Anda di halaman 1dari 24

DETERGENTS AND CLEANERS

DOSEN PENGAMPU :
Prof. Dr. M RUSDI, S.Pd., M.Sc.

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1
1. MALA AZMI FADILAH (A1C118055)
2. DEWI ARTIKA SARI (A1C118072)
3. YESICA ESRA ANASTASYA SITINDAON (A1C117074)
4. ELISA CANDRA FATWATI (A1C118087)
KELAS : REGULER C 2018

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA


JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA ILMU PENGETAHUANALAM
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke-hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat rahmat dan karuniaNyalah, makalah ini dapat terselesaikan dengan
baik, tepat pada waktunya.
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk memenuhi tugas Mata
Kuliah Kimia Koloid dan Antar Muka pada semester VI, di tahun ajaran 2021,
dengan judul Detergents and Cleaners.
Dengan membuat tugas ini penulis diharapkan mampu untuk lebih
mengenal tentang deterjent dan sabun yang merupakan aplikasi utama dari
surfaktan yang digunakan untuk berbagai macam proses pembersihan. Dalam
penyelesaian makalah ini, penulis banyak mengalami kesulitan. Namun, berkat
bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya makalah ini dapat
terselesaikan dengan cukup baik. Karena itu, sudah sepantasnya penulis
mengucapkan terima kasih.
Penulis sadar, sebagai seorang mahasiswa yang masih dalam proses
pembelajaran, penulisan makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena
itu, penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif,
guna penulisan makalah yang lebih baik di masa yang akan datang.

Jambi, Maret 2021

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Surfaktan (surfactant: surface active agents) merupakan senyawa yang
dapat menurunkan tegangan permukaan air. Surfaktan berfungsi untuk
mengangkat kotoran pada pakaian baik yang larut dalam air maupun yang tak
larut dalam air. Hal ini dapat terjadi karena molekul surfaktan terdiri dari satu
ujung hidrofilik dan satu ujung hidrofobik (satu rantai hidrokarbon atau lebih).
Ujung hidrofobik surfaktan merupakan satu rantai atau lebih hidrokarbon yang
mengandung 12 atom karbon atau lebih. Molekul-molekul dan ion-ion yang
diadsorbsi pada antar muka inilah yang dinamakan surface aktive agent atau
surfaktan. Surfaktan disebut juga sebagai amfifil karena molekul atau ionnya
yang mempunyai affinitas tertentu terhadap pelarut polar maupun non polar.
Hal ini tergantung pada jumlah dan sifat dari gugusgugus polar dan non polar
tersebut. Amfifil dapat bersifat hidrofilik (suka air), lipofilik (suka minyak)
atau bersifat seimbang di antara dua sifat ekstrim tersebut.
Surfaktan adalah molekul yang memiliki gugus polar yang suka air
(hidrofilik) yang dapat bermuatan positif, negatif maupun netral dan gugus
non polar yang suka minyak (lipofilik) sekaligus yang biasanya berbentuk
rantai alkil yang panjang. Sifat ganda yang dimiliki molekulnya, membuat
surfaktan memiliki sifat aktif yaitu, surfaktan merupakan bahan aktif
permukaan, yang bekerja menurunkan tegangan permukaan cairan. Dengan
memiliki sifat tersebut bahan ini mampu menurunkan tegangan permukaan
kotoran terhadap tegangan permukaan bahan yang dibersihkan. Karenanya
surfaktan digunakan sebagai bahan dasar dalam detergen.
Detergen merupakan produk pembersih yang merupakan
penyempurnaan dari sabun. Kelebihan deterjen dibandingkan sabun adalah
kemampuannya dalam mengatasi air sadah dan larutan asam. Detergen sering
disebut dengan istilah detergen sintetis yang dibuat dari bahan-bahan sintetis.
Oleh karena itu, di makalah ini akan dibahas secara rinci tentang detergent dan
sabun.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah detergen itu?
2. Apakah zat-zat yang terkandung dalam detergen?
3. Bagaimana komposisi detergen?
4. Bagaimana penggolongan detergen?
5. Bagaimana proses pembuatan detergen?
6. Bagaimana daya pembersih detergen?
7. Apakah dampak dari detergen terhadap manusia dan lingkungan?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui detergen.
2. Untuk mengetahui zat-zat yang terkandung dalam detergen.
3. Untuk mengetahui komposisi detergen.
4. Untuk mengetahui penggolongan detergen.
5. Untuk mengetahui proses pembuatan detergen.
6. Untuk mengetahui daya pembersih detergen.
7. Untuk mengetahui dampak dari detergen terhadap manusia dan
lingkungan.
BAB II
PEMBAHASAN

