Anda di halaman 1dari 21

Laporan Praktikum Dosen Pembimbing

Teknologi Tepat Guna Dra. Drastinawati, M.Si

PEMBUATAN DETERJEN BUBUK

Disusun Oleh :

Kelompok V

1. Muhammad Akbar 2007034769


2. Agus Parlindungan Pasaribu 2007035935
3. Chantika Maharani 2007036668
4. Alya Az Zahra 2007036175

LABORATORIUM TEKNIK KIMIA

PROGRAM STUDI D-III TEKNIK KIMIA

JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS RIAU

2022
ABSTRAK
Deterjen adalah bahan pembersih yang mengandung bahan petrokimia atau surfaktan
sintetik lainnya. Surfaktan merupakan bahan pembersih utama yang terdapat dalam
deterjen. Komposisi deterjen terdiri dari bermacam-macam komponen yang dapat
dibedakan menjadi tiga grup utama yaitu, surfaktan, bahan pembentuk dan zat aditif (zat
anti-redeposisi, zat pengalkali, enzim, pengisi, pewangi). Tujuan dari praktikum ini
adalah mengetahui proses pembuatan deterjen bubuk dan menentukan pengaruh
formulasi deterjen bubuk terhadap karakteristik Deterjen bubuk. Pada percobaan ini
dilakukan yaitu dengan mencampurkan Na 2CO3, LAS, STPP, NaHCO3, Na2SO4, dan
NaCl secara berturut, dan diaduk hingga rata sampai tidak ada yang menggumpal. Lalu
setelah diaduk dengan rata, masukkan parfum sebagai pengharum. Setelah semua bahan
sudah tercampur rata, ayak semua bahan yang sudah tercampur itu agar tidak ada
gumpalan. Deterjen yang sudah jadi dimasukkan kedalam gelas ukur sebanyak 5 ml lalu
ditambahkan air sebanyak 5 ml, dikocok sebanyak 30 kali, terdapat busa setinggi 2 ml.
setelah didiamkan selama 5 menit, terjadi kekurangan busa sebanyak 0,5 ml.
Kata Kunci : Deterjen, Builders, Surfaktan, Tinggi Busa, dan Zat Aditif.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Deterjen merupakan bahan pembersih yang sudah umum digunakan oleh
masyarakat luas, baik oleh rumah tangga, industri, perhotelan, rumah makan, serta
rumah sakit. Pemakaian deterjen yang terus-menerus setiap hari menyebabkan
jumlah deterjen yang masuk ke perairan semakin meningkat, sehingga akan dapat
ditemukan dalam air sungai, sedimen, tanah, bahkan air minum (Lewis, 1991).
Kadar deterjen yang tinggi dalam perairan dapat bersifat toksik pada organisme
perairan sehingga dapat menimbulkan gangguan pada ekosistem perairan, dan
secara tak langsung akan berdampak pada kehidupan manusia (Lewis, 1991 dan
Bressan et al., 1991). Deterjen yang beredar di pasaran pada umumnya merupakan
deterjen dengan bahan aktif surfaktan LAS (Linear Alkilbenzen Sulfonat III) yang
berasal dari petroleum (minyak bumi). Surfaktan LAS merupakan salah satu
surfaktan anionik yang banyak digunakan sebagai bahan pembuat deterjen,
merupakan garam asam sulfonik dengan cincin benzene dan alkil rantai lurus
(Roshida, 2003). Masalah yang timbul dari penggunaan LAS adalah rendahnya
daya biodegradasi yang dimiliki, tidak sebanding dengan daya bersihnya yang
belum bisa maksimal dalam penggunaannya sebagai bahan aktif deterjen.
Dalam sejumlah besar tes yang dilakukan terhadap tingkat toksisitasnya,
didapatkan bahwa LAS dapat menyebabkan toksisitas akut dan kronik pada
organisme akuatik. LAS dengan konsentrasi 20-30% larutan dapat menyebabkan
kerusakan jaringan pada tikus setelah kontak kulit lebih dari 15 hari. Pada
konsentrasi 25 mg/L LAS, ikan bereaksi dengan pola meningkatnya aktivitas,
inaktivasi dan immobilisasi, dan jika tidak dihilangkan dari sistem akan
menyebabkan kematian. Efek minimal yang berhubungan dengan perubahan
biokimia dan histopatologi dalam hati telah dilaporkan dalam uji toksisitas
subkronik terhadap tikus yang diberi konsentrasi LAS 120 mg/kg berat badan
perhari di dalam makanan atau air minum (Budiawan et al., 2009).

1.2 Tujuan Praktikum


a. Mengetahui proses pembuatan deterjen bubuk
b. Menentukan pengaruh formulasi deterjen bubuk terhadap karakteristik
deterjen bubuk
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Deterjen
Deterjen berasal dari bahasa latin yaitu detergere yang berarti
membersihkan. Deterjen merupakan penyempurnaan dari produk sabun. Deterjen
sering disebut dengan istilah deterjen sintetis yang mana deterjen berasal dari
bahan-bahan turunan minyak bumi. Masalah sabun dapat dikurangi dengan
menciptakan deterjen yang lebih efektif yaitu deterjen sintetik. Deterjen sintetik
ini harus mempunyai beberapa sifat, termasuk rantai hipofilik yang panjang dan
ujung ionik polar. Juga ujung yang polar tidak membentuk garam yang
mengendap dengan ion-ion dalam air sadah, sehingga tidak mempengaruhi
keasaman air (Hart, 1998).
Deterjen ada yang bersifat kationik, anionik, maupun nonionik. Semuanya
membuat zat yang lipolifik mudah larut dan menyebar di perairan. Selain itu,
ukuran zat lipolifik menjadi lebih halus, sehingga mempertinggi intensitas racun.
Beberapa deterjen ada yang bersifat persisten, sehingga terjadi akumulasi. Seperti
halnya dengan DDT, deterjen jenis ini sudah tidak boleh digunakan lagi (Slamet,
1983).

2.2 Klasifikasi Deterjen


Berdasarkan dapat tidaknya zat aktif terdegradasi, Deterjen terbagi menjadi
dua bagian yaitu, deterjen keras dan deterjen lunak (Ratna, 2010).
A. Deterjen Keras
Deterjen keras mengandung zat aktif yang sukar dirusak oleh
mikroorganisme meskipun bahan itu telah di pakai dan telah di buang. Hal ini
diakibatkan adanya rantai cabang pada atom karbon, akibatnya zat tersebut masih
aktif dan jenis inilah yang dapat menyebabkan pencemaran air, seperti alkil
benzena sulfonat.
B. Deterjen Lunak
Deterjen ini mengandung zat aktif yang relatif mudah untuk di rusak
mikroorganisme karena umumnya zat aktif ini memiliki rantai karbon yang tidak
bercabang, sehingga setelah dipakai, zat aktif ini akan rusak, contohnya Linier
alkil benzene sulfonat.
Berdasarkan bentuk fisiknya, deterjen dibedakan atas (Andang, 2001):
1. Deterjen Cair
Secara umum, deterjen cair hampir sama dengan deterjen bubuk. Hal yang
membedakan hanyalah bentuknya: bubuk dan cair. Produk ini banyak digunakan
di laundry modern menggunakan mesin cuci kapasitas besar dengan teknologi
yang canggih.
2. Deterjen Krim
Deterjen krim bentuknya hampir sama dengan sabun colek, tetapi
kandungan formula keduanya berbeda.
3. Deterjen Bubuk
Berdasarkan keadaan butirannya, deterjen bubuk dapat dibedakan menjadi 2 :
A. Deterjen bubuk berongga
Butiran deterjen jenis ini mempunyai volume per satuan berat yang besar
karena adanya rongga tersebut. Butiran deterjen jenis berongga dihasilkan oleh
proses spray drying, yaitu terbentuknya butiran berongga karena hasil dari proses
pengabutan yang dilanjutkan proses pengeringan. Kelebihan deterjen bubuk
berongga dibandingkan dengan deterjen bubuk padat adalah volumenya lebih
besar. Dengan berat yang sama, deterjen bubuk dengan butiran berongga tampak
lebih banyak dibandingkan dengan deterjen padat. Kelemahan deterjen berongga
ini adalah biaya yang mahal sehingga deterjen ini tidak bisa diproduksi baik
dalam skala kecil maupun menengah.
B. Deterjen bubuk padat/masif
Butiran deterjen yang padat merupakan hasil olahan proses pencampuran
kering (dry mixing). Kelebihan deterjen bubuk padat, yaitu untuk membuatnya
tidak diperlukan modal besar karena alatnya termasuk sederhana dan berharga
murah. Kekurangannya adalah karena bentuknya padat maka volumenya tidak
besar sehingga jumlahnya terlihat sedikit.
Deterjen merupakan sediaan pembersih yang terdiri dari zat aktif permukaan
(surfaktan), bahan pengisi, pemutih, pewangi (bahan pembantu), bahan penimbul
busa, dan optical brightener (bahan tambahan yang membuat pakaian lebih
cemerlang).
Surfaktan merupakan bahan utama deterjen. Pada deterjen ini, jenis
muatan yang dibawa surfaktan adalah anionik. Kadang ditambahkan surfaktan
kationik sebagai bakterisida (pembunuh bakteri). Fungsi surfaktan anionik adalah
sebagai zat pembasah yang akan menyusup ke dalam ikatan antara kotoran dan
serat kain. Hal ini akan membuat kotoran menggulung, lama kelamaan menjadi
besar, kemudian lepas ke dalam air cucian dalam bentuk butiran. Agar butiran ini
tidak pecah kembali dan menempel di kain, perlu ditambahkan jenis surfaktan lain
yang akan membungkus butiran tersebut dan membuatnya tolak menolak dengan
air, sehingga posisinya mengambang. Ini untuk memudahkannya yang terbuang
bersama air dan cucian (Sunarya, 2003).
Berdasarkan ion yang dikandungnya, deterjen dibedakan menjadi (Andang, 2001):
1. Cationic Deterjents
Deterjen yang memiliki kutub positif disebut sebagai cationic Deterjents.
Digunakan sebagai tambahan bahan pencuci yang bersih, selain itu juga
mengandung sifat anti kuman yang membuatnya banyak digunakan di rumah
sakit. Kebanyakan deterjen jenis ini adalah turunan dari ammonia.
2. Anionic Deterjents
Deterjen jenis ini adalah merupakan deterjen yang memiliki gugus ion
negatif.
3. Neutral atau Non-Ionic Deterjents
Nonionic Deterjen banyak digunakan untuk keperluan pencucian piring.
Karena deterjen jenis ini tidak memiliki adanya gugus ion apa pun, deterjen jenis
ini tidak bereaksi dengan ion yang terdapat dalam air sadah. Nonionic Deterjents
kurang mengeluarkan busa dibandingkan dengan ionic Deterjents.

2.3 Manfaat dan Dampak Deterjen


Awalnya deterjen dikenal sebagai pembersih pakaian, namun kini meluas
dalam bentuk produk-produk seperti (Ratna, 2012):
A. Personal cleaning product, sebagai produk pembersih diri seperti sampo,
sabun cuci tangan, dll.
B. Laundry, sebagai pencuci pakaian, merupakan produk deterjen yang paling
populer di masyarakat.
C. Dishwashing product, sebagai pencuci alat-alat rumah tangga baik untuk
penggunaan manual maupun mesin pencuci piring.
D. Household cleaner, sebagai pembersih rumah seperti pembersih lantai,
pembersih bahan-bahan porselen, plastik, metal, gelas, dll
Ada beberapa bahan yang dilarang dalam deterjen (Anonim, 2009) :
1. Bahan karsinogenik, bahan genotoksik, mutagenik, teratogenik, serta ersifat
toksik terhadap manusia dan lingkungan, serta yang termasuk dalam
klasifikasi Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) yang dilarang dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan
Beracun dan Berbahaya, serta bahan yang terdaftar sebagai mutagen atau
karsinogen pada manusia dan hewan menurut ”International Agency for
Research on Cancer” (IARC) kelas 1.
2. EDTA (Asam Etilen Diamin Tetra Asetat), NTA (Asam Nitroasetat)
3. Alkyl Phenol Ethoxylates (APEOs).
4. Moskusxylene, Moskusambrete, Moskene, Moskusketone dan bahan pewangi
lainnya yang dilarang oleh IFRA (International Fragrence Registration
Agency).
5. Trikloroetana, klor atau senyawa organik terklorinasi.
Kriteria deterjen (Permono, 2002) :
A. PH Nilai pH deterjen tidak boleh melebihi nilai pH 10,5 diukur sesuai
dengan dosis pencucian yang dianjurkan oleh produsen.
B. Fosfat Total kandungan fosfat dalam deterjen (diukur sebagai STTP) < 18 g
per 100 g produk deterjen (<18% berat produk).
C. Kandungan Surfaktan yang diperbolehkan untuk digunakan sesuai dengan
yang tercantum dalam SNI No. 06-4594-1998
a. Biodegradabilitas Surfaktan
Tiap surfaktan harus dapat segera terbiodegradasi secara aerobik
(tingkat biodegradasi yang diamati dalam sistem pengolahan limbah aerobik
ialah minimum 90% hingga 28 hari).
b. Enzim
Enzim yang digunakan tidak boleh mengandung mikroorganisme.
c. Toksisitas Lingkungan
Terhadap masing-masing produk deterjen, harus dilakukan pengujian
toksisitas terhadap lingkungan.
d. Total kandungan logam berat
Logam berat seperti: Pb, Cd, Hg dan Cr6+ dalam kemasan (termasuk
printing) tidak melebihi 100 ppm.

2.4 Zat-Zat dalam Deterjen


a. Surfaktan untuk mengikat lemak dan membasahi permukaan
b. Abrasive untuk menggosok kotoran
c. Substansi pengubah pH untuk mempengaruhi penampilan ataupun
stabilitas dari komponen lain
d. Water softener untuk menghilangkan efek kesadahan
e. Oxidants untuk memutihkan dan menghancurkan kotoran
f. Material lain selain surfaktan untuk mengikat kotoran didalam suspensi
untuk mengikat protein, lemak, ataupun karbohidrat dalam kotoran.
2.5 Perbedaan Deterjen dengan Sabun
a. Bahan utama deterjen adalah Alkyl Benzene Sulfonat (ABS). Bahan
ABS diperoleh dari pengolahan minyak bumi.
b. Bahan utama sabun adalah Kalium Hidroksida (KOH) atau Natrium
Hidroksida (NaOH).
c. Perbedaan deterjen dengan sabun antara lain daya cuci deterjen lebih
kuat dibandingkan sabun dan deterjen dapat bekerja pada
airsadah.Akantetapi sabun lebih mudah diurai oleh mikroorganisme.

2.6 Kekurangan Sabun sebagai Pencuci


Sebagai pencuci sabun mempunyai kekurangan dibandingkan dengan
deterjen. Ujung-ujung hidrofil dari deterjen mudah bereaksi dengangaram-garam,
misalnya kalsiumkarbonat (airsadah), membentuk zat yang tidak larut. Endapan
yang terjadi membentuk lapisan kusam pada kain yang dicuci sehingga sabun
kurang disukai.

2.7 Sifat-Sifat Deterjen


a. Molekul deterjen terdiri atas dua bagian yaitu bagian yang bersifat
hidrofilik dan hidrofobik.
b. Bagian hidrofilik adalah bagian yang menyukai air atau bersifat polar,
bagian hidrofobik adalah bagian yang tidak suka air.
c. Kotoran yang bersifat nonpolar, seperti minyak atau lemak tidak akan
hilang jika hanya dibersihkan menggunakan air.
d. Kotoran berminyak tidak akan hilang jika hanya dibersihkan
menggunakan air. Oleh karena itu, diperlukan Deterjen
e. Ketika pakaian yang kotor diberi deterjen kemudian digosok atau
diperas maka minyak atau lemak pada pakaian menjadi butiran -butiran
lepas yang dikelilingi oleh lapisan molekul Deterjen.
f. Deterjen adalah surfaktan. Sedangkan surfaktan merupakan singkatan
dari surface active agents, bahan yang menurunkan tegangan
permukaan suatu cairan dan di antarmuka fasa sehingga mempermudah
penyebaran dan pemerataan

2.8 Karakteristik Fisika-Kimia Deterjen Bubuk


a. Organoleptis
Kenampakan atau organoleptis suatu produk sangat penting, karena bisa
mempengaruhi minat konsumen. Berdasarkan standar SNI, deterjen bubuk
memiliki bentuk granula atau serbuk, homogen, bebas dari bahan asing dan tidak
boleh menimbulkan bau berlebih.
b. Nilai pH
Deterjen bekerja efektif pada suasana basa atau alkali karena dapat
menetralkan kotoran, mendegradasi kotoran berlemak, dan pH tinggi juga
membantu kotoran tetap tersuspensi dalam larutan. Nilai pH pada 1% larutan
deterjen bubuk dalam air harus berkisar antara 9,5 – 11 (SNI 06-4594-1998).
g. Kadar air
Kadar air dapat mempengaruhi tekstur deterjen bubuk. Pengukuran kadar air
bertujuan agar dapat mengontrol kualitas deterjen bubuk yang dihasilkan. Prinsip
pada penetapan kadar air adalah mengeringkan sampel dalam oven pada
temperature 100-105oC sampai diperoleh berat tetap. Kadar air untuk deterjen
berkisar antara 5-6%.
h. Bobot jenis
Bobot jenis berkaitan dengan kerataan suatu bahan. Semakin rata bahan
campuran tersebut maka pengukuran bobot jenis secara berulang akan diperoleh
bobot jenis yang sama atau hampir sama. Bobot jenis deterjen berkisar antara 0,35
sampai 0,55 g/ml.
i. Stabilitas emulsi
Suatu sistem emulsi pada dasarnya adalah sistem yang tidak stabil, karena
masing-masing partikel cenderung bergabung dengan partikel lainnya. Kekuatan
lapisan antar muka (interfacial film) merupakan sifat yang penting untuk
membentuk stabilitas emulsi.
j. Bahan tidak larut dalam air
Pengukuran bahan tidak larut dalam air dilakukan untuk mengetahui
kemampuan kelarutan deterjen bubuk dalam air dan kandungan benda asing yang
terdapat dalam deterjen bubuk yang dihasilkan. Jumlah bahan tidak larut dalam air
tidak boleh lebih dari 1% (SNI-06-4594-1998)
k. Kadar fosfat
Kadar fosfat merupakan total jumlah fosfor, baik berupa partikulat maupun
terlarut, anorganik maupun organik pada sediaan deterjen.
l. Tinggi dan stabilitas busa
Busa yang dihasilkan produk deterjen bubuk harus stabil agar dapat
bertahan lama selama proses pencucian. Stabilitas busa merupakan penurunan
volume busa terhadap waktu. Stabilitas busa dapat dipengaruhi oleh jenis
surfaktan dan temperatur.
m. Daya deterjensi
Daya deterjensi adalah jumlah kotoran yang bias dilepaskan oleh deterjen
dari substrat (permukaan padat). Deterjensi akan menurun dengan meningkatnya
kesadahan air.

2.9 Formula Deterjen Bubuk


Pada dasarnya semua deterjen bubuk mengandung komponen-komponen
seperti surfaktan, builder, filler, dan specific additives. Bahan tambahan meliputi
enzim, antiredeposition agent, optical brigtener, penghambat korosi, dan parfum.
Bahan tambahan tersebut digunakan untuk meningkatkan kebersihan serta
memberikan fungsi tampilan yang diinginkan.
a. Surfaktan
Surfaktan merupakan bahan yang paling penting pada deterjen karena bahan
ini mampu mengikat dan mengangkat kotoran. Surfaktan anionik merupakan
surkatan paling umum digunakan karena memiliki daya pembusaan yang baik.
Penggunaan surfaktan nonionik dalam hard water menyebabkan daya
deterjensinya menurun, sehingga surfaktan ini sering dikombinasikan dengan
surfaktan anionik. Penggunaan surfaktan kationik sangat terbatas karena daya
bersihnya rendah. Sedangkan surfaktan amfoterik masih jarang penggunaannya di
pasaran.
b. Builders
Fungsi utama builders adalah untuk melembutkan air yang dilakukan
dengan kompleksasi (natrium tripolifosfat), presipitasi (natrium karbonat), dan
pertukaran ion (zeolite). Builders mempertahankan alkalinitas, untuk
membersihkan kotoran yang bersifat asam serta builders memiliki kemampuan
untuk mengendalikan kesadahan air dengan mengeliminasi ion-ion logam seperti
Ca2+ dan Mg2+ dari dalam air.
c. Zat anti-redeposisi
Zat anti-redeposisi berfungsi untuk mempertahankan kotoran yang
tersuspensi dalam air cucian setelah penghilangan kotoran, sehingga tidak kembali
menempel pada kain. Bahan yang digunakan untuk anti redeposisi adalah CMC
(Carboxymethyl Cellulose).
d. Zat pengalkali
Alkalinitas merupakan hal yang penting dalam formulasi deterjen karena
memiliki peran penting saat proses pembersihan. Deterjen yang digunakan pada
industri umumnya memiliki nilai pH yang tinggi yaitu antara 9 – 11. Nilai pH
yang tinggi digunakan untuk menghasilkan sifat degreasive karena zat pengotor
yang harus dibersihkan melekat kuat pada peralatan.
e. Enzim
Enzim pada produk deterjent biasa digunakan untuk meningkatkan
kemampuan deterjen dalam melepaskan kotoran dan menjaga warna kain.
Beberapa enzim yang digunakan dalam deterjen memiliki target yang berbeda
untuk membersihkan kotoran dalam proses pencucian, yaitu protease
(mendegradasi kotoran yang berasal dari protein), amilase (mendegradasi kotoran
dari karbohidrat/pati), selulase (melepaskan kotoran dari serat kapas), serta lipase
(mendegradasi kotoran yang berasal dari lemak). Enzim yang digunakan dalam
deterjen harus tahan terhadap sifat-sifat komponen deterjen, aktif pada pH 7 – 10
(alkali) dan suhu yang beragam (40 – 65oC).
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat yang Digunakan


1. Wadah plastik
2. Pengaduk
3. Timbangan
4. Gelas Beaker 50 ml
5. Gelas Beaker 100 ml
6. Gelas Beaker 500 ml
7. Ayakan
8. Cawan Petri
9. Gelas Ukur 10 ml
10. Spatulla

3.2 Bahan yang Digunakan


1. Texapone 20 gr
2. Na2CO3 160 ml
3. LAS 20 ml
4. Na2SO4 40 gr
5. STPP 20 gr
6. NaCl 40 gr
7. NaHCO3 120 gr

3.3 Prosedur Percobaan


1. lWadah plastik disiapkan untuk tempat pencampuran bahan
2. Na2CO3 ke dimasukkan dalam wadah lalu tambahkan texapone, diaduk
hingga rata
3. Dimasukkan LAS dan aduk hingga rata, jangan sampai ada yang
menggumpal
4. STPP ditambahkan, diaduk hingga rata, setelah itu dimasukkan
NaHCO3, diaduk hingga rata
5. Ditambahkan Na2SO4, aduk hingga rata dan masukkan NaCl, aduk
hingga rata
6. Parfum dimasukkan untuk pengharum dan aduk hingga rata
7. Semua bahan yang sudah dicampurkan hingga rata kemudian diayak
8. Lakukkan pengujian tinggi dan stabilitas busa pada deterjen yang sudah
dibuat, catat hasil pengamatan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil dan Pembahasan


Pada percobaan ini pratikan melakukan pratikum pembuatan deterjen.
Sabun dalam kegiatan sehari hari merupakan bahan penunjang yang selalu di
perlukan, karena begitu pentingnya manfaat dalam kehidupan untuk selalu terjaga
kesehatan dari hal-hal kotor yang dapat menimbulkan penyakit. Adapun tujuan
dari pembuatan sabun dan Deterjen ini untuk menambah pengetahuan bagi
mahasiswa dalam proses pembuatan sabun dan juga Deterjen.
Dalam proses pembuatan deterjen, hal yang terpenting di lakukan ialah
mencuci semua peralatan agar terhindar dari kotoran atau zat lain yang dapat
mengakibatkan kontaminasi dan perubahan reaksi. Setelah pencucian, peralatan
juga harus kering. Karena air dapat mengakibatkan bahan tidak dapat bereaksi
dengan zat-zat penunjang lainya, sehingga bahan akan larut karena adanya air
tersebut. Setelah bersih bahan yang berupa Texapone, Na2CO3, LAS, Na2SO4,
STPP, NaCI, NaHCO3 bubuk, di campurkan dan di aduk hingga tercampur merata.
Jika ada bahan yang menggumpal maka harus di haluskan agar hasil dapat
menjadi halus. Natrium Karbonat yang berguna sebagai pelembut air dalam
mencuci pakaian ia beradu dengan ion magnesium dan kalsium di air dan
mencegahnya berikatan dengan deterjen yang sedang dipakai setelah itu di
tambahkan texapon yang berguna untuk menghasilkan busa pada deterjen dan
mengangkat kotoran. Dan kemudian dimasukkan LAS yang berguna untuk
menurunkan tegangan permukaan air sehingga dapat melepaskan kotoran yang
menempel pada permukaan bahan yang terdapat kotoran kemudian STPP
ditambahkan yang berguna untuk penguat dan juga digunakan sebagai pelindung
terhadap mesin cuci dari karat. Dan perlahan-lahan di masukan Natrium
Bikarbonat sebagai bahan filler, atau bahan yang di gunakan untuk
memperbanyak volume. Sodium Sulfat dimasukkan yang berguna untuk
mempercepat pengangkatan kotoran dan juga sebagai pengental kemudian NaCl
ditambahkan guna untuk sebagai pengental sekaligus untuk memperbanyak busa
pada sabun dan terakhir ditambahkan pewangi zat ini harus di lakukan di akhir
proses agar tidak terjadi banyak busa yang di hasilkan akan menjadi lembab.
Untuk memisahkan partikel yang halus dan kasar, di lakukan penyaringan
kembali. Ketika partikel berukuran besar di dapat maka di haluskan dan di saring
kembali, hal tersebut di lakukan secara berulang - ulang.
Pada proses pembuatan deterjen, menggunakan bahan texapon yang berguna
sebagai bahan aktif untuk meningkatkan daya bersih pada pengangkatan kotoran.
Tujuan pada deterjen menggunakan texapon karena texapon dapat menghasilkan
busa yang cukup banyak, dan untuk fillernya di gunakan sodium sulfat. Bahan
yang berperan sebagai daya bersih jika di gunakan secara berlebihan akan
mengakibakan efek, tangan akan panas bahkan dapat mengakibatkan iritasi.
Surfaktan merupakan bahan yang paling penting pada deterjen karena bahan ini
mampu mengikat dan mengangkat kotoran. Surfaktan anionik merupakan
surfaktan paling umum digunakan karena memiliki daya pembusaan yang baik.
Penggunaan surfaktan nonionik dalam hard water menyebabkan daya
deterjensinya menurun, sehingga surfaktan ini sering dikombinasikan dengan
surfaktan anionic. Penggunaan surfaktan kationik sangat terbatas karena daya
bersihnya rendah.
Pada percobaan ini deterjen bubuk hasil produk yang di dapatkan di uji
tinggi dan stabilitas busanya. Busa yang dihasilkan produk deterjen bubuk harus
stabil agar dapat bertahan lama selama proses pencucian. Stabilitas busa
merupakan penurunan volume busa terhadap waktu. Stabilitas busa dapat
dipengaruhi oleh jenis surfaktan dan temperature. Didapat hasil setelah dikocok
selama 30 kali mendapatkan tinggi busa 2 ml setelah didiamkan selama 5 menit
busa yang turun sebanyak 0,5 ml jadi selisih tinggi busa 1,5 ml.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
1. Proses pembuatan deterjen bubuk dilakukan dengan penambahan
serfaktan, zat pembentuk (builders), dan zat aditif. Surfaktan yang
digunakan adalah texapone dan LAS. Zat pembentuk yang digunakan
adalah
4.2 Saran
1. Lebih teliti dalam penimbangan bahan yang digunakan serta
memperhatikan kebersihan alat-alat yang digunakan.
2. Dalam pemberian parfum disarankan tidak berlebihan memberinya,
agar deterjen tidak memiliki bau yang menyengat.
DAFTAR PUSTAKA

Andang, S Ilyani . 2001. Klasifikasi Deterjen. URL:


Anonim. 2009. Panduan Teknis Bagi Industri Dalam Pemenuhan Persyaratan
Kriteria Ekolabel Produk Serbuk Deterjen Pencuci Sintetik Untuk Rumah
Tangga. Asdep Urusan Standardisasi, Teknologi dan Produksi Bersih
Kementrian Lingkungan Hidup (KLH). Jakarta.
Hart, Harold. 1998. Kimia Organik Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga
http://www.mailarchive.com/tlusakti@ypb.or.id/msg00343.html Tanggal
Akses 27 Mei 2018 Pada Suatu Instalasi Pengolahan Air Tanggal Akses27
Mei 2018
Permono, Ajar. 2002. Membuat Deterjen Bubuk. Jakarta: Penebar Swadaya
Ratna. 2010. Metode Pengolahan Deterjen. URL: www.chem.is.try.org/Tinjauan
Slamet, Juli Soemirat. 1983. Kesehatan Lingkungan. Bandung: ITB
Sunarya, Y. 2003. Kimia Dasar 2 Berdasarkan Prinsip-Prinsip Kimia Terkini. 2nd.
Alkemi Grafindo Press. Bandung.
LAMPIRAN A
DOKUMENTASI

Gambar
A.1
menimbang

Gambar
A.2
Mengukur

Gambar
A.3 Bahan-
bahan

Anda mungkin juga menyukai