Anda di halaman 1dari 14

Detergen adalah campuran berbagai bahan, yang digunakan untuk membantu

pembersihan dan terbuat dari bahan-bahan turunan minyak bumi. Dibanding dengan sabun,
deterjen mempunyai keunggulan antara lain mempunyai daya cuci yang lebih baik serta tidak
terpengaruh oleh kesadahan air. Detergen merupakan garam Natrium dari asam sulfonat
(Ratna dkk, 2010).
Detergen sintentik mempunyai sifat-sifat mencuci yang baik dan tidak membentuk
garam-garam tidak larut dengan ion-ion kalsium dari magnesium yang biasa terdapat dalam
air sadah. Detergen sintetik mempunyai keuntungan tambahan karena secara relatif bersifat
asam kuat, oleh karena itu tidak menghasilkan endapan sebagai asam-asam yang mengendap
suatu karakteristik yang tidak nampak pada sabun (Lutfi, 2010). Produksi detergen sintetik
(kadang-kadang disebut syndet) di dunia sekarang melebihi produksi sabun biasa. Pertama
karena merupakan garam dari asam lemah, sabun menghasilkan larutan yang agak basa
dalam air ini karena hidrolisis parsial dari garam natrium (Hart, 2003)
Limbah domestik kerapkali mengandung sabun dan detergen. Keduanya merupakan
sumber potensial bagi bahan pencemar organik. Sabun adalah senyawa garan dari asam-asam
lemak tinggi, seperti natrium stearat, C17H35COO-Na+. Aksi pencucian dari detergen banyak
dihasilkan dari kekuatan pengemulsian dan kemampuan menurunkan tegangan permukaan
dari air. Konsep ini dapat dipahami dengan mengingat kedua sifat dari ion sabun. Suatu
gambaran dari stearat terdiri dari ion karboksil sebagai kepala dengan hidrokarbon yang
panjang sebagai ekor. Dengan adanya minyak, lemak dan bahan organik tidak larut dalam
air lainnya, kecenderungan untuk ekor dari anion melarut dalam bahan organik, sedangkan
bagian kepala tetap tinggal dalam larutan air (Lutfi, 2010)
Pada proses pembentukan emulsi, bagian hidrofob molekul sabun masuk ke dalam
lemak, sedangkan ujung yang bermuatan negatif ada pada bagian luar. Oleh karena adanya
gayatolak muatan listrik negatif ini maka kotoran akan terpecah menjadi partikel-partikel

kecil dan membentuk emulsi. Dengan demikian kotoran mudah terlepas dari kain maupaun
benda lain (Poedjiadi, 2007).
Kandungan Detergen
1.

Surfaktan
Senyawa aktif permukaan (surface active agent atau surfaktan) adalah suatu senyawa

yang telah diketahui dapat menjadi penstabil emulsi. Surfaktan memiliki dua gugus molekul
yang berbeda kepolarannya. Satu jenis hidrofilik (suka air) sedangkan gugus yang lainnya
lipofilik (suka lemak) (Mulia dkk, 2008).
Komponen utama detergen adalah surfaktan, baik yang bersifat kationik, anionik,
maupun non ionik. surfaktan merupakan zat aktif permukaan yang termasuk bahan kimia
organik. ia memiliki rantai kimia yang sulit diuraikan alam. sesuai namanya, surfaktan
bekerja dengan menurunkan tegangan air untuk mengangkat kotoran yang menempel pada
pakaian atau cucian piring. Bahan aktif permukaan tersebut bereaksi menjadikan air menjadi
basah (wetter) dan sebagai bahan pencuci yang lebih baik. Surfaktan terkonsentrasi pada
batas permukaan antara air dengan gas (udara), padatan-padatan (debu) dan cairan-cairan
yang tidak dapat bercampur (minyak). Hal ini terjadi karena struktur Amphiphilic yang
berarti bagian yang satu dari molekul adalah suatu yang bersifat polar atau gugus ionik
(sebagai kepala) dengan afinitas yang kuat untuk air dan bagian lainnya suatu hidrokarbon
(sebagai ekor) yang tidak suka air (Lutfi, 2009).
Asam sulfonik yang digunakan dalam pembuatan detergen merupakan molekul
berantai panjang yang mengandungi 12 hingga 18 atom karbon per molekul. Senyawa
tersebut merupakan suatu surfaktan alkil sulfat, suatu jenis yang banyak digunakan untuk
berbagai keperluan seperti shampo, kosmetik, pembersih, dan loundry. Sampai tahun 1960an sufaktan yang paling umum digunakan adalah alkil benzen sulfonat (ABS). Secara garis
besar, terdapat empat katagori surfaktan yaitu :

