Anda di halaman 1dari 23

SOLUBILISASI HERBISIDA OLEH SURFAKTAN

KOMERSIAL TUNGGAL DAN CAMPURAN

Kelompok J
Anggota:
Indah Oktaviani G44150008
Asmara Juwita Hati G44150051
Fitriah Sari G44150053

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2018 1
DAFTAR ISI

ABSTRAK ..........................................................................................................3
PENDAHULUAN
Latar Belakang ..............................................................................................4
Tujuan ..........................................................................................................5
TINJAUAN PUSTAKA
Teori Surfaktan .............................................................................................6
Herbisida .........................................................................................................7
METODE
Alat dan Bahan .............................................................................................9
Prosedur .........................................................................................................9
HASIL DAN PEMBAHASAN
SIMPULAN .......................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................22

2
ABSTRAK
Kemampuan solubilisasi dari larutan micellar dari tiga surfaktan tunggal, dua
alkoxylates alkohol B048 dan B266, alkil etililasi ET15, dan larutan campuran
equimolar terhadap herbisida flurtamone (FL), metribuzin (MTZ) dan mesotrione
(MST). Kapasitas solubilisasi dikuantifikasi dalam hal rasio solubilisasi molar
(MSR), konsentrasi misel kritis (CMC), koefisien partisi air (Kmc), ikatan
konstan (K1), jumlah agregasi (Nagg) dan Stern-Volmer konstan (Ksv). Herbisida
sangat larut di dalam lokus yang berbeda dari misel : FL dalam inti hidrofobik
bagian dalam, MST pada antarmuka misel / air dan MTZ di daerah palisade.
Campuran surfaktan biner equimolar tidak meningkatkan pelarutan herbisida di
atas komponen tunggal, dengan pengecualian MTZ oleh sistem B266 / ET15 yang
meningkatkan solubilisasi sebesar 10-20%. Peningkatan solubilisasi MTZ ini
disebabkan oleh peningkatan jumlah misel yang timbul dari kedua Nagg relatif
menengah dari surfaktan tunggal dan CMC yang lebih rendah. Penggunaan nilai
Ksv adalah prediktor yang lebih baik dari solubilisasi molekul polar dalam
campuran biner daripada parameter interaksi βM dari teori solusi reguler (RST).
Hasil di sini menunjukkan bahwa penggunaan sistem surfaktan campuran untuk
solubilisasi molekul polar dalam teknologi remediasi lingkungan mungkin sangat
terbatas dalam ruang lingkup, tanpa keuntungan yang jelas atas penggunaan
sistem surfaktan tunggal.

3
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Aplikasi lingkungan surfaktan telah meningkat dalam beberapa dekade
terakhir, karena sifat unik mereka sebagai agen solubilizing. Surfaktan adalah
molekul amfifilik yang beragregasi dalam larutan di luar konsentrasi tertentu yang
disebut konsentrasi misel kritis (CMC), biasanya membentuk struktur bola
beberapa nm dengan domain hidrofobik besar dalam kelompok permukaan inti
dan hidrofilik pada permukaan luar. Cairan fasa non encer seperti hidrokarbon
polisiklik aromatik (PAHs), dan bahan kimia organik hidrofobik (HOC)
cenderung tergabung dalam inti micellar karena daerah hidrokarbon membentuk
daerah seperti cairan dengan viskositas yang lebih besar daripada hidrokarbon cair
dengan panjang rantai yang sama (Zana 2003). Desorpsi kontaminan dari tanah
ditingkatkan oleh penambahan surfaktan dalam teknologi "pump and treat"
Percobaan skala lapangan telah menunjukkan keberhasilan pendekatan ini
(McCray et al. 2011). Selain itu, surfaktan juga dapat meningkatkan degradasi
mikroba dari HOC dengan meningkatkan desorpsi dari tanah (Bueno-Montes et
al. 2011).
Surfaktan juga digunakan dalam proses pemisahan membran dalam
pengolahan air limbah dan air tanah, seperti ultrafiltrasi yang diperkuat micellar
(MEUF), yang didasarkan pada penambahan surfaktan di atas CMC yang
menjebak zat terlarut dalam larutan dalam bentuk misel. Misel tidak akan
melewati membran polimer ultrafiltrasi karena ukuran hidrodinamik lebih besar
daripada pori-pori membran (Li et al. 2011). Proses pengolahan air lain yang
menggunakan surfaktan adalah flokulasi serpihan adsorpsi. Teknik ini terdiri dari
adsorpsi polutan organik pada substrat amorf yang dibentuk oleh flokulasi misel
surfaktan, seperti lauril sulfat dan α-olefinsulfonat oleh kation trivalen sebagai
Al3+ dan Fe3+ (Talens et al. 2004).
Kemampuan solubilisasi dari surfaktan tergantung pada pH larutan,
kekuatan ionik, konsentrasi surfaktan, dan surfaktan yang kuat pada sifat
kimianya (Zhou et al. 2011). Surfaktan yang digunakan dalam MEUF terutama
meliputi surfaktan ionik seperti natrium dodesil sulfat (SDS), cetyl trimethyl
ammonium bromide (CTMA), cetyl triethyl ammonium bromide (CTAB), cetyl
pyridinium chloride (CyPCl), asam dikloro asetat dan asam trikloro asetat (Huang
et al. 2010). Surfaktan kationik CTMA dan CyPCl dapat menghilangkan pewarna
secara efisien. Surfaktan anionik SDS adalah yang paling banyak digunakan untuk
penghilangan logam berat. Surfaktan nonionik lebih disukai dalam teknologi
Surfactant enhanced remediation (SER), karena efisiensi yang lebih tinggi dalam
HOC pelarutan, dan CMC pada nonionik yang lebih rendah dibandingkan dengan
surfaktan kationik dan anionik (Zhu dan Rhue 2000).
Aplikasi surfaktan dapat diperluas dengan menggunakan surfaktan
campuran. Surfaktan campuran memiliki titik awan yang lebih tinggi daripada
surfaktan tunggal dan dapat digunakan di bawah suhu yang lebih luas. Selain itu,
CMC surfaktan dapat diturunkan dengan menggunakan campuran. Penggunaan
surfaktan campuran akan menghasilkan misel campuran dengan CMC yang lebih
rendah dibandingkan dengan komponen tunggal pada konsentrasi surfaktan yang
sebanding dan akan menghasilkan peningkatan solubilisasi molekul target.

