Anda di halaman 1dari 6

DAMPAK DETERJEN TERHADAP LINGKUNGAN

DAN KESEHATAN

A.      Pendahuluan
Deterjen merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi setiap rumah
tangga di Indonesia. Mencuci dengan menggunakan deterjen merupakan salah
satu hal lazim yang dilakukan oleh ibu rumah tangga. Harga deterjen yang dijual
di pasaran pun bervariasi, mulai dari ukuran kecil dengan harga ribuan rupiah
sampai yang berukuran satu kilogram dengan harga puluhan ribu rupiah. Di
Indonesia pun terdapat berbagai macam jenis deterjen yang dijual di pasaran.
Deterjen dapat dengan mudah ditemui di warung-warung kecil, pasar tradisional,
minimarket, maupun di supermarket.
Persaingan produk deterjen pun terjadi dewasa ini. Produsen
mempromosikan produk buatan mereka dengan berbagai macam cara, antara
lain dengan memberi hadiah berupa piring, gelas, ataupun produk deterjen
mereka dalam kemasan kecil. Promosi lainnya biasanya berupa penambahan
bahan pewangi, pelembut, zat aditif, pemutih, dan lain-lain. Produsen juga
mempromosikan produknya yang memberikan busa yang melimpah. Persepsi
penduduk Indonesia saat ini adalah busa yang melimpah akan menghilangkan
kotoran yang ada di pakaian dengan cepat. Namun persepsi ini sebenarnya salah,
busa yang melimpah bukan jaminan akan kebersihan pakaian yang dicuci.
Sebaliknya busa deterjen ini akan menjadi limbah yang sulit diuraikan oleh
bakteri.
Limbah yang tidak terurai dengan baik akan menjadi suatu
permasalahan bagi lingkungan. Butuh waktu yang lama agar senyawa-senyawa
kimia yang terkandung dalam limbah deterjen dapat terurai secara alami oleh
bakteri. Oleh karena itu, artikel ini diharapkan dapat membuka wawasan
masyarakat akan dampak dari limbah deterjen terhadap lingkungan dan
kesehatan. Masyarakat diharapkan dapat memilih deterjen yang ramah
lingkungan serta tidak mengganggu ekosistem yang ada di alam dengan
mengetahui dampak limbah deterjen terhadap lingkungan dan kesehatan.

B.       Pembahasan
Deterjen merupakan salah satu produk industri yang biasa digunakan di
dalam kehidupan manusia. Salah satu manfaat dari deterjen adalah untuk

1
melindungi kebersihan dan kesehatan manusia. Deterjen biasanya digunakan
dalam industri maupun rumah tangga sebagai bahan pencuci atau pembersih.
Dalam rumah tangga khususnya digunakan untuk mencuci pakaian.
Deterjen dalam arti luas menurut Srikandi Fardiaz (1992:66) adalah
bahan yang digunakan sebagai pembersih, termasuk sabun pencuci piring alkali
dan cairan pembersih. Definisi yang lebih spesifik dari deterjen adalah bahan
pembersih yang mengandung senyawa petrokimia atau surfaktan sintetik
lainnya. Deterjen merupakan bahan yang mengandung senyawa petrokimia
karena terbuat dari bahan-bahan turunan minyak bumi.

Deterjen berfungsi sebagai penghilang kotoran berupa minyak yang


serupa dengan sabun, yaitu dengan cara mengemulsi lemak, minyak atau gemuk
(grease), tetapi deterjen tidak menyebabkan gumpalan seperti pada sabun
(Hiasinta A. Purnawijayanti, 2001: 22). Mengemulsikan lemak yang dimaksud
dalam hal ini adalah membuat fasa lemak menjadi emulsi sehingga lemak mudah
terlepas dari pakaian. Fungsi lain dari deterjen menurut Cichy dalam buku
Hiasinta A. Purnawijayanti (2001:22) adalah sebagai berikut:
1.      Mendispersi (memecah) kotoran dan merubah fasanya menjadi
suspensi dalam larutan.
2.      Melarutkan padatan dan mengemulsikan cemaran minyak
sehingga mudah dihilangkan.
3.      Mensuspensikan kotoran yang tidak larut ke dalam larutan dan
mencegah kotoran menempel kembali pada permukaan pakaian.
4.      Membuat efektivitas air sebagai pelarut meningkat sehingga
kotoran mudah larut dalam air.

Deterjen pada umumnya mengandung surfaktan. Surfaktan dalam


deterjen berfungsi sebagai bahan pembasah yang menyebabkan turunnya
tegangan permukaan air. Dengan menurunnya tegangan permukaan air maka air
lebih mudah meresap ke dalam pakaian yang dicuci. Surfaktan (surface active
agents) atau bahan pembasah (wetting agents) merupakan bahan organik yang
berperan sebagai bahan aktif pada deterjen, sabun, dan shampoo (Hefni Effendi,
2003:217). Selain itu molekul-molekul surfaktan membentuk ikatan-ikatan di
antara partikel kotoran dan air. Keadaan ini terjadi karena molekul surfaktan
bersifat bipolar, di mana salah satu ujungnya bersifat nonpolar dan larut dalam

2
kotoran, sedangkan ujung yang lainnya bermuatan dan larut di dalam air. Oleh
karena itu, partikel kotoran yang menempel pada pakaian terlepas dan
mengapung atau terlarut dalam air. Surfaktan yang paling umum digunakan
adalah alkil sulfonat linier (ASL) dan salah satu contohnya adalah
dodesilbenzensulfonat dengan rumus struktur sebagai berikut:

Surfaktan dikelompokkan menjadi empat macam, yaitu surfaktan


anionik, surfaktan kationik, surfaktan nonionik, dan surfaktan amphoteric
(zwitterionic). Contoh-contoh dari beberapa surfaktan adalah sebagai berikut:
Surfaktan Surfaktan Surfaktan Surfaktan
Anionik Kationik Nonionik Amfoterik
1.    Natrium 1.    Stearalkonium 1.     Dodesil 1.    Cocoampho
linier alkil klorida dimetil-amina carboxyglycin
benzene 2.     Benzakonium 2.     Coco ate
sulfonat klorida diethanolamid 2.   
2.    Linier 3.     Quaternarny e Cocamidopro
alkilbenzene ammonium 3.     Alcohol pyl-betaine
sulfonat compounds ethoxy lates 3.    Asil etilena
3.    Petroleum 4.     Senyawa 4.     Alkohol 4.    Betaines
sulphonate amina linier primer 5.    Imidazolin
4.    Natrium 5.     Polimer
lauril eter 6.     Alcohol
sulfonat polyethoxylate
5.    Alkil sulfat
6.    Alkohol
sulfat
Tabel 1. Contoh surfaktan

Jenis surfaktan yang biasa digunakan dalam deterjen adalah


alkylbenzene sulphonate (ABS) yang bersifat resisten terhadap dekomposisi
biologis. Hal ini bisa berarti jika ABS atau alkilbenzene sulfonat ini sukar
diuraikan secara biologis oleh bakteri. Dewasa ini, surfaktan jenis ABS telah
digantikan oleh linear alkyl sulphonate (LAS) yang dapat diuraikan oleh bakteri
secara biologis (biodegradeble). LAS memiliki tingkat biodegradasi sebesar
90% sedangkan ABS hanya sebesar 50-60%. Surfaktan juga memiliki dampak
negatif mengganggu transfer gas di dalam sel. Jika surfaktan bereaksi dengan sel

3
dan membran sel maka surfaktan akan menganggu pertukaran gas yang
berlangsung antar sel. Pertukaran oksigen yang tidak berlangsung dengan lancar
akan mengakibatkan pertumbuhan sel terhambat. Surfaktan dapat menyebabkan
permukaan kulit kasar, hilanganya kelembaban alami kulit, dan meningkatkan
permeabilitas permukaan luar. Derajat keasaman (pH) deterjen yang tinggi akan
menyebabkan tangan iritasi (panas, gatal, dan mengelupas).
Selain surfaktan deterjen juga mengandung builder (bahan pembentuk).
Builder berfungsi meningkatkan efisiensi pencuci dari surfaktan dengan cara
menon-aktifkan mineral penyebab kesadahan air. Contoh dari builder adalah
Sodium tri poly phosphate (STPP), Nitril tri acetate (NTA), Ethylene diamine
tetra acetate (EDTA), zeolit, dan asam sitra. Air yang mengandung fosfat dapat
menyebabkan keracunan apabila terminum oleh manusia. Menurut Damin
Sumardjo (2008: 630), persenyawaan fosfat anorganik yang dipakai sebagai
builder (bahan pengawet busa) ternyata dapat mencemari air seperti
persenyawaan fosfat anorganik yang terdapat pada pupuk. Pencemaran ini
membuat air disungai menjadi bau. Bau busuk ini berasal dari gas NH 3 dan H2S
yang berasal dari peruraian bakteri anaerob. Air sungai yang tercemar sulit
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari.
Air sungai yang tercemar limbah deterjen berakibat buruk bagi flora
dan fauna yang hidup di sungai. Ikan dan tumbuhan yang ada di sungai dapat
mati karena ekosistem tempat hidup mereka tercemar. Zat yang terdapat dalam
limbah deterjen dapat memacu pertumbuhan eceng gondok dan gulma air
sehingga dapat mengakibatkan ledakan jumlah tanaman tersebut. Ledakan
jumlah tanaman tersebut akan mengakibatkan pendangkalan dan menyumbat
aliran air sungai. Tanaman yang menutupi permukaan air akan menghambat
masuknya sinar matahari dan oksigen ke air. Hal ini akan berdampak pada
kualitas air dan ikan-ikan menjadi sulit untuk bertahan hidup. Penelitian juga
menunjukkan bahwa deterjen mempunyai pengaruh terhadap flora dan fauna
yang hidup di sungai. Deterjen anionik bersifat lebih toksik terhadap udang air
(Gammarus polex) dibandingkan dengan deterjen kationik atau nonionik.
Sedangkan ikan lebih sensitif terhadap pengaruh deterjen nonionik atau deterjen
kationik dibandingkan dengan deterjen anionik (Damin Sumardjo, 2008: 631).
Deterjen dapat membentuk banyak busa dalam air dan banyak jenis
deterjen sukar sekali diuraikan oleh enzim-enzim bakteri pengurai sehingga akan
tetap utuh dan berbusa. Limbah deterjen yang tidak dapat diurai dalam waktu

4
yang singkat ini menyebabkan polusi udara karena baunya yang tidak sedap.
Menurut Petra Widmer dan Heinz Frick (2007: 42), deterjen terurai dalam
hitungan minggu hingga bulanan sedangkan persyaratan ekolabel memberikan
jangka waktu peruraian limbah deterjen di lingkungan alam hanya dua hari.
Selain itu deterjen dalam air buangan dapat meresap ke air tanah atau sumur-
sumur di masyarakat. Air yang tercemar limbah deterjen tidak baik bagi
kesehatan karena dapat menyebabkan kanker. Kanker ini diakibatkan oleh
menumpuknya surfaktan di dalam tubuh manusia.
Bahan lain yang terkandung dalam deterjen adalah filler (pengisi). Filler
adalah bahan tambahan deterjen yang tidak mempunyai kemampuan
meningkatkan daya cuci, tetapi menambah kuantitas. Contoh Sodium sulfat.
Sedangkan aditif adalah bahan suplemen/tambahan untuk membuat produk lebih
menarik, misalnya pewangi, pelarut, pemutih, pewarna. Bahan aditif ini
sebenarnya tidak berhubungan langsung dengan daya cuci deterjen. Aditif
ditambahkan untuk komersialisasi produk/agar produk dapat menarik perhatian
konsumen. Contoh dari aditif adalah enzim, boraks, Natrium klorida, Carboxy
methyl cellulose (CMC). Sayangnya diantara zat-zat tersebut ada yang tak bisa
dihancurkan oleh mikroorganisme sehingga menyebabkan pencemaran
lingkungan. Limbah detergen juga menyebabkan pencemaran tanah yang
menurunkan kualitas kesuburan tanah yang mengakibatkan tanaman serta
hidupan tanah termasuk cacing mati. Padahal cacing berfungsi untuk
menguraikan limbah organik, non organik & menyuburkan tanah.

C.      Penutup
1.      Kesimpulan
Banyaknya jenis deterjen yang beredar di pasaran sebaiknya membuat
konsumen lebih jeli dalam memilih produk deterjen yang ramah lingkungan.
Limbah deterjen yang tidak mudah diuraikan oleh bakteri. Bakteri
membutuhkan waktu yang lama untuk dapat menguraikan limbah deterjen.
Sisa limbah deterjen yang tidak terurai akan menyebabkan pencemaran air.
Air yang tercemar biasanya berbau busuk dan tidak bisa dimanfaatkan untuk
kebutuhan sehari-hari.
Penggunaan fosfat sebagai builder mengakibatkan terjadinya ledakan
jumlah eceng gondok di perairan. Eceng gondok yang melimpah di perairan
akan menyebabkan ekosistem terganggu. Ikan-ikan akan kekurangan oksigen

5
sehingga ikan akan mati dan populasi ikan menurun. Limbah deterjen yang
masuk ke rantai makanan akan masuk ke tubuh manusia. Surfaktan yang
berasal dari limbah deterjen dapat menyebabkan kanker apabila menumpuk di
dalam tubuh. Surfaktan yang terkandung dalam deterjen juga dapat
menyebabkan iritasi kulit yang ditandai dengan rasa panas, gatal bahkan kulit
mengelupas jika bersentuhan langsung. Dengan demikian konsumen deterjen
diharapkan mencermati kandungan yang terdapat dalam deterjen sebelum
membeli produk dan memilih deterjen yang ramah lingkungan.

D.    Daftar Pustaka
Damin Sumardjo. (2008). Pengantar Kimia Buku Panduan Kuliah Mahasiswa
Kedokteran. Jakarta: EGC.
Hefni Effendi. (2003). Telaah Kualitas Air, Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan. Yogyakarta: Kanisius.
Hiasinta A. Purnawijayanti. (2001). Sanitasi, Higine, dan Keselamatan Kerja
dalam Penggolahan Makanan. Yogyakarta: Kanisius.
Srikandi Fardiaz. (1992). Polusi Air dan Udara. Yogyakarta: Kanisius.
Widmer, Petra & Frick, Heinz. (2007). Hak Konsumen dan Ekolabel.
Yogyakarta: Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai