Anda di halaman 1dari 53

STUDI PEMANFAATAN KARBON AKTIF DARI SEKAM PADI

SEBAGAI ADSORBEN SENYAWA SURFAKTAN DAN FOSFAT PADA


LIMBAH LAUNDRY

(Usul Penelitian)

Oleh

Tiara Eka Novrianti

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMPUNG
2019
Judul Skripsi :

Nama Mahasiswa : Tiara Eka Novrianti

No. Pokok Mahasiwa : 1617011047

Jurusan : Kimia
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kandungan Limbah Laundry (Sostar-Turk et al., 2005)...........................7


Tabel 2.Contoh Surfaktan (Smulders, 2002).........................................................10
Tabel 3. Komposisi Kimia Sekam Padi (Houston, 1972)......................................22
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur Sodium Tripolifosfat (STPP).................................................12


Gambar 2. Karbon aktif bentuk serbuk (Saputro, 2012)........................................20
Gambar 3. Karbon aktif bentuk granular (Saputro, 2012).....................................20
Gambar 4. Karbon aktif bentuk pellet (Saputro, 2012)..........................................21
Gambar 5. Skema Interaksi a di dalam SEM (Sujatno dkk., 2015).......................23
Gambar 6. Skema prinsip kerja FTIR (Thermo, 2001)..........................................25
Gambar 7. Alat Particle Size Analyzer (PSA).......................................................26
Gambar 8. Skema komponen Spektrofotometer UV-Vis (Skoog et al., 1996).....29
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Laundry adalah salah satu penyedia jasa layanan dalam bidang cuci mencuci

pakaian. Hampir di setiap kecamatan kota Bandar Lampung seperti di Rajabasa,

Kemiling, dan Sukarame terdapat jenis usaha ini. Usaha ini berkembang pesat

terutama di pusat kota dan lingkungan kampus seperti di wilayah Universitas

Lampung. Bisnis laundry ini selain berdampak positif bagi perekonomian

masyarakat, juga menimbulkan dampak negatif. Dampak negatif yang

ditimbulkan berasal dari limbah cair laundry, karena limbah tersebut langsung

dibuang ke lingkungan tanpa dilakukan pengolahan terlebih dahulu. Pembuangan

air limbah laundry secara langsung ke badan air dapat menurunkan kualitas air.

Limbah laundrymerupakan sumber pencemar yang sangat berpotensi

menimbulkan berbagai dampak bagi lingkungan. Adanya pencemar yang

dihasilkan dari sisa proses pencucian baju mengakibatkan kekeruhan sehingga

menghalangi sinar matahari masuk ke dalam air (Stefhany dkk., 2013). Bila

keberadaan limbah laundry berada di badan air berlebihan, maka dapat berpotensi

merusak lingkungan air yang ada di sekitar karena banyak mengandung zat aktif

(Tectona, 2011). Hudori (2008) melaporkan bahwa limbah laundry mempunyai

nilai pH, BOD, COD serta surfaktan berturut-turut sebesar 8,67; 182,78 mg/L;

599,44 mg/L; dan 256, 87 mg/L.


2

Umumnya detergen tersusun atas tiga komponen yaitu surfaktan (sebagai bahan

dasar detergen) sebesar 20-30%,builders (senyawa fosfat) sebesar 70-80%, dan

bahan aditif (pemutih dan pewangi) yang relatif sedikit yaitu 2-8%. Surfaktan

merupakan suatu senyawa sintetis zat aktif muka (surface active agent) yang

dipakai sebagai zat pencuci yang baik untuk keperluan rumah tangga. Jenis

surfaktan anionik merupakan jenis yang paling banyak digunakan dalam kegiatan

laundry (Salager, 2002). Surfaktan anionik ini berpotensi untuk menjadi salah satu

pencemar yang dapat menurunkan kualitas air secara umum (Mathijs et al., 2008).

Kandungan surfaktan di dalam suatu larutan dinyatakan sebagai angka MBAS

(Methylene Blue Active Substance) yang menunjukkan jumlah surfaktan aktif

yang terdapat di dalam air. Baku mutu MBAS atau surfaktan menurut Peraturan

Gubernur Lampung Nomor 7 Tahun 2010 adalah 3 mg/L.

Kinerja detergen dalam membersihkan pakaian ditingkatkan dengan melakukan

penambahan builder ke dalam komposisi detergen. Sodium tripolyphospate

(STPP) merupakan builder jenis fosfat yang sering digunakan para produsen

karena memiliki kemampuan menonaktifkan mineral kesadahan dalam air

sehingga detergen dapat bekerja secara optimal (Hermansyah, 2010). Bila

kandungan fosfat dalam air limbah laundry semakin tinggi maka dapat

mengganggu lingkungan sekitar badan air. Dampak yang ditimbulkan yaitu

terjadinya eutrofikasi, dimana badan air menjadi kaya akan nutrien terlarut,

sehingga menurunnya kandungan oksigen terlarut dan kemampuan daya dukung

badan air terhadap biota air (Kurniati, 2008). Baku mutu fosfat menurut Peraturan

Gubernur Lampung Nomor 7 Tahun 2010 adalah 2 mg/L.


3

Untuk mengatasi permasalahan di atas, perlu dilakukan pengolahan terhadap

limbah cair laundry agar dapat mereduksi tingkat bahaya yang ditimbulkan oleh

limbah tersebut. Beberapa metode yang dapat digunakan untuk menurunkan kadar

surfaktan anionik dan fosfat dalam limbah laundry antara lain filtrasi, proses

fotokatalisisis, koagulasi dan adsorpsi. Adsorpsi merupakan salah satu cara yang

sering digunakan dalam pengolahan limbah. Adsorpsi merupakan suatu metode

yang digunakan untuk menghilangkan zat pencemar atau limbah dalam air dengan

cara molekul dapat menempel pada permukaan zat adsorben (Reri dkk., 2012;

Hanum dkk., 2017). Metode adsorpsi cukup efektif untuk membersihkan limbah

cair dan terbukti menguntungkan dibandingkan proses yang lain, karena

menghasilkan efektivitas biaya dan kualitas yang tinggi (Satriani dkk., 2016;

Garcia et al., 2016).

Jenis adsorben yang sering digunakan dalam teknik adsorpsi ialah karbon aktif,

yaitu bahan yang mengandung karbon yang telah ditingkatkan daya adsorpsinya

dengan cara aktivasi. Menurut Doke dan Khan (2017), karbon aktif banyak

digunakan sebagai adsorben untuk menghilangkan berbagai jenis polusi yang

disebabkan oleh zat organik dan zat warna yang mencemari lingkungan dari

limbah industri. Karbon aktif dipilih karena memiliki daya serap yang tinggi yakni

mencapai 25-100% terhadap senyawa organik ataupun anorganik serta luas

permukaan yang besar berkisar 30-350 m2/g (Majid dkk., 2017). Contoh

pemanfaatan karbon aktif di lingkungan antara lain yaitu penggunaan karbon aktif

dari sampah plastik untuk menurunkan kandungan fosfat pada limbah cair

(Wardhana dkk., 2013) dan efektifitas arang sekam padi terhadap penurunan
4

kadar COD (Chemical Oxygen Demand) pada limbah cair tahu (Sari Ayu dan

Arifina, 2015).

Dewasa ini sedang digalakkan penelitian mengenai penggunaan adsorben

alternatif yang berasal dari alam, dimana selain memiliki kemampuan adsorpsi

yang baik juga bersifat lebih ekonomis (Jalali dkk., 2002). Salah satu adsorben

yang menjanjikan adalah limbah organik seperti limbah tanaman jagung, pisang,

padi, dan lain-lain. Diantara beberapa limbah organik tersebut yang menarik

adalah penggunaan sekam padi. Hal ini disebabkan karena sifat sekam padi yang

tahan terhadap pelapukan, memiliki kandungan abu yang tinggi, bersifat abrasif,

menyerupai kandungan kayu, serta memiliki kandungan karbon yang cukup tinggi

(Danarto, 2007). Sekam padi juga mengandung komponen-komponen kimia

seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Kandungan selulosa dan hemiselulosa

mempunyai potensi yang cukup besar untuk dijadikan sebagai bahan penyerap.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Nasional tahun 2018 produksi padi

Indonesia sebanyak 49,65 juta ton Gabah Kering Giling (GKG). Di sebagian

daerah sekam padi dibuang begitu saja dan dianggap sebagai bahan yang kurang

bermanfaat (Nurhasni dkk., 2014). Meskipun jumlah sekam padi sangat banyak,

tetapi pemanfaatannya masih sangat terbatas. Oleh karena itu diperlukan teknik

pengolahan limbah sekam padi yang tepat yaitu membuat adsorben yang berasal

dari sekam padi. Pemanfaatan sekam padi sebagai bahan material penyerap

merupakan salah satu teknologi yang murah karena bahan bakunya mudah

didapat. Selain itu adsorben arang aktif dapat lebih bermanfaat jika digunakan

untuk mengurangi kadar zat pencemar dari limbah cair (Wardalia, 2017).
5

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini dilakukan untuk mempelajari daya

adsorpsi karbon aktif sekam padi terhadap surfaktan dan fosfat pada limbah cair

laundry. Diharapkan penelitian ini dapat digunakan untuk menyelesaikan

permasalahan pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh limbah detergen

dengan mengaplikasikan karbon aktif dari sekam padi.

B. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Membuat karbon aktif dari sekam padi.

2. Mempelajari cara karakterisasi karbon aktif dari sekam padi.

3. Mengetahui kondisi optimum karbon aktif sekam padi terhadap variasi waktu.

C. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengaplikasikan penggunaan karbon aktif

dari sekam padi terhadap penurunan kadar surfaktan dan fosfat pada limbah cair

laundry serta dapat digunakan sebagai metode dalam menanggulangi masalah

pencemaran air akibat limbah cair laundry.