4
Interaksi yang menarik (sinergisme) antara molekul surfaktan dalam campuran
telah diamati pada sifat surfaktan. Beberapa campuran surfaktan nonionik-anionik
telah dilaporkan untuk menunjukkan sinergisme dan peningkatan solubilisasi
hexachlorobenzene, NAPLs padat, dan PAHs. Sinergisme juga dapat terjadi
dalam campuran nonionik-kationik dan kationik-kationik (Wei et al. 2011).
Sebagian besar studi tentang solubilisasi oleh surfaktan telah difokuskan
pada zat terlarut non polar seperti PAH dan NAPLs. Dalam penelitian saat ini,
solubilisasi tiga herbisida (dua nonionik dan satu asam) dengan kombinasi tunggal
dan biner dari beberapa surfaktan komersial akan diteliti. Hasilnya akan
membantu untuk memahami proses yang terlibat dalam pelarutan molekul dengan
berbagai gugus fungsi polar dalam strukturnya, dan untuk memprediksi sifat
solubilisasi dari larutan surfaktan campuran berdasarkan pada surfaktan tunggal.
Hal tersebut akan memberikan informasi untuk pemilihan sistem surfaktan yang
berbeda dalam teknologi remediasi lingkungan.

Tujuan
Tujuan dari penelitian adalah memprediksi sifat solubilisasi dari larutan
surfaktan campuran berdasarkan pada surfaktan tunggal dalam teknologi
remediasi lingkungan.

5
TINJAUAN PUSTAKA

1. Teori Surfaktan
Surfaktan merupakan molekul yang memiliki gugus polar yang
suka air (hidrofilik) dan gugus non polar yang suka minyak (lipofilik), sehingga
dapat mempersatukan campuran yang terdiri dari minyak dan air. Surfaktan
adalah bahan aktif permukaan, yang dapat menurunkan tegangan permukaan
cairan. Sifat aktif ini diperoleh dari sifat ganda molekulnya. Bagian polar
molekulnya dapat bermuatan positif, negatif ataupun netral. Bagian polar
mempunyai gugus hidroksil, sementara bagian non polar biasanya merupakan
rantai alkil yang panjang. Surfaktan pada umumnya disintesis dari turunan minyak
bumi dan limbahnya yang dapat mencemarkan lingkungan, karena sifatnya yang
sulit terdegradasi, selain itu minyak bumi merupakan sumber bahan baku yang
tidak dapat diperbarui. Surfaktan banyak ditemui di bahan deterjen, kosmetik,
farmasi, dan tekstil. Produk pangan seperti es krim menggunakan surfaktan
sebagai bahannya, karena sifatnya yang dapat menurunkan tegangan permukaan.
Surfaktan dapat digunakan sebagai bahan pembasah (wetting agent), bahan
pengemulsi (emulsion agent) dan sebagai bahan pelarut (solubilizing agent), serta
agen pembusa (foaming agent).
Adapun jenis- jenis surfaktan :
1. Surfaktan anionik, surfaktan yang bagian alkilnya terikat suatu anion.
Contohnya, garam alkana sulfonat, dan garam olefin sulfonat.
2. Surfaktan kationik, surfaktan yang bagian alkilnya terikat suatu kation.
Contohnya, garam alkil trimetil amonium, garam dialkil dimetil amonium,
dan garam alkil dimetil benzil amonium.
3. Surfaktan nonionik, surfaktan yang bagian alkilnya tidak bermuatan.
Contohnya, ester gliserin, ester sorbitan, ester sukrosa, polietilena alkil
amina, glukamina, alkil poliglukosida, mono alkanol amina, dialkanol
amina dan alkil amina oksida.
4. Surfaktan amfoter, surfaktan yang bagian alkilnya mempunyai muatan
positif dan negatif. Contohnya, asam amino, betain, dan fosfobetain.

Gambar 1 Misel minyak dalam suspensi berair


Ekor minyak yang larut dalam molekul surfaktan menjadi minyak (biru),
sedangkan yang larut dalam air tetap bersentuhan dengan fasa air (merah).

6
1.1 Struktur fase surfaktan dalam air
Dalam fase berair besar, surfaktan membentuk agregat, seperti misel ,
di mana ekor hidrofobik membentuk inti agregat dan kepala hidrofilik
bersentuhan dengan cairan sekitarnya. Jenis lain dari agregat juga dapat
dibentuk, seperti misel bola atau silinder atau bilayers lipid . Bentuk agregat
tergantung pada struktur kimia dari surfaktan, yaitu keseimbangan ukuran
antara kepala hidrofilik dan ekor hidrofobik. Ukuran ini adalah
HLB, keseimbangan hidrofilik-lipofilik . Surfaktan mengurangi tegangan
permukaan air dengan menyerap pada antarmuka cairan-udara. Hubungan
yang menghubungkan tegangan permukaan dan kelebihan permukaan dikenal
sebagai isoterm Gibbs.
1.2 Dinamika surfaktan pada antarmuka
Dinamika adsorpsi surfaktan sangat penting untuk aplikasi praktis
seperti dalam proses pembusaan, pengemulsi atau pelapisan, di mana
gelembung atau tetes yang dihasilkan dengan cepat dan perlu distabilkan.
Dinamika adsorpsi tergantung pada koefisien difusi surfaktan. Ketika
antarmuka dibuat, adsorpsi dibatasi oleh difusi surfaktan ke antarmuka.
Dalam beberapa kasus, bisa ada penghalang energik untuk adsorpsi atau
desorpsi surfaktan. Jika penghalang tersebut membatasi laju adsorpsi, maka
dinamikanya terbatas secara kinetik. Hambatan energi tersebut dapat
disebabkan oleh tolakan stator atau elektrostatik (Rosen MJ & Kunjappu
2012).

2. Herbisida
Herbisida atau penyiang gulma adalah senyawa atau material yang
disebarkan pada lahan pertanian untuk memberantas tumbuhan yang
menyebabkan penurunan hasil (gulma). Lahan pertanian biasanya ditanami sejenis
atau dua jenis tanaman pertanian. Namun tumbuhan lain juga dapat tumbuh di
lahan tersebut, sehingga adanya kompetisi dalam mendapatkan hara di tanah,
perolehan cahaya matahari, dan keluarnya substansi alelopatik. Terdapat dua tipe
herbisida menurut aplikasinya, yaitu herbisida pratumbuh (preemergence
herbicide) dan herbisida pascatumbuh (postemergence herbicide). Herbisida
pratumbuh disebarkan pada lahan setelah diolah namun sebelum benih ditebar
(atau segera setelah benih ditebar). Biasanya herbisida jenis ini bersifat
nonselektif, yang berarti membunuh semua tumbuhan yang ada. Herbisida
pascatumbuh diberikan setelah benih memunculkan daun pertamanya. Herbisida
jenis ini harus selektif, yaitu tidak mengganggu tumbuhan pokoknya. Pada
umumnya, herbisida bekerja dengan mengganggu proses anabolisme senyawa
penting seperti pati, asam lemak atau asam amino melalui kompetisi dengan
senyawa normal dalam proses tersebut. Herbisida menjadi kompetitor karena
memiliki struktur yang mirip dan menjadi ko-substrat yang dikenali oleh enzim
untuk menjadi sasarannya. Cara kerja lain, yaitu mengganggu keseimbangan
produksi bahan-bahan kimia yang diperlukan tumbuhan (Robert 2007).
Jenis-jenis herbisida :
1. Flurtamone
Flurtamone adalah herbisida baru kelompok kimia furanone. Kombinasi
Flurtamone dengan herbisida lain menunjukkan peningkatan efikasi dan
memperluas spektrum (Puellen et al. 1994).

7
2. Mesotrione
Mesotrione adalah herbisida yang dijual dengan merek Callisto dan
Tenacity. Mesotrione adalah anggota kelas penghambat HPPD , yang
semuanya bekerja dengan menghambat enzim tanaman 4-
hydroxyphenylpyruvate dioxygenase. Pada tumbuhan, HPPD diperlukan
untuk biosintesis karotenoid. Karotenoid dapat melindungi klorofil yang
terdegradasi oleh sinar matahari. Ketika inhibitor HPPD disemprotkan
pada tanaman, hal tersebut dapat mencegah karotenoid dibuat sehingga
klorofil menurun dan tanaman dapat mati (Moran 2005).
3. Metribuzin
Metribuzin adalah herbisida yang digunakan baik sebelum dan sesudah
munculnya tanaman termasuk kacang kedelai, kentang, tomat dan tebu.
Metribuzin bertindak dengan menghambat fotosintesis, sehingga
mengganggu fotosistem II (Terence dan David 1998).

8
METODE PERCOBAAN

Alat dan Bahan


Herbisida analitik flurtamone (FL), mesotrione (MST) dan metribuzin
(MTZ) dengan kelarutan airnya pada 25°C adalah 0,06 mM untuk FL, 0,62 mM
untuk MST dan 5,84 mM untuk MTZ. Surfaktan yang digunakan adalah dua
alkohol alkoksilat (B048 dan B266) dan alkil lemak teretoksilasi amina (ET15).
Bahan lain yang digunakan, yaitu Pyrene, CyPCl dan H3PO4.

Prosedur Percobaan
2.1. Pengukuran tegangan permukaan
Pengukuran tegangan permukaan (γ) dilakukan dengan LAUDA TD 3
tensiometer menggunakan metode detasemen Du Nuoy. Cincin dibersihkan
dengan etanol dan dinyalakan setelah setiap pengukuran. Untuk setiap
pengukuran, setidaknya diambil lima bacaan dan dicatat nilai γ rata-rata.Sebelum
percobaan, instrumen dikalibrasi dan diperiksa dengan mengukur tegangan
permukaan air suling (blanko). Pengukuran tegangan permukaan solusi ET15
menggunakan 0,01 M NaCl sebagai background elektrolit.
2.2. Studi kelarutan
Sebanyak 10 mL larutan surfaktan berkisar hingga 20 g/L ditambahkan
berlebih dalam masing-masing herbisida dan suspensinya dikocok selama 1
minggu pada suhu 25°C. Setelah itu, suspensi dienapkan dan supernatan diambil
lalu disaring melalui Membran PTFE 0,20 μm dan herbisida dianalisis. Kurva
kelarutan dibuat dengan memplot jumlah herbisida terlarut versus jumlah
surfaktan yang digunakan.
Faktor peningkatan kelarutan herbisida dari penggunaan surfaktan
ditentukan dari Sw*/Sw, di mana Sw* adalah kelarutan pada konsentrasi surfaktan
dan Sw adalah herbisida intrinsik kelarutan dalam air. Efektivitas misel suatu
surfaktan dalam solubilisasi zat terlarut dapat diperkirakan dari rasio solubilisasi
molar (MSR) dan koefisien partisi micelle-water (Kmc). MSR merupakan rasio
dari mol terlarut dengan mol surfaktan (misel) yang diperoleh dari kemiringan
kelarutan kurva di atas konsentrasi misel kritis (CMC). Kmc mewakili distribusi
zat terlarut antara misel surfaktan dan fase berair.
Kmc = Xm/Xa
Xm adalah fraksi mol dari zat terlarut dalam fase dan Xa adalah fraksi mol dari
zat terlarut dalam fase berair bebas-micelle. Nilai Xm dihitung dari MSR:
𝑀𝑆𝑅
Xm =
𝑀𝑆𝑅 + 1
Xa = SCMCVw, di mana SCMC adalah konsentrasi zat terlarut di CMC dan Vw
adalah volume molar air.
2.3. Pengukuran fluoresensi steady state
Nilai agregasi (Nagg) ditentukan dengan quenching dari probe luminescent
(pyrene) oleh CyPCl pada spektrofluorometer Hitachi F-2500. Panjang
gelombang eksitasi pyrene adalah 335 nm dan spektrum emisi dicatat antara
panjang gelombang 350 dan 550 nm. Percobaan quenching dianalisis dengan
menggunakan persamaan Tachiya:

9
𝐼0 𝑁𝑎𝑔𝑔 [𝐶𝑞]
𝑙𝑛 ( ) =
𝐼1 𝐶𝑠 − 𝑐𝑚𝑐
Io, I1, Cq dan Cs mempresentasikan intensitas fluoresensi pertama pada puncak
vibrik pyrene (374 nm) dalam ada atau tidaknya quencher, konsentrasi quencher
total, dan konsentrasi surfaktan total. Konsentrasi surfaktan ialah 3 mM. Pyrene
digunakan pada konsentrasi 1 μM, dan konsentrasi CyPCl antara 10 dan 100 μM.
Dari percobaan quenching fluoresensi, konstanta Stern-Volmer (Ksv)
dapat dihitung untuk setiap sistem surfaktan tunggal / biner dengan persamaan:
𝐼0
= 1 + 𝐾𝑠𝑣 [𝑄]
𝐼1
Pada lingkungan hidrofobik yang lebih besar akan menghasilkan
solubilisasi yang lebih besar pula, quenching dari CyPCl dan pyrene berada dalam
inti, dan nilai Ksv yang lebih besar
2.4. Analisis herbisida
Herbisida dianalisis menggunakan HPLC (Shimadzu Model 10A) dengan
detektor PDA. Kolom fase terbalik adalah Kromasil 15 cm 100 C18 dengan laju
aliran adalah 1,0 mL min −1. Fase gerak terdiri dari 40% asetonitril dan 60% air
yang mengandung 0,1% H3PO4. Panjang gelombang ditetapkan pada 220 nm
untuk FL, 254 nm untuk MST, dan 230 nm untuk MTZ. Waktu retensinya adalah
15,2 ; 3,1 dan 2,9 menit masing-masing untuk FL, MST, dan MTZ.
2.5. Analisis data
2.5.1. Sifat interfasial dari larutan surfaktan tunggal
Pengukuran tegangan permukaan (γ) memungkinkan penentuan luas
permukaan per molekul surfaktan pada antarmuka, yang dapat dihitung
menggunakan persamaan adsorpsi Gibbs:
−1 ∂γ
Γ max = ( )𝑇
2.303 𝑛 𝑅 𝑇 ∂ log 𝐶
di mana Γmax adalah konsentrasi maksimum surface excess, n adalah jumlah
spesies di antarmuka yang konsentrasinya berubah mengikuti konsentrasi
surfaktan, R adalah konstanta gas, T adalah suhu, dan C adalah konsentrasi
surfaktan.
Area minimum yang ditempati oleh molekul surfaktan di antarmuka udara
atau larutan , amin, dapat dihitung dari rumus :
1018
𝑎𝑚𝑖𝑛 =
𝑁𝑎 Γmax
di mana NA adalah bilangan Avogrado.
Parameter pengemasan molekul g didefinisikan sebagai:

v
g=
𝑎𝑚𝑖𝑛−𝑙
v adalah volume tailing surfaktan (nm3) dan l adalah panjang ekor (nm). Nilai
volume dan panjang ekor hidrokarbon dihitung menurut rumus Tanford.
2.5.2. Solubilisasi herbisida menjadi misel surfaktan tunggal
Konstanta ikatan K1 dari zat terlarut (S) yang bergabung menjadi misel
berhubungan dengan konsentrasi surfaktan total (Ct), konsentrasi misel kritis
(CMC) dan Nagg melalui persamaan :

10
𝑆𝑡 − 𝑆𝐶𝑀𝐶 𝐾1
=
𝑆𝐶𝑀𝐶 𝑁𝑎𝑔𝑔 (𝐶𝑡 − CMC)
dimana St dan SCMC adalah konsentrasi total zat terlarut di CMC. Dari kemiringan
(St-SCMC) vs (Ct-CMC) K1/Nagg dapat ditentukan sebagai parameter untuk
mengkarakterisasi kekuatan solubilisasi dari berbagai surfaktan. Jika Nagg
diketahuin, maka K1 dapat dievaluasi dan dapat digunakan untuk menentukan
rata-rata molekul terlrut per misel SM
𝑆 𝑀 = 𝐾1 𝑆𝐶𝑀𝐶
2.5.3. 𝑆 Sifat interfacial dari surfaktan campuran
Persamaan Clint dapat digunakan untuk memprediksi CMC dari campuran
untuk pencampuran ideal dan sistem biner sebagai berikut:
1 α 1−α
= +
𝐶𝑀𝐶12,𝑡ℎ𝑒𝑜𝑟𝑦 𝐶𝑀𝐶1 𝐶𝑀𝐶2
dimana α adalah fraksi mol surfaktan 1 dalam total surfaktan di fase solusi.
CMC1, CMC2, dan CMC12 adalah konsentrasi misel kritis dari surfaktan 1 dan 2
serta campuran ideal mereka pada nilai masing-masing α.
Analisis interaksi molekuler antara dua surfaktan yang berbeda dalam
misel diukur dengan parameter βM dari Teori Solusi Reguler (RST) menggunakan
pendekatan Rubingh

(𝑋 𝑀1)2 ln(α𝐶𝑀𝐶12 /𝑋1𝑀 𝐶𝑀𝐶1 )


( )=1
(1 − 𝑋1𝑀 )2 ln[(1 − α) 𝐶𝑀𝐶12 /(1 − 𝑋1𝑀 )𝐶𝑀𝐶2 ]

ln(α𝐶𝑀𝐶12 /𝑋1𝑀 𝐶𝑀𝐶1 )


β𝑀 =
(1 − 𝑋1𝑀 )2
dimana 𝑋1𝑀 adalah fraksi mol surfaktan 1 pada total surfaktan dalam misel
campuran. Nilai positif βM menunjukkan bahwa interaksi antara kedua surfaktan
untuk formasi campuran monolayer bersifat tolak-menolak (antagonisme), nilai-
nilai negatif menunjuk ke interaksi yang saling tarik-menarik (sinergisme), dan
nilai nol menunjukkan tidak ada interaksi maka pencampuran ideal.

11
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Sifat interfasial dari larutan surfaktan tunggal


Plot tegangan permukaan (γ) terhadap log C untuk larutan berair surfaktan
ditunjukkan pada Gambar 2. Nilai Γmax dan amin dari surfaktan yang diperoleh dari
plot γ pengukuran terhadap konsentrasi logaritmik surfaktan tercantum dalam
Tabel 1. Self-assembly dari surfaktan dalam larutan sangat tergantung pada
strukturnya, yang pada gilirannya dapat menentukan peningkatan kelarutan bahan
kimia dalam intinya. Bulk self-assembly sebagian besar biasanya dijelaskan oleh
parameter g, yang kemudian dihitung untuk menentukan perilaku agregasi
surfaktan dalam larutan. Nilai g kurang dari 1/3 menghasilkan agregat bulat, nilai
antara 1/3 dan 1/2 menghasilkan misel silindris dan bentuk vesikula untuk nilai
yang lebih besar dari 1/2.

Gambar 2 Variasi tegangan permukaan (γ) dengan konsentrasi larutan berair


dari surfaktan tunggal
Tabel 1 Sifat kimia dan permukaan dari surfaktan

Parameter g dihitung dalam Tabel 1 dan menunjukkan pembentukan


agregat globular dalam larutan untuk surfaktan B048 dan ET15 dan silinder untuk
B266. Karena rasio v/l adalah konstanta yang tidak bergantung pada panjang ekor
dan sama dengan 0,21 nm2 untuk surfaktan single tail, parameter pengepakan

12
paling ditentukan oleh area amin, yang dipengaruhi oleh interaksi pada bagian
kepala. Molekul ET15 menjadi terprotonasi dalam larutan pada gugus amina
[R.NH+-(EO)5H2], yang akan meningkatkan tolakan bagian kepala pada misel. Hal
ini menjelaskan nilai aminyang besar yang diamati dan pembentukan bola karena
nilai g kecil yang sesuai. Dalam hal surfaktan non-ionik, repulsi sterik antara
kepala-kepala besar ketika ada sejumlah besar unit etilen oksida (EO) pada
surfaktan. Oleh karena itu, amin besar dan g menjadi cukup kecil untuk misel
globular terbentuk seperti yang diamati dengan B048 (10 unit EO). Untuk
sejumlah unit etilena oksida yang lebih kecil (5,5) seperti pada B266, tolakan
bagian kepala menurun seiring dengan penurunan amin dan peningkatan nilai g,
sehingga terbentuk misel silindris atau batang. Namun, Nagarajan (2002)
mendemonstrasikan bahwa ekor dari surfaktan juga mempengaruhi penentuan
ukuran dan bentuk agregat ekuilibrium. Hal ini menunjukkan bahwa untuk nilai-g
0,42 seperti yang diamati untuk B266 hanya panjang ekor yang lebih besar dari
10 atom karbon akan membentuk misel silindris, ekor yang lebih pendek seperti
dalam B266 akan menghasilkan misel globular.
Tabel 2 Nilai Nagg dan Ksv untuk sistem surfaktan ekimolar tunggal dan biner

Misel globular terdiri dari misel bulat dan ellipsoid dengan bentuk prolate
atau oblate. Nomor agregasi (Nagg) secara eksperimen ditentukan menjadi 62 ± 1
untuk B048 dan 58 ± 2 untuk B266 (Tabel 2), yang mana nilai teoretis 65 untuk
misel bola dan 60 untuk misel prolate dengan rasio aksial 1,5. Misel bulat sangat
berbeda dengan nomor agregasi eksperimental ET15 dengan nilai teoritisnya.

