Anda di halaman 1dari 17

SURFAKTAN

Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah Pre-requisite Laboratorium Lingkungan


Dosen: Drs. Moh. Irsyad, M.Si

Oleh:
Kelompok 1

Hikmat Megandana

25314705

Manggala Anindyaguna

25314709

Angga Dwi Putranto

25314743

PROGRAM PASCASARJANA TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2014

Daftar Isi
Daftar Isi........................................................................................................................ 2
BAB I ............................................................................................................................ 3
Pendahuluan .................................................................................................................. 3
1.1.

Latar Belakang ............................................................................................... 3

1.2.

Tujuan ............................................................................................................. 4

BAB II ........................................................................................................................... 5
Tinjauan Pustaka ........................................................................................................... 5
2.1

Pengertian ....................................................................................................... 5

2.2

Sumber............................................................................................................ 7

2.3

Penggunaan .................................................................................................... 8

BAB III ....................................................................................................................... 11


PEMBAHASAN ......................................................................................................... 11
3.1

Pengaruh Surfaktan Terhadap Lingkungan .................................................. 11

3.2

Metode Pengukuran ...................................................................................... 13

3.2.1

Penentuan Surfaktan dengan Metilen Biru ........................................... 13

3.2.2

Analisis Spektrofotometri pada Metode MBAS ................................... 14

BAB IV ....................................................................................................................... 16
KESIMPULAN ........................................................................................................... 16
Daftar Pustaka ............................................................................................................. 17

BAB I
Pendahuluan

1.1. Latar Belakang


Pencemaran air oleh limbah pemukiman telah menjadi salah satu sumber utama
penyebab pencemaran air yang memberikan dampak paling besar terutama pada
wilayah perkotaan di Indonesia. Limbah pemukiman mengandung limbah
domestik berupa sampah organik dan sampah anorganik serta deterjen. Deterjen
merupakan limbah pemukiman yang paling potensial mencemari air. Penggunaan
deterjen sebagai bahan pembersih dalam kehidupan sehari-hari semakin meningkat
setiap tahunnya seiring dengan pertambahan jumlah penduduk.
Surfaktan sebagai bahan dasar utama dalam pembuatan deterjen terus berkembang
dalam 20 tahun terakhir karena memiliki efisiensi pembersihan yang baik terutama
jika digunakan di dalam air sadah atau pada kondisi lainnya yang tidak
menguntungkan bagi penggunaan sabun biasa. Sisa detergen hasil dari
pembuangan limbah pemukiman ini harus mampu mengalami degradasi
(penguraian) oleh bakteri-bakteri yang umumnya terdapat di alam. Akan tetapi,
lambatnya proses degradasi ini mengakibatkan timbulnya busa di atas permukaan
air, dalam jumlah yang makin lama makin banyak sehingga dapat mencemari
lingkungan. Busa yang mengadung surfaktan ini dapat menurunkan kadar oksigen
air sehingga organisme air kekurangan oksigen dan dapat menyebabkan kematian.
Pengukuran dan pengujian dari kadar surfaktan dari sampel air diperlukan untuk
mengetahui pengaruh deterjen terhadap lingkungan air di daerah tersebut.

1.2. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan dari makalah ini bertujuan untuk:
1.

Mengetahui pengaruh surfaktan pada terhadap lingkungan

2.

Mengetahui metode pengukuran surfaktan

3.

Mengetahui aplikasi dari data pengukuran surfaktan pada lingkungan

BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1

Pengertian
Menurut Warren S. Perkins (1998), istilah surfactant berasal dari kata surface
active agent (permukaan agen aktif). Surfaktan sangat banyak digunakan
karena kemampuannya dalam mempengaruhi sifat permukaan (surface) dan
antar muka (interface). Surfaktan merupakan molekul yang memiliki gugus
polar yang suka air (hidrofilik) dan gugus non polar yang suka minyak
(lipofilik) sekaligus, sehingga dapat mempersatukan campuran yang terdiri dari
minyak dan air. Surfaktan adalah bahan aktif permukaan, yang bekerja
menurunkan tegangan permukaan cairan, sifat aktif ini diperoleh dari sifat
ganda molekulnya. Bagian polar molekulnya dapat bermuatan positif, negatif
ataupun netral, bagian polar mempunyai gugus hidroksil semetara bagian non
polar biasanya merupakan rantai alkil yang panjang. Bagian kepala mengacu
pada pelarut dari hidrofilik dan bagian ekor mengacu pada grup hidrofobik.

