Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Tujuan Pratikum
1. Mempelajari cara pembuatan shampo motor atau mobil.
2. Menentukan karakteristik shampo motor atau mobil dan bagaimana
kinerjanya.

1.2 Dasar Teori


1.2.1 Shampo Motor atau Mobil
Shampo motor atau mobil adalah suatu detergen yang sekarang sudah
banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan yang penting dalam pembuatan
shampo ini adalah surfaktan, yaitu Linier Alkyl Benzene Sulfonat (LABS) atau
kadang disebut juga Linier Alkyl Benzene (LAS) dan surfaktan penunjang yaitu
SLS (Sodium Lauryl Sulfonat). Surfaktan (Surface Active Agents), zat yang dapat
mengaktifkan permukaan, karena cenderung untuk terkonsentrasi pada
permukaan. Surfaktan mempunyai orientasi yang jelas sehingga cenderung pada
rantai lurus. Sabun merupakan salah satu contoh dari surfaktan. Molekul
surfaktan mempunyai dua ujung yang terpisah, yaitu ujung polar (hidrofilik) dan
ujung non polar(hidrofobik) . Surfaktan dapat digolongkan menjadi dua golongan
besar, yaitu surfaktan yang larut dalam minyak dan surfaktan yang larut dalam
air. Teknologi pembuatan shampo motor atau mobil ini termasuk salah satu
teknologi tepat guna dalam pembuatannya. Karena dalam proses pembuatannya
tidak memerlukan alat yang canggih dan proses yang rumit (Amin, 2011).
1.2.2 Surfaktan
Komponen yang paling penting dari sistem deterjen adalah surfaktan.
Sistem bahan pembersih pertama pada sabun adalah surfaktan. Terbentuk dari
lemak nabati maupun hewani ditambah air dan alkali.Pada tahun 1940-an
sabun mulai diganti dengan sintetis deterjen, karena kombinasi sintetis surfaktan
sebagian besar alkyl benzene sulfonat (ABS) dan zat pembangun pentasodium
tripolifosfat (STPP). Faktor lingkungan menyebabkan penggantian ABS oleh alkyl
benzene linier sulfonat (LAS), dan penggantian STPP oleh zeolit, karena
pembangunnya lebih kompleks (Bailey’s, 1996).
Surfaktan banyak digunakan dalam berbagai industri, seperti industri
sabun, deterjen, produk kosmetika dan produk perawatan diri, farmasi, pangan,
cat dan pelapis, kertas, tekstil, pertambangan dan industri perminyakan untuk
Enhanced Oil Recovery (EOR). Surfaktan ini dapat berupa anionic (Alkyl
Benzene Sulfonate, Linier Alkyl Benzene Sulfonate/LAS, Alpha Olein
Sulfonate/AOS), Kationik (Garam Ammonium), Nonionic (Nonyl Phenol
polyethoxyle), Amphoterik (acyl ethylenediamines) (Elefani, 2008).
Jika surfaktan dilarutkan dalam satu fase pada campuran minyak dan air,
sebagian surfaktan akan berkonsentrasi pada permukaan antara minyak-air, dan
pada kesetimbangan energi bebas (disebut tegangan antar muka atau
permukaan) akan lebih rendah dari tidak adanya surfaktan. Energi mekanik yang
diberikan ke dalam sistem berfungsi untuk membagi satu fasa, meningkatkan
jumlah total tegangan permukaan dan energi. Surfaktan memiliki lipofilik (suka
lemak) dan hidrofobik (suka air). Bagian lipofilik dari surfaktan biasanya
merupakan rantai-panjang asam lemak yang diperoleh dari lemak atau minyak.
Bagian hidrofilik adalah nonionik (misalnya gliserol); anionik (bermuatan
negatif, misalnya laktat), atau amfoter, baik membawa muatan positif dan negatif
(misalnya, asam amino serin).
Surfaktan yang berasal dari petrokimia didominasi oleh LAS, sebagian
besar telah menggantikan komposisi sabun. Namun demikian, surfaktan berbasis
oleokimia masih berperan penting dalam formulasi deterjen. Sabun itu sendiri
umumnya hadir sebagai komponen kecil untuk pengkontrol busa, mengurangi
transfer pewarna, dan bertindak sebagai kosurfaktan atau zat pembangun. Selain
LAS surfaktan dari petrokimia yang sering digunakan, adalah alkohol
etoksilat, ethoxysulfates alcohol, dan sulfat alkohol primer, berasal dari alkohol
rantai panjang yang dapat bersumber dari petrochemically atau oleochemically.
Surfaktan lain yang telah digunakan di Jepang antara lain Metil Ester
Sulfonat, alkyl polyglycosides, dan glucamides telah banyak digunakan. Surfaktan
tersebut digunakan pada dasarnya sebagai pengganti anionik untuk LAS.
Surfaktan termasuk sabun yang memiliki struktur bipolar terdiri
dari hidrofobik (ekor) dan kelompok hidrofilik (kepala). Sebagai hasil dari
struktur bifunctional, surfaktan memiliki banyak sifat fisik yang unik. Bagian
hidrofilik preferentially solubilizes dalam fase polaritas kutub lebih tinggi,
sedangkan hidrofobik bagian secara istimewa solubilizes dalam tahap polaritas
nonpolar lebih rendah.
Dengan demikian, surfaktan memfasilitasi stabilisasi bercampur, biasanya
