Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Tujuan Percobaan


1. Mempelajari pengaruh waktu pengadukan dan kecepatan pengadukan
terhadap sifat fisika keramik berpori.
2. Mempelajari pengaruh variasi suhu pengeringanpada keramik berpori
3. Menentukan persentase penyusutan volum (shrinkage) keramik berpori.

1.2. Dasar Teori


1.2.1 Definisi Keramik
Keramik pada awalnya berasal dari bahasa Yunani, keramikos yang
artinya suatu bentuk dari tanah liat yang telah mengalami proses pembakaran.
Kamus dan ensiklopedia tahun 1950-an mendefinisikan keramik sebagai suatu
hasil seni dan teknologi untuk menghasilkan barang dari tanah liat yang dibakar,
seperti gerabah, genteng, porselin dan sebagainya. Tetapi sekarang ini tidak
semua keramik berasal dari tanah liat. Definisi pengertian keramik terbaru
mencakup semua bahan bukan logam dan anorganik yang berbentuk padat (Vallet
& Gonzales, 2004).
Pada prinsipnya keramik terbagi menjadi keramik tradisional dan keramik
teknik. Keramik tradisonal adalah keramik yang dibuat dengan
menggunakan bahan alam, seperti kuarsa dan kaolin. Contoh keramik ini adalah
barang pecah belah (dinnerware) keperluan rumah tangga (tile and bricks) serta
untuk industri (refractory). Keramik teknik adalah keramik yang dibuat dengan
menggunakan oksida-oksida logam, seperti Al2O3, ZrO2 dan MgO. Penggunaannya
terdapat pada elemen pemanas, semi konduktor dan elemen turbin (Vallet &
Gonzales, 2004).
Menurut Vallet & Gonzales (2004),beberapa keramik teknik telah
diaplikasikan dalam bidang medis (biomedical). Tri kalsium fosfat dan
hidroksiapatit berpori merupakan keramik yang digunakan dalam implantasi
tulang. Hal ini dikarenakan keramik tersebut memiliki similaritas kimia dengan
jaringan tulang. Tulang merupakan jaringan hidup yang tersusun mineral,
matriks, sel, substansi lemak, polimer alam (polisakarida, kolagen dan polifosfat)
dan substansi lain. Jaringan tulang terdiri dari 69% fase mineral, 9% air dan 22%
matriks organik (90-96% kolagen). Komponen utama dalam fase mineral tulang
adalah kalsium fosfat yang terdiri dari HA,dikalsium fosfat (Ca2P2O7),
dibasickalsium fosfat (DCP, CaHPO4) dan trikalsium fosfat (TCP, Ca3(PO4)2).
Bagian-bagian tulang dapat dilihat pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1 Bagian-bagian Tulang