II. TINJUAN PUSTAKA

A. Limbah Laundry

Pencemaran terhadap lingkungan dapat timbul karena air limbah dari industri

laundry banyak mengandung polutan berupa lemak dan senyawa organik lain

yang berasal dari pakaian kotor, beberapa senyawa kimia seperti natrium

tripolifosfat, dan detergen atau surfaktan sulit terurai secara alami di alam

(Agustina et al., 2014). Limbah cair yang dihasilkan dari sisa proses pencucian

baju juga mengakibatkan kekeruhan sehingga menghalangi sinar matahari masuk

ke dalam air (Stefhany dkk., 2013). Proses dalam industri laundry membutuhkan

air yang banyak dan menghasilkan air limbah yang banyak pula. Rata-rata

kebutuhan air dalam industri laundry mencapai 15 L/kg pakaian yang diproses

(Ciabatti et al., 2009).

Limbah laundry mengandung senyawa aktif metilen biru (surfaktan) yang sulit

terdegradasi dan berbahaya bagi kesehatan maupun lingkungan (Prodjosantoso

dan Phadmaningrum, 2011). Air limbah laundry yang berasal dari kegiatan rumah

tangga memiliki konsentrasi COD antara 600-2500 mg/L sedangkan air limbah

laundry yang sangat sangat kotor juga mengandung mineral oil, logam berat, dan

senyawa berbahaya dimana harga COD mencapai 1200-20.000 mg/L . Untuk

kegiatan laundry yang dilakukan di rumah sakit, air limbahnya mengandung

lemak, sisa makanan, darah dan urin dengan konsentrasi COD mencapai 400-200
7

mg/L (Sostar-Turk et al., 2005). Kandungan limbah laundry dapat dilihat pada

Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Kandungan Limbah Laundry (Sostar-Turk et al., 2005).

Parameter Kondisi limbah Konsentrasi batas


laundry pada emisi air
Temperatur (˚C) 62 30
pH 9.6 6.5-9
Suspended substances (mg/L) 35 80
Sediment substances (mg/L) 2 0.5
Cl2 (mg/L) 0.1 0.2
Total nitrogen (mg/L) 2.75 10
Nitrogen ammonia (mg/L) 2.45 5
Total pospat (mg/L) 9.9 1
COD (mg O2/L) 280 200
BOD5 (mg O2/L) 195 30
Mineral oil (mg/L) 4.8 10
AOX (mg/L) 0.12 0.5
Anionic surfactant (mg/L) 10.1 1

B. Detergen

Detergen merupakan produk pembersih yang merupakan penyempurnaan dari

sabun. Kelebihan detergen dibandingkan sabun yaitu kemampuannya dalam

mengatasi air sadah dan larutan asam. Detergen sering disebut dengan istilah

detergen sintetis yang dibuat dari bahan-bahan sintetis (Zoller, 2004). Detergen

memiliki sifat pendispersi, pencucian dan pengemulsi. Salah satu zat penyusun

utama senyawa ini adalah Deodesil Benzena Sulfonat (DBS) yang memiliki

kemampuan untuk menghasilkan busa (Ginting, 2007).

Detergen terdiri atas senyawa dengan ujung hidrofobik dan ion sulfat. Ujung

hidrofobik detergen terikat dengan pengotor sedangkan ujung ion akan tercelup

dalam air sehingga kotoran diikat detergen dan dibebaskan dari bendanya. Sifat

dari detergen yaitu memperkecil tegangan permukaan dan menjaga agar kotoran

teremulsi dalam pelarut air (Yuni, 2012). Zat utama yang terkandung dalam
8

detergen adalah senyawa ionik berupa surfaktan dan natrium tripolifosfat yang

berfungsi sebagai builder (Wardhono dkk., 2009). Detergen secara umum

dikelompokkan menjadi : (1) surfaktan, (2) builder, (3) bleaching agents dan (4)

additives (Smulders, 2002).

Pengaruh negatif detergen terhadap kondisi fisik dan kimia perairan yang teraliri

limbah dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa pengaruh

limbah detergen terhadap lingkungan antara lain gangguan terhadap estetika oleh

adanya busa putih di permukaan perairan, penurunan kadar oksigen terlarut

perairan, perubahan sifat fisik dan kimia air serta terjadinya eutrofikasi.

Kandungan fosfat yang tinggi dapat merangsang tumbuhnya gulma air (Bourdeau

and Treshow, 1978). Peningkatan gulma air akan menyebabkan peningkatan

penguraian fosfat, dan penghambatan pertukaran oksigen dalam air, sehingga

kadar oksigen terlarut dalam air amat rendah (mikroaerofil) (Sitorus, 1997).

C. Komponen Penyusun Detergen

1. Surfaktan

Surfaktan (surface active agent) merupakan zat aktif permukaan yang mempunyai

ujung berbeda yaitu hydrophile (suka air) dan hydrophobe (suka lemak). Bahan

aktif ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan air sehingga dapat

melepaskan kotoran yang menempel pada permukaan bahan. Surfaktan ini

termasuk golongan surfaktan anionik (Smulders, 2002). Surfaktan sebagai

komponen utama dalam detergen memiliki rantai kimia yang sulit didegradasi

oleh alam (Sutanto, 1996; Widiyani, 2010). Surfaktan digolongkan berdasarkan

struktur kimianya atau berdasarkan sifat gugus hidrofilik dan gugus

hidrofobiknya. Surfaktan yang memiliki rantai atom karbon panjang merupakan


9

bagian yang hidrofobik. Sedangkan yang memiliki rantai atom karbon pendek

merupakan bagian yang hidrofilik. Oleh karena adanya kedua bagian ini dalam

suatu senyawa maka disebut dengan ampifilik.

Berdasarkan gugus hidrofilik surfaktan terbagi atas empat jenis (Rosen, 2004),

yaitu :

a. Surfaktan anionik

Surfaktan anionik merupakan surfaktan yang bermuatan negatif pada bagian

hidrofilik atau aktif permukaan (surface-active). Sifat hidrofilik disebabkan

karena adanya keberadaan gugus ionik yang sangat besar, seperti gugus sulfat dan

sulfonat. Contoh dari surfaktan jenis ini antara lain Linier Alkilbenzen Sulfonat

(LAS), Alkohol Sulfonat (AS), Alkohol Eter Sulfonat (AES), dan Metil Ester

Sulfonat (MES).

b. Surfaktan kationik

Surfaktan kationik merupakan surfaktan yang bermuatan positif pada gugus

hidrofiliknya. Sifat dari hidrofilik ini umumnya disebabkan karena adanya

keberadaan garam amonium. Contoh dari surfaktan jenis ini antara lain lemak

amina, amidoamina, diamina, amina oksida, dan amina etoksilat.

c. Surfaktan nonionik

Surfaktan nonionik merupakan jenis surfaktan yang tidak bermuatan atau tidak

terjadi ionisasi molekul. Sifat hidrofiliknya disebabkan karena adanya keberadaan

gugus eter atau hidroksil. Contoh dari surfaktan jenis ini antara lain Alkil

Poliglikosida (APG), Dietanol Amida (DEA), sukrosa eter, sorbitol, sorbitol ester,

dan etoksilat alkohol.


10

d. Surfaktan amfoterik

Surfaktan amfoterik merupakan jenis surfaktan yang bermuatan positif dan negatif

pada molekulnya. Muatan molekul pada surfaktan jenis ini bergantung pada pH,

dimana jika pH rendah akan bermuatan negatif sedangkan jika pH tinggi akan

bermuatan positif. Contoh dari surfaktan amfoterik ini antara lain asam amino

karboksilik, alkil betain, dan lain-lain.

Contoh-contoh surfaktan berdasarkan kelompoknya ditampilkan dalam Tabel 2.

Tabel 2.Contoh Surfaktan (Smulders, 2002).

Surfaktan Rumus molekul Jenis


Alkil (polietilen) glikol RO – (CH2 – CH2 – O)nH Nonionik
eter
Alkil sulfonat RO – SO3- Na+ Anionik
Dialkil/Dimetil amonium [H3C – N+(R)2 – CH3]Cl- Kationik
klorida
Betain R – N+(CH3)2 – CH2 – COO- Amfoterik

2. Bahan Penguat (Builder)

Builder adalah suatu bahan yang dapat menambah kerja dari bahan penurun

tegangan permukaan dengan cara menonaktifkan mineral penyebab kesadahan air.

Builder digunakan untuk melunakkan air sadah dengan cara mengikat mineral-

mineral yang terlarut, sehingga surfaktan dapat berkonsentrasi pada fungsi

utamanya. Builder juga membantu menciptakan kondisi keasaman yang tepat agar

proses pembersihan dapat berlangsung lebih baik serta membantu mendispersikan

dan mensuspensikan kotoran yang telah lepas. Senyawa yang termasuk ke dalam

builder adalah senyawa fosfat seperti sodium tripolyphospate (STPP),

tetrasodium pyrophosphate, hexametaphosphate dan senyawa-senyawa non fosfat

seperti
11

ethylenediamine tetraacetic acid (EDTA) dan diethylene triamine pentaacetic

acid (DTPA).

Detergen yang mengandung fosfat akan menghasilkan limbah yang mengandung

polifosfat, yang merupakan salah satu bentuk dari fosfor selain fosfor organik dan

ortofosfat (H2PO4-, HPO4-, PO4-) (Hammer and Viessman, 2005). Keberadaan

fosfat dalam air dapat menghambat penguraian pada proses biologis (Saefumilah,

2006). Fosfat merupakan bentuk persenyawaan fosfor yang berperan penting

sebagai penunjang kehidupan aquatik. Penggunaan detergen dapat meningkatkan

konsentrasi fosfat pada badan air buangan sehingga memicu pertumbuhan algae

(Paytan and McLaughin, 2007). Fosfat tidak memiliki daya racun, tetapi

akumulasinya dalam jumlah berlebihan dapat menyebabkan peningkatan unsur

hara atau eutrofikasi yang ditandai dengan terjadinya ledakan pertumbuhan

tanaman air sehingga menyebabkan pencemaran air (Widiyani, 2010).

Fosfat dalam limbah laundry berasal dari Sodium Tripolyphospate (STPP) yang

merupakan salah satu bahan yang kadarnya besar dalam detergen. Sodium

Tripolyphospate(STPP) berfungsi sebagai builder yang merupakan unsur

terpenting kedua setelah surfaktan karena memiliki kemampuan menonaktifkan

mineral kesadahan dalam air sehingga detergen dapat bekerja secara optimal.

