Deterjen merupakan salah satu bahan pembersih yang umum digunakan oleh
masyarakat, baik skala rumah tangga, industri, perhotelan, rumah makan, dan lain-lain.
Bahan utama deterjen adalah garam natrium (Sodium Lauryl Sulfat) dan alkyl hydrogen
sulfat. Berdasarkan bentuknya, deterjen yang beredar di pasaran dapat berupa deterjen
cair, deterjen krim, dan deterjen serbuk. Pada umumnya ketiga, jenis deterjen ini
memiliki fungsi yang sama. Hal yang membedakan keduanya adalah bentuknya. Pada
awalnya deterjen cair lebih banyak digunakan dalam pembersih alat-alat dapur. Namun
seiring dengan perkembangan zaman, deterjen cair juga banyak diaplikasikan untuk
kebutuhan industri serta pembersih pakaian. Hal ini dikarenakan deterjen cair lebih
mudah cara menanganinya dan lebih praktis dalam penggunaannya. (Ika F.U, 2018)
Mengingat pentingnya deterjen serbuk pada bidang industri dan bahan kosmetik,
maka diperlukan standar yang dapat menjamin bahwa deterjen cair yang digunakan
berkualitas baik standar yang mengatur tentang deterjen serbuk mutu teknis adalah
Standar Nasional Indonesia (SNI) 06-4075-1996, Deterjen serbuk mutu teknis. Pada SNI
06-4075-1996 ini, diatur syarat mutu teknis yang dipakai pada berbagai industri dan
kosmetik, tetapi tidak termasuk deterjen cuci cair untuk bahan pangan. Salah satu
parameter yang dipersyaratkan adalah kadar dari surfaktan anionik minimal sebesar dari
15% - 35%.
Surfaktan Anionik merupakan surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu
anion. Karakteristiknya yang hidrofilik disebabkan karena adanya gugus ionik yang
cukup besar, yang biasanya berupa gugus sulfat atau sulfonat. (Hui, 1996) Surfaktan
atau surface active agent (sifat bahan aktif) merupakan suatu molekul amphipatik atau
amphipilik yang mengandung gugus hidrofilik dan lipofilik dalam satu molekul yang
sama. Secara umum, kegunaan surfaktan adalah untuk menurunkan tegangan permukaan,
tegangan antarmuka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi, dan mengontrol
jenis formasi emulsi, yaitu misalnya oil in water (O/W) atau water in oil (W/O). (Salager,
2002)
Hal dalam penelitian ini bahwa analisis kadar surfaktan anionik pada deterjen cuci
cair dilakukan dengan menggunakan metode titrimetri. Menurut penelitian Arfa Dewi
(2011) bahwa metode titrimetri merupakan metode kuantitatif dimana larutan baku dan
larutan yang dititrasi digunakan suatu zat kimia yang dikenal sebagai indikator dengan
adanya perubahan warna dan campuran homogen. Kelebihan metode titrimetri adalah
mudah dikerjakan, tidak banyak memerlukan bahan kimia dan hasil yang diperoleh
mempunyai ketelitian yang cukup tinggi.
Aplikasi sampel deterjen yang digunakan kebutuhan rumah tangga dan sebagai
pembersih pakaian beserta pembersih alat-alat dapur bagi masyarakat Indonesia. Hal ini
dilakukan uji menganalisis kadar surfaktan anionic sampel deterjen diharapkan akan
lebih mengembangkan suatu kebutuhan rumah tangga dan lebih kualitas dalam
penggunaannya.
Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menguji salah
satu parameter penyusun deterjen cuci cair yaitu kandungan surfaktan anionik. Pengujian
kandungan surfaktan anionik dalam deterjen cuci cair dilakukan menggunakan metode
titrimetri yang terdiri dari proses larutan baku dan proses titrasi. Hal ini sangat penting
dilakukan dengan untuk mengetahui kualitas yang dijual di pasaran agar memenuhi
standar 06-4075-1996 tentang deterjen cuci cair yang juga digunakan sebagai acuan
standar hasil pengujian. Menurut penelitian Veenstra (1995) diketahui secara teoritis,
hasil deterjen merupakan salah satu bahan yang mengandung surfaktan yang memiliki
sifat dapat menurunkan tegangan permukaan, sehingga digunakan sebagia pembersih
kotoran yang menempel pada benda.
1. Bagaimanakah salah satu parameter penyusun deterjen cair yaitu kadar surfaktan
anionik secara titrimetri?
2. Apakah kualitas yang dijual di pasaran memenuhi standar 06-4075-1996 yang telah
ditetapkan?
1.3. Manfaat Penelitian
1. Untuk menyusun parameter deterjen cair yaitu kadar surfaktan anionik secara
titrimetri.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Deterjen
Deterjen pertama disintesis pada tahun 1940-an, yaitu garam natrium dari
alkilhidrogen sulfat. Alkohol berantai panjang dibuat dengan cara penghidrogenan
lemak dan minyak. Alkohol berantai panjang ini direaksikan dengan asam sulfat
menghasilkan alkilhidrogen sulfat yang kemudian dinetralkan dengan basa. Natrium
Lauryl Sulfat adalah deterjen yang baik, karena garamnya berasal dari asam kuat,
larutannya bersifat netral. Garam kalsium dan magnesiumnya tidak mengemdap
dalam larutan, sehingga bisa digunakan dengan air sadah. Salah satu contoh
mekanisme reaksi pembuatan deterjen pada Gambar 3.1 adalah sebagai berikut :
(Fessenden, 1986)
a. Deterjen ionik, memilki gugus muatan yang terdiri dari deterjen anionik
bermuatan negatif dan deterjen kationik bermuatan positif. Deterjen ini efisien
untuk memcah ikatan protein-protein.
b. Deterjen nonionik, tidak memiliki muatan, secara umum deterjen ini lebih baik
untuk memecah ikatan lemak-lemak atau lemak-protein dibandingkan dengan ikatan
protein-protein.6
a. Deterjen Cair
Secara umum, deterjen cair hamoir sama dengan deterjen serbuk, tetapi ada
perbedaan dalam bentuk fisik. Di Indonesia ini, deterjen cair belum bisa
dikomersilkan, biasanya digunakan untuk laundry Modern menggunakan mesin
cuci dengan kapasitas besar yang teknologi canggih. (Anonim, 2018)
Deterjen cair merupakan suatu emulsi yang terdiri dari bahan-bahan dengan
tingkat kepolaran yang berbeda. Untuk memformulasikan komponen-komponen
deterjen cair di dalam formula tunggal diperlukan suatu sistem emulsi dengan
karakteristik yang baik. Menurut Schuleller dan Romanowsky, emulsi dapat
distabilkan oleh molekul-molekul surfaktan yang membentuk agregat melalui
pembentukan lapisan pelindung antara fase terdispersi dan pendispersi (Fauziah,
2010). Sedangkan menurut Suryani (2000) sistem emulsi mampu mencampurkan
berbagai macam bahan yang memiliki perbedaankepolaran ke dalam satu
campuran yang homogen. (Oktaviani. E, 2017)
Salah satu contoh persyaratan mutu deterjen cuci cair dengan SNI (06-
4075-1996) dapat dilihat pada tabel 3.1. Terdapat dua kelompok deterjen cuci
cair, yaitu digunakan dalam pencuci pakaian (Jenis P) dan yang digunakan dalam
pencucian alat dapur (Jenis D).
b. Deterjen Krim
Bentuk deterjen krim dengan sabun colek hampir sama, tetapi kandungan
formula bahan baku keduanya berbeda.
c. Deterjen Serbuk
Surfaktan memiliki struktur molekul yang khas, karena adanya gugus yang
mempunyai tarikan yang sangat kecil terhadap pelarut, dikenal sebagai gugus
liofobil, bersama-sama dengan gugus yang mempunyai tarikan yang kuat terhadap
pelarut disebut gugus liofilik. Ini dikenal sebagai struktur amfifotik atau amfifilik.
Apabila surfaktan terlarut dalam suatu pelarut, adanya bagian liofobik di bagian
dalam pelarut tersebut menyebabkan terjadinya distorsi struktur cairan pelarut
tersebut. Di dalam larutan air surfaktan distorsi air disebabkan oleh bagian liofobik
(hidrofobik) surfaktan, dan menghasilkan kenaikan energi bebas sistem.
Hal ini berarti kerja yang dibutuhkan untuk membawa molekul surfaktan ke
permukaan lebih kecil daripada kerja yang dibutuhkan untuk membawa molekul
air ke permukaan. Hal inilah yang menyebabkan senyawa surfaktan pada suatu
sistem cairan cenderung terkonsentrasi pada permukaan. Karena kerja yang
diperlukan untuk membawa molekul surfaktan ke permukaan lebih kecil, berarti
adanya surfaktan menurunkan kerja yang diperlukan untuk membawa unit luas
permukaam (energi bebas permukaan atau tegangan permukaan). Adanya gugus
liofilik (hidrofilik) mencegah keluarnya surfaktan secara sempurna dari pelarut
sebagai fasa terpisah (Salager, 2002).
a. Surfaktan Anionik
4. Fosfat ester: fosfat alkil aril eter; fosfat alkil eter. Natrium lauryl sulfat BP
(campuran natrium dodesil sulfat, (C12H25SO4-Na+) digunakan secara farmasi
sebagai pembersih kulit pra operasi, memiliki tindakan bakteriostatik terhadap
bakteri gram positif, dan juga dalam sampo obat. (Irianto. K, 2015)
b. Surfaktan Kationik
Surfaktan kationik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu
kation. Surfaktan jenis ini memecah dalam media cair, dengan bagian kepala
surfaktan anionik bertindak sebagai pembawa sifat aktif permukaan. Contohnya,
garam alkill trimethyl ammonium, garam dialkil-dimethyl ammonium, dan garam
alkil dimethyl benzil ammonium.
Surfaktan kationik digunakan dalam berbagai produk, seperti pelembut kain,
inhibitor korosi, dan agen antimikroba. Surfaktan kationik yang umum digunakan
termasuk alkil ammonium kuartener, benzylalkilammonium, alkylpyridinium, dan
imidazolium.
c. Surfaktan Nonionik
d. Surfaktan Amfoter
C. Metode Titrimetri
Titrimetri merupakan analisa kuantitatif dimana kadar zat uji dapat ditetapkan
berdasarkan volume pereaksi yang ditambahkan ke dalam zat uji tersebut. Proses titrimetri
disebut titrasi, sedangkan volume titrimetri disebut volumetri. Titrasi yang dilakukan yaitu
titrasi alkalimetri. Prosedur analisis kimia yang didasarkan pada pengukuran jumlah
larutan titran yang bereaksi dengan analit. Adapun istilah yang digunakan dalam metode
titrimetri adalah :
1. Larutan titran : larutan yang digunakan untuk mentitrasi, biasanya digunakan suatu
larutan standar.
3. Indikator : zat yang ditambahkan le dalam larutan analit untuk mengetahui titik akhir
titrasi.
4. Titik ekuivalen : Titik dimana jumlah titran yang ditambahkan ekuivalen dengan jumlah
analit secara stoikiomteri.
5. Penentuan titik akhir titrasi : Titik pada saat indikator berubah warna dan titrasi harus
dihentikan.
Analisis kimia dengan metode volumetri (titrimetri) adalah analisis kimia yang
ditujukan untuk mengetahui kadar suatu zat dalam sampel dengan larutan yang telah
diketahui konsentrasinya (larutan standar). Cara seperti ini disebut titrasi, yaitu analisis
dengan mengukur jumlah larutan yang diperlukan untuk bereaksi tepat sama
denganlarutan lain. Analisis ini juga disebut analisis volumetri karena yang diukur adalah
volume larutan basa yang dipakai dengan volume tertentu larutan asam. Dalam analisis
volumetri, perhitungan-perhitungan yang digunakan didasarkan atas hubungan
stoikiometri sederhana, dari reaksi kimia antara komponen dalam larutan standarnya.
Dalam titrimetri, analat direaksikan dengan suatu bahan lain yang dapat diketahui dengan
teliti dan larutan demikian dinamakan larutan baku :
a. Syarat Titrimetri :
3) Kelebihan sedikit saja reagen penitrasi harus dapat diketahui dengan suatu
indikator.
b. Standar Primer
Titrasi asam basa dapat memberikan titik akhir yang cukup tajam dan untuk itu
digunakan pengamatan dengan indikator bila pH pada titik ekivalen antara 4-10.
Demikian juga titik akhir titrasi akan tajam pada titrasi asam atau basa lemah jika
penitrasian basa atau asam kuat dengan perbandingan tetapan disosiasi asam lebih
besar dari 10-4. Selama titrasi, pH larutan berubah secara khas dan drastis bila volume
titrannya mencapai titik ekivalen. (Arfa Dewi, 2011)
BAB III
METODE PENELITIAN
Alat yang digunakan antara lain 1) Labu ukur bertutup volume 250 ml; 2) Gelas piala
volume 50 ml; 3) Pipet volume 10 ml; 4) Neraca Analitik; 5) Rak tabung reaksi; 6) Beaker
glass 100 ml, 200 ml; dan 7) Botol titrasi khusus.
b. Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan antara lain 1) H2SO4 0,1 N; 2) larutan NaOH; 3) Aquadest/Air
suling; 4) Larutan Hyamine 0,003 M; 5) Indikator Phenolphtalein 0,1%; 6) Larutan
Kloroform; 7) Dimidium bromida; 8) Etanol 95%; dan 9) Larutan Sodium Lauryl
Sulfat (SLS) 0,003 M.
Sebanyak 4,9 gram H2SO4 p.a pada temperatur 20°C dilarutkan dengan 300 ml air
suling, dan diencerkan hingga 1.000 ml.
Sebanyak 0,1 gram indikator phenolptalein dilarutkan ke dalam 100 ml ethanol 95%
(v/v).
- Keduanya dicampurkan dalam labu ukur 200 ml dan tepatkan sampai tanda garis
dengan air suling.
V × M × fp× Mr
Kadar Surfaktan anionik, % = = × 100 %
W
Keterangan :
fp = faktor pengenceran
Terbentuknya sifat
Sampel B Sampel D
Sampel A Sampel C
Gambar 4.1 Hasil Analisis Kadar Surfaktan Anionik pada sampel Deterjen Cair
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa kadar surfaktan
anionik yang terkandung dalam sampel deterjen cair pada sampel A sebesar 17,43%, sampel
B sebesar 7,64%, sampel C sebesar 8,89%, dan sampel D sebesar 8,64%. Hal ini dikarenakan
sampel A senilai 17,43% maka sampel ini lebih banyak kandungan surfaktan anionik pada
deterjen cuci cair.
2. SARAN
Pengujian kadar surfaktan anionik yang terkandung dalam sampel deterjen cair dengan
contoh uji yang lebih banyak, tidak hanya 4 contoh.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Arfa, Dewi. 2011. Analisis Bahan Pengawet Benzoat Secara Titrimetri Pada Saos Tomat
yang Beredar Di Wilayah Kota Pekanbaru. Skripsi. Pekanbaru : Universitas Islam
Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.
Fessenden, R.J and Fessenden, J. S. 1986. Kimia Organik Edisi Ketiga Jilid 2. Jakarta :
Erlangga.
Hui, Y. H., 1996, Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Edisi ke-5, volume ke-2. New
York: John Willey & Sons, Inc.
Ika. F. U, dkk. (2018). Penurunan Kadar Surfaktan Anionik dan Fosfat dalam Air
Limbah Laundry di Kawasan Keputih, Surabaya Menggunakan Karbon
Aktif. Journal Akta Kimia Indonesia. Vol 3 (1) : 127-140.
Salager, J. L. 2002. Surfactants types and uses. Venezuela : De Los Andes University.
Nur. I, A. Rahman. R, dan Nurhaeni. 2016. Sintesis Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES)
dari Metil Laurat. Jurnal Riset Kimia Kovalen, Universitas Tadulako, 2 (2) : 54-56.
SNI (1996), Deterjen Cuci Cair, Badan Standarisasi Nasional, Standar Nasional Indonesia,
06-4075-1996.
Sampepana, E & Suroto, H.S. 2013. Pemanfaatan Metil Ester Sulfonat pada Pembuatan
Deterjen Cair. Jurnal Riset Teknologi Industri. Samarinda: Balai Riset dan
Standarisasi Industri Samarinda.