a. Anionik: misalnya ABS, Linear |Alkil Benzene Sulfunat (LAS), Alpha Olein Sulfunat (AUS)
b. Katonik : Garam Ammonium
c. Non ionik : Nonli Phenol Polietoksil
d. Amfoter : Asil Etilena
Menurut struktur kimia, molekul surfaktan dibedakan menjadi dua yaitu rantai
bercabang (alkil benzen sulfanat atau ABS) dan rantai lurus (Linear alkil sulfanat atau ALS.
Sifat deterjen ABS merupakan jenis surfaktan yang ditemukan dan digunakan secara luas
sebagai bahan pembersih yag berasal dari minyak bumi. Jenis ini mempunyai sifat yang tidak
diuraikan oleh bahan-bahan alami seperti mikroganisme, matahari dan air.
LAS adalah surfaktan dalam deterjen yang bersifat toksik terhadap organisme aquatik
(Budiawan dkk, 2009). Banyaknya percabangan ABS ini menyebabkan kadar residu ABS
sebagai penyebabnya terjadi pencemaran air. Sedangkan untuk deterjen LAS merupakan jenis
surfaktan yang lebih murah diuraikan oleh bakteri. Deterjen LAS mempunyai kemampuan
berbusa 10-30% bahan organic aktif. LAS juga dapat menghilangkan busa yang dapat hilang
secara berangsur-angsur sehingga tidak menggangu lingkungan. Akan tetapi bahan poliposfat
dalam deterjen menghasilkan limbah yang mengandung fosfor sehingga menyebabkan
eutrofikasi (www.Muthadi 71 words proxs.com).
Buildier (Pembetuk)
Builder (Pembentuk) berfungsi meningkatkan efisiensi pencuci surfaktan degan cara
menon-aktifkan mineral penyebabkan kesadahan air. Senyawa pembentuk tersebut adalah:
a. Garam-garam fosfat seperti : natrium tripolipfosfat
b. Senyawa-senyawa asetat seperti: Nitril triasetat (NTA), etilena Diamina Tetraasetat (EDTA)
c. Silikat sepeti : Zeolth
d. senyawa-senyawa sitrat seperti : asam sitrat
3. Filler (Bahan Pengisi)

Filler (Bahan Pengisi) adalah bahan tambahan detergen yang tidak meningkatkan
daya cuci, tetapi menambah kuantitas. Contoh : Natrium Sulfat.
4. Additives (Bahan Tambahan)
Additives adalah bahan tambahan untuk pembuatan produk lebih menarik, misalnya
pewangi, pelarut, pemutih, pewarna, tidak berhubungan langsung dengan daya cuci detergen.
Additives ditambahkan lagi untuk komersialkan produk. Contoh : Enzim, Boraks, Natrium
Klorida, karboksi Methil selulosa (CMC)

2.2.2 Bahaya Detergen


Sampah dan buangan-buangan kotoran dari rumah tangga, pertanian dan
pabrik/industri dapat mengurangi kadar oksigen dalam air yang dibutuhkan oleh kehidupan
dalam air. Di bawah pengaruh bakteri anaerob senyawa organik akan terurai dan
menghasilkan gas-gas NH3 dan H2S dengan bau busuknya. Penguraian senyawa-senyawa
organik juga akan menghasilkan gas-gas beracun dan bakteri-bakteri patogen yang akan
mengganggu kesehatan air.
Detergen tidak dapat diuraikan oleh organisme lain kecuali oleh ganggang hijau dan
sisa detergen yang tidak terurai oleh gangganf hijau tersebut akan menimbulkan pencemaran
air. Senyawa-senyawa organik seperti pestisida (DDT, dikhloro difenol trikhlor metana), juga
merupakan bahan pencemar air. Sisa-sisa penggunaan pestisida yang berlebihan akan terbawa
aliran air pertanian dan akan masuk ke dalam rantai makanan dan masuk dalam jaringan
tubuh makhluk yang memakan makanan itu.
Sulfaktan dapat menyebabkan permukaan kulit kasar, hilangnya kelembapan alami
yang ada pada permukaan kulit dan meningkatkan permeabilitas permukaan luar. Hasil
pengujian memperlihatkan bahwa kulit manusia hanya mampu memiliki toleransi kontak
dengan bahan kimia dengan kandungan 1% LAS dan AOS dengan akibat iritasi sedang pada

