Mahoni dalam klasifikasinya termasuk famili Meliaceae. Ada dua spesies yang
sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Kelas : Dicotiledone
Ordo : Rotales
Genus : Swietenia
Swietenia mahagoni yang berasal dari benua Amerika yang beriklim tropis
sudah lama dibudidayakan di Indonesia dan sudah beradaptasi dengan iklim tropis
di Indonesia. Nama asing dari tanaman ini adalah West Indian Mahogany.
Tanaman mahoni banyak ditanam di pinggir jalan atau di lingkungan rumah dan
halaman perkantoran sebagai tanaman peneduh. Tanaman ini tumbuh secara liar
digunakan sebagai bahan pestisida alami adalah jenis mahoni S. mahagoni dan
coklat dan termasuk jenis tanaman pohon tinggi sekitar 10-30 m, percabangannya
banyak, daun majemuk menyirip genap, duduk daun tersebar. Helaian anak daun
bulat telur, elips memanjang, ujung daun dan pangkal daun runcing panjangnya
sekitar 1-3 cm, berbentuk bola dan bulat telur memanjang berwarna coklat
panjangnya 8-15 cm dengan lebar 7-10 cm. Mahoni dapat tumbuh dengan baik di
tempat yang terbuka dan terkena cahaya matahari secara langsung, baik di dataran
rendah maupun dataran tinggi, yaitu dengan ketinggian 1000 m diatas permukaan
a. Pengertian Ekstraksi
Ekstraksi adalah pemisahan satu atau beberapa bahan dari suatu padatan
atau cairan dengan bantuan pelarut. Campuran bahan padat maupun cair (biasanya
bahan alami) sering kali tidak dapat atau sulit dipisahkan dengan metode pemisah
bahan yang tidak dapat atau sukar dipisahkan dengan metode pemisahan mekanik
biasanya merupakan bagian kecil, larut dalam pelarut-pelarut organik netral atau
air, yang disebut ekstraktif. Ekstraktf terdiri atas jumlah yang sangat besar dari
sebagai konstituen kayu yang tidak struktural, hampir seluruhnya terbentuk dari
mirip disebut eksudat, yang dibentuk oleh pohon melalui metabolisme sekunder
setelah kerusakan mekanik atau penyerangan oleh serangga atau fungi. Meskipun
perbedaan yang jelas dalam komposisi bahkan di antara spesies-spesies kayu yang
sangat dekat.
yang ditentukan oleh macam dan jumlah zat ekstraktif yang ada. Zat ekstrsktif
yang bersifat racun memberikan karakteristik terhadap pelapukan pada kayu. Hal
kayu gubal pada pohon yang sama dan ketahanan terhadap pelapukan kayu teras
akan berkurang jika diekstraksi dengan air panas atau dengan pelarut organik.
sebagai anti rayap dan anti fungi. Senyawa tersebut berupa zat ekstraktif yaitu
senyawa suatu senyawa yang mengisi rongga sel kayu. Zat ekstraktif ini berperan
dalam keawetan alami kayu terhadap serangan biologis yaitu berupa senyawa
polipenol, terpenoid dan tanin (Findlay, 1987 dalam Sari, dkk, 2004). Zat
ekstraktif tidak hanya terdapat dalam bagian kayu tetapi juga terdapat pada kulit,
daun, buah, dan biji. Findlay (1987 dalam Sari, dkk, 2004) menjelaskan bahwa
beberapa kayu dari hutan tropika mengandung zat ekstraktif yang bersifat racun.
Lebih lanjut dikatakan bahwa senyawa fenolik yang terdapat pada kayu teras,
kulit dan xylem, bersifat racun atau anti fungi yang dapat melindungi pohon dari
identifikasi dan isolasi zat kimia aktif yang terdapat dalam tumbuhan. Tumbuhan
getah, lemak, polisakarida, minyak, pati, senyawa alkaloid, dan tannin. Istilah ini
berasal dari ekstraksi (sebagian kecil) dari kayu dengan air panas atau air dingin
atau dengan pelarut organik netral, seperti alkohol, benzene, aseton atau eter.
Proporsi zat ekstraktif bervariasi mulai kurang dari 1% (jenis kayu popral) hingga
lebih dari 10% (jenis kayu red wood) dari berat kering kayu. Zat ekstraktif
beberapa spesies pohon tropis berkisar antara 20%. Variasi ini tidak hanya
disebabkan oleh perbedaan spesies, tetapi juga perbedaan pada bagian satu pohon
yang sama, misalnya antara kayu gubal dan kayu teras (Sjöström, 1995).
dan hidrofilik, walaupun batasnya kurang jelas. Yang termasuk fraksi lipofilik
adalah: lemak, waxes, terpene, terpenoid dan alkohol alifatik tinggi. Cara
pemisahannya dapat dilakukan dengan pelarut non polar, seperti etil eter atau
kayu yang mempunyai kadar resin tinggi, misalnya resin (damar) yang banyak
terhadap kerusakan, terdapat pada saluran resin) dan fungsi fisiologis (cadangan
energi, terdapat dalam sel-sel jari-jari) yang sering ditemukan pada daun.