13
3.2. Solubilisasi herbisida oleh surfaktan tunggal

Gambar. 3. Solubilisasi herbisida dalam larutan surfaktan tunggal


Kelarutan herbisida yang meningkat sangat dipengaruhi oleh sifat molekul
surfaktan dan herbisida (Gambar 3; Tabel 3). Pada Gambar 3, kelarutan
mesotrione ditingkatkan dari 0,6 hingga 37 mM ketika meningkatkan konsentrasi
ET15 dari 0 hingga 50 mM. Namun, surfaktan nonionik sedikit meningkatkan
kelarutan MST hingga 0,8 dan 1,1mM untuk B266 dan B048. Solubilisasi yang
lebih besar oleh ET15 karena adanya interaksi elektrostatik. MST adalah asam
lemah (pKa = 3.12) yang tetap sebagai spesies anionik pada pH kesetimbangan
(pH 5.4) sedangkan molekul ET15 terprotonasi (pKa = 8.5). Flurtamone sangat
larut pada tiga surfaktan (Gambar 3; Tabel 3) dengan penambahan dua orde
magnitude. Kelarutan mukribuzin ditingkatkan hingga 15, 12 dan 10 mM dengan
larutan surfaktan 50 mM dari B048, B266, dan ET15 (Gambar 3) masing-masing
memperhitungkan faktor peningkatan kelarutan, yaitu 2,6; 2,0 dan 1,8. Meskipun
konsentrasi MTZ tinggi dalam larutan yang diperoleh dengan adanya surfaktan,
nilai peningkatan kelarutan rendah. Hal ini karena kelarutan air intrinsik yang
tinggi dari MTZ (5,85 mM).

14
Tabel 3 Faktor peningkatan kelarutan (𝑆𝑊 ∗⁄𝑆𝑊 ), rasio solubilisasi molar (MSR)
dan koefisien partisi misel air (Kmc) herbisida untuk sistem surfaktan
tunggal dan campuran

Efektivitas surfaktan tertentu dalam melarutkan zat terlarut yang diberikan


melalui pembentukan misel dalam larutan dapat diperkirakan dari nilai-nilai MSR.
Pada Tabel 3, FL menunjukkan nilai MSR terendah secara umum meskipun
peningkatan dalam faktor kelarutan besar. Karena kelarutan herbisida ini dalam
air sangat rendah (10,7 mg L-1), jumlah total herbisida yang dilarutkan oleh
surfaktan adalah beberapa kali lipat lebih kecil bila dibandingkan dengan
herbisida lain untuk konsentrasi surfaktan tetap. Dengan demikian, jumlah FL
terlarut per mol surfaktan akan lebih kecil. Nilai MSR yang diperoleh untuk FL
dengan surfaktan ET15 dan berol sejajar dengan MTZ. MSR terbesar adalah
untuk B048, diikuti oleh B266, dan ET15. Herbisida FL dan MTZ, mekanisme
interaksinya dalam misel dimungkinkan melalui mekanisme partisi yang dapat
diperkirakan dengan membandingkan solvabilitas dari kedua molekul dalam misel
dalam kaitannya dengan fase organik seperti 1-oktanol karena kemiripan
parsialnya dengan struktur surfaktan nonionik (Kile dan Chiou 1989). Nilai log
Kmc untuk FL sedikit lebih tinggi tetapi cukup dekat dengan nilai log Kow nya
(3,22). Ini menunjukkan bahwa (i) interaksi hidrofobik bertanggung jawab atas
pelarutan besar FL ke dalam miseldan (ii) efisiensi fase organik untuk mekanisme
partisi dalam misel lebih tinggi dari 1-oktanol. Namun, nilai log Kmc MTZadalah
sekitar 90% lebih tinggi dari nilai log Kow (1,65). Hal ini menunjukkan sumber
dalam pelarutannya berbeda dari interaksi hidrofobik.
Tabel 4 (K1 / Nagg), K1 dan SM dalam sistem micellar equimolar tunggal dan
campuran pada 298 K

Metode tidak langsung untuk menentukan lokus solubilisasi dalam misel


dimungkinkan untuk memperkirakan peningkatan volume inti micellar setelah
penggabungan zat terlarut. Nilai SM untuk MTZ 12 dan 7 untuk sistem B048 dan
B266 lebih kecil dibandingkan FL, yaitu 2,5 untuk B048 dan 1,3 untuk B266
(Tabel 5). Pola ini menunjukkan pelarutan yang berbeda dalam misel pada kedua
herbisida. Volume inti micellar (VCM) diperoleh 21,7 nm3 untuk B048 dan 15,6
nm3 untuk B266 dengan menggunakan persamaan Tanford. Dari kepadatan relatif,
volume molekuler herbisida FL dan MTZ ditentukan menjadi 0,40 dan 0,29 nm3.

