(Studi Pustaka)
Management of Dentoalveolar Trauma in Children
(Literature Review)
Jenadi Binarto*, Agus Nurwiadh**,
*Resident, Department of Oral and Maxillofacial Surgery, RSUP Dr. Hasan Sadikin,
Faculty of Dentistry, Padjadjaran University, Bandung 40161, Indonesia
**Department of Oral and Maxillofacial Surgery, RSGM, Faculty of Dentistry, Padjadjaran
University, Bandung, Indonesia
Email : drg.jenadi@live.com
___________________________________________________________________________
Abstrak
Pendahuluan: Sekitar 25% anak sekolah mengalami trauma dentoalveolar. Hal ini disebabkan
karena anak lebih aktif, koordinasi keseimbangannya yang kurang, serta masa tumbuh kembang
mental anak. Penanganan trauma dentoalveolar pada anak berbeda dengan orang dewasa karena
struktur gigi peralihan, sehingga diperlukan pemahaman indikasi, kontraindikasi dan metode
penanganan yang tepat. Tujuan studi pustaka ini adalah untuk mendiskusikan perawatan fraktur
dentoalveolar pada anak agar tidak mengganggu pertumbuhan dan perkembangan geligi dan
rahang.
Telaah Pustaka: Trauma dentoalveolar secara umum terbagi menjadi 3: Fraktur dan luksasi
gigi permanen, avulsi gigi permanen, dan cedera gigi sulung. Selain itu, diperlukan pula
identifikasi adanya keterlibatan fraktur pada tulang alveolar. Kehilangan gigi saat terjadi
trauma, patut dicurigai adanya avulsi yang mungkin saja terpendam ataupun tertelan, sehingga
cermat dari anamnesa, pemeriksaan objektif, dan pemeriksaan penunjang untuk mengetahui
secara pasti keadaan gigi geligi, terutama jika masih ada benih gigi permanen. Tatalaksananya
pengembalian fungsi dan estetik semaksimal mungkin, serta follow up penanganan yang
karena adanya kondisi gigi peralihan sehingga penggunaan alat splinting perlu
___________________________________________________________________________
Abstract
Introduction: About 25% of school children had a dentoalveolar trauma. This is because
children is more active, lack of balance coordination, and children mental development.
Management of dentoalveolar trauma in children differs from adult because of mixed dentition
of treatment. The aim of this literature review is to discuss the treatment of dentoalveolar
fracture in children in order to not interfering the development of teeth and jaw.
Literature Review: Dentoalveolar trauma is mainly divided into 3: Fracture and luxation of
permanent teeth, avultion of permanent teeth, and injuries of primary teeth. It is also important
to identify any possibilities of alveolar bone fracture. Losing tooth on trauma should also be
concerned that the avulsed tooth might be burried or swallowed, so further examination like
panoramic and thorax x-ray should be performed. Management priniciples are reduction-
include medication to prevent infection, restoring tooth esthetics and functions, and follow up
of mixed dentition condition. So it is important to consider that the use of splinting device
___________________________________________________________________
1. Pendahuluan
Trauma dentoalveolar dapat menimbulkan efek yang negatif pada anak baik dari segi
fungsional, estetik dan psikologis.1 Trauma dentoalveolar banyak terjadi pada anak usia pra
sekolah ataupun usia sekolah, serta pada anak remaja. Dari studi selama 12 tahun,
ditemukan bahwa 25% anak usia sekolah mengalami trauma gigi dan 33% orang dewasa
mengalami trauma pada pergantian gigi permanen, dengan mayoritas kejadian cedera
adalah sebelum usia 19 tahun.2 Insiden trauma gigi susu terbanyak terjadi pada usia 2-3
yang terbanyak pada trauma dentoalveolar saat gigi sulung adalah cedera luksasi,
sedangkan pada saat gigi permanen adalah fraktur mahkota. Penyebab yang paling umum