Gambar 1 Molekul Surfaktan

Gugus hidrofilik pada surfaktan bersifat polar dan mudah bersenyawa dengan
air, sedangkan gugus lipofilik bersifat non polar dan mudah bersenyawa dengan
minyak. Di dalam molekul surfaktan, salah satu gugus harus lebih dominan
jumlahnya. Bila gugus polarnya yang lebih dominan, maka molekul-molekul
surfaktan tersebut akan diabsorpsi lebih kuat oleh air dibandingkan dengan
minyak. Akibatnya tegangan permukaan air menjadi lebih rendah sehingga
mudah menyebar dan menjadi fase kontinu. Demikian pula sebaliknya, bila
gugus non polarnya lebih dominan, maka molekul-molekul surfaktan tersebut
5

akan diabsorpsi lebih kuat oleh minyak dibandingkan dengan air. Akibatnya
tegangan permukaan minyak menjadi lebih rendah sehingga mudah menyebar
dan menjadi fase kontinu. Surfaktan pada umumnya disintesis dari turunan
minyak bumi dan limbahnya dapat mencemarkan lingkungan, karena sifatnya
yang sukar terdegradasi, selain itu minyak bumi merupakan sumber bahan baku
yang tidak dapat diperbarui.
Klasifikasi surfaktan berdasarkan muatannya dibagi menjadi empat golongan
berdasarkan sifat hidrofobiknya yaitu:
1) Surfaktan anionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu anion.
Jenis ini memiliki gugus hidrofilik yang membawa muatan negatif seperti
karboksilat (RCOO- M+), sulfonat (RSO3- M+) dan gugus sulfat (ROSO3- M+).
Contohnya adalah sodium dodecylsulfate (SDS), dengan rumus kimia
C12H25OSO3Na dan sodium dodecanoate (C11H23CO2Na) dan termasuk jenis
sodium alkilkarboksilat atau disebut juga asam lemak atau sabun
2) Surfaktan kationik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu kation.
Jenis ini memiliki muatan positif dibagian hidrofiliknya. Contohnya garam alkil
trimethil ammonium, garam dialkil-dimethil ammonium, garam alkil dimethil
benzil ammonium, dan senyawa ammonium Kloride Kuarterner, (RCH3N)+ Cl3) Surfaktan nonionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya tidak bermuatan. Bagian
hidrofilik diperoleh dari gugus polar seperti polyethylene oxide atau gula.
Contohnya ester gliserin asam lemak, ester sorbitan asam lemak, ester sukrosa
asam lemak, polietilena alkil amina, glukamina, alkil poliglukosida, mono alkanol
amina, dialkanol amina dan alkil amina oksida.
4) Surfaktan amfoter yaitu surfaktan yang bagian alkilnya mempunyai muatan
positif dan negatif. Contohnya surfaktan yang mengandung asam amino, betain,
fosfobetain.

Kebanyakan surfaktan yang umum digunakan adalah surfaktan anionik diikuti


oleh nonionik. Surfaktan kationik memiliki potensi masalah lingkungan karena
tidak mudah terbiodegradasi sementara surfaktan amphoter mahal dan hanya
digunakan untuk keperluan khusus.

2.2

Sumber
Surfaktan pada umumnya disintesis dari turunan minyak bumi, seperti linier
alkilbensen sulfonat (LAS), alkil sulfonat (AS), alkil etoksilat (AE) dan alkil
etoksilat sulfat (AES). Surfaktan dari turunan minyak bumi dan gas alam ini
dapat menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan, karena surfaktan ini
setelah digunakan akan menjadi limbah yang sukar terdegradasi. Disamping itu,
minyak bumi yang digunakan merupakan sumber bahan baku yang tidak dapat
diperbaharui. Masalah inilah yang menyebabkan banyak pihak mencari
alternatif surfaktan yang mudah terdegradasi dan berasal dari bahan baku yang
dapat diperbaharui (Herawan, 1998; Warwel, dkk. 2001).
Bahan baku utama surfaktan adalah minyak dan lemak. Minyak dapat diekstrak
dari tumbuhan sedangkan lemak diperoleh dari lemak hewan. Pembuatan
surfaktan adalah pencampuran antara minyak dengan larutan basa NaOH
sehingga terbentuk garam dari lemak. Garam dari lemak inilah yang memiliki
kemampuan sebagai emulgator yaitu dengan rantai C panjang sebagai bagian
hidrofobik dan garam karboksilat di C1 sebagai bagian hidrofilik. Sumber
surfaktan sangat murah dan mudah dijangkau. Hal ini dapat menjadi salah satu
alasan mengapa inovasi pemanfaatan surfaktan dalam kegiatan industri saat ini
berkembang dengan pesat. Bidang kegiatan industri yang menggunakan prinsip
kerja surfaktan sangat lebar, seperti tekstil, kosmetik, lubricant,pulp paper, palm
oil, energi, dan polimer sintetik yaitu plastic.