STPP ini kemudian akan terhidrolisa menjadi PO4 dan P2O7 yang selanjutnya juga

terhidrolisa menjadi PO4 (Hera, 2003).

Ion magnesium dan ion kalsium di dalam air dapat mengurangi efektivitas

surfaktan, sehingga STPP bereaksi dengan ion-ion tersebut untuk

dapatmengurangi keberadaannya. Reaksi tersebut membentuk padatan dan


12

senyawa lain yang juga mengandung fosfat dan digunakan untuk mencegah

kotoran menempel kembali. Padatan yang terbentuk akibat reaksi tersebut akan

lebih tinggi bila air yang digunakan memiliki tingkat kesadahan tinggi, dan

sebaliknya (Kohler, 2006; Hudori, 2008). Struktur STPP dapat dilihat pada

Gambar 1.

Gambar 1. Struktur Sodium Tripolifosfat (STPP)

3. Bahan Pengisi (Filler)

Filler berfungsi sebagai pengisi dari seluruh campuran bahan baku yang berguna

untuk memperbanyak atau memperbesar volume. Keberadaan bahan ini dalam

campuran bahan baku detergen semata-mata ditinjau dari aspek ekonomis. Namun

selain digunakan sebagai pembantu proses, bahan pengisi ini juga berfungsi

meningkatkan kekuatan ionik dalam pelarutan pencuci. Pada umumnya sebagai

bahan pengisi digunakan natrium sulfat (Na2SO4), natrium klorida (NaCl), dan

natrium fosfat (Na2PO4) (Purnomo, 2002).

4. Bahan Tambahan (Additive)

Bahan tambahan (additive) merupakan sejumlah komponen detergen dengan

komposisi yang kecil yaitu 2-3 persen. Komponen-komponen detergen yang

termasuk ke dalam bahan aditif adalah alkali, parfum, antimicrobial agent,

softener, anticorrotion agent, dan lain-lain. Alkali berperan untuk meningkatkan

pH laundry sehingga proses emulsi lemak dan pengikatan kotoran


13

berlangsunglebih baik. Contoh alkali yang sering digunakan oleh produsen

detergen adalah natrium karbonat, natrium bikarbonat, dan natrium sitrat.

D. Adsorpsi

Adsorpsi adalah suatu proses pemisahan, dimana komponen dari suatu fase fluida

berpindah ke permukaan zat padat yang menyerap (adsorben). Berbagai jenis

adsorpsi melibatkan peristiwa fisika maupun kimia. Adsorpsi terhadap zat

pengotor atau zat organik ke permukaan karbon aktif dapat digolongkan sebagai

adsorpsi fisik. Proses adsorpsi kimia, umumnya terbatas pada berbagai ikatan

kimia antara atom-atom atau molekul pada permukaan zat padat (Ghozali dkk.,

1996). Kedua adsorpsi tersebut terjadi saat molekul dalam fase cair melekat pada

permukaan zat padat sebagai akibat gaya tarik-menarik pada permukaan zat padat

(adsorben/zat yang menyerap) untuk mengatasi energi kinetik molekul pencemar

pada fase cair (adsorbat/zat yang diserap) (Marlina et al., 1996).

Menurut Rizka dan Anggraini (2017) adsorpsi dapat dikelompokkan menjadi dua,

yaitu :

a. Adsorpsi fisika (physical adsorption)

Adsorpsi fisika terjadi karena adanya gaya Van der Waals dan merupakan suatu

proses bolak-balik apabila daya tarik menarik antara zat terlarut dan adsorben

lebih besar dari daya tarik menarik antara zat terlarut dengan pelarutnya maka zat

yang terlarut akan diadsorpsi pada permukaan adsorben. Pada adsorpsi fisika,

adsorbat tidak terikat kuat dengan permukaan adsorben sehingga adsorbat dapat

bergerak dari suatu bagian permukaan ke permukaan lainnya. Adsorpsi fisika

merupakan peristiwa reversibel sehingga jika kondisi operasinya diubah, maka


14

akan membentuk kesetimbangan baru. Adsorpsi fisika memiliki kegunaan dalam

hal penentuan luas permukaan dan ukuran pori.

b. Adsorpsi kimia (chemical adsorption)

Adsorpsi kimia yaitu adsorpsi yang terjadi karena terbentuknya ikatan kimia

antara molekul-molekul adsorbat dengan adsorben. Ikatan yang terbentuk

merupakan ikatan yang kuat sehingga lapisan yang terbentuk merupakan lapisan

monolayer. Adsorpsi kimia diawali dengan adsorpsi fisika dimana adsorbat

mendekat ke permukaan adsorben melalui gaya Van der Waals atau ikatan

hidrogen kemudian melekat pada permukaan dengan membentuk ikatan kimia

yang biasanya merupakan ikatan kovalen (Shofa, 2012).

Secara umum terdapat banyak faktor yang mempengaruhi adsorpsi fisika dan

kimia yaitu suhu, sifat pelarut, atau permukaan adsorben, struktur pori adsorben,

dan pH larutan. Parameter adsorpsi mempengaruhi besarnya kapasitas suatu

adsorben dalam menyerap adsorbat. Kapasitas adsorpsi menyatakan banyaknya

adsorbat yang mampu terakumulasi pada permukaan optimasi parameter yang

mempengaruhi adsorpsi (Asnawati dkk., 2017).

E. Adsorben

Adsorben adalah bahan padat dengan luas permukaan dalam yang sangat besar.

Karakteristik yang penting dari adsorben yaitu ukuran pori dan luas permukaan.

Ukuran pori berhubungan dengan luas permukaan, yaitu semakin kecil ukuran

pori adsorben maka luas permukaan semakin tinggi, sehingga jumlah molekul

yang teradsorpsi akan bertambah. Kemurnian adsorben juga merupakan

karakterisasi yang utama karena pada fungsinya adsorben yang lebih murni yang
15

lebih diinginkan karena kemampuan adsorpsi yang baik. Adsorben yang paling

banyak digunakan saat ini adalah adsorben yang berasal dari bahan alam.

Senyawa yang ada dalam bahan alami yang berperan dalam proses adsorpsi yaitu

selulosa, lignin, dan hemiselulosa (Asnawati dkk., 2017).

F. Karbon Aktif

Karbon aktif merupakan senyawa karbon amorph, yang dapat dihasilkan dari

bahan-bahan yang mengandung karbon atau dari arang yang diperlakukan dengan

cara khusus untuk mendapatkan permukaan yang lebih luas. Karbon aktif

biasanya dibuat dari bahan berbasis karbon, seperti lignin, bahan lignoselulosa,

polimer sintetis dan limbah karbon (Rizhikovs et al., 2012). Luas permukaan

karbon aktif berkisar antara 300-3500 m2/gram dan ini berhubungan dengan pori

internal yang menyebabkan karbon aktif mempunyai sifat sebagai adsorben.

Karbon aktif dapat mengadsorpsi gas dan senyawa-senyawa kimia tertentu atau

sifat adsorpsinya selektif, tergantung pada besar atau volume pori-pori dan luas

permukaan (Sembiring dan Sinaga, 2003).

Karbon aktif juga disebut sebagai suatu material padat yang memiliki pori

mengandung kurang lebih 90-99% senyawa karbon (Gultom dan Lubis, 2014;

Mutiara dkk., 2016). Karbon aktif memiliki pori-pori mikro dan makro dengan

jumlah, bentuk serta ukuran yang bervariasi. Bentuk pori bisa berupa silinder,

empat persegi panjang atau tidak beraturan dengan ukuran diameter 10-100.000 Å

(Sudrajat dan Pari, 2011). Karena strukturnya yang berpori inilah, karbon aktif

banyak digunakan dalam berbagai aplikasi, seperti untuk menghilangkan polutan

organik (Murti, 2008; Junior et al., 2009; Prabowo, 2009; Lienden et al., 2010).
16

Daya adsorpsi dari karbon aktif juga ditentukan dari jumlah senyawa karbonnya

dengan kisaran antara 85% sampai 95% karbon bebas.

Dalam satu gram karbon aktif, pada umumnya memliki permukaan seluas 500-

1500 m2, sehingga sangat efektif dalam menangkap partikel-partikel yang sangat

halus berukuran 0,01-0,0000001 mm. Karbon aktif bersifat sangat aktif dan akan

menyerap apa saja yang kontak dengan karbon tersebut. Dalam waktu 60 jam

biasanya karbon aktif tersebut akan menjadi jenuh dan tidak aktif lagi. Oleh

karena itu biasanya karbon aktif dikemas dalam kemasan kedap udara.

Karbon aktif banyak digunakan di dalam proses pemisahan, pemurnian gas,

pendinginan, elektrokatalis, dan perangkat elektrokimia serta industri makanan,

minuman, obat-obatan, dan pemurnian air (penjernihan air) (Khornia dkk., 2017;

Zhu et al., 2017).

Karbon aktif yang berasal dari biomassa dapat dibuat dengan aktivasi fisika (dua

tahap) menggunakan kukus ataupun gas CO2 pada temperatur tinggi, ataupun

aktivasi kimia (satu tahap) dengan menggunakan bahan kimia sebagai agen

aktivasi untuk membentuk struktur pori-pori (Yahya et al., 2015). Peningkatan

kualitas sifat dan mutu karbon aktif didasarkan pada kemampuan adsorpsinya

(Idrus dkk., 2013). Pori-pori karbon aktif perlu dilakukan aktivasi agar kinerja

dalam adsorpsi lebih optimal. Tujuan proses aktivasi yaitu untuk menambah atau

memperbesar diameter pori karbon dan mengembangkan volume yang terserap

dalam pori serta untuk membuka pori-pori baru (Prabarini and Okayadnya, 2014).

