Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN AKHIR

PRAKTIKUM DASAR REKAYASA PROSES


PEMBUATAN SABUN CAIR

DEA AYU SUKMA PUTRI UTAMI


2141420010
SHABRINA ADANI PUTRI, S.Si., M.Si

PROGRAM STUDI D-IV TEKNOLOGI KIMIA INDUSTRI


JURUSAN TEKNIK KIMIA
POLITEKNIK NEGERI MALANG
PEMBUATAN SABUN CAIR

I. Tujuan/Capaian Pembelajaran
Tujuan dari praktikum pembuatan sabun cair ini adalah sebagai
berikut:
1. Mmemproduksi sabun cair
2. Menganalisis kualitas sabun cair yang dihasilkan
II. Latar Belakang
Sabun merupakan komoditi hasil olahan minyak yang populer yang
berfungsi sebagai zat yang mampu membersihkan dan mengangkat
kotoran atau noda. Reaksi yang terjadi pada saat pembuatan sabun dari
minyak kelapa sawit disebut reaksi Saponifikasi.
Saponifikasi dilakukan dengan mereaksikan minyak dengan alkali
(biasanya menggunakan NaOH atau KOH) sehingga menghasilkan
gliserol dan garam alkali Na (sabun). Saponifikasi juga dapat dilakukan
dengan mereaksikan asam lemak dengan alkali sehingga menghasilkan
sabun dan air. Sabun biasanya berbentuk padatan tercetak yang disebut
batang karena sejarah dan bentuk umumnya. Penggunaan sabun cair juga
telah meluas, terutama pada sarana-sarana publik. Jika diterapkan pada
suatu permukaan, air bersabun secara efektif mengikat partikel dalam
suspensi mudah dibawa oleh air bersih. Di negara berkembang, detergen
sintetik telah menggantikan sabun sebagai alat bantu mencuci.
Sabun yang telah berkembang sejak zaman Mesir kuno ini
berfungsi sebagai alat pembersih. Keberadaan sabun yang hanya berfungsi
sebagai alat pembersih dirasa kurang, mengingat pemasaran dan
permintaan masyarakat akan nilai lebih dari sabun mandi. Oleh karena itu,
banyak sabun yang beredar di pasaran sekarang ditambahkan dengan
berbagai bahan-bahan aditif yang berfungsi untuk menambah nilai guna
sabun itu sendiri.
III. Dasar Teori
Sabun merupakan senyawa natrium atau kalium dengan asam
lemak dari minyak nabati atau lemak hewani berbentuk padat, lunak atau
cair, dan berbusa. Sabun dihasilkan melalui proses saponifikasi, yaitu
hidrolisis lemak menjadi asam lemak dan gliserol dalam kondisi basa.
Pembuat kondisi basa yang biasa digunakan adalah Natrium Hidroksida
(NaOH) dan Kalium Hidroksida (KOH). Jika basa yang digunakan adalah
NaOH, maka produk reaksi berupa sabun keras (padat), sedangkan basa
yang digunakan adalah KOH, maka produk reaski berupa sabun cair.
Sabun merupakan satu macam surfaktan (bahan surface active),
senyawa yang menurunkan tegangan permukaan air. Sifat ini
menyebabkan larutan sabun dapat memasuki serat, menghilangkan dan
mengusir kotoran dan minyak. Setelah kotoran dan minyak dari
permukaan serat keluar, sabun akan mencuci kotoran dan minyak tersebut
dengan memanfaatkan struktur kimianya. Bagian akhir dari rantai (ionnya)
bersifat hidrofilik (senang air) sedangkan rantai karbonnya bersifat
hidrofobik (menolak air). Rantai hidrokarbon larut dalam partikel minyak
yang tidak larut dalam air. Ionnya terdispersi atau teremulsi dalam air
sehingga dapat dicuci. Muatan negatif dari ion sabun juga menyebabkan
tetes minyak sabun saling menolak satu sama lain sehingga minyak yang
teremulsi tidak dapat mengendap (Sari dkk., 2010)
Minyak tumbuhan maupun lemak hewan merupakan senyawa
trigliserida. Trigliserida yang umum digunakan sebagai bahan baku
pembuatan sabun memiliki asam lemak dengan panjang rantai karbon
antara 12 sampai 18. Asam lemak dengan panjang rantai karbon kurang
dari 12 akan menimbulkan iritasi pada kulit, sedangkan rantai karbon lebih
dari 18 akan membuat sabun menjadi keras dan sulit terlarut dalam air.
Kandungan asam lemak tak jenuh, seperti oleat, linoleat, dan linolenat
yang terlalu banyak akan menyebabkan sabun mudah teroksidasi pada
keadaan atmosferik sehingga sabun menjadi tengik (Sukeksi, 2018). Sabun
dari asam lemak jenuh dan rantai jenuh panjang (C16-C18) menghasilkan
sabun dengan tekstur keras sedangkan minyak dari asam lemak tak jenuh
dengan rantai pendek (C12-C14) menghasilkan sabun yang lebih lunak
dan lebih mudah larut (Sari dkk., 2010). Beberapa jenis lemak dan minyak
yang dapat dimanfaatkan dalam pembuatan sabun antara lain tallow
(lemak sapi atau domba), lard (minyak babi), palm oil (minyak kelapa
sawit), coconut oil (minyak kelapa), palm kernel oil (minyak inti sawit),
palm oil stearine (minyak sawit stearin), dan minyak jagung.
Sabun merupakan hasil hidrolisa asam lemak dan basa. Peristiwa
ini dikenal dengan peristiwa saponifikasi. Saponifikasi adalah proses
penyabunan yang mereaksikan suatu lemak atau gliserida dengan basa.
Trigliserida akan direaksikan dengan alkali (sodium hidroksida), maka
ikatan antara atom oksigen pada gugus karboksilat dan atom karbon pada
gliserol akan terpisah. Atom oksigen mengikat sodium yang berasal dari
sodium hidroksida sehingga ujung dari rantai asam karboksilat akan larut
dalam air. Garam sodium dari asam lemak inilah yang kemudian disebut
sabun, sedagkan gugus OH dalam hidroksida akan berkaitan dengan
molekul gliserol, apabila ketiga gugus asam lemak tersebut lepas maka
reaksi saponifikasi dinyatakan selesai.

Gambar 1 Reaksi Saponifikasi Pembentukan Sabun


Proses pembuatan sabun dengan reaksi saponifikasi terbagi
menjadi dua yaitu proses panas dan proses dingin. Perbedaan kedua proses
tersebut yaitu sabun yang dibuat dengan proses dingin dilakukan pada
suhu kamar atau tanpa disertai pemanasan, sedangkan proses panas
melibatkan reaksi saponifikasi dengan panas yang dilakukan pada suhu
70-80°C (Sukeksi, 2018).
Mula-mula reaksi penyabunan berjalan lambat karena minyak dan
larutan alkali merupakan larutan yang tidak saling larut (Immiscible).
Setelah terbentuk sabun maka kecepatan reaksi akan meningkat, sehingga
reaksi penyabunan bersifat sebagai reaksi autokatalitik, di mana pada
akhirnya kecepatan reaksi akan menurun lagi karena jumlah minyak yang
sudah berkurang (Alexander dkk., 1964). Reaksi penyabunan merupakan
reaksi eksotermis sehingga harus diperhatikan pada saat penambahan
minyak dan alkali agar tidak terjadi panas yang berlebihan. Pada proses
penyabunan, penambahan larutan alkali (KOH atau NaOH) dilakukan
sedikit demi sedikit sambil diaduk dan dipanasi untuk menghasilkan sabun
cair. Untuk membuat proses yang lebih sempurna dan merata maka
pengadukan harus lebih baik (Levenspiel, 1972).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi reaksi penyabunan, antara lain:
1. Konsentrasi larutan KOH/NaOH
Konsentrasi basa yang digunakan dihitung berdasarkan stokiometri
reaksinya, dimana penambahan basa harus sedikit berlebih dari minyak
agar proses saponifikasi berjalan sempurna. Jika basa yang digunakan
terlalu pekat akan menyebabkan terpecahnya emulsi pada larutan
sehingga fasenya tidak homogen, sedangkan jika basa yang digunakan
terlalu encer, maka reaksi akan membutuhkan waktu yang lebih lama.
2. Suhu (T)
Ditinjau dari segi thermodinamikanya, kenaikan suhu akan
menurunkan hasil, hal ini dapat dilihat dari persamaan Van`t Hoff:
d ln K Δ H
=
dT RT
Karena reaksi penyabunan merupakan reaksi eksotermis (ΔH negatif),
maka dengan kenaikan suhu akan dapat memperkecil harga K
(konstanta keseimbangan), tetapi jika ditinjau dari segi kinetika,
kenaikan suhu akan menaikan kecepatan reaksi. Hal ini dapatdilihat
dari persamaan Arhenius berikut ini:
−R
k = A e RT
Dalam hubungan ini, k adalah konstanta kecepatan reaksi, A adalah
faktor tumbukan, E adalah energi aktivasi (cal/grmol), T adalah suhu
(oK), dan R adalah tetapan gas ideal (cal/grmol.K). Berdasarkan
persamaan tersebut maka dengan adanya kenaikan suhu berarti harga k
(konstanta kecepatan reaksi) bertambah besar. Jadi pada kisaran suhu
tertentu, kenaikan suhu akan mempercepat reaksi, yang artinya
menaikan hasil dalam waktu yang lebih cepat. Tetapi jika kenaikan
suhu telah melebihi suhu optimumnya maka akan menyebabkan
pengurangan hasil karena harga konstanta keseimbangan reaksi K akan
turun yang berarti reaksi bergeser ke arah pereaksi atau dengan kata
lain hasilnya akan menurun. Turunnya harga konstanta keseimbangan
reaksi oleh naiknya suhu merupakan akibat dari reaksi penyabunan
yang bersifat eksotermis (Levenspiel,1972).
3. Pengadukan
Pengadukan dilakukan untuk memperbesar probabilitas tumbukan
molekul-molekul reaktan yang bereaksi. Jika tumbukan antar molekul
reaktan semakin besar, maka kemungkinan terjadinya reaksi semakin
besar pula. Hal ini sesuai dengan persamaan Arhenius dimana
konstanta kecepatan reaksi k akan semakin besar dengan semakin
sering terjadinya tumbukan yang disimbolkan dengan konstanta A
(Levenspiel, 1972).
4. Waktu
Semakin lama waktu reaksi menyebabkan semakin banyak pula
minyak yang dapat tersabunkan, berarti hasil yang didapat juga
semakin tinggi, tetapi jika reaksi telah mencapai kondisi setimbangnya,
penambahan waktu tidak akan meningkatkan jumlah minyak yang
tersabunkan.
Menurut Naomi dkk, (2013), Sifat-sifat sabun dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Sabun adalah garam alkali dari asam lemak suhu tinggi sehingga akan
dihidrolisis parsial oleh air. Karena itu larutan sabun dalam air bersifat
basa. CH3(CH2)16COONa + H2O → CH3(CH2)16COOH + NaOH
2. Jika larutan sabun dalam air diaduk, maka akan menghasilkan buih,
peristiwa ini tidak akan terjadi pada air sadah. Dalam hal ini sabun
dapat buih setelah garam-garam Mg atau Ca dalam air mengendap.
CH3(CH2)16COONa + CaSO4 →Na2SO4 + Ca(CH3(CH2)16COO)2
3. Sabun mempunyai sifat membersihkan. Sifat ini disebabkan proses
kimia koloid, sabun (garam natrium dari asam lemak) digunakan untuk
mencuci kotoran yang bersifat polar maupun nonpolar karena sabun
mempunyai gugus polar dan nonpolar. Molekul sabun mempunyai
rantai hidrogen CH3(CH2)16 yang bersifat hidrofobik (tidak suka air)
sedangkan COONa+ bersifat hidrofobik (suka air) dan larut dalam air.
Nonpolar: CH3(CH2)16 (larut dalam minyak, hidrofobik dan juga
memisahkan kotorannonpolar)
Polar: COONa+ (larut dalam air, hidrofobik dan juga memisahkan
kotoran polar)
4. Proses penghilangan kotoran
a. Sabun didalam air menghasilkan busa yang akan menurunkan
tegangan permukaan sehingga kain menjadi bersih dan air
meresap lebih cepat ke permukaan kain.
b. Molekul sabun yang bersifat hidrofobik akan mengelilingi
kotoran dan mengikat molekul kotoran. Proses ini disebut
emulsifikasi karena antara molekul kotoran dan molekul sabun
membentuk suatu emulsi.
c. Sedangkan bagian molekul sabun yang bersifat hidrofibik
berada didalam air pada saat pembilasan menarik molekul
kotoran keluar dari kain sehingga kain menjadi bersih.
Sifat mutu yang paling penting pada sabun adalah total asam
lemak, asam lemak bebas, dan alkali bebas. Pengujian parameter tersebut
dapat dilakukan sesuai dengan acuan prosedur standar yang ditetapkan
SNI. Begitu juga dengan semua sifat mutu pada sabun yang dapat
dipasarkan, harus memenuhi standar mutu sabun yang ditetapkan yaitu
SNI 06–3532–1994.
Gambar 2 Syarat Mutu Sabun

IV. Metodologi
a. Alat
1. Gelas Ukur 4. Overhead stirrer
2. Gelas Beaker 1 Liter 5. Tempat penampung
3. Kaca Arloji (botol)
b. Bahan
1. Emal 70 C : 18%
2. Alkopal N100 :1%
3. Larutan Garam 20% : 18%
4. Na2EDTA : 0,4 %
5. Air : 62,2 %
6. Parfum : 0,4 %
7. Pewarna : secukupnya
c. Prosedur
1. Skema Umum

Pembuatan

Uji kadar air Uji FFA/Alkali bebas Uji pH


2. Skema Pembuatan

311 gram Gelas beker 1000


akuades mL diaduk
perlahan
2 gram Na2EDTA
tanpa
menyentu
90 gram emal h dinding
70C Larutan Na2EDTA
gelas
beker
5 gram alkopal
atau
N100
dapat
mengguna
kan stirrer
90 gram larutan Larutan
garam 20% (18
gram garam dan
72 gram air)

ditambahkan secara
perlahan

2 gram parfum Larutan kental

2 tetes pewarna

Sabun cair

Botol
3. Uji kadar Air

100 mL alkohol Erlenmeyer 250


mL
0,5 mL indikator
pp
dipanask
KOH alkoholik an 60°C
0,1N Alkohol
dan
ditetes-tetesi hingga dikocok
pink cerah perlahan

Kertas lakmus

tertunjuk pH 8
Alkohol netral
4 gram sabun
hasil

Cairan berwarna
HCl alkoholik pink
dititr
0,1N
asi
volume HCl
dicatat Cairan bening
4. Uji Asam Lemak Bebas/ Alkali Bebas

100 mL alkohol Erlenmeyer 250


mL
0,5 mL indikator
pp
dipanask
KOH alkoholik an 60°C
0,1N Alkohol
dan
ditetes-tetesi hingga dikocok
pink cerah perlahan

Kertas lakmus

tertunjuk pH 8
Alkohol netral
4 gram sabun
hasil

Cairan berwarna
HCl alkoholik pink
dititr
0,1N
asi
volume HCl
dicatat Cairan bening

5. Uji Derajat Keasaman (pH)

5 gram sabun Gelas beker 100


hasil mL

10 mL akuades
dilarutkan

Kertas lakmus Air sabun

nilai pH dicatat
V. Data Pengamatan
NO UJI NILAI KETERANGAN
Uji Kadar Air V × n ×0.561
× 100 %
m
1. 0.14025% 0.1× 0.1× 0.561
¿ ×100 %
4
¿ 0.14025 %
Uji Asam Pada pH meter menunjukkan
2. Lemak Bebas/ 8 angka 8, sesuai dengan SNI
Alkali Bebas 06-3532-1994
Pada praktikum pembuatan sabun cair membutuhkan bahan baku
emal 70 C dan alkopal N100. Langkah awal yang dilakukan adalah
menimbang emal 18% dari yang ingin digunakan, pada praktikum kali ini
emal yang digunakan sebanyak 90 gram. Secara kimia, emal 70 C
termasuk golongan surfaktan alkil sulfat sehingga penggunaan bahan emal
disini berfungsi sebagai penyedia busa pada sabun. Bahan baku lainnya
yaitu alkopal N100 yang berfungsi sebagai surfaktan pelengkap, alkopal
dipilih karena mudah larut dalam air. Lalu selanjutnya terdapat larutan
garam 20% yang berfungsi sebagai pengental untuk produk sabun cair.
Terdapat pula Na2EDTA yang berfungsi sebagai pengawet untuk produk
sabun, sedangkan penambahan air diperlukan sebagai media pelarut agar
tidak mengakibatkan efek negative pada produk. Setelah semua bahan
tercampur merata dapat ditambahkan dengan pewarna untuk memberikan
warna pada sabun dan penambahan parfum untuk menarik minat.
Hasil yang didapatkan yaitu sabun cair dengan warna merah
dengan kekentalan seperti sabun cair pada umumnya. Sabun cair yang
terproduksi memiliki kadar alkali bebas 0,14%, dan pH 8 yang telah sesuai
dengan standart SNI nomor 06-3532-1994 yaitu:
1. Kadar asam lemak bebas(%) <2,5
2. Alkali Bebas (%)
Dihitung sebagai NaOH Maks 1
Dihitung sebagai KOH Maks 0,14
3. Kadar Air (%) Maks 15

pH yang dihasilkan pada sabun cair telah sesuai standart SNI, yaitu
berada pada rentang 7-11, sehingga aman digunakan. Jika pH berada di
atas 11 (terlalu basa) atau di bawah 7 (asam) maka dapat menyebabkan
iritasi kulit seperti kemerahan dan gatal-gatal (Sari dkk, 2017). Alkali
bebas yang tinggi jika digunakan akan mengakibatkan terjadinya iritasi
pada kulit, karena basa yang terkandung akan bereaksi dengan air yang di
gunakan saat mandi dan reaksi itu mengenai kulit. Kadar alkali bebas yang
terdapat pada sabun cair hasil praktikum kali ini menunjukkan angka
rendah, sehingga sabun aman digunakan.
VI. Kesimpulan
Sabun cair terbuat dari minyak nabati atau hewani yang
mengandung trigiserida, dengan ketentuan minyak memiliki kadar asam
lemak <2,5 dan angka penyabunan 196-206 (SNI 06-3532-1994). Sabun
memiliki sifat sebagai pembersih, dengan struktur ikatan atomnya yaitu
ujung hidrofobik yang akan mengikat noda berbasis lemak non air dan
ujung hidrofilik yang mengikat noda yang larut dalam air. Sabun cair
yang dihasilkan memiliki kadar air <15, kadar alkali bebas <0,14%, dan
pH berada di kisaran 7-11 sehingga sesuai SNI dan aman digunakan.
VII. Referensi
Hartini, Eko. 2012. Petunjuk Praktikum Kimia Industri. Modul. Semarang.
Universitas Dian Nuswantoro.
Naomi, P., Gaol, A.M.L., Toha, M.Y., (2013). Pembuatan sabun lunak
dari minyak goreng bekas ditinjau dari kinetika reaksi kimia. Jurnal
Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya 19, 42–48.
Naryono, Eko., dkk. 2022. Modul Praktikum Dasar Rekayasa Proses.
Modul. Malang. Politeknik Negeri Malang.
Sari, Tuti Indah, Julianti Perdana Kasih dan Tri Jayanti Nanda Sari,
(2010), Pembuatan Sabun Padat Dan Sabun Cair Dari Minyak
Jarak, Jurnal Teknik Kimia, No. 1, Vol. 17
Sari, Rafika., Ade, Ferdinan. 2017. Pengujian Aktivitas Antibakteri Sabun
Cair dari Ekstrak Kulit Daun Lidah Buaya. Original Article. 4(3).
Sukeksi, Lilis, Meirany Sianturi dan Lionardo Setiawan, (2018),
Pembuatan Sabun Transparan Berbasis Minyak Kelapa Dengan
Penambahan Ekstrak Buah Mengkudu (Morinda Citrifolia)
Sebagai Bahan Antioksidan, Jurnal Teknik Kimia USU, Vol. 7,
No. 2
Usmania, Ayu, D, I., dkk. 2012. Pembuatan Sabun Transparan dari
Minyak Kelapa Murni (Virgin Coconut Oil). Laporan Akhir.
Surakarta. Universitas Sebelas Maret.

Anda mungkin juga menyukai