fase tidak bercampur, seperti minyak dalam air, dengan menurunkan energi yang
diperlukan untuk mempertahankan besar interfacial wilayah yang terkait dengan
pencampuran. Sebagai contoh tanpa adanya surfaktan dalam suatu campuran
minyak-air (biasa disebut sebagai suatu emulsi), cepat memisahkan ke dua
lapisan yang berbeda untuk meminimalkan area permukaan atau kontak antara
dua fase. Kemampuan surfaktan untuk menurunkan energi antara minyak dan air
memungkinkan untuk pembentukan dan stabilisasi tetesan minyak yang lebih kecil
dan akan tersebar di seluruh air. Dalam hal ini, penurunan energi antara minyak-
air mengakibatkan peningkatan permukaan total luas pada sistem. Lain halnya
dengan surfaktan yang berkemampuan untuk membentuk agregat dalam larutan
dan membentuk komposit dengan berbagai struktur, seperti misel dan kristal cair,
sebagai fungsi dari konsentrasi dan (Bailey’s, 1996).
Klasifikasi surfaktan berdasarkan muatannya dibagi menjadi empat
golongan yaitu:
1. Surfaktan anionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada
suatu anion. Contohnya adalah garam alkana sulfonat, garam olefin sulfonat,
garam sulfonat asam lemak rantai panjang.
2. Surfaktan kationik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada
suatu kation. Contohnya garam alkil trimethil ammonium, garam dialkil-dimethil
ammonium dan garam alkil dimethil benzil ammonium.
3. Surfaktan nonionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya tidak
bermuatan. Contohnya ester gliserin asam lemak, ester sorbitan asam lemak,
ester sukrosa asam lemak, polietilena alkil amina, glukamina, alkil poliglukosida,
mono alkanol amina, dialkanol amina dan alkil amina oksida.
4. Surfaktan amfoter yaitu surfaktan yang bagian alkilnya mempunyai
muatan positif dan negatif. Contohnya surfaktan yang mengandung asam amino,
betain, fosfobetain.
1.2.3 Macam-macam Surfaktan
a. Linear Alkyl Benzene Sulfonate (LABS)
Alkylbenzene merupakan bahan baku dasar untuk membuat Linear Alkyl
benzene sulfonate. Linear alkylbenzene sulfonate disebut juga dengan nama acid
slurry. Acid slurry merupakan bahan baku kunci dalam pembuatan serbuk
deterjen sintetik dan deterjen cair. Alkylbenzene disulponasi menggunakan asam
sulfat, oleum atau SO3(g). Linear Alkylbenzene sulfonate diperoleh dengan
variasi proses yang berbeda pada bahan yang aktif, bebas asam, warna maupun
viskositas. Bahan baku utama untuk membuat acid slurry adalah dodecyl
benzene, linear alkyl benzene. Nama Kimia Acid Slurry DDBS adalah Dodecyl
Benzene Sulphonate dan Linear Alkyl Benzene Sulphonate (LABS) (Marrakchi,
2006).
Alkylbenzene Sulfonates (ABS) merupakan bahan baku kunci pada industri
deterjen selama lebih dari 40 tahun dan berjumlah kira-kira 50 persen volum
total surfaktan anionik sintetik. Linear alkylbenzene Sulfonates (LAS) digunakan
secara luas menggantikan Branch alkylbenzene sulfonates (BAB) dalam jumlah
besar yang ada didunia karena LAS merupakan bahan deterjen yang lebih
biodegradabilitas dibandingkan BAB. Produk umumnya dipasarkan berupa asam
bebas (free acid) atau yang dinetralkan dengan basa kuat seperti sodium
hidroksida yang ditambahkan kedalam slurry, yang umumnya dalam bentuk
pasta. Sebagian besar pasta di produksi pada sprayed-dried menghasilkan serbuk
deterjen. Pasta bisa juga di proses dengan drum-dried menjadi serbuk
atau flake atau spray dried menjadi butir-butir halus yang memiliki densitas
rendah. Bentuk kering LAS digunakan terutama pada industri dan produk
kebersihan (Elefani, 2008).
Agar berguna sebagai surfaktan, pertama Alkylbenzene harus disulfonasi.
Untuk proses sulfonasi biasanya digunakan Oleum dan SO3 . Sulfonasi dengan
oleum memerlukan biaya peralatan yang relatif tidak mahal dan bisa dijalankan
dengan proses batch atau continuous. Bagaimanapun ia juaga memiliki kerugian
dalam terminologi dibandingkan harga SO3, sulfonasi dengan oleum memerlukan
aliran pembuangan sisa asam dan ia juga memberikan masalah corossi potensial
yang disebabkan oleh asam sulfat. Proses oleum biasanya menghasilkan 90%
LABS,6 sampai 10% asam sulfat, dan 0,5 sampai 1% minyak yang tidak
mengalami proses sulfonasi (Kent, 2007).
Tabel 1.1 Sifat-sifat fisika LABS
Rumus molekul C12H25C6H5
Berat molekul 246,435 Kg/kmol
Titik didih 327,61OC
Titik leleh 2,78 OC
Densitas 855,065 Kg/m3
Wujud Cair
Energi panas pembentukan 1787,0 KJ/mol
Kapasitas panas 750,6 Kkal/kmol OC
Viskositas 750,6 Kkal/kmol OC
Sumber : Kent (2007)
Struktur linear alkyl benzene sulfonate dapat dilihat pada Gambar 1.1

Gambar 1.1 Linear Alkyl Benzene Sulfonate (Bailey, 1996)

b. Sodium Lauril Sulfat (SLS)


Natrium lauril sulfat (SLS), atau sodium deodecil sulfat (NaDS atau
C12H25SO4Na) adalah surfaktan anionoik yang digunakan dalam membersihkan
lemak, dan pada produk-produk untuk kebersihan. Molekul ini memiliki 12 atom
karbon, yang melekat pada gugus sulfat, dan memberikan sifat amphiphilic yang
dibutuhkan deterjen. SLS adalah surfaktan yang sangat efektif dan digunakan
untuk menghilangkan noda berminyak dan residu. Sebagai contoh, SLS ditemukan
dalam konsentrasi yang tinggi pada produk industry, termasuk degreasers mesin,
pembersih lantai, sampo mobil. Penggunaan SLS dengan konsentrasi yang lebih
rendah yaitu pada pembuatan pasta gigi dan shampoo rambut. Sodium lauril
sulfat merupakan komponen penting dalam formulasi untuk efek penebalan busa
dan kemampuannya untuk menciptakan busa.
Penelitian menunjukkan bahwa SLS tidak karsinogenik jika terkontaminasi
langsung pada kulit ataupun dikonsumsi. Natrium lauril sulfat mengurangi rasa
manis pada gigi, efek biasa terlihat setelah penggunaan pasta gigi yang
mengandung bahan ini. Penelitian menunjukkan bahwa SLS dapat merupakan
mikrobisida topikal yang berpotensi efektif, yang juga dapat menghambat
dan mencegah infeksi oleh virus seperti virus Herpes simpleks. Selain itu SLS
dapat meningkatkan kecepatan pembentukan hidrat metana sebesar 700 kali
kecepatan awal. Dalam pengobatan, natrium lauril sulfat digunakan sebagai
pencahar dubur di enema, dan sebagai eksipien pada aspirin terlarut dan kaplet
terapi serat lainnya.
Natrium lauril sulfat, dalam sains disebut sebagai sodium dodecyl sulfat
(SDS) atau Duponol, umumnya digunakan dalam menyusun protein untuk
elektroforesis dalam teknik SDS-PAGE. Senyawa ini bekerja dengan mengganggu
ikatan non-kovalen dalam protein, sehingga protein mengalamii denaturing, dan
menyebabkan molekul kehilangan bentuk asli mereka (konformasi). SLS disintesis
dengan mereaksikan lauril alkohol dengan asam sulfat untuk menghasilkan
hidrogen lauril sulfat yang kemudian dinetralisir melalui penambahan natrium
karbonat. Karena metode ini sintesis, SLS komersial yang tersedia sebenarnya
tidak sulfat dodesil murni tetapi campuran alkil sulfat dengan sulfat dodesil
sebagai komponen utama. SLS dapat memperburuk masalah kulit pada individu
dengan hipersensitivitas kulit kronis (Marrakchi, 2006).

Sodium dodecylbenzenesulfonate
Gambar 1.2 Sodium dodecylbenzenesulfonate (Marrakchi, 2006)

c. Alkil Benzena Sulfonat (ABS)


Proses pembuatan ABS ini adalah dengan mereaksikan Alkil benzena dengan
Belerang trioksida, asam Sulfat pekat atau Oleum. Reaksi ini menghasilkan Alkil
Benzena Sulfonat. Jika dipakai Dodekil benzena maka persamaan reaksinya
adalah
C6H5C12H25 + SO3 C6H4C12H25SO3H (Dodekil Benzena Sulfonat)
Struktur Alkyl Benzene Sulfonate dapat dilihat pada Gambar 1.3

Gambar 1.3 Alkyl Benzena Sulfonate (Bertiech, 2012)

Reaksi selanjutnya adalah netralisasi dengan NaOH sehingga dihasilkan


Natrium Dodekil Benzena Sulfonat. Linear alkylbenzene (kadang-kadang disebut
alkil benzena linear atau hanya LAB) adalah perantara dalam produksi deterjen.
Dorongan ke arah yang lebih ramah lingkungan akhir-akhir ini menggunakan
bahan kimia ramah sejak 1960-an mengakibatkan LAB muncul sebagai cikal
bakal dominan biodegradable deterjen.
d. Glikolipid
Biosurfaktan yang paling dikenal adalah glikolipid. Glikolipid merupakan
karbohidrat yang dikombinasikan dengan rantai panjang asam aliphatic atau
asam hydroxyaliphatic. Contoh bakteri penghasil biosurfaktan glikolipid adalah
Pseudomonas sp., Rhodococcus erythropolis, Torulopsis sp. dan lain-lain. Ada 3
glikolipid yang paling dikenal, yaitu rhamnolipid, trehalolipid dan sophorolipid
(Desai, 1997).
Struktur glikolipid dapat dilihat pada Gambar 1.4

Gambar 1.4 Glikolipid (wikipedia, 2010)

e. Metil Ester Sulfonat


Metil ester sulfonat merupakan surfaktan anionik yaitu surfaktan yang
bermuatan negatif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan (surface
active).Jenis minyak yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan metil
ester sulfonat (MES) adalah kelompok minyak nabati seperti minyak kelapa,
minyak sawit, minyak inti sawit, stearin sawit, minyak kedelai atau tallow. Metil
ester sulfonat dari minyak nabati yang mengandung atom karbon C10, C12, dan
C14 biasa digunakan untuk light duty diswashing detergent, sedangkan MES dari
minyak nabati dengan atom karbon C16-C18 dan tallow biasa digunakan untuk
detergen bubuk dan detergen cair (liquid laundry detergent).
Metil ester sulfonat (MES) telah mulai dimanfaatkan sebagai bahan aktif
pada produk-produk pembersih (washing and cleaning products). Pemanfaatan
surfaktan jenis ini pada beberapa produk adalah karena metil ester sulfonat
memperlihatkan karakteristik dispersi yang baik, sifat detergensi yang baik
terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water) dan tidak
adanya fosfat, ester asam lemak C14, C16, dan C18 memberikan tingkat detergensi
terbaik serta bersifat mudah didegradasi (good biodegradability). Jika
dibandingkan petroleum sulfonat, surfaktan MES menunjukkan beberapa
kelebihan diantaranya yaitu pada konsentrasi MES yang lebih rendah daya
detergensinya sama dengan petroleum sulfonat, dapat mempertahankan aktivitas
enzim yang lebih baik, toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium,
dan kandungan garam (disalt) lebih rendah.
Pada dasarnya metil ester sulfonat (MES) digunakan sebagai surfaktan
anionik pengganti LAS dan FAES (Fatty alcohol ether sulfate). Metil ester
sulfonat (MES) diklaim memiliki beberapa manfaat diantaranya sifat
deterjensinya baik pada konsentrasi rendah, beban terhadap lingkungan lebih
rendah, merupakan pasokan yang baik untuk bahan yang berkualitas tinggi.
Bentuk dari produk metil ester sulfonat (MES) sangatlah penting, untuk
memformulasi metil ester sulfonat (MES) ke dalam sistem alkalin yang
mengandung air. Metil ester sulfonat (MES) memperlihatkan stabilitas hidrolitik
yang kurang baik pada pH yang tinggi dibandingkan dengan surfaktan anionik
yang umum seperti linear alkilbenzen (LAB) sodium sulfonat. Sebagai contoh,
ketika formulasi heavy duty laundry tertentu mengandung metil ester sulfonat
(MES) di spray dried, maka fraksi metil ester sulfonat (MES) yang besar akan
didegradasi ke bentuk di-salt selama proses pengeringan, sehingga hasil
produknya memiliki stabilitas umur simpan yang buruk.
Daya detergensi linear alkilbenzen sulfonat (LAS), alkohol sulfat (AS) dan
MES selain dipengaruhi oleh panjang rantai karbon juga dipengaruhi oleh
kesadahan air yang digunakan. Semakin panjang rantai karbon asam lemak,
maka daya detergensinya semakin meningkat. Metil ester sulfonat (MES) palmitat
(C16) mempunyai daya detergensi paling tinggi dibandingkan dengan LAS dan AS
yaitu sekitar 76%, sedangkan LAS dan AS masing-masing hanya sebesar 70% dan
60%. Semakin tinggi kesadahan air yang digunakan, maka daya detergensi LAS,
AS, dan MES semakin rendah. Pada tingkat kesadahan 360 ppm CaCO3 daya
detergensi dari MES lebih tinggi (56%) dibandingkan dengan LAS (20%) dan AS
(38%).
Metil ester sulfonat (C16) bersifat lebih mudah terbiodegradasi
dibandingkan dengan LAS dan AS. Pada hari ke-5, MES (C16) terbiodegradasi
sempurna dan tidak meninggalkan residu karbon organic, sedangkan AS
terbiodegradasi secara sempurna setelah hari ke-5, sedangkan LAS walaupun
senyawa tersebut mengandung rantai karbon pendek tetapi relatif lebih sulit
terbiodegradasi secara sempurna. Hal ini disebabkan karena LAS mengandung
senyawa karbon aromatic (rantai karbon berbentuk cincin). Biodegradasi
maksimum dari LAS terjadi setelah hari ke-10 dengan menghasilkan residu C
organik sebesar 34% (Marrakchi, 2006).
Tabel 1.2 Karakteristik Metil Ester Sulfonat
Spesifikasi MES (C16-C18)
Metil ester sulfonat, (% b/b) a 83,0
Disodium karboksi sulfonat (di-salt), (% b/b) a 3,5
Air, (% b/b) a 2,3
Nilai pH a 5,3
Warna Klett, 5% aktif (MES + di-salt) a 45
Tegangan permukaan (mN/m) b 39,0 – 40,2
Tegangan antar muka (mN/m) b 8,4 – 9,7
Sumber : Marrakchi (2007)

f. N-metil glukamida
N-metil glukamida diperoleh dari reaksi antara asam lemak, metil ester
asam lemak atau trigliserida dengan N-metil glukamina. N-metil glukamida
banyak digunakan sebagai produk farmasi dan biokimia lainnya. N-metil-
glukamida termasuk pada kelompok alkyl-glukamida surfaktan dimana kelompok
surfaktan ini diproduksi dalam jumlah besar sebagai bahan pembersih, contohnya
adalah N dodekanoil-N-metilglukamida (Holmberg, 2001). Struktur N-metil
glukamida dapat dilihat pada Gambar 1.5

Gambar 1.5 N-metil glukamida (Holmberg, 2001)


Asam laurat merupakan sumber asam lemak. Kedua substrat yaitu asam
laurat dan N-metil glukamina mempunyai polaritas dan kelarutan yang berbeda,
asam laurat larut dalam pelarut hidrofilik sedangkan N-metil glukamina sedikit
larut. Sebagai pelarut pada reaksi amidasi ini dipilih isopropanol, tert
butanol,tert-amil alkohol dan n-heksana karena alkohol ini dapat melarutkan N-
metilglukamina, merupakan pelarut yang non toksik serta bukan merupakan
substrat lipase. Katalis lipase yang immobil dari Candida antarctica dan
Rhizomucor meihei dapat digunakan karena enzim immobilisasi ini mudah
diperoleh, stabil dalam pelarut serta mudah direcovery.
Sintesis N-metil glukamida menggunakan bahan baku N-metil glukamina
dari golongan gula amina. Senyawa-senyawa gula amina memegang peran
penting dalam pembentukan dan perbaikan tulang rawan. Mekanisme kerja
senyawa-senyawa gula amina adalah dengan menghambat sintetis
glikosaminoglikan dan mencegah destruksi tulang rawan. Gula amina dapat
merangsang sel-sel tulang rawan untuk pembentukan proteoglikan dan kolagen
yang merupakan protein esensial untuk memperbaiki fungsi persendian. Gula
amina dapat diperoleh dari reaksi glukosa, laktosa atau gula lainnya dengan
amonia atau alkil amina. N-metil glukamina merupakan salah satu senyawa gula
amina yang penting. N-metil glukamina diperoleh dari reaksi glukosa dengan
monometilamina.
Tabel 1.3 Sifat-sifat N-metil glukamina
Rumus Molekul C7H17NO5
Rumus Kimia CH3NHCH2(CHOH)4CH2OH
Berat Molekul 195,22 gr/mol
Densitas 1,090 gr/cm3
Titik Lebur 128 - 131oC (1 atm)
Titik Didih 210oC (1 atm)
Sumber : Desai (1997)

1.2.4 Densitas (Massa Jenis)


Massa jenis adalah pengukuran massa setiap satuan volume benda,
semakin tinggi massa jenis suatu benda, maka semakin besar pula massa setiap
volumenya. Massa jenis rata-rata setiap benda merupakan total massa dibagi
dengan total volumenya. Sebuah benda yang memiliki massa jenis lebih tinggi
(misalnya besi) akan memiliki volume yang lebih rendah daripada benda
bermassa sama yang memiliki massa jenis lebih rendah (misalnya air).
Massa jenis berfungsi untuk menentukan zat. Setiap zat memiliki massa
jenis yang berbeda. Rumus untuk menentukan massa jenis adalah ρ = m/v, satuan
SI : kg/m3. Nilai massa jenis suatu zat adalah tetap, tidak tergantung pada massa
maupun volume zat, tetapi tergantung pada jenis zatnya, oleh karenanya zat yang
sejenis selalu mempunyai masssa jenis yang sama.
Massa jenis zat dapat dihitung dengan membandingkan massa zat (benda)
dengan volumenya. Massa jenis merupakan salah satu ciri untuk mengetahui
kerapatan zat. Pada volume yang sama, semakin rapat zatnya, semakin besar
massanya. Sebaliknya makin renggang, makin kecil massa suatu benda. Contoh :
kubus yang terbuat dari besi akan lebih besar massanya dibandingkan dengan
kubus yang terbuat dari kayu, jika volumenya sama. Pada massa yang sama,
semakin rapat zatnya, semakin kecil volumenya. Sebaliknya, semakin renggang
kerapatannya semakin besar volumenya. Contoh : volume air lebih besar
dibanding volume besi, jika massa kedua benda tersebut sama.
1.2.5 Viskometer
Viskometer adalah alat yang dipergunakan untuk mengukur viskositas
atau kekentalan suatu larutan. Kebanyakan viskometer mengukur kecepatan dari
suatu cairan mengalir melalui pipa gelas (gelas kapiler), bila cairan itu mengalir
cepat maka viskositas cairan itu rendah (misalnya cair) dan bila cairan itu
mengalir lambat maka dikatakan viskositasnya tinggi (misalnya madu). Viskositas
dapat diukur dengan mengukur laju aliran cairan yang melalui tabung berbentuk
silinder. Ini merupakan salah satu cara yang paling mudah dan dapat digunakan
baik untuk cairan maupun gas.
Ada beberapa viskometer yang sering digunakan untuk menentukan
viskositas suatu larutan, yaitu :
a. Viskometer Ostwald
b. Viskometer Hoppler
c. Viskometer Cup and Bo
d. Viskometer Cone and Plate (Brookefield)
Viskometer Ostwald yaitu dengan cara mengukur waktu yang dibutuhkan
bagi cairan dalam melewati 2 tanda ketika mengalir karena gravitasi melalui
viskometer Ostwald.Untuk mengkalibrasi viskometer Ostwald adalah dengan air
yang sudah diketahui tingkat viskositasnya. Cara penggunaannya adalah :
a. pergunakan viskometer yang sudah bersih.
b. Pipetkan cairan ke dalam viskometer dengan menggunakan pipet.
c. Lalu hisap cairan dengan menggunakan pushball sampai melewati 2
batas.
d. Siapkan stopwatch, kendurkan cairan sampai batas pertama lalu mulai
penghitungan.
e. Catat hasil, dan lakukan penghitungan dengan rumus.
f. Usahakan saat melakukan penghitungan kita menggenggam di lengan
yang tidak berisi cairan (Desai,1997)
BAB II

METODOLOGI PERCOBAAN

2.1 Alat-alat yang digunakan


1. Wadah plastic 7. Kaca arloji
2. Batang pengaduk 8. Botol plastik
3. Gelas ukur 9. Viskometer Oswald
4. Timbangan 10. Corong
5. Pipet tetes 11. Cawan petri
6. Gelas piala 12. Piknometer
2.2 Bahan-bahan yang digunakan
1. LABS (linier alkyl benzene sulfonat) 5. Pewarna
2. SLS (sodium lauryl sulfonat) 6. Parfum
3. NaOH 7. Shampoo komersil (KIT)
4. Aquadest

2.3 Prosedur Percobaan


2.3.1 Pembuatan Larutan NaOH 1N
a. 10 gram NaOH Kristal ditimbang kedalam cawan petri
b. Aquadest 250 ml dimasukkan kedalam gelas ukur
c. 10 gram NaOH dimasukkan kedalam wadah, lalu air dimasukkan sedikit
demi sedikit
d. NaOH diaduk hingga homogen
2.3.2 Pembuatan LABSNa (40:60)
a. LABS 80 ml ditimbang kedalam gelas piala
b. NaOH ditimbang dari larutan NaOH sebanyak 120m ml
c. Aquadest disiapkan sebanyak 126 ml dalam gelas ukur
d. LABS dimasukkan sedikit demi sedikit kedalam wadah yang berisi larutan
NaOH sambil diaduk hingga homogen
2.3.3 Pembuatan Larutan SLS 50 gram
a. SLS sebanyak 50 gram ditimbang kedalam cawan petri
b. Lalu dimasukkan 250 ml aquadest kedalam gelas piala
c. SLS dan aquadest dicampur dan diaduk hingga homogeny
d. Parfum dan pewarna dicampurkan kedalam larutan SLS
2.3.4 Pembuatan Larutan SLS 20 gram
e. SLS sebanyak 20 gram ditimbang kedalam cawan petri
f. Lalu dimasukkan 250 ml aquadest kedalam gelas piala
g. SLS dan aquadest dicampur dan diaduk hingga homogeny
h. Parfum dan pewarna dicampurkan kedalam larutan SLS
2.3.5 Pembuatan Shampo
a. Larutan LABSNa yang telah jadi dimasukkan kedalam wadah
b. Lalu larutan LABSNa dan larutan SLS dicampurkan
c. Larutan diaduk hingga homogen, kemudian disaring
d. Kemudian dimasukkan kedalam botol
2.3.6 Uji Viskositas
a. Digunakan viscometer Oswald yang bersih dan kering
b. Dimasukkan 10 ml shampoo yang akan diukur viskositasnya kedalam
reservoar A
c. Cairan dihisap dari reservoar B sedikit diatas garis m, kemudian dihisap
dan ditutup menggunakan tangan agar cairan tidak turun
d. Tangan dilepaskan untuk menurunkan cairan. Waktu yang diperlukan
cairan untuk mengalir dari m ke n dicatat.
e. Dilakukan prosedur yang sama pada pengujian KIT
2.3.7 Uji Densitas
a. Gelas ukur yang kosong ditimbang
b. Lalu 10 ml shampo dimasukkan kedalam gelas ukur tersebut
c. Berat gelas ukur dan shampoo ditimbang
d. Berat jenis shampo dihitung dengan cara : berat gelas ukur dan shampo
yang telah ditimbang lalu dikurangi dengan berat gelas ukur kosong lalu
dibagi dengan volume shampo
2.3.8 Tes Aplikasi
a. Shampo hasil percobaan masing-masing dimasukkan kedalam botol
sebanyak 10 ml
b. Kemudian KIT dimasukkan kedalam botol sebanyak 10 ml
c. Aquadest ditambahkan kedalam shampoo lalu digauncang sampai busa
turun ke bawah
2.4 Rangkaian Alat

NaOH 1N H2O 250 SLS 50 H2O 250


10gr ml gr ml

NaOH 120 LABS 80 Larutan Pewarna pewangi


ml ml SLS

Larutan Larutan
LABSNa SLS

Shampo

Gambar 2.1 Rangkaian alat yang digunakan pada pembuatan shampo motor
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil Percobaan


Berikut ini adalah tabel data hasil pengamatan pada percobaan pembuatan
shampo motor.
Tabel 3.1 Hasil Pengamatan Pembuatan sampo motor
No Perlakuan Hail pengamatan
1. NaOH 3 1N 10 gr + Aquades 250 ml Larutan bening
2. Larutan NaOH 120 ml + 80 ml LABS Larutan kental berwarna hitam dan
berbuih
3. 50 gr SLS + 250 ml aquadest + Larutan berwarna merah maron,
parfum + pewarna berbau harum dan timbul busa pada
larutan saat pengadukan
4. 20 gr SLS + 250 ml aquadest + Larutan berwarna oren, berbau harum
parfum + pewarna dan timbul busa pada larutan saat
pengadukan
5. Larutan LABSNa + Larutan SLS Shampo berbau harum, kental dan
timbul busa pada shampo saat
pengadukan
6. Uji viskositas shampoo pertama µ shampoo pertama = 0,77 ml/s
Uji viskositas shampoo kedua µ shampoo kedua = 0,53 ml/s
Uji viskositas KIT µ KIT = 0,135 ml/s
7. Uji densitas shampo pertama 10 ml ρ shampo pertama = 1,059 gr/ml
Uji densitas shampo kedua 10 ml ρ shampoo kedua = 1,056 gr/ml
Uji densitas KIT 10 ml ρ KIT = 1,035 gr/ml
8. Uji aplikasi shampoo Menghasilkan banyak busa, lembut,
harum, kesat ditangan
9. Uji aplikasi KIT Menghasilkan banyak busa, lebih
lembut, lebih harum
3.2 Reaksi yang terjadi
Reaksi yang terjadi dalam pembuatan shampo motor antara lain :
a. Pembuatan Larutan NaOH 3N
NaOH(L) + H2O NaOH (aq)
b. Pembuatan Larutan LABSNa

C12H25OSO3H + H2O C12H25OSO3H


LABS LABS

C12H25OSO3H +NaOH C12H25OSO3Na + H2O


LABS LABSNa

c. Pembuatan Larutan SLS


SLS(s) + H2O SLS(aq)

Reaksi Pembentukan LABSNa

+ NaOH

LABS + NaOH LABSNa

3.3 Pembahasan

Bahan yang digunakan dalam pembuatan shampo motor adalah NaOH,


LABS, LAS dan bahan aditif berupa pewangi dan pewarna. NaOH merupakan
suatu alkali/ basa yang digunakan untuk sebagai pelarut dan penetral dalam
pembuatan larutan LABSNa, sedangkan LABS (linier akyl benzene sulfonate)
merupakan surfaktan utama dalam pembuatan shampo dan SLS (sodium lauryl
sulfonate) merupakan surfaktan anionik atau surfaktan penunjang yang berfungsi
untuk membersihkan. Bahan aditif pada pembuatan shampo yaitu pewarna dan
pewangi yang berfungsi untuk mewarnai dan mewangikan shampo. Penambahan
aquadest berfungsi sebagai pelarut yang melarutkan kristal NaOH. Pembuatan
larutan NaOH dilakukan dengan cara pengenceran, larutan NaOH
mengeluarkan hawa panas. Hawa panas yang keluar ini menjadi tanda bahwa
NaOH memiliki sifat eksoterm dikarenakan sifat basa nya. Larutan NaOH dalam
pembuatan shampo berfungsi sebagai penetral untuk membentuk shampo dan untuk
mengatur kekentalannya.

3.3.1 Pembuatan Larutan NaOH 1N


Dalam percobaan pembuatan shampo digunakan larutan NaOH dengan
konsentrasi 1N. Pada proses ini, hal pertama yang dilakukan adalah menimbang
padatan NaOH 1N sebanyak 10 gram yang akan dilarutkan dalam 250 ml
aquadest dan menghasilkan larutan berwarna bening. Tujuan pembuatan larutan
NaOH 1N adalah sebagai alkali/basa yang akan digunakan untuk melarutkan
LABS pada pembuatan shampo dan sebagai penetral dalam pembuatan larutan
LABSNa.

3.3.2 Pembuatan Larutan LABSNa


Pada proses pembuatan shampo motor, langkah pertama yang harus
dilakukan adalah membuat larutan NaOH sebanyak 10 gram yang akan
dilarutkan dalam aquadest sebanyak 250 ml sehingga menghasilkan larutan
berwarna bening. Tujuan membuat larutan NaOH adalah sebagai pelarut yang
akan melarutkan LABS sehingga menghasilkan LABSNa. Setelah larutan NaOH
dibuat, langkah selanjutnya adalah membuat larutan LABSNa. LABS merupakan
surfaktan utama dalam pembuatan shampo motor, LABS pertama ditimbang
sebanyak 80 ml kemudian dilarutkan dengan larutan NaOH sebanyak 120 ml dan
menghasilkan larutan berwarna hitam kental dan terdapat busa pada larutan
LABSNa Hal ini dikarenakan LABS telah bereaksi dengan larutan alkali/basa
(larutan NaOH).

3.3.3 Pembuatan Larutan SLS


Proses selanjutnya dalam pembuatan shampo motor adalah membuat
larutan SLS. SLS merupakan surfaktan anionik yang berfungsi untuk
membersihkan lemak. SLS pertama dan kedua ditimbang masing-masing
sebanyak 50 gram dan 20 gram dilarutkan dengan aquadest sebanyak 250 ml
menghasilkan larutan berwarna bening dan terdapat busa pada saat pengadukan.
Kemudian larutan SLS ditambahkan parfum dan pewarna sehingga larutan akan
berwarna oren dan berbau harum.

3.3.4 Pembuatan Shampo


Setelah semua larutan tersedia proses selanjutnya adalah pembuatan
shampo. Pada proses ini larutan LABSNa dicampur dengan larutan SLS dan
diaduk sampai kedua larutan homogen. Penambahan larutan SLS bertujuan untuk
memberikan busa pada shampo. Shampo yang dihasilkan pada percobaan ini
menghasilkan banyak busa, busa yang terdapat pada shampo dipisahkan dengan
mengambil busa dan meletakkannya ke wadah lain. Kemudian shampo
dimasukkan kedalam botok plastik. Shampo pertama yang dihasilkan berwarna
merah maron dan shampoo kedua bewarna orange juga berbau harum.

3.3.5 Uji Viskositas


Setelah shampo dibuat, proses selanjutya adalah menguji viskositas
shampo dan pembanding yang digunakan adalah KIT motor. Viskositas adalah
gesekan internal fluida, dengan suatu pernyataan “tahanan untuk mengalir” dari
suatu sistem yang mendapatkan suatu tekanan. Uji viskositas dapat dilakukan
dengan alat Viskometer Oswald, waktu yang diperlukan oleh shampo pertama
dan kedua untuk turun melewati batas bawah pada viskometer oswald adalah 13
detik sedangkan waktu yang diperlukan KIT 110 detik. Dari hasil perhitungan
didapat viskositas shampo 0,0625 ml/s sedangkan viskositas KIT adalah 0,1364
ml/s. Berdasarkan uji viskositas, shampo hasil percobaan lebih kental dari pada
shampo KIT motor. Semakin besar viskositas suatu sampel maka semakin besar
gaya yang diperlukan oleh sampel untuk mengalir pada kecepatan tertentu.

3.3.6 Uji Densitas


Setelah menguji viskositas shampo, langkah selanjutnya adalah melakukan
uji densitas menggunakan alat picnometer. Langkah pertama adalah memastikan
bahwa tidak ada air didalam picnometer, setelah itu dilakukan kalibrasi terhadap
picnometer menggunakan aquadest supaya data yang didapat lebih akurat.
Selanjutnya dilakukan pengujian densitas untuk shampo motor dan KIT dengan
volume masing-masing sebanyak 10 ml, setelah itu picnometer ditimbang. Dari
hasil perhitungan didapat densitas shampo 1,015 gr/ml sedangkan untuk densitas
KIT 1,005 gr/ml.

3.3.7 Uji Aplikasi


Uji aplikasi untuk shampo motor dan KIT dilakukan dengan cara mebolak
balikan sampo yang ada didalam botol sampai menimbulkan busa. Setelah
busanya timbul, kemudian dibandingkan banyak busa yang dihasilkan shampo
atau KIT. Shampo yang menimbulkan busa lebih banyak yaitu sampo pada
percobaan.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
1. Shampo dapat dibuat dengan mereaksikan LABS dengan NaOH dan SLS
2. Densitas shampo pertama dan kedua masing-masing percobaan yaitu 1,059
gram/ml dan 1,056 gram/ml sedangkan shampo KIT yaitu 1,001 gram/ml
3. Viskositas shampoo pertama dan kedua masing- masing percobaan yaitu
0,77 ml/s dan 0,53 ml/s viskositas KIT yaitu 0,135 ml/s
4. Uji aplikasi shampoo dengan cara mencuci tangan membuat tangan lebih
kesat daripada mencuci tangan menggunakan KIT

4.2 Saran
Sebaiknya praktikan harus lebih berhati-hati dalam mengaduk SLS dan
LABSNa karena larutan tersebut tidak boleh sampai berbusa apabila berbusa,
shampo yang didapat sedikit. Kemudian untuk takaran perbandingan antara
LABS dengan SLS harus sesuai agar shampo yang didapat tidak encer.
LAMPIRAN B
PERHITUNGAN

B.1 Perhitungan Densitas Shampo


a. Perhitungan Densitas Shampo pertama
ρ(rho) : (berat piknometer + berat shampo) – berat piknometer
volume (ml)
ρ(rho) : 25,71 gr - 15,12 gr
10 ml
ρ(rho) : 1,059 gr/ml

b. Perhitungan Densitas Shampo kedua


ρ(rho) : (berat piknometer + berat shampo) – berat piknometer
volume (ml)
ρ(rho) : 25,68 gr - 15,12 gr
10 ml
ρ(rho) : 1,056 gr/ml

c. Perhitungan Densitas KIT


ρ(rho) : (berat piknometer + berat shampo) – berat piknometer
volume (ml)
ρ(rho) : 25,68 gr – 15,33 gr
10 ml
ρ(rho) : 1,035 gr/ml

B.2 Perhitungan Viskositas


a. Viskositas shampo pertama
µ = Volume/waktu
= 10 ml/ 13 detik
= 0,77 ml/s

b. Viskositas shampo pertama


µ = Volume/waktu
= 10 ml/ 19 detik
= 0,53 ml/s

c. Viskositas KIT
µ = Volume/waktu
= 10 ml/ 74 detik
= 0,135 ml/s

Anda mungkin juga menyukai