15
Ini berarti bahwa penggabungan FL ke dalam misel akan meningkatan volume 4,5
dan 3,3% untuk misel B048 dan B266. Namun, penambahan MTZ adalah 16%
untuk B048 dan 13% untuk B266. Estimasi kenaikan volume inti secara signifikan
lebih tinggi untuk MTZ, meskipun hidrofobiknya lebih rendah. Hal tersebut
menguatkan fakta bahwa MTZ tidak dialokasikan ke inti micellar, tetapi
kemungkinan besar ke wilayah palisade. Molekul dengan karakter kutub
menengah dilaporkan terlarut antara gugus kepala hidrofilik dari misel
polioksietilena dan pada lapisan palisade antara gugus hidrofilik dan beberapa
atom karbon pertama dari inti hidrofobik (Bhat et al. 2008).
Alachlor herbisida dilarutkan di lapisan luar misel dengan kelompok
polarnya berorientasi pada rantai polar ethyleneoxide dan bagian hidrokarbonnya
ke arah bagian dalam misel (Xiarchos dan Doulia 2006). Mekanisme serupa
diusulkan untuk enkapsulasi MTZ ke dalam liposom. MTZ dilarutkan melalui
interaksi hidrofobik dengan rantai lipid di samping jembatan air antara herbisida
dan kelompok kepala lipid. Nilai K1 / Nagg berfungsi sebagai indikator daya
solubilisasi surfaktan Diperoleh nilai sangat tinggi untuk FL bahka dua lipat lebih
besar dari pada MTZ (Tabel 5). Kelarutan bahan kimia yang terjadi ke lapisan
palisade dari misel non-ionik disajikan K1 / Nagg lebih rendah daripada FL. Data
ini menunjukkan bahwa FL dialokasikan ke inti micellar yang sesuai dengan
hidrofobisitasnya yang tinggi.
Nilai MSR dan log Kmc untuk FL dan MTZ selalu lebih tinggi pada B048
dibandingkan dengan B266. Solubilisasi MTZ dan FL akan meningkat dengan
peningkatan jumlah unit EO dan volume inti micellar. Karena jumlah agregasi
B048 dan B266 dalam misel serupa, volume micellar lebih besar untuk misel
B048 di samping kandungan terbesar unit EO di B048 menghasilkan peningkatan
pelarutan kedua herbisida. Tidak seperti B048 dan B266, nilai terendah MSR dan
log Kmc yang diperoleh untuk FL dan MTZ dengan ET15 karena volume micellar
tidak cukup besar untuk meningkatkan solubilisasi, meskipun molekul ET15
memiliki ekor terbesar. Alasan untuk ini adalah jumlah agregasi rendah (40)
dalam larutan dan jumlah EO yang rendah pula. Jadi, ET15 misel menunjukkan
efisiensi solubilisasi yang lebih buruk untuk herbisida hidrofobik ini. Sebaliknya,
surfaktan ini menghasilkan MSR terbesar dengan herbisida MST karena kekuatan
elektrostatik yang lebih besar.
Dalam perhitungan nilai MSR, semua nilai solubilisasi MST dengan
surfaktan yang ditambahkan digunakan untuk pemasangan linier menghasilkan
nilai MSR 7,18 × 10−1 dan R2 = 0,968. Namun, kemiringan dari MST vs. plot
konsentrasi surfaktan berubah setelah 30 mM ET15 yang menunjukkan bahwa
pelarutan tambahan dari zat terlarut dapat mengubah CMC, bentuk / ukuran atau
densitas muatan dari misel. Kemungkinan besar, peningkatan konsentrasi MST
dalam misel sangat menurunkan densitas muatan positif dari misel yang akan
menghasilkan afinitas MST yang lebih rendah pada misel. Perhitungan MSR
mempertimbangkan titik-titik solubilisasi sebelum perubahan kemiringan
menghasilkan nilai 9.27 × 10−1 dan R2 = 0.999, yaitu sekitar satu mol MST
dilarutkan per mol surfaktan ET15 dalam misel.

16
3.3. Mixed micellization
Tabel 5 Nilai C12, X1 dan β dari campuran surfaktan biner menggunakan metode
Rubingh pada 25°C

Perilaku pencampuran surfaktan akan tergantung pada perbedaan dalam


kelompok kepala dan panjang ekor dan pada rasio pencampuran. Persamaan Clint
digunakan untuk memprediksi CMC dari campuran untuk pencampuran ideal.
1 α 1−α
= +
𝐶𝑀𝐶12,𝑡ℎ𝑒𝑜𝑟𝑦 𝐶𝑀𝐶1 𝐶𝑀𝐶2

Seperti yang terlihat pada Tabel 6, nilai eksperimental CMC campuran


(CMC12) lebih rendah daripada nilai teoritis yang sesuai dengan pengecualian
sistem B048 / B266 pada fraksi tertinggi B048, dan sistem B048 / ET15 di
konsentrasi selain yang equimolar. Hal ini menunjukkan adanya interaksi yang
menghasilkan nonidealitas sistem biner antara surfaktan konstituen dalam agregat
campuran. Nilai CMC12 rendah muncul dari interaksi sinergisme antara surfaktan
dalam misel campuran. Mereka lebih kuat untuk sistem B048 / B266 dan B048 /
ET15 pada rasio B048 terendah dan tertinggi, masing-masing sebagaimana
tercermin dalam satu-besaran-besaran penurunan relatif terhadap nilai teoretisnya.
Parameter βM pembentukan misel campuran negatif untuk sebagian besar
sistem surfaktan dan fraksi molar yang digunakan (Tabel 6). Dalam sistem B048 /
ET15 untuk rasio non-equimolar, nilai βM tidak diperoleh karena rasio
pencampuran micellar yang sangat asimetris, perbedaan besar antara nilai-nilai
CMC dari komponen yang digunakan dan interaksi antagonis yang kuat. B266
memiliki nilai βM negatif terbesar untuk rasio molar dan B048 terkecil.
Keseimbangan antara interaksi molekul dua surfaktan dalam misel campuran
dapat dianggap sebagai hasil dari dua kontribusi, yaitu satu terkait dengan
interaksi hidrofobik antara domain hidrofobik agregat (inti misel) dan lainnya
terkait dengan interaksi hidrofilik antara kelompok kepala. Penggabungan
molekul B266 menjadi misel B048 menghasilkan interaksi hidrofobik yang lebih
rendah sebagai akibat dari ekornya yang lebih pendek yang kelebihan beban
dengan reduksi pada tolakan sterik antara rantai EO ketika interkalasi rantai
polietilena yang lebih pendek. Ketika fraksi molar molekul B048 meningkat,
interaksi hidrofobik yang ditingkatkan memiliki magnitude yang lebih kecil

17
dibandingkan dengan pengurangan repultions antara kelompok kepala. Dengan
demikian, nilai βM meningkat secara signifikan.
Keseimbangan antara kedua faktor, divisualisasikan dengan mempelajari
campuran agregat yang dibentuk oleh ET15. Untuk α = 0,5, nilai βM meningkat
dari −4.1 menjadi −1.7 ketika B266 digantikan oleh B048. Interaksi antara
surfaktan untuk pembentukan campuran agregat disukai dengan B266 meskipun
mengandung 7 unit metilen yang lebih sedikit di ekor hidrofobiknya.
Pengosongan diri antara monomer ET15 dalam misel sebagian digantikan oleh
interaksi ion-dipol elektrostatik yang menarik antara headgroup ET15 bermuatan
dan rantai EO yang terpolarisasi negatif. Analisis komposisi nonionik dalam
agregat campuran menunjukkan bahwa X1M mirip dengan surfaktan (B048 dan
B266). Oleh karena itu, kontribusi repulsi sterik lebih besar ketika interkalasi
B048 terhadap interaksi kelompok interhead menghasilkan interaksi sinergistik
yang lebih rendah secara keseluruhan. Kondisi ini hanya terpenuhi secara
bersamaan dalam tiga sistem surfaktan untuk rasio molar yang sama ketika α
adalah 0,5. Oleh karena itu, untuk perbandingan dalam studi tentang solubilisasi
herbisida oleh campuran surfaktan biner, hanya rasio ekimolar yang dipilih.
Diharapkan juga bahwa interaksi sinergis yang lebih besar menghasilkan inti
micellar yang lebih hidrofobik dan partisi solut yang lebih besar.

