Anda di halaman 1dari 20

PENETAPAN KADAR SURFAKTAN ANIONIK PADA DETERJEN

CUCI CAIR SECARA TITRIMETRI

1.1 Latar Belakang  

Deterjen merupakan salah satu bahan pembersih yang umum digunakan oleh
masyarakat, baik skala rumah tangga, industri, perhotelan, rumah makan, dan lain-lain.
Bahan utama deterjen adalah garam natrium (Sodium Lauryl Sulfat) dan alkyl hydrogen
sulfat. Berdasarkan bentuknya, deterjen yang beredar di pasaran dapat berupa deterjen
cair, deterjen krim, dan deterjen serbuk. Pada umumnya ketiga, jenis deterjen ini
memiliki fungsi yang sama. Hal yang membedakan keduanya adalah bentuknya. Pada
awalnya deterjen cair lebih banyak digunakan dalam pembersih alat-alat dapur. Namun
seiring dengan perkembangan zaman, deterjen cair juga banyak diaplikasikan untuk
kebutuhan industri serta pembersih pakaian. Hal ini dikarenakan deterjen cair lebih
mudah cara menanganinya dan lebih praktis dalam penggunaannya. (Ika F.U, 2018)

Mengingat pentingnya deterjen serbuk pada bidang industri dan bahan kosmetik,
maka diperlukan standar yang dapat menjamin bahwa deterjen cair yang digunakan
berkualitas baik standar yang mengatur tentang deterjen serbuk mutu teknis adalah
Standar Nasional Indonesia (SNI) 06-4075-1996, Deterjen serbuk mutu teknis. Pada SNI
06-4075-1996 ini, diatur syarat mutu teknis yang dipakai pada berbagai industri dan
kosmetik, tetapi tidak termasuk deterjen cuci cair untuk bahan pangan. Salah satu
parameter yang dipersyaratkan adalah kadar dari surfaktan anionik minimal sebesar dari
15% - 35%.

Surfaktan Anionik merupakan surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu
anion. Karakteristiknya yang hidrofilik disebabkan karena adanya gugus ionik yang
cukup besar, yang biasanya berupa gugus sulfat atau sulfonat. (Hui, 1996) Surfaktan
atau surface active agent  (sifat bahan aktif) merupakan suatu molekul amphipatik atau
amphipilik yang mengandung gugus hidrofilik dan lipofilik dalam satu molekul yang
sama. Secara umum, kegunaan surfaktan adalah untuk menurunkan tegangan permukaan,
tegangan antarmuka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi, dan mengontrol
jenis formasi emulsi, yaitu misalnya oil in water (O/W) atau water in oil (W/O). (Salager,
2002)
Hal dalam penelitian ini bahwa analisis kadar surfaktan anionik pada deterjen cuci
cair dilakukan dengan menggunakan metode titrimetri. Menurut penelitian Arfa Dewi
(2011) bahwa metode titrimetri merupakan metode kuantitatif dimana larutan baku dan
larutan yang dititrasi digunakan suatu zat kimia yang dikenal sebagai indikator dengan
adanya perubahan warna dan campuran homogen. Kelebihan metode titrimetri adalah
mudah dikerjakan, tidak banyak memerlukan bahan kimia dan hasil yang diperoleh
mempunyai ketelitian yang cukup tinggi.

Aplikasi sampel deterjen yang digunakan kebutuhan rumah tangga dan sebagai
pembersih pakaian beserta pembersih alat-alat dapur bagi masyarakat Indonesia. Hal ini
dilakukan uji menganalisis kadar surfaktan anionic sampel deterjen diharapkan akan
lebih mengembangkan suatu kebutuhan rumah tangga dan lebih kualitas dalam
penggunaannya.

Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menguji salah
satu parameter penyusun deterjen cuci cair yaitu kandungan surfaktan anionik. Pengujian
kandungan surfaktan anionik dalam deterjen cuci cair dilakukan menggunakan metode
titrimetri yang terdiri dari proses larutan baku dan proses titrasi. Hal ini sangat penting
dilakukan dengan untuk mengetahui kualitas yang dijual di pasaran agar memenuhi
standar 06-4075-1996 tentang deterjen cuci cair yang juga digunakan sebagai acuan
standar hasil pengujian. Menurut penelitian Veenstra (1995) diketahui secara teoritis,
hasil deterjen merupakan salah satu bahan yang mengandung surfaktan yang memiliki
sifat dapat menurunkan tegangan permukaan, sehingga digunakan sebagia pembersih
kotoran yang menempel pada benda.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah salah satu parameter penyusun deterjen cair yaitu kadar surfaktan
anionik secara titrimetri?

2. Apakah kualitas yang dijual di pasaran memenuhi standar 06-4075-1996 yang telah
ditetapkan?
1.3. Manfaat Penelitian

1. Untuk menyusun parameter deterjen cair yaitu kadar surfaktan anionik secara
titrimetri.

2. Untuk menentukan kualitas yang dijual di pasaran memenuhi standar 06-4075-1996


yang telah ditetapkan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Deterjen

1.4.1 Pengertian deterjen

Deterjen merupakan salah satu bahan yang mengandung surfaktan yang


memiliki sifat dapat menurunkan tegangan permukaan, sehingga digunakan sebagai
bahan pembersih kotoran yang menempel pada benda. Deterjen dalam air sadah
tidak mengendap bersama ion logam namun memiliki sifat toksitas yang cukup
tinggi terhadap lingkungan. (Veenstra, 1995)

Deterjen merupakan garam natrium dari asam sulfonat. Deterjen sering


digunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti mencuci pakaian. Bahan utama
deterjen ialah garam natrium yaitu asam organik yang dinamakan asam sulfonik.
Asam sulfonika yang digunakan dalam pembuatan deterjen merupakan molekul
berantai panjang yang mengandung 12 hingga 18 atom karbon per molekul.

Deterjen pertama disintesis pada tahun 1940-an, yaitu garam natrium dari
alkilhidrogen sulfat. Alkohol berantai panjang dibuat dengan cara penghidrogenan
lemak dan minyak. Alkohol berantai panjang ini direaksikan dengan asam sulfat
menghasilkan alkilhidrogen sulfat yang kemudian dinetralkan dengan basa. Natrium
Lauryl Sulfat adalah deterjen yang baik, karena garamnya berasal dari asam kuat,
larutannya bersifat netral. Garam kalsium dan magnesiumnya tidak mengemdap
dalam larutan, sehingga bisa digunakan dengan air sadah. Salah satu contoh
mekanisme reaksi pembuatan deterjen pada Gambar 3.1 adalah sebagai berikut :

  

Gambar 3.1 Reaksi Pembuatan Deterjen (Anonim, 2018)


Sabun yang berasal dari asam lemak (stearat, palmitat, atau obat) yang
direaksikan dengan basa NaOH berdasarkan reaksi kimia berikut ini:

(Fessenden, 1986)

1.4.2 Jenis-jenis Deterjen

Deterjen merupakan molekul amfipatik, yaitu suatu senyawa yang


mengandung gugus polar dan nonpolar, sehingga dikenal juga sebagai surfaktan
karena dapat menurunkan tegangan permukaan air. Berdasarkan gugus hidrofiliknya,
deterjen secara umum diklasifikasikan menjadi empat jenis, yaitu:

a. Deterjen ionik, memilki gugus muatan yang terdiri dari deterjen anionik
bermuatan negatif dan    deterjen kationik bermuatan positif. Deterjen ini efisien
untuk memcah ikatan protein-protein.

b. Deterjen nonionik, tidak memiliki muatan, secara umum deterjen ini lebih baik
untuk memecah ikatan lemak-lemak atau lemak-protein dibandingkan dengan ikatan
protein-protein.6

c. Deterjen zwitterionik, merupakan kombinasi antara deterjen ionik dengan deterjen


nonionik. (Bhairi, 2001) 