Fungi
eukariotik, berdinding sel dari kitin atau selulosa, berproduksi secara seksual dan
Fungi berkembangbiak secara seksual melalui peleburan dua inti sel dengan
urutan terjadinya plasmogami, kariogami, dan miosis dan secara aseksual dengan
menghasilkan spora atau konidia. Sebagian besar tubuh fungi terdiri atas benang-
benang yang disebut hifa, jalinan hifa yang semacam jala disebut miselium.
Menurut Gandjar et al (2006) hifa dapat dibedakan atas dua tipe hifa yang
fungsinya berbeda, yaitu yang menyerap unsur hara dari substrat dan yang
fungi pembusuk kayu ada empat macam, yaitu : (a) sumber-sumber energi dan
bahan makanan yang cocok; (b) kadar air kayu di atas titik jenuh serat kayu ; (c)
persediaan oksigen yang cukup; dan (d) suhu yang cocok. Kekurangan dalam
salah satu persyaratan ini, akan menghalangi pertumbuhan suatu fungi, meskipun
dipengaruhi oleh substrat, kelembaban, suhu, derajat keasaman substrat (pH), dan
1. Substrat, merupakan sumber unsur hara utama bagi fungi yang baru dapat
lebih sederhana.
2. Kelembaban, faktor ini sangat penting untuk pertumbuhan fungi. Fungi dapat
dan suhu optimum berkisar 0̊C - 17˚C, (b) fungi mesofil (suhu minimum di
atas 0˚C dan suhu optimum 15˚- 40˚C), dan (c) fungi termofil (suhu minimum
pada pH di bawah 7.
5. Bahan kimia, banyak bahan kimia yang terbukti dapat mencegah pertumbuhan
fungi.
Botryosphaeria dothidea
yang menyerang Eucalyptus spp. di Afrika Selatan. Penyakit ini disebabkan oleh
dan umumnya terkenal dengan gejala kanker dan mati pucuk pada tanaman
berkayu. Fungi ini dikenal sebagai patogen yang sangat kuat yang mampu
beradaptasi dan memanipulasi tubuhnya sendiri untuk bertahan pada kondisi stress
bahkan bersalju, badai panas dan dingin, musim gugur dan serangan serangga
berikut:
Kelas : Dothideomycetes
Famili : Botryosphaeriaceae
Genus : Botryosphaeria
menyebakan matinya pohon yang dimulai dari pucuk. Fungi ini menyebabkan
terjadinya infeksi pada kayu teras dan kayu gubal berupa peruban warna kayu dan
akan terus menjalar bahkan hingga keseluruh bagian batang. Gejala ini sering
dijumpai pada E. grandis atau pada jenis ekaliptus lain dan sering berkembang
pada waktu kondisi suhu lingkungan yang panas atau pada data kemarau.
Sebagian kecil gejala ditemukan pada E. nitens pada umur 1-2 tahun yang
menyebabkan pohon tersebut telah rusak akibat suhu yang terlalu dingin
(Carnegie, 2000).
Satu dari banyaknya gejala yang cukup parah yang diakibatkan oleh
infeksi B. dothidea adalah kanker batang. Kanker ini paling umum ditemukan
pada pohon yang stress akibat kekeringan dan ditandai dengan membengkaknya
batang, kulit pecah atau retak dan adanya eksudat dalam jumlah yang berlebihan
berupa cairan kino berwarna hitam. Bahkan dalam kondisi yang parah, beberapa
gejala ditemukan pada cabang dan batang lateral sebagai tempat tumbuhnya
Botryosphaeria juga sering terinfeksi oleh patogen Endothia gyrosa. Gejala khas
serangan E. gyrosa adalah kulit retak khususnya pada dasar pohon. Gejala ini
akan jelas terlihat pada kondisi suhu yang rendah dimana terlihat bahwa retak
yang terjadi, memiliki warna oranye atau kuning dan terus naik melalui pemukaan
sebagai akibat dari stuktur tubuh buah fungi yang semakin berkembang. Retaknya
kulit yang diakibatkan oleh fungi E. gyrosa, dalam beberapa kasus terkadang
eksudat kino. Retakan inilah yang menjadi jelah untuk masuknya infeksi oleh B.
sulit dilakukan akibat dari fakta yang menyatakan bahwa patogen ini mampu
yang ekstrim. Sulitnya penanganan masalah akibat dari serangan fungi ini
diperkuat dengan adanya fakta yang menunjukkan bahwa serangan yang timbul
pada daun yang sehat dan jaringan batang tanpa diawali dengan gejala-gejala
apapun dan akan terlihat ketika jaringan menjadi stress. Kanker Botryosphaeria
pada beberapa jenis pohon ekaliptus berkembang pada daerah mata kayu. Dalam
kasus ini, pohon gagal atau tidak mampu untuk menyembuhkan dirinya sendiri,
berkembang dan terus menginfeksi seluruh bagian batang (Slippers, dkk, 2004).
dengan terjadinya infeksi dari B. dithidea ini. Salah satu kejadian yang paling
serius sebagai akibat dari perpaduan antara serangga perusak dengan B. dithidea
tersebut masuk kedalam kayu dengan cara melobangi kayu sehingga lobang yang
terbentuk tadi menjadi luka yang menjadi jalan masuk untuk B. dithidea.
2. Dicabut ; jika tanaman yang diserang dalam ukuran kecil (umur < 5 tahun atau
undangan
belalang.
pada fase kupu-kupu. Lampu perangkap ini dipasang pada saat malam hari,
kemudian dimusnahkan.
putih. Warna kertas yang digunakan bisa berwarna kuning atau lainnya
yang cerah. Kertas terlebih dahulu diberi lem perekat atau racun tikus atau
b. Penggunaan Pestisida
disesuaikan dengan jenis hama dan penyakit dan sesuai dengan dosis yang
contoh tanaman yang bisa digunakan sebagai pestisida misalnya daun mimba,
mahoni, gadung, tembakau, daun sirsak dan sebagainya. Atau jika dalam
pemilihan jenis pestisidanya harus yang tidak dilarang oleh FSC, WHO
batang sampai dengan bagian luar kayu gubal (jaringan sebelah dalam
- Ditabur pada tanah atau di campur dengan media tanam atau media semai.
Cara ini digunakan untuk jenis pestisida berwujud granular (kode G dalam
kemasan).
jenis pestisida racun kontak atau racun lambung yang memiliki kode SC,
WP, EC.
c. Musuh Alami
musuh alami secara berulang dengan jenis lokal) dan klasikal (pelepasan musuh
alami secara tidak berulang dengan jenis eksotik). Musuh alami kita pilih musuh
alami yang paling dekat dengan target hama, dipilih dalam jumlah yang
bagi predator alami tersebut misalnya penanaman pohon atau tegakan sebagai
tempat bersarang atau penghasil biji makanan predator. Secara umum prinsip
(Rahayu, 1999).
Pengawetan Kayu
oleh sifat efikasi bahan yang digunakan juga ada hubungannya dengan retensi,
penetrasi dan distribusi bahan pengawet tersebut di dalam kayu. Namun demikian,
sebagai sarana produksi, pengawetan harus dilakukan secara efisien dan tepat,
masuk ke dalam jaringan kayu kemudian bersentuhan atau dimakan oleh hama
(sistemik) atau sebagai racun kontak, yaitu langsung dapat menyerap melalui kulit
pada saat pemberian sehingga beracun bagi hama. Penerapannya dapat dilakukan
dengan berbagai macam cara mulai dari cara sederhana, seperti pelaburan,
dua golongan, yaitu cara tanpa tekanan (non pressure process) dan cara tekanan
(pressure process). Proses tanpa tekanan atau disebut proses sederhana, seperti:
difusi mudah dalam penerapannya sehingga bisa dilakukan oleh semua orang.
Proses tekanan relative lebih sulit karena memerlukan peralatan yang mahal dan
variasi, tetapi secara teknis dapat dibagi atas dua golongan besar yaitu proses sel
penuh (full cell process) seperti proses Bethel dan proses sel kosong (empty cell
process) seperti proses Rueping. Kedua proses itu prinsip kerjanya sama yang
oleh umur pakai kayu yang bersangkutan, namun ada kriteria langsung dari
perlakuan yang harus diketahui, yaitu jumlah bahan pengawet yang mampu
diabsorsi dan tinggal dalam kayu. Menurut Tambunan (1974), retensi adalah
bayaknya bahan pengawet (kering) yang masuk dan mampu tinggal dalam kayu
saja, tetapi juga oleh metode pengawetan serta retensi dan penetrasinya ke dalam
kayu. Besarnya retensi dan penetrasi yang bias dicapai ditentukan oleh
tanpa tekanan, akan tetapi biaya dan peralatan yang digunakan jauh lebih mahal.
Cara ini cocok dilakukan untuk mengawetkan kayu yang dalam pemakaiannya
memiliki resiko kerusakan tinggi seperti bantalan kereta api, kayu dermaga, tiang
tanah, serta untuk mengawetkan kayu yang sulit ditembus bahan pengawet
terutama bahan pengawet yang tidak mudah luntur. Cara pengawetan tanpa
tekanan pada umumnya hasilnya kurang begitu baik dibandingkan dengan cara
tekanan karena penembusannya lebih rendah namun masih dapat memenuhi syerat
yang baik retensi maupun penembusan tergantung tujuan pemakaian (Hunt dan
Garratt, 1986).