Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deterjen
Deterjen berasal dari bahasa Latin yaitu detergere yang berarti membersihkan.
Detergen merupakan penyempurnaan dari produk sabun. Deterjen sering disebut
dengan istilah detergen sintetis yang mana detergen berasal dari bahan-bahan turunan
minyak bumi. Dibanding dengan produk terdahulu yaitu sabun, deterjen mempunyai
keunggulan antara lain mempunyai daya cuci yang lebih baik serta tidak terpengaruh
oleh kesadahan air.
Kebutuhan akan detergen meningkat dengan adanya dua kelemahan pada
sabun. Pertama, sabun merupakan garam dari asam lemah, larutannya agak basa karena
adanya hidrolisis parsial. Masalah kedua ialah bahwa sabun biasa membentuk garam
dalam air sadah yang mengandung kation logam-logam tertentu seperti Ca, Mg, Fe,
dan Kation-kation tersebut menyebabkan garam-garam natrium atau kalium dari asam
karboksilat yang semula larut menjadi garam-garam karboksilat yang tidak larut
mengakibatkan warna cokelat pada pakaian (Heinemann,1992).
Masalah sabun dapat dikurangi dengan menciptakan deterjen yang lebih efektif
yaitu deterjen sintetik. Deterjen sintetik ini harus mempunyai beberapa sifat, termasuk
rantai hipofilik yang panjang dan ujung ionik polar. Juga ujung yang polar tidak
membentuk garam yang mengendap dengan ion-ion dalam air sadah, sehingga tidak
mempengaruhi keasaman air (Harold, 1998).
Deterjen dipengaruhi jenis kotoran yang akan dihilangkan dan air yang
digunakan. Deterjen, khususnya surfaktannya memiliki kemampuan yang unik untuk
mengangkat kotoran, baik yang larut dalam air maupun yang tak larut dalam air. Salah
satu ujung dari molekul surfaktan bersifat lebih suka minyak atau tidak suka air,
akibatnya bagian ini menetrasi kotoran yang berminyak. Ujung molekul surfaktan
satunya lebih suka air, bagian inilah yang berperan mengendorkan dan mendispersikan
kotoran dari cucian.
2.1.1 Kandungan Detergen
1. Surfaktan (surface active agen)
Zat aktif permukaan yang mempunyai ujung berbeda yaitu hydrophile (suka
air) dan hydrophobe (suka lemak). Bahan aktif ini berfungsi menurunkan tegangan
permukaan air sehingga dapat melepaskan kotoran yang menempel pada permukaan
bahan. Surfaktant ini baik berupa anionik (Alkyl Benzene Sulfonate/ABS, Linier Alkyl
Benzene Sulfonate/LAS, Alpha Olein Sulfonate/AOS), Kationik (Garam Ammonium),
Non ionik (Nonyl phenol polyethoxyle), Amfoterik (Acyl Ethylenediamines).
2. Builder (Pembentuk)
Builder adalah suatu bahan yang dapat menambah kerja dari bahan penurun
tegangan permukaan dengan cara menonaktifkan mineral penyebab kesadahan air.
Builders digunakan untuk melunakkan air sadah dengan cara mengikat mineral-mineral
yang terlarut, sehingga surfaktan dapat berkonsentrasi pada fungsi utamanya. Builder
juga membantu menciptakan kondisi keasaman yang tepat agar proses pembersihan
dapat berlangsung lebih baik serta membantu mendispersikan dan mensuspensikan
kotoran yang telah lepas.
Dalam pembuatan detergen, builder sering ditambahkan dengan maksud
meningkatkan efisiensi pencuci dari surfaktan dengan cara menon-aktifkan mineral
penyebab kesadahan air. Baik berupa Phosphat (Sodium Tri Poly Phosphate/STPP),
Asetat (Nitril Tri Acetat/NTA, Ethylene Diamine Tetra Acetat/EDTA), Silikat (Zeolit),
dan Sitrat (asam sitrat). Builder juga berfungsi untuk mencegah mengendapnya
kembali kotoran-kotoran yang terdapat pada bahan yang akan dicuci (Permono, 2002).
3. Filler (Pengisi)
Bahan ini berfungsi sebagai pengisi dari seluruh campuran bahan baku yang
berguna untuk memperbanyak atau memperbesar volume. Keberadaan bahan ini dalam
campuran bahan baku detergen semata-mata ditinjau dari aspek ekonomis. Namun
selain digunakan sebagai pembantu proses, bahan pengisi ini juga berfungsi
meningkatkan kekuatan ionik dalam larutan pencuci. Pada umumnya sebagai bahan
pengisi digunakan Natrium Sulfate (Na2SO4) Natrium Klorida, dan Natrium Phospat
(Purmono, 2002).