dari trauma dentoalveolar ini antara lain kecelakaan akibat terjatuh, kecelakaan lalu lintas,
Penanganan trauma dentoalveolar pada anak berbeda dengan orang dewasa, karena anak
seringkali sulit untuk dilakukan pemeriksaan dan penanganan karena tidak kooperatif akibat
dari rasa takut.3 Hal ini seringkali menimbulkan kecemasan baik terhadap anak maupun
pada orang tua.3 Selain itu secara anatomis, penanganan dentoalveolar pada anak perlu
Academy of Pediatric Dentistry (AAPD) yang pertama kali dipublikasikan pada tahun 2001
dan diperbarui secara periodik hingga terbarunya di tahun 2012. 1-4 Panduan penanangan
jenis trauma, durasi dan tipe splinting, penggunaan antibiotik, dan anti tetanus.1-5
penanganan trauma dentoalveolar. Anamnesa ini meliputi identitas pasien, waktu dan
penyakit sistemik dari pasien.5 Hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam identitas pasien
adalah usia pasien, apakah masih merupakan masa pertumbuhan gigi sulung, gigi peralihan
atau gigi permanen, selain itu faktor tumbuh kembang dari mental pasien.5 Waktu kejadian
juga menjadi data yang penting terutama untuk penanganan replantasi gigi avulsi, namun
juga penting untuk pertimbangan penanganan fraktur dentoalveolar lainnya dan fraktur
pada kemungkinan infeksi, kerusakan jaringan periodontal dan pulpa, sehingga bisa saja
Pemeriksaan klinis dilakukan secara menyeluruh baik pada daerah jaringan yang
mengalami cedera maupun jaringan yang ada di sekitarnya. Secara umum, prosedur
pemeriksaan ini adalah untuk memeriksa adanya: Cedera extra oral dan palpasi pada tulang
wajah, mukosa mulut dan gusi, fraktur pada mahkota, pulpa yang terbuka, ataupun
perubahan warna gigi, displacement gigi (intrusi, ekstrusi, luksasi lateral, avulsi), gangguan
pada oklusi, pergerakan gigi ataupun fragmen alveolar yang abnormal, nyeri pada perkusi
gigi ataupun perubahan suara perkusi gigi, dan reaksi sensitif pada tes vitalitas gigi.5
dentoalveolar pada gigi serta garis frakturnya untuk menentukan rencana perawatan yang
sesuai. Adapun pemeriksaan radiologis yang direkomendasikan antara lain: Foto periapikal
dengan sudut horisontal 90˚, Foto Oklusal, Foto periapikal sesuai sudut angulasi gigi, dan
Fraktur dan luksasi gigi permanen dapat ditemui pada usia dewasa maupun anak di
usia peralihan. Prioritas dari perawatan adalah berusaha mempertahankan gigi, karena
pembuatan gigi tiruan, dikarenakan rahang anak yang masih bertumbuh.5 Selain itu,
klinisi perlu mempertimbangkan faktor psikososial anak selama masa sekolah. Adapun
Fraktur
Mahkota- Fraktur dari • Pembuatan restorasi sesuai dengan
Akar mahkota hingga dengan no.5
6
dengan akar dan mengenai • Manajemen pulpa mengikuti no.4
keterlibatan jaringan pulpa gigi • Indikasi ekstraksi sesuai no.5
pulpa
• Reposisi segmen koronal segera
• Memastikan posisi normal dengan
radiografis
• Stabilisasi dengan flexible splint selama
Fraktur pada akar
4 minggu, namun pada fraktur akar yang
Fraktur sehingga terdapat
7 dekat ke servikal gigi perlu waktu hingga
Akar segmen koronal-
4 bulan
apikal
• Follow up hingga 1 tahun
• Apabila pulpa nekrosis, maka dilakukan
perawatan endodontik pada segmen
koronal hingga batas fraktur
Fraktur melibatkan
tulang alveolar, • Reposisi segmen
terdapat segmen • Seringkali membutuhkan anestesi umum
Fraktur
8 yang bergerak dan untuk anak
Alveolar
melibatkan • Splinting selama 4 minggu
beberapa gigi • Penjahitan laserasi gusi
bergerak bersama
Secara umum penatalaksanaan avulsi pada gigi permanen ini dibagi menjadi 3
a. Sel periodontal ligamen (PDL) yang kemungkinan besar viabel, yakni kondisi
b. PDL yang mungkin viabel namun terkompromi, yakni pada kondisi dimana gigi
yang lepas disimpan dalam media yang baik dan waktu replantasi <60 menit.
c. PDL yang non viabel, yakni pada kondisi dimana gigi yang terlepas dalam
Penatalaksanaan avulsi gigi permanen bergantung pada kondisi apeks gigi yang
telah menutup atau belum menutup. Penatalaksanaan umum dari avulsi gigi antara lain:
penjahitan laserasi gusi. Sedangkan manajemen khusus lainnya dirinci dalam tabel 2
sebagai berikut.4
Tabel 2. Manajemen khusus avulsi gigi permanen sesuai kondisi PDL4
Apex
No PDL Penanganan Penanganan Khusus
Gigi
• Membersihkan area gigi yang Endodontik dilakukan 7-10 hari
tereplantasi menggunakan air Gigi
setelah replantasi dan sebelum
spray, saline atau chlorhexidine Matur
PDL pelepasan splint
1 • Verifikasi posisi gigi dengan
Viabel
radiografis Endodontik dilakukan bila
Gigi
• Stabilisasi dengan flexible splint revaskularisasi pulpa tidak
Imatur
hingga 2 minggu terjadi
Hal yang penting diperhatikan pada cedera gigi sulung adalah kondisi gigi
peralihan anak, karena trauma dentoalveolar ini bisa saja mempengaruhi pertumbuhan
gigi permanen ataupun menimbulkan kelainan lainnya. Selain itu penanganan gigi
sulung cenderung sederhana dan cepat, hal ini disebabkan karena kondisi mental anak
Fraktur
• Restorasi menggunakan glass ionomer (GI) atau
2 Enamel-
komposit
Dentin
Fraktur
Mahkota- • Indikasi ekstraksi
Akar • Pada kondisi fragmen patahan hanya melibatkan
4 dengan atau sebagian kecil dari mahkota dan akar, dapat
tanpa dilakukan pembuangan segmen yang patah saja
keterlibatan dan dilakukan restorasi gigi.
pulpa
• Tidak terjadi displaced pada fragmen koronal:
tidak perlu dilakukan tindakan
• Terjadi displaced|: reposisi dan splint dapat
Fraktur
5 dipertimbangkan.
Akar
Apabila tidak memungkinkan maka dilakukan
pengambilan fragmen koronal saja, dan
meninggalkan fragmen apikal untuk diresorpsi
• Displacement minimal
o Tidak ada gangguan oklusi: tidak perlu
dilakukan tindakan
Luksasi
10 o Ada gangguan oklusi: Grinding pada oklusal
lateral
o Gangguan oklusi yang besar: Reposisi lembut
dengan anestesi lokal.
• Displacement besar: dilakukan pencabutan
Secara umum splinting terbagi menjadi 2 kelompok, yakni flexible splinting dan Rigid
flexible splinting1-4, karena memiliki kemampuan yang baik menyerupai kondisi mobilitas
fisiologis dari gigi yang dapat membantu penyembuhan ligamen periodontal.6 Flexible
splint merupakan splint dengan kekuatan pasif yang dapat mempertahankan gigi pada
posisinya, splint jenis ini yang paling direkomendasikan hingga saat ini adalah Titanium
Trauma Splint (TTS), karena selain kemampuan materialnya, TTS relatif tipis (0,2mm)
sehingga mudah untuk dibentuk sesuai lengkung gigi, mudah aplikasinya, dan memiliki
kenyamanan yang baik.6-8 Adapun yang termasuk dalam macam flexible splinting antara
Gambar 1. Macam Flexible Splint: (A) Wire-composite splint (diameter <0,3-0,4mm), (B) Fibre Splint,
(C) Titanium Trauma Splint (Paling direkomendasikan)6-8
Rigid splinting adalah splint yang memiliki kemampuan fleksibilitas yang rendah dan
lebih kaku serta lebih kuat dalam mempertahankan fiksasi. Splint jenis ini dapat digunakan
untuk fiksasi yang membutuhkan kekuatan yang kebih besar, misalnya pada kasus cedera
tulang alveolar.7,8 Beberapa macam Rigid splinting antara lain: Composite Splint, Wire
rekomendasi IADT (Tabel 4).6 Rekomendasi ini telah disusun dan diperbarui secara
periodik menurut hasil follow up dari berbagai pasien trauma dentoalveolar. Durasi yang
direkomendasikan merupakan yang paling ideal, sebab splint yang terlalu lama dapat
Tabel 4. Rekomendasi IADT Durasi dan Tipe Splint untuk Cedera Dentoalveolar6
Pada umumnya klinisi selalu memberikan antibiotik sistemik dalam kasus trauma
dentoalveolar, namun ternyata pemberian antibiotik ini tidak selalu memberikan manfaat
penyembuhan jaringan pulpa dan periodontal pada luka yang minimal.5 Namun pada luka
yang kotor dan terkontaminasi, sebaiknya antibiotik sistemik tetap diberikan. 1-5 Selain itu,
anti tetanus juga menjadi suatu prosedur wajib untuk diberikan baik berupa serum antibodi
ataupun tetanus toksoid untuk mencegah serangan infeksi tetanus. 5 Anti tetanus sebaiknya
diberikan pada luka yang kotor dan lokasi kejadian yang melibatkan aspal dan tanah.4,5
3. Pembahasan
Penanganan trauma dentoalveolar pada anak secara umum mengikuti panduan IADT
dan AAPD yang telah dibuat sejak tahun 2001 dan terus mengalami pembaruan dari waktu
ke waktu. Panduan ini menjadi penting agar klinisi dapat memberikan layanan yang terbaik
sesuai dengan hasil penelitian dan follow up dari pasien trauma dentoalveolar.