2.3

Penggunaan
Surfaktan banyak ditemui di bahan deterjen, kosmetik, farmasi dan tekstil.
Produk pangan seperti es krim juga menggunakan surfaktan sebagai bahannya.
Karena sifatnya yang menurunkan tegangan permukaan, surfaktan dapat
digunakan sebagai bahan pembasah (wetting agent), bahan pengemulsi
(emulsion agent) dan sebagai bahan pelarut (solubilizing agent).
Penambahan surfaktan dalam larutan akan menyebabkan turunnya tegangan
permukaan larutan. Setelah mencapai konsentrasi tertentu, tegangan permukaan
akan konstan walaupun konsentrasi surfaktan ditingkatkan. Bila surfaktan
ditambahkan

melebihi

konsentrasi

ini

maka

surfaktan

mengagregasi

membentuk misel. Konsentrasi terbentuknya misel ini disebut Critical Micelle


Concentration (CMC). Tegangan permukaan akan menurun hingga CMC
tercapai. Setelah CMC tercapai, tegangan permukaan akan konstan yang
menunjukkan bahwa antar muka menjadi jenuh dan terbentuk misel yang
berada dalam keseimbangan dinamis dengan monomernya (Genaro, 1990).
Penerapan bioteknologi pada sintesis surfaktan akhir-akhir ini mendapat
perhatian yang besar. Bioteknologi dapat didefinisikan sebagai pemanfaatan
jasad hidup dan proses biologis atau kimia dalam suatu proses metabolisme
untuk menghasilkan produk bernilai ekonomis lebih tinggi. Sejalan dengan
definisi di atas serta didukung dengan jumlah minyak nabati sebagai pemasok
bahan baku biosurfaktan maka penerapan bioteknologi pada sintesis
biosurfaktan ini berpotensi besar untuk diaplikasikan.
Biosurfaktan sebagian besar diproduksi oleh mikroorganisme seperti bakteri,
ragi (khamir) dan kapang secara biotransformasi sel. Beberapa mikroba dapat
menghasilkan surfaktan pada saat tumbuh pada berbagai substrat yang berbeda,
mulai dari karbohidrat sampai hidrokarbon. Perubahan substrat seringkali
mengubah juga struktur kimia dari produk sehingga akan mengubah sifat
surfaktan yang dihasilkan. Biosurfaktan mempunyai sifat yang mirip seperti
8

surfaktan sintetik, akan tetapi biosurfaktan lebih rendah tingkat toksisitasnya,


mudah terurai secara biologi, lebih efektif pada suhu, pH dan kadar garam yang
berlebihan, dan lebih mudah disintesis. Di samping itu, sifat aktif permukaan
yang dimilikinya berbeda dengan surfaktan yang disintesis secara kimia.
Biosurfaktan mempunyai banyak struktur. Sebagian besar adalah lemak, yang
memiliki ciri struktur surfaktan amfifil. Bagian lipofil dari lemak hampir selalu
gugus hidrokarbon dari satu atau lebih asam lemak jenuh atau tak jenuh dan
mengandung struktur siklik atau gugus hidroksi. Sebagian besar biosurfaktan
bermuatan netral atau negatif. Pada biosurfaktan anionik, muatan itu disebabkan
oleh karboksilat dan/atau fosfat atau kelompok sulfat. Sejumlah kecil
biosurfaktan kationik mengandung gugus amina.
Biosurfaktan paling banyak digunakan pada produk-produk yang langsung
berhubungan dengan tubuh manusia seperti kosmetika, obat-obatan dan
makanan, selain itu ada juga yang digunakan pada pengolahan limbah untuk
mengendalikan lingkungan (Herawan, 1998). Pada saat ini penggunaan
biosurfaktan pada industri pangan dan non pangan (kimia) secara umum masih
belum kompetitif karena masih tingginya biaya produksi. Namun demikian,
masalah lingkungan yang diakibatkan oleh surfaktan sintetik memacu produksi
dan aplikasi biosurfaktan untuk berkembang. Oleh sebab itu, agar biosurfaktan
dapat bersaing dengan surfaktan kimia, harus ditemukan proses produksi yang
lebih ekonomis. Kajian proses produksi biosurfaktan secara fermentasi maupun
biotransformasi untuk mengurangi biaya produksi harus dilakukan, seperti
upaya untuk mendapatkan perolehan (yield) yang tinggi, akumulasi produk
serta penggunaan bahan baku yang murah atau malah tidak bernilai jual. Salah
satu strategi untuk memproduksi biosurfaktan adalah dengan menggunakan
bahan baku dari industry pertanian dan hasil sampingnya termasuk limbah yang
dihasilkannya.