4. Additives (Zat Tambahan)
Bahan suplemen/ tambahan untuk membuat produk lebih menarik, misalnya
pewangi, pelarut, pemutih, pewarna dan sebagainya yang tidak berhubungan langsung
dengan daya cuci deterjen. Additives ditambahkan lebih untuk maksud komersialisasi
produk. Contoh : Enzyme, Borax, Sodium Chloride, Carboxy Methyl Cellulose (CMC)
dipakai agar kotoran yang telah dibawa oleh deterjent ke dalam larutan tidak kembali
ke bahan cucian pada waktu mencuci (anti redeposisi). Wangi – wangian atau parfum
dipakai agar cucian berbau harum, sedangkan air sebagai bahan pengikat.
2.1.2 Jenis-Jenis Detergen
Menurut Schwartz (1958), berdasarkan dapat tidaknya zat aktif terdegradasi, detergen
terbagi atas dua bagian yaitu, detergen keras dan detergen lunak.
1. Deterjen Keras
Deterjen keras mengandung zat aktif yang sukar dirusak oleh mikroorganisme
meskipun bahan itu telah di pakai dan telah di buang. Hal ini diakibatkan adanya rantai
cabang pada atom karbon, akibatnya zat tersebut masih aktif dan jenis inilah yang dapat
menyebabkan pencemaran air, seperti Alkil Benzene Sulfonat.
2. Deterjen Lunak
Deterjen ini mengandung zat aktif yang relatif mudah untuk di rusak
mikroorganisme karena umumnya zat aktif ini memiliki rantai karbon yang tidak
bercabang, sehingga setelah dipakai, zat aktif ini akan rusak, contohnya Linier Alkil
Benzene Sulfonat.
2.2 Shampo Motor atau Mobil
Shampo motor atau mobil adalah suatu detergen yang sekarang sudah banyak
digunakan oleh masyarakat. Bahan yang penting dalam pembuatan sampo ini adalah
surfaktan, seperti LABS (Linier Alkyl Benzene Sulfonat) atau kadang disebut juga
Linier Alkyl Benzene (LAB) dan surfaktan penunjang yaitu SLS (Sodium Lauryl
Sulfonat). Teknologi pembuatan sampo motor atau mobil ini termasuk salah satu
teknologi tepat guna dalam pembuatannya. Karena dalam proses pembuatannya tidak
memerlukan alat yang canggih dan proses yang rumit (H. Nirwana, 2010).
2.3 Surfaktan
Komponen yang paling penting dari sistem deterjen adalah surfaktan. Sistem
bahan pembersih pertamapada sabun adalah surfaktan. Terbentuk dari lemak nabati
maupun hewani ditambah air dan alkali. Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa
tahun 1940-an, sabun mulai diganti dengan sintetisdeterjen, yaitu, kombinasi sintetis
surfaktan, sebagian besar alkilbenzen sulfonat (ABS), dan zat pembangun pentasodium
tripolifosfat (STPP). Faktor lingkungan menyebabkan penggantian ABS oleh
alkilbenzen linier sulfonat (LAS), dan penggantian STPP oleh zeolit, karena
pembangunnya lebih kompleks (Bailey, 1996).
Surfaktan atau surface active agent adalah molekul-molekul yang mengandung
gugus hidrofilik (suka air) dan lipofilik (suka minyak/lemak) pada molekul yang sama
(Sheat dan Foster, 1997). Surfaktan (surface active agents) menurunkan tegangan
permukaan air dan mematahkan ikatan-ikatan hidrogen pada permukaan. Hal ini
dilakukan dengan menaruh kepala hidrofiliknya pada permukaan air dengan ekor
hidrofiliknya terentang menjauhi permukaan air. Sifat aktif permukaan yang dimiliki
surfaktan diantaranya mampu menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka
dan meningkatkan kestabilan sistem emulsi. Tegangan permukaan adalah gaya dalam
dyne yang bekerja pada permukaan sepanjang 1 cm dan dinyatakan dalam dyne/cm,
atau energi yang diperlukan untuk memperbesar permukaan atau antarmuka sebesar 1
cm2 dan dinyatakan dalam erg/cm2. Surface tension umumnya terjadi antara gas dan
cairan sedangkan Interface tension umumnya terjadi antara cairan dan cairan lainnya
atau kadang antara padat dan zat lainnya (Anonim, 2009).
Hal ini membuat surfaktan banyak digunakan dalam berbagai industri, seperti
industri sabun, deterjen, produk kosmetika dan produk perawatan diri, farmasi, pangan,
cat dan pelapis, kertas, tekstil, pertambangan dan industri perminyakan untuk
Enhanced Oil Recovery (EOR). Surfaktan ini dapat berupa anionic (Alkyl Benzene
Sulfonate/ABS, Linier Alkyl Benzene Sulfonate/LAS, Alpha Olein Sulfonate/AOS),
Kationik (Garam Ammonium), Nonionic (Nonyl Phenol polyethoxyle), Amphoterik
(acyl ethylenediamines) (Elefani, 2008).