Aplikasi tradisional utama surfaktan adalah penggunaannya sebagai sabun


dan deterjen untuk berbagai macam proses pembersihan. Seperti yang telah
disebutkan, sabun telah digunakan dalam kebersihan diri selama lebih dari 2000
tahun dengan sedikit perubahan pada dasarnya kimia produksi dan
penggunaannya. Produk baru dengan warna, bau yang menyenangkan, dan
aktivitas deodoran dan antiperspiran telah merambah pasar sejak awal abad ke-20,
tetapi pada akhirnya, sabun tetaplah sabun.
Di sisi lain, deterjen sintetis yang digunakan untuk membersihkan pakaian,
piring, rumah, dan seterusnya adalah pendatang yang relatif baru. “Lebih putih
dari putih” dan “melengking bersih” meskipun iklan, tujuan deterjen adalah untuk
menghilangkan kotoran, minyak, dan polutan lain yang tidak diinginkan,
sementara tidak melakukan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki substrat. Di
masa lalu, terutama karena kekurangan surfaktan yang tersedia, pembersihan
semacam itu biasanya melibatkan perawatan intensif energi — air yang sangat
panas dan agitasi mekanis yang signifikan. Formulasi surfaktan dan deterjen
modern telah memungkinkan kami untuk mencapai hasil yang sama atau lebih
baik dengan hasil yang jauh lebih rendah suhu pencucian dan konsumsi energi
mekanik yang lebih sedikit. Surfaktan yang ditingkatkan dan formulasi deterjen
juga menghasilkan penggunaan air yang lebih sedikit dan lebih efisien proses
degradasi biologis yang membantu melindungi lingkungan kita. Bahkan dengan
suhu pencucian yang lebih rendah dan konsumsi energi yang lebih rendah,
penelitian ekstensif telah dilakukan
menunjukkan bahwa kebersihan yang setara atau lebih baik dipertahankan. Ini
hanya dalam contoh di mana terdapat agen patogen yang sangat berbahaya, seperti
di binatu rumah sakit, sebagai contoh, aditif pembasmi kuman tambahan menjadi
perlu untuk diperoleh hasil pembersihan yang efisien.
Semakin banyak deterjen dan pembersih diproduksi menggunakan bahan
baku dari 'alam' atau sumber terbarukan, terutama minyak nabati dan lemak
hewani. Itu dampak emosional atau sosiologis dari label 'alami' disisihkan untuk
saat ini, tren tersebut penting untuk beberapa sudut pandang yang lebih praktis —
ketersediaan lokal, harga yang lebih konstan (secara umum), kemudahan
pemrosesan relatif, dan, tentu saja, fleksibilitas dari produksi. Kealamian bahan
juga membantu dalam hal biodegradasi akhir produk, tentu saja, karena bahan
penyusunnya cocok secara alami ke dalam rantai kehidupan biologis.

2.1 Detergen
2.1.1 Sejarah Detergen
Deterjen sintetik yang pertama dikembangkan oleh Jerman pada waktu
Perang Dunia II dengan tujuan agar lemak dan minyak dapat digunakan untuk 
keperluan lainnya. Pada saat ini ada lebih 1000 macam deterjen sintetik yang ada
di pasaran. Fritz Gunther, ilmuwan Jerman, biasa disebut sebagai penemu
surfactant sintetis dalam deterjen tahun 1916.
Namun, baru tahun 1933 deterjen untuk rumah tangga diluncurkan
pertama kali di AS. Kelebihan deterjen, mampu lebih efektif membersihkan
kotoran meski dalam air yang mengandung mineral. Tapi, ia pun menimbulkan
masalah. Sebelum tahun 1965, deterjen menghasilkan limbah busa di sungai dan
danau. Ini karena umumnya deterjen mengandung alkylbenzene sulphonate yang
sulit terurai.
Setelah 10 tahun dilakukan penelitian (1965), ditemukan linear
alkylbenzene sulphonate (LAS) yang lebih ramah lingkungan. Bakteri dapat cepat
menguraikan molekul LAS, sehingga tidak menghasilkan limbah busa. Sepanjang
sejarah banyak usaha dilakukan untuk membantu kita mengerjakan pekerjaan
mencuci. Pencucian dengan air saja, bahkan dengan penggosokan atau putaran
mesin sekeras apapun, akan menghilangkan sebagian bercak saja, kotoran dan
partikel-partikel tanah. Air saja tidak dapat menghilangkan debu yang tak larut
dalam air. Air juga tak mampu menahan debu yang telah lepas dari kain agar tetap
tersuspensi (tetap berada di air, jadi tidak kembali menempel ke kain). Jadi
diperlukan bahan yang dapat membantu mengangkat kotoran dari air dan
kemudian menahan agar kotoran yang telah terangkat tadi, tetap tersuspensi.
Sejak  ratusan tahun lalu telah dikenal sabun, yakni persenyawaan antara minyak
atau lemak dan basa.
Awalnya orang-orang Arab secara tak sengaja menemukan bahwa
campuran abu dan lemak hewan dapat membantu proses pencucian. Walaupun
berbagai usaha perbaikan pada kualitas dan proses pembuatan sabun telah
dilakukan, semua sabun hingga kini mempunyai satu kekurangan utama yakni
akan bergabung dengan mineral-mineral yang terlarut dalam air membentuk 
senyawa yang sering disebut lime soap (sabun-kapur), membentuk bercak 
kekuningan di kain atau mesin pencuci.
Akibatnya kini orang mulai meninggalkan sabun untuk mencuci seiring
dengan meningkatnya popularitas deterjen. Salah satu deterjen yang pertama
dibuat adalah garam natrium dari lauril hidrogen sulfat. Tetapi pada saat ini,
kebanyakan deterjen adalah garam dari asam sulfonat. Deterjen dalam kerjanya
dipengaruhi beberapa hal, yang terpenting adalah jenis kotoran yang akan
dihilangkan dan air yang digunakan. Deterjen, khususnya surfaktannya, memiliki
kemampuan yang unik untuk mengangkat kotoran, baik yang larut dalam air
maupun yang tak larut dalam air.
Salah satu ujung pada molekul surfaktan bersifat lebih suka minyak atau
tidak suka air, akibatnya bagian ini mempenetrasi kotoran yang berminyak. Ujung
molekul surfaktan satunya lebih suka air, bagian inilah yang berperan
mengendorkan kotoran dari kain dan mendispersikan kotoran, sehingga tidak 
kembali menempel ke kain. Akibatnya warna kain akan dapat dipertahankan.