Pengetahuan mengenai surfaktan akan sangat berguna dalam merancang produk


dengan sifat yang sesuai dengan aplikasi yang diinginkan. Beberapa
mikroorganisme juga ada yang menghasilkan enzim dan dapat digunakan
sebagai katalis pada proses hidrolisis, alkoholisis, kondensasi, asilasi atau
esterifikasi. Proses ini digunakan dalam pembuatan berbagai jenis produk
surfaktan termasuk monogliserida, fosfolipida dan surfaktan asam amino.
(Herawan, 1998; Ee Lin Soo, dkk. 2003)

10

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pengaruh Surfaktan Terhadap Lingkungan
Bahan kimia yang digunakan pada detergen dapat menimbulkan dampak negatif
baik terhadap kesehatan maupun lingkungan tanpa mengurangi makna manfaat
detergen dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dua bahan terpenting dari
pembentuk Detergen yakni surfaktan dan builders, diidentifikasi mempunyai
pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap manusia dan lingkungannya.
Surfaktan dapat menyebabkan permukaan kulit kasar, hilangnya kelembaban alami
yang ada pada permukan kulit dan meningkatkan permeabilitas permukaan luar.
Hasil pengujian memperlihatkan bahwa kulit manusia hanya mampu memiliki
toleransi kontak dengan bahan kimia dengan kandungan 1 % LAS dan AOS
dengan akibat iritasi sedang pada kulit. Surfaktan kationik bersifat toksik jika
tertelan dibandingkan dengan surfaktan anionik dan non-ionik. Sisa bahan
surfaktan yang terdapat dalam Detergen dapat membentuk chlorbenzene pada
proses klorinisasi pengolahan air minum PDAM. Chlorbenzene merupakan
senyawa kimia yang bersifat racun dan berbahaya bagi kesehatan. Pada awalnya
surfaktan jenis ABS banyak digunakan oleh industri Detergen. Namun karena
ditemukan bukti-bukti bahwa ABS mempunyai risiko tinggi terhadap lingkungan,
bahan ini sekarang telah digantikan dengan bahan lain yaitu LAS.
ABS setelah diteliti lebih lanjut diketahui mempunyai efek destruktif (buruk)
terhadap lingkungan yakni sulit diuraikan oleh mikroorganisme. Hal ini
menjadikan sisa limbah Detergen yang dikeluarkan setiap hari oleh rumah tangga
akan menjadi limbah berbahaya dan mengancam stabilitas lingkungan hidup
kita.Beberapa negara di dunia secara resmi telah melarang penggunaan zat ABS ini
dalam pembuatan Detergen dan memperkenalkan senyawa kimia baru yang

11

disebut Linier Alkyl Sulfonat, atau lebih sering jika kita lihat di berbagai label
produk Detergen yang kita pakai dengan nama LAS yang relatif lebih ramah
lingkungan. Akan tetapi penelitian terbaru oleh para ahli menyebutkan bahwa
senyawa ini juga menimbulkan kerugian yang tidak sedikit terhadap lingkungan.
Menurut data yang diperoleh bahwa dikatakan alam lingkungan kita membutuhkan
waktu selama 90 hari untuk mengurai LAS dan hanya 50% dari keseluruhan yang
dapat diurai.
Efek paling nyata yang disebabkan oleh limbah Detergen rumah tangga adalah
terjadinya eutrofikasi (pesatnya pertumbuhan ganggang dan enceng gondok).
Limbah Detergen yang dibuang ke kolam ataupun rawa akan memicu ledakan
pertumbuhan ganggang dan enceng gondok sehingga dasar air tidak mampu
ditembus oleh sinar matahari, kadar oksigen berkurang secara drastis, kehidupan
biota air mengalami degradasi, dan unsur hara meningkat sangat pesat. Jika hal
seperti ini tidak segera diatasi, ekosistem akan terganggu dan berakibat merugikan
manusia itu sendiri, sebagai contoh saja lingkungan tempat pembuangan saluran
selokan. Secara tidak langsung rumah tangga pasti membuang limbah Detergennya
melalui saluran selokan ini, dan coba kita lihat, di penghujung saluran selokan
begitu banyak eceng gondok yang hidup dengan kepadatan populasi yang sangat
besar.
Selain merusak lingkungan alam, efek buruk Detergen yang dirasakan tentu tak
lepas dari para konsumennya. Dampaknya juga dapat mengakibatkan gangguan
pada lingkungan kesehatan manusia. Saat seusai kita mencuci baju, kulit tangan
kita terasa kering, panas, melepuh, retak-retak, gampang mengelupas hingga
mengakibatkan gatal dan kadang menjadi alergi.
Detergen sangat berbahaya bagi lingkungan karena dari beberapa kajian
menyebutkan bahwa Detergen memiliki kemampuan untuk melarutkan bahan
bersifat karsinogen, misalnya 3,4 Benzonpyrene, selain gangguan terhadap

12

masalah kesehatan, kandungan detergen dalam air minum akan menimbulkan bau
dan rasa tidak enak..
Dalam jangka panjang, air minum yang telah terkontaminasi limbah Detergen
berpotensi sebagai salah satu penyebab penyakit kanker (karsinogenik). Proses
penguraian Detergen akan menghasilkan sisa benzena yang apabila bereaksi
dengan klor akan membentuk senyawa klorobenzena yang sangat berbahaya.
Detergen memiliki efek beracun dalam air jika limbah setergent tercampur. Semua
detergen menghancurkan lapisan eksternal lendir yang melindungi ikan dari
bakteri dan parasit, selain itu detergen dapat menyebabkan kerusakan pada insang.
Kebanyakan ikan akan mati bila konsentrasi detergen 15 bagian per juta (15 ppm).
Detergen dengan konsentrasi rendah pun sebanyak 5 ppm tetap dapat membunuh
telur ikan. Surfaktan Detergen pun tak kalah berbahaya karena jenis detergen ini
terbukti mengurangi kemampuan perkembangbiakan organisme perairan.
Detergen juga memiliki andil besar dalam menurunkan kualitas air. Bahan kimia
organik seperti pestisida dan fenol akan mudah diserap oleh ikan, dengan
konsentrasi Detergen hanya 2 ppm dapat diserap ikan dua kali lipat dari jumlah
bahan kimia lainnya.Detergen juga memberi efek negatif bagi biota air. Fosfat
dalam Detergen dapat memicu ganggang air tawar bunga untuk melepaskan racun
dan menguras oksigen di perairan. Ketika ganggang membusuk, mereka
menggunakan oksigen yang tersedia untuk mempertahankan hidupnya.

3.2
3.2.1

Metode Pengukuran
Penentuan Surfaktan dengan Metilen Biru

Metode ini membahas tentang perpindahan metilen biru yaitu larutan kationik dari
larutan air ke dalam larutan organik yang tidak dapat campur dengan air sampai
pada titik jenuh (keseimbangan). Hal ini terjadi melalui formasi (ikatan) pasangan
ion antara anion dari MBAS (methylene blue active substances) dan kation dari
metilen biru. Intensitas warna biru yang dihasilkan dalam fase organik merupakan

13

ukuran dari MBAS (sebanding dengan jumlah surfaktan). Surfaktan anion adalah
salah satu dari zat yang paling penting, alami dan sintetik yang menunjukkan
aktifitas dari metilen biru. Metode MBAS berguna sebagai penentuan kandungan
surfaktan anion dari air dan limbah, tetapi kemungkin adanya bentuk lain dari
MBAS (selain interaksi antara metilen biru dan surfaktan anion) harus selalu
diperhatikan. Metode ini relatif sangat sederhana dan pasti. Inti dari metode
MBAS ini ada 3 secara berurutan yaitu: Ekstraksi metilen biru dengan surfaktan
anion dari media larutan air ke dalam kloroform (CHCl3) kemudian diikuti
terpisahnya antara fase air dan organik dan pengukuran warna biru dalam
CHCl3 dengan menggunakan alat spektrofotometri pada panjang gelombang 652
nm (Franson, 1992). Batas deteksi surfaktan anion menggunakan pereaksi
pengomplek metilen biru sebesar 0,026 mg/L, dengan rata-rata persen perolehan
kembali 92,3% (Rudi dkk., 2004).
3.2.2

