Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada saat ini perkembangan mobil dan motor berkembang dengan sangat
pesat dan bahkan hampir semua masyarakat memilikinya. Dengan meningkatnya
perkembangan mobil dan motor ini menyebabkan munculnya kebutuhan baru yaitu
sebuah produk yang dapat di gunakan untuk merawat/membersihkan mobil dan motor
secara efektif dan efisien. Karena bagaimanapun juga mobil/motor tersebut perlu di
bersihkan dari kotoran-kotoran yang melekat agar tampilan mobil/motor tetap terlihat
bagus. Dan tentunya bahan yang digunakan untuk mencucipun tidak boleh
sembarangan karena harus dapat melindungi cat motor/mobil agar tidak cepat rusak.
Dan kebanyakan digunakan shampo mobil untuk pencucian (Amin, 2011).
Dewasa ini shampo yang menggunakan bahan alam sudah banyak
ditinggalkan masyarakat dan diganti dengan shampo yang terbuat dari bahan deterjen.
Sehingga saat ini jika orang berbicara mengenai shampo yang dimaksud adalah
shampo yang terbuat dari bahan deterjen (Anonim, 2009).
Shampo yang terbuat dari bahan deterjen lebih banyak digunakan karena
memiliki efektifitas pencucian yang lebih bagus. Hal ini dikarenakan kandungan
surfaktan dalam deterjen memiliki kemampuan untuk menurunkan tegangan
permukaan serta mampu mengikat dan membersihkan kotoran. Surfaktan itu sendiri
merupakan suatu senyawa aktif penurun tegangan permukaan yang dapat diproduksi
melalui sintesis kimiawi maupun biokimiawi. Karakteristik utama surfaktan adalah
memiliki gugus polar dan non polar pada molekul yang sama (Anonim, 2009).

1.2 Tujuan

a)      Mempelajari cara pembuatan shampo motor


b)      Menentukan karakteristik shampo motor
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Shampo Motor


Shampo motor atau adalah suatu detergen yang sekarang sudah banyak
dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan yang penting dalam pembuatan shampo ini
adalah surfaktan, yaitu LABS (Linier Alkyl Benzene Sulfonat) atau kadang disebut
juga Linier Alkyl Benzene (LAS) dan surfaktan penunjang yaitu SLS (Sodium Lauryl
Sulfonat). Surfaktan (Surface Active Agents), zat yang dapat mengaktifkan
permukaan, karena cenderung untuk terkonsentrasi pada permukaan atau antar muka.
Surfaktan mempunyai orientasi yang jelas sehingga cenderung pada rantai lurus.
Sabun merupakan salah satu contoh dari surfaktan. Molekul surfaktan mempunyai
dua ujung yang terpisah, yaitu ujung polar (hidrofilik) dan ujung non
polar (hidrofobik) . Surfaktan dapat digolongkan menjadi dua golongan besar, yaitu
surfaktan yang larut dalam minyak dan surfaktan yang larut dalam air teknologi
pembuatan shampo motor atau mobil ini termasuk salah satu teknologi tepat guna
dalam pembuatannya. Karena dalam proses pembuatannya tidak memerlukan alat
yang canggih dan proses yang rumit (Anonim, 2009).

2.2.      Detergen                 
Produk yang disebut deterjen ini merupakan pembersih sintetis yang terbuat
dari bahan-bahan turunan minyak bumi. Dibanding dengan produk terdahulu yaitu
sabun, deterjen mempunyai keunggulan antara lain mempunyai daya cuci yang lebih
baik serta tidak terpengaruh oleh kesadahan air. Deterjen adalah surfaktan anionik
dengan gugus alkil (umumnya C9 – C15) atau garam dari sulfonat atau sulfat berantai
panjang dari Natrium (RSO3- Na+ dan ROSO3-Na+) yang berasal dari derivat minyak
nabati atau minyak bumi (fraksi parafin dan olefin).
Pada umumnya, deterjen mengandung bahan-bahan berikut:
      1.      Surfaktan (surface active agen)
Zat aktif permukaan yang mempunyai ujung berbeda yaitu hydrophile (suka
air) dan hydrophobe (suka lemak). Bahan aktif ini berfungsi menurunkan tegangan
permukaan air sehingga dapat melepaskan kotoran yang menempel pada permukaan
bahan. Surfaktant ini baik berupa anionic (Alkyl Benzene Sulfonate/ABS, Linier
Alkyl Benzene Sulfonate/LAS, Alpha Olein Sulfonate/AOS), Kationik (Garam
Ammonium), Non ionik (Nonyl phenol polyethoxyle), Amfoterik (Acyl
Ethylenediamines)
       2.      Builder (Pembentuk)
Zat yangberfungsi meningkatkan efisiensi pencuci dari surfaktan dengan cara
menon-aktifkan mineral penyebab kesadahan air. Baik berupa Phosphates (Sodium
Tri Poly Phosphate/STPP), Asetat (Nitril Tri Acetate/NTA, Ethylene Diamine Tetra
Acetate/EDTA), Silikat (Zeolit)  dan Sitrat (asam sitrat).
      3.      Filler (Pengisi)
Bahan tambahan deterjen yang tidak mempunyai kemampuan meningkatkan
daya cuci, tetapi menambah kuantitas atau dapat memadatkan dan memantapkan
sehingga dapat menurunkan harga. Contoh : Sodium sulfate
     4.      Additives (Zat Tambahan)
Bahan suplemen/ tambahan untuk membuat produk lebih menarik, misalnya
pewangi, pelarut, pemutih, pewarna dan sebagainya yang tidak berhubungan
langsung dengan daya cuci deterjen. Additives ditambahkan lebih untuk maksud
komersialisasi produk. Contoh : Enzyme, Borax, Sodium chloride, Carboxy Methyl
Cellulose (CMC) dipakai agar kotoran yang telah dibawa oleh deterjent ke dalam
larutan tidak kembali ke bahan cucian pada waktu mencuci (anti redeposisi). Wangi –
wangian atau parfum dipakai agar cucian berbau harum, sedangkan air sebagai bahan
pengikat.
Awalnya deterjen dikenal sebagai pembersih pakaian, namun kini meluas
dalam bentuk produk-produk seperti:
1.    Personal cleaning product, sebagai produk pembersih diri seperti sampo, sabun
cuci tangan, dan lain-lain.
2.    Laundry, sebagai pencuci pakaian, merupakan produk deterjen yang paling
populer di masyarakat.
3.    Dishwashing product, sebagai pencuci alat-alat rumah tangga baik untuk
penggunaan manual maupun mesin pencuci piring.
4.    Household cleaner, sebagai pembersih rumah seperti pembersih lantai,
pembersih
bahan-bahan porselen, plastik, metal, gelas.

2.2.1.   Klasifikasi Deterjen
a. Menurut kandungan gugus aktif
Menurut kandungan gugus aktifnya maka deterjen diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Deterjen jenis keras
Deterjen jenis keras sukar dirusak oleh mikroorganisme meskipun bahan
tersebut dibuang akibatnya zat tersebut masih aktif. Jenis inilah yang menyebabkan
pencemaran air.
Contoh: Alkil Benzena Sulfonat (ABS).
Proses pembuatan ABS ini adalah dengan mereaksikan Alkil benzena dengan
Belerang trioksida, asam Sulfat pekat atau Oleum. Reaksi ini menghasilkan Alkil
Benzena Sulfonat. Jika dipakai Dodekil benzena maka persamaan reaksinya adalah
C6H5C12H25 + SO3C6H4      menghasilkan         C12H25SO3H    (Dodekil Benzena Sulfonat)
Reaksi selanjutnya adalah netralisasi dengan NaOH sehingga dihasilkan
Natrium Dodekil Benzena Sulfonat.
      2.       Deterjen jenis lunak
Deterjen jenis lunak, bahan penurun tegangan permukaannya mudah dirusak
oleh mikroorganisme, sehingga tidak aktif lagi setelah dipakai .
Contoh: Lauril Sulfat atau Lauril Alkil Sulfonat. (LAS).
Proses pembuatan (LAS) adalah dengan mereaksikan Lauril Alkohol dengan
asam Sulfat pekat menghasilkan asam Lauril Sulfat dengan reaksi:
C12H25OH  + H2SO4   menghasilkan                 C12H25OSO3H + H2O
Asam Lauril Sulfat yang terjadi dinetralisasikan dengan larutan NaOH
sehingga dihasilkan Natrium Lauril Sulfat.
b.Berdasarkan muatannya dibedakan menjadi :
1. Deterjen Anion
Deterjen bermuatan negatif  yang berasal dari gugus alkil sulfat seperti alkil
benzen sulfonat.
     2. Deterjen Kation
Deterjen bermuatan positif yang berasal dari gugus amonia. Umumnya
digunakan untuk germisida pada rumah sakit, sampo, dan pembilas baju.
    3.  Deterjen Nonionik
Deterjen bermuatan netral, umumnya dipakai untuk pencuci piring dan
berbusa sedikit dibanding dengan deterjen ionik lainnya. Mempunyai gugus polar
yaitu gugus alkohol dan ester serta non polar yaitu rantai hidrokarbon yang panjang

2.3.      Surfaktan
Komponen yang paling penting dari sistem deterjen adalah surfaktan. Sistem
bahan pembersih pertamapada sabun adalah surfaktan. Terbentuk dari lemak nabati
maupun hewani ditambah air dan alkali. Hal ini merupakan  salah satu alasan
mengapa tahun 1940-an,sabun  mulai diganti dengan sintetisdeterjen, yaitu,
kombinasi sintetis surfaktan, sebagian besar alkylbenzene sulfonat (ABS), dan zat
pembangun pentasodium tripolifosfat (STPP). Faktor lingkungan menyebabkan
penggantian ABS oleh alkylbenzene linier sulfonat (LAS), dan penggantian STPP
oleh zeolit, karena pembangunnya lebih kompleks (Bailey’s, 1996).
Surfaktan merupakan suatu senyawa aktif penurun tegangan permukaan  yang
dapat diproduksi melalui sintesis kimiawi maupun biokimiawi. Karakteristik utama
surfaktan adalah memiliki gugus polar dan non polar pada molekul yang sama.
Sifat aktif permukaan yang dimiliki surfaktan diantaranya mampu
menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka dan meningkatkan kestabilan
sistem emulsi. Tegangan permukaan adalah gaya dalam dyne yang bekerja pada
permukaan sepanjang 1 cm dan dinyatakan dalam dyne/cm, atau energi yang
diperlukan untuk memperbesar permukaan atau antarmuka sebesar 1 cm2 dan
dinyatakan dalam erg/cm2. Surface tension umumnya terjadi antara gas dan cairan
sedangkan Interface tension umumnya terjadi antara cairan dan cairan lainnya atau
kadang antara padat dan zat lainnya (Anonim, 2009).
 Hal ini membuat surfaktan banyak digunakan dalam berbagai industri, seperti
industri sabun, deterjen, produk kosmetika dan produk perawatan diri, farmasi,
pangan, cat dan pelapis, kertas, tekstil, pertambangan dan industri perminyakan
untuk Enhanced Oil Recovery (EOR). Surfaktan ini dapat berupa anionic (Alkyl
Benzene Sulfonate/ABS, Linier Alkyl Benzene Sulfonate/LAS, Alpha Olein
Sulfonate/AOS), Kationik (Garam Ammonium), Nonionic (Nonyl Phenol
polyethoxyle), Amphoterik (acyl ethylenediamines) (Elefani, 2008).
Jika surfaktan dilarutkan dalam satu fase pada campuran minyak dan air,
sebagian surfaktan akan berkonsentrasi pada permukaan antara  minyak-air, dan pada
kesetimbangan energi bebas  (disebut tegangan antar muka atau permukaan) akan
lebih rendah dari tidak adanya surfaktan. Energi mekanik yang diberikan ke dalam
sistem (misalnya, dengan mencampur) berfungsi untuk membagi satu fasa, akan
meningkatkan jumlah total tegangan permukaan dan energi. Semakin rendah jumlah
energi bebas antarmuka per satuan luas, semakin besar jumlah luas antar muka baru
yang dapat dibuat dengan jumlah energi masuk yang diberikan . Tahap yang terbagi
lagi disebut fase terputus-putus, dan fase lainnya adalah fase kontinyu (Bailey’s,
1996).
Surfaktan memiliki lipofilik (suka lemak) dan hidrofilik (suka air).
Bagian lipofilik dari surfaktan biasanya merupakan rantai-panjang asam lemak yang
diperoleh dari lemak atau minyak. Bagian hidrofilik adalah nonionik (misalnya
gliserol); anionik (bermuatan negatif, misalnya laktat), atau amfoter, baik membawa
muatan positif dan negatif (misalnya, asam amino serin).
Surfaktan  yang berasal dari petrokimia, didominasi oleh LAS, sebagian besar
telah menggantikan komposisi sabun. Namun demikian, surfaktan berbasis oleokimia
masih berperan penting dalam formulasi deterjen. Sabun itu sendiri umumnya hadir
sebagai komponen kecil untuk pengkontrol busa, mengurangi transfer pewarna, dan
bertindak sebagai kosurfaktan atau zat pembangun. Selain LAS surfaktan dari
petrokimia yang sering digunakan, adalah alkohol etoksilat, ethoxysulfates alcohol,
dan sulfat alkohol primer, berasal dari alkohol rantai panjang yang dapat bersumber
dari petrochemically atau oleochemically. Surfaktan lain yang telah digunakan di
Jepang antara lain Metil Ester Sulfonat, alkyl polyglycosides, dan glucamides telah
banyak digunakan. Surfaktan tersebut digunakan pada dasarnya sebagai pengganti
anionik untuk LAS (Bailey’s, 1996).
Surfaktan, termasuk sabun, memiliki struktur bipolar, terdiri dari
baik hidrofobik (ekor) dan kelompok hidrofilik (kepala). Sebagai hasil dari struktur
bifunctional, surfaktan memiliki banyak sifat fisik yang unik. Dalam larutan,
surfaktan  berkonsentrasi sebagai monolayers di daerah antar muka antara dua fase
konstanta dielektrik yang berbeda atau polaritas. Contoh daerah antarmuka adalah
minyak dan air atau udara dan air. Bagian hidrofilik preferentially solubilizes dalam
fase polaritas kutub atau lebih tinggi, sedangkan hidrofobikbagian secara
istimewa solubilizes dalam tahap polaritas nonpolar lebih rendah. Kehadiran
surfaktan pada antarmuka memberikan stabilitas di antarmuka dengan menurunkan
total energi pada permukaan (Bailey’s, 1996).
Dengan demikian, surfaktan memfasilitasi stabilisasi bercampur, biasanya
fase tidak bercampur, seperti minyak dalam air, dengan menurunkan energi yang
diperlukan untuk mempertahankan besar interfacial wilayah yang terkait dengan
pencampuran. Sebagai contoh, tanpa adanya surfaktan, suatu dalam campuran
minyak-air, biasa disebut sebagai suatu emulsi, cepat memisahkan ke dua lapisan
yang berbeda untuk meminimalkan area permukaan atau kontak antara dua fase.
Kemampuan surfaktan untuk menurunkan ini energi antarmuka antara minyak dan air
memungkinkan untuk pembentukan dan stabilisasi tetesan minyak yang lebih kecil
dan akan tersebar di seluruh air. Dalam hal ini, penurunan energi antarmuka
mengakibatkan peningkatan permukaan total luas pada sistem. Lain halnya dengan
surfaktan yang berkemampuan untuk membentuk agregat dalam larutan dan
membentuk komposit dengan berbagai struktur, seperti misel dan kristal cair, sebagai
fungsi dari konsentrasi dan suhu (Bailey’s, 1996).
2.3.1.   Macam-macam Surfaktan
a.         Linear Alkyl Benzene Sulfonate (LABS)
Alkylbenzene merupakan bahan baku dasar untuk membuat Linear Alkyl
benzene sulfonate. Linear alkylbenzene sulfonate disebut juga dengan nama acid
slurry. Acid slurry merupakan bahan baku kunci dalam pembuatan serbuk deterjen
sintetik dan deterjen cair. Alkylbenzene disulponasi menggunakan asam sulfat, oleum
atau SO3(g). Linear Alkylbenzene sulfonate diperoleh dengan variasi proses yang
berbeda pada bahan yang aktif, bebas asam, warna maupun viskositas. Bahan baku
utama untuk membuat acid slurry  adalah dodecyl benzene, linear alkyl
benzene. Nama Kimia Acid Slurry D.D.B.S. adalah Dodecyl Benzene Sulphonate dan
L.A.B.S dan Linear Alkyl Benzene Sulphonate (NIIR Board, 2004)
Alkylbenzene Sulfonates (ABS) merupakan bahan baku kunci pada industri
deterjen selama lebih dari 40 tahun dan berjumlah kira-kira 50 persen volum total
surfaktan anionik sintetik. Linear alkylbenzene Sulfonates (LAS) digunakan secara
luas menggantikan Branch alkylbenzene sulfonates (BAB) dalam jumlah besar yang
ada didunia karena LAS merupakan bahan deterjen yang lebih biodegradabilitas
dibandingkan BAB. Produk umumnya dipasarkan berupa asam bebas (free acid) atau
yang dinetralkan dengan basa kuat seperti sodium hidroksida yang ditambahkan
kedalam slurry, yang umumnya dalam bentuk pasta. Sebagian besar pasta di produksi
pada sprayed-dried menghasilkan serbuk deterjen. Pasta bisa juga di proses
dengan drum-dried menjadi serbuk atau flake atau spray dried menjadi butir-butir
halus yang memiliki densitas rendah. Bentuk kering LAS digunakan terutama pada
industri dan produk kebersihan.
Agar berguna sebagai surfaktan, pertama Alkylbenzene harus disulfonasi.
Untuk proses sulfonasi biasanya digunakan Oleum dan SO3 . Sulfonasi dengan oleum
memerlukan biaya peralatan yang relatif tidak mahal dan bisa dijalankan dengan
proses batch atau continuous. Bagaimanapun ia juaga memiliki kerugian dalam
terminologi dibandingkan harga SO3, sulfonasi dengan oleum memerlukan aliran
pembuangan sisa asam dan ia juga memberikan masalah corossi potensial yang
disebabkan oleh asam sulfat. Proses oleum biasanya menghasilkan 90% ABS, 6
sampai 10% asam sulfat, dan 0,5 sampai 1% minyak yang tidak mengalami proses
sulfonasi (Kent and Riegels, 2007).
b.         Sodium Lauril Sulfat (SLS)
Natrium lauril sulfat (SLS), atau sodium deodecil sulfat (NaDS atau
C12H25SO4Na) adalah surfaktan anionoik yang digunakan dalam membersihkan
lemak, dan pada produk-produk untuk kebersihan. Molekul ini memiliki 12 atom
karbon, yang melekat pada gugus sulfat, dan memberikan sifat amphiphilic yang
dibutuhkan deterjen. SLS adalah surfaktan yang sangat efektif dan digunakan untuk
menghilangkan noda berminyak dan residu. Sebagai contoh, SLS ditemukan dalam
konsentrasi yang tinggi pada produk industry, termasuk degreasers mesin, pembersih
lantai, sampo mobil. Penggunaan SLS dengan konsentrasi yang lebih rendah yaitu
pada pembuatan pasta gigi, shampoo rambut, dan busa cukur. Sodium lauril
sulfat merupakan komponen penting dalam formulasi untuk efek penebalan busa dan
kemampuannya untuk menciptakan busa.
Penelitian menunjukkan bahwa SLS tidak karsinogenik jika terkontaminasi
langsung pada kulit ataupun dikonsumsi. Natrium lauril sulfat mengurangi rasa manis
pada gigi, efek biasa terlihat setelah penggunaan pasta gigi yang mengandung bahan
ini. Penelitian menunjukkan bahwa SLS dapat merupakan mikrobisida topikal yang
berpotensi efektif, yang juga dapat menghambat dan  mencegah infeksi oleh virus
seperti virus Herpes simpleks. Selain itu SLS dapat meningkatkan kecepatan
pembentukan hidrat metana sebesar 700 kali kecepatan awal. Dalam pengobatan,
natrium lauril sulfat digunakan sebagai pencahar dubur di enema, dan sebagai
eksipien pada aspirin terlarut dan kaplet terapi serat lainnya.
Natrium lauril sulfat, dalam sains disebut sebagai sodium dodecyl sulfat
(SDS) atau Duponol, umumnya digunakan dalam menyusun protein untuk
elektroforesis dalam teknik SDS-PAGE. Senyawa ini bekerja dengan mengganggu
ikatan non-kovalen dalam protein, sehingga protein mengalamii denaturing, dan
menyebabkan molekul kehilangan bentuk asli mereka (konformasi). SLS disintesis
dengan mereaksikan lauril alkohol dengan asam sulfat untuk menghasilkan hidrogen
lauril sulfat yang kemudian dinetralisir melalui penambahan natrium karbonat.
Karena metode ini sintesis, SLS komersial yang tersedia sebenarnya tidak sulfat
dodesil murni tetapi campuran alkil sulfat dengan sulfat dodesil sebagai komponen
utama. SLS dapat memperburuk masalah kulit pada individu
dengan hipersensitivitas kulit kronis (Marrakchi S & Maibach HI, 2006).
c.      Alkil Benzena Sulfonat (ABS).
Proses pembuatan ABS ini adalah dengan mereaksikan Alkil benzena dengan
Belerang trioksida, asam Sulfat pekat atau Oleum. Reaksi ini menghasilkan Alkil
Benzena Sulfonat. Jika dipakai Dodekil benzena maka persamaan reaksinya adalah
C6H5C12H25 + SO3                  C6H4C12H25SO3H    (Dodekil Benzena Sulfonat)
Reaksi selanjutnya adalah netralisasi dengan NaOH sehingga dihasilkan
Natrium Dodekil Benzena Sulfonat. Linear alkylbenzene (kadang-kadang disebut
alkil benzena linear atau hanya LAB) adalah perantara dalam produksi deterjen.
Dorongan ke arah yang lebih ramah lingkungan akhir-akhir ini menggunakan bahan
kimia ramah sejak 1960-an mengakibatkan LAB muncul sebagai cikal bakal
dominan biodegradable deterjen.
d.         Glikolipid
Biosurfaktan yang paling dikenal adalah glikolipid. Glikolipid merupakan
karbohidrat yang dikombinasikan dengan rantai panjang asam aliphatic atau asam
hydroxyaliphatic. Contoh bakteri penghasil biosurfaktan glikolipid
adalah Pseudomonas sp., Rhodococcus erythropolis, Torulopsis sp. dan lain-lain.
Ada 3 glikolipid yang paling dikenal, yaitu rhamnolipid, trehalolipid dan sophorolipid
(Desai, 1997).
e.         Metil Ester Sulfonat
Metil ester sulfonat merupakan surfaktan anionik yaitu surfaktan yang
bermuatan negatif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan (surface
active).
Menurut Watkins (2001), jenis minyak yang dapat digunakan sebagai bahan
baku pembuatan metil ester sulfonat (MES) adalah kelompok minyak nabati seperti
minyak kelapa, minyak sawit, minyak inti sawit, stearin sawit, minyak kedelai
atau tallow. Metil ester sulfonat dari minyak nabati yang mengandung atom karbon
C10, C12, dan C14 biasa digunakan untuk light duty diswashing detergent, sedangkan
MES dari minyak nabati dengan atom karbon C16-C18 dan tallow biasa digunakan
untuk detergen bubuk dan detergen cair (liquid laundry detergent).
Menurut Matheson (1996), metil ester sulfonat (MES) telah mulai
dimanfaatkan sebagai bahan aktif pada produk-produk pembersih (washing and
cleaning products). Pemanfaatan surfaktan jenis ini pada beberapa produk adalah
karena metil ester sulfonat memperlihatkan karakteristik dispersi yang baik, sifat
detergensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard
water) dan tidak adanya fosfat, ester asam lemak C14, C16, dan C18 memberikan
tingkat detergensi terbaik serta bersifat mudah didegradasi (good biodegradability).
Jika dibandingkan petroleum sulfonat, surfaktan MES menunjukkan beberapa
kelebihan diantaranya yaitu pada konsentrasi MES yang lebih rendah daya
detergensinya sama dengan petroleum sulfonat, dapat mempertahankan aktivitas
enzim yang lebih baik, toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium, dan
kandungan garam (disalt) lebih rendah.
Menurut Hui (1996), pada dasarnya metil ester sulfonat (MES) digunakan
sebagai surfaktan anionik pengganti LAS dan FAES (Fatty alcohol ether
sulfate). Metil ester sulfonat (MES) diklaim memiliki beberapa manfaat diantaranya
sifat deterjensinya baik pada konsentrasi rendah, beban terhadap lingkungan lebih
rendah, merupakan pasokan yang baik untuk bahan yang berkualitas tinggi.
Bentuk dari produk metil ester sulfonat (MES) menurut MacArthur  et al.,
(1998) sangatlah penting, karena adanya kesulitan khusus dalam memformulasi metil
ester sulfonat (MES) ke dalam sistem alkalin yang mengandung air.  Metil ester
sulfonat (MES) memperlihatkan stabilitas hidrolitik yang kurang baik pada pH yang
tinggi dibandingkan dengan surfaktan anionik yang umum  seperti linear alkilbenzen
(LAB) sodium sulfonat.  Sebagai contoh, ketika formulasi  heavy duty laundry
tertentu mengandung metil ester sulfonat (MES) di  spray dried, maka fraksi metil
ester sulfonat (MES) yang besar akan didegradasi ke bentuk  di-salt selama proses
pengeringan, sehingga hasil produknya memiliki stabilitas umur simpan yang buruk.
Mac Arthur et al., (1998) menambahkan bahwa untuk memproduksi produk-
produk yang formulanya mengandung metil ester sulfonat (MES) dibutuhkan
teknologi yang cukup dan diusahakan metil ester sulfonat (MES) ada dalam bentuk
fisik yang sesuai. Sebagai contoh, ketika menggunakan metil ester sulfonat (MES)
dalam laundry detergent granules, teknologi yang menarik adalah  aglomerasi, yang
secara substansial berada dalam kondisi kering (kelembaban kurang dari 2%), untuk
selanjutnya metil ester sulfonat (MES) bubuk dicampur dengan builder yang
diinginkan dan ingridient lain dalam formulasi. 
Daya detergensi linear alkilbenzen sulfonat (LAS), alkohol sulfat (AS) dan
MES selain dipengaruhi oleh panjang rantai karbon juga dipengaruhi oleh kesadahan
air yang digunakan. Semakin panjang rantai karbon asam lemak, maka daya
detergensinya semakin meningkat. Metil ester sulfonat (MES) palmitat (C 16)
mempunyai daya detergensi paling tinggi dibandingkan dengan LAS dan AS yaitu
sekitar 76%, sedangkan LAS dan AS masing-masing hanya sebesar 70% dan 60%.
Semakin tinggi kesadahan air yang digunakan, maka daya detergensi LAS, AS, dan
MES semakin rendah. Pada tingkat kesadahan 360 ppm CaCO 3 daya detergensi dari
MES lebih tinggi (56%) dibandingkan dengan LAS (20%) dan AS (38%) (Yamane
and Miyawaki, 1990).
Metil ester sulfonat (C16) bersifat lebih mudah terbiodegradasi dibandingkan
dengan LAS dan AS. Pada hari ke-5, MES (C 16) terbiodegradasi sempurna dan tidak
meninggalkan residu karbon organic, sedangkan AS terbiodegradasi secara sempurna
setelah hari ke-5, sedangkan LAS walaupun senyawa tersebut mengandung rantai
karbon pendek tetapi relatif lebih sulit terbiodegradasi secara sempurna. Hal ini
disebabkan karena LAS mengandung senyawa karbon aromatic (rantai karbon
berbentuk cincin). Biodegradasi maksimum dari LAS terjadi setelah hari ke-10
dengan menghasilkan residu C organik sebesar 34% (Yamane and Miyawaki, 1990). 

Anda mungkin juga menyukai