kulit. Sulfaktan bersifat toksik jika tertelan. Sisa bahan sulfaktan yang terdapat dalam
detergen dapat membentuk kloro benzena pada proses klorinasi pengolahan air minum
PDAM. Klorobenzena merupakan senyawa kimia yang bersifat racun dan berbahaya bagi
kesehatan. Kandungan detergen yang cukup tinggi dalam air dapat menyebabkan
pengurangan kadar oksigen (Dewi, 2010)
Sebenarnya kita tidak mengetahui bahwa Deterjen dapat merusak lingkungan. Salah
satunya adalah terjadinya proses eutrofikasi diperairan ini terjadi karena Deterjen dengan
menggunakan kandungan fosfor makin marak digunakan dalam kalangan masyrakat.
Akibatnya banyak sungai-sungai di kota besar terjadinya peledakan enceng gondok.
Terjadilah pendangkalan sungai, pertanda kematian bagi kehidupan penghuni sungai. Untuk
memecahkan masalah ini, saat ini telah dikembangkan deterjen-deterjen dengan kandungan
fosfor yang rendah.

2.2.3

Jenis-jenis Detergen
Menurut kandungan gugus aktif maka deterjen diklasifikasikan sebagai berikut :

1.

Deterjen Keras
Deterjen jenis keras sukar dirusak mikroganisme meskipun bahan tersebut dibuang

akibat zat tersebut masih aktif www. sinarharapan .co.id)


2.

Deterjen lunak
Deterjen jenis lunak bahan penurunan tegangan permukaan mudah dirusak oleh
mikroganisme sehingga tidak aktif lagi bila dipakai (www. sinarharapan .co.id)
Sedangkan detergen menurut keperluannya dibedakan atas :
1.

Detergen dalam bentuk serbuk


Detergen ini biasanya mempunyai kadar air rendah

2.

Detergen dalam bentuk padat/batangan

Seperti halnya detergen bubuk detergen ini juga mempunyai kadar air rendah.
3.

Detergen dalam bentuk krim


Detergen ini mempunyai kadar air tinggi namun biasanya detergen ini relatif lebih

murah daripada detergen bubuk dan padatan. Detergen ini juga merupakan bahan pembersih
untuk produk shampoo dan pasta gigi.

2.3

Analisis dengan Metode Ekstraksi dan Spektrofotometri (Spektrofotometer UV-

Vis)
Spektroskopi yaitu pengukuran intensitas absorbansi dalam daerah spektra tertentu,
dapat digunakan secara luas, terutama jika suatu zat dalam campuran reaksi mempunyai
absorbansi khas yang kuat dalam daerah spektrum yang dapat dicapai dengan mudah (Atkins,
1996).
Pengukuran absorbansi atau transmitasi dalam spektrofotometri inframerah dan
daerah tampak digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif spesies kimia. Absorbansi
spesies ini berlangsung dalam dua tahap, yang pertama yaitu M + hv = M*, merupakan
eksitasi spesies akibat absorbsi foton (hv) dengan waktu hidup terbatas (10-8 10-9 detik).
Tahap kedua adalah relaksasi dengan berubahnya M* menjadi spesies baru dengan reaksi
fitokimia (Khopkar, 2002). Sinar ultraviolet dan sinar tampak memberikan energi yang cukup
untuk terjadinya transisi elektronik. Dengan demikian spektra ultraviolet dan spektra tampak
dikatakan sebagai spektra elektronik. Keadaan energi yang paling rendah disebut dengan
keadaan dasar (ground state). Transisi-transisi elektronik akan meningkatkan energi
molekuler dari keadaan dasar ke satu atau lebih tingkat energi tereksitasi (Rohman, 2009).
Puncak absorbansi (maks) dapat dihubungkan dengan jenis ikatan-ikatan yang ada dalam
spesies. Spekroskopi absorbsi berguna untuk mengkarakterisasikan gugus fungsi dalam suatu
molekul dan untuk analisis kuantitatif (Khopkar,2002).

Ada tiga macam proses penyerapan energi ultraviolet dan sinar tampak yaitu: (1)
penyerapan oleh transisi elektron dan elektron anti ikatan, (2) penyerapan oleh transisi
elektron d dan f pada molekul tertentu, (3) penyerapan oleh perpindahan muatan (Rohman,
2009).
Ekstraksi pelarut menyangkut distribusi suatu zat terlarut (Solut) diantara dua fase
cair yang tidak saling bercampur. Secara umum ekstraksi ialah proses penarikan suatu zat
terlarut dari larutannya didalam air oleh suatu pelarut dari larutannya yang tidak dapat
bercampur dengan air. Tujuan ekstraksi ialah memisahkan suatu komponen dan campurannya
dengan menggunakan pelarut (Soebagio, 2003). Ekstraksi cair-cair ditentukan oleh distribusi
Nerst atau hukum partisi yang menyatakan pada konsentrasi dan tekanan yang konstan,
analit akan terdistribusi dalam proporsi yang selalu sama diantara dua pelarut yang tidak
saling bercampur. Perbandingan konsentrasi pada keadaan seimbang dalam dua fasa disebut
dengan koefisien distribusi atau koefisien partisi (Rohman, 2007)
Analisis kadar kandungan surfaktan anionik pada detergen yang terdapat dalam
air detergen dapat dilakukan dengan menggunakan metode spektrofotometri.
Pereaksi yang digunakan untuk analisis sulfaktan anionik secara spektrofotometri
adalah metilen biru atau malasit hijau. Metilen biru dan malasit hijaun
merupakan senyawa organik hidrofob dan mempunyai gugus amonium
kwarterner yang memungkinkan lebih selektif dan kuantitatif untuk membentuk
suatu asosiasi ion dengan sulfaktan yang mempunyai hidrokarbon yang panjang,
karena semakin panjang rantai hidrokarbon suatu senyawa, makin hidrofob
senyawa tersebut dan semakin kuat tambatannya dengan ion lawan yang
mempunyai hidrofobilitas yang besar. Sehingga memungkunkan sulfaktan
anionik akan memiliki selektifitas yang tinggi dengan menggunakan
pengompleks malasit hijau membentuk suatu asosiasi ion. Reaksi yang terjadi
antara sulfaktan dan metilen biru atau malasit hijau merupakan reaksi pasangan
ion yang terjadi akibat gaya elektrostatis antara ion logam dengan counter ion
(ion lawan). Reaksi asosiasi ion dalam proses ekstraksi pelarut berdasarkan pada
interaksi elektrostatis antara komponen penyusunnya dan sifat hidrofobik
kompleks asosiasi ion. Semakin besar gaya elektrostatis antara komponenkomponen penyusun kompleks asosiasi ion semakin dekat jaraknya dan
kompleks asosiasi ion yang terbentuk semakin kuat. Kompleks asosiasi ion cukup
stabil dalam pelarut kurang polar. Jika berada dalam pelarut polar seperti air,
komponen penyusun dari kompleks pasangan ion berada dalam bentuk ionik dan
ion lawan dan tidak dapat dideteksi sebagai satu kasatuan. Kompleks pasangan

ion akan terjadi apabila senyawa ionik dan ion lawan berada dalam pelarut
organik dengan adanya gaya elektrostatik (Dewi, 2010)

Prinsip dari prosedur analisis ini adalah Surfaktan anionik bereaksi dengan warna biru
metilen membentuk pasangan ion baru yang terlarut dalam pelarut organik, Intensitas warna
biru yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 652 nm.
Serapan yang terukur setara dengan kadar surfaktan anionik.

Tabel 2.1 Warna Sinar yang diserap dan Kompleksnya dari Sinar Tampak.
Panjang
Bilangan
Warna yang
Warna yang
Gelombang Sinar Gelombang Sinar
diserap
diteruskan (Warna
yang diserap
yang diserap
Komplementer)
()
(cm-1)
4.000 4.350
25.000 22.990 Ungu
Kuning kehijauan
4.350 4.800
22.990 20.830 Biru
Kuning
4.800 4.900
20.830 20.410 Biru kehijauan
Oranye
4.900 5.000
20.410 20.000 Hijau kebiruan
Merah
5.000 5.600
20.000 17.800 Hijau
Ungu tua (purple)
5.600 5.800
17.800 17.240 Hijau kekuningan Ungu
5.800 5.950
17.240 16.810 Kuning
Biru
5.950 6.050
16.810 16.530 Oranye
Biru kehijauan
6.050 7.500
16.530 13.320 Merah
Hijau kebiruan
(Sumber: Sukardjo, 1999)
Atkins, P.W. 1996. Kimia Fisika Jilid I. Terjemahan Irma.I. Kertajasa. Jakarta: Erlangga
Budiawan., Fatisa, Y., Khairani, N. 2009. Optimasi Biodegradabilitas Dan Uji Toksisitas Hasil
Degradasi Surfaktan Linier Alkilbenzena Sulfonat (LAS) Sebagai Bahan Deterjen Pembersih.
Jurnal makara sains vol.13 no.2 November 2009: 125-133
Dewi, D.C. 2010. Diktat Praktikum Pemisahan Kimia. Malang: Laboratorium Kimia Universitas Islam
Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang
Khopkar, S.M. 2002. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Lutfi, A. 2009. www. Chem-is-Try.org. Sabun dan Detergen. Diakses pada 27 Februari 2009