diagnostik yang tepat, dan rencana perawatan yang tepat. Anamnesa merupakan hal yang
penting untuk dilakukan, terutama mengenai identitas usia pasien, lokasi kejadian, waktu
kejadian dan mekanismenya. Semua itu dapat memberikan gambaran tentang manajemen
pasien, terutama pada gigi geligi dan jaringan periodontal sekitarnya. Kondisi vitalitas pulpa
pada gigi yang mengalami trauma penting untuk dilakukan pemeriksaan karena dapat
menentukan penatalaksanaan selanjutnya. Selain itu, kondisi periodontal juga penting untuk
menilai besarnya penyangga (tulang alveolar) yang dapat mensupport gigi yang mengalami
trauma. Pada beberapa kasus trauma dentoalveolar, tulang alveolar bisa saja mengalami
avulsi, sehingga gigi kehilangan penyangga yang baik. Hal ini dapat menimbulkan
prognosis yang buruk, mengurangi angka keberhasilan dari capaian yang diharapkan.
Pemeriksaan penunjang yang paling disarankan untuk saat ini tentu saja adalah CBCT,
cukup memberikan diagnostik yang baik pada gigi yang mengalami trauma dan posisi benih
gigi permanen yang ada. Dengan demikian diagnostik yang akurat dapat membantu
Rencana perawatan trauma dentoalveolar sangat bergantung pada kondisi kasus per
kasus. Dengan bantuan panduan yang telah disusun oleh IADT dan AAPD, klinisi dapat
lebih mudah menentukan tindakan yang akan dilakukan. Trauma dentoalveolar pada anak
memiliki prinsip yang konservatif pada gigi permanen, dan cenderung lebih sederhana pada
gigi sulung (ekstraksi/observasi). Hal ini karena tidak mengharapkan adanya gangguan pada
pertumbuhan gigi permanen akibat intervensi tindakan ataupun posisi gigi pasca trauma.
Pemilihan tindakan yang konservatif pada gigi permanen disebabkan karena anak masih
terakhir. Penggantian dengan gigi palsu adalah hal yang sulit dan bahkan suatu
kontraindikasi untuk beberapa jenis restorasi gigi palsu karena dapat menghambat
sistemik dan anti tetanus sesuai kebutuhan, serta pengembalian fungsi dan estetik sebaik
mungkin. Faktor psikososial dan mental anak adalah hal yang harus dipertimbangkan oleh
para klinisi, contohnya: pemilihan flexible splinting harus nyaman dan mudah aplikasinya
bagi anak. Rencana perawatan yang panjang (ortodontik & endodontik) dan follow up
berkala dalam jangka waktu tertentu juga membutuhkan kerjasama yang baik antara klinisi
berbagai bidang spesialisasi dengan pasien dan keluarga. Keseluruhan hal ini menjadi
Penanganan trauma dentoalveolar pada anak berbeda dengan dewasa, hal ini karena
dalam aplikasi, kenyamanan pasien, faktor psikososial dan mental anak, serta tidak
5. Daftar Pustaka
1. Council on Clinical Affairs (2012). Guideline on Management of Acute Dental Trauma.
American Academy of Pediatric Dentistry. Clinical Guidelines. p.230-238
2. DiAngelis A.J. et al. (2012). Guidelines for the Management of Traumatic Dental
Injuries: 1. Fractures and Luxations of Permanent Teeth. Dental Traumatology 2012;
28: p2-12
3. Malmgren B. et al. (2012). International Association of Dental Traumatology guidelines
for the management of traumatic dental injuries: 3. Injuries in the primary dentition.
Dental Traumatology 2012; 28: p174–182
4. Andersson L. et al. (2012). International Association of Dental Traumatology
guidelines for the management of traumatic dental injuries: 2. Avulsion of permanent
teeth. Dental Traumatology 2012; 28: p88–96
5. Andreasen J.O., Andreasen F.M., Andersson L. (2007). Textbook and Color Atlas of
Traumatic Injuries to the Teeth. Blackwell Publishing Company. p.217-274; 842-850
6. Kahler B., et al. (2016). Splinting of teeth following trauma: a review and a new
splinting recommendation. Australian Dental Journal 2016; 61:(1 Suppl) p.59–73
7. Berthold C., Thaler A., Petschelt A. (2009). Rigidity of commonly used dental trauma
splints. Dental Traumatology 2009; 25: p248-255
8. Mazzoleni S. et al (2010). In vitro comparison of the flexibility of different splint systems
used in dental traumatology. Dental Traumatology 2010; 26: p30–36