Anda di halaman 1dari 18

PENCEMARAN AIR AKIBAT PENGGUNAAN

DETERJEN & SABUN CUCI


(surfaktan anionik)

Oleh :
Muhammad Hadi Rachman
1312016022

PROGRAM STUDI PASCA SARJANA ILMU LINGKUNGAN


UNIVERSITAS MULAWARMAN
2013
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Jumlah industri untuk menghasilkan berbagai macam produk dan


memenuhi kebutuhan manusia saat ini semakin tinggi. Selain menghasilkan
produk yang dapat digunakan oleh manusia, kegiatan produksi ini juga
menghasilkan produk lain yang belum begitu banyak dimanfaatkan yaitu limbah.
Seiring dengan peningkatan industri ini, juga akan terjadi peningkatan jumlah
limbah.
Limbah yang dihasilkan dapat memberikan dampak negatif terhadap
sumber daya alam dan lingkungan, seperti gangguan pencemaran alam dan
pengurasan sumber daya alam, yang nantinya dapat menurunkan kualitas
lingkungan antara lain pencemaran tanah, air, dan udara jika limbah tersebut tidak
diolah terlebih dahulu. Bermacam limbah industri yang dapat mencemari
lingkungan antara lain limbah industri tekstil, limbah agroindustri (limbah kelapa
sawit, limbah industri karet remah dan lateks pekat, limbah industri tapioka, dan
limbah pabrik pulp dan kertas), limbah industri farmasi, dan lain-lain. Selain
kegiatan industri, diperkotaan limbah juga dihasilkan oleh hotel, rumah sakit dan
rumah tangga. Bentuk limbah yang dihasilkan oleh komponen kegiatan yang
disebut di atas adalah limbah padat dan limbah cair. Limbah padat dan cair yang
dibuang ke lingkungan langsung dapat menimbulkan keseimbangan alam
terganggu yaitu terjadi pencemaran tanah yang mampu merubah pH tanah,
kandungan mineral berubah dan ganguan nutrisi dari tanah untuk kehidupan
tumbuhan serta sumber air tanah tercemar. Pencemaran air dapat mengganggu
biota air, perubahan BOD, COD serta DO, disamping itu dampak psikologis
akibat dari pencemaran lingkungan yang tidak kalah berbahayanya jika
dibandingkan dengan dampak secara fisik.
Pemakaian bahan pembersih sintesis yang dikenal dengan deterjen makin
marak di masyarakat luas, di dalam deterjen terkandung komponen utamanya,

2|Page
yaitu surfaktan, baik bersifat kationik, anionik maupun non-ionik. Produksi
deterjen di Indonesia rata-rata per tahun sebesar 380 ribu ton. Sedangkan untuk
tingkat konsumsinya, menurut hasil survey yang dilakukan oleh Pusat Audit
Teknologi di wilayah Jabotabek pada tahun 2002, per kapita rata-rata sebesar
8,232 kg. Perkembangan usaha binatu atau laundry yang sebelumnya hanya
dikhususkan bagi masyarakat menengah ke atas, kini mengalami pergeseran
hingga harganya dapat dijangkau semua kalangan masyarakat. Hal ini
menyebabkan limbah deterjen semakin banyak kuantitasnya.
Air limbah detergen termasuk polutan atau zat yang mencemari
lingkungan karena didalamnya terdapat zat yang disebut ABS (alkyl benzene
sulphonate) yang merupakan deterjen tergolong keras. Deterjen tersebut sukar
dirusak oleh mikroorganisme (nonbiodegradable) sehingga dapat menimbulkan
pencemaran lingkungan.
Surfaktan sebagai komponen utama dalam deterjen dan memiliki rantai
kimia yang sulit didegradasi (diuraikan) alam. Pada mulanya surfaktan hanya
digunakan sebagai bahan utama pembuat deterjen. Namun karena terbukti ampuh
membersihkan kotoran, maka banyak digunakan sebagai bahan pencuci lain.
Surfaktan merupakan suatu senyawa aktif penurun tegangan permukaan yang
dapat diproduksi melalui sintesis kimiawi maupun biokimiawi. Sifat aktif
permukaan yang dimiliki surfaktan diantaranya mampu menurunkan tegangan
permukaan, tegangan antarmuka dan meningkatkan kestabilan sistem emulsi. Hal
ini membuat surfaktan banyak digunakan dalam berbagai industri, seperti industri
sabun, deterjen, produk kosmetika dan produk perawatan diri, farmasi, pangan,
cat dan pelapis, kertas, tekstil, pertambangan dan industri perminyakan, dan lain
sebagainya.
Dengan makin luasnya pemakaian deterjen maka risiko bagi kesehatan
manusia maupun kesehatan lingkungan pun makin rentan. Limbah yang
dihasilkan dari deterjen dapat menimbulkan dampak yang merugikan bagi
lingkungan yang selanjutnya akan mengganggu atau mempengaruhi kehidupan.

3|Page
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pencemaran dan Air Limbah


Polusi atau pencemaran adalah suatu keadaan dimana suatu lingkungan
sudah tidak alami lagi karena telah tercemar oleh polutan. Misalnya air sungai
yang tidak tercemar airnya masih murni dan alami, tidak ada zat-zat kimia yang
berbahaya, sedangkan air sungai yang telah tercemar oleh detergen misalnya,
mengandung zat kimia yang berbahaya, baik bagi organisme yang hidup di sungai
tersebut maupun bagi makhluk hidup lain yang tinggal di sekitar sungai tersebut
(Anonimous, 2009). Standar Nasional Indonesia (SNI) mengatakan bahwa air
limbah sisa dari hasil usaha dan atau kegiatan yang berwujud air.
Notoadmojo (2007) mendefinisikan bahwa air buangan / air limbah adalah
air yang tersisa dari kegiatan manusia, baik kegiatan rumah tangga maupun
kegiatan lain seperti industri, perhotelan dan sebagainya. Meskipun merupakan air
sisa, namun volumenya besar, karena lebih kurang 80% dan air yang digunakan
bagi kegiatan – kegiatan manusia sehari – hari tersebut dibuang lagi dalam bentuk
kotor (tercemar). Selanjutnya air limbah ini akhirnya akan mengalir ke sungai dan
akan digunakan oleh manusia lagi. Oleh karena itu, air buangan ini harus dikelola
dan diolah secara baik.

B. Detergen
Deterjen merupakan produk teknologi yang strategis, karena telah menjadi
bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat modern mulai rumah tangga sampai
industri. Di sisi lain, detergen harus memenuhi sejumlah persyaratan seperti
fungsi jangka pendek (short therm function) atau daya kerja cepat, mampu
bereaksi pada suhu rendah, dampak lingkungan yang rendah dan harga yang
terjangkau.
Produksi deterjen Indonesia rata-rata per tahun sebesar 380 ribu ton.
Sedangkan tingkat konsumsinya, menurut hasil survey yang dilakukan oleh Pusat

4|Page
Audit Teknologi di wilayah Jabotabek pada tahun 2002, per kapita rata-rata
sebesar 8,232 kg.
Dibandingkan dengan produk terdahulu, sabun, deterjen mempunyai
keunggulan antara lain mempunyai daya cuci yang lebih baik serta tidak
terpengaruh oleh kesadahan air. Pada umumnya detergen bersifat surfaktan
anionik yang berasal dari derivat minyak nabati atau minyak bumi.
Setelah Perang Dunia II, detergen sintetik mulai dikembangkan dengan
gugus utama surfaktant adalah ABS (Alkyl Benzene Sulfonate) yang sulit di
biodegradabel, maka pada tahun 1965 industri mengubahnya dengan yang
biodegradabel yaitu dengan gugus utama surfaktant LAS (Linier Alkyl Benzene
Sulfonate). Menurut Asosiasi Pengusaha Deterjen Indonesia (APEDI), surfaktan
anionik yang digunakan di Indonesia saat ini adalah alkyl benzene sulfonate rantai
bercabang (ABS) sebesar 40% dan alkyl benzene sulfonate rantai lurus (LAS)
sebesar 60%. Alasan penggunaan ABS antara lain karena harganya murah, stabil
dalam bentuk krim pasta dan busanya melimpah. Dibandingkan dengan LAS,
ABS lebih sukar diuraikan secara alami sehingga pada banyak negara di dunia
penggunaan ABS telah dilarang dan diganti dengan LAS. Sedangkan di Indonesia,
peraturan mengenai larangan penggunaan ABS belum ada. Beberapa alasan masih
digunakannya ABS dalam produk deterjen, antara lain karena harganya murah,
kestabilannya dalam bentuk krim pasta dan busanya melimpah.