Mulia, K., Krisanti, E., Mulyasmi., Fariz. 2008. Pengaruh Surfaktan Campuran pada Pembentukan
Emulsi untuk Ekstraksi Merkuri (II) dengan Membran Cair Emulsi (MCE). Departemen
Teknik Gas dan Petrokimia Fakultas Teknik Universitas Indonesia
Poedjiaji, A., Supriyanti, F.M.T. 2007. Dasar-dasar Biokimia Edisi Revisi. Jakarta: Universitas Indonesia
(UI) Press
Ratna, dkk, 2009. www.Cem-is-Try.org. Definisi Detergen. Diakses pada 24 Januari 2010
Rohman, A. 2009. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: PT. Pustaka Pelajar
Soebagio. 2003. Kimia Analitik I. Malang: JICA Universitas Negeri Malang

Air limbah merupakan air buangan dari masyarakat hasil sisa dari berbagai aktifitas manusia.
Kandungan zat kimia dalam air limbah perlu diketahui sebagai langkah awal untuk
menentukan perlakuan yang tepat terhadap air limbah tersebut. Selain itu, hal ini juga
dilakukan untuk mengetahui tingkat pencemaran yang terjadi. Adanya bahan-bahan organik
dalam suatu air limbah dapat mempengaruhi kehidupan dari makhluk hidup tertentu seperti
ikan, serangga dan organisme lain yang sangat bergantung pada oksigen (Hindarko,2003).
Salah satu contoh air limbah adalah deterjen. Deterjen merupakan bahan pembersih yang
umum digunakan oleh usaha industri ataupun rumah tangga. Produksi deterjen terus
meningkat setiap tahunnya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan bahan pembersih
(Connel dan Miller,1995). Deterjen merupakan gabungan dari berbagai senyawa dimana
komponen utama dari gabungan tersebut adalah surface active agents atau surfaktan.
Surfaktan deterjen yang paling sering digunakan adalah LAS atau Linier Alkilbenzen
Sulfonat (Supriyono dkk., 1998). LAS adalah sebuah alkil aril sulfonat yang mempunyai
struktur rantai lurus tanpa cabang, sebuah cincin benzen dan sebuah sulfonat. LAS
merupakan konversi dari Aliklbenzen sulfonat atau ABS, dimana LAS lebih mudah
terdegradasi dalam air dan merupakan deterjen lunak (Hirsch, 1963 dalam Abel, 1974).
Limbah deterjen merupakan salah satu pencemar yang bisa membahayakan kehidupan
organisme di perairan karena menyebabkan suplai oksigen dari udara sangat lambat akibat
busanya yang menutupi permukaan air (Connel dan Miller,1995).
Pengaruh deterjen terhadap lingkungan dapat diketahui dengan menganalisis
kadar surfaktan anion atau deterjen pada sampel beberapa limbah dengan
metode MBAS (Methylen Blue Active Surfactant) yakni menambahkan zat
metilen biru yang akan berikatan dengan surfaktan dan dianalisis dengan

spektrofotometer UV-Vis. Konsentrasi yang terbaca adalah kadar surfaktan anion


pada sampel limbah yang berikatan dengan metilen biru.