Surfaktan terbagi menjadi dua bagian yaitu kepala dan ekor. Gugus hidrofilik
berada di bagian kepala (polar) dan lipofilik di bagia ekor (nonpolar). Bagian polar
molekul surfaktan dapat bermuatan positif, negatif atau netral. Umumnya bagian non
polar (lipofilik) adalah merupakan rantai alkil yang panjang, sementara bagian yang
polar (hidrofilik) mengandung gugus hidroksil.
2.3.1 Sifat-Sifat Surfaktan
Sifat – sifat umum surfaktan adalah:
1. Sebagai larutan koloid
Mc. Bain telah membuktikan bahwa larutan zat aktif permukaan larutan koloid.
Molekul-molekulnya terdiri dari gugus yang hidrofil (suka air) dan gugus yang
hidrofob (tak suka air). Pada konsentrasi tinggi partikel koloid ini akan saling
menggumpal, gumpalan ini disebut misel atau agregat baik berbentuk sferik/ ‟S‟ (daya
hantar listriknya tinggi) atau lamelar/ ‟L‟ (daya hantar listriknya kecil disebut juga
koloid netral) dan ada dalam kesetimbangan bolak – balik dengan sekitarnya (pelarut
atau dispersi larutan). Kesetimbangan ini akan mencapai konsentrasi kritik misel
menurut aturan Jones dan Burry.
2. Adsorpsi
Apabila larutan mempunyai tegangan permukaan lebih kecil daripada pelarut
murni, zat terlarut akan terkonsentrasi pada permukaan dan terjadi adsorpsi positif.
Sebaliknya adsorpsi negatif menunjukkan bahwa molekul-molekul zat terlarut lebih
banyak terdapat dalam rongga larutan daripada dipermukaan. Hubungan antara derajat
penyerapan dan penurunan tegangan permukaan dinyatakan dalam persamaan Gibbs.
3. Kelarutan dan daya melarutkan
Murray dan Hartly dalam pernyataanya menunjukkan bahwa partikel-partikel
tunggal relatif tidak larut, sedangkan misel mempunyai kelarutan tinggi. Makin
panjang rantai hidrokarbonnya, makin tinggi temperatur kritik larutan.
Sifat – sifat khusus surfaktan adalah:
1. Pembasahan
Perubahan dalam tegangan permukaan yang menyertai proses pembasahan
dinyatakan oleh Hukum Dupre.
2. Daya Busa
Busa ialah dispersi gas dalam cairan dan zat aktif permukaan memperkecil
tegangan antarmuka, sehingga busa akan stabil, jadi surfaktant mempunyai
daya busa.
3. Daya Emulsi
Emulsi adalah suspensi partikel cairan dalam fasa cairan yang lain, yang tidak
saling melarutkan. Sama hanya dengan pembasahan, maka surfaktant akan
menurunkan tegangan antarmuka, sehingga terjadi emulsi yang stabil.
2.3.2 Klasifikasi Surfaktan
Menurut Swern (1979), berdasarkan muatannya surfaktan dibagi menjadi empat
golongan yaitu:
1. Surfaktan anionik
Surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu anion. Karakteristiknya yang
hidrofilik disebabkan karena adanya gugus ionik yang cukup besar, yang biasanya
berupa gugus sulfat atau sulfonat. Contohnya surfaktan anionik diantaranya Linier
Alkyl Benzene Sulfonate (LABS), Alcohol Sulfat (AS), Alcohol Ester Sulfate (AES), Alfa
Olein Sulfonate (AOS), Paraffin (Secondary Alkane Sulfonate, SAS) dan Metyl Ester
Sulfonat (MES).
2. Surfaktan Kationik
Surfaktan ini merupakan surfaktan dengan bagian aktif pada permukaannya
mengandung muatan positif. Surfaktan ini terionisasi dalam air serta bagian aktif pada
permukaannya adalah bagian kationnya. Contoh jenis surfaktan ini adalah ammonium
kuarterner (Myers, 2008).
3. Surfaktan nonionik
Surfaktan yang bagian alkilnya tidak bermuatan. Contohnya ester gliserol asam
lemak, ester sorbitan asam lemak, ester sukrosa asam lemak, polietilena alkil amina,
glukamina, alkil poliglukosida, mono alkanol amina, dialkanol amina dan alkil amina
oksida.
4. Surfaktan Ampoterik
Surfaktan ampoterik dapat bersifat sebagai non ionik, kationik, dan anionik di
dalam larutan, jadi surfaktan ini mengandung muatan negatif maupun muatan positif
pada bagian aktif pada permukaannya. Contohnya: Sulfobetain
(RN+(CH3)2CH2CH2SO3-) (Sastrohamidjojo, 2005).

Gambar 2.1 Struktur Surfaktan


2.3.3 Macam-Macam Surfaktan
1. Linear Alkyl Benzene Sulfonate (LABS)
Alkylbenzene merupakan bahan baku dasar untuk membuat Linear Alkyl
benzene sulfonate. Linear alkylbenzene sulfonate disebut juga dengan nama acid
slurry. Acid slurry merupakan bahan baku kunci dalam pembuatan serbuk deterjen
sintetik dan deterjen cair. Alkylbenzene disulponasi menggunakan asam sulfat, oleum
atau SO3(g). Linear Alkylbenzene Sulfonate diperoleh dengan variasi proses yang
berbeda pada bahan yang aktif, bebas asam, warna maupun viskositas. Bahan baku
utama untuk membuat acid slurry adalah Dodecyl Benzene, Linear Alkyl Benzene.
Nama Kimia Acid Slurry D.D.B.S. adalah Dodecyl Benzene Sulphonate dan L.A.B.S
dan Linear Alkyl Benzene Sulphonate.
Karekteristik dari senyawa LABS adalah:
1. Letak cincin benzennya acak sepanjang rantai karbon
2. Biasanya berbentuk garam Na atau Ca
3. Panjang rantai alkilnya 12
4. Murah dan banyak digunakan
5. Terionisasi sempurna sehingga larut dalam air
6. Resisten terhadap pengolahan anaerob
7. Dapat terbiodegradasi pada kondisi aerob
Proses pembuatan (LABS) adalah dengan mereaksikan Lauril Alkohol dengan
asam Sulfat pekat menghasilkan asam Lauril Sulfat dengan reaksi:

Gambar 2.2 Reaksi Sulfonasi


Molekul LABS berisi cincin aromatik tersulfonasi pada posisi para dan melekat
pada rantai alkil linier di setiap posisi kecuali karbon terminal.Rantai karbon alkil
biasanya memiliki atom karbon 10 sampai 14 dan linearitas dari rantai alkil berkisar
87-98%. Sementara LAS komersial terdiri dari lebih dari 20 individu komponen, rasio
dari berbagai homolognya dan isomer, yang mewakili panjang rantai alkil yang
berbeda dan posisi cincin aromatik di sepanjang rantai alkil linier, relatif konstan dalam
produk saat ini diproduksi, dengan tertimbang jumlah karbon rata-rata rantai alkil
berdasarkan volume produksi per daerah antara 11,7-11,8.
2. Sodium Lauril Sulfat (SLS)
Sodium Lauril Sulfat (SLS) merupakan surfaktan anionik yang paling banyak
digunakan untuk kosmetika atau produk-produk perawatan diri. SLS memiliki pH 7-9,
mudah mengental dengan garam dan menunjukkan kelarutan dalam air yang baik.
Molekul ini memiliki 12 atom karbon, yang melekat pada gugus sulfat, dan
memberikan sifat amphiphilic yang dibutuhkan deterjen. SLS adalah surfaktan yang
sangat efektif dan digunakan untuk menghilangkan noda berminyak dan residu.
Sebagai contoh, SLS ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi pada produk industry,
termasuk degreaser mesin, pembersih lantai, sampo mobil. Penggunaan SLS dengan
konsentrasi yang lebih rendah yaitu pada pembuatan pasta gigi, shampoo rambut, dan
busa cukur. Sodium lauril sulfat merupakan komponen penting dalam formulasi untuk
efek penebalan busa dan kemampuannya untuk menciptakan busa. Kesesuaian SLES
terhadap kulit dan mata dapat diterima pada kebanyakan aplikasi dan bisa ditingkatkan
melalui kombinasi dengan surfaktan sekunder yang tidak terlalu kuat (Spiess, 1996).
Sifat-sifat umum SLS adalah sebagai berikut:
1. Merupakan surfaktan anionic sebesar 68%-73%
2. Memiliki pH sebesar 7.0-9.0
3. Mengandung sodium sulfat sebesar 1 %
4. Mengandung sodium klorida sebesar 0.1 %
5. Mengandung dioksan sebesar 30 ppm
6. Merupakan pasta berwarna kuning transparan
7. Dibuat dari fatty alcohol
8. Biasanya digunakan sebagai surfaktan pada pembersih dalam bahan alkohol
Sodium Lauril Sulfat (SLS) umumnya bentuknya adalah R-
(OCH2CH2)nOSO3‾Na+ dimana R adalah rantai alkil dengan berbagai panjang
utamanya adalah C12 (lauril) dan rata-rata derajat etoksilat n yang sama dengan 2 atau
3. Lauril Sulfat dan Lauril Eter Sulfat terdapat dalam larutan pada konsentrasi berkisar
antara 25-30% atau disebut sebagai konsentrasi ―high-active, biasanya dalam rentang
6-70% bahan aktif. Surfaktan ini berbentuk gel sehingga konsentrasi yang tinggi dapat
menyebabkannya sulitnya surfaktan ini larut dalam air. Di Eropa, Lauril Eter Sulfat
(apalagi bentuk garam sodium) paling biasa digunakan sebagai surfaktan primer, dan
Lauril Sulfat menduduki peringkat kedua. Sodium Lauril Sulfat (SLS) lebih mudah
menyebabkan iritasi daripada Lauril Eter Sulfat (SLES).
SLS lebih baik sifat deterjensinya daripada SLES sedangkan untuk kelarutan
dan pembentukan busa, SLES lebih baik daripada SLS. Pencampuran surfaktan ini
dengan surfaktan lain dapat mengoptimalkan sifatnya dan unsur lain dapat digunakan
untuk memodifikasi sifatnya. Contohnya adalah pengunaan coconut fatty acid
diethnolamide untuk menstabilkan busa dan meningkatkan tekstur kasar dari busa yang
dihasilkan dengan Eter Sulfat (Shipp, 1996).
Natrium lauril sulfat, dalam sains disebut sebagai sodium dodecyl sulfate (SDS)
atau Duponol, umumnya digunakan dalam menyusun protein untuk elektroforesis
dalam teknik SDS-PAGE. Senyawa ini bekerja dengan mengganggu ikatan non-
kovalen dalam protein, sehingga protein mengalami denaturing, dan menyebabkan
molekul kehilangan bentuk asli mereka (konformasi). SLS disintesis dengan
mereaksikan lauril alkohol dengan asam sulfat untuk menghasilkan hidrogen lauril
sulfat yang kemudian dinetralisir melalui penambahan natrium karbonat. Karena
metode ini sintesis, SLS komersial yang tersedia sebenarnya tidak sulfat dodesil murni
tetapi campuran alkil sulfat dengan sulfat dodesil sebagai komponen utama. SLS dapat
memperburuk masalah kulit pada individu dengan hipersensitivitas kulit kronis
(Marrakchi S & Maibach HI, 2006).
3. Alkil Benzena Sulfonat (ABS)
Proses pembuatan ABS ini adalah dengan mereaksikan Alkil benzena dengan
Belerang trioksida, asam Sulfat pekat atau Oleum. Reaksi ini menghasilkan Alkil
Benzena Sulfonat. Reaksi selanjutnya adalah netralisasi dengan NaOH sehingga
dihasilkan Natrium Dodecyl Benzene Sulfonate. Linear Alkyl Benzene (kadang-kadang
disebut alkil benzena linear atau hanya LAB) adalah perantara dalam produksi deterjen.
Dorongan ke arah yang lebih ramah lingkungan akhir-akhir ini menggunakan bahan
kimia ramah sejak 1960-an mengakibatkan LAB muncul sebagai cikal bakal dominan
biodegradable deterjen.
4. Glikolipid
Biosurfaktan yang paling dikenal adalah glikolipid. Glikolipid merupakan
karbohidrat yang dikombinasikan dengan rantai panjang asam aliphatic atau asam
hydroxyaliphatic. Contoh bakteri penghasil biosurfaktan glikolipid adalah
Pseudomonas sp., Rhodococcus erythropolis, Torulopsis sp. dan lain-lain. Ada 3
glikolipid yang paling dikenal, yaitu rhamnolipid, trehalolipid dan sophorolipid.
5. Metil Ester Sulfonat
Metil ester sulfonat merupakan surfaktan anionik yaitu surfaktan yang
bermuatan negatif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan (surface
active). Menurut Watkins (2001), jenis minyak yang dapat digunakan sebagai bahan
baku pembuatan metil ester sulfonat (MES) adalah kelompok minyak nabati seperti
minyak kelapa, minyak sawit, minyak inti sawit, stearin sawit, minyak kedelai atau
tallow. Metil ester sulfonat dari minyak nabati yang mengandung atom karbon C10, C12,
dan C14 biasa digunakan untuk light duty diswashing detergent, sedangkan MES dari
minyak nabati dengan atom karbon C16-C18 dan tallow biasa digunakan untuk detergen
bubuk dan detergen cair (liquid laundry detergent).
Menurut Matheson (1996), metil ester sulfonat (MES) telah mulai
dimanfaatkan sebagai bahan aktif pada produk-produk pembersih (washing and
cleaning products). Pemanfaatan surfaktan jenis ini pada beberapa produk adalah
karena metil ester sulfonat memperlihatkan karakteristik dispersi yang baik, sifat
detergensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard
water) dan tidak adanya fosfat, ester asam lemak C14, C16, dan C18 memberikan tingkat
detergensi terbaik serta bersifat mudah didegradasi (good biodegradability). Jika
dibandingkan petroleum sulfonat, surfaktan MES menunjukkan beberapa kelebihan
diantaranya yaitu pada konsentrasi MES yang lebih rendah daya detergensinya sama
dengan petroleum sulfonat, dapat mempertahankan aktivitas enzim yang lebih baik,
toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium, dan kandungan garam (disalt)
lebih rendah.
Menurut Hui (1996), pada dasarnya metil ester sulfonat (MES) digunakan
sebagai surfaktan anionik pengganti LAS dan FAES (Fatty alcohol ether sulfate). Metil
ester sulfonat (MES) diklaim memiliki beberapa manfaat diantaranya sifat
deterjensinya baik pada konsentrasi rendah, beban terhadap lingkungan lebih rendah,
merupakan pasokan yang baik untuk bahan yang berkualitas tinggi. Bentuk dari produk
metil ester sulfonat (MES) menurut MacArthur et al., (2008) sangatlah penting, karena
adanya kesulitan khusus dalam memformulasi metil ester sulfonat (MES) ke dalam
sistem alkalin yang mengandung air. Metil ester sulfonat (MES) memperlihatkan
stabilitas hidrolitik yang kurang baik pada pH yang tinggi dibandingkan dengan
surfaktan anionik yang umum seperti linear alkilbenzen (LAB) sodium sulfonat.
Sebagai contoh, ketika formulasi heavy duty laundry tertentu mengandung metil ester
sulfonat (MES) di spray dried, maka fraksi metil ester sulfonat (MES) yang besar akan
didegradasi ke bentuk di-salt selama proses pengeringan, sehingga hasil produknya
memiliki stabilitas umur simpan yang buruk.
Mac Arthur et al., (2008) menambahkan bahwa untuk memproduksi produk-
produk yang formulanya mengandung metil ester sulfonat (MES) dibutuhkan teknologi
yang cukup dan diusahakan metil ester sulfonat (MES) ada dalam bentuk fisik yang
sesuai. Sebagai contoh, ketika menggunakan metil ester sulfonat (MES) dalam laundry
detergent granules, teknologi yang menarik adalah aglomerasi, yang secara
substansial berada dalam kondisi kering (kelembaban kurang dari 2%), untuk
selanjutnya metil ester sulfonat (MES) bubuk dicampur dengan builder yang
diinginkan dan ingredient lain dalam formulasi.
Daya detergensi linear alkilbenzen sulfonat (LAS), alkohol sulfat (AS) dan
MES selain dipengaruhi oleh panjang rantai karbon juga dipengaruhi oleh kesadahan
air yang d\igunakan. Semakin panjang rantai karbon asam lemak, maka daya
detergensinya semakin meningkat. Metil ester sulfonat (MES) palmitat (C16)
mempunyai daya detergensi paling tinggi dibandingkan dengan LAS dan AS yaitu
sekitar 76%, sedangkan LAS dan AS masing-masing hanya sebesar 70% dan 60%.
Semakin tinggi kesadahan air yang digunakan, maka daya detergensi LAS, AS, dan
MES semakin rendah. Pada tingkat kesadahan 360 ppm CaCO3 daya detergensi dari
MES lebih tinggi (56%) dibandingkan dengan LAS (20%) dan AS (38%) (Yamane and
Miyawaki, 1990).
Metil ester sulfonat (C16) bersifat lebih mudah terbiodegradasi dibandingkan
dengan LAS dan AS. Pada hari ke-5, MES (C16) terbiodegradasi sempurna dan tidak
meninggalkan residu karbon organik, sedangkan AS terbiodegradasi secara sempurna
setelah hari ke-5, sedangkan LAS walaupun senyawa tersebut mengandung rantai
karbon pendek tetapi relatif lebih sulit terbiodegradasi secara sempurna. Hal ini
disebabkan karena LAS mengandung senyawa karbon aromatik (rantai karbon
berbentuk cincin). Biodegradasi maksimum dari LAS terjadi setelah hari ke-10 dengan
menghasilkan residu C organik sebesar 34% (Yamane and Miyawaki, 1990).
6. N-metil glukamida
N-metil glukamida diperoleh dari reaksi antara asam lemak, metil ester asam
lemak atau trigliserida dengan N-metil glukamina. N-metil glukamida banyak
digunakan sebagai produk farmasi dan biokimia lainnya. N-metil-glukamida termasuk
pada kelompok alkil-glukamida surfaktan dimana kelompok surfaktan ini diproduksi
dalam jumlah besar sebagai bahan pembersih, contohnya adalah N dodekanoil-N-
metilglukamida (Holmberg, 2001).
Penelitian ini menggunakan asam laurat sebagai sumber asam lemak. Kedua
substrat yaitu asam laurat dan n-metil glukamina mempunyai polaritas dan kelarutan
yang berbeda, asam laurat larut dalam pelarut hidrofilik sedangkan N-metil glukamina
sedikit larut. Sebagai pelarut pada reaksi amidasi ini dipilih isopropanol, tert-butanol,
tert-amil alkohol dan n-heksana karena alkohol ini dapat melarutkan N-
metilglukamina, merupakan pelarut yang non toksik serta bukan merupakan substrat
lipase. Katalis lipase yang immobile dari Candida Antarctica dan Rhizomucor Meihei
dapat digunakan karena enzim immobilisasi ini mudah diperoleh, stabil dalam pelarut
serta mudah di recovery (Maugard, 1998).
Sintesis N-metil glukamida menggunakan bahan baku N-metil glukamina dari
golongan gula amina. Senyawa-senyawa gula amina memegang peran penting dalam
pembentukan dan perbaikan tulang rawan. Mekanisme kerja senyawa-senyawa gula
amina adalah dengan menghambat sintetis glikosaminoglikan dan mencegah
destruksitulang rawan. Gula amina dapat merangsang sel-sel tulang rawan untuk
pembentukan proteoglikan dan kolagen yang merupakan protein esensial untuk
memperbaiki fungsi persendian. Gula amina dapat diperoleh dari reaksi glukosa,
laktosa atau gula lainnya dengan amonia atau alkil amina. N-metil glukamina
merupakan salah satu senyawa gulaamina yang penting. N-metil glukamina diperoleh
dari reaksi glukosa dengan monometilamina.
2.4 Massa jenis (density)
Massa jenis (density) suatu zat adalah kuantitas konsentrasi zat dan dinyatakan
dalam massa persatuan volume. Nilai massa jenis suatu zat dipengaruhi oleh
temperatur. Semakin tinggi temperatur, kerapatan suatu zat semakin rendah karena
molekul-molekul yang saling berikatan akan terlepas. Senaikan temperatur
menyebabkan volume suatu zat bertambah, sehingga massa jenis dan volume suatu zat
memiliki hubungan yang berbanding terbalik (Besari, 2005). Salah satu sifat yang
penting dari suatu bahan adalah densitas (density)-nya, didefinisikan sebagai massa
persatuan volume. Bahan yang homogen seperti es atau besi, memiliki densitas yang
sama pada setiap bagiannya. kita gunakan huruf yunani ρ (rho) untuk densitas. Jika
sebuah bahan yang materialnya homogen bermassa m memiliki volume v, densitasnya
ρ adalah
𝑚
ρ=
𝑣

keterangan;
ρ: massa jenis air (kg/m3)
m: massa benda (kg)
v: volume benda (m3)
Densitas suatu bahan, tidak sama pada setiap bagiannya. Contohnya adalah
atmosfer bumi (yang seakin tinggi akan semakin kecil densitasnya) dan lautan (yang
semakin dalam akan semakin besar densitasnya). Untuk bahan-bahan ini persamaan
diatas memperlihatkan densitas rata-rata. Secara umum, densitas bahan tergantung
pada faktor lingkungan suhu dan tekanan (Juliastuti, 2002).
2.5 Viskositas
Viskositas suatu zat cairan murni atau larutan merupakan indeks hambatan aliran
cairan. Viskositas dapat diukur dengan mengukur laju aliran cairan, yang melalui
tabung berbentuk silinder. Cara ini merupakan salah satu cara yang paling mudah dan
dapat digunakan baik untuk cairan maupun gas (Bird, 1993). Viskositas adalah indeks
hambatan aliran cairan. Viskositas dapat diukur dengan mengukur laju aliran cairan
yang melalui tabung berbentuk silinder. Viskositas ini juga disebut sebagai kekentalan
suatu zat. Jumlah volume cairan yang mengalir melalui pipa per satuan waktu.
Makin kental suatu cairan, makin besar gaya yang dibutuhkan untuk
membuatnya mengalir pada kecepatan tertentu. Viskositas dispersi koloid dipengaruhi
oleh bentuk partikel dari fase disperse dengan viskositas rendah, sedang sistem dispersi
yang mengandung koloid-koloid linier viskositasnya lebih tinggi. Hubungan antara
bentuk dan viskositas merupakan refleksi derajat solvasi dari partikel (Respati, 1981).
Bila viskositas gas meningkat dengan naiknya temperatur, maka viskositas cairan
justru akan menurun jika temperatur dinaikkan. Fluiditas dari suatu cairan yang
merupakan kelebihan dari viskositas akan meningkat dengan makin tingginya
temperatur (Bird, 1993).
Pada viscometer Ostwald yang diukur adalah waktu yang dibutuhkan oleh
sejumlah tertentu cairan untuk mengalir melalui pipa kapiler dengan gaya yang
disebabkan oleh berat cairan itu sendiri. Pada percobaan sebenarnya, sejumlah tertentu
cairan (misalnya 10 cm3, bergantung pada ukuran viscometer) dipipet kedalam
viscometer. Cairan kemudian dihisap melalui labu pengukur dari viscometer sampai
permukaan cairan lebih tinggi daripada batas a. cairan kemudian dibiarkan turun ketika
permukaan cairan turun melewati batas a, stopwatch mulai dinyalakan dan ketika
cairan melewati tanda batas b, stopwatch dimatikan. Jadi waktu yang dibutuhkan cairan
untuk melalui jarak antara a dan b dapat ditentukan. Tekanan ρ merupakan perbedaan
antara kedua ujung pipa U dan besarnya disesuaikan sebanding dengan berat jenis
cairan (Respati, 1981).
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2009. Peranan Surfaktan pada Proses Deinking Flotation.
http://www.gladyza.blogspot.com/2009/04/peranan-surfaktan-pada-proses-
deinking.html. 9 Oktober 2019.
Bailey, A. E, 1996. Industrial Oil and Fat Products, Interscholastic Publishing, Inc,
New York.
Besari, Ismail. 2005. Kamus Fisika. Bandung; Pionir Jaya.
Bird, T. 1993. Kimia Fisika untuk Universitas. Cetakan ke-2. Jakarta: Penerbit PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Elefani, Dinda, 2008. Produksi Metil Ester Sulfonat untuk Surfaktan.
http://majari magazine.com/2008/05/produksi-metil-ester-sulfonat-untuk-
surfaktan-de/. 10 Oktober 2019.
Hart, H., 1998, Kimia Organik, Edisi Ke Enam, Penerbit Erlangga: Jakarta
Heinemann, R., 1992, Chemistry Two, Australian Pty. Ltd. Heinemann Education
Australia
Holmberg. 2009. Sejarah Penemuan Tinta. http://irengputih.com/sejarah-penemuan-
tinta/1418/. 8 Oktober 2019.
Hui, Y. H., 1996, Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Edisi ke-5, Volume ke-2,
New York: John Willey & Sons, Inc.
Irdoni dan Nirwana. 2018. Penuntun Praktikum Kimia Organik. Universitas Riau
Juliastuti, Endang. 2002. Fisika Universitas Jilid 1 (Edisi Kesepuluh). Jakarta;
Erlangga.
MacArthur B.W., Brooks, B., Sheat, W.B., and Foster, N.C., 2008, Meeting The
Challenge of Methyl Ester Sulfonate, The Chemithon Corporation, Seattle
Marrakchi S, Maibach HI., 2006. Sodium Lauryl Sulfate-Induced Irritation in the
Human Face: Regional and Age-Related Differences, Journal Skin Pharmacology and
Physiol Vol. 19, No. 3, h 66, University of California, San Francisco, California.,
USA
Matheson, K. L., 1996, Formulation of Household and Industrial Detergents. In
Soaps and Detergents, A Theoretical and Practical Review. AOCS Press,
Champaign-Illinois
Maugard. 1998. Builder dan Aditif Dalam Deterjen. http://majarimagazine.com/2009/
06/ builder-dan-aditif-dalam-deterjen/. 8 Oktober 2019.
Myers, D., 2006. Surfactant Science and Technology. 3rd Edition. New Jersey: Jhon
Wiley and Son, Inc
Permono. A., 2002, Membuat Detergen Bubuk, Penebar Swadaya: Jakarta.
Purnomo A., 2002, Membuat Cairan Pencuci Piring, Penebar Swadaya: Jakarta.
Respati, H. 1981. Kimia Dasar Terapan Modern. Jakarta: Erlangga
Sastrohamidjojo, H. 2005, Kimia Organik, Gadjah Mada University Press:
Yogyakarta.
Schwartz, A.M., 1958, Surface Active Agents and Detergents, Interscience Publisher,
Inc: New York
Sheats, W. Brad dan Norman C. Foster. 1997. Concentrated Products from Methyl
Ester Sulfonates. (http://www.chemiton.com/papers_brochures.
/Concentrated_Products.doc.pdf) SNI. 2006. Biodiesel. SNI 04-7182-2006. Badan
Standardisasi Nasional, Jakarta.
Shipp, J. J. 1996. Hair-care Products. Dalam Chemistry and Technology of The
Cosmetics and Toiletries Industry Second Edition. Blackie Academic & Professional,
London.
Spiess, E. 1996. Raw Materials. Dalam Chemistry and Technology of The Cosmetics
and Toiletries Industry Second Edition. Blackie Academic & Professional, London.
Swern, D. 1979. Bailey’s Industrial Oil and fat Products. Vol. 14th Edition. John
Willey and Son Inc., New York
Watkins, C. 2001. Surfactant and Detergent: All Eyes are On Texas. J. Inform., 12:
1152-1159.
Yamane, Izumi and Yozo Miyawaki. 1990. Manufacturing Process of α-
Sulphomethyl Esters and their Application to Detergents. Tokyo: Lion Corporation.

Anda mungkin juga menyukai