Bahan – bahan yang umum terkandung pada deterjen adalah :


1. Surfaktan (surface active agent) merupakan zat aktif permukaan yang mempunyai
ujung berbeda yaitu hydrophile (suka air) dan hydrophobe (suka lemak). Bahan
aktif ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan air sehingga dapat
melepaskan kotoran yang menempel pada permukaan bahan. Surfaktant terbagi
atas jenis anionic (Alkyl Benzene Sulfonate/ABS, Linier Alkyl Benzene
Sulfonate/LAS, Alpha Olein Sulfonate/AOS), sedangkan jenis kedua bersifat
kationik (Garam Ammonium) dan jenis yang ketiga bersifat non ionic (Nonyl
phenol polyethoxyle) serta Amphoterik (Acyl Ethylenediamines).

5|Page
2. Builder (Permbentuk) berfungsi meningkatkan efisiensi pencuci dari surfaktan
dengan cara menonaktifkan mineral penyebab kesadahan air, dapat berupa
Phosphates (Sodium Tri Poly Phosphate/STPP), Asetat (Nitril Tri Acetate/NTA,
Ethylene Diamine Tetra Acetate/EDTA), Silikat (Zeolit), dan Sitrat (asam sitrat).
3. Filler (pengisi) adalah bahan tambahan deterjen yang tidak mempunyai
kemampuan meningkatkan daya cuci, tetapi menambah kuantitas atau dapat
memadatkan dan memantapkan sehingga dapat menurunkan harga, misal Sodium
sulfate
4. Additives adalah bahan suplemen/ tambahan untuk membuat produk lebih
menarik, misalnya pewangi, pelarut, pemutih, pewarna dan sebagainya yang tidak
berhubungan langsung dengan daya cuci deterjen. Additives ditambahkan lebih
untuk maksud komersialisasi produk. Contohnya enzyme, borax, sodium chloride,
Carboxy Methyl Cellulose (CMC) dipakai agar kotoran yang telah dibawa oleh
detergent ke dalam larutan tidak kembali ke bahan cucian pada waktu mencuci
(anti Redeposisi). Wangi – wangian atau parfum dipakai agar cucian berbau
harum, sedangkan air sebagai bahan pengikat.
Menurut kandungan gugus aktifnya detergen diklasifikasikan sebagai
deterjen jenis keras dan jenis lunak. Deterjen jenis keras sukar dirusak oleh
mikroorganisme meskipun bahan deterjen tersebut dibuang akibatnya zat tersebut
masih aktif. Jenis inilah yang menyebabkan pencemaran air. Salah satu contohnya
adalah Alkil Benzena Sulfonat (ABS). Sedangkan detergen jenis lunak, bahan
penurun tegangan permukaannya mudah dirusak oleh mikroorganisme, sehingga
tidak aktif lagi setelah dipakai, misalnya Lauril Sulfat atau Lauril Alkil Sulfonat.
(LAS).
Pada awalnya deterjen dikenal sebagai pembersih pakaian, namun kini
meluas dan ditambahkan dalam berbagai bentuk produk seperti personal cleaning
product (sampo, sabun cuci tangan), laundry sebagai pencuci pakaian merupakan
produk deterjen yang paling populer di masyarakat, dishwashing product sebagai
pencuci alat rumah tangga baik untuk penggunaan manual maupun mesin pencuci
piring, household cleaner sebagai pembersih rumah seperti pembersih lantai,
pembersih bahan-bahan porselen, plastik, metal, gelas.

