PENDAHULUAN
1
1.2 Tujuan Praktikum
1. Mempelajari cara pembuatan shampo motor atau mobil.
2. Menentukan karakteristik shampo motor atau mobil
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Surfaktan
Surfaktan merupakan komponen yang paling penting dari sebuah deterjen
karena memiliki gugus hidrofilik dan gugus hidrofobik sehingga dapat
mempersatukan campuran yang terdiri dari air dan minyak. Aktifitas surfaktan
diperoleh karena sifat ganda dari molekulnya. Molekul surfaktan memiliki bagian
polar yang suka akan air (hidrofilik) dan bagian non polar yang suka akan minyak
atau lemak (hidrofobik). Bagian polar molekul surfaktan dapat bermuatan positif,
negatif atau netral. Surfaktan merupakan suatu senyawa aktif penurun tegangan
permukaan yang dapat diproduksi melalui sintesis kimiawi maupun biokimiawi dan
meningkatkan kestabilan sistem emulsi.
Hal ini membuat surfaktan banyak digunakan dalam berbagai industri, seperti
industri sabun, deterjen, produk kosmetika, produk perawatan diri, farmasi, pangan,
cat dan pelapis, kertas, tekstil, pertambangan dan industri perminyakan untuk
Enhanced Oil Recovery (EOR). Surfaktan ini dapat berupa anionic (Alkyl Benzene
Sulfonate/ABS, Linier Alkyl Benzene Sulfonate/LAS, Alpha Olein Sulfonate/AOS),
Kationik (Garam Ammonium), Nonionic (Nonyl Phenol polyethoxyle), Amphoterik
(acyl ethylenediamines). Jika surfaktan dilarutkan dalam satu fase pada campuran
minyak dan air, sebagian surfaktan akan berkonsentrasi pada permukaan antara
3
minyak-air, dan pada kesetimbangan energi bebas (disebut tegangan antar muka atau
permukaan) akan lebih rendah dari tidak adanya surfaktan (Desai,1997).
Surfaktan pada sabun memiliki struktur bipolar, terdiri dari baik hidrofobik
(ekor) dan kelompok hidrofilik (kepala). Sebagai hasil dari struktur bifunctional,
surfaktan memiliki banyak sifat fisik yang unik. Bagian hidrofilik preferentially
solubilizes dalam fase polaritas kutub atau lebih tinggi, sedangkan hidrofobik bagian
secara istimewa solubilizes dalam tahap polaritas nonpolar lebih rendah. Dengan
demikian, surfaktan memfasilitasi stabilisasi bercampur, biasanya fase tidak
bercampur, seperti minyak dalam air, dengan menurunkan energi yang diperlukan
untuk mempertahankan besar interfacial wilayah yang terkait dengan pencampuran.
Tanpa adanya surfaktan, suatu campuran minyak-air, biasa disebut sebagai suatu
emulsi, cepat memisahkan ke dua lapisan yang berbeda untuk meminimalkan area
permukaan atau kontak antara dua fase. Kemampuan surfaktan untuk menurunkan
energi antarmuka antara minyak dan air memungkinkan untuk pembentukan dan
stabilisasi tetesan minyak yang lebih kecil dan akan tersebar di seluruh air. Dalam hal
ini, penurunan energi antarmuka mengakibatkan peningkatan permukaan total luas
pada sistem (Bird, 1994).
Surfaktan dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu :
1. Menurut (Marrakchi, 2006) komposisi ekor berupa :
a. Hidrokarbon rantai
b. Alkil eter rantai
c. Fluorocarbon rantai
2. Komposisi surfaktan menurut muatannya.
a. Ionik
b. Kationik, berdasarkan
c. Zwitterionic (amfoter)
d. Nonionik
4
2.3 Klasifikasi Surfaktan
Berdasarkan muatan ion pada gugus hidrofiliknya, surfaktan dikelompokkan
menjadi 4 kelompok, yaitu surfaktan anionik, kationik, amfoterik dan nonionik
(Matheson, 1996):
1. Surfaktan Anionik
Surfaktan anionik bermuatan negatif pada bagian hidrofiliknya. Aplikasi
utama dari surfaktan anionik yaitu untuk detergensi, pembusaan dan emulsifier pada
produk-produk perawatan diri (personal care product), detergen dan sabun.
Kelemahan surfaktan anionik adalah sensitif terhadap adanya mineral dan perubahan
PH. Contoh surfaktan anionik, yaitu linear alkilbenzen sulfonat, alkohol sulfat,
alkohol eter sulfat, metil ester sulfonal (MES), fatty alcohol eter phosphat.
2. Surfaktan Kationik
Surfaktan kationik bermuatan positif pada bagian hidrofiliknya. Surfaktan
kationik banyak digunakan sebagai bahan antikorosi, antistatik, flotation collector,
pelunak kain, kondisioner, dan bakterisida. Kelemahan surfaktan jenis ini adalah
tidak memiliki kemampuan detergensi bila diformulasikan ke dalam larutan alkali.
Contoh surfaktan kationik, yaitu fatty amina, fatty amidoamina, fatty diamina, fatty
amina oksida, tertiari amina etoksilat, dimetil alkil amina dan dialkil metil amina.
3. Surfaktan Nonionik
Surfaktan nonionik tidak memiliki muatan, tetapi mengandung grup yang
memiliki afinitas tinggi terhadap air yang disebabkan adanya interaksi kuat dipol-
dipol yang timbul akibat ikatan hidrogen. Aplikasi surfaktan nonionik umumnya pada
detergen untuk suhu rendah dan sebagai emulsifier. Keunggulan surfaktan ini adalah
tidak terpengaruh oleh adanya air sadah dan perubahan pH. Contoh surfaktan
nonionik adalah dietanolamida, alkohol etoksilat, sukrosa ester, fatty alkohol
poliglikol eter, gliserol monostearat, sukrosa distearat, sorbitan monostearat, sorbitan
monooleat, gliserol monooleat dan propilen glikol monostearat.
4. Surfaktan Amfoterik
Surfaktan amfoterik memiliki gugus positif dan negatif pada molekul yang
sama sehingga rantai hidrofobik diikat oleh bagian hidrofilik yang mengandung
5
gugus positif dan negatif. Surfaktan amfoterik sangat dipengaruhi oleh perubahan pH,
dimana pada pH rendah berubah menjadi surfaktan kationik dan pada pH tinggi akan
berubah menjadi surfaktan anionik. Surfaktan jenis ini umumnya diaplikasikan pada
produk shampo dan kosmetik. Contohnya adalah fosfatidilkolin (PC),
fosfatidiletanolamina (PE), lesitin, asam aminokarboksilat dan alkil betain.
Menurut Matheson (1996), berdasarkan kelarutannya, surfaktan dapat
digolongkan menjadi dua golongan besar, yaitu surfaktan yang larut dalam minyak
dan surfaktan yang larut dalam air.
1. Surfaktan yang larut dalam minyak
Ada tiga yang termasuk dalam golongan ini, yaitu senyawa polar berantai
panjang, senyawa fluorokarbon, dan senyawa silikon.
2. Surfaktan yang larut dalam pelarut air
Golongan ini banyak digunakan antara lain sebagai zat pembasah, zat
pembusa, zat pengemulsi, zat anti busa, detergen, zat flotasi, pencegah korosi, dan
lain-lain. Ada empat yang termasuk dalam golongan ini, yaitu surfaktan anion yang
bermuatan negatif, surfaktan yang bermuatan positif, surfaktan nonion yang tak
terionisasi dalam larutan, dan surfaktan amfoter yang bermuatan negatif dan positif
bergantung pada pH-nya.
6
Alkylbenzene merupakan bahan baku dasar untuk membuat linear
alkylbenzene sulfonate. Linear alkylbenzene sulfonate disebut juga dengan nama acid
slurry. Acid slurry merupakan bahan baku dalam pembuatan serbuk detergen sintetik
dan detergen cair. Bahan baku utama untuk membuat acid slurry adalah dodecyl
benzene, linear alkylbenzene. Nama kimia acid slurry DDBS adalah Dodecyl
Benzene Sulphonate dan Linear Alkylbenzene Sulphonate (LABS) (Marrakchi, 2006).
Sifat-sifat fisika LABS dapat dilihat pada tabel 1.1.
Tabel 1.1 Sifat-sifat Fisika LABS
Rumus molekul C12H25C6H5
Wujud Cair
7
Gambar 1.2 Rumus Bangun SLS (Kent, 2007)
SLS adalah surfaktan yang sangat efektif dan digunakan untuk
menghilangkan noda berminyak dan residu. SLS disintesis dengan mereaksikan lauril
alkohol dengan asam sulfat untuk menghasilkan hidrogen lauril sulfat yang kemudian
dinetralisir melalui penambahan natrium karbonat. Penelitian menunjukkan bahwa
SLS tidak karsinogenik jikaterkontaminasi langsung pada kulit ataupun dikonsumsi.
Penggunaan SLS dengan konsentrasi yang lebih rendah yaitu pada pembuatan pasta
gigi dan shampo rambut. Sodium lauril sulfat merupakan komponen penting dalam
formulasi untuk efek penebalan busa dan kemampuannya untuk menciptakan busa.
(Day, 1981). Sifat-sifat umum SLS dapat dilihat pada tabel 1.2.
Tabel 1.2 Sifat-sifat Umum SLS
No. Sifat-sifat umum SLS
1 Merupakan surfaktan anionik sebesar 68%-73%
2 Memiliki pH sebesar 7,0-9,0
3 Mengandung sodium sulfat sebesar 1 %
4 Mengandung sodium klorida sebesar 0,1 %
5 Mengandung dioksan sebesar 30 ppm
6 Merupakan pasta berwarna kuning transparan
7 Dibuat dari fatty alcohol
8 Biasanya digunakan sebagai surfaktan pada pembersih dalam bahan
8 alkohol
(Sumber: Kent, 2007)
3. Metil Ester Sulfonat
Metil ester sulfonat merupakan surfaktan anionik yaitu surfaktan yang
bermuatan negatif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan (surface
active). Rumus bangun MES dapat dilihat pada gambar 1.3.
8
Gambar 1.3 Rumus Bangun MES (Desai, 1997)
Jenis minyak yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan metil ester
sulfonat (MES) adalah kelompok minyak nabati seperti minyak kelapa, minyak sawit,
minyak inti sawit, stearin sawit, minyak kedelai atau tallow. Metil ester sulfonat dari
minyak nabati yang mengandung atom karbon C10, C12 dan C14 biasa digunakan
untuk light duty diswashing detergent, sedangkan MES dari minyak nabati dengan
atom karbon C16-C18 dan tallow biasa digunakan untuk detergen bubuk dan detergen
cair (liquid laundry detergent) (Kent, 2007). Karakteristik metil ester sulfonat dapat
dilihat pada tabel 1.3.
Tabel 1.3 Karakteristik Metil Ester Sulfonat
Spesifikasi MES (C16-C18)
Metil ester sulfonat, (% b/b) a 83,0
Disodium karboksi sulfonat (di-salt), (% b/b) a 3,5
Air, (% b/b) a 2,3
Nilai pH a 5,3
Warna Klett, 5% aktif (MES + di-salt) a 45
Tegangan permukaan (mN/m) b 39,0-40,2
Tegangan antar muka (mN/m) b 8,4-9,7
(Sumber : Marrakchi, 2006)
2.5 Densitas
Massa jenis adalah pengukuran massa setiap satuan volum benda, semakin
tinggi massa jenis suatu benda, maka semakin besar pula massa setiap volumnya.
Massa jenis rata-rata setiap benda merupakan total massa dibagi dengan total
volumnya. Sebuah benda yang memiliki massa jenis lebih tinggi (misalnya besi) akan
memiliki volum yang lebih rendah daripada benda bermassa sama yang memiliki
9
massa jenis lebih rendah (misalnya air). Massa jenis berfungsi untuk menentukan zat.
Setiap zat memiliki massa jenis yang berbeda. Massa jenis dapat ditentukan
menggunakan alat piknometer.
10
2.6 Viskositas
Menurut Bird (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi viskositas adalah:
1. Besar dan Bentuk Molekul
Molekul-molekul yang mudah berasosiasi mempunyai viskositas yang besar,
seperti air dan etanol. Zat ini membentuk asosiasi molekul dengan ikatan hidrogen.
Makin besar berat molekul, makin besar pula viskositas.
2. Suhu
Pada kebanyakan cairan viskositasnya turun dengan naiknya suhu. Menurut
teori lubang terdapat kekosongan dalam cairan dan molekul bergerak secara kontinyu
ke dalam kekosongan ini, sehingga kekosongan akan bergerak keliling. Proses ini
menyebabkan aliran, tetapi memerlukan energi karena ada energi pengaktifan yang
harus mempunyai suatu molekul agar dapat bergerak ke dalam kekosongan.
3. Tekanan
Viskositas cairan naik dengan bertambahnya tekanan. Hal ini disebabkan
jumlah lubang berkurang, sehingga bagi molekul lebih sukar untuk bergerak keliling
satu terhadap yang lain.
4. Konsentrasi
Umumnya larutan yang konsentrasinya tinggi, viskositasnya juga tinggi,
sebaliknya larutan yang viskositasnya rendah, konsentrasinya juga rendah. Alat untuk
mengukur viskositas disebut viscometer. Kebanyakan viskometer mengukur
kecepatan dari suatu cairan mengalir melalui pipa gelas (gelas kapiler), apabila cairan
mengalir cepat maka viskositas cairan tersebut rendah (misalnya air) dan apabila
cairan itu mengalir lambat maka dikatakan viskositas cairan tersebut tinggi (misalnya
madu). Viskositas dapat diukur dengan mengukur laju aliran cairan yang melalui
tabung berbentuk silinder (Desai, 1997).
11
Gambar 1.5 Viskometer Ostwald (Bailey, 1996).
Rumus untuk menentukan viskositas adalah :
𝑡. 𝜌
𝜇= 𝜇˳
𝑡˳. 𝜌˳
Keterangan :
𝜇 = Viskositas
T = Waktu sampel
to = Waktu air
𝜇˳ = Viskositas air pada suhu tertentu.
𝜌 = Densitas sampel
𝜌˳ = Densitas air pada suhu tertentu.
12
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
13
3. 250 ml aquades dimasukkan ke dalam gelas ukur.
4. NaOH Kristal dilarutkan didalam labu takar 250 ml dengan aquades sampai
tanda batas.
5. Larutan NaOH dibolak-balik hingga homogen.
14
4. Untuk pengujian viskositas KIT, dilakukan prosedur yang sama.
5. Viskositas kinematis cairan dapat ditentukan dengan menggunakan
persamaan:
𝑡. 𝜌
𝜇= 𝜇˳
𝑡˳. 𝜌˳
Keterangan :
𝜇 = Viskositas shampo
T = Waktu shampo
to = Waktu air
𝜇˳ = Viskositas air pada suhu tertentu.
𝜌 = Densitas shampo.
𝜌˳ = Densitas air pada suhu tertentu.
15
𝐺𝑟 − 𝐺𝑟˳ Keterangan :
𝜌=
𝑉˳ ρ = Densitas
Gr = Berat piknometer berisi sampel
Gr˳ = Berat piknometer kosong
V˳ = Volume piknometer
16
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
LABS LABSNa
17
c. Pembuatan Larutan SLS
RCH2OSO3Na (s) + H2O RCH2OSO3Na (aq)
4.3 Pembahasan
4.3.1 Pembuatan larutan NaOH 1 N
Langkah pertama yang dilakukan dalam pembuatan shampo adalah membuat
larutan NaOH 1 N. NaOH digunakan dalam pembuatan shampoo sebagai penetralisir
dari LABS. Cara kerjanya yaitu NaOH ditimbang sebanyak 10 gram dan dilarutkan
didalam gelas kimia dengan menggunakan aquades lalu diencerkan ke dalam labu
ukur. Saat NaOH dilarutkan didalam gelas kimia, larutan NaOH menjadi panas, ini
disebabkan karena pada reaksi pembuatan larutan NaOH, terjadi reaksi eksoterm
dimana panas yang dihasilkan dari proses didalam sistem dipindahkan
kelingkungannya. Jumlah aquades yang terlalu banyak akan menyebabkan shampo
motor yang dibuat menjadi sangat encer sedangkan jika NaOH yang terlalu banyak
akan menyebabkan larutan menjadi jenuh sehingga pada proses reaksi akan banyak
NaOH yang tidak habis bereaksi. Dampak yang terjadi jika terlalu banyak NaOH
yang tidak habis bereaksi maka akan menaikkan harga pH menjadi terlalu basa.
NaOH sebagai penyumbang kation untuk LABS yang bermuatan negatif. LABSNa
lebih stabil dibandingkan LABS.
4.3.2 Pembuatan LABSNa
LABSNa merupakan campuran LABS (Linear Alkyl Benzene Sulfonat) dan
NaOH. LABS merupakan salah satu jenis surfaktan yang memiliki gugus hidrofilik
dan gugus hidrofobik sehingga dapat mempersatukan campuran yang terdiri dari air
dan minyak. Dalam percobaan ini, LABS dicampurkan kedalam larutan NaOH
dengan perbandingan 40 ml : 60 ml. Pada reaksi pembuatan LABSNa yang menjadi
reaktan pembatas (limited reactant) ialah LABS sehingga jumlah LABS dibuat lebih
sedikit dibanding NaOH. LABS berupa zat cair yang sangat kental berwarna coklat
gelap dan ketika ditambahkan dengan NaOH, kekentalannya sedikit berkurang.
Pengadukan pada proses pembuatan LABSNa juga harus dilakukan dengan teliti. Jika
pengadukan terlalu cepat maka akan menimbulkan busa dan dapat menyebabkan
gagalnya percobaan.
18
4.3.3 Pembuatan larutan SLS
SLS (Sodium Lauryl Sulfonat) merupakan surfaktan penunjang yang berfungsi
untuk meningkatkan daya busa dan mengontrol busa dari shampo. Larutan SLS
dibuat dengan melarutkan SLS padatan 10 gr dalam aquades 60 ml. Jika satuan massa
SLS dikonversikan kedalam milliliter maka 10 gr dibagi 0,01 (massa jenis SLS)
menjadi 9,9 ml (10 ml) sehingga perbandingan SLS dan aquades yang dipakai pada
percobaan ini ialah 10 ml : 60 ml. SLS tidak langsung larut dalam air, sehingga
pengadukan diperlukan dalam proses homogensi. Pengadukan yang dilakukan terlalu
cepat akan menyebabkan timbulnya busa pada larutan. Adanya busa akan membuat
larutan tidak tercampur sempurna karena ada partikel yang terdispersi dan terjebak
dalam busa. Selain itu pewarna dan pewangi juga ditambahkan secukupnya pada
proses ini. Pengadukan dihentikan ketika larutan telah bercampur sempurna.
4.3.4 Pembuatan Shampo
Tahap selanjutnya dalam pembuatan shampo yaitu SLS dicampurkan dengan
larutan LABSNa. Pengadukan untuk mempercepat reaksi dan proses homogensi.
Pencampuran SLS menyebabkan warna larutan menjadi coklat terang dan berwujud
zat cair kental. Larutan shampo yang terbentuk adalah berwarna biru tua.
4.3.5 Uji densitas
Densitas adalah suatu besaran kerapatan massa benda yang dinyatakan dalam
berat benda per satuan volume benda tersebut. Berdasarkan uji karakteristik shampo
motor memiliki nilai berat jenis yang lebih besar dibandingkan KIT (shampo
komersial), hal ini dipengaruhi oleh kekentalan dari shampo hasil percobaan yang
lebih besar daripada shampo KIT. Shampo motor hasil percobaan memiliki berat
jenis 1,028 gr/ml sedangkan shampo motor komersial (KIT) memiliki berat jenis
1,009 gr/ml. Dari hasil diatas dapat diketahui berdasarkan karakteristik berat jenis
shampo motor yang dibuat dapat memenuhi standar komersial shampo. Berikut dapat
dilihat grafik perbandingan densitas shampo yang telah dibuat dengan KIT komersil
pada gambar 4.1.
19
Uji Densitas
1.03
1.025
Densitas (gr/ml)
1.02
1.015
1.01
Shampo hasil percobaan
1.005
Shampo komersil (KIT)
1
0.995
Shampo hasil Shampo komersil (KIT)
percobaan
Jenis Shampo
Gambar 4.1 Uji Densitas pada shampo buatan dan shampo komersil.
4.3.6 Uji viskositas
Viskositas adalah pengukuran dari ketahanan fluida yang diubah baik dengan
tekanan maupun tegangan. Pada pembuatan shampoo, viskositas digunakan untuk
menguji kekentalan pada shampo yang dibuat. Shampo yang dibuat memiliki
viskositas sebesar 21,35 cP, sedangkan KIT memiliki viskositas sebesar 2,05 cP .
Viskositas menyatakan resistensi dari suatu zat cair atas perubahan bentuk ketika
mengalir atau bergerak akibat dari gaya tarik molekul. Perbedaan viskositas yang
jauh ini disebabkan oleh gaya tarik antara molekul LABSNa lebih besar dibandingkan
gaya tarik molekul pada KIT. Gaya tarik molekul akan menyebabkan gaya gesekan
antara larutan dan dinding atau pembatas menjadi besar dan gaya gesek antar molekul
juga semakin besar. Perbedaan yang cukup jauh antara nilai viskositas tersebut
menunjukkan untuk uji viskositas shampoo yang dibuat tidak memenuhi standar
komersial. Berikut dapat dilihat grafik perbandingan viskositas shampo yang telah
dibuat dengan KIT komersil pada gambar 4.2.
20
Uji Viskositas
25
20
Viskositas (Cp)
15
0
Shampo hasil Shampo Komersil
percobaan (KIT)
Jenis Shampo
Gambar 4.2 Uji Viskositas pada Shampo buatan dan shampoo komersil
4.3.7 Uji Daya Busa
Uji daya busa dari shampo motor dilakukan dengan tujuan mengetahui
seberapa banyak busa yang dapat dibuat oleh shampo dengan membandingkannya
dengan shampo komersil (KIT). Dari hasil daya busa dapat diketahui bahwa
perbedaan antara shampo motor yang dibuat dengan KIT tidak berbeda jauh.
Berdasarkan tingkat busa antara shampo motor dengan KIT memiliki tingkat busa
yang sama banyak. Sedangkan untuk uji tekstur, KIT memiliki tekstur yang lebih
licin dibandingkan shampo motor hasil percobaan. Hal ini menunjukkan untuk uji
aplikasi shampo motor hasil praktikum memenuhi standar daya busa.
4.3.8 Uji Stabilitas Emulsi
Emulsi merupakan penyatuan dari dua atau lebih jenis larutan yang tidak
saling larut, salah satu cairan terdispersi kedalam cairan yang lain. Namun, karena
perbedaan berat molekul ataupun karena pengaruh gaya kohesi maka larutan tersebut
secara perlahan akan terpisah lagi. Pada pengujian stabilitas emulsi ini, shampo
buatan dan shampo KIT dimasukkan sebanyak 0,5 ml kedalam larutan air dan xylene
didalam tabung reaksi dimana perbandingan air dan xylene yaitu 3 ml : 2 ml.
Kemudian tabung reaksi diaduk atau dikocok selama 10 menit, lalu didiamkan hingga
5 jam. Pengadukan atau pengocokan tersebut bertujuan agar terbentuknya pemisah
21
pada larutan shampo. Dan setelah 5 jam, terdapat pemisah yang berwarna putih
dipermukaan shampo sehingga terbentuk dua lapisan pada kedua larutan shampo.
Setelah itu, pemisah yang terdapat di permukaan larutan shampo diukur volumenya
dan dibandingkan dengan shampo komersil.
Kestabilitasan emulsi dipengaruhi oleh gugus hidrofobik dan hidrofilik yang
dimiliki oleh LABS dan SLS pada shampo. Pada pengujian ini digunakan air sebagai
bahan polar dan xylene sebagai bahan non polar. Lalu ditambahkan shampo untuk
membentuk emulsi antara air dan xylene. Pada pengujian ini didapatkan hasil volume
pemisah pada shampo buatan dan shampo komersil (KIT) adalah sama yaitu 2,5 ml
dengan stabilitas emulsi 54% sehingga stabilitas emulsi pada shampoo buatan
memenuhi standar shampo komersil. Berikut dapat dilihat perbandingan stabilitas
emulsi shampo buatan dan shampo komersil (KIT) pada gambar 4.3.
50%
Stabilitas Emulsi (%)
40%
30%
Shampo hasil
20% percobaan
10% shampo komersil
(KIT)
0%
Shampo hasil shampo komersil (KIT)
percobaan
Jenis Shampo
Gambar 4.3 Uji stabilitas emulsi pada shampoo buatan dan shampoo komersil
22
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Shampo dibuat dengan mencampurkan larutan SLS dan LABSNa. Yang
berfungsi sebagai bahan pembersih utama yang mampu menurunkan tegangan
permukaan sehingga dapat mengangat dan membuang kotoran.
2. Karakteristik sebuah shampo motor adalah kekentalan (viskositas), berat jenis,
daya busa, dan stabilitas emulsi. Berdasarkan hasil percobaan, nilai densitas,
viskositas, daya busa, dan stabilitas emulsi pada shampo hasil percobaan
berturut-turut adalah 1,028 gr/ml, 21,35 cP, 5 jam, dan 54%. Sedangkan
densitas, viskositas, daya busa, dan stabilitas emulsi pada shampo komersil
(KIT) berturut-turut adalah 1,009 gr/ml, 2,05 cP, 5 jam, dan 54%
5.2 Saran
1. Pada proses pengadukan, sebaiknya praktikkan melakukannya dengan cara
ditekan dan pelan-pelan agar tidak menimbulkan busa.
2. Pada penuangan bahan satu ke bahan lainnya, sebaiknya praktikkan
melakukannya dengan pelan-pelan agar tidak menimbulkan busa.
DAFTAR PUSTAKA
23
Atkins, P.W. 1994. Kimia Fisika. Edisi ke-4. Jakarta: Erlangga.
Bird, T. 1994. Kimia Fisik untuk Universitas. Jakarta: Erlangga.
Desai. 1997. Teori Tentang Sampo. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada
Day.R.A dan Underwood.1981. Analisis Kimia Kualitatif. Edisi ke-4. Jakarta:
Erlangga.
Hayyan, Ibnu. 2008. Surfaktan. Jakarta : Universitas Indonesia.
Kent and Riegels, 2007. Paper Recycling, Vol. 14, No. 1, November 2007, USA.
Marrakchi, Maibach H.I. 2006. Sodium Lauryl Sulfate-Induced Irritation in the
Human Face: regional and age-related differences. New Delhi : Press Inc.
Rosen, M.J. dan Kunjappu J.T. 2012. Surfactants and Interfacial
Phenomena. Hoboken. New Jersey: John Wiley & Sons
Tim Penyusun. 2019. Penuntun Praktikum Teknologi Tepat Guna. Pekanbaru:
Program Studi DIII Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Riau.
LAMPIRAN A
24
LAPORAN SEMENTARA
B. Pembuatan LABSNa
No. Perlakuan Pengamatan
1 LABS dimasukkan sebanyak 40 ml kedalam LABS berwarna coklat
gelas ukur pekat dan kental
2 NaOH yang sudah dibuat dimasukkan LABS belum terlarut
kedalam wadah plastik sebanyak 60 ml dan dengan NaOH
ditambahkan LABS yang sudah disiapkan
(40 ml) dengan menuangkannya secara
pelan-pelan.
3 Kedua bahan diaduk sampai homogen Terbentuk LABSNa yang
dengan cara ditekan-tekan secara perlahan homogen dan kental, serta
terdapat sedikit busa
25
C. Pembuatan SLS
No. Perlakuan Pengamatan
1 Zat SLS ditimbang sebanyak 10 gr lalu SLS berwarna putih
dimasukkan kedalam gelas piala
2 Aquades sebanyak 60 ml ditambahkan lalu Larutan bening dan sedikit
diaduk keruh
D. Pembuatan Shampo
No. Perlakuan Pengamatan
1 Larutan SLS dicampurkan kedalam larutan Campuran homogen, kental,
LABSNa dan berwarna biru tua
26
Berat Piknometer Kosong Berat Piknometer +
No Sampel
+ tutup (gram) sampel + tutup (gram)
1 Aquades 15,753 25,628
2 Shampo Buatan 15,753 26,037
Shampo Komersil
3 15,753 25,840
(KIT)
27
PERHITUNGAN
Gram = 10 gram
2. Perhitungan Densitas
a. Densitas aquades
Diketahui : Massa picnometer kosong = 15,753 gram
Volume picnometer = 10 ml
Massa aquades + picnometer = 25,628 gram
(Berat picno + aquades) − (Berat picno kosong)
berat jenis =
volume 𝑝𝑖𝑐𝑛𝑜𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟
(25,628−15,753)𝑔𝑟
= 10 𝑚𝑙
= 0,987 gr/ml
b. Densitas shampo komersil (KIT)
Diketahui : Massa picnometer kosong = 15,753 gram
Volume picnometer = 10 ml
Massa shampo komersil + picnometer = 25,840 gram
(Berat picno + shampo komersil) − (Berat picno kosong)
berat jenis =
volume 𝑝𝑖𝑐𝑛𝑜𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟
(25,840−15,753)𝑔𝑟
= 10 𝑚𝑙
= 1,009 gr/ml
28
Diketahui : Massa picnometer kosong = 15,753 gram
Volume picnometer = 10 ml
Massa shampo + picnometer = 26,037 gram
(Berat picno + shampo ) − (Berat picno kosong)
berat jenis =
volume 𝑝𝑖𝑐𝑛𝑜𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟
(26,027−15,753)𝑔𝑟
= 10 𝑚𝑙
= 1,028 gr/ml
3. Perhitungan Viskositas
a. Viskositas Shampoo
Diketahui : Waktu (t) = 14,3 sekon
Waktu air (t°) = 0,6 sekon
Densitas air (𝝆°) = 0,987 gr/ml
Densitas shampoo (𝝆) = 1,028 gr/ml
Viskositas air (𝝻°) = 0,86 cP
𝒈𝒓
𝒕×𝝆 𝟏, 𝟒 𝒔 × 𝟏, 𝟎𝟎𝟗
𝐯𝐢𝐬𝐤𝐨𝐬𝐢𝐭𝐚𝐬 = × 𝞵° = 𝒎𝒍
𝒕° × 𝝆° 𝒈𝒓 × 𝟎, 𝟖𝟔 𝒄𝑷 = 𝟐, 𝟎𝟓 𝒄𝑷
𝟎, 𝟔 𝒔 × 𝟎, 𝟗𝟖𝟕
𝒎𝒍
29
volume keseluruhan− volume pemisahan
% SE = x 100%
volume keseluruhan
5,5 ml − 2,5 ml
% SE = x 100%
5,5 ml
% Stabilitas Emulsi = 54 %
% Stabilitas Emulsi = 54 %
LAMPIRAN C
30
DOKUMENTASI
a. Pembuatan NaOH 1 N
b. Pembuatan LABSNa
c. Pembuatan SLS
31
Gambar C.5 SLS Gambar C.6 Larutan SLS
32
Gambar C.8 Uji Densitas Gambar C.9 Uji Viskositas
Gambar C.10 Uji Daya Busa Gambar C.11 Uji Stabilitas Emulsi
33