Anda di halaman 1dari 10

TUGAS KIMIA PERMUKAAN

Studi Kasus Fenomena Kimia Permukaan pada Pembuatan


Surfaktan dari Ampas Tebu

Oleh:

Agustino Beatronaldo Sawur 2008511026

Maria Octaviani Kurniati 2008511063

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS UDAYANA

2023
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Peningkatan populasi manusia dapat mengakibatkan semakin banyaknya
limbah yang dibuang ke lingkungan, sehingga terjadi peningkatan level polusi.
Limbah dapat berasal dari aktivitas rumah tangga maupun industri. Salah satu
faktor yang mempengaruhi polusi air adalah limbah deterjen dari aktivitas rumah
tangga. Tanpa adanya penanganan lebih lanjut, maka jenis limbah ini dapat
mengontaminasi air dan membahayakan ekosistem organisme air (Fitrihidajati
dkk, 2020).
Deterjen adalah bahan pembersih yang sering digunakan manusia
(Wibisono, 2018). Deterjen merupakan bahan pembersih sintetis yang
mengandung senyawa turunan minyak bumi (Fitrihidajati dkk, 2020). Pencemaran
air oleh deterjen disebabkan oleh adanya bahan utama penyusun deterjen yang
sulit didegradasi secara alamiah, yakni Sodium Tripolyphospat (STPP) dan
Natrium Dodecyl Benzen Sulfonat (NaDBS). Pencemaran deterjen juga
diakibatkan oleh adanya kandungan surfaktan seperti linear alkil sulfonat (LAS)
dan alkil benzen sulfonat (ABS) (Suastuti dkk, 2015).
Surfaktan adalah senyawa organik yang memiliki gugus hidrofobik dan
gugus hidrofilik di dalam molekulnya (Haryana dkk, 2023). Surfaktan (surface
active agent) adalah suatu bahan yang ditambahkan ke cairan yang berfungsi
meningkatkan sifat penyebaran atau pembasahan dengan cara menurunkan
tegangan permukaan cairan (Saleh dkk, 2016). Surfaktan yang terdapat dalam
produk deterjen sulit terurai karena strukturnya yang memiliki rantai bercabang.
Akumulasi surfaktan yang tinggi akan mencemari lingkungan karena banyaknya
busa yang ditimbulkan di permukaan air dapat mengganggu difusi oksigen dari
udara ke dalam air sehingga mengganggu kehidupan organisme air, terkhususnya
pada organ-organ ikan (Tanjung dkk, 2019).
Menurut Setiati dkk (2018), kandungan lignin dalam ampas tebu dapat
diolah menjadi surfaktan lignosulfonat. Lignosulfonat memiliki struktur amfipatik
karena adanya gugus sulfonat yang bersifat hidrofilik dan karbon aromatik yang
bersifat hidrofobik. Salah satu kelebihan dari surfaktan lignosulfonat yaitu dapat
terurai secara alamiah, misalnya didegradasi oleh mikroba. Penelitian yang
dilakukan oleh Jiang dkk (2020) telah membuktikan bahwa bakteri Arthrobacter
sp. mampu menghasilkan enzim lignin peroksidase yang dapat mendegradasi
lignin. Menurut Kamimura dkk (2018), selain bakteri, jamur Phanerochaete
chrysosporium dan Ceriporiopsis subvermispora juga mampu menghasilkan
enzim-enzim pendegradasi lignin.

1.2 Rumusan Masalah


Permasalahan yang dibahas pada makalah ini adalah:
1. Bagaimana proses pembuatan surfaktan dari ampas tebu?
2. Apa konsep Kimia Permukaan yang terdapat pada pembuatan surfaktan
dari ampas tebu?

1.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk menjelaskan proses pembuatan surfaktan dari ampas tebu.
2. Untuk menguraikan konsep kimia permukaan yang terdapat pada
pembuatan surfaktan dari ampas tebu.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Proses Pembuatan Surfaktan dari Ampas Tebu


Metode pembuatan surfaktan dari ampas tebu diambil dari Saleh dkk
(2016).
a. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam metode ini yaitu:

1. Ampas tebu 5. Methanol (CH3OH)


2. Natrium Bisulfit (NaHSO3) 6. Linier Alkyl Benzene
3. Asam sulfat (H2SO4) Sulfonate (LAS)
4. Aquades (H2O)

b. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam metode ini yaitu:

1. Labu leher tiga 9. Timbangan


2. Kondenser 10. Pipet ukur
3. Motor pengaduk 11. Pipet tetes
4. Impeller 12. Vibrating screen
5. Kertas pH universal 13. Crusher
6. Thermometer 14. Oil bath
7. Gelas ukur 15. Spektrofotometer UV / Vis
8. Spatula

c. Prosedur Kerja
Ampas tebu dikupas kulit luarnya, dipotong kecil - kecil dan dijemur pada
sinar matahari langsung selama 2 (dua) minggu atau jika dinilai sudah kering.
Selanjutnya ampas tebu yang sudah kering dihancurkan dengan crusher secara
berulang sehingga menjadi seperti debu. Debu halus ampas tebu kemudian
diayak dengan ayakan 120 mesh sehingga diperoleh debu ampas tebu sebanyak
kurang lebih 2 kg. Selanjutnya debu ampas tebu sebanyak 10 gram dibungkus
kertas saring kemudian dimasukkan ke dalam shoxlet untuk dilakukan
ekstraksi dengan methanol. Ekstraksi dilakukan sebanyak 5 sirkulasi selama 1
jam 30 menit. Debu ampas tebu yang telah diekstraksi dalam shoxlet kemudian
dikeringkan di oven pada suhu 100 0C sampai kering.
Debu ampas tebu yang sudah kering sebanyak 7 gram direaksikan dengan
Natrium Bisulfit dengan konsentrasi 10%, 20% dan 30% dalam labu leher tiga.
Reaksi dikondisikan pada pH 4 dan suhu 105 0C dengan waktu reaksi masing -
masing 30 menit dan 60 menit untuk masing - masing sampel. Selanjutnya
hasil proses reaksi dalam labu leher tiga disaring sehingga diperoleh filtrat dan
residu. Filtrat kemudian dianalisis dengan spektrofotometer UV / Vis untuk
menentukan kadar lignosulfonat yang dihasilkan.
2.2 Konsep Kimia Permukaan pada Pembuatan Surfaktan dari Ampas
Tebu

Surfaktan dan detergen merupakan aplikasi dari konsep koloid yaitu


penerapan sifat koloid (emulsifier/penstabil). Sifat emulsifier ini terbentuk
karena adanya dua gugus yang berlainan yaitu hidrofilik dan hidrofobik.
Prinsip kerja surfaktan adalah menurunkan tegangan permukaan cairan,
terutama air. Cara kerja surfaktan yaitu ketika surfaktan ditambahkan ke
dalam air maka akan memutuskan ikatan-ikatan hidrogen pada permukaan
air dengan cara bagian hidrofilik mendekati air dan bagian hidrofobiknya
menjauhi air. Sehingga air dan minyak yang awalnya terpisah bisa menjadi
homogen (Fiyani dkk, 2020).

Surfaktan sangat berkaitan dengan materi koloid. Dikarenakan


surfaktan adalah salah satu bahan aktif dari dasar pembuatan detergen
yang merupakan salah satu peranan dari sistem koloid. Sistem koloid di
mana partikel terdispersnya mempunyai daya adsorpsi yang relatif besar
disebut koloid liofil dan sistem koloid dimana partikel terdispersinya
mempunyai daya adsorpsi yang relatif kecil disebut koloid liofob. Koloid
liofil merupakan koloid yang menyukai mediumnya sehingga sulit
dipisahkan dan stabil dalam air. Sedangkan koloid liofob merupakan
koloid yang tidak menyukai mediumnya sehingga cenderung memisah dan
tidak stabil dalam air. Di dalam kehidupan sehari-hari apabila kita
mencampurkan air dengan minyak, awalnya akan membentuk partikel
koloid minyak dalam air dan lambat laun akan terpisah. Sama halnya
apabila kita merendam pakaian yang bernoda (minyak) dengan air saja,
noda tidak bisa dihilangkan karena akan memisah dengan air. Namun
apabila ditambahkan detergen, maka noda (minyak) akan teremulsi dalam
air sehingga noda tersebut dapat terangkat dari pakaian (Nasution, 2019).

Gambar. Struktur Lignosulfonat

Pada struktur surfaktan lignosulfonat, gugus sulfonat bersifat


hidrofilik, sedangkan gugus karbon aromatik bersifat hidrofobik. Adanya
kedua sifat ini menyebabkan lignosulfonat bersifat amfipatik (Fujimoto,
1985). Di dalam air gugus hidrofil akan menarik molekul air dalam
larutan, sedangkan gugus hidrofob akan menolak molekul air. Surfaktan
mengurangi tegangan antar muka dengan melakukan penyerapan pada
antarmuka cair-gas, atau air-minyak. Dalam fase cair, surfaktan
membentuk agregat, seperti misel, di mana ekor hidrofob membentuk inti
dari agregat dan kepala hidrofil berada dalam kontak dengan cairan
sekitarnya. Jenis lain dari agregat seperti misel bulat atau silinder atau
bilayers dapat dibentuk. Bentuk agregat tergantung pada struktur kimia
dari surfaktan, tergantung pada keseimbangan ukuran ekor hidrofob dan
kepala hidrofil. Hal ini dikenal sebagai Hidrofil-lipofilik Balance (HLB)
(Schramm, 2000).

Semakin tinggi nilai HLB maka surfaktan akan semakin hidrofil,


yang akan semakin larut dalam air, atau disebut dengan istilah emulsi O/W
(Oil in Water). Nilai HLB yang lebih rendah menunjukkan surfaktan
tersebut merupakan emulsi W/O (Water in Oil), yang akan semakin larut
dalam minyak. Surfaktan biasanya senyawa organik yang amphiphilik,
yang mengandung hidrofob (ekor) dan hidrofil (kepala). Surfaktan akan
menyebar dalam air dan menyerap pada antarmuka antara udara dan air
atau pada antarmuka antara minyak dan air. Dalam kasus di mana air
dicampur dengan minyak, kelompok hidrofob (ekor) yang larut dapat
keluar dari fase air, menuju ke fase minyak, sedangkan kelompok hidrofil
(kepala) larut dalam air dan tetap dalam fase air. Ini adalah penyelarasan
surfaktan pada permukaan yang akan memodifikasi sifat permukaan air
pada antarmuka air/udara atau air/minyak (Setiati dkk, 2018).
BAB III

SIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai


berikut:

1. Proses pembuatan surfaktan dari ampas tebu terdiri dari dua tahapan, yang
mana pada tahap pertama dilakukan ekstraksi lignin dari ampas tebu dan pada
tahap kedua dilakukan ekstraksi lignin dengan Natrium bisulfit sehingga
dihasilkan surfaktan lignosulfonat.
2. Pada struktur lignosulfonat, terdapat gugus sulfonat yang bersifat hidrofilik
dan gugus karbon aromatik yang bersifat hidrofobik, sehingga lignosulfonat
juga bersifat amfipatik. Surfaktan mengurangi tegangan antar muka dengan
melakukan penyerapan pada antarmuka cair-gas, atau air-minyak.
DAFTAR PUSTAKA

Fitrihidajati, H., Rachmadiarti, F., Khaleyla, F. & Kustiyaningsih, E. 2020.


Effectiveness of Sagittaria lancifolia as Detergent Phytoremediator.
Nature Environment and Pollution Technology. 19(4): 1723-1727

Fiyani, A., Saridewi, N. & Suryaningsih, S. 2020. Analisis Konsep Kimia Terkait
dengan Pembuatan Surfaktan dari Ampas Tebu. Jurnal Riset Pendidikan
Kimia. 10(2): 94-101

Fujimoto, T. 1985. New Introduction to Surface Active Agent. Sanyo Chemical


Industri. Kyoto

Haryana, I.D., Muntaha, S.H., Susianto & Nurkhamidah, S. 2023. Pra Desain
Pabrik Surfaktan Lignosulfonat (SLS) dengan Bahan Baku Lignin.
Jurnal Teknik ITS. 12(2): 112-117

Jiang, C., Cheng, Y., Zang, H., Chen, X., Wang, Y., Zhang, Y., Wang, J., Shen,
X. & Li, C. 2020. Biodegradation of Lignin and the Associated
Degradation Pathway by Psychrotrophic Arthrobacter sp. C2 from the
Cold Region of China. Springer Cellulose. 27(1): 1423-1440

Kamimura, N., Sakamoto, S., Mitsuda, N., Masai, E. & Kajita, S. 2019. Advances
in Microbial Lignin Degradation and Its Application. Current Opinion in
Biotechnology. 56(1): 179-186

Nasution, M.B. 2019. Rekonstruksi Bahan Ajar: Lembar Kegiatan Siswa Berbasis
Inkuiri Terbimbing dengan Tema Surfaktan dari Kulit Kacang Tanah.
Skripsi. Universitas Islam Negeri Jakarta. Tangerang Selatan

Saleh, F.H.M., Jumail, A.D.C. & Muhajirin, F. 2016. Pembuatan Surfaktan


Sodium Ligno Sulfonat dari Ampas Tebu. Jurnal Teknoin. 22(2): 1-4

Schramm, L. 2000. Surfactant: Fundamentals and Application in the Petroleum


Industry. University of Cambrige. Cambridge

Setiati, R., Siregar, S., Marhaendrajana, T. & Wahyuningrum, D. 2018. Hasil


Studi Laboratorium Penentuan Karakteristik Alamiah Surfaktan Natrium
Lignosulfonat dari Ampas Tebu sebagai Fluida Injeksi di Reservoir
Minyak. Jurnal Penelitian dan Karya Ilmiah Lembaga Penelitian
Universitas Trisakti. 3(1): 47-52

Suastuti, N.G.A.M.D.A., Suarsa, I.W. & Putra, D.K. 2015. Pengolahan Larutan
Deterjen dengan Biofilter Tanaman Kangkungan (Ipomoea crassicaulis)
dalam Sistem Batch (Curah) Teraerasi. Jurnal Kimia. 9(1): 98-104

Tanjung, R.H.R., Hamuna, B. & Alianto. 2019. Konsentrasi Surfaktan dan


Minyak di Perairan Depapre, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua.
Buletin Oseanografi Marina. 8(1); 49-54

Wibisono, I.C. 2018. Penetapan Kadar Surfaktan Anionik pada Deterjen Cuci Cair
Secara Metode Titrimetri. ALKIMIA: Jurnal Ilmu Kimia dan Terapan.
2(2): 27-31

Anda mungkin juga menyukai