6|Page
Tabel 1. Banyaknya produksi barang yang mengandung B3 Tahun 2004-2006
Uraian Satuan 2004 2005 2006
Deterjen Kg - - 1.860.770
Deterjen padat untuk keperluan Kg 5.731.000 5.783.071 -
Rumah Tangga
Deterjen bubuk untuk keperluan Ton 227.152 227.191 91.003
Rumah Tangga
Deterjen cream untuk keperluan Ton 240.528 950.295 6.773
Rumah Tangga
Deterjen cair untuk keperluan Ton 30.472 30.472 646
Rumah Tangga
Deterjen lainnya Lusin 7.052.436 4.955.057 -
Sumber : Statistik Lingkungan Hidup, 2009, BPS, 2009

C. Dampak Limbah Deterjen terhadap Kesehatan Manusia dan


Kesehatan Lingkungan
Kemampuan deterjen untuk menghilangkan berbagai kotoran yang
menempel pada kain atau objek lain, mengurangi keberadaan kuman dan bakteri
yang menyebabkan infeksi dan meningkatkan umur pemakaian kain, karpet, alat-
alat rumah tangga dan peralatan rumah lainnya, sudah tidak diragukan lagi. Oleh
karena banyaknya manfaat penggunaan deterjen sehingga menjadi bagian penting
yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat modern.
Tanpa mengurangi makna manfaat deterjen dalam memenuhi kebutuhan
sehari-hari, harus diakui bahwa bahan kimia yang digunakan pada deterjen dapat
menimbulkan dampak negatif baik terhadap kesehatan maupun lingkungan. Dua
bahan terpenting dari pembentuk deterjen yakni surfaktan dan builders,
diidentifikasi mempunyai pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap
manusia dan lingkungannya.
Umumnya deterjen yang digunakan sebagai pencuci pakaian/laundry
merupakan deterjen anionik karena memiliki daya bersih yang tinggi. Pada

7|Page
deterjen anionik sering ditambahkan zat aditif lain (builder) seperti golongan
ammonium kuartener (alkyldimetihylbenzyl-ammonium cloride, diethanolamine/
DEA), chlorinated trisodium phospate (chlorinated TSP) dan beberapa jenis
surfaktan seperti sodium lauryl sulfate (SLS), sodium laureth sulfate (SLES) atau
linear alkyl benzene sulfonate (LAS). Golongan ammonium kuartener ini dapat
membentuk senyawa nitrosamin. Senyawa nitrosamin diketahui bersifat
karsinogenik, dapat menyebabkan kanker.
Senyawa sodium lauryl sulfate (SLS) diketahui menyebabkan iritasi pada
kulit, memperlambat proses penyembuhan dan penyebab katarak pada mata orang
dewasa.
Pembuangan limbah ke sungai/sumber-sumber air tanpa treatment
sebelumnya, mengandung tingkat polutan organik yang tinggi serta
mempengaruhi kesesuaian air sungai untuk digunakan manusia dan merangsang
pertumbuhan alga maupun tanaman air lainnya. Selain itu deterjen dalam badan
air dapat merusak insang dan organ pernafasan ikan yang mengakibatkan toleransi
ikan terhadap badan air yang kandungan oksigennya rendah menjadi menurun.
Ikan membutuhkan air yang mengandung oksigen paling sedikit 5 mg/ liter atau 5
ppm (part per million). Apabila kadar oksigen kurang dari 5 ppm, ikan akan mati,
tetapi bakteri yang kebutuhan oksigen terlarutnya lebih rendah dari 5 ppm akan
berkembang. Apabila sungai menjadi tempat pembuangan limbah yang
mengandung bahan organik, sebagian besar oksigen terlarut digunakan bakteri
aerob untuk mengoksidasi karbon dan nitrogen dalam bahan organik menjadi
karbondioksida dan air. Sehingga kadar oksigen terlarut akan berkurang dengan
cepat dan akibatnya hewan-hewan seperti ikan, udang dan kerang akan mati.
Keberadaan busa-busa di permukaan air juga menjadi salah satu penyebab
kontak udara dan air terbatas sehingga menurunkan oksigen terlarut. Dengan
demikian akan menyebabkan organisme air kekurangan oksigen dan dapat
menyebabkan kematian.
Selain itu pencemaran akibat deterjen mengakibatkan timbulnya bau
busuk. Bau busuk ini berasal dari gas NH3 dan H2S yang merupakan hasil proses
penguraian bahan organik lanjutan oleh bakteri anaerob.

8|Page
Fosfat memegang peranan penting dalam produk deterjen, sebagai softener
air dan Builders. Bahan ini mampu menurunkan kesadahan air dengan cara
mengikat ion kalsium dan magnesium. Berkat aksi softenernya, efektivitas dari
daya cuci deterjen meningkat. Fosfat pada umumnya berbentuk Sodium Tri Poly
Phosphate (STPP). Fosfat tidak memiliki daya racun, bahkan sebaliknya
merupakan salah satu nutrisi penting yang dibutuhkan mahluk hidup. Tetapi
dalam jumlah yang terlalu banyak, fosfat dapat menyebabkan pengkayaan unsur
hara (eutrofikasi) yang berlebihan di badan air sungai/danau, yang ditandai oleh
ledakan pertumbuhan algae dan eceng gondok yang secara tidak langsung dapat
membahayakan biota air dan lingkungan. Di beberapa negara Eropa, penggunaan
fosfat telah dilarang dan diganti dengan senyawa substitusi yang relatif lebih
ramah lingkungan

Penghilangan jumlah fosfat dapat dilakukan dengan adsorpsi sederhana


serta efisiensi penghilangan ion fosfat dengan concentrate menurun dengan
peningkatan suhu, sementara peningkatan suhu pada shell (kerang) cenderung
dapat meningkatkan efisiensi ion fosfat dari 20% menjadi 55%. Oleh karena itu,
penghilangan ion fosfat dengan shell dilakukan pada suhu yang relatif tinggi.
Deterjen sangat berbahaya bagi lingkungan karena dari beberapa kajian
menyebutkan bahwa detergen memiliki kemampuan untuk melarutkan bahan dan
bersifat karsinogen, misalnya 3,4 Benzonpyrene, selain gangguan terhadap
masalah kesehatan, kandungan detergen dalam air minum akan menimbulkan bau
dan rasa tidak enak. Deterjen kationik memiliki sifat racun jika tertelan dalam
tubuh, bila dibanding deterjen jenis lain (anionik ataupun non ionik).
Terdapat dua ukuran yang digunakan untuk melihat sejauh mana produk-
produk kimia (deterjen) aman di lingkungan yaitu daya racun (toksisitas) dan daya
urai (biodegradable). ABS dalam lingkungan mempunyai tingkat biodegradable
sangat rendah, sehingga deterjen ini dikategorikan sebagai ‘non-biodegradable’.
Dalam pengolahan limbah konvensional, ABS tidak dapat terurai, sekitar
50% bahan aktif ABS lolos dari pengolahan dan masuk dalam sistem
pembuangan. Hal ini dapat menimbulkan masalah keracunan pada biota air dan
penurunan kualitas air sehingga pada perkembangannnya digantikan dengan LAS

9|Page
mempunyai karakteristik lebih baik, meskipun belum dapat dikatakan ramah
lingkungan. LAS mempunyai gugus alkil lurus/ tidak bercabang yang dengan
mudah dapat diurai oleh mikroorganisme.
LAS relatif mudah didegradasi secara biologi dibanding ABS. LAS bisa
terdegradasi sampai 90 persen. Akan tetapi prorsesnya sangat lambat, karena
dalam memecah bagian ujung rantai kimianya khususnya ikatan o-mega harus
diputus dan butuh proses beta oksidasi, karena itu perlu waktu. Penelitian Heryani
dan Puji (2008 ) mendapatkan hasil bahwa alam membutuhkan waktu 9 hari
untuk menguraikan 50% LAS.
Detergen ABS sangat tidak menguntungkan karena ternyata sangat lambat
terurai oleh bakteri pengurai disebabkan oleh adanya rantai bercabang pada
spektrumya. Dengan tidak terurainya secara biologi deterjen ABS, lambat laun
perairan yang terkontaminasi oleh ABS akan dipenuhi oleh busa, menurunkan
tegangan permukaan dari air, pemecahan kembali dari gumpalan (flock) koloid,
pengemulsian gemuk dan minyak, pemusnahan bakteri yang berguna,
penyumbatan pada pori – pori media filtrasi.
Kerugian lain dari penggunaan deterjen adalah terjadinya proses
eutrofikasi di perairan. Ini terjadi karena penggunaan deterjen dengan kandungan
fosfat tinggi. Eutrofikasi menimbulkan pertumbuhan tak terkendali bagi eceng
gondok dan menyebabkan pendangkalan sungai. Sebaliknya deterjen dengan
rendah fosfat beresiko menyebabkan iritasi pada tangan dan kaustik. Karena
diketahui lebih bersifat alkalis. Tingkat keasamannya (pH) antara 10 – 12 .

