam.

Bola-bola daging ini juga biasa digunakan dalam campuran beragam

masakan lainnya, sebut saja misalnya nasi goreng, mie goreng, capcay,

dan aneka sop (Widyaningsih, T.D dan Murtini, ES, 2006).

Bakso didefinisikan sebagai daging yang dihaluskan, dicampur

dengan tepung pati, lalu dibentuk bulat-bulat dengan tangan sebesar

kelereng atau lebih besar dan dimasukkan ke dalam air panas jika ingin

dikonsumsi. Untuk membuat adonan bakso, potong-potong kecil daging,

kemudian cincang halus dengan menggunakan pisau tajam atau blender.

Setelah itu daging diuleni dengan es batu atau air es (10-15% berat

daging) dan garam serta bumbu lainnya sampai menjadi adonan yang

kalis dan plastis sehingga mudah dibentuk. Sedikit demi sedikit

31
ditambahkan tepung kanji agar adonan lebih mengikat. Penambahan

tepung kanji cukup 15-20% berat daging (Wibowo, 2000).

Pembentukan adonan menjadi bola-bola bakso dapat dilakukan

dengan menggunakan tangan atau dengan mesin pencetak bola bakso.

Jika memakai tangan, caraya gampang saja; adonan diambil dengan

sendok makan lalu diputar-putar dengan tangan sehingga terbentuk bola

bakso. Bagi orang yang telah mahir, untuk membuat bola bakso ini cukup

dengan mengambil segenggam adonan lalu diremasremas dan ditekan ke

arah ibu jari. Adonan yang keluar dari ibu jari dan telunjuk membentuk

bulatan lalu diambil dengan sendok kemudian direbus dalam air mendidih

selama ± 3 menit kemudian diangkat dan ditiriska (Wibowo, 2000).

F. Pengetahuan

Pengetahuan atau knowledge adalah penginderaan manusia, atau

hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek

melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga dan sebagainya).

Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan

pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intesitas perhatian dan

persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang

diperoleh oleh intesitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian

besar pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh melalui indera

pengengaran (telinga) dan indera penglihatan (mata). Pengetahuan atau

kognitif merupakan domain sangat penting dalam membentuk tindakan

seseorang (overt behavior) (Chandra,2009). Faktor- faktor yang

mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang (Notoatmodjo, 2003):

32
1. Pendidikan

Pendidikan merupakan suatu usaha untuk mengembangkan

kepribadian dan kemampuan didalam dan diluar sekolah dan

berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses

belajar, makin tinggi pendidikan seseorang maka makin mudah

orang tersebut menerima informasi. Dengan pendidikan tinggi maka

seseorang cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari orang

lain maupun dari media massa. Pengetahun sangat erat kaitannya

dengan pendidikan tinggi, diharapkan akan semakin luas pula

pengetahuannya.

2. Informasi

Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun

non formal dapat memberikan pengaruh jangka pendek(immediate

impact) sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan

pengetahuan. Majunya teknologi berimbas pada banyaknya media

massa yang dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentang

inovasi. Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa

seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai

pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan kepercayaan

orang.

3. Sosial budaya dan ekonomi.

Budaya yang dianut seseorang mempengaruhi pengetahuan.

Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang seringkali tanpa

melalui penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan

33
demikian seseorang akan bertambah pengetahuan walaupun tidak

melakukan. Status ekonomi seseorang juga akan menetukan

tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu,

sehingga status sosial ekonomi ini akan mempengaruhi pengetahuan

seseorang.

4. Lingkungan

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar individu,

baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan

berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan kedalam

individu yang berada didalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi

karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak yang akan

direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu.

5. Pengalaman

Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara

untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang

kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah

yang dihadapi dimasa lalu. Pengalaman dapat diperoleh dari diri

sendiri dan orang lain. Pengalaman yang diperoleh dapat

meningkatkan pengetahuan seseorang.

6. Usia

Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir

seseorang semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula

daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang

34
diperolehnya semakin membaik. Semakin banyak informasi yang

dijumpai dan semakin banyak hal yang dikerjakan sehingga

menambah pengetahuannya.

35
BAB III KERANGKA PENELITIAN, PERTANYAAN PENELITIAN,

DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Penelitian

Pengetahuan Analisis Kandungan

pedagang bakso Boraks

- Kualitatif

- Kuantitatif

Gambar 2. Kerangka Penelitian

B. Pertanyaan Penelitian

Bagaimana pengetahuan pedagang tentang standar penggunaan boraks

dalam makanan serta kadar boraks pada bakso pedagang tersebut ?

C. Definisi Operasional

1. Metode Turmerik

Kertas turmerik adalah kertas saring yang dicelupkan ke dalam

larutan turmerik (kunyit) yang digunakan untuk mengidentifikasi asam

borat.

Skala : Ordinal

Cara ukur : Metode uji warna

Alat ukur : kertas turmerik

a. Positif jika hasil uji sampel berwarna jingga sampai merah

kecoklatan.

36
b. Negative jika hasil uji sampel bukan bewarna jingga sampai merah

kecoklatan.

2. Metode Titrimetri

Metode tirimetri yaitu dengan tirasi menggunakan larutan standar

NaOH dengan penambahan manitol akan menghasilkan warna merah

muda pada akhir titrasi dan dengan rumus V1. M1= V2. M2.

a. Skala : Rasio

b. Cara Ukur : Metode titrimetri

3. Pengetahuan

Pengetahuan atau (knowledge) adalah hasil penginderaan

manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera

yang dimilikinya mata, hidung, telinga, dan sebagainya.

Skala : Ordinal

Cara ukur : Wawancara

Alat ukur : Kuesioner

Katagori :

a. Baik jika benar > rata-rata

b. Kurang jika ≤ rata-rata

37
BAB IV METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional

berbasis laboratorium dengan pemeriksaan kadar boraksyang dilakukan

secara kuantitatif pada sampel dan dengan pendekatan cross sectional

dimana sampel diambil bersamaan dengan pengumpulan data

pengetahuan pedagang.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Terpadu Politeknik

Kesehatan Pontianak pada bulan April 2017.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pedagang bakso

daerah Pontianak timur.

2. Sampel

Sampel dalam penlitian ini adalah Semua pedagang bakso yang

bersedia diwawancarai yang berada di Pontianak timur.

3. Prosedur Pengambilan Sampel Bakso

a. Bakso diambil dari pedagang bakso yang telah diwawancarai

b. Dimasukan kedalam plastic dengan kuah bakso, sampai dirumah

peneliti, bakso dilakukan uji kualitatif kertas turmerik.

38
c. Jika bakso positif mengandung boraks maka bakso dari pedagang

tersebut akan dibeli kembali dan akan diujikan di laboratorium

terpadu Poltekkes Kemenkes Pontianak.

d. Dilakukan prosedur uji kuantitatif boraks.

D. Alat dan Bahan

1. Alat

a. Gelas beker
b. Cawan porselen
c. buret
d. Statif
e. Erlenmeyer 100 ml
f. Mikropipet
g. Timbangan analitik
h. Kaca arloji
i. Pipet kaca tetes
j. Batang pengaduk
k. Kertas saring
l. Neraca analitik elektrik
m. Vaseline,tissue
n. Pipet volume 10 ml
o. Pipet ukur 10 ml
p. Labu ukur 250 ml
q. Karet penghisap
r. Hot plate
s. Pipet tetes

2. Bahan

a. Bakso di Pontianak timur


b. Aquades

39
c. Reagen boraks
d. Kunyit
e. NaOH 0,1 M
f. HCl pekat 37%
g. Manitol
h. Fenoftalein 1%
i. Kertas saring
j. H2C2O4 0,05 M

E. Prosedur Kerja Penelitian

1. Tahap Persiapan

a. Pembuatan air kunyit

Kunyit segar diparut kemudian disaring airnya.

b. Pembuatan kertas turmerik

Celupkan kertas saring ke air kunyit dan dibolak-balik sampai

merata pada seluruh permukaan kertas saring. Kemudian

ditempatkan diatas papan untuk dikeringkan dibawah terik sinar

matahari.

c. Persiapan sampel

5 gram sampel dihaluskan, direndam dengan 100 ml akuades

yang telah dipanaskan, kemudian disaring dan ambil filtratnya.

d. Pembuatan larutan NaOH 0.1 M

Timbang 2 gram NaOH, kemudian dilarutkan dalam akuades

sebanyak 1 L menggunakan gelas ukur 1 L..

40
e. Pembuatan larutan H2C2O4.2H2O

Timbang H2C2O4 sebanyak 1,7 gr, kemudian masukan akuades

kedalam labu ukur ukuran 250 ml.

f. Standarisasi Larutan NaOH dengan H2C2O4

1) Di pipet 10 ml H2C2O4.2H2O 0,05 M dimasukan ke

Erlenmeyer + 10 ml aquades + 3 tetes indicator 1 %.

2) Dititrasi dengan NaOH 0,05 M sampai terbentuk warna

merah muda konstan.

2. Tahap Pengujian

a. Analisa Kualitatif

Pembuatan kontrol positif dilakukan sebagai berkut:

Lakukan 1 sendok teh boraks kedalam air, kemudian teteskan

kekertas tumerik dan amati perubahan warnanya menjadi jingga

dan merah kecoklatan. Selanjutnya dilakukan pengujian

terhadap sampel bakso yaitu :filtrate sampel diteteskan kekertas

tumerik dan diamati apakah terdapat perubahan warna menjadi

jingga dan merah kecoklatan atau kertas kunyit tetap bewarna

kuning.

b. Analisa Kuantitatif

Larutan sampel sebanyak 25 ml dimasukan kedalam labu

Erlenmeyer. Tambahkan dua tetes HCl 37% pekat dan 0.2 gram

manitol. Selanjutnya ditambahkan dua tetes fenoftalein. Kemudian

dititrasi dengan larutan NaOH 0.1 M dan diamati volume NaOH

41
yang diperlukan untuk merubah larutan yang tidak bewarna

menjadi bewarna merah muda konstan. Perhitungan kadar boraks

dalam sampel bakso dilakukan dengan rumus :

V1. M1 = V2. M2

Keterangan :

V1 =Volume boraks

M1 = Molaritas boraks

V2 = Volume NaOH

M2 = Molaritas NaOH

Penetapan kadar boraks :

(V. M)𝑁𝑎𝑂𝐻. 𝑏𝑚 × 100%


𝐻3𝐵𝑂3 =
Volume sampel x 1000

F. Jenis Data

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden

mengenai pengetahuan pedagang terhadap borak serta hasil analisis dari

uji borak bakso kuah di daerah Pontianak timur.

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari Badan Pengawasan

Obat- obatan dan Makanan tentang persentase makanan jajanan yang

masih mengandung boraks.

G. Teknik Pengumpulan Data

Data kuesioner pengetahuan pedagang mengenai borak

dikumpulkan melalui wawancara langsung kepada responden dan diisi

langsung oleh pewawancara, setelah mewawancarai pedagang peneliti

42
membeli sampel bakso tersebut. Dan untuk analisis kandungan boraks

secara kuantitatif dilakukan di Laboratorium Terpadu Poltekkes Pontianak

kemudian untuk kualitatif dilakukan dirumah peneliti.

H. Instrumen Penelitian

Instrumen atau alat pengumpulan data yang akan digunakan dalam

penelitian ini adalah kuesioner yang digunakan untuk mengukur tingkat

pengetahuan responden.

Metode titrimetri merupakan metode yang dilakukan untuk uji

kuantitatif pada boraks atau untuk mengukur kadar boraks dalam bakso.

Uji kertas turmerik merupakan uji yang digunakan untuk mengetahui ada

atau tidaknya kandungan boraks pada makanan.

I. Pengolahan Data

1. Editing

Kegiatan ini bertujuan agar data yang diperoleh dapat diolah dengan

baik dan menghadirkan informasi yang benar atau meneliti kembali

kesalahan yang terjadi pada saat pengisian kuesioner, yaitu dengan

memeriksa apakah semua pertanyaan terjawab, dapat terbaca dan

melihat apakah ada kesalahan yang dapat menggangu dalam mengolah

data berikutnya.

2. Coding

Setelah melakukan editing, selanutnya penulis memberikan kode

kode tertentu pada tiap – tiap data sehingga mempermudah dalam

nenganalisis data.

43
a. Pengetahuan baik jika nilai > rata-rata

b. Pengetahuan kurang jika nilai ≤ rata-rata

3. Tabulasi

Tabulasi adalah proses penyusunan data kedalam bentuk table.

Data hasil uji laboratorium akan dibuat dalam bentuk table.

4. Entry

Pengolahan data dengan statistik menggunakan komputer.

J. Analisis Data

Analisis univariat ini digunakan untuk melihat gambaran distribusi

frequensi pengetahuan pedangang yang baik dan kurang. Data yang

diperoleh dari hasil uji laboratorium kemudian diolah, ditabulasikan dan

didiskripsikan dengan jelas.

44
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Karateristik Responden

Responden dari penelitian ini adalah pedagang bakso yang

berjualan didaerah Pontianak Timur. Berikut karakteristik responden

pedagang meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan dan pendapatan.

a. Usia

Pada Tabel 1 disajikan distribusi usia pedagang bakso di

daerah Pontianak timur yang menjadi responden dalam penelitian

ini:

Tabel 1. Distribusi Usia Pedagang Bakso yang menjadi


Responden yang Berjualan di Daerah Pontianak Timur Tahun
2017

Usia* n Persentase
17-25 th 3 17,6%
26-45 th 13 76,5%
46-65 th 1 5,9%
Total 17 100%
*sumber : Data Primer

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa kategori usia

pedagang bakso di daerah Pontianak timur yaitu kategori lansia

paling sedikit yaitu 5,9 % sedangkan yang paling banyak adalah

kategori dewasa yaitu sebesar 76,5%. Usia termuda responden

adalah 20 tahun dan yang paling tua adalah 53 tahun.

45
b. Jenis Kelamin

Pada Tabel 2 disajikan distribusi jenis kelamin pedagang bakso

di daerah Pontianak Timur yang menjadi responden dalam

penelitian ini :

Tabel 2. Distribusi Jenis Kelamin Pedagang bakso yang


menjadi Responden di Daerah Pontianak Timur Tahun 2017.

Jenis Kelamin n Persentase


Laki – laki 11 64,7 %
Perempuan 6 35,3 %
Total 17 100%

Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa persentase

pedagang bakso yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dari

pada yang berejenis kelamin perempuan yaitu sebesar 64,7%

sedangkan yang berjenis kelamin perempuan yaitu sebesar 35,3 %.

c. Pendidikan

Pada Tabel 3 disajikan distribusi pendidikan pedagang bakso

yang menjadi responden dalam penelitian ini : .

Tabel 3. Distribusi Pendidikan Pedagang Bakso yang menjadi


Responden di Daerah Pontianak Timur Tahun 2017

Tingkat Pendidikan n Persentase


Rendah 7 41,2%
Tinggi 10 58,8%
Total 17 100%

Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa tingkat

pendidikan pedagang bakso yang rendah adalah sebesar 41,2%

dan tingkat pendidikan pedagang bakso yang tinggi dalah sebesar

58,8%. Pendidikan terendah pedagang bakso adalah Sekolah

46
dasar dan pendidikan yang tertinggi yang disandang oleh pedagang

bakso adalah perguruan tinggi.

d. Pendapatan

Pada Table 4 disajikan tabel distribusi pendapatan pedagang

bakso yang menjadi responden dalam penelitian ini :

Tabel 4 Distribusi Pendapatan Pedagang Bakso yang menjadi


Responden per hari di Daerah Pontianak Timur Tahun 2017

Pendapatan/hr n Persentase
< Rp.500,000 7 41,2%
≥ Rp. 500,000 10 58,8%
Total 17 100%
Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa pendapatan per

hari pedagang bakso yang menjadi responden yang < 500.000,00

adalah sebesar 41,2% sedangkan yang ≥ 500.000,00 adalah

sebesar 58,8%.

2. Tingkat Pengetahuan Pedagang

Pada Tabel 5 disajikan distribusi tingkat pengetahuan pedagang

bakso mengenai boraks yang menjadi responden dalam penelitian ini :

Tingkat Pengetahuan n Persentase


Baik 13 76,5 %
Kurang 4 23,5%
Total 17 100%
Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa jumlah pedagang

yang memiliki pengetahuan baik adalah berjumlah 13 orang dengan

persentase 76,5 % dan berpengetahuan kurang adalah berjumlah 4

orang dengan persentase 23,5 %.

47
3. Analisa Kandungan Boraks Secara Kualitatif dan Kuantitatif

a. Hasil Uji Boraks Secara Kualitatif

Pada Tabel 6 disajikan analisis kandungan boraks secara

kualitatif dengan uji kertas turmerik :

Tabel 6. Hasil Uji Pemeriksaan Boraks pada Bakso dengan Kertas


Tumerik di Daerah Pontianak Timur Tahun 2017

No Nama Sampel Warna kertas Hasil


1 Sampel 1 Kuning Negatif
2 Sampel 2 Kuning Negatif
3 Sampel 3 Kuning Negatif
4 Sampel 4 Kuning Negatif
5 Sampel 5 Kuning Positif
6 Sampel 6 Kuning Negatif
7 Sampel 7 Kuning Negatif
8 Sampel 8 Kuning Negatif
9 Sampel 9 Kuning Negatif
10 Sampel 10 Kuning Negatif
11 Sampel 11 Kuning Negatif
12 Sampel 12 Kuning Negatif
13 Sampel 13 Kuning Negatif
14 Sampel 14 Kuning Negatif
15 Sampel 15 Kuning Negatif
16 Sampel 16 Kuning Positif
17 Sampel 17 Kuning Negatif
B

Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui hasil uji kualitatif yang

dilakukan menggunakan kertas turmerik yaitu dari 17 sampel

bakso di daerah Pontianak Timur 2 diantaranya positif mengandung

boraks.

b. Hasil Uji Kuantitatif Boraks dengan Metode Titrimetri

Pada Tabel 7 disajikan analisis kuantitatif boraks dengan metode

titrimetri.

48
Tabel 7. Hasil Uji Kuantitatif Boraks Pada Sampel Bakso di
Wilayah Pontianak Timur Tahun 2017

Berat Nama Kuantitatif


Sampel Sampel (ppm)
5 gr Sampel 5 0,0031
5 gr Sampel 16 0,0036
Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa berdasarkan hasil

uji kuantitatif dapat diketahui bahwa kandungan boraks pada sampel

nomor 5 adalah 0,0031 dan 0,0036 ppm pada sampel nomor 16.

4. Gambaran Tingkat Pengetahuan Pedagang Bakso dan Analisis


Kandungan Boraks.

Pada Tabel 8 disajikan distribusi pengetahuan pedagang bakso

dengan analisis kandungan boraks secara kualitatif :.

Tabel 8. Gambaran Tingkat Pengetahuan Pedagang Bakso


dengan Analisis Kandungan Boraks

Hasil Uji Kualitatif


Tingkat Negatif Positif Total
Pengetahuan Kurang 3 1 4
Pedagang Baik 12 1 13
Total 15 2 17
Berdasarkan Tabel 8 dapat diketahui bahwa pedagang

bakso yang mempunyai pengetahuan yang kurang, berdasarkan uji

kualitatif bahwa 3 sampel bakso dinyatakan tidak mengandung

boraks dan 1 sampel bakso positif mengandung boraks. Kemudian

pedagang bakso yang mempunyai pengetahuan yang baik,

berdasarkan uji kualitaif bahwa 12 sampel bakso tidak mengandung

boraks dan 1 sampel mengandung boraks.

49
B. Pembahasan

1. Tingkat Pengetahun Pedagang Bakso

Berdasarkan hasil penelitian menunjukan sebanyak 23,5 %

tingkat pengetahuan kurang dan 76,5% tingkat pengetahuan baik

terkait boraks, kegunaan boraks, bahaya boraks. Walaupun sebagian

besar pengetahuan pedagang baik namun masih saja ada pedagang

yang berpengetahuan yang kurang. Penelitian ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh istiqomah, 2016 bahwa sebesar 55,6 %

memiliki tingkat pengetahuan yang baik dan 33,1% berpengetahuan

sedang dan 11,3 % tingkat pengetahuan buruk.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada 17 responden,

responden mampu menjawab soal yaitu maksimal 8 soal dan minimal

3 soal. Hal ini menunjukan bahwa pengetahuan responden masih ada

yang kurang mengenai Boraks. Kurangnya informasi terkait Boraks

dapat mempengaruhi pengetahuan pedagang tersebut.

Pengetahuan atau knowledge adalah hasil dari informasi yang

kemudian, diperhatikan, dimengerti, dan diingat. Informasi dapat

bermacam- macam bentuknya baik pendidikan formal maupun

informal, seperti membaca surat kaba, mendengar radio, menonton

TV,percakapan sehari-hari dan pengalaman hidup lainnya.

Pengetahuan berupa segala sesuatu yang diketahui dan berkenaan

dengan hasil. Pengetahuan merupakan hasil setelah orang melakukan

penginderaan terhadap suatu objek tertentu, penginderaan terjadi

50
melalui pancaindera manusia, yaitu penglihatan, pendengaran,

penciuman, rasa, dan raba (Notoatmodjo, 2010).

.Sebagian besar pengetahuan seseorang dipengaruhi melalui

indera pendengaran (telinga) dan indera penglihatan (mata).

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain sangat penting dalam

membentuk tindakan seseorang (overt behavior) (Chandra , 2009).

Menurut (Rogers dalam Notoatmodjo, 2007), pengetahuan dapat

menjadi dasar bagi seseorang sebelum orang tersebut mengadopsi

perilaku. Sehingga pengetahuan merupakan salah satu bagian penting

yang perlu diketahui dalam analisis perilaku seseorang, Berdasarkan

hasil dari wawancara dengan responden, kebanyakan responden yang

berpengetahuan tinggi lebih banyak mendapatkan informasi terkait

boraks dari berita-berita di televisi. Berdasarkan pertanyaan pertama

dari kuesioner yang menanyakan apakah responden pernah

mendengar boraks/pijer/bleng sebanyak 82,4 % responden sebagian

besar pernah mendengar dari televisi. Hal ini didukung oleh penelitian

Habsah (2009) yang menyatakan bahwa penjual yang berpengatahuan

baik cenderung lebih sering melihat tayangan televisi seputar formalin

sehingga pengetahuan yang dimilikinya mengenai formalin dapat

dikatakan cukup memadai.

Berita ditelevisi terkait penemuan makanan berboraks hanya

memberikan informasi satu arah mengenai adanya temuan makanan

berboraks di daerah tertentu dan informasi terkait ciri- ciri makanan

berboraks. Menurut Mubarak televisi merupakan media yang

51
menyajikan pesan-pesan pembelajaran secara audio visual dengan

disertai unsur gerak. Televisi tergolong kedalam media massa.

Kelebihan televis salah satunya medium yang menarik, modern,

menyajikan informasi visual dan lisan secara simultan yang mudah

diterima panca indera, serta sifatnya langsung dan nyata. Namun

televisi memiliki kelemahan yakni sifat komunikasi nya hanya satu arah,

sehingga kurang efektif untuk penyuluhan yang membutuhkan

pendekatan yang mendalam kepada responden (Mubarak, 2007).

Namun disamping responden pernah mendengar mengenai

boraks, responden yang mengentahui kegunaan boraks dan bahaya

boraks adalah 58,8 %. Kebanyakan dari responden masih belum

mengetahui tentang kegunaan boraks yang sesungguhnya, adapun

responden yang mengetahui tentang kegunaan boraks dia hanya

menyebutkan bahwa boraks bukanlah untuk ditambahkan kedalam

bahan makanan. Hal ini menunjukan bahwa pengetahuan responden

belumlah optimal, karena pengetahuan dapat dipengaruhi oleh domain

kognitif. Terbentuknya pengetahuan oleh domain kognitif mempunyai 6

tingkatan, yakni : tahu (know), memahami (comprehension), aplikasi

(application), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi

(evaluation) (Notoatmodjo, 2010). Responden dalam penelitian ini

masih banyak salah dalam pertanyaan tertentu. Hal ini menunjukan

bahwa tingkat pengetahuan responden hanya sampai tingkat tahu

(know). Padahal tahap “ tahu (know) merupakan tingkat pengetahuan

52
yang paling rendah Karena responden hanya bisa menyebutkan dan

menguraikan sedikit.

Sunaryo, (2004) menambahkan bahwa pengetahuan juga

merupakan hasil dari penginderaan manusia terhadap objek tertentu

yang dipengaruhi intensitas, terutama dipengaruhi oleh indera

pendengaran dan penglihatan (Sunaryo, 2004) . Berdasarkan hal

tersebut dapat disimpulkan bahwa pengetahuan yang tinggi tidak

mutlak dipengaruhi pendidikan formal saja melainkan dapat juga

disebabkan oleh proses penginderaan dengan terpaparnya responden

pada informasi-informasi terkait keamanan pangan khususnya batasan

penggunaan boraks untuk bahan tambahan pangan melalui media

massa ataupun media elektronik.

Dalam terjadinya perubahan perilaku, dapat dipengaruhi oleh

penyuluhan dengan komunikasi dua arah. Komunikasi persuasi dua

arah dalam penyuluhan kesehatan dibutuhkan guna mengubah

pengetahuan, sikap dan perilaku secara langsung (Fitriani, 2011).

Namun berdasarkan hasil wawancara kepada responden bahwa

responden 100 % tidak pernah mendapatkan penyuluhan terkait boraks

dari instansi manapun.

Komunikasi dua arah hanya dapat dilakukan melalui penyuluhan

secara langsung (tatap-muka), hal ini dapat dilakukan oleh instansi

terkait. Menurut responden tidak pernah ada penyuluhan tentang

boraks yang dilakukan oleh instansi manapun. Kurangya penyuluhan

tersebut menyebabkan responden tidak mengetahui infomasi tentang

53
kegunaan boraks yang sesungguhnya, bahaya penggunaan boraks

yang melebihi dosis, dan standar ketentuang penggunaan boraks pada

makanan.

Menurut Mubarak, dkk (2007) penyuluhan kesehatan sangat

penting dalam upaya untuk menjebatani adanya kesadaran perilaku

tidak menjual bakso yang mengandung boraks melebihi standar

ketentuannya dan peningkatan pengetahuan masyarakat dibidang

kesehatan. Dengan adanya penyuluhan kesehatan diharapkan

responden dapat memilki tanggung jawab yang lebih besar pada

kesehatan, khususnya keamanan pangan terkait makanan yang

mengandung boraks melebihi dosisnya.

2. Analisis Kandungan Boraks secara Kualitatif dan Kuantitatif


a. Hasil Uji Boraks Secara Kualitatif

Ada beberapa jenis bakso yang dijual dikawasan Pontianak

Timur namun sampel dalam penelitian ini adalah bakso yang

pedagangnya bersedia untuk diwawancarai, dalam penelitian ini

metode yang digunakan untuk uji kualitatif adalah menggunakan

kertas turmerik.

Adapun prosedur yang dilakukan adalah sebagai berikut :

a. Ambil 1 butir bakso

b. Lumatkan bakso kedalam cawan porselin

c. Tambahkan air hingga bakso dapat hancur menjadi seperti

bubur

54
d. Ambil filtratenya dan teteskan pada kertas tumerik

e. Keringkan kertas tumerik tersebut dan amati perubahan

warnanya, apabila warna kertas berubah menjadi jingga sampai

merah coklat maka sampel mengandung boraks, dan apabila

warna kertas tetap bewarna kuning maka sampel tidak

mengandung boraks (Fuad , 2014).

Dari 17 sampel yang dilakukan uji kualitatif dengan

menggunakan kertas tumerik tidak ada sampel yang mengalami

perubahan warna hal ini ditandai dengan warna kertas turmeric

tetap bewarna kuning. Berdasarkan pada uji kuantitatif yang

dilakukan dengan titrasi metode alkalimetri tersebut didapatkan

kadar boraks pada dua bakso yang terdeteksi memiliki kandungan

boraks di daerah Pontianak Timur yaitu sebesar 0,0036 ppm dan

0,0031 ppm. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan dengan Raisani R (2009) didapatkan kadar boraks

berkisar antara 3,76 -117,94 dengan spektofotometri UV-Vis dan

tidak terlihat perubahan warna pada uji kualitatif (Raisarani, 2009).

Hal ini dikarenakan kadar borak yang terkandung pada sampel

makanan terlalu sedikit. Jika ikatan yang terjadi antara kurkumin

dengan asam borat kurang kuat, maka senyawa rososianin hasil

dari reaksi tersebut kurang terbentuk (Fuad , 2014). Oleh sebab itu

pada pengujian kualitatif tidak menghasilkan warna merah

kecoklatan. Hasil tersebut diperkuat penelitian yang dilakukan oleh

Kementrian Riset dan Teknologi di Universitas Negeri Yogyakarta

55
(2013) melaporkan bahwa paper test kit atau uji warna kertas

turmerik dapat mendeteksi kandungan boraks pada makanan jika

kadar minimalnya adalah 200 ppm (Kementerian Riset dan

Teknologi, 2016).

b. Hasil Uji Kuantitatif Boraks dengan Metode Titrimetri

Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa hasil uji kuantitatif

boraks pada sampel bakso dengan berat kedua sampel adalah sama

yaitu 5 gr bakso adalah 0,0036 dan 0,0031 ppm. Berdasarkan

Undang-Undang Kesehatan dan Keselamatan Nasional batasnya

hanya 1 gram per 1 kilogram pangan, ini menunjukan bahwa 1 gram

bakso hanya boleh mengandung 0,001 gr boraks. Berdasarkan hasil

penelitian pada sampel bakso 5 gr menunjukan bahwa kadar boraks

dalam bakso masih aman untuk dikonsumsi karena batas

maksimalnya adalah 0,005 gr. Menurut Ang Swi See (2010) asam

borat dapat menyebabkan keracunan jika kadarnya mencapai 2 g/Kg

pada jaringan hati dan otak, dan bersifat letal jika melebihi 5 g/Kg

pada dewasa dan 3 g/Kg pada neonates (See AS, 2010) .

Menurut Sugiyatmi (2006), mengkomsumsi makanan yang

mengandung boraks tidak langsung berakibat buruk terhadap

kesehatan, tetapi senyawa tersebut diserap dalam tubuh secara

akumulatif dalam hati, otak dan testis (Sugiyatmi , 2006). Dosis yang

cukup tinggi dalam tubuh akan menyebabkan timbulnya gejala

pusing, muntah, mencret dan kram perut. Pada anak kecil dan bayi

56
bila dosis dalam tubuhnya sebanyak 5 gram dapat menyebabkan

kematian. Sedangkan untuk orang dewasa kematian terjadi pada

dosis 10-20 gram. Pengujian secara kuantitatif dengan titrasi asam

basa berupa pemberian HCl 37 % pekat bertujuan agar terjadi reaksi

antara asam klorida pekat dengan boraks. Hasil dari penambahan

HCl pekat menghasilkan produk-produk, salah satunya berupa asam

borat. Adapun reaksinya sebagai berikut :

Na2B4O7 + 2HCl + 5 H2O 4 H3BO3 + 2 NaCl

Asam borat (H3BO3) merupakan asam lemah. Dalam

melakukan proses titrasi diperlukan penambahan manitol agar dapat

melepaskan ion H+ sehingga dapat dititrasi dengan larutan NaOH.

Hasil reaksi ini berupa larutan jernih yang tidak bewarna sehingga

diperlukan penambahan fenolftalin sebagai indikator agar dapat

diamati secara visual.

Campuran asam borat, manitol, dengan fenolftalein, jika dititrasi

dengan NaOH akan menimbulkan merah muda. Larutan merah

muda akam cepat menghilang jika labu Erlenmeyer di gerakan.

Proses titrasi dihentikan sampai tercapai titik ekuivalen yaitu ditandai

dengan adanya warna merah muda yang menetap.

3. Kenampakan Fisik Bakso yang mengandung Boraks

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada bakso yang

mengandung boraks atau tidak diketahui bahwa tidak terdapat suatu

perbedaan yang nyata antara bakso yang mengandung boraks dan

57
yang tidak. Beberapa hal merupakan ciri bakso mengandung boraks

dalam penelitian ini adalah bakso lebih kenyal dan awet/tahan selama 3

hari. makanan yang telah diberi boraks dengan yang tidak atau masih

alami, sulit untuk dibedakan jika hanya dengan panca indera, namun

harus dilakukan uji khusus boraks di Laboratorium (Depkes RI, 2002).

Menurut Putra (2009) ciri yang bisa dilihat untuk membedakan

bakso yang mengandung boraks dan tidak adalah sebagai berikut:

a. Bakso mengandung boraks lebih kenyal dibanding bakso tanpa

boraks.

b. Bakso mengandung boraks bila digigit sedikit lebih keras

dibandingkan bakso tanpa boraks.

c. Bakso mengandung boraks tahan lama atau awet selama 3 hari

sedang yang tidak mengandung boraks dalam 1 hari sudah

berlendir.

d. Bakso mengandung boraks warnanya tampak lebih putih tidak

merata. Bakso yang aman berwarna abu-abu segar merata di

semua bagian, baik di pinggir maupun tengah.

4. Gambaran Tingkat Pengetahuan Pedagang Bakso dengan Analisis

Kandungan Boraks.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diketahui

bahwa 12 pedagang yang memiliki pengetahuan baik, menjual bakso

yang tidak mengandung boraks dan 1 pedagang yang memiliki

pengetahuan baik justru menjual bakso yang mengandung boraks.

58
Berdasarkan penelitian (Habibah , 2013) menunjukan bahwa

tingkat pengetahuan responden berbanding terbalik dengan praktik

penjualan makanan berformalin, begitu juga dengan penelitian Yuniarti,

dkk (2008) juga menunjukan bahwa responden dengan tingkat

pengetahuan baik sebesar 78,6 % justru melakukan praktik penjualan

makanan berfomalin (Yuniarti, 2008) . Sama halnya dengan penelitian ini

salah satu pedagang yang memiliki pengetahuan yang baik justru malah

melakukan penjualan bakso berboraks pada bakso. Dengan demikian

pengetahuan yang tinggi tentang bakso berboraks tidak berarti

menunjukan tidak adanya bakso yang mengandung boraks yang dijual,

karena banyak faktor yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang

selain pengetahuan.

Menurut (Lawrence Green dalam Notoatmodjo 2010)

menganalisis, bahwa faktor perilaku sendiri ditentukan oleh 3 faktor

utama, yaitu: faktor predisposisi (disposing factors), faktor pemungkin

(enabling factors), faktor penguat (reinforcing factors). Dalam kaitannya

dengan penelitian ini pedagang yang memiliki pengetahuan yang tinggi

mengenai boraks justru masih menggunakannya dalam membuat bakso,

hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor pemungkin (enabling factors) yaitu

seperti ketersediaan fasilitas dan sumber daya manusia (SDM).

Ketersediaan fasilitas adalah salah satu faktor pemungkin perilaku

yang mendukung suatu motivasi atau aspirasi terlaksana. Misalnya untuk

terjadinya perilaku penjualan makanan berboraks selain dari

pengetahuan dan sikap juga diperlukan fasilitas took-toko yang menjual

59
boraks (Notoatmodjo, 2010). Selain itu diperlukan ketersediaan SDM

seperti tenaga kesehatan untuk melakukan pemeriksaan berkala terkait

masalah kesehatan termasuk keamanan pangan untuk makanan

berboraks yang beredar di masyarakat. Pengetahuan dan sikap saja

belum menjamin terjadinya perilaku, masih diperlukan sarana atau

fasilitas untuk memungkinkan atau mendukung perilaku tersebut

(Notoatmodjo, 2010).

Kemudian perilaku ini juga dapat dipengaruhi faktor penguat

(reinforcing factors) salah satunya adalah kurangnya pengawasan

petugas kesehatan, sebagaimana diketahui bahwa faktor penguat

merupakan faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya

perilaku. Maka dalam hal ini, terjadinya perilaku menjual bakso

berboraks dapat dipengaruhi oleh ada atau tidaknya pengawasan dari

petugas kesehatan terkait peredaran makanan berboraks dipasaran.

Dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh (Hartati, 2007),

menyatakan bahwa peran dinas kesehatan sangat sangat penting

khususnya dalam pengawasan dan pengendalian penggunaan formalin .

Sama halnya dengan boraks dapat menjadi masalah jika disalah

gunakan melebihi standar ketentuannya. Sebab dapat berbahaya bagi

kesehatan. Menurut Undang- Undang Kesehatan dan Keselamatan

Nasional bahwa batasnya hanya 1 gram/kg pangan . Hukuman bagi

para oknum penyalahgunaan zat berbahaya dalam produk pangan di

Indonesia sesuai dengan pasal 4 UU Perlindungan konsumenn No 8

tahun 1999 menyatakan bahwa konsumen memiliki hak. Salah satu hak

60
dari konsumen tersebut dinyatakan dalam pasal 4 huruf a yitu hak atas

kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan atau jasa. pelanggaran terhadap kesehatan konsumen dapat

dikenakan hukuman maksimal 5 tahun dengan denda hingga Rp 2

milyar.

61
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Berdasarkan hasil uji kualitatif dengan metode kertas tumerik 17

sampel bakso yang dijual di kawasan Pontianak Timur negatif

mengandung boraks yang ditandai dengan warna kertas tumerik

tetap bewarna kuning.

2. Berdasarkan hasil uji kuantitatif terhadap 2 sampel bakso yang

positif mengandung boraks yang ternyata kadar boraks pada 5

gram sampel bakso adalah 0,0036 dan 0,0031 ppm.

3. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan yang merupakan ciri

bakso mengandung boraks dalam penelitian ini adalah bakso

lebih kenyal dan awet/tahan selama 3 hari.

4. Tingkat pengetahuan pedagang bakso di daerah Pontianak Timur

adalah sebesar 76,5% kategori pengetahuan baik dan 23,5 %

kategori pengetahuan kurang.

B. Saran

1. Perlunya dilakukan penyuluhan dan sosialisasi mengenai bahan

tambahan pangan baik melalui media cetak maupun media

elektonik oleh Dinas terkait ataupun Puskesmas setempat.

2. Perlu adanya pengawasan oleh Dinas tekait terhadap produk

makanan jajanan agar tidak ada lagi pelanggaran yang dilakukan

oleh pelaku usaha makanan jajanan

62
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai uji kualitatif dan

uji kuantitatif boraks pada bakso dengan metode atau instrument

yang lain agar bisa mendeteksi secara pasti kadar boraks dalam

bakso yang positif mengandung boraks.

63
DAFTAR PUSTAKA

Aminah. (2006). Pengetahuan Keamanan Pangan Penjual Makanan


Jajanan di Lingkungan Sekolah Kelurahan Wonodri Kecamatan
Semarang Selatan. Universitas Muhammadiyah , volume 4 nomor 19.

BPOM. (2013). Laporan Tahunan Makanan Jajanan yang Mengandung


Boraks. Pontianak: Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan .
Budiyanto. (2001). Dasar- Dasar Ilmu Gizi. Malang: Universitas
Muhammadiyah Malang.

Cahyadi . (2008). Analisis dan aspek Kesehatan Bahan Tambahan


Pangan. jakarta: Edisis kedua Bumi Aksara.

Chandra .(2009). Gambaran Pengetahuan Wanita Tentang SADARI


Sebagai Deteksi Dini Kanker Payudara di Kelurahan Petisah Tengah.
Medan: Universitas Sumatra Utara.

Depkes R. I. (2002). Pedoman Penggunaan Bahan Tambahan Pangan.


Jakarta: Kementrian Kesehatan.

Eka . (2013). Rahasia Mengetahui Makanan Berbahaya . Jakarta: Titik


Media Publisher.

Fitriani. (2011). Promosi Kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Fuad .(2014). Identifikasi Kandungan Boraks pada Tahu Pasar Tradisional


di Daerah Ciputat. UIN Syarif Hidayahtullah: UIN Syarif Hidayahtullah.

Habibah . (2013). Identifikasi Penggunaan Formalin pada Ikan Asin dan


Faktor Perilaku Penjual di Pasar Tradisional. Semarang: Universitas
Negeri Semarang.

Hartati. (2007). Analisis Manajemen Pengewasan dan Pengendalian


Penyalahgunaan Formalin di Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional , Vol. 2 .

64
Kemenkes RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
33 Tahun 2012: Tentang Bahan Tambahan Makanan.
hhtp://jdih.pom.go.id

Kementerian Riset dan Teknologi. (2016). Artikel Paper Test Kits


Sederhana Untuk Analisis Kadar Boraks Dalam Makanan . Kemenkes:
www.ristek.go.id.

Marwanti. (2010). Keamanan Pangan dan Penyelenggaraan Makanan.


Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Mubarak. (2007). Promosi Kesehatan Sebuah Pengantar Proses Belajar


Mengajar Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Notoatmodjo. (2003). Promosi Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Notoatmodjo. (2005). Promosi Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Notoatmodjo. (2010). Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasinya . Jakarta:


Rineka Cipta.

Raisarani. (2009). Penetapan Kadar Boraks pada Mie Basah yang


beredar di Pasar Ciputat dengan Metode Spektofotometri UV- Vis . UIN
Syarif Hidayatullah: UIN Syarif Hidayatullah.

Rasyid. (2011). Bahaya dari Jajanan di sekolah. Jakarta: syifa .

Rohman. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Saparinto C Hidayati D. (2006). Bahan Tambahan Pangan . Yogyakarta:


Gadjah Mada.

See AS. (2010). Risk and Health Effect of Boric Acid . American Journal ,

620-627.

Simpus. (2005). Bahaya Boraks . Jakarta: Intisari Pustaka Utama.

65
Sugiyatmi . (2006). Analisis Faktor - Faktor Resiko Pencemaran Bahan
Toksik Boraks dan Pewarna Makanan Jajanan Traisional yang di Jual
Pasar Kota Semarang . Semarang: Universitas Diponerogo.

Sultan H. (2002). Apa dan mengapa Boraks dalam makanan . penyehatan


air dan sanitasi (PAS) , VOL IV nomor 7.

Sunaryo. (2004). Psikologi Untuk Keperawatan . Jakarta: EGC University


Press.

Wibowo. (2000). Industry Pemindangan Ikan. Jakarta: Penebar Swadaya.

Widyaningsih, T.D dan Murtini, ES. (2006). Alternatif Pengganti Formalin


pada Produk Pangan . Jakarta: Trubus Agrisarana.

Yuliarti N. (2007). Awas Bahaya di Balik Lezatnya Makanan. Yogyakarta:


Andi.

Yuniarti. (2008). Pengetahuan dan Sikap Produsen Ikan Asin Tentang


Formalin dan Keberadaan Formalin Pada Ikan Asin . Semarang:
Universitas Negeri Semarang.

66
Lampiran 1. Kuesioner Penelitian

KUESIONER PENELITIAN
GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN PEDAGANG BAKSO
TENTANG BORAKS DI KECAMATAN PONTIANAK TIMUR

I. IDENTITAS RESPONDEN
1. No. responden :
2. Nama Responden :
3. Umur :
1. Remaja (17-25 )
2. Dewasa ( 26-45)
3. Lansia ( 46-65)

4. Pendidikan :

1.Rendah (SD,SMP)
2.Tinggi (SMA,PT)

5. Pendapatan : 1. < 500.000,00

2.≥ 500.000,00

67
No. Pertanyaan Jawaban
Ya Tidak
1. Pernahkah bapak/ibu
mendengar
boraks/pijer/bleng?
2. Tahukah bapak/ibu tentang
kegunaan
boraks/pijer/bleng?
3. Apakah bapak/ibu
menambahkan obat dalam
membuat bakso?
4. Menurut bapak/ibu apakah
dalam pembuatan bakso
boraks perlu ditambahkan ?
5. Apakah bapak/ibu tahu
bahaya dari penggunaan
boraks yang melebihi dosis ?
6. Menurut bapak/ibu apakah
dengan menambahkan
boraks yang melebihi dosis
ke dalam bakso dapat
mengalami gangguan
kesehatan?
7. Menurut bapak/ibu apakah
mengkonsumsi bakso yang
mengandung
boraks/pijer/bleng yang
melebihi dosis akan
mengalami keracunan?
8. Jika sudah mengetahui
bahaya boraks jika
ditambahkan dengan dosis
yang melebihi standar
ketentuan apakahmasih
menggunakannya dalam
dagangan dengan dosis
yang tidak sesuai?
9. Apakah pernah mendengar
bahwa boraks diizinkan
digunakan dalam makanan
dengan dosis 1gr/kg bahan
makanan ?
10. Apakah bapak/ibu pernah
mendapatkan penyuluhan
mengenai standar
penggunaan
boraks/pijer/bleng untuk
makanan dari BPOM/
instansi lainnya?

68
Lampiran 2. Inform Concent

PERSETUJUAN (INFORMED CONSENT )

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama :

Umur :

Alamat :

Menyatakan bahwa :

1. Saya telah mendapat penjelasan segala sesuatu mengenai

penelitian : “ Gambaran Tingkat Pengetahuan Pedagang

Bakso dan Analisis Kandungan Boraks pada Bakso di

Pontianak Timur “.

2. Setelah saya memahami penjelasan tersebut, dengan penuh

kesadaran dan tanpa paksaan dari siapapun bersedia ikut

serta dalam penelitian ini dengan kondisi:

a. Data yang diperoleh dari penelitian ini akan dijaga

kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk kepentingan

ilmiah.

b. Apabila saya inginkan, saya boleh memutuskan untuk

tidak berpartisipasi lagi dalam penelitian ini.

Pontianak, Tahun 2017

Responden

(..…………….)

69
Lampiran 4. Dokumentasi

DOKUMENTASI

Pembuatan kertas turmerik

Uji Kualitatif

Kertas Turmerik dengan Positif Boraks

70
Uji Kuantitatif dengan Titrasi

Ciri fisik bakso yang berboraks dan tidak berboraks.

Hari ke 1

Hari ke 2

71
Hari ke 3

Tidak berboraks

Hari ke 1

72
Hari ke 2

Hari ke 3

73
Lampiran 5. Hasil Pengolahan Data

HASIL PENGOLAHAN DATA

Kelompok_umur pedagang

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Remaja 3 17.6 17.6 17.6

Dewasa 13 76.5 76.5 94.1

Lansia 1 5.9 5.9 100.0

Total 17 100.0 100.0

Jenis_Kelamin

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid LAKI 11 64.7 64.7 64.7

PEREMPUAN 6 35.3 35.3 100.0

Total 17 100.0 100.0

TKT_PDDK

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid RENDAH 7 41.2 41.2 41.2

TINGGI 10 58.8 58.8 100.0

Total 17 100.0 100.0

74
Pendapatan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid <500.000 7 41.2 41.2 41.2

>500.000 10 58.8 58.8 100.0

Total 17 100.0 100.0

tkt_pengetahuan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Kurang 4 23.5 23.5 23.5

Baik 13 76.5 76.5 100.0

Total 17 100.0 100.0

Statistics

nilai

N Valid 17

Missing 0

Mean 67.6471

Mode 80.00

Minimum 30.00

Maximum 80.00

Sum 1150.00

Percentiles 25 65.0000

50 80.0000

75 80.0000

75
Nilai

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 30 3 17.6 17.6 17.6

60 1 5.9 5.9 23.5

70 4 23.5 23.5 47.1

80 9 52.9 52.9 100.0

Total 17 100.0 100.0

tkt_pengetahuan * Hasil_lab Crosstabulation

Count

Hasil_lab

negatif positif Total

tkt_pengetahuan kurang 3 1 4

Baik 12 1 13

Total 15 2 17

76

Anda mungkin juga menyukai