3.4. Solubilisasi dengan sistem surfaktan biner


Seperti yang terlihat dalam faktor peningkatan kelarutan, pelarutan
herbisida oleh sistem surfaktan biner lebih rendah daripada surfaktan tunggal
dalam campuran dengan daya pelarutan tertinggi untuk herbisida. Satu-satunya
pengecualian adalah solubilisasi metribuzin oleh campuran equimolar ET15 /
B266, yang lebih tinggi daripada komponen surfaktan individu, dan juga oleh
B048 / B266 yang lebih rendah daripada surfaktan tunggal.
Tabel 6 Rasio pelarutan molar eksperimental (MSRexp) dan ideal (MSRideal) untuk
herbisida oleh campuran surfaktan biner ekuimolar, serta rasio deviasinya
(R)

Pengaruh sistem surfaktan campuran pada solubilisasi herbisida dapat


diperkirakan dari rasio penyimpangan (R) antara MSRexp dan MSRideal dari R =
MSRexp / MSRideal. MSRideal = ΣiMSRiXi + MSRwater, di mana MSRi adalah nilai
MSR eksperimental dari solubilizate dalam surfaktan, Xi adalah fraksi mol dalam
campuran dan MSRwater adalah rasio pelarutan molar dari solubilizate dalam air

18
murni. Nilai R lebih besar dari 1 menunjukkan efek positif pencampuran surfaktan
pada solubilisasi, sedangkan nilai yang lebih rendah dari persatuan menunjukkan
efisiensi yang buruk dibandingkan dengan sistem surfaktan tunggal. Pada Tabel 7
nilai R sebagian besar mendekati kesatuan, menunjukkan tidak ada pengaruh
penggunaan campuran biner surfaktan pada pelarutan herbisida. Nilai deviasi
positif yang signifikan dicatat untuk MTZ dalam sistem B266 / ET15 dan semua
campuran surfaktan ET15 yang digunakan dengan MST. Dalam perhitungan
MSRid forMST pada Tabel 7, nilai MSRET15 yang digunakan adalah 7,18 × 10−1
Namun, penggunaan nilai MSR dihitung dalam MST solubilization untuk
konsentrasi rendah ET15 dari 9.27 × 10−1 diturunkan R. Nilai R baru dekat dengan
kesatuan, khususnya 1,08 dan 1,07 untuk solubilisasi MST di B048 / ET15 dan
B266 / ET15 sistem, masing-masing. Tidak ada perbaikan dalam solubilisasi FL
dengan penggunaan campuran surfaktan di atas dari surfaktan tunggal dalam
campuran yang diberikan dengan solubilisasi tertinggi. Namun, afinitas
pengikatan FL meningkat sangat untuk sistem B048 / B266, sebagaimana
tercermin dalam nilai K1 yang lebih besar.
Peningkatan pelarutan herbisida tidak hanya terkait dengan afinitasnya
untuk sistem surfaktan tetapi juga jumlah misel yang bergantung pada konsentrasi
micellar kritis dan jumlah rata-rata monomer teragregasi yang membentuk misel.
Oleh karena itu, ketika nilai-nilai K1 dinormalkan ke Nagg, rasio K1 / Nagg
mengikuti tren yang sama dengan yang menetapkan distribusi herbisida dalam
surfaktan / sistem air (log Kmc). Peningkatan afinitas (K1) dari FL untuk sistem
B048 / B266 relatif terhadap B048, surfaktan dengan afinitas tertinggi untuk FL
dan akuntansi untuk fraksi mol kutub terbesar dalam misel campuran (0,64)
adalah besarnya sama dengan peningkatan Nagg (sekitar 23%). Sebagai tren
umum untuk FL, tidak ada peningkatan kelarutan yang diperoleh untuk sistem
surfaktan campuran karena keseimbangan antara (i) peningkatan area pelarutan
efektif dalam misel campuran ketika meningkatkan radius misel campuran dan (ii)
pengurangan jumlah misel karena pembentukan agregat yang lebih besar.
Solubilisasi FL dalam sistem surfaktan campuran lebih besar untuk B048 / B266
diikuti oleh B048 / ET15 dan akhirnya, B266 / ET15 (Tabel 4).
Pelarutan molekul hidrofobik ke inti micellar terkait dengan pengikatan
yang lebih longgar dari molekul surfaktan yang memfasilitasi penetrasi dan
interaksi zat terlarut dengan inti hidrofobik (Wei et al. 2011). Parameter interaksi
βM lebih besar untuk sistem equimolar B266 / ET15 (Tabel 6) menunjukkan
pembentukan misel yang lebih rapat dan menghalangi jalannya FL. Namun, misel
berada dalam kesetimbangan pertukaran dinamis dengan konsentrasi monomer
yang kecil menghasilkan kehancuran berkelanjutan dan reformasi misel (Viseu et
al. 2014). Dengan demikian, inti bagian dalam misel menjadi dapat diakses
kemudian. Dalam konteks ini, interaksi jarak dekat terjadi antara rantai hidrofobik
dan zat terlarut hidrofobik adalah kekuatan pendorong. Faktor tidak langsung
yang mengukur derajat interaksi ini adalah konstanta Stern-Volmer (Ksv) yang
memberikan ukuran hidrofobisitas inti micellar. Nilai Ksv sangat menurun dari
3.720 × 10−4 untuk sistem B048 / B266 menjadi 0,342 × 10−4 untuk B048 / ET15
dan 0,292 × 10−4 untuk B266 / ET15. Nilai-nilai ini sejajar dengan kemampuan
dari sistem misel campuran dalam pelarutan FL yang menunjukkan bahwa
lingkungan mikro campuran misel menjadi kurang hidrofobik dan dengan
demikian tidak menguntungkan interaksi herbisida dengan surfaktan campuran

19
dan partisi ke dalam misel. Pola ini relevan untuk FL, yang locus solubilization
terjadi terutama di core micellar, tetapi tidak untuk MST atau MTZ. MTZ
dilarutkan ke dalam lapisan palisade dari misel, sebagaimana dideduksi
sebelumnya. Dalam hal ini, lingkungan mikro hidrofobik yang lebih rendah
direfleksikan oleh penurunan Ksv akan mendukung penggabungannya ke dalam
misel. Dengan demikian, peningkatan solubilisasi MTZ oleh sistem surfaktan
campuran mengikuti urutan inversi Ksv. Namun, aturan tidak dapat diperpanjang
secara umum ketika sistem surfaktan tunggal. Solubilisasi FL tertentu mengikuti
urutan peningkatan Ksv secara tepat.
Penggunaan nilai Ksv untuk prediksi daya pelarutan sistem surfaktan
ketika zat terlarut dimasukkan ke dalam inti micellar hidrofobik. Kelarutan MTZ
ditingkatkan dalam sistem B266 / ET15 dibandingkan dengan sistem surfaktan
tunggal. Dalam hal ini, afinitas herbisida tidak meningkat, seperti yang
diungkapkan oleh nilai-nilai K1 (Tabel 5) tetapi, seperti yang telah dibicarakan
sebelumnya, mengalami overbalance dengan peningkatan jumlah misel yang
disebabkan oleh Nagg relatif menengah dibandingkan dengan surfaktan tunggal,
dan khususnya untuk menurunkan CMC relatif terhadap nilai prediksi.
Pengurangan CMC eksperimental atas CMC teoritis adalah 46% untuk B266 /
ET15 vs nilai yang lebih rendah dari 16% dan 33% untuk sistem B048 / ET15 dan
B048 / B266. Penggunaan sistem surfaktan biner tidak meningkatkan MST
solubilisasi sehubungan dengan surfaktan dalam campuran yang memberikan
kelarutan tertinggi. Seperti yang terjadi dengan FL, afinitas herbisida meningkat
untuk sistem B048 / B266 dibandingkan dengan surfaktan tunggal, tetapi setelah
nilai ini dinormalisasi ke Nagg, tidak ada perbaikan dalam partisi MST. Surfaktan
dengan kekuatan pelarutan terbesar dalam campuran (B048). Penggunaan
campuran berdasarkan ET15 mengurangi muatan positif keseluruhan relatif
terhadap penggunaan ET15 saja, dengan penurunan berikutnya dalam nilai K1
yang sejajar dengan K1 / Nagg dan log Kmc.

20
SIMPULAN
Penggunaan tiga herbisida dengan lokus preferensial yang berbeda dari
solubilisasi ke misel dapat memberikan wawasan ke dalam mekanisme campuran
surfaktan ekimolar biner. Penggunaan campuran biner tidak meningkatkan
solubilisasi herbisida dibandingkan dengan komponen tunggal, dengan
pengecualian MTZ oleh campuran B266 / ET15. Dalam penelitian sebelumnya,
peningkatan solubilisasi organik oleh surfaktan campuran terkait dengan tingkat
interaksi yang menarik antara surfaktan. Namun, ini tidak diamati dalam
penelitian saat ini, karena analisis interaksi ini menunjukkan interaksi yang
menarik (sinergisme) di semua campuran biner. Keuntungan menggunakan
campuran surfaktan dalam teknologi SER untuk zat terlarut polar terutama
muncul dari peningkatan sifat fisik dalam campuran, bukan pada kekuatan
pelarutan. Misalnya, menurunkan CMC dalam campuran akan mengizinkan
penggunaan konsentrasi surfaktan yang lebih rendah untuk zat terlarut
solubilisasi, mencapai perbandingan antara konsentrasi surfaktan yang diperlukan,
jumlah polutan menjadi terlarut dan biaya ekonomi.

21
DAFTAR PUSTAKA

Bhat PA, Dar AA, Rather GM. 2008. Solubilization capabilities of some cationic,
anionic, and nonionic surfactants toward the poorlywater-soluble antibiotic
drug erythromycin. J. Chem. Eng. Data 53:1271–1277.
Bueno-Montes M, Springael D, Ortega-Calvo J.J. 2011. Effect of a nonionic
surfactant on biodegradation of slowly desorbing PAHs in contaminated
soils. Environ Science Technolgy 45: 3019–3026.
Huang JH, Zeng GM, Zhou CF, Li X, Shi LJ, He SB. 2010. Adsorption of
surfactant micelles and Cd2+/Zn2+ in micellar enhanced ultrafiltration.
Journal of Hazard Mater. 183: 287–293.
Kile DE, Chiou CT. 1989. Water solubility enhancements of DDT and
trichlorobenzene by some surfactants below and above the critical micelle
concentration. Environ. Sci. Technol. 23: 832–838.
Li X, Zeng G.M, Huang J.H, Zhang D.M, Shi L.J, He S.B, Ruan M. 2011.
Simultaneous removal of cadmium ions and phenol with MEUF using
SDS and mixed surfactants. Desalination. 276: 136–141.
McCray J.E, Tick G.R, Jawitz J.W, Gierke J.S, Brusseau M.L, Falta R.W, Knox
R.C, Sabatini D.A, Annable M.D, Harwell J.H, Wood A.L. 2011.
Remediation of NAPL source zones: lessons learned from field studies at
Hill and Dover AFB. Ground Water. 49: 727–744.
Moran GR. 2005. 4-Hydroxyphenylpyruvate dioxygenase. Arch Biochem
Biophys. 433 (1): 117–28. doi:10.1016/j.abb.2004.08.015.
Nagarajan R. 2002. Molecular packing parameter and surfactant self-assembly:
the neglected role of the surfactant tail. Langmuir. 18: 31–38.
Puellen P, Machefer G, Nauheim P. 1994. Flurtamone a new selective herbicide
for broadleaf weed control in cereals. Frequency Biennial. ISSN 0938-
9938.
Robert L Z. 2007. A History of Weed Science in the United States. USA : Elsevier.
ISBN 9780123815026.
Talens AF, Anthony S, Bryce M. 2004. Complexation of organic compounds in
the presence of Al3+ during micellar flocculation. Water Res. 38:1477–
1483.
Terence RR, David HH. 1998. Metabolic Pathways of Agrochemicals: Herbicides
and Plant Growth Regulators. Royal Society of Chemistry.1(1): 662.
ISBN 978-0-85404-494-8.
Viseu MI, Tatikolov AS, Correia RF, Costa SMB. 2014. Time-evolution of
monomers and aggregates of a polymethine-dye probe the dynamics of
model vesicles and micelles. J. Photochem. Photobiol. 280: 54–62.
Wei J, Huang G, An C, Yu H. 2011. Investigation on the solubilization of
polycyclic aromatic hydrocarbons in the presence of single and mixed
Gemini surfactants. J Hazard Mater. 190: 840–847.
Xiarchos I, Doulia D. 2006. Effect of nonionic surfactants on the solubilization of
alachlor. J. Hazard. Mater. 136: 882–888.
Zana R. 2003. Surfactant Solutions: New Methods of Investigation. New
York(US) : Marcel Dekker.

22
Zhou W, Yang J, Lou L, Zhu L. 2011. Solubilization properties of polycyclic
aromatic hydrocarbons by saponin, a plant-derived biosurfactant. Environt
Pollut. 159: 1198–1204.
Zhu M, Rhue RD. 2000. Screening commercial surfactants suitable for
remediation DNAPL source zones by solubilization. Environ Sci. Technol.
34: 1985–1990.

23

Anda mungkin juga menyukai