1.2.2 Komposisi Keramik


Menurut He & Zhou (2009), komposisi keramik pada umumnya terdiri dari
4 : Tanah Liat (clay), Kwarsa (flint), feldsfar, dan serbuk kaca (cullet).
a. Clay/tanah liat mengandung hidrated aluminum silica
(Al2O3.2SiO2.2H2O)
Tanah liat sebagai bahan pokok untuk pembuatan keramik, merupakan salah
satu bahan yang kegunaannya sangat menguntungkan bagi manusia karena
bahannya yang mudah didapat dan pemakaian hasilnya yang sangat luas. Kira-
kira 70% atau 80% dari kulit bumi terdiri dari batuan merupakan sumber tanah
liat. Tanah liat banyak ditemukan di areal pertanian terutama persawahan. Dilihat
dari sudut ilmu kimia, tanah liat termasuk hidrosilikat alumina dan dalam keadaan
murni mempunyai rumus: Al2O3.2SiO2.2H2O dengan perbandingan berat dari
unsur-unsurnya: Oksida Silinium (SiO2) 47%, Oksida Aluminium (Al2O3) 39%,
dan Air (H2O) 14% (He &Zhou, 2009).
Bentuknya seperti lempengan kecil-kecil hampir berbentuk segi enam
dengan permukaan yang datar. Bentuk kristal; seperti ini menyebabkan tanah liat
bila dicampur dengan air mempunyai sifat liat (plastis), mudah dibentuk karena
kristal-kristal ini meluncur di atas satu dengan yang lain denga air sebagai
pelumasnya (He &Zhou, 2009).
Mineral liat terbentuk dari hasil hancuran iklim terhadap mineral primer
atau batuan yang mengandung mineral feldspar, mika, piroksin dan eamfibol.
Pada dasarnya mineral liat dapat dibedakan atas 2 kelompok senyawa, yaitu liat
silikat dan liat bukan silikat. Liat silikat kemudian dibedakan pila dalam 3 tipe
yaitu : tipe 1:1, 2:1, dan tipe 2:2. Tipe dalam hal ini menunjukkan perbandingan
antara Si-tetraeder dengan Al-oktaeder. Dengan mengetahui tipe mineral liat juga
dapat ditentukan tingkat hancuran suatu tanah. Tanah yang mengandung liat 1:1
menunjukkan suatu tanah yang lebih tua daripada tanah berliat tipe 2:1. Karena Si
telah habis tercuci. Disamping liat silikat amorfus, yaitu alofan. Liat bukan silikat
merupakan kelompok senyawa hidrus oksida besi dan aluminum. Nama hidrus
oksida mencerminkan asosiasi antara molekul air dan oksida (He &Zhou, 2009).
Menurut He & Zhou (2009), Tanah liat memiliki sifat-sifat yang khas yaitu
bila dalam keadaan basah mempunyai sifat plastis tetapi bila dalam keadaan
kering akan menjadi keras, sedangkan bila dibakar akan menjadi padat dan kuat.
Pada umumnya, masyarakat memanfaatkan tanah liat (lempung) sebagai bahan
baku pembuatan bata dan gerabah.
Dari penjelasan mengenai tanah liat diatas, dapat disimpulkan :
 fungsi tanah liat : mempermudah proses pembentukan
keramik
 Sifat dan keadaan bahan :
- berbutir kasar
- rapuh
- dalam keadaan basah mempunyai sifat plastis tetapi bila dalam
keadaan kering akan menjadi keras
- bila dibakar akan menjadi padat dan kuat
- sangat tahan api.
b. Kwarsa (flint)
Menurut He & Zhou (2009), kwarsa merupakan bentuk lain dari batuan
silica (SiO2).
 Tujuan pemakaian kwarsa ini ialah:
- Mengurangi susut kering, jadi mengurangi retak-retak dalam
pengeringan.
- Mengurangi susut waktu dibakar dan mempertinggi kwalitas.
- Merupakan rangka selama pembakaran.
 Sifat-sifat dan keadaan bahan :
- Memiki ukuran partikel yang halus .
- Sifat plastis yang tinggi .
- Memiliki kekuatan kering yang tinggi
- Penyusutan pada saat pengeringan dan pembakaran tinggi.
- Warna setelah pembakaran abu-abu muda karena unsur besinya lebih
tinggi dibanding kaolin.
- titik lebur tinggi sekitar 1728°C
c. Feldspar
Feldspar adalah suatu kelompok mineral yang berasal dari batu karang yang
ditumbuk dan dapat memberikan sampai 25 % flux (pelebur) pada badan keramik.
Bila keramik dibakar, feldspar akan meleleh (melebur) dan membentuk leburan
gelas yang menyebabkan partikel tanah dan bahan lainnya melekat satu sama lain.
Pada saat membeku, bahan ini memberikan kekuatan pada badan keramik.
Feldspar tidak larut dalam air, mengandung alumina, silika dan flux yang
digunakan untuk membuat gelasir suhu tinggi (He &Zhou, 2009).
Feldspar pada saat ini nerupakan group mineral dengan jumlah mineral yang
paling besar di kerak bumi, membentuk sekitar 60% batuan terrestrial.
Kebanyakan feldspar yang tersedia berupa sodium feldspar, potassium feldspar
dan feldspar campuran. Feldspar kebanyakan digunakan pada aplikasi-aplikasi
industri yang membutuhkan kandungan feldspar yang berupa alumina dan alkali
(He &Zhou, 2009).
Rumus kimia feldspar secara umum adalah XAl(Al,Si)Si2O8 dengan X
adalah potassium, sodium, kalsium atau barium. Secara khusus rumus kimia
feldspar dapat dilihat pada Tabel1.1
Table 1.1. Jenis-jenis feldspar
Jenis Feldspar Rumus Kimia
Albite Na(Si,Al)O
Anorthite Ca(Si,Al)O
Orthoclase K(Si,Al)O
Celsian Ba(Si,Al)O

d. Serbuk Kaca/Cullet
Cullet adalah serbuk kaca yang sangat kecil. Kaca biasanya dihasilkan dari
campuran silicon atau bahan dioksida (SiO2) yang merupakan benda amorf,
dibentuk melalui prosesan pemadatan dari peleburan tanpa kristalisasi. Kaca
kadang-kadang dianggap sebagai cairan kental (viskos) kareana bukan kristalin
atau amorf. Akan tetapi hanya beberapa cairan yang dapat membentuk kaca. Pada
suhu tinggi, kaca merupakan cairan sejati, dan pada fase cair ini struktur dari
bahan-bahan anorganik belum beraturan dan atom-atomnya selalu bergerak terus-
menerus(He &Zhou, 2009).

1.2.3 Sifat Keramik


Menurut Sing & Everett (1985), sifat keramik sangat ditentukan oleh
struktur kristal, komposisi kimia dan mineral bawaannya. Oleh karena itu sifat
keramik juga tergantung pada lingkungan geologi di mana bahan diperoleh. sifat
yang umum dan mudah dilihat secara fisik pada kebanyakan jenis keramik adalah
britle atau rapuh, hal ini dapat kita lihat pada keramik jenis tradisional seperti
barang pecah belah, gelas, kendi, gerabah dan sebagainya, coba jatuhkan piring
yang terbuat dari keramik bandingkan dengan piring dari logam, pasti keramik
mudah pecah, walaupun sifat ini tidak berlaku pada jenis keramik tertentu,
terutama jenis keramik hasil sintering, dan campuran sintering antara keramik
dengan logam. sifat lainya adalah tahan suhu tinggi, sebagai contoh keramik
tradisional yang terdiri dari clay, flint dan feldfar tahan sampai dengan suhu 1200
C, keramik engineering seperti keramik oksida mampu tahan sampai dengan suhu
2000 C. kekuatan tekan tinggi, sifat ini merupakan salah satu faktor yang
membuat penelitian tentang keramik terus berkembang. Secara umum sifat
keramik meliputi :
1. Keras, kuat, tetapi bersifat getas atau mudah pecah.
2. Tahan terhadap korosi.
3. Kapasitas panas yang baik dan konduktivitas panas yang rendah.
4. Sifat listriknya dapat menjadi isolator, semikonduktor, konduktor bahkan
superkonduktor.
5. Dapat bersifat magnetik dan non magnetik.

1.2.4 Keramik Berpori


Keramik berpori merupakan keramik yang memiliki banyak pori, namun
tidak semua keramik yang yang memiliki pori dapat disebut keramik berpori.
Keramik berpori harus memiliki dua syarat utama, yaitu keramik berpori harus
memiliki banyak pori yang sesuai dengan desain untuk memenuhi kebutuhan dan
mencapai kualitas yang diinginkan, lalu keramik berpori harus memiliki fungsi
yang sesuai dengan harapan penggunanya (Tim Penyusun, 2015).
Keramik berpori dapat dibedakan menjadi dua kelas utama, yaitu
honeycombs ceramics dan ceramics foam.Honeycombs ceramics terbentuk dari
polygonal columnar pores sehingga membentuk pori yang tersusun secara dua
dimensi, sedangkan ceramics foam terbentuk dari hollow polyhedron pores
sehingga membentuk pori yang tersusun secara tiga dimensi (Tim Penyusun,
2015).

Berdasarkan dinding sel porinya, ceramics foam dapat dibedakan menjadi


dua, yaitu open-cell (reticulated ceramic foam) dan close-cell (bublelike ceramics
foam). Open-cell terbentuk pada saat fasa padat dari keramik yang digunakan
hanya membentuk pore struts sehingga membentuk reticulated structure,
sedangkan close-cell terbentuk pada saat pori yang terbentuk dipisahkan oleh
dinding sel padat (Tim Penyusun, 2015).
Gambar 1.3 (a) open-cell reticulated ceramic foam, (b) closed-cell bubblelike
ceramic foam

Menurut Tim Penyusun (2015), keramik berpori juga dapat di klasifikasikan


berdasarkan ukuran porinya, yaitu :
1. Microporous ceramics, untuk ukuran pori kurang dari 2 nm
2. Mesoporous ceramics, untuk ukuran pori antara 2-50 nm
3. Macroporous ceramics, untuk ukuran pori lebih dari 50 nm
Ukuran pori keramik berpori akan berpengaruh terhadap regenerasi jaringan
pada saat proses implantasi tulang. Selain itu interkonektifitas pori, geometri pori,
topografi struts, dan porositas juga berpengaruh pada proses osteogenesis,
osteoconduction dan osteoinduction pada saat proses implantasi tulang. Keramik
berpori juga memiliki beberapa karakteristik yang membuat keramik berpori
dapat berkembang dalam berbagai bidang kehidupan, seperti metalurgi, energi,
industry elektronik dan medis. Karakteristik tersebut antara lain (Tim Penyusun,
2015):
1. Good chemical stability, keramik berpori yang dihasilkan memiliki stabilitas
kimia yang baik, sehingga dapat digunakan pada berbagai kondisi.
2. Great specific strength and rigidity, bentuk dan ukuran pori dari keramik
berpori tidak akan berubah oleh tekanan udara, tekanan air dan penambahan
beban.
3. Fine thermal stability, keramik berpori dibuat tahan terhadap panas
sehingga dapat digunakan pada suhu yang tinggi.
1.2.5 Fabrikasi Keramik Berpori
Pori keramik dapat dibentuk dengan beberapa metode. Perbedaan metode
dalam fabrikasi keramik berpori akan mempengaruhi derajat porositas, kuat tekan
dan ukuran pori yang dihasilkan. Keramik berpori dapat difabrikasi melalui
ceramic foaming technique, solvent casting, microwave vacuum sintering,
polymeric sponge method dan starch consolidation.

a. Ceramic Foaming Technique


Teknik foaming ini dilakukan dengan penambahan zat
foaming. Foamingagent yang umumnya digunakan adalah hidrogen
peroksida, garam karbonat dan baking powder. Zat-zat tersebut
dicampurkan ke dalam TCP kemudian dikalsinasi. Ukuran pori TCP yang
dihasilkan bervariasi dari 30-600 mikron. Kelemahan metode ini terletak
pada interkoneksi antar pori yang lemah dan ukuran pori yang tidak
seragam. Mengembangkan teknik ceramic foaming dengan adanya ikatan
silang polimerisasi yang disebut gel-casting. Gel-casting telah diterapkan
oleh He & Su dalam fabrikasi alumina berpori menggunakan protein.
Protein yang dipakai adalah protein putih telur (EWP) dan protein whey
yang terisolasi (WPI). Alumina yang dihasilkan mempunyai derajat
porositas 86,5-87% dengan kuat tekan 6,36-7,87 MPa. Hasil SEM alumina
berpori yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 1.4 (Tamai & Tomita,
2002).

Gambar 1.4 Hasil SEM Alumina Berpori


b. Salt-Solvent Casting
Metode ini menggunakan garam seperti natrium klorida dan pelarut polimer
sebagai pembentuk pori. Campuran zat-zat tersebut ditambahkan ke dalam TCP
dan dicetak (pressing), kemudian dilarutkan dalam air hingga kristal garam
terlepas. Skema salt-solvent casting dapat dilihat pada Gambar 1.5. Metode ini
menghasilkan kalsium fosfat dengan diameter makro pori 100-500 µm,
interkonektivitas antar pori yang baik dan derajat porositas berkisar 87-91%
(Tamai & Tomita, 2002).

Gambar 1.5 Skema salt-solvent casting

c. Polymeric Sponge Method


Penggunaan polimer berpori dapat menghasilkan TCP berpori dengan
interkonektivitas antar pori yang baik. Impregnasi polimer dan
proses sintering pada TCP akan menghasilkan TCP berpori dengan porositas +
45%. Polymeric sponge method ditunjukkan oleh Gambar 1.6. Ramay & Zhang
[2003] telah mengkombinasikan polymeric sponge method dengan metode gel-
casting. Penggabungan metode ini menghasilkan TCP berpori dengan ukuran pori
200-400 µm, mechanical strength yang meningkat, struktur mikro yang homogen
dan seragam serta interkonektivitas antar pori yang baik(Tamai & Tomita,2002).
Gambar 1.6 Diagram alir polymeric sponge method

d. Starch Consolidation Method


Starch merupakan zat pati yang terdiri dari jagung, sorgum, kentang, ubi
dan wheat. Umumnya starch berwarna putih, dense dan tidak larut dalam air pada
temperatur ruang. Starch consolidation merupakan metode pembentukan pori
dengan menambahkan pati pada keramik. Campuran tersebut lalu ditambahkan air
hingga membentuk suspensi dan dimasukkan ke furnace untuk sintering. Metode
ini menghasilkan porositas 45-70% dengan kuat tekan 2-15 MPa .Mekanisme
penggabungan starch dengan material keramik dapat dilihat pada Gambar 1.7
(Tamai & Tomita, 2002).

Gambar 1.7 Mekanisme Starch Consolidation


e. Replica Method
Replica method merupakan metode yang didasarkan pada peresapan
(impregnation) struktur sel dengan suspense keramik untuk menghasilkan
macroporous ceramics yang memiliki morfologi yang sama dengan material
berpori aslinya. Ada beberapa material yang dapat dijadikan sebagai template
untuk fabrikasi macroporous ceramics menggunakan metode replica, salah
satunya polimer berpori.Penggunaan polimer berpori dapat menghasilkan TCP
berpori dengan interkonektivitas antar pori yang baik (Tamai & Tomita, 2002).
Impregnasi polimer dan proses sintering pada TCP akan menghasilkan TCP
berpori dengan porositas + 45%. Replica method ditunjukkan oleh Gambar 1.8.
telah mengkombinasikan polymeric sponge method dengan metode gel-casting.
Penggabungan metode ini menghasilkan TCP berpori dengan ukuran pori 200-400
µm, mechanical strength yang meningkat, struktur mikro yang homogen dan
seragam serta interkonektivitas antar pori yang baik (Tamai & Tomita, 2002).
f. Sacrificial Template Method
Teknik ini biasanya dilakukan dengan persiapan komposit keramik yang
terdiri dari partikel keramik dan sacrificial phase yang telah tersebar secara
homogeny ke seluruh matriks, kemudian sacrificial phase tersebut akandi ekstrak
sehingga menghasilkan pori dalam ukuran mikro. Salah satu material yang dapat
digunakan sebagai sacrificial phase adalah starch. Pembentukan prodi dilakukan
dengan menambahkan starch pada keramik. Campuran tersebut lalu ditambahkan
air hingga membentuk suspensi dan dimasukkan ke furnace untuk sintering.
Metode ini menghasilkan porositas 45-70% dengan kuat tekan 2-15 MPa (He &
Zhou, 2009).

g. Direct Foaming Method


Pada direct foaming method, keramik berpori di produksi dengan
menggabungkan udara dengan suspensi keramik, yang kemudian dijaga agar
terbentuk gelembung udara didalam suspensi . Total porositas dari directly
foamed ceramics sebanding dengan jumlah gas yang digabungkan kedalam
suspensi keramik selama proses foaming. Ukuran pori akan ditentukan oleh
stabilitas wet foam pada saat sebelum terbentuk gelembung udara (He & Zhou,
2009).
Teknik foaming ini juga dilakukan dengan penambahan zat foamer.
Foaming agent yang umumnya digunakan adalah hidrogen peroksida, garam
karbonat dan baking powder. Zat-zat tersebut dicampurkan ke dalam TCP
kemudian dikalsinasi . Ukuran pori TCP yang dihasilkan bervariasi dari 30-600
mikron (He & Zhou, 2009).
Kelemahan metode ini terletak pada interkoneksi antar pori yang lemah dan
ukuran pori yang tidak seragam. Mengembangkan teknik ceramic foaming dengan
adanya ikatan silang polimerisasi yang disebut gel-casting. Gel-casting telah
diterapkan oleh He & Su dalam fabrikasi alumina berpori menggunakan protein.
Protein yang dipakai adalah protein putih telur (EWP) dan protein whey yang
terisolasi (WPI). Alumina yang dihasilkan mempunyai derajat porositas 86,5-87%
dengan kuat tekan 6,36-7,87 MPa (He & Zhou, 2009).

h. Protein Foaming-Consolidation Method


Protein foaming-consoliadation merupakan metode pembentukan pori
dengan penambahan protein dan starch ke dalam keramik. Campuran tersebut
kemudian di cetak ke dalam molds dan di keringkan di dalam oven dan
dimasukkan ke dalam furnace untuk proses sintering. Metode ini menggunakan
protein seperti kuning telursebagai pembentuk pori. Kuning telurterdiri dari 51%
lipids, 24% air dan 25% protein. Lipids didalam kuning telurakan mengurangi
kapasitas foaming protein pada saat pembentukan pori. Selama proses foaming,
slurry akan melalui empat tahapan yaitu pre-heating, foaming, consolidating dan
stabilizing.Proses foaming ini dapat dilihat pada Gambar 1.9 (He & Zhou, 2009).

Gambar 1.9 Mekanisme proses foaming-consolidation (Fadli & Sopyan, 2009)

Proses pemanasan akan merubah struktur dari protein (denaturation) tanpa


adanya perubahan volume, setelah itu akan terjadi proses foaming yang
menyebabkan meningkatnya volume slurry hingga mencapai volume maksimal
sesuai dengan kemampuan protein melakukan proses foaming, kemudian pada
saat consolidating, drying bodies terdiri dari fasa cair dan padat. Fasa cair dari
drying bodies akan di evaporasi menjadi fasa gas dan akan dikeluarkan dari
drying bodies secara difusi ataupun konveksi sampai drying bodies mencapai
tahap stabilizing (Vallet & Gonzalez, 2004).
Protein Foaming-Consolidation telah diterapkan oleh Fadli dan Sopyan
dalam fabrikasi alumina berpori menggunakan protein. Protein yang dipakai
adalah protein kuning telur yang telah diisolasi dari telur ayam. Alumina yang
dihasilkan mempunyai derajat porositas 39-49% dengan kuat tekan 0,8-7,5 MPa.

Gambar 1.10 Hasil SEM Alumina-hidroksiapatit

Dengan melakukan variasi terhadap jumlah kuning telurdan dispersant


yang digunakan, berhasil mendapatkan alumina berpori dengan densitas 0,85-1,11
g/cm3 yang dapat mengapung di air. Alumina yang dihasilkan memiliki
compressive strength 1,1-1.7 MPa, porositas 52-70,6% dan ukuran pori 250-500
µm.

Gambar 1.11 (a) Alumina berpori yang mengapung di air (b) Hasil CT-Scan
alumina berpori

1.2.6 Drying dan Sintering


Dua proses penting dalam fabrikasi keramik adalah drying dan sintering.
Drying merupakan proses pemisahan air dari campuran. Dalam fabrikasi keramik,
drying dibutuhkan untuk melepaskan air dari slurry. Selama proses berlangsung,
molekul air berdifusi ke permukaan dimana proses evaporasi terjadi. Tahapan
proses pelepasan molekul air dapat dilihat pada Gambar 1.14. Gambar tersebut
menunjukkan bahwa selama proses drying, material akan mengalami penyusutan.
Penyusutan yang terjadi dikarenakan air telah terevaporasi keluar bahan sehingga
ukuran material semakin kecil. Material yang telah melewati prosesinidisebut
green bodies (Walsh & Buchanan, 2008)

Gambar 1.12 Pelepasan air selama drying (a) keramik basah, (b) sebagian air
telah hilang dan (c) keramik kering

Sintering merupakan proses pemanasan pada temperatur tinggi untuk


meningkatkan kekuatan mekanik material. Proses ini juga dapat didefinisikan
sebagai proses produksi suatu material dengan mikro struktur dan porositas yang
terkontrol. Sinteringdapat diklasifikasikan menjadi sintering fasa padat dan fasa
cair. Sintering fasa padat terjadi jika material berada dalam fasa padat pada
temperatur sinteringsedangkan sintering fasa cair terjadi apabila terdapat cairan
selama sintering berlangsung. Selama sintering berlangsung, struktur partikel
material akan tumbuh (coarsening) dan menyatu membentuk kesatuan massa
(densifikasi). Hal ini merupakan fenomena dasar dari proses sintering dan dapat
diilustrasikan seperti pada Gambar 1.15 (Walsh & Buchanan, 2008).
Selama coarsening dan densifikasi berlangsung, terjadi pergerakan partikel
material. Pergerakan tersebut terjadi secara kompleks dan dikarenakan adanya
difusi permukaan (Ds), difusi gas (Dg), difusi kisi (Dl), difusi boundary (Db),

perbedaan viskositas (η) dan perbedaan tekanan uap (Δp) partikel (Walsh &

Buchanan, 2008).
Gambar 1.13 Fenomena dasar yang terjadi selama sintering

Gambar 1.14 Mekanisme pergerakan partikel material dalam sintering

Pergerakan partikel material berkaitan erat dengan laju densifikasi (laju


sintering). Pergerakan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pada Gambar
1.17. Laju densifikasi akan meningkat apabila temperatur semakin tinggi, tekanan
semakin besar, ukuran partikel semakin kecil dan waktu sintering yang semakin
lama (Walsh & Buchanan, 2008).
Gambar 1.15 Pengaruh variabel sinteringterhadap densifikasi (T, temperatur; P,
tekanan dan L, ukuran partikel)
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahim, T. & Sopyan, I. (2008). Recent progress on the development


of porous bioactive calcium phosphate for biomedical
applications.Biomed. Eng. 1: 213-229.
Aoki, S., Yamaguchi, S., Nakahira, A. & Suganuma K. (2004).Preparation
of porous calcium phosphate using a ceramic foaming technique
combined with a hydrothermal treatment and the cell response with
incorporation of osteoblast like cells. J. Cer. Soc. Jpn 112: 193-199.
Eko. 2013. “Kliping Seni Rupa Terapan Keramik”.
<http://www.slideshare.net/eko123/kliping-seni-rupa-terapan-keramik>
diakses 20 Oktober 2013
Haugen, H., Will, J., Kohler, A., Hopfner, U., Aigner, J. & Wintermantel,
E.(2004). Ceramic TiO2-foams: characterisation of a potential scaffold.J.
Eur. Ceram. Soc. 24: 661-668.
He, X., Zhou, X. & Su, B. (2009). 3D interconnective porous alumina ceramics
via direct protein foaming. Mater. Lett. 63: 830-832.
Kang, S-J., L. (2005). Sintering: densification, grain growth and microstructure.
Amsterdam: John Wiley & Sons.
Kingery, W. D. (1960). Introduction to ceramics. New York: John Wiley & Sons.
Lyckfeldt, O. & Ferreira, J. M. (1997). Processing of porous ceramics by starch
consolidation. J. Eur. Ceram. Soc. 18: 131-140.
Mahata, S., Nandi, M. M. & Mondal, B. (2012). Preparation of high solid loading
titania suspension in gelcasting using modified boiling rice extract
(MBRE) as binder. Ceram. Inter. 38: 909-918.
Park, J. B. (1984). Biomaterials Science and Engineering. USA: Plenum Press.
Prabhakaran, K., Melkeri, A., Gokhale, N. M. & Sharma S. C. (2007).
Preparation of macroporous alumina ceramics using wheat particles
as gelling and pore agent. Ceram. Inter. 33: 77-81.
Ramay, H. R. & Zhang, M. (2003). Preparation of porous HA scaffolds by
combination of the gel-casting and polymeric sponge
method.Biomaterials 24: 3293-3302.
Sergio.2011.”Proses Pembuatan Produk Keramik”.
<http://www.ilmusipil.com/proses-pembuatan-produk-keramik> diakses
26 November 2013
Sing, K. S. W., Everett, D. H., Haul, R. A. W., Moscou, L., Pierotti, R. A.,
Rouquerol, J. & Siemieniewska, T. (1985). Reporting physisorption data
for gas/solid systems with special reference to the determination of
surface area and porosity. Pure Appl. Chem. 57: 603.
Tamai, N., Myoi, A. & Tomita, T. (2002). Novel hydroxyapatite ceramics with an
interconnective porous structure exhibit superior osteoconductive in
vivo. J.Biomed. Mater. Res. 59: 110-117.
Tim Penyusun. 2015. Penuntun Praktikum Teknik Reaksi Kimia.Pekanbaru
:Program Studi D-III Teknik Kimia Fakultas Teknik : Universitas Riau.
Vallet-Regi, M. & Gonzalez-Calbet, J. (2004). Calcium phosphates as substitution
of bone tissues. Prog. Solid State Ch. 32: 1– 31.
Walsh, P. J., Buchanan, F. J., Dring, M., Maggs, C., Bell, S. & Walker, G. M.
(2008). Low-pressure synthesis and characterisation of hydroxyapatite
derived from mineralise red algae.J. Chem. Eng. 137: 173-179.
Woyansky, J. S., Scott, C. E. & Minnear, W. P. (1992). Processing of porous
ceramics. Am. Cers. Soc. Bull 71: 1674-1682.
BAB II
METODOLOGI

2.1 Bahan yang digunakan


1. Keramik (Hidroksi Apatit)
2. Aquades
3. Wheat particles (terigu)
4. Minyak sayur
2.2 Alat yang digunakan
1. Furnace
2. Oven
3. Stirrer
4. Gelas kimia
5. Gelas ukur
6. Pipet tetes
7. Stainless steel mould
8. Jangka sorong
9. Mould
2.3 Prosedur Percobaan
1. Keramik bubuk (Hidroksi Apatit) ditimbang sebanyak 25 gram kemudian
dimasukkan ke dalam gelas kimia. Sebanyak 35 ml aquades dan 10 gram
wheat particles (terigu) kemudian ditambahkan kedalam gelas kimia dan
diaduk hingga merata.
2. Campuran diaduk dengan menggunakan stirrer. Kecepatan pengaduk
divariasikan yaitu sebesar 150 rpm, 250 rpm dan 350 rpm, sedangkan
waktu pengadukan selama 60 menit.
3. Mould dilapisi dengan minyak dan campuran yang telah diaduk dituangkan
secara perlahan-lahan kedalam mould.
4. Mould dimasukkan ke dalam oven dan dipanaskan pada suhu 120oC selama
1,5 jam. Padatan kemudian dilepaskan dari mould.
5. Diameter dan tinggi padatan diukur dengan menggunakan jangka sorong
sebelum dimasukkan ke dalam furnace. Setelah sintering, ukur diameter dan
tinggi padatan diukur kembali.

Akuades HNO3

Alumina Bubuk
HA bubuk Wheat particles

Ovening

Moulding

Burning & sintering


De-moulding

Gambar 2.1 Skema fabrikasi alumina berpori menggunakan metode starch


consolidation.

Anda mungkin juga menyukai