2.3 Surfaktan Anion (Deterjen)


Surfaktan-zat aktif permukaan atau tensides adalah zat yang menyebabkan turunnya
tegangan permukaan cairan, khususnya air. Ini menyebabkan pembentukan gelembung dan
pengaruh permukaan lainnya yang memungkinkan zat-zat ini bertindak sebagai zat pembersih
atau penghambur dalam industri dan untuk tujuan rumah tangga (Connell, 1995).
Surfaktan atau surface active agent atau wetting agent merupakan bahan organik yang
berperan sebagai bahan aktif pada deterjen, sabun dan shampoo. Surfaktan dapat menurunkan
tegangan permukaan sehingga memungkinkan partikel-partikel yang menempel pada bahanbahan yang dicuci terlepas dan mengapung atau terlarut dalam air (Effendi, 2003).
Surfaktan dikelompokkan menjadi empat, yaitu surfaktan anion, surfaktan kationik, surfaktan
nonionik dan surfaktan amphoteric (zwitterionic) (Effendi, 2003).
Untuk keperluan rumah tangga digunakan kelompok surfaktan anion (deterjen). Telah dikenal
dua macam deterjen anion, yakni alkil sulfonat linear dan alkil benzene sulfonat
(Sastrawijaya, 1991).
Bentuk deterjen merupakan salah satu jenis bahan pembersih yang digunakan untuk
mengurangi kotoran dari pakaian, piring, dan barang lainnya (Sawyer, 1967).
2.3.1 Deterjen Sintetis
Setelah Perang Dunia II, dikembangkan deterjen sintetis. Seperti sabun, deterjen adalah
surfaktan anion-garam dari sulfonat atau sulfat berantai panjang dari natrium (RSO3Na+ dan
ROSO3Na+). Deterjen sintetis mempunyai keunggulan dalam hal tidak mengendap bersama
ion logam dalam air sadah (Fessenden, 1986).
Unsur kunci dari deterjen adalah bahan surfaktan atau bahan aktif permukaan, yang beraksi
dalam menjadikan air menjadi lebih basah (wetter) dan sebagai bahan pencuci yang lebih
baik (Achmad, 2004).
Salah satu deterjen sintetis yang digunakan adalah p-alkilbenzenasulfonat (ABS) dengan
gugus alkil yang sangat bercabang. Bagian alkil senyawa ini disintesis dengan polimerisasi
propilena dan dilekatkan pada cincin benzene dengan reaksi alkilasi Friedel-Craft. Sulfonasi
yang disusul dengan pengolahan basa, menghasilkan deterjen itu (Fessenden, 1986).
Rumus bangun Alkil Benzena Sulfonat (ABS)

Gambar 2.1 reaksi pembentukan ABS


ABS sangat tidak menguntungkan karena ternyata sangat lambat terurai oleh bakteri pengurai
disebabkan adanya rantai bercabang pada strukturnya. Dengan tidak terurainya secara biologi
deterjen ABS, lambat laun perairan yang terkontaminasi oleh ABS akan dipenuhi oleh busa
(Achmad, 2004). Deterjen ini lolos lewat instalasi pengolahan limbah tanpa berubah,
sehingga menyebabkan sungai berbusa-busa dan dalam beberapa hal, bahkan menyebabkan
air PAM berbusa. Pada tahun 1965, industri mengubahnya menjadi deterjen yang
biodegradable, seperti senyawa Alkil Linear Sulfonat (LAS) dengan rantai menerus sebagai
ganti rantai bercabang (Fessenden, 1986). Secara sederhana, digambarkan seperti ini:
Gambar 2.2 Struktur LAS
Sejak LAS menggantikan penggunaan ABS dalam deterjen, masalah-masalah yang timbul
seperti penutupan permukaan air oleh gumpalan busa dapat dihilangkan dan toksisitasnya
terhadap ikan di perairan telah banyak dikurangi (Achmad, 2004).
Pada umumnya, deterjen mengandung bahan-bahan berikut :
a. Surfaktan (Surface active agent)
Zat aktif permukaan mempunyai ujung berbeda yaitu hydrophile (suka air) dan hydrophobe
(suka lemak). Bahan aktif ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan air sehingga dapat
melepaskan kotoran yang menempel pada permukaan bahan. Berupa anion (Alkyl Benzene
Sulfonate/ABS, Linier Alkyl Benzene Sulfonate/LAS, Alpha Olein Sulfonate/AOS), kationik
(Garam Ammonium), Nonionik (Nonyl Phenol Polyethoxyle), Amfoterik (Acyl
Ethylenediamines).
b. Builder (Pembentuk)
Zat yang berfungsi meningkatkan efisiensi pencuci dari surfaktan dengan cara menonaktifkan mineral penyebab kesadahan air. Berupa phosphates (Sodium Tri Poly
Phosphate/STTP). Asetat (Nitril Tri Acetate/NTA, Ethylene Diamine Tertra Acetate/EDTA)
dan Sitrat (asam sitrat).
c. Filler (Pengisi)
Bahan tambahan deterjen yang tidak mempunyai kemampuan meningkatkan daya cuci, tetapi
menambah kuantitas atau dapat memadatkan dan memantapkan sehingga dapat menurunkan
harga. Contoh: Sodium sulfate.
d. Additivies (Zat Tambahan)
Bahan suplemen/tambahan untuk membuat produk lebih menarik, misalnya pewangi, pelarut,
pemutih, pewarna dan sebagainya yang tidak berhubungan langsung dengan daya cuci

deterjen. Additivies ditambahkan untuk maksud komersialisasi produk. Contoh : Enzyme,


Borax, Sodium chloride, Carboxy Methyl Cellulose (CMC) dipakai agar kotoran yang telah
dibawa oleh deterjen ke dalam larutan tidak kembali ke bahan cucian pada waktu mencuci.
Wangi-wangian atau parfum dipakai agar cucian berbau harum, sedangkan air sebagai bahan
pelarut (Admin, 2010).
Toksisitas Deterjen
Kemampuan deterjen untuk menghilangkan berbagai kotoran yang menempel pada kain atau
objek lain, mengurangi keberadaan kuman dan bakteri yang menyebabkan infeksi. Tanpa
mengurangi makna manfaat deterjen dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, harus diakui
bahwa bahan kimia yang digunakan pada deterjen dapat menimbulkan dampak negatif baik
terhadap kesehatan maupun lingkungan. Dua bahan terpenting dari pembentuk deterjen yakni
surfaktan dan builders, diidentifikasi mempunyai pengaruh langsung dan tidak langsung
terhadap manusia dan lingkungannya (Admin, 2010).
Kadar surfaktan 1 mg/liter dapat mengakibatkan terbentuknya busa diperairan. Meskipun
tidak bersifat toksik, keberadaan surfaktan dapat menimbulkan rasa pada air dan dapat
menurunkan absorpsi oksigen di perairan (Effendi, 2003).
Pengaruh lingkungan yang paling jelas adalah adanya busa pada aliran sungai. Hynes dan
Roberts (1962), dalam studi aliran sungai di Inggris yang menerima limbah air mengandung
surfaktan (2-4 ppm) tidak dapat mendeteksi perubahan apa pun dalam struktur komunitas
biota air karena surfaktan (Connell, 1995).
Deterjen keras berbahaya bagi ikan biarpun konsentrasinya kecil, misalnya natrium dodesil
benzene sulfonat dapat merusak insang ikan, biarpun hanya 5 ppm. Tanaman air juga dapat
menderita jika kadar deterjen tinggi. Kemampuan fotosintetis dapat terhenti (Sastrawijaya,
1991).
Permasalahan juga ditimbulkan oleh deterjen yang mengandung banyak polifosfat yang
merupakan penyusun deterjen yang masuk ke badan air. Poliposfat dari deterjen ini
diperkirakan memberikan kontribusi sekitar 50 % dari seluruh fosfat yang terdapat diperairan.
Keberadaan fosfat yang berlebihan menstimulir terjadinya eutrofikasi (pengkayaan) perairan
(Effendi, 2003).
2.4 Penentuan Surfaktan dengan Metilen Biru
Metode ini membahas tentang perpindahan metilen biru yaitu larutan kationik dari larutan air
ke dalam larutan organik yang tidak dapat campur dengan air sampai pada titik jenuh
(keseimbangan). Hal ini terjadi melalui formasi (ikatan) pasangan ion antara anion dari
MBAS (methylene blue active substances) dan kation dari metilen biru. Intensitas warna biru
yang dihasilkan dalam fase organik merupakan ukuran dari MBAS (sebanding dengan jumlah
surfaktan). Surfaktan anion adalah salah satu dari zat yang paling penting, alami dan sintetik
yang menunjukkan aktifitas dari metilen biru. Metode MBAS berguna sebagai penentuan

kandungan surfaktan anion dari air dan limbah, tetapi kemungkin adanya bentuk lain dari
MBAS (selain interaksi antara metilen biru dan surfaktan anion) harus selalu diperhatikan.
Metode ini relatif sangat sederhana dan pasti. Inti dari metode MBAS ini ada 3 secara
berurutan yaitu: Ekstraksi metilen biru dengan surfaktan anion dari media larutan air ke
dalam kloroform (CHCl3) kemudian diikuti terpisahnya antara fase air dan organik dan
pengukuran warna biru dalam CHCl3 dengan menggunakan alat spektrofotometri pada
panjang gelombang 652 nm (Franson, 1992). Batas deteksi surfaktan anion menggunakan
pereaksi pengomplek metilen biru sebesar 0,026 mg/L, dengan rata-rata persen perolehan
kembali 92,3% (Rudi dkk., 2004).
2.5 Analisis Spektrofotometri pada Metode MBAS
Spektrometri merupakan metode pengukuran yang didasarkan pada interaksi radiasi
elektromagnetik dengan partikel, dan akibat dari interaksi tersebut menyebabkan energi
diserap atau dipancarkan oleh partikel dan dihubungkan pada konsentrasi analit dalam
larutan. Prinsip dasar dari spektrofotometri UV-Vis adalah ketika molekul mengabsorbsi
radiasi UV atau visible dengan panjang gelombang tertentu, elektron dalam molekul akan
mengalami transisi atau pengeksitasian dari tingkat energi yang lebih rendah ke tingkat energi
yang lebih tinggi dan sifatnya karakteristik pada tiap senyawa. Penyerapan cahaya dari
sumber radiasi oleh
molekul dapat terjadi apabila energi radiasi yang dipancarkan pada atom analit besarnya tepat
sama dengan perbedaan tingkat energi transisi elektronnya (Rudi,2004).
Metilen biru digunakan untuk uji coba bahan pewarna organik. Bahan pewarna organik yang
berwarna biru tua ini, akan menjadi tidak berwarna apabila oksigen pada sampel (air yang
tercemar yang sedang dianalisis) telah habis dipergunakan (Mahida, 1981).
Surfaktan anion bereaksi dengan warna biru metilen membentuk pasangan ion baru yang
terlarut dalam pelarut organik, intensitas warna biru yang terbentuk diukur dengan
spektrofotometer dengan panjang gelombang 652 nm. Serapan yang diukur setara dengan
kadar surfaktan anion (Anonim, 2009).
Abel, P.D., 1974, Toxicity of Synthetic Detergents to Fish aquatic Invertebrates, J.Fish, Biol

Achmad, Rukaesih, 2004, Kimia Lingkungan, Edisi kesatu, ANDI : Yogyakarta


Admin, 2010, Pencemaran Limbah Detergent, Dampak dan Penanganan Limbah Detergent,
platika.blogspot [18 Februari 2012]
Anonim, 2009, Mengetahui Dampak Air Limbah Deterjen Terhadap Organisme Air.
(http://tutorjunior.blogspot.com) [18 Februari 2012]

Connel, D.W.; miller, G.J., 1995, Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran, UI-Press: Jakarta
Effendi, H, 2003, Telaah kualitas Air Bagi pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan, Jurusan MSP Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Bogor
Fessenden, Ralph, 1986, Kimia Organik, edisi ketiga, Wadsworth, Inc., Belmont: California;
a.b. : Pudjaatmaka, A.H., Erlangga : Jakarta
Hindarko, S., 2003, Mengolah Air Limbah Supaya Tidak Mencemari Orang Lain, ESHA,
Jakarta
Justitia, Maya, 2011, Analisis Surfaktan Anionik (Deterjen) Pada Limbah Cair Domestik
Menggunakan Metode MBAS, Skripsi Program Diploma III Analisis Farmasi dan Makanan
Fakultas Farmasi USU, Medan
Kristianto, P., 2002, Ekologi Industri, LPPM, Penerbit ANDI , Yogyakarta
Metcalf, R., Eddy, I., 1979, Wastewater Engineering: Treatment, Disposal and Re-use,
McGraw-Hill Company, New York
Rudi, La, Suratno, W., dan Paundanan, J., 2004, Perbandingan Penentuan Surfaktan Anionik
Dengan Spektrofotometer UV-ST Menggunakan Pengompleks Malasit hijau Dan Metilen
biru, Jurnal Kimia Lingkungan, Vol. 6 No. 1, Surabaya: Universitas Airlangga
Sastrawijaya, A. T., 1991, Pencemaran Lingkungan, Rineka Cipta, Jakarta
Sawyer, C. N., McCarthy, P. L., and Parkin, G. F.,1967, Chemistry for the Environmental
Engineering and Science, McGraw-Hill Company, Singapore
Sugiharto, 1987, Dasar-dasar Pengelolahan Air Limbah, Edisi Pertama, UI Press, Jakarta
Supriyono, E.; Takashima, F.; Strussman, C.A., 1998, Toxicity of LAS to Juvenile Kuruma
Shrimp, Penaeus japonicus : A Histopathological Study On Acute and Subchronic Levels,
Journal of Tokyo University of Fisheries, Japan, Vol. 85- 1-10

Anda mungkin juga menyukai