TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Surfaktan
Penelitian ini bertujuan untuk membuat surfaktan MES yang dapat digunakan pada
proses EOR (Enhanced Oil Recovery). Pada bagian ini akan dibahas hal yang berkaitan
dengan surfaktan, misalnya pengertian surfaktan dan jenis-jenis dari surfaktan
2.1.1. Surfaktan secara umum
Beberapa senyawa seperti asam lemak berantai pendek adalah tergolong ampifilik atau
ampifatik. Mereka mempunyai satu bagian yang memiliki afinitas tinggi untuk media
yang nonpolar dan bagian yang lain yang memiliki afinitas tinggi untuk media yang
polar. Molekul-molekul ini membentuk suatu lapisan pada batas interface dan
menunjukkan aktivitas pada permukaan (surface activity), seperti menurunkan tegangan
interface atau permukaan. Pada umumnya, senyawa-senyawa ini disebut dengan
surfaktan, atau istilah lainnya adalah ampifilik, surface active agents, tensides, dan
paraffin-chain salts. Bahan-bahan seperti sabun dan deterjen termasuk ke dalam
surfaktan, atau sering juga merupakan campuran dari surfaktan, dan mempunyai
kemampuan untuk membersihkan. Ini dikarenakan deterjen mempunyai kemampuan
untuk mengubah properti dari interface yang menyebabkan kotoran lepas dari
permukaan benda.
Surfaktan mempunyai bentuk senyawa yang unik. Bagian kepalanya (head) adalah grup
yang hidrofilik, sedangkan bagian rantainya (tail) adalah grup yang hidrofob. Bagian
hidrofilik atau bagian yang polar biasanya berinteraksi kuat dengan air, seperti interaksi
dipol-dipol, atau interaksi ion-dipol. Bagian hidrofilik head ini menentukan jenis-jenis
surfaktan yang mana akan dibahas di subbab berikutnya..
B.56.3.2
1
Dalam larutan, surfaktan akan berlaku seperti senyawa elektrolit pada umumnya. Akan
tetapi pada konsentrasi yang lebih tinggi, surfaktan akan menunjukkan perilaku yang
berbeda. Perilaku ini ditunjukkan dengan terbentuknya suatu formasi dari sekumpulan
banyak (agregat) molekul secara teratur yang disebut micelle. Bila solvennya adalah air,
bagian hidrofilik akan meninggalkan bagian interior agregat dan menghadapi air.
Sedangkan bagian hidrofob dengan sendirinya akan menjauhi air dan berkumpul di
interior agregat. Bila solvennya adalah hidrokarbon, maka yang akan terjadi adalah
sebaliknya. Bentuk dari micelle pada solven air dipandang sebagai kompromi dari
kecenderungan bagi rantai alkil untuk menghindari kontak yang tak diinginkan dengan
air dan bagian polar dari senyawa yang ingin mempertahankan kontak dengan
lingkungan air. Strukter umum dari suatu micelle terlihat pada gambar 2.1. Konsentrasi
pada saat sekumpulan banyak molekul surfaktan membentuk micelle dinamakan
Critical Micelle Concentration (CMC). Surfaktan akan mempunyai sifat-sifat aktif
permukaan (surface activity) bila konsentrasinya sudah mencapai CMC.
Gambar 2.1. Struktur micelle pada lingkungan air terdapat dalam beberapa
kemungkinan: (a) Ekor yang overlapping pada bagian tengah, (b) Air menembus ke
bagian tengah, (c) Rantai-rantai yang saling membengkok dan menonjol
Sumber: (Schramm, 2000)
Jenis Surfaktan
Anionik
Klasifikasi
alkil sulfat
dan
sulfonat
petroleum
dan
lignin sulfonat
fosfat ester
sulfosuksinat ester
karboksilat
Kationik
- garam
amonium kuarterner
Contoh
Linier Alkilbenzen Sulfonat (LAS)
Alkohol Sulfat (AS)
Alkohol Eter Sulfat (AES)
Methyl Ester Sulfonat (MES)
Sulfated alcohol ethoxylate
Petroleum sulfonat (aril sulfonat dan
alkaril sulfonat)
Alkil sulfonat
Alkilaril sulfonat : alkilxylene
sulfonat (ket : xylene dapat diganti
dengan benzene, naftelene atau
toluene)
(Di)alkilbenzen sulfonat
Alkoxylated alkyl substituted phenol
sulfonate
Alkoxylated sulfonated
Dodesilbenzenhexaetoksietil sulfonat
Na Stearat
Na dodesil
Na dodesil benzene sulfonat
Fatty amine oksida
Ethoxylated tertiary amine
Dimetil alkil amina
Fatty amine
Amidoamina
Nonionik
alkohol
ethoxylated acid
alkanolamida
ethoxylated amine
amina oksida
Amfoterik
- karboksibetain
- sulfobetain
Diamina
Amina oksida
Amina kuartener
Amina etoksilat
Laurilamina hidroklorida
Trimetil dodesilammonium klorida
Cecyl trimethylammonium bromide
Sorbitan monostearat
Fatty alcohol polyglycol ether
Gliserol monostearat
Propilen glikol monostearat
Dietanolamida (DEA)
Sukrosa ester
Sorbitol dan sorbitan ester
Ethoxylated alcohol
Ethoxylated alkanol
Polyethoxylated alkylphenol
Polyoxyethylene alcohol
Alkilfenol etoksilat
Polisorbat 80
Propylene oxide-modified
(polymethylsiloxane)
Phosphatidylcholine
Phosphatidylethanol-amine
Lecithin
Aminocarboxylic acid
Alkil betain
Dodecyl betaine
Lauramidopropil betain
Cocoamido-2-hydroxy-propyl
sulfobetaine
yang merupakan 70 % dari total produksi kesemua jenis surfaktan (Othmer, 1965).
sodium salts. Penggunaan surfaktan amfoterik tidaklah sebanyak surfaktan jenis lainnya
(Othmer, 1965).
2.2. Bahan Baku
2.2.1. Crude Palm Oil (CPO)
Minyak kelapa sawit merupakan salah satu minyak-lemak nabati yang dapat digunakan
sebagai bahan baku pengembangan surfaktan. Minyak kelapa sawit adalah komoditas
politik dan ekonomik yang penting di Indonesia, karena terdapat sekitar 3.4 juta
keluarga yang bekerja dalam penanaman kelapa sawit (KMSI, 2005). Selain itu, kelapa
sawit sebagai sumber minyak-lemak nabati mempunyai kapasitas produksi yang
terbesar jika dibanding sumber minyak-lemak nabati lainnya yang terdapat di Indonesia.
Oleh sebab itu, ketersediaan kelapa sawit sebagai bahan baku minyak-lemak nabati
sangat berlimpah. Berikut data produktivitas berbagai sumber minyak-lemak nabati :
Tabel 2.2. Produktivitas berbagai sumber minyak-lemak nabati
Nama Indonesia
Nama Inggris
Nama Latin
kg-/ha/thn
Sawit
Oil palm
Elaeis guineensis
5000
Kelapa
Coconut
Cocos nucifera
2260
Alpokat
Avocado
Persea americana
2217
K. Brazil
Brazil nut
Bertholletia excelsa
2010
K. macadam
Macadamia nut
Macadamia ternif.
1887
Jarak pagar
Physic nut
Jatropha curcas
1590
Jojoba
Jojoba
Simmondsia califor.
1528
K. pecan
Pecan nut
Carya pecan
1505
Jarak kaliki
Castor
Ricinus communis
1188
Zaitun
Olive
Olea europea
1019
Kanola
Rapeseed
Brassica napus
1000
Opium
Poppy
Papaver somniferum
978
Buah kelapa sawit mengandung dua jenis minyak-lemak, yaitu minyak-lemak palmitatoleat yang terdapat dalam sabut dan biasa disebut minyak sawit (palm oil) serta minyaklemak laurat yang terdapat di dalam daging buah (berwarna putih) dan biasa disebut
minyak inti-sawit (palm-kernel oil). Minyak sawit merupakan minyak utama dari buah
sawit karena jumlahnya kurang lebih 10 kali lebih banyak dari minyak inti sawit.
Minyak kelapa sawit mengandung beberapa jenis asam lemak. Kandungan asam lemak
yang paling dominan dikandung oleh minyak kelapa sawit adalah asam palmitat (42 %b) dan asam oleat (41 %-b). Data beberapa kandungan asam lemak yang terdapat pada
berbagai sumber minyak-lemak terdapat pada tabel 2.3.
Tabel 2.3. Komposisi asam-asam lemak (%-b) beberapa minyak-lemak nabati.
Asam lemak
Kaproat
Kaprilat
Kaprat
Laurat
Miristat
Palmitat
Stearat
Arakhidat
Behenat
Oleat
Linoleat
Linolenat
Malva-/Sterkulat
Gadoleat
A.I., g-I2/100g
A.P., mg KOH/g
*)
Kelapa
01
5 10
5 10
43 53
15 21
7 11
24
tapak
68
13
D. sawit
tapak
36
35
40 52
14 18
6 10
14
0 0,3
tapak
9 16
13
8 12
250-264
14 23
245-255
Sawit
tapak
02
30 48
36
01
38 44
9 12
44 54
194-206
Malapari
Jarak Pagar
02
38
29
25
45
44 72
9 18
05
0 0,5
12 17
57
0 0,3
0 12
75 96
177-193
37 63
19 40
93 107
188-197
b. asam-asam lemak, yaitu produk samping industri pemulusan (refining) lemak dan
minyak-lemak.
Ester metil dibuat dari trigliserida-trigliserida dan asam-asam lemak dengan proses
reaksi kimia yang masing-masing, disebut esterifikasi dan transesterifikasi. Sumber
alam utama dari trigliserida maupun asam lemak adalah lemak atau minyak lemak
(mentah) yang diperoleh dari tumbuhan.
Persamaan stoikhiometri generik reaksi transesterifikasi trigliserida dengan metanol
seperti terdapat pada gambar 2.2. Variabel-variabel yang mempengaruhi proses
transesterifikasi adalah nisbah alkohol terhadap jumlah asam lemak, jenis konsentrasi
katalis, suhu, dan kecepatan pengadukan.
Lemak
Gambar 2.2. Reaksi transesterifikasi antara minyak atau lemak dengan metanol
Sumber: (Soerawidjaja, 1996)
Transesterifikasi dengan alkohol juga dikenal dengan nama alkoholisis. Oleh karena itu,
reaksi pada gambar 2.2 disebut juga dengan reaksi metanolisis. Menurut Sonntag
(1982), proses metanolisis terhadap minyak atau lemak akan menghasilkan ester metil
dan gliserol melalui pemecahan molekul trigliserida. Tanpa adanya katalis reaksi akan
berlangsung amat lambat. Katalis bisa berupa zat yang bersifat basa, asam, atau enzim
[Schuchardt dkk. (1998), Lotero dkk. (2005), Fukuda dkk. (2001)]. Reaksi akan berjalan
dengan sangat lancar bila digunakan katalis basa, sehingga katalis ini sekarang lazim
diterapkan dalam praktek. Reaksi metanolisis dari trigliserida berlangsung dalam tiga
tahap seperti ditunjukkan pada gambar 2.3.
OH
+ CH3OH
H2O + CH3O
rentang temperatur ini dan tekanan atmosferik. Katalis yang ditambahkan biasanya
sebanyak 0.5 1.5 % dari berat minyak yang diolah.
Gambar 2.5. Mekanisme reaksi pembentukan produk ester metil asam lemak pada tiap
siklus katalitiknya
Sumber: (Soerawidjadja, 2006)
Crude Palm Oil (CPO) biasanya mengandung sekitar 5 % asam lemak bebas (Free
Fatty Acid). Adanya asam lemak bebas dalam reaktan akan mengurangi kinerja katalis
dan juga akan banyak menyerap trigliserida. Hal ini menyebabkan produksi ester metil
menjadi tidak ekonomis. Oleh karena itu asam lemak bebas tersebut harus dipisahkan
terlebih dahulu sebelum transesterifikasi. Asam lemak dapat dipisahkan melalui reaksi
esterifikasi dengan menggunakan katalis asam menghasilkan ester metil. Dengan
adanya dua tahap reaksi ini perolehan ester metil akan meningkat. Reaksi esterifikasi
berlangsung seperti ditunjukkan pada gambar 2.6. Beberapa sifat penting dari ester
metil asam adalah angka setan, angka iodium, titik leleh, viskositas kinematik, dan
massa jenis. Lengkapnya dapat dilihat pada tabel 2.4.
Secara umum reaksi pembuatan ester metil akan menghasilkan senyawa samping, yaitu
gliserin. Antara ester metil dan gliserin mempunyai densitas yang berbeda sehingga
kedua produk tersebut dapat dipisahkan. Setelah dipisahkan, ester metil dimurnikan agar
diperoleh ester metil yang sesuai dengan standar yang ada.
O
R-C-OH
Asam lemak
R-OH
R-C-O-R
alkohol
Ester
H2O
Air
Tabel 2.4. Sifat-sifat penting ester metil asam-asam lemak yang relatif umum.
Angka
setan
33,6
47,9
60,8
73,5
85,9
101
51,0
59,3
38,0
20,0
76,0
Angka
iodium
(g-I2/100g)
0
0
0
0
0
0
0
0
0
94,55
85,60
172,4
260,3
78,20
71,98
Massa jenis
(g/cc), 40
Titik leleh
o
( C)
Visk. kin.
o
(cSt), 40 C
-34
-12
5
18,5
30,5
39,1
48
54
1,16
1,69
2,38
3,23
4,32
5,61
-20
-35
-52
4,45
3,64
3,27
0,860
0,872
0,883
7,21
0,856
33
o
C
0,859
0,856
0,853
0,867
0,851
0,850
0,849
menjadi tidak cocok lagi dan pengembangan istilah enhanced oil recovery (EOR)
menjadi lebih diterima.
Karena sulitnya mengklasifikasikan operasi pengambilan minyak berdasarkan urutan
kronologisnya, klasifikasi berdasarkan deskripsi proses menjadi lebih digunakan dan
diterima. Operasi pengambilan minyak sekarang terbagi menjadi: produksi primer,
produksi sekunder, dan EOR. Produksi primer tetap seperti semula, yaitu menggunakan
energi alami yang terdapat pada reservoir sebagai energi utama dalam pemindahan
minyak. Produksi sekunder menggunakan tambahan energi melalui injeksi dari air atau
gas untuk memindahkan minyak. EOR sendiri pada dasarnya menggunakan injeksi dari
campuran gas atau cairan kimia dan/atau energi termal. Gas hidrokarbon, CO 2, N2, dan
flue gas adalah gas-gas yang termasuk digunakan dalam EOR. Cairan kimia yang
digunakan pada EOR adalah polimer, surfaktan, dan larutan hidrokarbon. Sedangkan
proses termal terdiri dari penggunaan kukus atau air panas dan penggunaan energi
termal yang dihasilkan dari pembakaran minyak pada reservoir batu.
Proses EOR melibatkan injeksi dari satu atau banyak fluida ke dalam reservoir. Fluida
yang diinjeksikan menambah energi yang pada awalnya sudah ada dalam reservoir
untuk memindahkan minyak ke tempat produksi. Sebagai tambahan, fluida yang
diinjeksikan juga berinteraksi dengan sistem reservoir batu-minyak untuk menciptakan
kondisi yang menguntungkan bagi proses recovery. Interaksi ini, sebagai contoh, dapat
menurunkan tegangan interfacial, menurunkan viskositas minyak, memodifikasi
wettability (pembasahan), atau menghasilkan perilaku fasa yang diinginkan. Interaksi
ini terjadi akibat mekanisme fisik/kimia dan injeksi atau produksi dari energi termal.
2.3.2. Surfactant Flooding
Metode surfactant flooding telah diuji dan memiliki potensi terbesar dalam perolehan
oil terbanyak di antara proses EOR lainnya (Green dan Willhite, 1998). Pada metode
ini, surfaktan diinjeksikan dalam suatu sistem kimia kompleks yang disebut larutan
micellar. Larutan ini mengandung surfaktan, kosurfaktan, elektrolit, minyak dan air.
Saat penginjeksian, larutan surfaktan ini diikuti dengan suatu larutan
penggerak
(mobility buffer) yang mengandung polimer pada konsentrasi beberapa ratus ppm.
Larutan micellar mempunyai kelarutan terbatas dengan minyak dan didesain supaya
memiliki interfacial tension (IFT) yang sangat rendah dengan fasa minyak. Saat larutan
ini berkontak dengan tetesan minyak, tetesan tersebut akan terdeformasi karena nilai
IFT antara fasa minyak dan air akan menurun dan mengakibatkan minyak terbebas dari
core (batuan). Tetesan minyak ini kemudian akan bergabung dengan tetesan lainnya dan
terbawa ke depan aliran larutan yang memindahkannya.
Larutan polimer diinjeksikan untuk memindahkan (menggerakkan) larutan micellar
secara efisien. Nilai IFT antara larutan polimer dan micellar pun cukup rendah sehingga
tidak banyak bagian dari larutan micellar yang terperangkap di dalamnya. Rasio antara
larutan polimer dan micellar berkontribusi ke efisiensi pemindahan minyak.
Pada proses surfactant flooding ini, pemindahannya tidak saling bercampur
(immiscible). Kelarutan sempurna tidak ada di antara larutan micellar dan minyak atau
di antara larutan micellar dan polimer. Nilai IFT yang rendah di antara fluida yang
memindahkan dan terpindahkan adalah suatu keharusan karena dibutuhkan untuk
memobilisasi tetesan-tetesan atau film minyak yang saling terpisah. Nilai IFT yang
rendah juga berguna untuk meminimalisasikan adanya micellar yang teralihkan arah
alirannya atau tertahan pada batuan. Bila larutan micellar tidak dipindahkan oleh larutan
polimer secara efisien, larutan micellar akan memburuk dengan cepat. Dengan
demikian, suatu surfaktan yang akan digunakan dalam surfactant flooding haruslah
memiliki nilai IFT yang rendah.
2.4. Pembuatan Methyl Ester Sulfonat (MES)
Berikut ini akan dijelaskan mengenai proses tahapan pembuatan MES dari ester metil
CPO dengan reaktan NaHSO3 dan H2SO4. Pada dasarnya, kemunculan ide untuk
membuat MES adalah untuk menggantikan LAS (Linear Alkylbenzene Sulfonate) yang
juga merupakan surfaktan anionik dan banyak digunakan untuk berbagai aplikasi.
Alasan penggantian LAS dengan MES didasari oleh pemikiran adanya kedekatan
sifat
keduanya. Namun kinerja dari MES labih baik jika dibandingkan dengan LAS. Selain
sifatnya yang biodegradable dan renewable, MES mempunyai persen deterjensi yang
lebih tinggi dibanding LAS. Sehingga pembuatan MES ini akan memperbaiki kinerja
dari LAS.
2.4.1. Proses Sulfonasi
Salah satu proses untuk menghasilkan surfaktan MES adalah melalui proses sulfonasi
ester metil minyak nabati. Sulfonasi adalah proses kimia utama yang digunakan untuk
membuat banyak macam produk di industri, seperti bahan celup dan pewarna, pigmen,
obat-obatan, pestisida dan produk-produk organik. Sebagai gambaran, hampir 1.600.000
3
ton /tahun surfaktan diproduksi di Amerika Serikat sebagai surfaktan dalam produk
pembersih dan produk lainnya (Sheats dkk., 2005). Contoh lainnya adalah petroleum
sulfonat yang digunakan luas sebagai aditif dalam minyak pelumas dan sebagai agen
pendorong pelepasan minyak dalam surfactant flooding (Green dan Willhite, 1998).
Gambar 2.7 menunjukkan reaksi untuk membentuk gugus sulfonat. Sulfur trioksida
(SO3) bereaksi dengan molekul organik (pada gambar 2.7 adalah alkil benzen) untuk
membentuk ikatan karbon-sulfur. Salah satu karakteristik proses ini adalah produk
reaksinya (asam alkil benzen sulfonat) adalah molekul yang stabil.
Sulfur
trioksida
Alkil benzen
Reaksi sulfonasi dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa macam reaktan SO3
yang telah disederhanakan/dikomplekskan seperti terlihat pada gambar 2.8. Dalam
pembuatan MES pada penelitian ini, reaktan yang dipilih sebagai agen pensulfonasi
adalah NaHSO3 dan H2SO4. Kedua reaktan ini dipilih karena beberapa alasan. Pertama,
produk yang diinginkan adalah ester metil bergugus sulfonat, di mana atom karbon
berikatan langsung dengan atom sulfur. Bila digunakan reaktan sulfamic acid dan
chlorosulfonic acid, produk yang dihasilkan akan memiliki ikatan karbon-oksigensulfur (proses sulfatisasi). Kedua, harganya tidak terlalu mahal dan mudah didapat.
Sulfamic acid dan chlorosulfonic acid adalah dua reaktan yang paling mahal di antara
reaktan-reaktan lainnya. Terakhir, kemudahan penanganan. Gas SO3 merupakan sumber
gugus SO3 yang paling baik untuk reaksi sulfonasi tetapi penggunaannya lebih untuk
skala industri.
sekunder;
(2) rantai tidak jenuh (ikatan rangkap). Senyawa organik yang disulfonasi mengandung
ikatan rangkap pada molekulnya. Pada saat reaksi, ikatan rangkap dari senyawa organik
tersebut mungkin akan lepas dan salah satu atom karbon dari ikatan rangkap tersebut
akan mengikat gugus sulfonat. Namun tidak tertutup kemungkinan gugus sulfonat dapat
terikat pada atom karbon sekunder seperti ditunjukkan pada gambar 2.11.
R CH = CH COOCH3 + NaHSO3
RCH CH2---COOCH3
SO3Na
Ester metil
Na-bisulfit
-- CH3
2
Gambar 2.11. Kemungkinan masuknya gugus sulfonat dalam suatu ester metil
Sumber: (Groggins, 1956)
Menurut Sheats dkk. (2002), umpan yang akan disulfonasi dimasukkan terlebih dahulu
o
temperatur gas SO3 adalah 42 C. Namun karena reaktan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Na-bisulfit dan H 2SO4 yang sifatnya tidak sereaktif gas SO 3, maka
diperlukan suhu yang lebih tinggi untuk meningkatkan kandungan sulfonat (Hidayati,
o
2006). Penelitian ini menvariasikan temperatur reaksi pada 70, 90, dan 110 C. Reaksi
sulfonasi amat eksotermik, maka panas yang terbentuk oleh reaksi harus dilepaskan ke
lingkungan. Dalam skala pabrik, pembuangan panas dilakukan dengan memompa
campuran reaksi menuju alat penukar panas eksternal (Foster, 1997). Pada penelitian
ini, pembuangan panas disiasati dengan pemasangan alat pendingin balik
selama
sulfonasi berlangsung. Foster (1997) juga mengatakan bahwa lama reaksi sulfonasi
dengan reaktan oleum dan H2SO4 pada skala pabrik secara batch berkisar antara 15-20
jam, dengan sekitar 10 jam untuk pemisahan by-product dan 5 jam untuk
penetralisasian.
Berdasarkan
data
tersebut,
dapat
dikatakan
waktu
untuk
mungkin terbentuk, maka dilakukan pemurnian campuran reaksi dengan metanol. Dari
o
Sheats dkk. (2002), proses pemurnian dengan metanol dilakukan pada temperatur 75 C
dengan konsentrasi metanol sebesar 31 sampai 40%- wt (basis MES). Sedangkan
Hidayati (2006) menyatakan bahwa kondisi pemurnian terbaik untuk menghasilkan
o
MES dengan IFT terendah adalah 26.6% dengan temperatur pemurnian 45.5 C. Kondisi
o
tersebut diperoleh dengan temperatur reaksi sebesar 96,5 C dan lama reaksi 4,3 jam.
Untuk kemudahan perbandingan hasil, konsentrasi metanol dalam penelitian ini
ditetapkan konstan sebesar 35 %.
untuk penentuan kadar gas yang terdapat di udara, biasanya alat ini diletakkan di pinggir
jalan untuk mengetahui tingkat polusi (pencemaran).
Tingkat energi cahaya di daerah infra merah sesuai dengan tingkat energi vibrasi dan
energi rotasi dari ikatan. Jika sinar infra merah mengenai ikatan di dalam molekul yang
tingkat energinya sesuai maka sinar tersebut akan diserap. Karena tingkat energi tiap
ikatan dan rotasi dalam molekul berbeda-beda, hal ini akan mengakibatkan masingmasing ikatan menyerap pada harga bilangan gelombang yang berbeda-beda pula,
dengan demikian pola spektra suatu senyawa akan berbeda satu sama lainnya.
Frekuensi vibrasi molekul dipengaruhi oleh jumlah dan jenis atom, susunan geometri
dan tetapan ikatan antar atom di dalam molekul. Pola spektra infra merah yang
dihasilkan ditentukan oleh perubahan faktor-faktor tersebut. Ikatan yang
dapat
menyerap sinar infra merah adalah ikatan yang karena perubahan vibrasi atau rotasinya
dapat menyebabkan perubahan momen dipol.
Secara singkat, prinsip kerja spektrometer infra merah dapat dijelaskan sebagai berikut :
Cahaya infra merah dengan berbagai panjang gelombang yang dipancarkan oleh sebuah
sumber cahaya akan dipecah oleh sistem cermin menjadi dua berkas cahaya, yaitu
berkas rujukan (referensi) dan berkas contoh. Setelah masing-masing melewati sel
rujukan (pelarut murni, jika pelarut itu digunakan dalam contoh, atau kosong jika
contoh tak menggunakan pelarut) dan sel contoh, kedua berkas ini digabung kembali
dalam pemenggal (chopper, suatu sistem cermin lain), menjadi satu berkas yang berasal
dari kedua berkas itu, yang selang-seling bergantian. Berkas selang-seling ini didifraksi
oleh suatu kisi sehingga berkas itu terpecah menurut panjang gelombang. Detektor akan
mengukur beda intensitas antara kedua macam berkas tersebut pada tiap-tiap panjang
gelombang dan meneruskan informasi ini ke perekam, yang kemudian akan
menghasilkan suatu bentuk spektrum.