Anda di halaman 1dari 10

PRAKTIKUM DASAR REKAYASA PROSES

Pembuatan Sabun Padat

Nama : Rosita Amanda Dewi

NIM :2031410025

Dosen Pengampu :

Rosita Dwi Chrisnandari, S.Si, M.Si

Prodi D3 Teknik Kimia

Jurusan Teknik Kimia

Politeknik Negeri Malang


PEMBUATAN SABUN PADAT
I. Capaian Pembelajaran
1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan teori pembuatan sabun mandi padat
serta analisanya dengan benar
2. Mahasiswa mampu memproduksi sabun mandi padat dengan benar
3. Mahasiswa mampu melakukan analisa kualitas sabun mandi padat yang dihasilkan
dengan benar.
II. Latar Belakang
Sabun merupakan produk kimia yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.
Pembuatan sabun telah dilakukan sejak ribuan tahun yang lalu. Metode pembuatan sabun
pada zaman dahulu tidak berbeda jauh dengan metode yang digunakan saat ini, walaupun
tentunya kualitas produk yang dihasilkan saat ini jauh lebih baik. Sabun dibuat dengan
metode saponifikasi yaitu mereaksikan trigliserida dengan soda kaustik (NaOH) sehingga
menghasilkan sabun dan produk samping berupa gliserin. Bahan baku pembuatan sabun
dapat berupa lemak hewani maupun lemak/minyak nabati. (Anonim, 2010)
Penggunaan sabun dalam kehidupan sehari-hari sudah tidak asing lagi, terutama sesuai
dengan fungsi utamanya yaitu membersihkan. Berbagai jenis sabun ditawarkan dengan
beragam bentuk mulai dari sabun cuci (krim dan bubuk), sabun mandi (padat dan cair),
sabun tangan (cair) serta sabun pembersih peralatan rumah tangga (krim dan cair). (Qaishum
dkk, 2011)
Maka dari itu, dengan melakukan percobaan safonifikasi ini dapat kita lakukan proses
pembuatan sabun dan mempelajari bagaimana reaksi yang terjadi dalam proses pembuatan
sabun dari reaksi safonifikasi. Dalam praktikum ini menggunakan dua sampel yaitu sampel
dengan konsentrasi NaOH 1,5 gram dan 2 gram, sehingga kita dapat mengetahui pengaruh
konsentrasi NaOH dalam pembuatan saben padat.

III. Dasar Teori


Sabun merupakan senyawa natrium atau kalium dengan asam lemak dari minyak nabati
atau lemak hewani berbentuk padat, lunak atau cair, dan berbusa. Sabun dihasilkan melalui
proses saponifikasi, yaitu hidrolisis lemak menjadi asam lemak dan gliserol dalam kondisi
basa. Pembuat kondisi basa yang biasa digunakan adalah Natrium Hidroksida (NaOH) dan
Kalium Hidroksida (KOH). Jika basa yang digunakan adalah NaOH, maka produk reaksi
berupa sabun keras (padat), sedangkan basa yang digunakan adalah KOH, maka produk
reaski berupa sabun cair.
Sabun merupakan satu macam surfaktan (bahan surface active), senyawa yang
menurunkan tegangan permukaan air. Sifat ini menyebabkan larutan sabun dapat memasuki
serat, menghilangkan dan mengusir kotoran dan minyak. Setelah kotoran dan minyak dari
permukaan serat keluar, sabun akan mencuci kotoran dan minyak tersebut dengan
memanfaatkan struktur kimianya. Bagian akhir dari rantai (ionnya) bersifat hidrofilik
(senang air) sedangkan rantai karbonnya bersifat hidrofobik (menolak air). Rantai
hidrokarbon larut dalam partikel minyak yang tidak larut dalam air. Ionnya terdispersi atau
teremulsi dalam air sehingga dapat dicuci. Muatan negatif dari ion sabun juga menyebabkan
tetes minyak sabun saling menolak satu sama lain sehingga minyak yang teremulsi tidak
dapat mengendap (Sari dkk., 2010)
Minyak tumbuhan maupun lemak hewan merupakan senyawa trigliserida. Trigliserida
yang umum digunakan sebagai bahan baku pembuatan sabun memiliki asam lemak dengan
panjang rantai karbon antara 12 sampai 18. Asam lemak dengan panjang rantai
karbonkurang dari 12 akan menimbulkan iritasi pada kulit, sedangkan rantai karbon lebih
dari 18 akan membuat sabun menjadi keras dan sulit terlarut dalam air. Kandungan asam
lemak tak jenuh, seperti oleat, linoleat, dan linolenat yang terlalu banyak akan menyebabkan
sabun mudah teroksidasi pada keadaan atmosferik sehingga sabun menjadi tengik (Sukeksi,
2018). Sabun dari asam lemak jenuh dan rantai jenuh panjang (C16-C18) menghasilkan sabun
dengan tekstur keras sedangkan minyak dari asam lemak tak jenuh dengan rantai pendek
(C12-C14) menghasilkan sabun yang lebih lunak dan lebih mudah larut (Sari dkk., 2010).
Beberapa jenis lemak dan minyak yang dapat dimanfaatkan dalam pembuatan sabun antara
lain tallow (lemak sapi atau domba), lard (minyak babi), palm oil (minyak kelapa sawit),
coconut oil (minyak kelapa), palm kernel oil (minyak inti sawit), palm oil stearine (minyak
sawit stearin), dan minyak jagung.
Sabun merupakan hasil hidrolisa asam lemak dan basa. Peristiwa ini dikenal dengan
peristiwa saponifikasi. Saponifikasi adalah proses penyabunan yang mereaksikan suatu
lemak atau gliserida dengan basa. Trigliserida akan direaksikan dengan alkali (sodium
hidroksida), maka ikatan antara atom oksigen pada gugus karboksilat dan atom karbon pada
gliserol akan terpisah. Atom oksigen mengikat sodium yang berasal dari sodium hidroksida
sehingga ujung dari rantai asam karboksilat akan larut dalam air. Garam sodium dari asam
lemak inilah yang kemudian disebut sabun, sedagkan gugus OH dalam hidroksida akan
berkaitan dengan molekul gliserol, apabila ketiga gugus asam lemak tersebut lepas maka
reaksi saponifikasi dinyatakan selesai.
Proses pembuatan sabun dengan reaksi saponifikasi terbagi menjadi dua yaitu proses
panas dan proses dingin. Perbedaan kedua proses tersebut yaitu sabun yang dibuat dengan
proses dingin dilakukan pada suhu kamar atau tanpa disertai pemanasan, sedangkan proses
panas melibatkan reaksi saponifikasi dengan panas yang dilakukan pada suhu 70-80°C
(Sukeksi, 2018).
Mula-mula reaksi penyabunan berjalan lambat karena minyak dan larutan alkali
merupakan larutan yang tidak saling larut (Immiscible). Setelah terbentuk sabun maka
kecepatan reaksi akan meningkat, sehingga reaksi penyabunan bersifat sebagai reaksi
autokatalitik, di mana pada akhirnya kecepatan reaksi akan menurun lagi karena jumlah
minyak yang sudah berkurang (Alexander dkk., 1964 ).
Reaksi penyabunan merupakan reaksi eksotermis sehingga harus diperhatikan pada saat
penambahan minyak dan alkali agar tidak terjadi panas yang berlebihan. Pada proses
penyabunan, penambahan larutan alkali (KOH atau NaOH) dilakukan sedikit demi sedikit
sambil diaduk dan dipanasi untuk menghasilkan sabun cair. Untuk membuat proses yang
lebih sempurna dan merata maka pengadukan harus lebih baik (Levenspiel, 1972). Ada
beberapa faktor yang mempengaruhi reaksi penyabunan, antara lain:
1. Konsentrasi larutan KOH/NaOH
Konsentrasi basa yang digunakan dihitung berdasarkan stokiometri reaksinya, dimana
penambahan basa harus sedikit berlebih dari minyak agar proses saponifikasi berjalan
sempurna. Jika basa yang digunakan terlalu pekat akan menyebabkan terpecahnya
emulsi pada larutan sehingga fasenya tidak homogen, sedangkan jika basa yang
digunakan terlalu encer, maka reaksi akan membutuhkan waktu yang lebih lama.
2. Suhu (T)
Ditinjau dari segi thermodinamikanya, kenaikan suhu akan menurunkan hasil, hal ini
dapat dilihat dari persamaan Van`t Hoff :
𝑑 ln 𝐾 ∆𝐻
= … … … … … … … … … (1)
𝑑𝑇 𝑅𝑇
Karena reaksi penyabunan merupakan reaksi eksotermis (ΔH negatif), maka dengan
kenaikan suhu akan dapat memperkecil harga K (konstanta keseimbangan), tetapi jika
ditinjau dari segi kinetika, kenaikan suhu akan menaikan kecepatan reaksi. Hal ini
dapat dilihat dari persamaan Arhenius berikut ini :
k = Ae –E / RT ..............................( 2 )
Dalam hubungan ini, k adalah konstanta kecepatan reaksi, A adalah faktor tumbukan,
E adalah energi aktivasi (cal/grmol), T adalah suhu (ºK), dan R adalah tetapan gas
ideal (cal/grmol.K). Berdasarkan persamaan tersebut maka dengan adanya kenaikan
suhu berarti harga k (konstanta kecepatan reaksi) bertambah besar. Jadi pada kisaran
suhu tertentu, kenaikan suhu akan mempercepat reaksi, yang artinya menaikan hasil
dalam waktu yang lebih cepat. Tetapi jika kenaikan suhu telah melebihi suhu
optimumnya maka akan menyebabkan pengurangan hasil karena harga konstanta
keseimbangan reaksi K akan turun yang berarti reaksi bergeser ke arah pereaksi atau
dengan kata lain hasilnya akan menurun. Turunnya harga konstanta keseimbangan
reaksi oleh naiknya suhu merupakan akibat dari reaksi penyabunan yang bersifat
eksotermis (Levenspiel, 1972).
3. Pengadukan
Pengadukan dilakukan untuk memperbesar probabilitas tumbukan molekul-molekul
reaktan yang bereaksi. Jika tumbukan antar molekul reaktan semakin besar, maka
kemungkinan terjadinya reaksi semakin besar pula. Hal ini sesuai dengan persamaan
Arhenius dimana konstanta kecepatan reaksi k akan semakin besar dengan semakin
sering terjadinya tumbukan yang disimbolkan dengan konstanta A (Levenspiel, 1972).
4. Waktu
Semakin lama waktu reaksi menyebabkan semakin banyak pula minyak yang dapat
tersabunkan, berarti hasil yang didapat juga semakin tinggi, tetapi jika reaksi telah
mencapai kondisi setimbangnya, penambahan waktu tidak akan meningkatkan jumlah
minyak yang tersabunkan
Sifat-sifat sabun dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Sabun adalah garam alkali dari asam lemak suhu tinggi sehingga akan dihidrolisis
parsial oleh air. Karena itu larutan sabun dalam air bersifat basa
CH3(CH2)16COONa + H2O → CH3(CH2)16COOH + OH- ... (1)
2. Jika larutan sabun dalam air diaduk, maka akan menghasilkan buih, peristiwa ini
tidak akan terjadi pada air sadah. Dalam hal ini sabun dapat menghasilkan buih
setelah garam-garam Mg atau Ca dalam air mengendap.
CH3(CH2)16COONa + CaSO4 → Na2SO4 + Ca(CH3(CH2)16COO)2 .. (2)
3. Sabun mempunyai sifat membersihkan. Sifat ini disebabkan proses kimia koloid,
sabun (garam natrium dari asam lemak) digunakan untuk mencuci kotoran yang
bersifat polar maupun nonpolar karena sabun mempunyai gugus polar dan
nonpolar. Molekul sabun mempunyai rantai hidrogen CH3(CH2)16 yang bersifat
hidrofobik (tidak suka air) sedangkan COONa+ bersifat hidrofobik (suka air) dan
larut dalam air.
Nonpolar : CH3(CH2)16 (larut dalam minyak, hidrofobik dan juga memisahkan
kotoran nonpolar)
Polar : COONa+ (larut dalam air, hidrofobik dan juga memisahkan kotoran polar)
4. Proses penghilangan kotoran
a. Sabun didalam air menghasilkan busa yang akan menurunkan tegangan
permukaan sehingga kain menjadi bersih dan air meresap lebih cepat ke
permukaan kain.
b. Molekul sabun yang bersifat hidrofobik akan mengelilingi kotoran dan
mengikat molekul kotoran. Proses ini disebut emulsifikasi karena antara
molekul kotoran dan molekul sabun membentuk suatu emulsi.
c. Sedangkan bagian molekul sabun yang bersifat hidrofibik berada didalam air
pada saat pembilasan menarik molekul kotoran keluar dari kain sehingga kain
menjadi bersih.
Sifat mutu yang paling penting pada sabun adalah total asam lemak, asam lemak
bebas, dan alkali bebas. Pengujian parameter tersebut dapat dilakukan sesuai dengan
acuan prosedur standar yang ditetapkan SNI. Begitu juga dengan semua sifat mutu
pada sabun yang dapat dipasarkan, harus memenuhi standar mutu sabun yang
ditetapkan yaitu SNI 06–3532–1994.
Syarat mutu sabun

IV. Metodologi
a. Alat
• Panci
• Kompor
• Wadah dan sendok/pengaduk
• Gelas ukur
• Indicator pH
• Cetakan sabun
• Thermometer
b. Bahan
• Minyak
• NaOH
• Asam stearate
• Gula pasir
• Gliserin
• Etanol 95%
• Aquades
c. Prosedur kerja

Menimbang 10 gram minyak

Menimbang NaOH sesuai konsentrasi (1,5 gram dan 2 gram)

Menimbang 0,6 gram asam stearat

Menimbang 1 gram gula pasir

Menimbang 10 gram gliserin

Menyiapkan 7 ml aquades dan 60 ml etanol 95%


Memasukkan aquades dan NaOH kedalam wadah

Mengaduk hingga larut

Menambahkan etanol 95%

Mengaduk

Memanaskan pada suhu 60 °C

Menambahkan minyak sedikit demi sedikit

Mengaduk hingga homogen

Menambahkan asam stearat

Mengaduk hingga larut

Memasukkan gula pasir dan gliserin

Mengaduk ±30 menit sampai larutan mengental

Mencetak larutan dalam cetakan

Menunggu hingga mengeras


V. Data Pengamatan

Variabel Parameter
Konsentrasi
pH Warna Bau Busa
NaOH
Kuning Bau asam Tidak ada
1,5 gram 11
kecoklatan stearat busa
Putih Bau asam Ada sedikit
2 gram 13
kecoklatan stearat busa

Dokumentasi

Variabel
Konsentrasi Keterangan (Foto)
NaOH

1,5 gram

2 gram

VI. Hasil dan Pembahasan


Praktikum kali ini adalah pembuatan sabun padat. Sabun dihasilkan melalui proses
saponifikasi, yaitu hidrolisis lemak menjadi asam lemak dan gliserol dalam kondisi basa.
Pembuat kondisi basa yang biasa digunakan adalah Natrium Hidroksida (NaOH) Jika basa
yang digunakan adalah NaOH, maka produk reaksi berupa sabun keras (padat). Pembuatan
sabun padat yaitu dengan padatan NaOH dicampur dengan air sebagai pelarut. Tujuan
penambahan air yaitu sebagai alkali yang bersifat polar. Kemudian dipanaskan, dan dicampur
dengan bahan-bahan. Tujuan dari pemanasan adalah agar larutan sabun yang dibuat menjadi
kental dan larut. Pemanasan dilakukan pada suhu 60 C supaya semua bahan bisa larut tanpa
menghilangkan pelarutnya. Apabila suhu diatas 60 C, maka pelarut yang digunakan untuk
melarutkan bahan akan habis sehingga tidak bisa tercampur dengan sempurna atau kurang
homogen. Akibatnya, tidak semua pelarutnya terkonversi menjadi sabun. Selanjutnya diaduk
dengan fungsi agar minyak dan NaOH dapat tercampur dengan sempurna dengan air atau
tercapainya suatu homogenitas antar campuran bahan. Etanol adalah bahan yang digunakan
untuk melarutkan sabun agar menjadi bening atau transparan. Glyserin dalam sabun berguna
sebagai penjaga kelembaban kulit. Gula Bersifat humectant di kenal membantu pembusaan
sabun, semakin putih warna gula maka akan semakin jernih warna sabun yang di hasilkan ,
namun apabila terlalu banyak gula sabun akan menjadi lengket. Reaksi saponifikasi yang
terjadi, yaitu:

Pada praktikum ini digunakan dua sampel, yaitu sampel dengan konsentrasi NaOH
1,5 gram dan 2 gram. Pada sampel dengan konsentrasi NaOH 1,5 gram, didapatkan bahwa
pH nya adalah 11. Hal ini sudah sesuai karena pH sabun berkisar 9-11. Sedangkan
warnanya adalah kuning kecoklatan. Warna yang dihasilkan disebabkan oleh suhu
pemanasan yang terlalu tinggi atau melebihi 60 C sehingga menjadi gosong. Selain itu,
juga disebabkan oleh wadah yang digunakan kurang steril. Bau yang tercium adalah bau
asam stearat yang dipengaruhi oleh pemberian asam stearate. Bau yang dihasilkan yaitu
menyengat karena pengaruh wadah kurang steril. Pada sampel ini tidak ada busa yang
dihasilkan. Hal ini disebabkan oleh bahan tidak terkonversi semua karena suhu pemanasan
yang terlalu tinggi. Pada sampel ini, sabun lebih cepat mengeras yang dipengaruhi .
Pada sampel dengan konsentrasi NaOH 2 gram, didapatkan pH nya adalah 13. PH
pada sabun umumnya berkisar 9-11. Nilai pH sabun yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan iritasi dan dehidrasi kulit. Sedangkan warnanya adalah putih kecoklatan.
disebabkan oleh wadah yang digunakan kurang steril. Bau yang tercium adalah bau asam
stearat yang dipengaruhi oleh pemberian asam stearate. Bau yang dihasilkan yaitu
menyengat karena pengaruh wadah kurang steril.Pada sampel kedua dihasilkan sedikit
busa yang berarti semua bahan berhasil terkonversi menjadi sabun. Pada sampel ini, sabun
tidak bisa mengeras atau membutuhkan waktu yang lebih lama. Hal ini dipengaruhi oleh
konsentrasi NaOH yang terlalu banyak sehingga air mudah menyerap dan mengakibatkan
sabun butuh waktu lama untuk mengeras.

VII. Kesimpulan
Pada praktikum pembuatan saben padat yang sudah dilakukan, dapat disimpulkan
bahwa sabun dengan konsentrasi NaOH 1,5 gram memiliki tingkat keberhasilan lebih
tinggi daripada sabun dengan konsentrasi 2 gram. Hal ini bisa dilihat dari pH yang
dihasilkan oleh sampel kedua lebih tinggi dari sampel pertama dan melebihi pH normal
saben padat. Sehingga jika digunakan akan mudah mengiritasi kulit. Selain itu, sampel
dengan konsentrasi NaOH lebih cepat mengeras dari pada sampel dengan konsentrasi
NaOH 2 gram yang disebabkan konsentrasi NaOH yang terlalu tinggi.

VIII. Referensi
1. Astriana, S. M.dkk. (2021). Modul Praktikum Dasar Rekayasa Proses. Praktikum Dasar
Rekayasa Proses. 1-35
2. Hardian, K.dkk. (2014). Evaluasi Mutu Sabun Padat Transparan Dari Minyak Goreng
Bekas Dengan Penambahan Sls (Sodium Lauryl Sulfate) Dan Sukrosa. Jurusan
Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Riau.
https://media.neliti.com/media/publications/200720-evaluasi-mutu-sabun-padat-
transparan-dar.pdf . Diakses pada 08 November 2021.
3. Widyasanti dkk. (2017). Pembuatan Sabun Mandi Cair Berbasis Minyak Kelapa Murni
(VCO) dengan Penambahan Minyak Biji Kelor (Moringa oleifera Lam). Vol. 5 No. 2:
77-84
4. Apriana, Dwi. (2013). Pengaruh Kecepatan Dan Lama Sentrifugasi Terhadap Hasil
Pemisahan Sabun Pada Proses Saponifikasi (Effect of Speed and Centrifugation Periode
on the Separation Results Soap in Saponification Process ). Undergraduate thesis,
Undip.

Anda mungkin juga menyukai