Keaktifan daya serap dari karbon aktif tergantung dari jumlah senyawa

karbonnya. Daya serap karbon aktif ditentukan oleh luas permukaan partikel
17

sehingga luas permukaan partikel dapat menjadi lebih tinggi jika karbon aktif

diaktivasi dengan bahan-bahan kimia ataupun dengan pemanasan pada suhu

tinggi. Karbon aktif yang telah diaktivasi akan berwarna hitam, tidak berbau, dan

mempunyai daya serap yang jauh lebih besar dibandingkan dengan karbon aktif

yang belum diaktivasi, serta mempunyai permukaan yang luas. Luasnya

permukaan karbon aktif disebabkan karena karbon mempunyai permukaan dalam

(internal surface) yang berongga, sehingga mempunyai kemampuan menyerap

gas dan uap atau zat yang berada di dalam suatu larutan.

Secara umum, karbon aktif dapat dibuat dalam dua tahap, yaitu :

1. Proses Karbonisasi/Pirolisa (Pengarangan)

Proses ini merupakan proses pembentukan arang dari bahan baku. Secara umum,

karbonisasi sempurna adalah pemanasan bahan baku tanpa adanya udara sampai

temperatur yang cukup tinggi untuk mengeringkan dan menguapkan senyawa

dalam karbon. Proses pengarangan bahan baku untuk pembuatan karbon aktif

dengan menggunakan temperatur yang berkisar antara 300-800˚C sesuai dengan

bahan baku yang akan digunakan. Beberapa faktor yang mempengaruhi

karbonisasi antara lain yaitu air, bahan baku, kekerasan bahan baku, udara, suhu

dan waktu karbonisasi (Griffin,1950).

Produk dari hasil proses karbonisasi memliki daya adsoprsi yang kecil. Hal ini

disebabkan pada proses karbonisasi suhunya rendah, sebagian dari tar yang

dihasilkan berada dalam pori dan permukaan sehingga mengakibatkan adsorpsi

terhalang. Produk hasil karbonisasi dapat diaktifkan dengan cara mengeluarkan

produk tar melalui pemanasan dalam suatu aliran gas inert, atau melalui ekstraksi

dengan menggunakan pelarut yang sesuai misalnya selenium oksida, atau melalui
18

sebuah reaksi kimia. Karbon aktif dengan daya adsorpsi yang besar, dapat

dihasilkan oleh proses aktivasi bahan baku yang telah dikarbonisasi dengan suhu

tinggi (Hassler, 1951).

2. Proses Aktivasi

Karbon yang dihasilkan dari proses karbonisasi merupakan karbon yang tak aktif

sebagai adsorben karena masih mengandung deposit hidrokarbon dan senyawa

kimia seperti fenol, kresol, dan xylenol sehingga mempunyai area permukaan

spesifik yang sempit. Produk dari karbonisasi tidak dapat diaplikasikan sebagai

adsorben (karena struktur porosnya tidak berkembang) tanpa adanya tambahan

aktivasi. Aktivasi merupakan salah satu proses yang menyebabkan suatu substansi

mempunyai sifat adsorben. Proses aktivasi menghasilkan karbon oksida yang

tersebar dalam permukaan karbon karena adanya reaksi antara karbon dengan zat

pengoksidasi (Kinoshita, 1988).

Proses aktivasi karbon aktif dibedakan menjadi dua bagian, yaitu :

a. Aktivasi secara fisika

Aktivasi secara fisika/thermal merupakan proses aktivasi yang melibatkan adanya

zat pengoksidasi seperti oksida oleh udara pada temperatur rendah, uap, CO2 atau

aliran gas pada temperatur tinggi (Pohan, 1993). Metode aktivasi secara fisika

antara lain dengan menggunakan uap air, gas karbon dioksida, oksigen, dan

nitrogen. Gas-gas tersebut berfungsi untuk mengembangkan struktur rongga yang

ada pada arang sehingga memperluas permukaannya menghilangkan konstituen

yang mudah menguap dan membuang produksi tar atau hidrokarbon-hidrokarbon

pengotor pada arang.


19

Aktivasi fisika dapat mengubah material yang telah dikarbonisasi dalam sebuah

produk yang memiliki luas permukaan yang luar biasa dan struktur pori. Tujuan

dari proses ini adalah mempertinggi volume, memperluas diameter pori yang

terbentuk selama karbonisasi dan dapat menimbulkan beberapa pori yang baru

(Swiatkowski, 1998). Kenaikan temperatur aktivasi pada kisaran 450˚C-700˚C

dapat meningkatkan luas permukaan spesifik dari karbon aktif (Raharjo, 1997).

b. Aktivasi secara kimia

Aktivasi secara kimia merupakan proses aktivasi yang melibatkan penggunaan

bahan-bahan kimia, baik yang telah ada ataupun sengaja ditambahkan untuk

menguraikan material selulosa secara kimia. Aktivasi secara kimia dilakukan

dengan mencampur material berkarbon dengan reagen pengaktif, lalu campuran

dikeringkan dan dipanaskan di dalam retort. Aktivasi secara kimia biasanya

menggunakan bahan-bahan pengaktif seperti garam kalsium klorida (CaCl2),

magnesium klorida (MgCl2), seng klorida (ZnCl2), natrium hidroksida (NaOH),

natrium karbonat (Na2CO3) dan natrium klorida (NaCl). Selain garam mineral

biasanya digunakan ialah berbagai asam dan basa organik seperti asam sulfat

(H2SO4), asam klorida (HCl), dan asam hipoklorit (H3PO4).

Bahan-bahan pengaktif tersebut berfungsi untuk mendegradasi atau penghidrasi

molekul organik selama proses karbonisasi, membatasi pembentukan tar,

membantu dekomposisi senyawa organik pada aktivasi berikutnya, dehidrasi air

yang terjebak dalam rongga-rongga karbon, membantu menghilangkan endapan

hidrokarbon yang dihasilkan saat proses karbonisasi dan melindungi permukaan

karbon sehingga kemungkinan terjadinya oksidasi dapat dikurangi (Manocha,

2003).
20

3. Jenis-Jenis Karbon Aktif

Ada tiga jenis karbon aktif yang banyak dipasaran yaitu :

a. Bentuk serbuk

Karbon aktif bentuk serbuk memiliki ukuran lebih kecil dari 0,18 mm. Biasa

digunakan pada industri pengolahan air minum, industri farmasi, terutama untuk

pemurnian monosodium glutamate, bahan tambahan makanan, penghilang

warnaasam furan, pengolahan jus buah, penghalus gula, pemurnian asam sitrat,

asam tartarik, pemurnian glukosa dan pengolahan zat pewarna kadar tinggi.

Gambar 2. Karbon aktif bentuk serbuk (Saputro, 2012).

b. Bentuk granular

Karbon aktif bentuk granular/tidak beraturan memiliki ukuran 0,2-5 mm. Jenis ini

umumnya digunakan dalam aplikasi fasa cair dan gas. Beberapa aplikasi dari jenis

ini antara lain digunakan untukpemurnian emas, pengolahan air limbah dan air

tanah, pemurni pelarut dan penghilang bau busuk.

Gambar 3. Karbon aktif bentuk granular (Saputro, 2012).


21

c. Bentuk pellet

Karbon berbentuk pellet memiliki diameter 0,8-5 mm. Kegunaan utamanya adalah

untuk aplikasi fasa gas karena mempunyai tekanan rendah, kekuatan mekanik

tinggi dan kadar abu rendah. Digunakan untuk pemurnian udara, kontrol emisi,

tromol otomotif, penghilang bau kotoran dan pengontrol emisi pada gas buang.

Gambar 4. Karbon aktif bentuk pellet (Saputro, 2012).

G. Sekam Padi

Sekam padi biasanya hanya digunakan sebagai bahan bakar konvensional

(Danarto, 2007). Sekam memiliki Bulk Density (BD) rendah dengan kadar abu

tinggi, berkisar 18-22% (Bharadwaj et al., 2004). Abu merupakan unsur

anorganik yang terdapat dalam sekam padi, dengan kandungan utama abu sendiri

yaitu silika sekitar 87-97% dari berat abu sekam padi. Kandungan silika yang

tinggi disebabkan oleh komposisi silikon yang dominan dalam sekam padi

(Harsono, 2002).

Kandungan abu dalam sekam padi adalah sekitar 20% dan lebih dari 90% abu

tersebut adalah silika (Sapei dkk., 2012). Silika yang dihasilkan dari abu sekam

padi hasil pembakaran merupakan silika amorf (Chandrasekhar et al., 2005;

Umeda and Kondoh, 2008; Sapei dkk., 2012). Silika amorf yang dihasilkan dari

abu sekam padi diduga sebagai sumber penting untuk menghasilkan silikon

murni, karbida silikon, dan tepung nitrit silikon (Katsuki et al., 2005).
22

Sekam padi merupakan bagian pelindung terluar dari padi (Oryza Sativa) dan

pada saat penggilingan dihasilkan sekam sebanyak 20-3%, dedak 8-12% dan beras

giling 52% bobot awal gabah. Komposisi utama sekam padi terdiri atas selulosa

33-34% berat, lignin 19-47% berat, jika dibakar dengan oksigen akan

menghasilkan abu sekam 13-29% berat, sekam padi yang mengandung silika

cukup tinggi yaitu 87-97% berat abu sekam padi (Harsono, 2002). Komposisi

kimia sekam padi dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi Kimia Sekam Padi (Houston, 1972).


Komponen %Berat
Kadar air 32,40 - 11,35
Protein kasar 1,70 – 7,26
Lemak 0,38 – 2,98
Ekstrak nitrogen bebas 24,70 – 38,79
Serat 31,37 – 49,92
Abu 13,16 – 29,04
Pentosa 16,94 – 21,95
Selulosa 34,34 – 43,80
Lignin 21,40 – 46,97

H. Karakterisasi

1. Scanning Electron Microscope Energy Dispersive X-Ray (SEM-EDX)

Scanning Electron Microscope (SEM) merupakan alat yang digunakan untuk uji

mikrostruktur pada sebuah sampel (Febriany, 2010). SEM adalah suatu tipe

mikroskop elektron yang menggambarkan permukaan sampel melalui proses scan

dengan menggunakan pancaran energi yang tinggi dari elektron dalam suatu pola

scan raster (Razi, 2012). SEM dilengkapi dengan mikroskop optik yang

digunakan untuk mempelajari tekstur, topografi, dan sifat permukaan bubuk atau

padatan dan karena ketajaman fokus dari alat SEM sehingga gambar yang

dihasilkan memiliki kualitas tiga dimensi yang pasti (West, 1999).


23

Elektron yang dihasilkan oleh SEM ini berasal dari electron gun, yang bersifat

monokromatik, dimana pancaran dari elektron tersebut diteruskan ke anoda. Pada

proses ini elektron mengalamai penyerahan menuju titik fokus. Anoda berfungsi

membatasi pancaran elektron yang memiliki sudut hambur yang terlalu besar.

Berkas elektron yang telah melewati anoda diteruskan menuju lensa magnetik,

scanning coils, dan akhirnya menembak spesimen (Sampson, 1996). Interaksi

antara bahan dan elektron di dalam SEM dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Skema Interaksi a di dalam SEM (Sujatno dkk., 2015).

Elektron dengan energi yang cukup besar akan menumbuk sampel, sehingga

menyebabkan terjadinya emisi sinar-X yang energi dan intensitasnya bergantung

pada komposisi elemental sampel. Energi spesifik sinar-X yang dipancarkan oleh

setiap atom dalam senyawa dapat dideteksi dengan Energy Dispersive X-Ray

(EDX). EDX adalah suatu teknik analitik yang sering digunakan untuk

menganalisis unsur-unsur atau mengkarakterisasi kandungan unsur kimia dari

suatu sampel. EDX menganalisis sampel melalui interaksi antara radiasi

elektromagnetik dengan unsur-unsur dan menganalisis emisi sinar-X oleh unsur

dalam partikel (Abdullah dkk., 2008).


24

2. Fourier Transform Infra Red (FTIR)

FTIR merupakan singkatan dari Fourier Transform Infra Red. Dimana FTIR ini

adalah teknik yang digunakan untuk mendapatkan spektrum inframerah dari

absorbansi, emisi, fotokonduktivitas atau raman scattering dari sampel padat,

cair, dan gas. Karakterisasi dengan menggunakan FTIR bertujuan untuk

mengetahui jenis-jenis vibrasi antar atom. FTIR juga digunakan untuk

menganalisa senyawa organik dan anorganik serta analisa kualitatif dan kuantitatif

dengan melihat kekuatan absorpsi senyawa pada panjang gelombang tertentu

(Hindryawati dan Alimuddin, 2010; Mujiyanti dkk., 2010).

Spectroscopy FTIR menggunakan sistem optik dengan laser yang berfungsi

sebagai sumber radiasi yang kemudian diinterferensikan oleh radiasi inframerah

agar sinyal radiasi yang diterima oleh detektor memiliki kualitas yang baik dan

bersifat utuh (Giwangkara, 2006). Prinsip kerja FTIR berupa infrared yang

melewati celah ke sampel, dimana celah tersebut berfungsi mengontrol jumlah

energi yang disampaikan kepada sampel. Kemudian beberapa infrared diserap

oleh sampel dan lainnya ditransmisikan melalui permukaan sampel sehingga sinar

infrared lolos ke detektor dan sinyal yang terukur kemudian dikirim ke komputer

seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6 (Thermo, 2001).

Spektroskopi inframerah berguna untuk identifikasi senyawa organik karena

spektrumnya yang sangat kompleks yang terdiri dari banyak puncak (Chusnul,

2011). Selain itu, masing-masing kelompok fungsional menyerap sinar inframerah

pada frekuensi yang unik. Instrumen ini digunakan untuk mengetahui jenis-jenis

gugus fungsi yang dapat mengindikasikan komposisi umum dari obat dan limbah.
25

Gambar 6. Skema prinsip kerja FTIR (Thermo, 2001).

3. Particle Size Analyzer (PSA)

Particle Size Analyzer (PSA) adalah suatu alat yang digunakan untuk menentukan

distribusi ukuran partikel pada suatu emulsi, suspensi, dan bubuk kering. PSA

dapat menganalisis partikel suatu sampel yang bertujuan menentukan ukuran

partikel dan distribusinya dari sampel yang representatif. Distribusi ukuran

partikel dapat diketahui melalui gambar yang dihasilkan. Ukuran tersebut

dinyatakan dalam jari-jari untuk partikel yang berbentuk bola. Penentuan ukuran

partikel menggunakan PSA dapat dilakukan dengan :

1) Difraksi sinar laser untuk partikel dari ukuran submikron sampai dengan

milimeter.

2) Coulter principle untuk mengukur dan menghitung partikel yang berukuran

mikron sampai dengan milimeter.

3) Penghamburan sinar untuk mengukur partikel yang berukuran mikron sampai

nanometer

(Monita, 2015).

Pengukuran partikel dengan menggunakan PSA biasanya menggunakan metode

basah. Metode ini dinilai lebih akurat jika dibandingkan dengan metode kering

ataupun pengukuran partikel dengan metode ayakan dan analisa gambar, terutama
26

untuk sampel-sampel dalam orde nanometer yang cenderung memiliki aglomerasi

yang tinggi. Hal ini dikarenakan partikel didispersikan ke dalam media sehingga

partikel tidak saling aglomerasi. Selain itu, hasil pengukuran ditampilkan dalam

bentuk distribusi, sehingga hasil pengukuran dapat diasumsikan sudah

menggambarkan keseluruhan kondisi sampel (Horiba, 2014).

Gambar 7. Alat Particle Size Analyzer (PSA).

4. Spektrofotometer UV-Vis

Spektrofotometri sinar tampak (UV-Vis) adalah metode analisa yang digunakan

untuk mengkaji sifat adsorbsi material dalam rentang panjang gelombang

ultraviolet (200 nm – 400 nm) hingga mencakup panjang gelombang cahaya

tampak atau visible (400 nm – 750 nm). Absorbsi cahaya ultraviolet maupun

cahaya tampak mengakibatkan transisi elektron, yaitu perubahan elektron-elektron

dari orbital dasar berenergi rendah ke orbital keadaan tereksitasi berenergi tinggi.

Penyerapan radiasi ultraviolet atau sinar tampak bergantung pada mudahnya

transisi elektron. Molekul-molekul yang memerlukan lebih banyak energi untuk

transisi elektron akan menyerap panjang gelombang yang lebih panjang

(Fessenden, 2009).

Menurut Skoog et al. (1996), secara garis besar spektrofotometer terdiri dari 4

bagian penting yaitu:

a. Sumber cahaya
27

Sumber cahaya pada spektrofotometer harus memiliki pancaran radiasi yang stabil

dan intensitasnya tinggi. Sumber energi cahaya yang biasa untuk daerah tampak,

ultraviolet dekat dan inframerah dekat adalah sebuah lampu pijar dengan kawat

rambut terbuat dari wolfram (tungsten). Lampu ini mirip dengan bola lampu pijar

biasa, daerah panjang gelombang (λ) adalah 350 – 2200 nanometer (nm). Lampu

hidrogen atau lampu deuterium digunakan untuk sumber pada daerah ultraviolet

(UV). Lampu wolfram juga digunakan sebagai sumber cahaya, kelebihan lampu

wolfram adalah energi radiasi yang dibebaskan tidak bervariasi pada berbagai

panjang gelombang. Sumber cahaya untuk spektrofotometer inframerah sekitar 2

sampai 15 μm menggunakan pemijar Nernst.

b. Monokromator

Monokromator merupakan alat yang berfungsi untuk menguraikan cahaya

polikromatis menjadi beberapa komponen panjang gelombang tertentu

(monokromatis) yang bebeda. Monokromator terdiri dari dua macam yaitu prisma

dan kisi difraksi. Cahaya monokromatis ini dapat dipilih pada panjang gelombang

tertentu yang sesuai untuk kemudian dilewatkan melalui celah sempit yang

disebut slit. Ketelitian dari monokromator dipengaruhi juga oleh lebar celah yang

dipakai.

c. Kuvet

Kuvet spektrofotometer adalah suatu alat yang digunakan sebagai tempat sampel

atau cuplikan yang akan dianalisis. Kuvet harus memenuhi syarat-syarat berikut:

1) Tidak berwarna sehingga dapat mentransmisikan semua cahaya.

2) Permukaannya secara optis harus benar-benar sejajar.

3) Harus tahan (tidak bereaksi) terhadap bahan-bahan kimia.


28

4) Mempunyai bentuk yang sederhana.

5) Tidak boleh rapuh.

Kuvet biasanya terbuat dari kwarsa, plexiglass, plastik dengan bentuk tabung

empat persegi panjang 1x1 cm dan tinggi 5 cm. Kuvet yang dipakai pada

pengukuran di daerah UV yaitu kuvet kwarsa atau plexiglass, sedangkan kuvet

dari kaca tidak dapat dipakai sebab kaca mengabsorbsi sinar UV. Pengukuran di

daerah sinar tampak dapat menggunakan semua macam kuvet.

d. Detektor

Detektor penerima berperan memberikan respon terhadap cahaya pada berbagai

panjang gelombang. Detektor akan mengubah cahaya menjadi sinyal listrik yang

selanjutnya akan ditampilkan oleh penampil data dalam bentuk jarum penunjuk

atau angka digital. Syarat-syarat ideal sebuah detektor yaitu :

1) Kepekaan yang tinggi.

2) Perbandingan isyarat atau signal dengan bising tinggi.

3) Respon konstan pada berbagai panjang gelombang.

4) Waktu respon cepat dan signal minimum tanpa radiasi.

5) Sinyal listrik yang dihasilkan harus sebanding dengan tenaga radiasi.

Monokromator akan mengubah cahaya polikromatis menjadi cahaya

monokromatis (tunggal). Berkas-berkas cahaya dengan panjang tertentu kemudian

akan dilewatkan pada sampel yang mengandung suatu zat dalam konsentrasi

tertentu. Oleh karena itu, terdapat cahaya yang diserap (diadsorbsi) dan ada pula

yang dilewatkan. Cahaya yang dilewatkan ini kemudian diterima oleh detektor.

Detektor kemudian akan menghitung cahaya yang diterima dan mengetahui

cahaya yang diserap oleh sampel. Cahaya yang diserap sebanding dengan
29

konsentrasi zat yang terkandung dalam sampel sehingga akan diketahui

konsentrasi zat dalam sampel secara kuantitatif. Skema alat spektrofotometer UV-

Vis ditunjukkan pada Gambar 8.

Gambar 8. Skema komponen Spektrofotometer UV-Vis (Skoog et al., 1996).


III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan, yaitu bulan Januari sampai April

2020. Pembuatan karbon aktif dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik dan

Instrumentasi, Universitas Lampung. Karakterisasi karbon aktif menggunakan

SEM-EDX (Scanning Microscope Energy Dispersive X-Ray) dan FTIR (Fourier

Transform Infra Red), serta uji adsorpsi menggunakan Spektrofotometer UV-Vis

(Ultra Violet-Visible) dilakukan di Laboratorium Terpadu dan Sentra Inovasi

Teknologi (LTSIT), Universitas Lampung. Karakterisasi karbon aktif

menggunakan PSA (Particle Size Analyzer) dilakukan di Laboratorium Sentral,

Universitas Padjajaran.

B. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu peralatan gelas, neraca

analitik, pipet tetes, kertas saring biasa, pH meter, ayakan mesh, shaker, siever,

oven,furnace, lumpang porselin, desikator, sentrifuga, labu ukur 100 ml, corong

pemisah 250 ml, SEM-EDX (Scanning Electron Microscope Energy Dispersive

X-Ray), FTIR (Fourier Transform Infra Red), PSA (Particle Size Analyzer) dan

spektrofotometer UV-Vis (Ultra Violet-Visible).

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu air limbah laundry, sekam

padi, air suling, NaOH 25%, HCl 1N (37% analisis grade), ZnCl2 10%, indikator
31

fenolftalin (PP) 0,5%, natrium hidroksida (NaOH) 1N, asam sulfat (H2SO4)1N,

sam sulfat (H2SO4) 6N, biru metilen, kloroform (CH3Cl), larutan pencuci,

hidrogen peroksida (H2O2) 30%, isopropil alkohol (i-C3H7OH), natrium sulfat

(Na2SO4), serabut kaca (glass wool), asam sulfat (H2SO4) 5N, kalium antimonil

tartrat (K(SbO)C4H4O6.½H2O), amonium molibdat ((NH4)6Mo7O24.4H2O), asam

askorbat (C6H8O6) 0,1M, larutan campuran dan kalium dihidrogen fosfat anhidrat

(KH2PO4).

C. Prosedur Penelitian

1. Preparasi Sekam Padi

Sekam padi dicuci dengan air panas untuk menghilangkan kotoran yang

menempel pada sekam padi. Setelah direndam dengan air panas, kemudian

direndan menggunakan air suling selama semalam dan dicuci kembali

menggunakan air panas keesokan paginya, sehingga kotoran yang menempel pada

sekam padi benar-benar hilang. Sekam padi yang sudah bersih lalu dikeringkan

menggunakan oven selama semalaman pada suhu 90˚C. Kemudian sekam padi

yang sudah dikeringkan dilarutkan dengan menggunakan larutan HCl 1N dalam

gelas kimia 1000 ml selama 1 jam sambil dipanaskan menggunakan

heatingmantle dengan suhu 75˚C. Setelah itu, disaring dan residu padatannya

dicuci berulang kali dengan air suling untuk menghilangkan ion-ion logam yang

masih menempel pada sekam padi. Sekam padi kemudian dikeringkan

menggunakan oven pada suhu 90˚C selama semalam.

Ditimbang sebanyak 40 gram sekam padi dan dilarutkan dengan NaOH 25 %

sebanyak 600 ml dalam gelas kimia 1000 ml, lalu dipanaskan selama 1 jam

dengan menggunakan magnetic stirrer hot plate pada suhu 90˚C. Kemudian
32

disaring menggunakan kertas saring sehingga diperoleh filtrat berupa ekstrak

silika dan residu sekam padi. Residu sekam padi kemudian dicuci dengan

menggunakan air suling secara berulang kali dan dikeringkan dengan oven pada

suhu 105˚C selama 4 jam untuk menghilangkan konsentrasi airnya.

2. Pembuatan Karbon Aktif dari Sekam Padi

Ditimbang sekam padi tanpa unsur silika sebanyak 50 gram hasil ekstraksi silika

dan dilakukan karbonisasi menggunakan furnace pada suhu 300˚C selama 2 jam.

Karbon hasil furnace kemudian dihaluskan menggunakan lumpang porselin lalu

dimasukkan dalam desikator. Karbon yang sudah dihaluskan kemudian diaktivasi

dengan menggunakan ZnCl2 10 % disaring menggunakan kertas saring. Setelah

proses penyaringan, karbon dicuci dengan air suling pH 7. Setelah itu dikeringkan

dalam oven pada suhu 105˚C selama 3 jam. Kemudian karbon diaktivasi secara

fisika menggunakan furnace pada suhu 400˚C selama 1 jam. Setelah diaktivasi

secara fisika, karbon dimasukkan ke dalam desikator dan diayak dengan ayakan

mesh ukuran 100 µm.

3. Karakterisasi Karbon Aktif

Karbon aktif sekam padi yang diperoleh selanjutnya dikarakterisasi menggunakan

SEM-EDX untuk melihat morfologi (struktur) permukaan dan komposisinya, FT-

IR untuk menentukan gugus fungsinya, dan PSA untuk menentukan distribusi

ukuran partikel.
33

4. Preparasi Bahan Penentuan Kadar Surfaktan Anionik

a. Larutan indikator fenolftalin 0,5%

Dilarutkan 0,5 gram fenolftalin dengan 50 ml alkohol 95% di dalam gelas piala

250 ml. Lalu ditambahkan 50 ml air suling dan beberapa tetes larutan NaOH 0,02

N sampai warna merah muda.

b. Larutan natrium hidroksida (NaOH) 1N

Dilarutkan 4,0 gram NaOH dengan 50 ml air suling di dalam labu ukur 100 ml,

kemudian ditambahkan air suling sampai tepat tanda tera dan dihomogenkan.

c. Larutan asam sulfat (H2SO4) 1N

Diambil 2,8 ml H2SO4 pekat, kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml

yang berisi 50 ml air suling. Lalu ditambahkan air suling sampai tepat tanda tera

dan dihomogenkan.

d. Larutan asam sulfat (H2SO4) 6N

Diambil 20 ml H2SO4 pekat, kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 200 ml

yang berisi 120 ml air suling. Lalu ditambahkan air suling sampai tepat tanda tera

dan dihomogenkan.

e. Larurtan biru metilen

Dilarutkan 100 mg biru metilen dengan 100 ml air suling dan dihomogenkan.

Kemudian diambil 30 ml dari larutan tersebut dan dimasukkan ke dalam labu ukur

1000 ml, lalu ditambahkan 500 ml air suling, 41 ml H2SO4 6N dan 50 gram

natrium dihidrogen fosfat monohidrat (NaH2PO4.H2O). Dikocok hingga larut

sempurna kemudian ditambahkan air suling hingga tepat tanda tera dan

dihomogenkan.
34

f. Larutan pencuci

Diambil 41 ml H2SO4 6N dan dimasukkan ke dalam labu ukur 1000 ml yang

berisi 500 ml air suling. Kemudian ditambahkan 50 gram natrium dihidrogen

fosfat monohidrat (NaH2PO4.H2O). Dikocok hingga larut sempurna kemudian

ditambahkan air suling hingga tepat tanda tera dan dihomogenkan.

5. Penentuan Kadar Surfaktan Anionik dengan metode Methylene Blue

Alkyl Sulfonate (MBAS)

Dalam penentuan kadar surfaktan anionik, larutan standar untuk pembuatan kurva

kalibrasi maupun larutan sampel diperlakukan sama. Sampel air limbah laundry

sebanyak 100 ml dimasukkan ke dalam corong pemisah 250 ml. Lalu

ditambahkan 3 tetes sampai dengan 5 tetes indikator fenolftalin dan larutan NaOH

1N tetes demi tetes ke dalam larutan sampel sampai timbul warna merah muda.

Warna yang terbentuk kemudian dihilangkan dengan ditambahkan H2SO4 1N tetes

demi tetes. Selanjutnya sebanyak 25 ml larutan biru metilen dan 10 ml kloroform

ditambahkan ke dalam corong pisah, kemudian campuran dikocok selama 30 detik

sambil sesekali dibuka tutup corong untuk mengeluarkan gas. Setelah itu,

campuran dibiarkan hingga terjadi pemisahan fasa. Lapisan bawah (fasa

kloroform) dipisahkan dan ditampung ke dalam corong pemisah yang lain.

Diekstraksi kembali fasa air dalam corong pemisah sebanyak dua kali dengan

menambahkan 10 ml kloroform pada tiap ekstraksi.

Ekstrak kloroform yang terkumpul pada corong pisah kedua kemudian

ditambahkan dengan 50 ml larutan pencuci dan dikocok selama 30 detik, lalu

dibiarkan hingga terjadi pemisahan fasa. Lapisan bawah (kloroform) dikeluarkan

melalui glass wool dan ditampung ke dalam labu ukur 100 ml. Kemudian
35

diekstraksi kembali fasa air dalam corong pisah dengan menambahkan 10 ml

kloroform dan dikocok selama 30 detik. Setelah itu dicuci glass wool dengan

kloroform sebanyak 10 ml dan fasa kloroform dalam labu ukur digabungkan.

Kemudian dilakukan pengenceran pada fasa kloroform dalam labu ukur hingga

tanda tera. Selanjutnya dilakukan pembacaan serapan dari lapisan kloroform yang

telah diencerkan dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 652

nm dan hal yang sama dilakukan pada blanko. Penentuan kadar surfaktan anionik

dengan metode MBAS ini dilakukan pada sampel limbah laundry sebelum dan

sesudah proses pengolahan dengan karbon aktif.

6. Preparasi Bahan Penentuan Kadar Fosfat

a. Larutan asam sulfat (H2SO4) 5N

Dimasukkan dengan hati-hati 70 ml asam sulfat pekat ke dalam gelas piala yang

berisi 300 ml air suling dan diletakkan pada penangas es. Kemudian diencerkan

larutan dengan air suling sampai 500 ml dan dihomogenkan.

b. Larutan kalium antimonil tartrat (K(SbO)C4H4O6.½H2O)

Dilarutkan sebanyak 1,3715 gram kalium antimonil tartrat dengan 400 ml air

suling dalam labu ukur 500 ml. Kemudian ditambahkan air suling hingga tepat

tanda tera dan dihomogenkan.

c. Larutan amonium molibdat ((NH4)6Mo7O24.4H2O)

Dilarutkan sebanyak 20 gram amonium molibdat dalam 500 ml air suling dan

dihomogenkan.

d. Larutan asam askorbat (C6H8O6) 0,1M

Dilarutkan sebanyak 1,76 gram asam askorbat dalam 100 ml air suling dan

dihomogenkan.
36

e. Larutan campuran

Dicampurkan secara berturut-turut 50 ml H2SO4 5N, 5 ml larutan kalium

antimonil tartrat, 15 ml larutan amonium molibdat dan 30 ml larutan asam

askorbat.

7. Penentuan Kadar Fosfat

Sampel air limbah laundry diambil sebanyak 50 ml dan dimasukkan ke dalam

Erlenmeyer. Sampel kemudian ditambahkan satu tetes indikator fenolftalin. Jika

terbentuk warna merah muda, dilakukan penambahan H2SO4 5N tetes demi tetes

sampai warna hilang. Kemudian ditambahkan 8 ml larutan campuran dan

dihomogenkan. Larutan didiamkan selama 15 menit. Selanjutnya campuran

tersebut dimasukkan ke dalam kuvet sebanyak ¾ bagian dari volume kuvet dan

diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada

panjang gelombang 880 nm. Penentuan kadar fosfat ini dilakukan pada sampel

limbah laundry sebelum dan sesudah proses pengolahan dengan karbon aktif.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Mikrajuddin, dan Khairurrijal. 2008. Karakterisasi Nanomaterial. A

Review : Jurnal Nanoscience dan Teknologi. 2 (1).

Agustina, T. E., M. Faizal, and T. Aprianti. 2014. Application of Activated

Carbon and Natural Zeolite for Phosphate Removal form Laundry

Wastewater. Proceeding of The 5th Sriwijaya International Seminar on

Energy and Environmental Science & Technology. Palembang Indonesia.

Asnawati, A., R. R. Kharismaningrum, dan A. Novita. 2017. Penentuan Kapasitas

Adsorpsi Selulosa terhadap Rhodamin B dalam Sintesis Dinamis. Jurnal

Kimia Riset. 2 (1) : 23-29.

Badan Pusat Statistik Indonesia. 2018. Luas Panen dan Produksi Beras di

Indonesia tahun 2018.

Bharadwaj, A., Y. Wang, S. Sridhar, and V. S. Arunachalam. 2004. Pyrolysis of

Rice Husk. Research Comunication. 7 : 981-986.

Bourdeau, P., and M. Treshow. 1978. Ecosystem Respone to Pollution in G. C.

Butler, ed. Principles of Ecotoxycology. John Wiley and Sons Inc. New

York. 313-312.
38

Chandrasekhar, S., P. N. Pramada, I. Praveen. 2005. Effect of Organic Acid

Treatment on The Properties of Rice Husk Silica. Journal of Materials

Science. 40 : 6353-6544.

Chusnul. 2011. Spektroskopi UR. www.scribd.com. Diakses pada tanggal 19

November 2019 pukul 11.00 WIB.

Ciabatti, I. F., L. Cesaro, E. Faralli, E. Fatrella, and F. Togotti. 2009.

Demonstration of A Treatment System for Parification and Reuse of

Laundry Wastewater. Desalination. 245, 451-459.

Danarto. 2007. Adsorpsi Limbah Logam Berat Multikomponen dengan Karbon

dari Sekam Padi. (Skripsi). Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Doke, K. M., and E. M. Khan. 2017. Equilibrium Kinetic and Diffusion

Mechanism of Cr (VI) Adsorption Onto Activated Carbon from Wood

Apple Shell. Arabian Journal of Chemistry. 10 : 252-260.

Febriany, Y. 2010. Kuat Tekan Keramik Berbahan Dasar Feldsfer (70%-80%),

Kaolin (5%-25%), dan Silika (5%-25%) dalam Segita Segger. (Abstrak).

Universitas Malang. Malang.

Fessenden. 2009. Kimia Organik Jilid 1 Edisi Ketiga. Erlangga. Jakarta.

Garcia, M. A., E. M. Corzo, M. A. Dominguez, M. A. Franco, and J. M. Naharro.

2016. Study of The Adsorption and Electroadsorption Process of Cu (II)

Ions Within Thermally and Chemically Modified Activated Carbon.

Journal of Hazardous Materials.


39

Ghozali, Inarti, Retno, Muchtar, dan Harita. 1996. Operasi Teknik Kimia. Pusat

Pengembangan Pendidikan Politeknik Bandung. Bandung.

Ginting, P. 2007. Sistem Pengelolaan Lingkungan dan Limbah Industri. Yrama

Widya. Bandung.

Giwangkara, S. E. G. 2006. Aplikasi Logika Syaraf Fuzzy pada Analisis Sidik Jari

Minyak Bumi Menggunakan FTIR. Sekolah Tinggi Energi dan Mineral.

Cepu Jawa Tengah.

Gultom, E. M., dan M. T. Lubis. 2014. Aplikasi Karbon Aktif dari Cangkang

Kelapa Sawit dengan Aktivator H3PO4 untuk Penyerapan Logam Berat Cd

dan Pb. Jurnal Teknik Kimia Universitas Sumatera Utara. 3 (1) : 5-10.

Hammer, M. J., dan W. Viessman. 2005. Water Supply and Pollution Control 8th

Edition. Prentice Hall. United State of America.

Hanum, F., R. J. Gultom, dan M. Simanjuntak. 2017. Adsorpsi Zat Warna Metilen

Biru dengan Karbon Aktif dari Kulit Durian Menggunakan KOH dan NaOH

sebagai Aktivator. Jurnal Teknik Kimia. 6 (1) : 49-55.

Harsono, H. 2002. Pembuatan Silika Amorf dari Limbah Sekam Padi. Jurnal Ilmu

Dasar. 2 (3) : 98-103.

Hassler, J. W. 1951. Activated Carbon. Chemical Publishing Co. Inc. New York.

Hera. 2003. Sodium Tripolyphosphate. Human & Environmental Risk Assessment

on Ingredients of European Household Cleaning Products. London.


40

Hermansyah. 2010. Teknologi Ultrafiltrasi dalam Pengolahan Limbah Laundry.

Tugas Akhir Teknik Lingkungan. Semarang. 27 (2).

Hindryawati, N., dan Alimuddin. 2010. Sintesis dan Karakterisasi Silika Gel dari

Abu Sekam Padi dengan Menggunakan Natrium Hidroksida (NaOH).

Jurnal Kimia Mulawarman. 7 (2) : 75-77.

Houstin, D. F. 1972. Rice Chemistry and Technology. American Association of

Cereal Chemist Inc. St. Paul. Minnesota.

Horiba Instruments. 2014. A Guidebook to Particle Size Anlysis. 1-800-4

HORIBA.

Hudori. 2008. Pengolahan Air Limbah Laundry dengan Menggunakan

Elektrokoagulasi. (Skripsi). Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Idrus, R., P. L. Boni, dan S. S. Yoga. 2013 Pengaruh Suhu Aktivasi terhadap

Kualitas Karbon Aktif Berbahan Dasar Tempurung Kelapa. Jurnal Prisma

Fisika. 1 (1) : 50-55.

Jalali, R., H. Ghafurian, S.J. Davarpanah, and S. Sepehr. 2002. Removal and

Recovery of Lead Using Non Living Biomass of Marine Algae. Journal of

Hazardous Material. 92 : 253-262.

Junior, O. K., and L. V. Gurgel. 2009. Adsorption of Cu (II), Cd (II), and Pb (II)

from Aqueous Single Metal Solutions by Mercerized Cellulose and

Mercerized Sudarcane Bagasse Chemically Modified with EDTA

Dianhydride (EDTAD). Carbohydrate Polymers. 77 (3) : 643-650.


41

Katsuki, H., S. Furuta, T. Watari, dan S. Komaeneni. 2005. ZSM-5/Zeolite Porous

Carbon Composite: Conventional and Microwave Hydrothermal Synthesis

from Carbonized Rice Husk. Journal of Micropous and Mesoporous

Materials. 86 : 145-151.

Khornia, D., R. Dwi, Suwardiyono, dan N. Kholis. 2017. Pengaruh Waktu dan

Suhu Pembuatan Karbon Aktif dari Tempurung Kelapa sebagai Upaya

Pemanfaatan Limbah dengan Suhu Tinggi secara Pirolisis. (Skripsi). Teknik

Kimia Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim. Semarang.

Kinoshita, K. 1988. Carbon Electrochemical and Physicochemical Properties.

John Wiley and Sons Inc. New York.

Kohler, J. 2006. Detergent Phosphates: An EU Policy Assessment. Journal of

Business Chemistry. 3 (1).

Kurniati, E. 2008. Penurunan Konsentrasi Detergen pada Limbah Industri

Laundry dengan Metode Pengendapan Menggunakan Ca(OH)2. Jurnal

Ilmiah Teknik Lingkungan. 1 (1) : 41-47.

Lienden, C., L. Shan, S. Rao, E. Ranieri, and T. M. Young. 2010. Metals Removal

from Stormwater by Commercial and Non-Commercial Granular Activated

Carbons. Water Envorinment Research. 82 (6) : 351-3556.

Majid, M., R. Amir, R. Umar, dan H. K. Hengky. 2017. Efektivitas Penggunaan

Karbon Aktif pada Pemurnian Kadar Fosfat Limbah Cair Usaha Laundry di

Kota Parepare Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional


42

IKAKESMADA “Peran Tenaga Kesehatan dalam Pelaksanaan SDG’s”.

ISBN : 978-979-3812-41-0.

Mathijs, E., M. D. Burford, G. Cassani, M. H. I. Comber, C. V. Eadsforth, P.

Haaas, H. Klotz, R. Spilker, H. Waldhoff, and H. P. Wingen. 2008.

Determination of Alcohol Ethoxylate Components in Sewage Sludge.

AISE/CESIO Working Group. ERAM Study Report and Review Bruxelles.

28.

Mujiyanti, R. D., Nuryono, dan E. S. Kunarti. 2010. Sintesis dan Karakterisasi

Silika Gel dari Abu Sekan Padi yang Dimobilisasi dengan 3-(Trimetoksil)-

1-Propnaol. Sains dan terapan Kimia. 4 (2) : 150-167.

Murti, S. 2008. Pembuatan Karbon Aktif dari Tongkol Jagung untuk Adsorpsi

Molekul Amonia dan Ion Krom. (Skripsi). Universitas Indonesia. Depok.

Mutiara, T., R. Fajri, dan I. Nurjannah. 2016. Karakterisasi Karbon Aktif dari

Serbuk Kayunangka Limbah Industri Penggergajian dan Evaluasi Kapasitas

Penyerapan dengan Methylene Blue Number. Tenoin. 22 (6) : 452-460.

Nurhasni, Hendrawati, dan N. Saniyyah. 2014. Sekam Padi untuk Menyerap Ion

Logam Tembaga dan Timbal dalam Air Limbah. Valensi. 4 (1) : 36-44.

Paytan, A., dan K. McLaughin. 2007. The Oceanic Phosphorus Cycle. Chem. Rev.

20 (2) : 200-208.

Peraturan Gubernur Lampung Nomor 7 Tahun 2010 tentang Baku Mutu Air

Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan di Provinsi Lampung.


43

Prabarini, N., dan D. G. Okayadnya. 2014. Penyisihan Logam Besi (Fe) pada Air

Sumur dengan Karbon Aktif dari Tempurung Kemiri. Jurnal Ilmiah Teknik

Lingkungan. 5 (2) : 33-41.

Prabowo, A. L. 2009. Pembuatan Karbon Aktif dari Tongkol Jagung serta

Aplikasinya untuk Adsorpsi Cu, Pb, dan Amonia. (Skripsi). Universiats

Indonesia. Depok.

Prodjosantoso, A. K., dan R. T. Padmaningrum. 2011. Kimia Lingkungan.

Kamsius. Yogyakarta.

Pohan, H. G. 1993. Prospek Penggunaan Karbon Aktif dalam Industri. Warta

IHP. Bogor.

Raharjo, S. 1997. Pembuatan Karbon Aktif dari Serbuk Gergajian Pohon Jati

dengan NaCl sebagai Bahan Pengaktif. (Skripsi). Jurusan Kimia Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya. Malang.

Razi. 2012. Prinsip FTIR. http://little-Razi.blogspot.com/2012/03-04-

2012/Prinsip-FTIR. Diakses pada tanggal 20 November 2019 pukul 19.15

WIB.

Reri, A., D. Yommi, dan F. Rafiola. 2012. Studi Penentuan Kondisi Optimum Fly

Ash sebagai Adsorben dalam Menyisihkan Logam Berat Timbal (Pb).

Jurnal Tekik Lingkungan Universitas Andalas. 9 (1) : 37-43.

Rizhikovs, J., J. Zendersons, B. Spince, G. Dobele, and E. Jakab. 2012.

Preparation of Granular Activated Carbon from Hydrothermally Treated and

Pelletized Decidiuous Wood. Analysis Aplication Pyrolysis. 93 : 68-76.


44

Rizka, R. B., dan W. Anggraini. 2017. Pembuatan Karbon Aktif dari Bambu

sebagai Basis Katalis Fe-Co untuk Reaksi Fischer-Tropsch. (Skripsi).

Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi

Sepuluh November. Surabaya.

Rosen, M. J. 2004. Surfactans and Interfacial Phenomena 3th Edition. John Wiley

and Sons Inc. New York.

Salager, J. L. 2002. Surfactans Types and Uses. Version 2. FIRP Booklet #E300-

A: Teaching Aid in Surfactant Science & Engineering in English.

Universidad De Los Andes. Merida-Venezuela.

Sampson, A. R. 1996 Scanning Electron Microscopy: Advanced Research

System. www.sem.com. Diakses pada tanggal 23 November 2019 pukul

14.00 WIB.

Sapei, L., A. Miryanti, dan L. B. Widjaja. 2012. Isolasi dan Karakterisasi Silika

dari Sekam Padi dengan Perlakuan Awal menggunakan Asam Klorida.

Prosiding SINTECH-1 The First Symposium in Industrial Technology.

Fakultas Teknologi Industri UPN Veteran Yokyakarta A-8-A16. ISSN :

232-8033.

Saputro, G. A. 2012. Pemanfaatan Arang Aktif Kulit Kakao (Theobroma cacao L)

sebagai Adsorben Ion Pb (II) dan Cu (II). (Tesis). Fakultas Matematika dan

Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Papua. Manokwari.


45

Satriani, D., P. Ningsih, dan Ratman. 2016. Serbuk dari Limbah Cangkang Telur

Ayam Ras sebagai Adsorben terhadap Logam Timbal (Pb). Jurnal

Akademika Kimia. 5 (3) : 103-108.

Sembiring, M. T. dan T. S. Sinaga. 2003. Arang Aktif (Pengenalan dan Proses

Pembuatannya). (Skripsi). Universitas Sumatera Utara. Medan.

Shofa. 2012. Pembuatan Karbon Aktif Berbahan Baku Ampas Tebu dengan

Aktivasi Kalium Hidroksida. (Skrpsi). Fakultas Teknik Universitas

Indonesia. Depok.

Sitorus, H. 1997. Uji Hayati Toksisitas Detergen terhadap Ikan Mas (Cyprinus

carpio L). Visi. 5 (2) : 44-62.

Skoog, D. A., D. M. West, and F. J. Holler. 1996. Fundamentals of Analytical

Chemistry 7th Edition. Saunders College Publishing. United State of

America.

Smulders, E. 2002. Laundry Detergents. Wiley-VCH Verlag GmbH. Weinheim.

Germany.

Sostar-Turk, S., I. Petrini, and M. Simoni. 2005. Laundry Wastewater Treatment

Using Coagulation and Membrane Filtration. Resources, Convservation and

Recycling. 44 : 185-196.

Stefhany, C.A., M. Sutisna, dan K. Pharmawati. 2013. Fitoremediasi Phospat

dengan Menggunakan Tumbuhan Eceng Gondok (Eichormia crassipers)

pada Limbah Cair Industri Kecil Pencucian Pakaian (Laundry). Jurnal

Teknik Lingkungan Itenas. 1 (1) : 1-11.


46

Sudrajat, R., dan G. Pari. 2011. Arang Aktif: Teknologi Pengolahan dan Masa

Depannya. Balai Penenlitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.

Sujatno, A. 2015. Studi Scanning Electron Microscopy (SEM) untuk Karakterisasi

Proses Oksidasi Paduan Zinkronium. Jurnal Forum Nuklir. Pusat Sains dan

Teknologi Bahan Maju. PSTBM-BATAN.

Sutanto, H. 1996. Purification of Wastewater from Detergent Factory by A

Biological Rotor. International Institute for Infrastructural, Hydraulic and

Environmental Engineering.

Swiatkowski, A. 1998. Adsorption and Its Aplication in Industry and

Environmental Protection Studied in Surface Science and Catalysis. Elsvier.

Belanda.

Tectona, J. 2011. Pemanfaatan Kayu Angsana (Pterocarpus indicus) sebagai

Arang Aktif untuk Pengolahan Limbah Laundry. (Skripsi). Jurusan Teknik

Lingkungan FTSP-ITS. Surabaya.

Thermo, N. 2001. Introduction to Fourier Transform Infrared Spectrometry.

Thermo Nicolet Corporation. United State of America.

Umeda, J., and K. Kondoh. 2008. High-Purity Amorphous Silica Originated in

Rice Husk via Carboxylic Acid Leaching Process. Journal of Materials

Science. 22: 7084-7090.

Wardalia, R. 2017. Pengaruh Waktu Karbonasi pada Adsorben Cangkang Kacang

Tanah terhadap Degradasi Zat Warna Methyl Violet. Jurnal Integrasi

Proses. 6 (4) : 176-179.


47

Wardhana, I. W., S. H. Dwi, dan I. R. Dessy. 2013. Penggunaan Karbon Aktif

dari Sampah Plastik untuk Menurunkan Kandungan Phosphat pada Limbah

Cair (Studi Kasus: Limbah Cair Industri Laundry di Tembalang, Semarang).

Jurnal Presipitasi. 10 (1) : 30-40.

West, A. R. 1999. Basic Solid State Chemistry Second Edition. Wiley. New York.

Widiyani, P. 2010. Dampak dan Penanganan Limbah Detergen. Fakultas

Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Yahya, M. A., Z. Al-Qodah, and C. W. Z. Ngah. 2015. Agricultural Bio-Waste

Materials as Potential ustainable Precurcors Used for Activated Carbon

Production: A Review. Renewable and Sustainable Energy Reviews. 46 :

218-235.

Zhu, M. Q., Z. W. Wang, J. L. Wen, L. Qiu, Y. H. Zhu, Y. Q. Su, and R. C. Sun.

2017. The Effects of Autohydrolysis Pretreatment on The Structural

Characteristics, Adsoptibe and Catalytic Properties of The Activated Carbon

Prepared from Eucommia Ulmoides Oliver Based on A Biorefinery Process.

Bioresource Technology. 232 : 159-167.

Zoller, U. 2004. Handbook of Deterjents Part B: Environmental Impact. Marcell

Dekker. New York.


48

Anda mungkin juga menyukai