10 | P a g e
Gambar 2. Pertumbuhan Eceng Gondok Akibat Pencemaran Limbah Deterjen

Gambar 3. Eutrofikasi Sungai/Danau yang Tercemar Deterjen

11 | P a g e
Tabel 2. Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan Industri

PARAMETER KADAR MAKSIMUM BEBAN PENCEMARAN


MAKSIMUM
(mg/liter) (kg/hari.Hari)
BOD5 50 4.3
COD 100 8.6
TSS 200 17.2
pH 6.0 - 9.0
Sumber : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 3/MENLH/1/1998
Tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan Industri

D. Bahaya Surfactan
Surfaktan adalah bahan yang paling penting pada produk deterjen (hingga
15-40 % dari total formulasi deterjen). Zat ini dapat mengaktifkan permukaan,
karena cenderung untuk terkonsentrasi pada permukaan (antar muka), atau zat
yang dapat menaikkan dan menurunkan tegangan permukaan. Dengan surfaktant
dapat terjadi perubahan dalam tegangan permukaan yang menyertai proses
pembasahan, daya busa yang stabil, daya emulsi yang stabil
Efek negatif dari Surfaktan dapat menyebabkan permukaan kulit kasar,
hilangnya kelembaban alami yamg ada pada permukan kulit dan meningkatkan
permeabilitas permukaan luar. Hasil pengujian memperlihatkan bahwa kulit
manusia hanya mampu memiliki toleransi kontak dengan bahan kima dengan
kandungan 1 % LAS dan AOS dengan akibat iritasi ‘sedang’ pada kulit. Surfaktan
kationik bersifat toksik jika tertelan dibandingkan dengan surfaktan anionik dan
non-ionik. Sisa bahan surfaktan yang terdapat dalam deterjen dapat membentuk
chlorbenzene pada proses klorinisasi pengolahan air minum PDAM.
Chlorbenzene merupakan senyawa kimia yang bersifat racun dan berbahaya bagi
kesehatan. Pengaruh lain yaitu penghambatan pertumbuhan dalam tumbuhan,
ikan, dan budding dalam hidra, kerusakan organ sensoris luar yang peka sehingga

12 | P a g e
dapat mengganggu pemilihan makanan, mempengaruhi sinergis zat – zat dan
surfaktan subletal menyebabkan pengambilan zat lipofilik yang lebih cepat dan
memperkuat toksisitas zat ini. Air yang mengandung surfaktan (2 – 4 ppm) tidak
dapat dideteksi perubahannya

E. Sabun
Lain halnya dengan deterjen, sabun relatif mudah tersuspensi dalam air
karena membentuk micelles, yakni kumpulan (50 – 150) molekul sabun yang
rantai hidrokarbonnya mengelompok dengan ujung – ujung ionnya menghadap ke
air. Sabun yang masuk kedalam buangan air atau suatu sistem ekuatik biasanya
langsung terendap sebagai garam – garam kalsium dan magnesium. Oleh karena
itu beberapa pengaruh dari sabun dalam larutan dapat dihilangkan. Sehingga
dengan biodegradasi, sabun secara sempurna dapat dihilangkan dari lingkungan.
Sabun pertamakali diciptakan sekitar 2700 SM, terbuat dari berbagai lemak
dengan menggunakan kaustik dari abu kayu untuk menghidrolisis ester.

13 | P a g e
BAB III
PENUTUP

Penanganan Limbah sabun dan deterjen Detergen merupakan suatu


derivatik zat organik sehingga akumulasinya menyebabkan meningkatnya COD
(Chemichal Oxygen Demand) dan BOD (Biological Oxigen Demand) dan angka
permanganat, maka dalam pengolahannya sangat cocok menggunakan teknik
biologi.
Mendestabilkan partikel deterjen dapat dimanfaatkan sebagai pengolahan
limbah karena detergen mempunyai sifat koloid. Karakteristik dari partikel koloid
dalam air sangat dipengaruhi oleh muatan listrik dan kebanyakan partikel
tersuspensi bermuatan negative. Cara mendestabilkan atau merusak kestabilan
partikel dilakukan dalam dua tahap. Pertama dengan mengurangi muatan
elektrostatis sehingga menurunkan nilai potensial zeta dari koloid, proses ini
lazim disebut sebagai koagulasi. Kedua adalah memberikan kesempatan kepada
partikel untuk saling bertumbukan dan bergabung, cara ini dapat dilakukan
dengan cara pengadukan dan disebut sebagai flokulasi.
Pengurangan muatan elektris dilakukan dengan menambahkan koagulan
seperti PAC. Di dalam air PAC akan terdisposisi melepaskan kation Al3+ yang
akan menurunkan zeta potensial dari partikel. Sehingga gaya tolak-menolak antar
partikel menjadi berkurang, akibatnya penambahan gaya mekanis seperti
pengadukan akan mempermudah terjadinya tumbukan yang akan dilanjutkan
dengan penggabungan partikel-partikel yang akan membentuk flok yang
berukuran lebih besar. Flok akan diendapkan pada unit sedimentasi maupun
klarifikasi. Lumpur yang terbentuk akan dibuang menggunakan scraper. Cara
koagulasi umumnya berhasil menurunkan kadar bahan organik (COD,BOD)
sebanyak 40 - 70%. Detergen mampu memecah minyak dan lemak membentuk
emulsi sehingga dapat diendapkan dengan menambahkan inhibitor garam alkali
seperti kapur dan soda. Buih yang terbentuk akan dapat dihilangkan dengan
proses skimming (penyendokan buih) atau flotasi. Proses flotasi banyak
digunakan untuk menyisihkan bahan-bahan yang mengapung juga dapat

14 | P a g e
digunakan sebagai cara penyisihan bahan-bahan tersuspensi (clarification) atau
pemekatan lumpur endapan (sludge thickening) dengan memberikan aliran udara
keatas (Air Floating). Adsorpsi menggunakan karbon aktif dapat digunakan untuk
mengurangi kontaminasi detergen. Detergen yang merupakan molekul organik
akan ditarik oleh karbon aktif dan melekat pada permukaannya dengan kombinasi
dari daya fisik kompleks dan reaksi kimia. Karbon aktif memiliki jaringan porous
(berlubang) yang sangat luas yang berubah-ubah bentuknya untuk menerima
molekul pengotor baik besar maupun kecil. Zeolit dapat menurunkan COD 10-
40%, dan karbon aktif dapat menurunkan COD 10-60 %.
Detergen mempunyai ikatan – ikatan organik. Proses khlorinasi akan memecah
ikatan tersebut membentuk garam ammonium khlorida meskipun akan
menghasilkan haloform dan trihalomethans jika zat organiknya berlebih.
Air limbah deterjen tidak dapat dibuang ke septic tank seperti pada kotoran
manusia (black water) karena memiliki kandungan detergen yang dapat
membunuh bakteri pengurai yang dibutuhkan septic tank. Karena itu, diperlukan
pengolahan khusus yang dapat menetralisasi kandungan detergen dan juga
menangkap lemak.Cara yang paling sederhana mengatasi pencemaran air limbah
adalah dengan menanami selokan dengan tanaman air yang bisa menyerap zat
pencemar. Tanaman yang bisa digunakan, antara lain jaringao, Pontederia cordata
(bunga ungu), lidi air, futoy ruas, Thypa angustifolia (bunga coklat), melati air,
dan lili air. Cara ini sangat mudah, tapi hanya bisa menyerap sedikit zat pencemar
dan tak bisa menyaring lemak dan sampah hasil dapur yang ikut terbuang ke
selokan.
Cara yang lebih efektif adalah membuat instalasi pengolahan yang sering
disebut dengan sistem pengolahan air limbah (SPAL) dengan cara mudah, bahan
murah dan tidak sulit diterapkan di rumah Anda. Instalasi SPAL terdiri dari dua
bagian yaitu bak pengumpul dan tangki resapan. Di dalam bak pengumpul
terdapat ruang untuk menangkap sampah yang dilengkapi dengan kasa 1 cm
persegi, ruang untuk penangkap lemak, dan ruang untuk menangkap pasir. Tangki
resapan dibuat lebih rendah dari bak pengumpul agar air dapat mengalir lancar. Di
dalam tangki resapan ini terdapat arang dan batu koral yang berfungsi untuk

15 | P a g e
menyaring zat-zat pencemar yang ada dalam air limbah deterjen (greywater).
Mekanisme kerja SPAL dengan cara air bekas deterjen atau bekas sabun dialirkan
ke ruang penangkap sampah yang telah dilengkapi dengan saringan di bagian
dasarnya. Sampah akan tersaring dan air akan mengalir masuk ke ruang di
bawahnya. Jika air mengandung pasir, pasir akan mengendap di dasar ruang ini,
sedangkan lapisan minyak, karena berat jenisnya lebih ringan, akan mengambang
di ruang penangkap lemak. Air yang telah bebas dari pasir, sampah, dan lemak
akan mengalir ke pipa yang berada di tengah-tengah tangki resapan. Bagian
bawah pipa tersebut diberi lubang sehingga air akan keluar dari bagian bawah.
Sebelum air menuju ke saluran pembuangan, air akan melewati penyaring berupa
batu koral dan batok kelapa. Limbah deterjen atau air sabun yang telah diolah
dapat digunakan lagi untuk menyiram tanaman, mengguyur kloset, dan untuk
mencuci mobil. Di Singapura dan negara-negara maju bahkan diolah lagi menjadi
air minum.
Salah satu cara pengolahan limbah deterjen dan air sabun yang diterapkan
di perusahaan produsen deterjen adalah dengan pembuatan bak pengumpulan air
limbah sisa deterjen. Di dalam bak pengumpulan limbah tersebut diletakkan
pompa celup yang harus terendam air untuk menghindari terbentuknya
gelembung/buih detrejen. Pompa celup ini berfungsi sebagai sirkulasi limbah.
Selanjutnya di luar bak penampungan dibuat bak kecil dan pompa dosing yang
berisi larutan anti deterjen, misalnya jika deterjen yang terbuang banyak
mengandung deterjen anionik, maka untuk menetralisir diberikan larutan deterjen
kationik sebagai anti deterjennya, demikian pula sebaliknya. Kemudian larutan
anti deterjen ini dimasukkan ke dalam bak penampungan dan dilakukan proses
penetralan. Pada proses penetralan, perlu ditentukan kadar deterjen di dalam bak
penampungan dengan analisis deterjen sistem MBAS (Metilen Blue Active
Surfactan) atau dengan sistem Titrasi Yamin yang secara khusus untuk
mengetahui kadar deterjen. Misalnya kadar deterjen 50 ppm dapat dilakukan uji
coba dengan pemberian larutan anti deterjen sebanyak 5 ml per menit dengan
pompa dosing sampai kadar deterjen 0 ppm.

16 | P a g e
Bagi pemilik usaha binatu/laundry dapat melakukan upaya pemilihan
deterjen dengan kandungan fosfat yang rendah karena dapat menjadi pencemaran
air disekitarnya. Serta dapat melakukan pengelolaan limbah deterjen secara
sederhana dengan pembuatan bak penampungan khusus, atau dengan penambahan
arang aktif.

17 | P a g e
Daftar Pustaka

Ahsan S. 2005. Effect of Temperature on Wastewater Treatment with Natural and Waste
Materials [Original Paper] . Clean Technology Enviroment Policy. 7:198-202.

Arifin. 2008. Metode Pengolahan Deterjen. http://.wordpress.com [8 Desember 2010].

. 2009. Pengolahan Limbah Deterjen dengan Biofilter. http://www.greenradio.fm.


[8 Desember 2010].
. 2009. Mengetahui Dampak Air Limbah Deterjen Terhadap Organisme Air.
(http://tutorjunior.blogspot.com) [8 Desember 2010].

Badan Pusat Statistik (BPS). 2009. Statistik Lingkungan Hidup Pengelolaan B3 dan
Limbah B3. (http://tutorjunior.blogspot.com) [8 Desember 2010].

Heryani. A, Puji, H. 2008. Pengolahan Limbah Deterjen Sintetik dengan Trickling Filter
[Makalah Penelitian] http://eprints.undip.ac.id [8 Desember 2010].

Jurado, E et all. 2006. Enzyme Based Detergent formulas for Fatty Soils and Hard
Surface in a Continous Flow Device . Journal of Surfactant and Detergents. Vol.
9. Qtr 1.

Sigid hariyadi. 2004. BOD dan COD Sebagai Parameter Pencemaran Air Dan Baku Mutu
Air Limbah.

Soekidjo Notoatmojo. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Penerbit PT Rineka
Cipta.(614.78NOT k)

18 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai