Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap hari manusia menggunakan deterjen untuk mencuci pakaian, akan
tetapi hanya sedikit yang mengetahui bagaimana deterjen tersebut dapat
membersihkan pakaian. Pencucian dengan air saja, bahkan dengan penggosokan atau
putaran mesin sekeras apapun, akan menghilangkan sebagian saja bercak, kotoran
dan partikel-partikel tanah. Air saja tidak dapat menghilangkan debu yang tidak larut
dalam air. Air juga tidak mampu menahan debu yang telah lepas dari kain agar tetap
tersuspensi atau tetap berada di air, jadi tidak kembali menempel ke kain (Effendi,
2003).
Jadi diperlukan bahan yang dapat membantu mengangkat kotoran dari air dan
kemudian menahan agar kotoran yang telah terangkat tadi, tetap tersuspensi.
Sehingga pada makalah kali ini dapat kita ketahui bagaimana cara kerja detergen
dalam menghilangkan kotoran (Connel, 1995).
Selain itu penggunaan detergen pada lingkungan rumah tangga dapat
menimbulkan resiko pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Sehingga pada
makalah ini kita juga dapat mengetahui dampak dan pengaruh yang akan timbul dari
penggunaan detergen terhadap lingkungan (Connel, 1995).

1.2 Tujuan Percobaan


1. Mengetahui proses pembuatan deterjen bubuk
2. Menentukan pengaruh formulasi deterjen terhadap karakteristik deterjen bubuk.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Detergen


Detergen berasal dari bahasa latin yaitu Detergere yang berarti membersihkan.
Detergen merupakan penyempurnaan dari produk sabun. Deterjen sering disebut
dengan istilah deterjen sintetis yang mana deterjen berasal dari bahan-bahan turunan
minyak bumi. Masalah sabun dapat dikurangi dengan menciptakan deterjen yang
lebih efektif yaitu deterjen sintetik. Deterjen sintetik ini harus mempunyai beberapa
sifat, termasuk rantai hipofilik yang panjang dan ujung ionik polar. Juga ujung yang
polar tidak membentuk garam yang mengendap dengan ion-ion dalam air sadah,
sehingga tidak mempengaruhi keasaman air (Hart, 1998).

Detergen adalah bahan untuk mencuci. Namun dalam perkembangannya,


deterjen digunakan untuk membedakan sabun cuci, sabun mandi, dengan bahan
pembersih lainnya. Awalnya, bahan pembersih terbuat dari air, minyak dan bahan
kasar seperti pasir basah atau clay basah. Baru pada tahun 1913, deterjen
menggunakan bahan sintesis ditemukan oleh seorang ahli kimia Belgia, A.Reychler.
Hingga kini, deterjen mengalami banyak perubahan dan kemajuan dalam hal bahan-
bahan pembuatnya (Conel, 1995).

Detergen tidaklah sama dengan sabun, meskipun sabun juga termasuk


detergen. Detergen sintetik berbentuk bubuk atau granul, terdiri dari rantai karbon
C7-C18 dengan gugus hidrofilik yang bukan berkaboksilat dengan tambahan zat lain,
umumnya terbentuk dari bahan dasar pembentuk, pengisi dan surfaktan, mudah untuk
dilarutkan, tidak berbahaya untuk kesehatan, mempunyai daya larut kotoran dan hasil
cucian tetap bersih. Detergen merupakan campuran berbagai bahan yang digunakan
untuk membersihkan dan terbuat dari bahan-bahan turunan minyak bumi.
Detergen ada yang bersifat kationik, anionik, maupun nonionik. Semuanya
membuat zat yang lipolifik mudah larut dan menyebar di perairan. Selain itu, ukuran
zat lipolifik menjadi lebih halus, sehingga mempertinggi intensitas racun. Beberapa
deterjen ada yang bersifat persisten, sehingga terjadi akumulasi. Seperti halnya
dengan DDT, deterjen jenis ini sudah tidak boleh digunakan lagi (Slamet, 1983).

Detergen berhubungan dengan pembersihan benda padat dengan


menyingkirkan benda yang tidak diinginkan dari permukaannya. Pembersihan ini
dapat dilakukan dengan berbagai metode seperti  pemisahan mekanik sederhana dan
pemisahan dengan pelarut. Hasil  pencucian sangat bergantung pada interaksi
tersebut. Selain itu kondisi  pencucian, seperti temperatur, waktu, energi mekanik
yang diberikan dan kesadahan air juga menentukan. Setelah lebih dari dua ribu tahun
menggunakan sabun, orang akhirnya membuat detergen sintesis yang dapat
membersihkan lebih baik dari sabun dan tidak dipengaruhi oleh kesadahan air. Semua
detergen termasuk sabun merupakan surfaktan, senyawa kimia yang dengan
keistimewaannya dapat mempertemukan lemak dan air. Kebanyakan kotoran yang
melekat pada kulit, pakaian dan perabotan rumah tangga tidak terlepas dari andil
lemak yang melekat pada bahan (Permono,2002).

Gambar 2.1 Struktur molekul detergen (Hart, 1998).


2.2. Klasifikasi Detergen
Menurut Ratna (2010), berdasarkan dapat tidaknya zat aktif terdegradasi,
detergen terbagi atas dua bagian yaitu :
1. Detergen Keras
Detergen keras mengandung zat aktif yang sukar dirusak oleh
mikroorganisme meskipun bahan itu telah di pakai dan telah di buang. Hal ini
diakibatkan adanya rantai cabang pada atom karbon, akibatnya zat tersebut
masih aktif dan jenis inilah yang dapat menyebabkan pencemaran air, seperti
alkil benzena sulfonat.
2. Detergen Lunak
Deterjen ini mengandung zat aktif yang relatif mudah untuk di rusak
mikroorganisme karena umumnya zat aktif ini memiliki rantai karbon yang
tidak bercabang, sehingga setelah dipakai, zat aktif ini akan rusak, contohnya
Linier alkil benzene sulfonat.
Menurut Andang (2001), berdasarkan bentuk fisiknya detergen bubuk
dibedakan atas dua bentuk yaitu :
1. Detergen bubuk berongga
Butiran detergen jenis ini mempunyai volume per satuan berat yang besar
karena adanya rongga tersebut. Butiran detergen jenis berongga dihasilkan
oleh proses spray drying yaitu terbentuknya butiran berongga karena hasil dari
proses pengabutan yang dilanjutkan proses pengeringan. Kelebihan detergen
bubuk berongga dibandingkan dengan detergen bubuk padat adalah
volumenya lebih besar. Dengan berat yang sama, deterjen bubuk dengan
butiran berongga tampak lebih banyak dibandingkan dengan detergen padat.
Kelemahan detergen berongga ini adalah biaya yang mahal sehingga detergen
ini tidak bisa diproduksi baik dalam skala kecil maupun menengah.
2. Deterjen bubuk padat/masif
Butiran deterjen yang padat merupakan hasil olahan proses pencampuran
kering (dry mixing). Kelebihan deterjen bubuk padat, yaitu untuk
membuatnya tidak diperlukan modal besar karena alatnya termasuk sederhana
dan berharga murah. Kekurangannya adalah karena bentuknya padat maka
volumenya tidak besar sehingga jumlahnya terlihat sedikit.

2.3. Formula Detergen Bubuk


Menurut Arifin (2010) Bahan-bahan kimia pembuat detergen antara lain yaitu:
1. Surfaktan
Surfaktan (surface active agent) merupakan zat aktif permukaan yang
mempunyai ujung yang berbeda yaitu hydrophile (suka air) dan hydrophobe
(suka lemak). Bahan aktif ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan air
sehingga dapat melepaskan kotoran yang menempel pada permukaan bahan.
Surfaktan dapat berupa anion seperti Alkyl Benzene Sulfonate (ABS), Linier
Alkyl Benzene Sulfonate (LAS), dan Alpha Olein Sulfonate (AOS), kationik
seperti garam ammonium, nonionic seperti nonyl Phenol Polyethoxyle, dan
amfoterik seperti Acyl Ethylenediamines.

2. Builders (pembentuk)
Builders berfungsi meningkatkan efisiensi pencuci surfaktan dengan cara
menonaktifkan mineral menyebabkan kesadahan air. Berupa Phosphates,
asetat, dan sitrat (asam sitrat).
3. Filler (Pengisi)
Filler adalah bahan tambahan deterjen yang tidak mempunyai kemampuan
meningkatkan daya cuci, tetapi menambah kuantitas atau dapat memadatkan
dan memantapakan sehingga dapat menurunkan harga. Contoh: Sodium
sulfate.
4. Additives
Additives adalah bahan suplemen/ tambahan untuk pembuatan produk lebih
menarik, misalnya pewangi, pelarut, pemutih, pewarna, tidak berhubungan
langsung dengan daya cuci deterjen. Additives ditambahkan untuk maksud
komersialisasi produk. Contoh: Enzyme, Borax, dan Sodium Chloride.

2.4. Bahan Kimia yang Dilarang Dalam Pembuatan Detergen


Menurut Permono (2002) Ada beberapa bahan yang dilarang dalam deterjen
antara lain yaitu :
1. Bahan karsinogenik, bahan genotoksik, mutagenik, teratogenik, serta ersifat
toksik terhadap manusia dan lingkungan, serta yang termasuk dalam
klasifikasi Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) yang dilarang dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Beracun dan
Berbahaya, serta bahan yang terdaftar sebagai mutagen ataukarsinogen pada
manusia dan hewan menurut ”International Agency for Research on Cancer”
(IARC) kelas 1.
2. EDTA (Asam Etilen Diamin Tetra Asetat), NTA (Asam Nitroasetat)
3. Alkyl Phenol Ethoxylates (APEOs).
4. Moskusxylene, Moskusambrete, Moskene, Moskusketone dan bahan pewangi
lainnya yang dilarang oleh IFRA (International Fragrence Registration
Agency).
5. Trikloroetana, klor atau senyawa organik terklorinasi. Kriteria detergen.

2.5. Cara Kerja Detergen Dalam Menghilangkan Kotoran


Dalam kerjanya detergen dipengaruhi beberapa hal, yang terpenting adalah
jenis kotoran yang akan dihilangkan dan air yang digunakan. Deterjen adalah
surfaktan, yang dapat dihasilkan dengan mudah dari petrokimia. Surfaktan
menurunkan tegangan permukaan air, pada dasarnya membuatnya lebih basah
sehingga lebih mungkin untuk berinteraksi dengan minyak dan lemak. Deterjen
modern mengandung lebih dari sekedar surfaktan. Produk pembersih juga
mengandung enzim untuk mendegradasi protein berbasis noda, pemutih untuk
penghilang warna noda dan menambah daya agen pembersih, dan pewarna biru untuk
melawan penguningan (Permono,2002).
Seperti sabun, deterjen memiliki rantai molekul hidrofobik atau rantai molekul
yg tidak suka air dan komponen hidrofilik atau rantai molekul suka-air. Hidrokarbon
hidrofobik yang ditolak oleh air, tapi ditarik oleh minyak dan lemak. Dengan kata lain
berarti bahwa salah satu ujung molekul akan tertarik ke air, sementara sisi lain
mengikat minyak. Air bersabun yang mengelilinginya (kotoran) memungkinkan
sabun atau deterjen untuk menarik kotoran dari pakaian atau piring dan masuk ke
dalam air bilasan untuk selanjutnya dapat dipisahkan (Arifin, 2010).
Air hangat atau panas mencairkan lemak dan minyak sehingga lebih mudah
bagi sabun atau deterjen untuk melarutkan kotoran dan menariknya ke dalam air
bilasan. Deterjen mirip dengan sabun, tapi mereka cenderung kurang untuk
membentuk buih dan tidak dipengaruhi oleh adanya mineral dalam air
(Permono,2002).

2.6. Kandungan Dalam Detergen Yang Dapat Menimbulkan Rasa Panas Pada
Tangan
Pada saat mencuci baju dengan detergen bubuk kita sering kali merasakan rasa
panas pada tangan. Hal ini didsebabkan karena didalam detergen bubuk terdapat
bahan penunjang. Salah satu contoh dari bahan penunjang ini adalah soda ash atau
sering disebut soda abu yang berbentuk bubuk putih. Bahan penunjang ini berfungsi
meningkatkan daya bersih. Dari kadar pH deterjen yang sangat basa (9,5-12),
diketahui bahwa deterjen memang bersifat korosif. Hal ini dapat mengakibatkan
iritasi pada kulit. Sementara pada susunan rantai kimia surfaktan terdapat formulasi
bahwa semakin panjang dan bercabang rantai surfaktan, akan semakin keras deterjen
tersebut. Sedangkan dari jenis gugus fungsinya, maka gugus fungsi sulfonat bersifat
lebih keras dibandingkan gugus fungsi karboksilat (Slamet,1983).
Deterjen yang keras dapat menimbulkan masalah pada kulit. Dari hasil survei
YLKI, dapat diketahui keluhan yang biasanya dirasakan konsumen yaitu kulit terasa
kering, melepuh dan retak-retak, kulit tangan gampang mengelupas, hingga
timbulnya eksim kulit semacam bintik-bintik gatal berair di telapak tangan maupun
kaki. Untuk mengatasi itu, sebaiknya konsumen menghindari kontak langsung kulit
dengan deterjen. Kalaupun sudah terlanjur kontak, maka tangan/ kaki yang terkena
harus cepat dibilas air bersih dan dikeringkan (Effendi, 2003).

2.7    Pengaruh Detergen Terhadap Lingkungan


Sesungguhnya, limbah yang dihasilkan deterjen sangat merusak lingkungan.
Karena detergen merupakan hasil sampingan dari proses penyulingan minyak bumi
yang diberi berbagai tambahan bahan kimia, seperti surfaktan (bahan pembersih),
alkyl benzene (ABS) yang berfungsi sebagai penghasil busa, abrasif sebagai bahan
penggosok, bahan pengurai senyawa organik, oksidan sebagai pemutih dan pengurai
senyawa organik, enzim untuk mengurai protein, lemak atau karbohidrat untuk
melembutkan bahan, larutan pengencer air, bahan anti karat dan yang lainnya
(Slamet,1983).
Berdasarkan penelitian lebih lanjut, diketahui ABS ternyata mempunyai efek
buruk terhadap lingkungan, yaitu sulit diuraikan oleh mikroorganisme. Sehingga sisa
limbah deterjen yang dihasilkan setiap hari oleh rumah tangga akan menjadi limbah
berbahaya yang mengancam stabilitas lingkungan hidup. Limbah deterjen yang
dihasilkan rumah tangga akan bermuara pada sebuah tempat, seperti selokan ataupun
kolam. Biasanya, eceng gondok akan tumbuh dengan populasi yang cukup besar pada
ujung selokan (Slamet,1983). 
  Detergen memiliki efek beracun dalam air, karena detergen akan
menghancurkan lapisan eksternal lendir yang melindungi ikan dari bakteri dan
parasit. Detergen juga dapat menyebabkan kerusakan pada insang. Kebanyakan ikan
akan mati bila konsentrasi deterjen 15 bagian per juta. Detergen dengan konsentrasi
rendah, sekitar 5 ppm tetap dapat membunuh telur ikan (Connel, 1995).
Surfaktan yang terkandung dalam deterjen akan mengurangi kemampuan
perkembangbiakan organisme perairan. Deterjen juga memiliki andil besar dalam
menurunkan kualitas air. Bahan kimia organik seperti pestisida dan fenol, hanya
dengan konsentrasi 2 ppm saja dapat diserap ikan dua kali lipat dari jumlah bahan
kimia lainnya (Connel, 1995).
Contoh nyata efek buruk dari limbah deterjen adalah Danau Toba. Seperti
sama kita ketahui, eceng gondok tumbuh subur nyaris tidak terkendali pada semua
bibir pantai Danau Toba. Hal tersebut terjadi, selain dari residu pelet yang ditabur
pada kerambah yang berserak di Danau Toba, ditengarai juga berasal dari sisa
deterjen yang dipakai masyarakat Danau Toba yang masih mencuci di perairan
ditambah limbah dari restoran, rumah makan dan hotel-hotel yang berada di sekitar
Danau Toba yang membuang limbahnya secara langsung ke dalam danau (Connel,
1995).
Selain merusak keindahan Danau Toba sebagai daerah tujuan wisata andalan
Sumatera Utara, pertumbuhan eceng gondok yang tidak terkendali itu akan menutupi
perairan, sehingga bagian dasar air tidak terkena sinar matahari. Menyebabkan kadar
oksigen berkurang secara drastis, kehidupan biota air mengalami degradasi dan unsu
hara meningkat sangat cepat. Jika hal tersebut tetap dibiarkan, ikan-ikan akan mati
karena kekurangan bahan makanan. Bahkan bisa mengakibatkan cacat akibat mutasi
gen (Effendi, 2003).
Penggunaan deterjen memang seperti buah simalakama, di satu sisi
penggunaannya sangat dibutuhkan dan di sisi lain limbahnya ternyata berefek buruk.
Beberapa negara di dunia secara resmi telah melarang penggunaan zat ABS dalam
pembuatan detergen dan memperkenalkan senyawa kimia baru yang disebut Linier
Alkyl Sulfonat (LAS) yang relatif lebih ramah lingkungan. Akan tetapi penelitian
terbaru oleh para ahli menyebutkan bahwa senyawa ini juga menimbulkan kerugian
yang tidak sedikit terhadap lingkungan. Menurut data yang diperoleh bahwa
dikatakan alam lingkungan membutuhkan waktu selama 90 hari untuk mengurai LAS
dan hanya 50 persen dari keseluruhan yang dapat diurai (Effendi, 2003).
DAFTAR PUSTAKA

Andang, S Ilyani . 2001. Klasifikasi Detergen. Jakarta: Erlangga.


Arifin. 2010. Metode Pengolahan Detergen. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Connel, D.W. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Jakarta: UI-Press.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Bogor: IPB.
Hart, Harold. 1998. Kimia Organik Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga.
Permono, Ajar. 2002. Membuat Deterjen Bubuk . Jakarta: Penebar Swadaya.
Slamet, Juli. S. 1983. Kesehatan Lingkungan. Bandung: ITB.
Ratna. 2010. Metode Pengolahan Detergen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Detergen merupakan sediaan pembersih yang terdiri dari zat aktif permukaan
(surfaktan), bahan pengisi, pemutih, pewangi (bahan pembantu), bahan penimbul
busa, dan optical brightener (bahan tambahan yang membuat pakaian lebih
cemerlang). Surfaktan merupakan bahan utama deterjen. Pada deterjen ini, jenis
muatan yang dibawa surfaktan

adalah anionik. Kadang ditambahkan surfaktan kationik sebagai bakterisida


(pembunuh bakteri). Fungsi surfaktan anionik adalah sebagai zat pembasah yang akan
menyusup ke dalam ikatan antara kotoran dan serat kain. Hal ini akan membuat
kotoran menggulung, lama kelamaan menjadi besar, kemudian lepas ke dalam air
cucian dalam bentuk butiran. Agar butiran ini tidak pecah kembali dan menempel di
kain, perlu ditambahkan jenis surfaktan lain yang akan membungkus butiran tersebut
dan membuatnya tolak menolak dengan air, sehingga posisinya mengambang. Ini
untuk memudahkannya yang terbuang bersama air dan cucian (Sunarya, 2003).
Berdasarkan ion yang dikandungnya, deterjen dibedakan atas (Andang, 2001): 1.
Cationic Detergents
Deterjen yang memiliki kutub positif disebut sebagai
cationic detergents
. Digunakan sebagai tambahan bahan pencuci yang bersih, selain itu juga
mengandung sifat anti kuman yang membuatnya banyak digunakan di rumah sakit.
Kebanyakan deterjen jenis ini adalah turunan dari ammonia. 2.
Anionic Detergents
Deterjen jenis ini adalah merupakan deterjen yang memiliki gugus ion negatif. 3.
Neutral atau Non-Ionic Detergents Nonionic detergen
banyak digunakan untuk keperluan pencucian piring. Karena deterjen jenis ini tidak
memiliki adanya gugus ion apa pun, deterjen jenis ini tidak bereaksi dengan ion yang
terdapat dalam air sadah
. Nonionic detergents
kurang mengeluarkan busa dibandingkan dengan
ionic detergents
.
Manfaat dan Dampak Deterjen
Awalnya deterjen dikenal sebagai pembersih pakaian, namun kini meluas dalam
bentuk produk- produk seperti (Ratna, 2012): 1.
Personal cleaning product
, sebagai produk pembersih diri seperti sampo, sabun cuci tangan, dll. 2.
Laundry
, sebagai pencuci pakaian, merupakan produk deterjen yang paling populer di
masyarakat. 3.
Dishwashing product
, sebagai pencuci alat-alat rumah tangga baik untuk penggunaan manual maupun
mesin pencuci piring. 4.
Household cleaner
, sebagai pembersih rumah seperti pembersih lantai, pembersih bahan-bahan
porselen, plastik, metal, gelas, dll

pH Nilai pH deterjen tidak boleh melebihi nilai pH 10,5 diukur sesuai dengan dosis
pencucian yang dianjurkan oleh produsen. b.

Fosfat Total kandungan fosfat dalam deterjen (diukur sebagai STTP) < 18 g per 100 g
produk deterjen (<18% berat produk). c.

Kandungan Surfaktan Kandungan bahan surfaktan yang diperbolehkan untuk


digunakan sesuai dengan yang tercantum dalam SNI No. 06-4594-1998. d.

Biodegradabilitas Surfaktan Tiap surfaktan harus dapat segera terbiodegradasi secara


aerobik (tingkat biodegradasi yang diamati dalam sistem pengolahan limbah aerobik
ialah minimum 90% hingga 28 hari). e.

Enzim Enzim yang digunakan tidak boleh mengandung mikroorganisme. f.

Toksisitas Lingkungan
DAFTAR PUSTAKA
Andang, S Ilyani . 2001. Klasifikasi Detergen. Jakarta: Erlangga.
Arifin. 2010. Metode Pengolahan Detergen. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Connel, D.W. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Jakarta: UI-Press.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Bogor: IPB.
Hart, Harold. 1998. Kimia Organik Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga.
Permono, Ajar. 2002. Membuat Deterjen Bubuk . Jakarta: Penebar Swadaya.
Slamet, Juli. S. 1983. Kesehatan Lingkungan. Bandung: ITB.

http://www.mailarchive.com/tlusakti@ypb.or.id/msg00343.html
Tanggal Akses 27 Mei 2018
Pada Suatu Instalasi Pengolahan Air
Tanggal Akses27 Mei 2018 Permono, Ajar. 2002.
Membuat Deterjen Bubuk
. Jakarta: Penebar Swadaya Ratna. 2010.
Metode Pengolahan Detergen
. URL:
www.chem.is.try.org/Tinjauan
Slamet, Juli Soemirat. 1983.
Kesehatan Lingkungan
. Bandung: ITB Sunarya, Y. 2003.
Kimia Dasar 2 Berdasarkan Prinsip-Prinsip Kimia Terkini.

Terhadap masing-masing produk deterjen, harus dilakukan pengujian toksisitas terhadap


lingkungan. g.

Total kandungan logam berat Logam berat seperti: Pb, Cd, Hg dan Cr
6+
dalam kemasan (termasuk printing) tidak melebihi 100 ppm.
Arifin. 2010. Metode Pengolahan Deterjen. http://.wordpress.com. Tanggal Akses: 19
Oktober 2012.
Connel, D.W. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. UI-Press: Jakarta.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. IPB: Bogor.
Slamet, Juli. S. 1983. Kesehatan Lingkungan. Institut Teknologi Bandung

Anda mungkin juga menyukai