2.1.2 Pengertian Detergen


Deterjen adalah campuran berbagai bahan, yang digunakan untuk 
membantu pembersihan dan terbuat dari bahan-bahan turunan minyak bumi.
Dibanding dengan sabun, deterjen mempunyai keunggulan antara lain mempunyai
daya cuci yang lebih baik serta tidak terpengaruh oleh kesadahan air. Detergen
merupakan garam Natrium dari asam sulfonat.
Reaksi pembuatan deterjen

Detergent sudah sangat akrab di kehidupan kita, terutama bagi ibu rumah
tangga. Detergent digunakan untuk mencuci pakaian. Untuk menyempurnakan
kegunaannya, biasanya pabrik menambahkan natrium perborat, pewangi,
pelembut, naturium silikat, penstabil, enzim, dan zat lainnya agar fungsinya
semakin beragam. Tapi diantara zat-zat tersebut ada yang tak bisa
dihancurkan/dilarutkan oleh mikroorganisme sehingga otomatis menyebabkan
pencemaran lingkungan. Apabila air yang mengandung detergent dibuang
kedalam air, tercemarlah air dan pertumbuhan alga yang sangat cepat. Hal ini
akan menyebabkan kandungan oksigen dalam air berkurangan dan otomatis ikan,
tumbuhan laut,dan kehidupan air lainnya mati. Selain itu limbah detergent juga
menyebabkan pencemaran tanah yang menurunkan kualitas kesuburan tanah yang
mengakibatkan tanaman serta kehidupan tanah termasuk cacing mati. Padahal
cacing bisa menguraikan limbah organik, non organik & menyuburkan tanah.
Bahan utama detergent ialah garam natrium yaitu asam organik yang
dinamakan asamsulfonik. Asam sulfonik yang digunakan dalam pembuatan
detergent merupakan molekul berantai panjang yang mengandungi 12 hingga 18
atom karbon per molekul. Detergent pertama disintesis pada tahun 1940-an, yaitu
garam natrium dari alkylhydrogen sulfat. Alkohol berantai panjang dibuat dengan
cara penghidrogenan lemak dan minyak. Alkohol berantai panjang ini direaksikan
dengan asam sulfat menghasilkan alkilhydrogen sulfat yang kemudian dinetralkan
dengan basa. Natrium lauril sulfat adalah detergent yang baik. Karena garamnya
berasal dari asamkuat, larutannya hampir netral. Garam kalsium dan
magnesiumnya tidak mengendap dalamlarutannya, sehingga dapat dipakai dengan
air lunak atau air sadah. Pada masa kini, detergent yang umum digunakan adalah
alkil benzenesulfonat berantai lurus. Pembuatannya melalu itiga tahap. Alkena
rantai lurus dengan jumlah karbon 14-14 direaksikan dengan benzena dan katalis
Friedel-Craft (AlCl3 atau HF) membentuk alkil benzena. Sulfonasi dan penetralan
dengan basa melengkapi proses ini. Rantai alkil sebaiknya tidak bercabang. Alkil
benzene sulfonat yang bercabang bersifat tidak dapat didegradasi oleh jasad renik 
(biodegradable). Detergent ini mengakibatkan masalah polusi berat pada tahun
1950-an, yaitu berupa buih pada unit-unit penjernihan serta disungai dan
danaudanau. Sejak tahun 1965, digunakan alkil benzene sulfonat yang tidak
bercabang. Detergent jenis ini mudah didegradasi secara biologis oleh
mikroorganisme dan tidak berakumulasi dilingkungan kita.

2.1.3 Zat-Zat yang Terkandung Dalam Detergen


Adapun zat-zat yang terkandung dalam deterjen yaitu:
1) Surfaktan, yaitu untuk mengikat lemak dan membasahi permukaan.
2) Abrasive untuk menggosok kotoran.
3) Substansi untuk mengubah pH yang mempengaruhi penampilan ataupun
stabilitas dari komponen lain.
4) Water softener untuk menghilangkan efek kesadahan.
5) Oxidants untuk memutihkan dan menghancurkan kotoran.
6) Material lain selain surfaktan untuk mengikat kotoran didalam suspensi.
7) Enzim untuk mengikat protein, lemak, ataupun karbohidrat didalam kotoran.

2.1.4 Komposisi Detergen


Deterjen merupakan pembersih sintetis yang terbuat dari bahan-bahan
turunan minyak bumi. Dibanding dengan produk terdahulu yaitu sabun, deterjen
mempunyai keunggulan antara lain mempunyai daya cuci yang lebih baik serta
tidak terpengaruh oleh kesadahan air. Pada umumnya, deterjen mengandung
bahan-bahan yaitu, Surfaktan, Builder, Filler dan Additives.
A. Surfaktan
Komponen penting deterjen adalah surfaktan. Fungsi surfaktan adalah
untuk meningkatkan daya pembasahan air sehingga kotoran yang berlemak dapat
dibasahi, mengendorkan dan mengangkat kotoran dari kain dan mensuspensikan
kotoran yang telah terlepas.
Surfaktan yang biasa digunakan dalam deterjen adalah linear alkilbenzene
sulfonat, etoksisulfat, alkil sulfat, etoksilat, senyawa amonium kuarterner,
imidazolin dan betain. Linear alkilbenzene sulfonat, etoksisulfat, alkil sulfat bila
dilarutkan dalam air akan berubah menjadi partikel bermuatan negatif, memiliki
daya bersih yang sangat baik, dan biasanya berbusa banyak (biasanya digunakan
untuk pencuci kain dan pencuci piring). Etoksilat, tidak berubah menjadi partikel
yang bermuatan, busa yang dihasilkan sedikit, tapi dapat bekerja di air sadah (air
yang kandungan mineralnya tinggi), dan dapat mencuci dengan baik hampir
semua jenis kotoran. Senyawa-senyawa amonium kuarterner, berubah menjadi
partikel positif ketika terlarut dalam air, surfaktan ini biasanya digunakan pada
pelembut (softener). Imidazolin dan betain dapat berubah menjadi partikel positif,
netral atau negatif bergantung pH air yang digunakan. Kedua surfaktan ini cukup
kestabilan dan jumlah buih yang dihasilkannnya, sehingga sering digunakan
untuk  pencuci alat-alat rumah tangga.

B. Bahan Aktif ( Active Ingredient)


Bahan aktif merupakan bahan inti dari deterjen sehingga bahan ini harus
ada dalam proses pembuatan deterjen. Secara kimia bahan ini dapat berupa
sodium lauryl sulfonate (SLS). Beberapa nama dagang dari bahan aktif ini
diantaranya Luthensol, Emal, dan Neopelex (NP). Di pasar beredar beberapa jenis
Emal dan NP, yaitu Emal-10, Emal-20, Emal-30, NP-10, NP-20, dan NP- 30.
Secara fungsional bahan aktif ini mempunyai andil dalam meningkatkan daya
bersih. Ciri dari bahan aktif adalah busanya sangat banyak.

C. Bahan Pengisi ( Filler)


Filler adalah bahan tambahan deterjen yang tidak mempunyai kemampuan
meningkatkan daya cuci, tetapi menambah kuantitas, contoh : Sodium sulfate.
Bahan ini berfungsi sebagai pengisi dari seluruh campuran bahan baku.
Pemberian bahan ini berguna untuk memperbanyak atau memperbesar volume.
Keberadaan bahan ini dalam campuran bahan baku deterjen semat-mata ditinjau
dari aspek  ekonomis. Pada umumnya, sebagai bahan pengisi deterjen digunakan
sodium sulfat. Bahan lain yang sering digunakan sebagai bahan pengisi, yaitu
tetra sodium pyrophosphate dan sodium sitrat. Bahan pengisi ini berwarna putih,
berbentuk  bubuk, dan mudah larut dalam air.

D. Bahan Penunjang (Builder)


Salah satu contoh bahan penunjang adalah soda ash atau sering disebut
soda abu yang berbentuk bubuk putih. Bahan penunjang ini berfungsi
meningkatkan daya bersih. Keberadaan bahan ini dalam campuran tidak boleh
terlalu banyak karena menimbulkan efek samping, yaitu dapat mengakibatkan
rasa panas di tangan pada saat mencuci pakaian. Bahan penunjang lain adalah
STTP (sodium tripoly phosphate) yang mempunyai efek samping yang positif,
yaitu dapat menyuburkan tanaman. Dalam kenyataannya, ada beberapa konsumen
yanhg menyiramkan air bekas cucian produk deterjen tertentu ke tanaman dan
hasilnya lebih subur. Hal ini disebabkan oleh kandungan fosfat yang merupakan
salah satu unsur dalam jenis pupuk tertentu.
Builder dapat meningkatkan efisiensi surfaktan. Builder digunakan untuk 
melunakkan air sadah dengan cara mengikat mineral-mineral yang terlarut,
sehingga surfaktan dapat berkonsentrasi pada fungsinya. Selain itu, builder juga
membantu menciptakan kondisi keasaman yang tepat agar proses pembersihan
dapat berlangsung lebih baik serta membantu mendispersikan dan
mensuspensikan kotoran yang telah lepas.
Yang sering digunakan sebagai builder adalah senyawa kompleks fosfat,
natrium sitrat, natrium karbonat, natrium silikat atau zeolit. Pertimbangan banyak 
busa adalah pertimbangan salah kaprah tapi selalu dianut oleh banyak konsumen.
Banyaknya busa tidak berkaitan secara signifikan dengan daya bersih deterjen,
kecuali deterjen yang digunakan untuk proses pencucian dengan air yang
jumlahnya sedikit (misalnya pada pencucian karpet). Untuk kebanyakan kegunaan
di rumah tangga, misalnya pencucian dengan jumlah air yang berlimpah, busa
tidak memiliki peran yang penting.
Dalam pencucian dalam jumlah air yang sedikit, busa sangat penting
karena dalam pencucian dengan sedikit air, busa akan berperan untuk tetap
"memegang" partikel yang telah dilepas dari kain yang dicuci, dengan demikian
mencegah mengendapnya kembali kotoran tersebut. Revolusi terbesar dalam
perkembangan deterjen adalah pemakaian enzim. Enzim sebagai bantuan untuk 
mencuci bukanlah suatu hal yang baru lagi untuk dunia industri. Enzim proteolik 
telah dicoba sebagai zat aditif untuk mencuci di Jerman pada tahun 1920-an
dengan sukses dan juga di Switzerland pada tahun 1930-an. Enzim, yang disebut
juga dengan katalis organik, cenderung untuk mempercepat reaksi dan enzim
proteolitik dapat mengubah ataupun menghancurkan protein menjadi asam amino
baik sebagian maupun keseluruhan.
Cara kerja enzim relatif lambat dan harga produksinya tinggi, tetapi
dengan metode yang telah disempurnakan untuk produksi dan pemurnian, rantai
enzim, dikembangkan untuk bereaksi dengan cepat. Dalam perkembangannya,
deterjen pun makin canggih. Deterjen masa kini biasanya mengandung pemutih,
pencerah warna, bahkan antiredeposisi (NaCMC atau sodium
carboxymethylcellulose).

E. Bahan Tambahan (Aditif)


Bahan aditif sebenarnya tidak harus ada dalam proses pembuatan deterjen
bubuk. Namun demikian, beberapa produsen justru selalu mencari hal-hal baru
akan bahan ini karena justru bahan ini dapat memberi kekhususan dan nilai lebih
pada produk deterjen tersebut. Additives adalah bahan suplemen / tambahan
untuk  membuat produk lebih menarik, misalnya pewangi, pelarut, pemutih,
pewarna, dst, tidak berhubungan langsung dengan daya cuci deterjen.  Additives
ditambahkan lebih untuk maksud komersialisasi produk. Contoh : Enzyme, Borax,
Sodium chloride, Carboxy Methyl Cellulose (CMC).
Dengan demikian, keberadaan bahan aditif dapat mengangkat nilai jual
produk deterjen bubuk tersebut. Salah satu contoh dari bahan aditif adalah
carboxyl methyl cellulose (CMC). Bahan ini berbentuk serbuk putih dan berfungsi
untuk mencegah kembalinya kotoran ke pakaian sehingga disebut
“antiredeposisi”. Selain CMC, masih banyak macam dari bahan aditif ini, tetapi
pada umumnya merupakan rahasia dari tiap-tiap perusahaan. Ini sebenarnya
merupakan tantangan bagi pelaku wirausaha untuk selalu mencari bahan aditif ini
sehingga produk deterjen bubuk mempunyai nilai lebih dan berdaya saing tinggi.
 Bahan Pewangi (Parfum)
Parfum termasuk dalam bahan tambahan. Keberadaan parfum
memegang peranan besar dalam hal keterkaitan konsumen akan produk
deterjen bubuk. Artinya, walaupun secara kualitas deterjen bubuk yang
ditawarkan bagus, tetapi bila salah memberi parfum akan berakibat fatal dalam
penjualannya. Parfum untuk deterjen berbentuk cairan berwarna kekuning-
kuningan dengan berat jenis 0,9. Dalam perhitungan, berat parfum dalam
gram (g) dapat dikonversikan ke milliliter (ml). Sebagai patokan 1 g parfum =
1,1 ml. Pada dasarnya, jenis parfum untuk deterjen dapat dibagi ke dalam dua
jenis, yaitu parfum umum dan parfum eksklusif. Parfum umum mempunyai
aroma yang sudah dikenal umum di masyarakat, seperti aroma mawar dan
aroma kenanga. Pada umumnya, produsen deterjen bubuk menggunakan jenis
parfum yang eksklusif. Artinya, aroma dari parfum tersebut sangat khas dan
tidak ada produsen lain yang menggunakannya. Kekhasan parfum eksklusif ini
diimbangi dengan harganya yang lebih mahal dari jenis parfum umum.
Beberapa nama parfum yang digunakan dalam pembuatan deterjen bubuk
diantaranya bouquet, deep water, alpine, dan spring flower .
 Antifoam
Cairan antifoam digunakan khusus untuk pembuatan deterjen bubuk
untuk  mesin cuci. Bahan tersebut berfungsi untuk meredam timbulnya busa.
Persentase keberadaan senyawa ini dalam formula sangat sedikit, yaitu
berkisar antara 0,04- 0,06%.

2.1.5 Penggolongan Detergen


Berdasarkan Bentuk Fisik 
Berdasarkan bentuk fisiknya, deterjen dibedakan atas:
1. Deterjen Cair
Secara umum, deterjen cair hampir sama dengan deterjen bubuk. Hal yang
membedakan hanyalah bentuknya: bubuk dan cair. Produk ini banyak
digunakan di laundry modern menggunakan mesin cuci kapasitas besar
dengan teknologi yang canggih.
2. Deterjen Krim
Deterjen krim bentuknya hampir sama dengan sabun colek, tetapi
kandungan formula keduanya berbeda. Di luar negeri, produk biasanya
tidak  dijual dalam kemasan kecil, tetapi dijual dalam kemasan besar
(kemasan 25 kg).
3. Deterjen bubuk
Bila dicermati berbagai iklan deterjen bubuk di televisi maka
masingmasing produk deterjen mencoba menjelaskan kepada konsumen
tentang keunggulan produknya yang secara fisik berbeda dengan produk
lainnya. Sebagai contoh ada sebuah iklan deterjen tertentu yang
menjelaskan tentang kelebihan produk deterjen dengan kandungan butiran
berbentuk padat (masif) bila dibandingkan dengan deterjen dengan butiran
yang berongga. Namun, diyakini bahwa hanya sedikit orang atau pemirsa
yang dapat memahami esensi dari iklan tersebut.

Berdasarkan Keadaan Butirannya


Berdasarkan keadaan butirnya, detergen dibedakan atas:
1. Deterjen Bubuk Berongga
Deterjen bubuk berongga mempunyai ciri butirannya mempunyai
rongga. Butiran deterjen yang berongga dapat dianalogikan dengan
bentuk bola sepak  yang didalamnya rongga. Ini berarti butiran deterjen
jenis ini mempunyai volume per satuan berat yang besar karena adanya
rongga tersebut. Butiran deterjen jenis berongga dihasilkan oleh proses
spray drying. Agak sulit mendapatkan padan kata istilah tersebut dalam
bahasa Indonesia, tetapi pengertiannya yaitu bahwa terbentuknya butiran
berongga karena hasil dari proses pengabutan yang dilanjutkan proses
pengeringan. Kelebihan deterjen bubuk berongga dibandingkan dengan
deterjen bubuk padat adalah volumenya lebih besar. Dengan berat yang
sama, deterjen bubuk dengan butiran berongga tampak lebih banyak
dibandingkan dengan deterjen padat. Selain kelebihan yang dipunyainya,
deterjen berongga mempunyai kelemahan. Untuk membuat deterjen
berongga diperlukan investasi yang besar karena harga mesin yang
digunakan ( spray dryer ) sangat mahal, yaitu mencapai nilai miliaran
rupiah. Dengan kondisi ini, pembuatan deterjen berongga tidak dapat
diaplikasikan untuk skala dan home industry (industri rumah tangga), baik
skala kecil maupun menengah. Sebagian besar deterjen bubuk yang
dipasarkan ke konsumen termasuk dalam golongan deterjen bubuk
berongga.
2. Deterjen bubuk padat/masif 
Bentuk butiran deterjen bubuk padat/masif dapat dianalogikan
degan bola tolak peluru, yaitu semua bagian butirannya terisi oleh padatan
sehingga tidak  berongga. Butiran deterjen yang padat merupakan hasil
olahan proses pencampuran kering (dry mixing). Proses dry mixing dapat
dibagi menjadi dua, yaitu dry mixing granulation (DMG  process) dan
simple dry mixing (metode campur kering sederhana = CKS). Metode
CKS termasuk cara pembuatan deterjen bubuk yang mudah dipraktekkan.
Kelebihan deterjen bubuk padat, yaitu untuk membuatnya tidak
diperlukan modal besar karena alatnya termasuk sederhana dan berharga
murah. Kekurangannya adalah karena bentuknya padat maka volumenya
tidak besar sehingga jumlahnya terlihat sedikit.

Penggolongan Deterjen Berdasarkan Ion yang Dikandungnya


Berdasarkan ion yang dikandungnya, deterjen dibedakan atas :
1. Cationic Detergents
Deterjen yang memiliki kutub positif disebut sebagai cationic
detergents. Sebagai tambahan, selain adalah bahan pencuci yang
bersih, mereka juga mengandung sifat antikuman yang membuat
mereka banyak digunakan di rumah sakit. Kebanyakan deterjen jenis
ini adalah turunan dari ammonia.
Deterjen Kationik

2. Anionic detergents
Deterjen jenis ini adalah merupakan deterjen yang memiliki gugus ion
negatif. Pada jenis surfaktan ini terdapat group ion negatif sehingga
dinamakan anionic detergent . Umumnya, bagian head  merupakan
gugus yang bermuatan negativ. Sifat detergent ditentukan oleh anion
yang terdapat dalam rantainya. Apabila ingin menghasilkan tingkat
detergentcy optimum, maka anion dapat dinetralisasi dengan alkali
atau material yang bersifat basa.

Deterjen Anionik

3. Neutral atau Non-Ionic Detergents


Nonionic detergen banyak digunakan untuk keperluan pencucian
piring. Karena deterjen jenis ini tidak memiliki adanya gugus ion
apapun, deterjen jenis ini tidak bereaksi dengan ion yang terdapat
dalam air sadah. Nonionic detergents kurang mengeluarkan busa
dibandingkan dengan ionic detergents.

Deterjen Nonionic

2.1.6 Proses Pembuatan Detergen


Proses pembuatan deterjen secara umum terdiri atas 3 bagian yaitu :
1) Spray-drying
Spray-drying merupakan proses modern dalam pembuatan deterjen
bubuk  sintetik dimana dalam spray-drying terjadi proses pengabutan dan
dilanjutkan proses pengeringan. Tahap-tahap dalam proses spray-drying
dapat diperlihatkan pada gambar berikut
Diagram alir spray-drying

Gambaran proses pembuatannya adalah komponen-komponen


cairan (diterima dalam drum dan kemudian disimpan dalam storage tank )
diukur kemudian dicampurkan dengan kmponen padat (diterima dalam
bags atau wadah khusus dan kemudian disimpan dalam silos) untuk
membentuk slurry yang homogen. Beberapa slurry memiliki perbedaan
viskositas dan konsentrasi berdasarkan formula yang dipompakan pada
tekanan tinggi (hingga 10 bar). Dan di spray (disemprotkan) melalui alat
penyemprot khusus (nozzles) ke dalam menara berbentuk silinder
(spray – drying tower) seperti yang ditunjukkan pada gambar di atas,
dimana aliran dari udara panas terbawa. Dalam beberapa kasus aliran
udara mengalir menuju produk untuk memastikan efisiensi termalnya
tinggi dan proses drying terkontrol.
Pilihan drying co-current pada dasarnya dibatasi oleh perbedaan
proses drying yang mana hasilnya lebih tetap dan tahan terhadap hollow
beads yang berasal dari ekspansi mula – mula dan drying permukaan
ketika slurry menurun pada saat suhu udara tinggi pada bagian atas menara
(spray-drying tower). Dalam kasus ini ketika meneruskan arus aliran
turun,pengeringan produk diproses yang dihubungkan dengan menurunkan
suhu udara. Drying co-current menurunkan efisiensi kalor dan sebagian
besar digunakan untuk pengeringan produk yang sensitif terhadap suhu
tinggi dari bulk dengan densitas yang rendah.
Produk yang dikeringkan dalam bentuk hollow bead dikumpulkan
pada bagian atas menara spray drying dan didinginkan serta
dikristalisasikan melalui sistim pembawa airlift  dengan aliran udara
dingin.setelah pengankutan udara bubuk dasar disaring dan diberikan
pengharum dan akhirnya dicampur dengan komponen-komponen yang
sensitive terhadap suhu atau zat adiktif yang kemudian di simpan dalam
silos dan akhirnya di bawa ke mesin pengepak poduk.

2) Aglomerasi
Proses aglomerasi merupakan proses pembuatan deterjan bubuk
sintesis yang memiliki densitas yang tinggi dengan cara pencampuran
material-material kering dengan bahan-bahan cairan yang dibantu dengan
adanya bahan pengikat cairan yang kemudian bercampur yang
menyebabkan bahan-bahan tadi bergabung satu sama lain yang membentuk
partikel-partikel berukuran besar.
Proses aglomerasi dapat di gambar kan seprti proses penimbunan
atau penumpukan dari komponen dari bubuk menjadi cairan dan menjadi
butir atau granula. Tahap-tahap pemprosesan non tower balestra untuk
untuk produksi deterjen bubuk berdasarkan pada proses
aglomerasi.Diantara berbagai tahap proses tersebut, aglomerasi
memperlihatkan operasi yang sangat penting dan kritis, karena proses
tersebut dihubung kan ke struktur fisik dan pada saat yang sama,di
hubungkan ke komposisi kimia dari produk.
Proses aglomerasi juga merupakan proses spray-drying dengan dry
mixing atau blending. Konsentasi air proses yang digunakan anatara 35-
40% dalam crutcher slurry. Dalam aglomerasi cairan disemprotkan keatas
secara continue. Komponen-komponen atau bahan yang digunakan dalam
aglomerasi meliputi slikat deterjen aktif dan air yang digunakan sebagai
cairan dalam aglomerasi.

Blok diagram aglomerasi

3) Dry Mixing
Material kering (dry material) yang digunakan untuk membuat
deterjen bubuk ditimbang dan selanjutnya dimasukkan kedalam mixer,
pencampuran dilanjutkan selama 1-2 menit dan ditambahkan slurry selama
3-4 menit.

Proses dry mixing

Setelah semua slurry dimasukkan kedalam mixer, pencampuran


dilanjutkan selama 1-2 menit agar menjadi homogen. Sebagian besar dari
bubuk  yang terbentuk dapat dikemas dengan segera setelah selesai atau
setelah 30 menit penyimpanan.

2.1.7 Daya Pembersih Detergen


Deterjen merupakan sediaan pembersih yang terdiri dari zat aktif 
permukaan (surfaktan), bahan pengisi, pemutih, pewangi (bahan pembantu),
bahan penimbul busa, dan optikal brightener (bahan tambahan yang membuat
pakaian lebih cemerlang). Surfaktan merupakan bahan utama deterjen. Pada
deterjen ini, jenis muatan yang dibawa surfaktan adalah anionik. Kadang
ditambahkan surfaktan kationik sebagai bakterisida (pembunuh bakteri). Fungsi
surfaktan anionik adalah sebagai zat pembasah yang akan menyusup ke dalam
ikatan antara kotoran dan serat kain. Hal ini akan membuat kotoran menggulung,
lama kelamaan menjadi besar, kemudian lepas ke dalam air cucian dalam bentuk 
butiran. Agar butiran ini tidak pecah kembali dan menempel di kain, perlu
ditambahkan jenis surfaktan lain yang akan membungkus butiran tersebut dan
membuatnya tolak menolak dengan air, sehingga posisinya mengambang. Ini
untuk memudahkannya terbuang bersama air cucian.
Pada umumnya kotoran yang dapat dihilangkan surfaktan adalah yang
berasal dari debu atau tanah. Bila kotoran lebih berat seperti noda makanan dan
noda darah, perlu ditambahkan enzim tertentu seperti enzim pengurai protein atau
lemak. Namun, jika nodanya sudah lama, akan sukar sekali dihilangkan karena
antara noda dan serat kain dapat terjadi reaksi polimerisasi yang menyatukan noda
dengan kain.
Selain itu, daya pembersih deterjen juga tergantung pada bahan pengisi.
Bahan pengisi ini berfungsi menetralisir kesadahan air atau melunakkan air,
mencegah menempelnya kembali kotoran pada bahan yang dicuci dan mencegah
terbentuknya gumpalan dalam air cucian. Tetapi jika air terlalu sadah, seperti yang
terdapat di beberapa tempat di Jakarta, maka daya pembersih deterjen apa pun
tidak akan optimal.
Kemampuan daya pembersih deterjen ini dapat ditingkatkan jika cucian
dipanaskan karena daya kerja enzim dan pemutih akan efektif. Tetapi, mencuci
dengan air panas akan menyebabkan warna pakaian memudar. Jadi untuk pakaian
berwarna, sebaiknya jangan menggunakan air hangat/panas. Sedangkan hubungan
antara daya pembersih deterjen dengan bahan penimbul busa sama sekali tidak 
signifikan. Busa dengan luas permukaannya yang besar memang bisa menyerap
kotoran debu, tetapi dengan adanya surfaktan, pembersihan sudah dapat dilakukan
tanpa perlu adanya busa. Jadi, opini yang sengaja dibentuk bahwa busa yang
melimpah menunjukkan daya kerja deterjen adalah menyesatkan.

2.1.8 Dampak Detergen Terhadap Manusia Dan Lingkungan


Bahan kimia yang merupakan bahan deterjen ada yang termasuk keras dan
ada pula yang termasuk lunak. Keras-lunaknya deterjen tergandung pada kadar pH
(tingkat keasaman atau kebasaan) jenis zat-zat kimia di dalam deterjen, terutama
dari bentuk rantai kimia dan jenis gugus fungsi surfaktan. Dari kadar pH deterjen
yang sangat basa (9,5-12), diketahui bahwa deterjen memang bersifat korosif. Hal
ini dapat mengakibatkan iritasi pada kulit. Sementara pada susunan rantai kimia
surfaktan terdapat formulasi bahwa semakin panjang dan bercabang rantai
surfaktan, akan semakin keras deterjen tersebut. Sedangkan dari jenis gugus
fungsinya, maka gugus fungsi sulfonat bersifat lebih keras dibandingkan gugus
fungsi karboksilat.
Deterjen yang keras dapat menimbulkan masalah pada kulit. Dari hasil
survei YLKI, dapat diketahui keluhan yang biasanya dirasakan konsumen yaitu
kulit terasa kering, melepuh dan retak-retak, kulit tangan gampang mengelupas,
hingga timbulnya eksim kulit semacam bintik-bintik gatal berair di telapak tangan
maupun kaki. Untuk mengatasi itu, sebaiknya konsumen menghindari kontak 
langsung kulit dengan deterjen. Kalaupun sudah terlanjur kontak, maka tangan/ 
kaki yang terkena harus cepat dibilas air bersih dan dikeringkan. Selain itu,
konsumen juga dapat memilih deterjen lunak, seperti deterjen cair. Bahan deterjen
cair ini kurang menimbulkan iritasi karena rantai surfaktan-nya lebih pendek dari
deterjen bubuk, tetapi daya pembersih deterjen cair ini lebih rendah dari deterjen
bubuk.
Dua bahan terpenting dari pembentuk deterjen yakni surfaktan dan
builders, diidentifikasi mempunyai pengaruh langsung dan tidak langsung
terhadap manusia dan lingkungannya. Surfaktan dapat menyebabkan permukaan
kulit kasar, hilangnya kelembaban alami yang ada pada permukan kulit dan
meningkatkan permeabilitas permukaan luar. Ada dua ukuran yang digunakan
untuk melihat sejauh mana produk kimia aman di lingkungan yaitu daya racun
(toksisitas) dan daya urai (biodegradable).
Builders, salah satu yang paling banyak dimanfaatkan di dalam deterjen
adalah phosphate. Phosphate memegang peranan penting dalam produk deterjen,
sebagai softener  air. Bahan ini mampu menurunkan kesadahan air dengan cara
mengikat ion kalsium dan magnesium. Berkat aksi softenernya, efektivitas dari
daya cuci deterjen meningkat. Phosphate yang biasa dijumpai pada umumnya
berbentuk  Sodium Tri Poly Phosphate (STPP). Phosphate tidak memiliki daya
racun, bahkan sebaliknya merupakan salah satu nutrisi penting yang dibutuhkan
mahluk hidup. Tetapi dalam jumlah yang terlalu banyak, phosphate dapat
menyebabkan pengkayaan unsur hara (eutrofikasi) yang berlebihan di badan air,
sehingga badan air kekurangan oksigen akibat dari pertumbuhan algae
( phytoplankton) yang berlebihan yang merupakan makanan bakteri. Populasi
bakteri yang berlebihan akan menggunakan oksigen yang terdapat dalam air
sampai suatu saat terjadi kekurangan oksigen di badan air dan pada akhirnya
justru membahayakan kehidupan mahluk air dan sekitarnya. Di beberapa negara,
penggunaan phosphate dalam deterjen telah dilarang. Sebagai alternatif, telah
dikembangkan penggunaan zeolite dan citrate sebagai builder dalam deterjen.

2.2 Sabun
2.2.1 Sejarah Sabun
2.2.2

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai