Anda di halaman 1dari 15

Penanganan Trauma Dentoalveolar pada Anak

(Studi Pustaka)
Management of Dentoalveolar Trauma in Children
(Literature Review)
Jenadi Binarto*, Agus Nurwiadh**,
*Resident, Department of Oral and Maxillofacial Surgery, RSUP Dr. Hasan Sadikin,
Faculty of Dentistry, Padjadjaran University, Bandung 40161, Indonesia
**Department of Oral and Maxillofacial Surgery, RSGM, Faculty of Dentistry, Padjadjaran
University, Bandung, Indonesia
Email : drg.jenadi@live.com
___________________________________________________________________________
Abstrak

Pendahuluan: Sekitar 25% anak sekolah mengalami trauma dentoalveolar. Hal ini disebabkan

karena anak lebih aktif, koordinasi keseimbangannya yang kurang, serta masa tumbuh kembang

mental anak. Penanganan trauma dentoalveolar pada anak berbeda dengan orang dewasa karena

struktur gigi peralihan, sehingga diperlukan pemahaman indikasi, kontraindikasi dan metode

penanganan yang tepat. Tujuan studi pustaka ini adalah untuk mendiskusikan perawatan fraktur

dentoalveolar pada anak agar tidak mengganggu pertumbuhan dan perkembangan geligi dan

rahang.

Telaah Pustaka: Trauma dentoalveolar secara umum terbagi menjadi 3: Fraktur dan luksasi

gigi permanen, avulsi gigi permanen, dan cedera gigi sulung. Selain itu, diperlukan pula

identifikasi adanya keterlibatan fraktur pada tulang alveolar. Kehilangan gigi saat terjadi

trauma, patut dicurigai adanya avulsi yang mungkin saja terpendam ataupun tertelan, sehingga

memerlukan pemeriksaan radiologis panoramik dan thoraks. Prinsip penanganannya meliputi

reduksi-fiksasi-imobilisasi dengan indikasi dan kontraindikasinya tanpa mengganggu

pertumbuhan dan perkembangan geligi dan rahang.

Pembahasan: Penanganan trauma dentoalveolar pada anak diperlukan pemeriksaan yang

cermat dari anamnesa, pemeriksaan objektif, dan pemeriksaan penunjang untuk mengetahui
secara pasti keadaan gigi geligi, terutama jika masih ada benih gigi permanen. Tatalaksananya

meliputi medikamentosa untuk pencegahan infeksi, manajemen trauma geligi untuk

pengembalian fungsi dan estetik semaksimal mungkin, serta follow up penanganan yang

berkelanjutan dari berbagai spesialisasi untuk mendapatkan hasil yang baik.

Kesimpulan: Penanganan trauma dentoalveolar pada anak memerlukan perhatian khusus

karena adanya kondisi gigi peralihan sehingga penggunaan alat splinting perlu

mempertimbangkan pertumbuhan dan perkembangan geligi dan rahang.

Kata kunci: Trauma Dentoalveolar, Gigi peralihan, Tumbuh kembang anak

___________________________________________________________________________

Abstract

Introduction: About 25% of school children had a dentoalveolar trauma. This is because

children is more active, lack of balance coordination, and children mental development.

Management of dentoalveolar trauma in children differs from adult because of mixed dentition

condition. It is important to determine the indications, contraindications, and correct methods

of treatment. The aim of this literature review is to discuss the treatment of dentoalveolar

fracture in children in order to not interfering the development of teeth and jaw.

Literature Review: Dentoalveolar trauma is mainly divided into 3: Fracture and luxation of

permanent teeth, avultion of permanent teeth, and injuries of primary teeth. It is also important

to identify any possibilities of alveolar bone fracture. Losing tooth on trauma should also be

concerned that the avulsed tooth might be burried or swallowed, so further examination like

panoramic and thorax x-ray should be performed. Management priniciples are reduction-

fixation-immobilization with its indications and contraindications without interfering the

development of teeth and jaw.

Discussion: Management of dentoalveolar trauma in children requires comprehensive

anamnesis, objective examination and complementary examination to precisely identify all


teeth conditions, especially the existence of unerupted permanent teeth. These treatments

include medication to prevent infection, restoring tooth esthetics and functions, and follow up

for further treatment with multi specialists to achieve best result.

Conclusion: Management of dentoalveolar trauma in children need special attention because

of mixed dentition condition. So it is important to consider that the use of splinting device

doesn’t interfering the development of teeth and jaw.

Keywords: Dentoalveolar trauma, Mixed dentition, Children development

___________________________________________________________________

1. Pendahuluan

Trauma dentoalveolar dapat menimbulkan efek yang negatif pada anak baik dari segi

fungsional, estetik dan psikologis.1 Trauma dentoalveolar banyak terjadi pada anak usia pra

sekolah ataupun usia sekolah, serta pada anak remaja. Dari studi selama 12 tahun,

ditemukan bahwa 25% anak usia sekolah mengalami trauma gigi dan 33% orang dewasa

mengalami trauma pada pergantian gigi permanen, dengan mayoritas kejadian cedera

adalah sebelum usia 19 tahun.2 Insiden trauma gigi susu terbanyak terjadi pada usia 2-3

tahun, yakni merupakan masa pertumbuhkembangan koordinasi motorik anak.1 Cedera

yang terbanyak pada trauma dentoalveolar saat gigi sulung adalah cedera luksasi,

sedangkan pada saat gigi permanen adalah fraktur mahkota. Penyebab yang paling umum

dari trauma dentoalveolar ini antara lain kecelakaan akibat terjatuh, kecelakaan lalu lintas,

kekerasan, dan olahraga.1

Penanganan trauma dentoalveolar pada anak berbeda dengan orang dewasa, karena anak

seringkali sulit untuk dilakukan pemeriksaan dan penanganan karena tidak kooperatif akibat

dari rasa takut.3 Hal ini seringkali menimbulkan kecemasan baik terhadap anak maupun

pada orang tua.3 Selain itu secara anatomis, penanganan dentoalveolar pada anak perlu

mempertimbangkan suatu kondisi gigi peralihan.3


2. Prosedur Pemeriksaan & Rencana Perawatan Trauma Dentoalveolar pada Anak

Panduan penanganan trauma dentoalveolar telah disusun rekomendasinya oleh

International Association of Dental Traumatology (IADT) yang disepakati oleh American

Academy of Pediatric Dentistry (AAPD) yang pertama kali dipublikasikan pada tahun 2001

dan diperbarui secara periodik hingga terbarunya di tahun 2012. 1-4 Panduan penanangan

trauma dentoalveolar secara umum terbagi menjadi 3 bagian yakni:1-4

1. Fraktur dan luksasi pada gigi permanen

2. Avulsi pada gigi permanen

3. Cedera pada pertumbuhan gigi sulung

Rekomendasi umum dari penanganan trauma dentoalveolar meliputi: Riwayat kejadian

trauma (anamnesa), pemeriksaan klinis, pemeriksaan radiografis, rencana perawatan sesuai

jenis trauma, durasi dan tipe splinting, penggunaan antibiotik, dan anti tetanus.1-5

2.1 Pemeriksaan Subjektif

Pemeriksaan subjektif (anamnesa) merupakan hal yang penting dilakukan dalam

penanganan trauma dentoalveolar. Anamnesa ini meliputi identitas pasien, waktu dan

tempat kejadian, mekanisme kejadian, riwayat penanganan sebelumnya, serta riwayat

penyakit sistemik dari pasien.5 Hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam identitas pasien

adalah usia pasien, apakah masih merupakan masa pertumbuhan gigi sulung, gigi peralihan

atau gigi permanen, selain itu faktor tumbuh kembang dari mental pasien.5 Waktu kejadian

juga menjadi data yang penting terutama untuk penanganan replantasi gigi avulsi, namun

juga penting untuk pertimbangan penanganan fraktur dentoalveolar lainnya dan fraktur

tulang.5 Keterlambatan penanganan sejak waktu kejadian menjadi pertimbangan khusus

pada kemungkinan infeksi, kerusakan jaringan periodontal dan pulpa, sehingga bisa saja

mempengaruhi rencana perawatan.5


2.2 Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan klinis dilakukan secara menyeluruh baik pada daerah jaringan yang

mengalami cedera maupun jaringan yang ada di sekitarnya. Secara umum, prosedur

pemeriksaan ini adalah untuk memeriksa adanya: Cedera extra oral dan palpasi pada tulang

wajah, mukosa mulut dan gusi, fraktur pada mahkota, pulpa yang terbuka, ataupun

perubahan warna gigi, displacement gigi (intrusi, ekstrusi, luksasi lateral, avulsi), gangguan

pada oklusi, pergerakan gigi ataupun fragmen alveolar yang abnormal, nyeri pada perkusi

gigi ataupun perubahan suara perkusi gigi, dan reaksi sensitif pada tes vitalitas gigi.5

2.3 Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang yang penting pada trauma

dentoalveolar, karena pemeriksaan ini dapat membantu mengetahui adanya fraktur

dentoalveolar pada gigi serta garis frakturnya untuk menentukan rencana perawatan yang

sesuai. Adapun pemeriksaan radiologis yang direkomendasikan antara lain: Foto periapikal

dengan sudut horisontal 90˚, Foto Oklusal, Foto periapikal sesuai sudut angulasi gigi, dan

Cone Beam Computerized Tomography (CBCT) dapat memberikan modalitas terbaik

karena dapat memberikan gambaran 3 dimensi yang spesifik dan akurat. 1

2.4 Rencana Perawatan

A. Fraktur dan Luksasi Gigi Permanen

Fraktur dan luksasi gigi permanen dapat ditemui pada usia dewasa maupun anak di

usia peralihan. Prioritas dari perawatan adalah berusaha mempertahankan gigi, karena

ekstraksi gigi permanen pada usia pertumbuhan, dapat mempersulit manajemen

pembuatan gigi tiruan, dikarenakan rahang anak yang masih bertumbuh.5 Selain itu,

klinisi perlu mempertimbangkan faktor psikososial anak selama masa sekolah. Adapun

manajemen fraktur gigi permanen dirinci dalam tabel 1 sebagai berikut.2


Tabel 1. Macam Fraktur dan luksasi gigi Permanen dan Penatalaksanaannya2

No Gambar Macam Keterangan Penanganan

Fraktur / retak pada


• Tidak membutuhkan penanganan khusus
Infraksi enamel tanpa
1 • Melapisi gigi menggunakan resin
Mahkota hilangnya struktur
gigi • Tidak diperlukan follow up

• Restorasi komposit pada enamel


Fraktur dan • Atau menyambung bagian enamel yang
Fraktur
2 hilangnya lapisan patah bila ada
Enamel
enamel gigi • Follow up 6-8 minggu & 1 tahun untuk
evaluasi pulpa

• Restorasi komposit atau


Fraktur dan
Fraktur menyambungkan fragmen gigi patah
hilangnya lapisan
3 Enamel- • Patahan yang dalam, dapat diberikan
enamel hingga
Dentin kalsium hidroksida sebagai basis
dentin gigi
• Follow up 6-8 minggu dan 1 tahun

Fraktur yang • Akar imatur: dilakukan pulp capping


Fraktur melibatkan menggunakan Kalsium Hidroksida atau
Enamel- keseluruhan tindakan pulpotomi sebagian
4
Dentin- struktur gigi dari • Akar matur: disarankan dilakukan
Pulpa enamel hingga perawatan endodontik
dentin dan pulpa • Follow up 6-8 minggu dan 1 tahun

• Membuang fragmen patah


• Gingivektomi & osteoplasty untuk
mencapai batas kontur
Fraktur melibatkan
Fraktur • Reposisi ke arah koronal menggunakan
struktur mahkota
Mahkota- ortodontik ataupun ekstrusi surgikal
hingga akar gigi,
5 Akar tanpa
namun tidak • Setelah berada pada posisi yang lebih
keterlibatan koronal dapat dilakukan restorasi
mengenai struktur
pulpa menggunakan mahkota jaket
pulpa
• Fragmen yang patah terlalu jauh ke
apikal, disarankan untuk dicabut dan
diganti dengan restorasi implan gigi

Fraktur
Mahkota- Fraktur dari • Pembuatan restorasi sesuai dengan
Akar mahkota hingga dengan no.5
6
dengan akar dan mengenai • Manajemen pulpa mengikuti no.4
keterlibatan jaringan pulpa gigi • Indikasi ekstraksi sesuai no.5
pulpa
• Reposisi segmen koronal segera
• Memastikan posisi normal dengan
radiografis
• Stabilisasi dengan flexible splint selama
Fraktur pada akar
4 minggu, namun pada fraktur akar yang
Fraktur sehingga terdapat
7 dekat ke servikal gigi perlu waktu hingga
Akar segmen koronal-
4 bulan
apikal
• Follow up hingga 1 tahun
• Apabila pulpa nekrosis, maka dilakukan
perawatan endodontik pada segmen
koronal hingga batas fraktur
Fraktur melibatkan
tulang alveolar, • Reposisi segmen
terdapat segmen • Seringkali membutuhkan anestesi umum
Fraktur
8 yang bergerak dan untuk anak
Alveolar
melibatkan • Splinting selama 4 minggu
beberapa gigi • Penjahitan laserasi gusi
bergerak bersama

Gigi menjadi • Tidak ada tindakan khusus pada kondisi


sensitif pada trauma ini
9 Konkusio
sentuhan ataupun
perkusi

Gigi mengalami • Tidak diperlukan tindakan khusus


10 Subluksasi
mobilitas akibat • Dapa juga dilakukan flexible splint
kerusakan jaringan hingga 2 minggu
periodontal

• Reposisi perlahan ke soket


Gigi tampak lebih
ke arah koronal dan • Stabilisasi menggunakan flexible splint
11 Ekstrusi selama 2 minggu
dapat juga disertai
mobilitas

Gigi tampak • Reposisi dengan jari atau tang cabut


displaced disertai (forceps)
Luksasi
12
lateral
dengan mobilitas • Stabilisasi menggunakan flexible splint
dan kerusakan pada selama 4 minggu
tulang alveolar
• Intrusif >7mm:
o Gigi imatur: reposisi ortodontik /
surgikal
Gigi tampak o Gigi matur: reposisi surgikal
terdesak ke arah • Intrusif 2-3mm:
apikal, lebih o Observasi erupsi kembali
13 Intrusi pendek daripada o Bila 2-4 minggu tidak terjadi
gigi sekitarnya, pergerakan, maka dilakukan reposisi
biasanya tidak sesuai kondisi gigi matur/imatur.
disertai mobilitas
• Setelah gigi tereposisi, dilakukan
stabilisasi menggunakan flexible splint
selama 4-8 minggu
B. Avulsi pada Gigi Permanen

Secara umum penatalaksanaan avulsi pada gigi permanen ini dibagi menjadi 3

kelompok kategori berdasarkan kondisi ligamen periodontalnya:4

a. Sel periodontal ligamen (PDL) yang kemungkinan besar viabel, yakni kondisi

dimana gigi dilakukan replantasi segera setelah kejadian.

b. PDL yang mungkin viabel namun terkompromi, yakni pada kondisi dimana gigi

yang lepas disimpan dalam media yang baik dan waktu replantasi <60 menit.

c. PDL yang non viabel, yakni pada kondisi dimana gigi yang terlepas dalam

kondisi yang kering dan waktu replantasi <60 menit.

Penatalaksanaan avulsi gigi permanen bergantung pada kondisi apeks gigi yang

telah menutup atau belum menutup. Penatalaksanaan umum dari avulsi gigi antara lain:

pemberian antibiotik sistemik, pemberian anti tetanus sesuai kebutuhan, serta

penjahitan laserasi gusi. Sedangkan manajemen khusus lainnya dirinci dalam tabel 2

sebagai berikut.4
Tabel 2. Manajemen khusus avulsi gigi permanen sesuai kondisi PDL4
Apex
No PDL Penanganan Penanganan Khusus
Gigi
• Membersihkan area gigi yang Endodontik dilakukan 7-10 hari
tereplantasi menggunakan air Gigi
setelah replantasi dan sebelum
spray, saline atau chlorhexidine Matur
PDL pelepasan splint
1 • Verifikasi posisi gigi dengan
Viabel
radiografis Endodontik dilakukan bila
Gigi
• Stabilisasi dengan flexible splint revaskularisasi pulpa tidak
Imatur
hingga 2 minggu terjadi

• Membersihkan akar gigi dan Endodontik dilakukan 7-10 hari


foramen apikal menggunakan Gigi
setelah replantasi dan sebelum
saline mengalir Matur
pelepasan splint
• Irigasi soket menggunakan saline,
bersihkan dari gumpalan darah
PDL • Anestesi Lokal • Penggunaan antibiotik
2 mungkin • topikal pada gigi dapat
Memeriksa soket apakah terdapat
viabel membantu kemungkinan
fragmen dinding soket yang
Gigi berhasil dari revaskular-isasi
menghalangi
Imatur pulpa.
• Replantasi dengan lembut tanpa
• Endodontik dilakukan bila
tekanan
revaskularisasi pulpa tidak
• Stabilisasi menggunakan flexible
terjadi
splint selama 2 minggu
• Membersihkan jaringan PDL yang
non viabel secara lembut
Endodontik dapat dilakukan
menggunakan kassa (perlu studi Gigi
sebelum ataupun sesudah
lanjut Matur
replantasi.
• Irigasi soket menggunakan saline,
PDL bersihkan dari gumpalan darah
3 tidak • Anestesi Lokal
viabel • Memeriksa soket apakah terdapat
fragmen dinding soket yang Endodontik dilakukan bila
menghalangi Gigi
revaskularisasi pulpa tidak
• Replantasi gigi Imatur
terjadi
• Stabilisasi menggunakan flexible
splint selama 4 minggu

C. Cedera pada Pertumbuhan gigi Sulung

Hal yang penting diperhatikan pada cedera gigi sulung adalah kondisi gigi

peralihan anak, karena trauma dentoalveolar ini bisa saja mempengaruhi pertumbuhan

gigi permanen ataupun menimbulkan kelainan lainnya. Selain itu penanganan gigi

sulung cenderung sederhana dan cepat, hal ini disebabkan karena kondisi mental anak

yang menyulitkan jalannya perawatan gigi.3

Tabel 3. Manajemen cedera pada gigi sulung3

No Gambar Macam Penanganan

• Tidak ada penanganan khusus


Fraktur
1 • Menghaluskan permukaan patahan gigi yang
Enamel
kasar

Fraktur
• Restorasi menggunakan glass ionomer (GI) atau
2 Enamel-
komposit
Dentin

Fraktur • Aplikasi kalsium hidroksida atau pulpotomi


Mahkota parsial
3 dengan • Restorasi GI atau komposit
keterlibatan • Ekstraksi adalah pilihan terakhir apabila kondisi
pulpa mental anak tidak dapat menjalani perawatan

Fraktur
Mahkota- • Indikasi ekstraksi
Akar • Pada kondisi fragmen patahan hanya melibatkan
4 dengan atau sebagian kecil dari mahkota dan akar, dapat
tanpa dilakukan pembuangan segmen yang patah saja
keterlibatan dan dilakukan restorasi gigi.
pulpa
• Tidak terjadi displaced pada fragmen koronal:
tidak perlu dilakukan tindakan
• Terjadi displaced|: reposisi dan splint dapat
Fraktur
5 dipertimbangkan.
Akar
Apabila tidak memungkinkan maka dilakukan
pengambilan fragmen koronal saja, dan
meninggalkan fragmen apikal untuk diresorpsi

• Seringkali membutuhkan anestesi umum


Fraktur
6 • Reposisi pada segmen yang displaced
Alveolar
• Splint selama 4 minggu

• Tidak ada perawatan khusus


7 Konkusio
• Observasi dan kontrol secara berkala

• Tidak ada perawatan khusus


• Observasi
8 Subluksasi • Edukasi untuk menyikat gigi dengan sikat lembut
• Aplikasi chlorhexidine 0.12% bebas alkohol pada
area gigi 2 kali sehari selama seminggu.

• Ekstrusi <3mm: Reposisi dengan hati-hati atau


membiarkan gigi dengan harapan terjadinya
9 Ekstrusi
perbaikan spontan.
• Ekstrusi yang besar: dilakukan pencabutan

• Displacement minimal
o Tidak ada gangguan oklusi: tidak perlu
dilakukan tindakan
Luksasi
10 o Ada gangguan oklusi: Grinding pada oklusal
lateral
o Gangguan oklusi yang besar: Reposisi lembut
dengan anestesi lokal.
• Displacement besar: dilakukan pencabutan

• Intrusi gigi ke arah labial dan tidak mengganggu


gigi permanen: Gigi dibiarkan untuk reposisi
11 Intrusi secara spontan
• Intrusi mengenai gigi permanen: Indikasi untuk
dilakukan pencabutan

Tidak direkomendasikan untuk replantasi gigi


12 Avulsi
sulung
2.5 Durasi dan Tipe Splinting

Secara umum splinting terbagi menjadi 2 kelompok, yakni flexible splinting dan Rigid

/ Semi-Rigid splinting.6-8 Manajemen trauma dentoalveolar mayoritas menggunakan

flexible splinting1-4, karena memiliki kemampuan yang baik menyerupai kondisi mobilitas

fisiologis dari gigi yang dapat membantu penyembuhan ligamen periodontal.6 Flexible

splint merupakan splint dengan kekuatan pasif yang dapat mempertahankan gigi pada

posisinya, splint jenis ini yang paling direkomendasikan hingga saat ini adalah Titanium

Trauma Splint (TTS), karena selain kemampuan materialnya, TTS relatif tipis (0,2mm)

sehingga mudah untuk dibentuk sesuai lengkung gigi, mudah aplikasinya, dan memiliki

kenyamanan yang baik.6-8 Adapun yang termasuk dalam macam flexible splinting antara

lain: Wire-Composite Splint (Ø <0,3-0,4mm), Fibre Splint, TTS (Gambar 1).6-8

Gambar 1. Macam Flexible Splint: (A) Wire-composite splint (diameter <0,3-0,4mm), (B) Fibre Splint,
(C) Titanium Trauma Splint (Paling direkomendasikan)6-8

Rigid splinting adalah splint yang memiliki kemampuan fleksibilitas yang rendah dan

lebih kaku serta lebih kuat dalam mempertahankan fiksasi. Splint jenis ini dapat digunakan

untuk fiksasi yang membutuhkan kekuatan yang kebih besar, misalnya pada kasus cedera

tulang alveolar.7,8 Beberapa macam Rigid splinting antara lain: Composite Splint, Wire

Ligature, Archbar Splint, Orthodontic Wire-Bracket Splint (Ø >0,4mm), Titanium Ring

Splint (Gambar 2).6-8


Gambar 2. Macam Rigid Splint: (A) Wire Ligature Splint (B) Archbar Splint, (C) Titanium Ring Splint
(D) Composite Splint (E) Orthodontic Wire-Bracket Splint 6-8

Durasi splinting sebaiknya sesuai dengan jenis trauma dentoalveolarnya menurut

rekomendasi IADT (Tabel 4).6 Rekomendasi ini telah disusun dan diperbarui secara

periodik menurut hasil follow up dari berbagai pasien trauma dentoalveolar. Durasi yang

direkomendasikan merupakan yang paling ideal, sebab splint yang terlalu lama dapat

memicu timbulnya ankilosis.

Tabel 4. Rekomendasi IADT Durasi dan Tipe Splint untuk Cedera Dentoalveolar6

Tipe Cedera Durasi Splint Tipe Splint


Subluksasi 2 minggu Fleksibel
Ekstrusi 2 minggu Fleksibel
Luksasi lateral 4 minggu Fleksibel
Intrusi 4 minggu Fleksibel
Fraktur Akar 4 minggu Fleksibel
Fraktur Akar 1/3 cervical 4 bulan Fleksibel
Avulsi 2 minggu Fleksibel
Avulsi (masa kering <60m) 4 minggu Fleksibel
Fraktur Alveolar 4 minggu Tidak ada rekomendasi
2.6 Pemberian Antibiotik Sistemik dan Anti Tetanus

Pada umumnya klinisi selalu memberikan antibiotik sistemik dalam kasus trauma

dentoalveolar, namun ternyata pemberian antibiotik ini tidak selalu memberikan manfaat

penyembuhan jaringan pulpa dan periodontal pada luka yang minimal.5 Namun pada luka

yang kotor dan terkontaminasi, sebaiknya antibiotik sistemik tetap diberikan. 1-5 Selain itu,

anti tetanus juga menjadi suatu prosedur wajib untuk diberikan baik berupa serum antibodi

ataupun tetanus toksoid untuk mencegah serangan infeksi tetanus. 5 Anti tetanus sebaiknya

diberikan pada luka yang kotor dan lokasi kejadian yang melibatkan aspal dan tanah.4,5

3. Pembahasan

Penanganan trauma dentoalveolar pada anak secara umum mengikuti panduan IADT

dan AAPD yang telah dibuat sejak tahun 2001 dan terus mengalami pembaruan dari waktu

ke waktu. Panduan ini menjadi penting agar klinisi dapat memberikan layanan yang terbaik

sesuai dengan hasil penelitian dan follow up dari pasien trauma dentoalveolar.

Secara sistematis, penanganan ini meliputi pemeriksaan subjektif, objektif, penunjang,

diagnostik yang tepat, dan rencana perawatan yang tepat. Anamnesa merupakan hal yang

penting untuk dilakukan, terutama mengenai identitas usia pasien, lokasi kejadian, waktu

kejadian dan mekanismenya. Semua itu dapat memberikan gambaran tentang manajemen

penanganan yang harus dilakukan oleh klinisi.

Pemeriksaan klinis memberikan gambaran yang lebih spesifik mengenai kondisi

pasien, terutama pada gigi geligi dan jaringan periodontal sekitarnya. Kondisi vitalitas pulpa

pada gigi yang mengalami trauma penting untuk dilakukan pemeriksaan karena dapat

menentukan penatalaksanaan selanjutnya. Selain itu, kondisi periodontal juga penting untuk

menilai besarnya penyangga (tulang alveolar) yang dapat mensupport gigi yang mengalami

trauma. Pada beberapa kasus trauma dentoalveolar, tulang alveolar bisa saja mengalami
avulsi, sehingga gigi kehilangan penyangga yang baik. Hal ini dapat menimbulkan

prognosis yang buruk, mengurangi angka keberhasilan dari capaian yang diharapkan.

Pemeriksaan penunjang yang paling disarankan untuk saat ini tentu saja adalah CBCT,

namun ketersediaannya relatif terbatas, sehingga pemeriksaan foto periapikal diharapkan

cukup memberikan diagnostik yang baik pada gigi yang mengalami trauma dan posisi benih

gigi permanen yang ada. Dengan demikian diagnostik yang akurat dapat membantu

menentukan rencana perawatan yang terbaik untuk pasien.

Rencana perawatan trauma dentoalveolar sangat bergantung pada kondisi kasus per

kasus. Dengan bantuan panduan yang telah disusun oleh IADT dan AAPD, klinisi dapat

lebih mudah menentukan tindakan yang akan dilakukan. Trauma dentoalveolar pada anak

memiliki prinsip yang konservatif pada gigi permanen, dan cenderung lebih sederhana pada

gigi sulung (ekstraksi/observasi). Hal ini karena tidak mengharapkan adanya gangguan pada

pertumbuhan gigi permanen akibat intervensi tindakan ataupun posisi gigi pasca trauma.

Pemilihan tindakan yang konservatif pada gigi permanen disebabkan karena anak masih

mengalami pertumbuhan rahang, sehingga ekstraksi gigi permanen merupakan pilihan

terakhir. Penggantian dengan gigi palsu adalah hal yang sulit dan bahkan suatu

kontraindikasi untuk beberapa jenis restorasi gigi palsu karena dapat menghambat

pertumbuhan rahang dan gigi anak.

Manajemen trauma dentoalveolar ini meliputi medikamentosa berupa antibiotik

sistemik dan anti tetanus sesuai kebutuhan, serta pengembalian fungsi dan estetik sebaik

mungkin. Faktor psikososial dan mental anak adalah hal yang harus dipertimbangkan oleh

para klinisi, contohnya: pemilihan flexible splinting harus nyaman dan mudah aplikasinya

bagi anak. Rencana perawatan yang panjang (ortodontik & endodontik) dan follow up

berkala dalam jangka waktu tertentu juga membutuhkan kerjasama yang baik antara klinisi
berbagai bidang spesialisasi dengan pasien dan keluarga. Keseluruhan hal ini menjadi

pertimbangan klinisi dalam manajemen trauma dentoalveolar pada anak.

4. Kesimpulan dan Saran

Penanganan trauma dentoalveolar pada anak berbeda dengan dewasa, hal ini karena

trauma dentoalveolar anak memerlukan perhatian khusus. Kondisi gigi peralihan

merupakan kekhususan dalam trauma dentoalveolar anak sehingga pemilihan rencana

perawatan dan penggunaan alat splinting perlu mempertimbangkan faktor kemudahan

dalam aplikasi, kenyamanan pasien, faktor psikososial dan mental anak, serta tidak

mengganggu pertumbuhan dan perkembangan geligi dan rahang.

5. Daftar Pustaka
1. Council on Clinical Affairs (2012). Guideline on Management of Acute Dental Trauma.
American Academy of Pediatric Dentistry. Clinical Guidelines. p.230-238
2. DiAngelis A.J. et al. (2012). Guidelines for the Management of Traumatic Dental
Injuries: 1. Fractures and Luxations of Permanent Teeth. Dental Traumatology 2012;
28: p2-12
3. Malmgren B. et al. (2012). International Association of Dental Traumatology guidelines
for the management of traumatic dental injuries: 3. Injuries in the primary dentition.
Dental Traumatology 2012; 28: p174–182
4. Andersson L. et al. (2012). International Association of Dental Traumatology
guidelines for the management of traumatic dental injuries: 2. Avulsion of permanent
teeth. Dental Traumatology 2012; 28: p88–96
5. Andreasen J.O., Andreasen F.M., Andersson L. (2007). Textbook and Color Atlas of
Traumatic Injuries to the Teeth. Blackwell Publishing Company. p.217-274; 842-850
6. Kahler B., et al. (2016). Splinting of teeth following trauma: a review and a new
splinting recommendation. Australian Dental Journal 2016; 61:(1 Suppl) p.59–73
7. Berthold C., Thaler A., Petschelt A. (2009). Rigidity of commonly used dental trauma
splints. Dental Traumatology 2009; 25: p248-255
8. Mazzoleni S. et al (2010). In vitro comparison of the flexibility of different splint systems
used in dental traumatology. Dental Traumatology 2010; 26: p30–36

Anda mungkin juga menyukai