Analisis Spektrofotometri pada Metode MBAS

Spektrometri merupakan metode pengukuran yang didasarkan pada interaksi


radiasi elektromagnetik dengan partikel, dan akibat dari interaksi tersebut
menyebabkan energi diserap atau dipancarkan oleh partikel dan dihubungkan pada
konsentrasi analit dalam larutan. Prinsip dasar dari spektrofotometri UV-Vis
adalah ketika molekul mengabsorbsi radiasi UV atau visible dengan panjang
gelombang tertentu, elektron dalam molekul akan mengalami transisi atau
pengeksitasian dari tingkat energi yang lebih rendah ke tingkat energi yang lebih
tinggi dan sifatnya karakteristik pada tiap senyawa. Penyerapan cahaya dari
sumber radiasi oleh molekul dapat terjadi apabila energi radiasi yang dipancarkan
pada atom analit besarnya tepat sama dengan perbedaan tingkat energi transisi
elektronnya (Rudi,2004).
Metilen biru digunakan untuk uji coba bahan pewarna organik. Bahan pewarna
organik yang berwarna biru tua ini, akan menjadi tidak berwarna apabila oksigen

14

pada sampel (air yang tercemar yang sedang dianalisis) telah habis dipergunakan
(Mahida, 1981).
Surfaktan anion bereaksi dengan warna biru metilen membentuk pasangan ion
baru yang terlarut dalam pelarut organik, intensitas warna biru yang terbentuk
diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 652 nm. Serapan yang
diukur setara dengan kadar surfaktan anion.

Gambar 3.1 Spektofotometer

15

BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan makalah diatas mengenai surfaktan, maka dapat
disimpulkan bahwa
1. Kadar surfaktan yang terdapat dilingkungan dipengaruhi aktifitas manusia
dalam penggunaan detergen, kosmetik, farmasi, dan tekstil. Konsentrasi
surfaktan yang berlebihan akan menimbulkan dampak langsung pada
lingkungan hidup, khususnya ekosistem air.
2. Metode pengukuran surfaktan ialah dengan menggunakan metilen biru atau
disebut juga Metode MBAS (methylene blue active substances). Dalam
metode ini diperlukan bantuan alat yang disebut spektofotometer.
3. Aplikasi data dari pengukuran surfaktan menunjukan bahwa surfaktan
memiliki efek toksik yang berbahaya. Kebanyakan ikan akan mati bila
konsentrasi Detergen 15 ppm. Air minum yang terkontaminasi surfaktan pada
jangka waktu yang lama dapat menyebabkan kanker (karsinogenik).

16

Daftar Pustaka

Cottam, T. 1969. Research for Establishment of Water Quality Criteria for Aquatic
Life. Reprint Transac of the 2nd Seminar on Biology, April 20-24, Ohio.
Effendi, H, 2003, Telaah kualitas Air Bagi pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan

Perairan, Jurusan MSP Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB,

Bogor
Hadi, A. 2007. Prinsip Pengelolaan Pengambilan Sampel Lingkungan. Penerbit PT.
Gramedia. Jakarta. Hal : 7-10.
Hindarko, S., 2003, Mengolah Air Limbah Supaya Tidak Mencemari Orang Lain,
ESHA,

Jakarta

Jackson A.C, (2006). Experimental Study of the Benefit of Sodium Carbonate on


Surfactant

for Enhanced Oil Recovery. Texas : The University of Texas at

Austin.
Mahida, U.N. 1981. Water Pollution and Disspossal of Waste Water on Land. Mc
Graw Hill.

Publishing Company Limited. Environmental

Mahida, U.N. 1986. Pencemaran dan Pemanfaatan Limbah Industri. Rajawali Press,
Jakarta.
Morrow. (1992, March 2010). Enhaced Oil Recovery using Alkylated, Sulfonated
Oxidized

Lignin Surfactant. US Paten 5,094.295.

Perkins, Warren S. (1998, August). Surfactans A Primer. 51-54. Oktober 23, 2014.
http://www.p2pays.org
Sawyer, C. N., McCarthy, P. L., and Parkin, G. F.,1967, Chemistry for the
Environmental
Engineering and Science, McGraw-Hill Company, Singapore

17

Anda mungkin juga menyukai