Berdasarkan bentuk fisiknya, deterjen dapat dibedakan menjadi tiga kelompok,


yaitu:

a. Deterjen Cair

    Secara umum, deterjen cair hamoir sama dengan deterjen serbuk, tetapi ada
perbedaan dalam bentuk fisik. Di Indonesia ini, deterjen cair belum bisa
dikomersilkan, biasanya digunakan untuk laundry Modern menggunakan mesin
cuci dengan kapasitas besar yang teknologi canggih. (Anonim, 2018)
Deterjen cair merupakan suatu emulsi yang terdiri dari bahan-bahan dengan
tingkat kepolaran yang berbeda. Untuk memformulasikan komponen-komponen
deterjen cair di dalam formula tunggal diperlukan suatu sistem emulsi dengan
karakteristik yang baik. Menurut Schuleller dan Romanowsky, emulsi dapat
distabilkan oleh molekul-molekul surfaktan yang membentuk agregat melalui
pembentukan lapisan pelindung antara fase terdispersi dan pendispersi (Fauziah,
2010). Sedangkan menurut Suryani (2000) sistem emulsi mampu mencampurkan
berbagai macam bahan yang memiliki perbedaankepolaran ke dalam satu
campuran yang homogen. (Oktaviani. E, 2017)

Picture 1. Deterjen Cuci Cair

Salah satu contoh persyaratan mutu deterjen cuci cair dengan SNI (06-
4075-1996) dapat dilihat pada tabel 3.1. Terdapat dua kelompok deterjen cuci
cair, yaitu digunakan dalam pencuci pakaian (Jenis P) dan yang digunakan dalam
pencucian alat dapur (Jenis D).

Tabel 3.1 Syarat Mutu Deterjen Cuci Cair

No. Kriteria Satuan Jenis P Jenis D


Biasa Konsentrat Biasa Konsentrat
Keadaan
a. Bentuk - Cairan Cairan Cairan Cairan
1. homogen homogen homogen homogen
b. Bau - Khas Khas Khas Khas
c. Warna - Khas Khas Khas Khas
2. pH, 25ºC - 10-12 10-12 6-8 6-8
3. Bahan Aktif % Min. 15 Min. 25 Min.10 Min.35
Bobot Jenis,
4. - 1,1 – 1,3 1,2 – 1,5 1,0-1,5 1,1 – 1,3
25ºC
Cemaran
mikroba :
Maks. 1
5. Angka Koloni/g Maks. 1 ×10⁵ Maks. 1 ×10⁵ Maks. 1 ×10⁵
×10⁵
lempeng
total

b. Deterjen Krim

Bentuk deterjen krim dengan sabun colek hampir sama, tetapi kandungan
formula bahan baku keduanya berbeda.

c. Deterjen Serbuk

Deterjen serbuk ini yang beredar di masyarakat atau dipakai sewaktu


mencuci pakaian. Berdasarkan keadaan butirannya, deterjen serbuk dibedakan
menjadi dua, yaitu deterjen serbuk berongga dan deterjen serbuk padat.
Perbedaan bentuk butiran kedua kelompok tersebut dapat disebabkan oleh
perbedaan proses pembuatannya. (Anonim, 2018)
B. Surfaktan

1.1. Pengertian Surfaktan 

Surfaktan atau surface active agent merupakan suatu molekul amphiphilic


yang mengandung gugus hidrofilik dan lipofilik dalam satu molekul yang sama.
Secara umum, kegunaan surfaktan adalah untuk menurunkan tegangan permukaan,
tegangan antarmuka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan
mengontrol jenis formasi emulsi, yaitu misalnya oil in water (O/W) atau water in
oil (W/O).

Surfaktan memiliki struktur molekul yang khas, karena adanya gugus yang
mempunyai tarikan yang sangat kecil terhadap pelarut, dikenal sebagai gugus
liofobil, bersama-sama dengan gugus yang mempunyai tarikan yang kuat terhadap
pelarut disebut gugus liofilik. Ini dikenal sebagai struktur amfifotik atau amfifilik.
Apabila surfaktan terlarut dalam suatu pelarut, adanya bagian liofobik di bagian
dalam pelarut tersebut menyebabkan terjadinya distorsi struktur cairan pelarut
tersebut. Di dalam larutan air surfaktan distorsi air disebabkan oleh bagian liofobik
(hidrofobik) surfaktan, dan menghasilkan kenaikan energi bebas sistem.

    Hal ini berarti kerja yang dibutuhkan untuk membawa molekul surfaktan ke
permukaan lebih kecil daripada kerja yang dibutuhkan untuk membawa molekul
air ke permukaan. Hal inilah yang menyebabkan senyawa surfaktan pada suatu
sistem cairan cenderung terkonsentrasi pada permukaan. Karena kerja yang
diperlukan untuk membawa molekul surfaktan ke permukaan lebih kecil, berarti
adanya surfaktan menurunkan kerja yang diperlukan untuk membawa unit luas
permukaam (energi bebas permukaan atau tegangan permukaan). Adanya gugus
liofilik (hidrofilik) mencegah keluarnya surfaktan secara sempurna dari pelarut
sebagai fasa terpisah (Salager, 2002).

1.2 Klasifikasi Surfaktan


   Berdasarkan muatannya surfaktan dibagi menjadi empat golongan yaitu:

a. Surfaktan Anionik

Surfaktan anionik merupakan surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada


suatu anion. Karakteristiknya yang hidrofilik disebabkan karena adanya gugus
ionik yang cukup besar, yang biasanya berupa gugus sulfat atau sulfonat. (Hui,
1996)

Surfaktan anionik adalah dari berbagai kelompok surfaktan terbesar sekitar


70% dari berbagai produksi surfaktan, seperti bidang industri dan domestik. Untuk
menentukan jumlah AS dalam formulasi produk untuk kualitas kontrol dalam
sampel industri. Contoh surfaktan anionik, meliputi :

1. Karboksilat : Alkil Sulfat (misalnya natrium lauryl sulfat), alkil eter sulfat


(misalnya natrium laureth sulfat).

2. Sulfat : Alkil Sulfat (misalnya natrium lauryl sulfat), alkil eter sulfat


(misalnya natrium laureth sulfat).

3. Sulfonat: dokumat (misalnya, dioktil natrium sulfosuksinat); alkil benzena


sulfonat (ABS).

4. Fosfat ester: fosfat alkil aril eter; fosfat alkil eter. Natrium lauryl sulfat BP
(campuran natrium dodesil sulfat, (C12H25SO4-Na+) digunakan secara farmasi
sebagai pembersih kulit pra operasi, memiliki tindakan bakteriostatik terhadap
bakteri gram positif, dan juga dalam sampo obat. (Irianto. K, 2015)

b. Surfaktan Kationik

Surfaktan kationik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu
kation. Surfaktan jenis ini memecah dalam media cair, dengan bagian kepala
surfaktan anionik bertindak sebagai pembawa sifat aktif permukaan. Contohnya,
garam alkill trimethyl ammonium, garam dialkil-dimethyl ammonium, dan garam
alkil dimethyl benzil ammonium.
Surfaktan kationik digunakan dalam berbagai produk, seperti pelembut kain,
inhibitor korosi, dan agen antimikroba. Surfaktan kationik yang umum digunakan
termasuk alkil ammonium kuartener, benzylalkilammonium, alkylpyridinium, dan
imidazolium.

c. Surfaktan Nonionik

Surfaktan nonionik yaitu surfaktan bagian alkilnya  tidak bermuatan.


Contohnya ester gliserol asam lemak, ester sorbitan asam lemak, polietilena alkil
amina, glukamina, alkil poliglukosida, mono alkanol amina, dialkanol amina, dan
alkil amina oksida.

d. Surfaktan Amfoter

Surfaktan amfoter, yaitu  surfaktan bagian alkilnya mempunyai muatan positif


dan negatif. Contohnya surfaktan yang mengandung asam amino, betain, dan
fosfobetain. (Hui, 1996)

C. Metode Titrimetri

Titrimetri merupakan analisa kuantitatif dimana kadar zat uji dapat ditetapkan
berdasarkan volume pereaksi yang ditambahkan ke dalam zat uji tersebut. Proses titrimetri
disebut titrasi, sedangkan volume titrimetri disebut volumetri. Titrasi yang dilakukan yaitu
titrasi alkalimetri. Prosedur analisis kimia yang didasarkan pada pengukuran jumlah
larutan titran yang bereaksi dengan analit. Adapun istilah yang digunakan dalam metode
titrimetri adalah :

1. Larutan titran : larutan yang digunakan untuk mentitrasi, biasanya digunakan suatu
larutan standar.

2. Larutan standar : larutan yang telah diketahui konsentrasinya.

3. Indikator : zat yang ditambahkan le dalam larutan analit untuk mengetahui titik akhir
titrasi.
4. Titik ekuivalen : Titik dimana jumlah titran yang ditambahkan ekuivalen dengan jumlah
analit secara stoikiomteri.

5. Penentuan titik akhir titrasi : Titik pada saat indikator berubah warna dan titrasi harus
dihentikan.

Analisis kimia dengan metode volumetri (titrimetri) adalah analisis kimia yang
ditujukan untuk mengetahui kadar suatu zat dalam sampel dengan larutan yang telah
diketahui konsentrasinya (larutan standar). Cara seperti ini disebut titrasi, yaitu analisis
dengan mengukur jumlah larutan yang diperlukan untuk bereaksi tepat sama
denganlarutan lain. Analisis ini juga disebut analisis volumetri karena yang diukur adalah
volume larutan basa yang dipakai dengan volume tertentu larutan asam. Dalam analisis
volumetri, perhitungan-perhitungan yang digunakan didasarkan atas hubungan
stoikiometri sederhana, dari reaksi kimia antara komponen dalam larutan standarnya.
Dalam titrimetri, analat direaksikan dengan suatu bahan lain yang dapat diketahui dengan
teliti dan larutan demikian dinamakan larutan baku :

a. Syarat Titrimetri :

1) Reaksi harus bertanggung cepat.

2) Reaksi berlangsung kuantitatif dan tidak ada reaksi samping.

3) Kelebihan sedikit saja reagen penitrasi harus dapat diketahui dengan suatu
indikator.

Reagen pentitrasi disebut sebagai standar sekunder. Konsentrasi larutan standar


sekunder ditetapkan melalui standarisasi dengan larutan standar primer.

b. Standar Primer

Standar primer adalah larutan standar yang diketahui konsentrasinya dan


disiapkan dengan menimbang reagen murni secara tepat.

c. Syarat Standar Primer

1) Komposisi zat berada dalam keadaan murni.


2) Hanya bereaksi pada kondisi tertentu.

3) Mempunyai tetapan ionisasi besar.

4) Tidak berubah atau bereaksi pada ruang terbuka.

Titrasi asam basa dapat memberikan titik akhir yang cukup tajam dan untuk itu
digunakan pengamatan dengan indikator bila pH pada titik ekivalen antara 4-10.
Demikian juga titik akhir titrasi akan tajam pada titrasi asam atau basa lemah jika
penitrasian basa atau asam kuat dengan perbandingan tetapan disosiasi asam lebih
besar dari 10-4. Selama titrasi, pH larutan berubah secara khas dan drastis bila volume
titrannya mencapai titik ekivalen. (Arfa Dewi, 2011)

BAB III

METODE PENELITIAN

1.1 Alat dan Bahan

     a.  Alat Penelitian

         Alat yang digunakan antara lain 1) Labu ukur bertutup volume 250 ml; 2) Gelas piala
volume 50 ml; 3) Pipet volume 10 ml; 4) Neraca Analitik; 5) Rak tabung reaksi; 6) Beaker
glass 100 ml, 200 ml; dan 7) Botol titrasi khusus.

      b. Bahan Penelitian
          Bahan yang digunakan antara lain 1) H2SO4 0,1 N; 2) larutan NaOH; 3) Aquadest/Air
suling; 4) Larutan Hyamine 0,003 M; 5) Indikator Phenolphtalein 0,1%; 6) Larutan
Kloroform; 7) Dimidium bromida; 8) Etanol 95%; dan 9) Larutan Sodium Lauryl
Sulfat (SLS) 0,003 M.

1.2. Prosedur Kerja

A.  Preparasi Pereaksi

1.2.1. Pembuatan larutan H2SO4 0,1 N

Sebanyak 4,9 gram H2SO4 p.a pada temperatur 20°C dilarutkan dengan 300 ml air
suling, dan diencerkan hingga 1.000 ml.

1.2.2. Pembuatan Indikator phenolphtalein 0,1%

Sebanyak 0,1 gram indikator phenolptalein dilarutkan ke dalam 100 ml ethanol 95%
(v/v).

1.2.3. Pembuatan Indikator Campuran

- Sebanyak 0,1 gram erioglancin A dilarutkan dalam 15 ml H2SO4 pekat. Sebanyak


0,2 gram dimidium bromida.

- Keduanya dicampurkan dalam labu ukur 200 ml dan tepatkan sampai tanda garis
dengan air suling.

1.2.4. Pembuatan larutan Hyamine 0,003 M

Menimbang 1,7 gram hyamine 1622 yang sebelumnya sudah dikeringkan


dalam oven pada suhu 105°C selama 2 jam. Melarutkan dengan aquabides 1 liter.
Molaritasnya ditetapkan dengan menggunakan larutan Sodium Lauryl Sulfat (SLS)
0,003 M.

B. Penentuan Kadar Surfaktan Anionik

1.2.a. Proses Larutan baku

Sebanyak 1 gram sampel deterjen cair dimasukkan ke dalam gelas piala.


Kemudian, dipindahkan larutan ke dalam labu ukur 250 ml dan ditambahkan air
suling sampai ada tanda batas ke dalam campuran tersebut. Kemudian, dikocok
larutan sampai homogen. Diteteskan pipet 10 ml larutan, kemudian dimasukkan ke
dalam botol titrasi khusus lalu tambahkan 10 ml air suling dan diteteskan larutan
penunjuk indikator phenolphtalein 0,1%.

1.2.b Proses Titrasi

Selanjutnya, dinetralkan dengan menggunakan H2SO4 0,1 N ke dalam labu


ukur sampai warna merah jambu hampir hilang. Kemudian, ditambahkan 15 ml
kloroform dan 10 ml larutan penunjuk campuran. Dititrasikan dengan tutupan botol
agar larutan tidak keluar dari botol titrasi, kemudian didiamkan beberapa saat.
Selanjutnya, dititrasikan dengan larutan Hyamine 1622 0,003 M sampai warna larutan
kloroform akan mengubah warna dari merah jambu sampai menjadi abu-abu
kebiruan. (Kalau warnanya biru artinya kelebihan).

C. Perhitungan Kadar Surfaktan Anionik 

V × M × fp× Mr
Kadar Surfaktan anionik, % = = × 100 %
W

Keterangan :

V = Jumlah larutan Hyamine

M = Molaritas larutan Hyamine, mol/liter


W = berat contoh, mg

fp = faktor pengenceran

Mr = massa molekul relatif surfaktan

D. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil analisa penetapan kadar surfaktan anionik pada sampel


deterjen cair dilakukan dengan menggunakan metode titrimetri sebanyak 4 contoh uji
deterjen cair. Penetapan kadar surfaktan anionik ini menggunakan metode titrimetri.
Metode titrimetri merupakan metode kuantitatif dimana larutan baku dan larutan yang
dititrasi digunakan suatu zat kimia yang dikenal sebagai indikator dengan adanya
perubahan warna dan campuran homogen. Berdasarkan hasil analisa pada tabel 4.1
menggunakan metode titrimetri (volumetri) berdasarkan SNI (06-4075-1996)
diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 4.1 Analisa Kadar surfaktan anionik pada Deterjen Cair dihitung


dengan menggunakan rumus  (SNI : 06-4075-1996)  :

Berat Volume Kadar Rata-rata


Kode contoh,gram Titrasi, mL Surfaktan,%b/b Kadar
Sampel Surfaktan,
I II I II I II
% b/b
A 1,1537 1,0746 5,6 17,43 16,89 17,97 17,43
B 1,0855 1,1206 2,35 7,64 7,53 7,76 7,64
C 1,0461 1,1051 2,65 8,89 8,82 8,97 8,89
D 1,0757 1,0980 2,7 8,64 8,73 8,56 8,64

Dari empat sampel hasil analisis kuantitatif dengan menggunakan Sodium


Lauryl Sulfat memberikan hasil dari 7% - 20% pada empat sampel mengandung
surfaktan anionik, yang ditandai dengan perubahan warna larutan menjadi hijau
kebiruan pada gambar 4.1.

Terbentuknya sifat

aktif permukaan pada

deterjen cuci cair.

Sampel B Sampel D

Sampel A Sampel C

Gambar 4.1 Hasil Analisis Kadar Surfaktan Anionik pada sampel Deterjen Cair

Sehingga dapat disimpulkan, perubahan warna larutan menjadi merah jambu


sebelum ditambahkan air suling menjadi larutan menjadi hilang disebabkan oleh
terbentuknya sifat aktif permukaan (surface active agent Surfactan). Hal ini
dikarenakan surfaktan anionik yang berasal dari hasil reaksi antara etanol rantai
panjang dengan asam sulfat yang akan menghasilkan sulfat etanol.

Kadar surfaktan anionik yang terkandung dalam sampel A sebesar 17,43%,


sampel B sebesar 7,64%, sampel C sebesar 8,89%, dan sampel D sebesar 8,64%. Hal
ini dikarenakan sampel A senilai 17,43%, maka sampel ini lebih banyak kandungan
surfaktan anionik pada deterjen cuci cair. Secara teoritis, hasil deterjen merupakan
salah satu bahan yang mengandung surfaktan yang memiliki sifat dapat menurunkan
tegangan permukaan, sehingga digunakan sebagai bahan pembersih kotoran yang
menempel pada benda. (Veenstra, 1995)
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa kadar surfaktan
anionik yang terkandung dalam sampel deterjen cair pada sampel A sebesar 17,43%, sampel
B sebesar 7,64%, sampel C sebesar 8,89%, dan sampel D sebesar 8,64%. Hal ini dikarenakan
sampel A senilai 17,43% maka sampel ini lebih banyak kandungan surfaktan anionik pada
deterjen cuci cair.

2. SARAN

Pengujian kadar surfaktan anionik yang terkandung dalam sampel deterjen cair dengan
contoh uji yang lebih banyak, tidak hanya 4 contoh.
BAB V

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2018. “Pengertian dan Jenis-jenis Deterjen (Alif.MH. Sagir).” https://www.alifmh-


shagir.com/2017/08/Pengertian-dan-Jenis-Jenis-Deterjent.html. Diakses pada tanggal
19 Agustus 2018.

Anonim,2018. https://chemical.kao.com/id/pdf/gps/GPS/_B0001800_idid.pdf. Diakses pada


tanggal 14 Agustus 2018 pada pukul 22.29 WIB.

Anwuli. U, dkk. 2018. Microbial Degradation of Anionic Surfactants from Laundry


Detergents Commonly Discharged into a Riverine Ecosystem. Journal of Applied Life
Sciences International. Vol.16 (4): 1-11.

Arfa, Dewi. 2011. Analisis Bahan Pengawet Benzoat Secara Titrimetri Pada Saos Tomat
yang Beredar Di Wilayah Kota Pekanbaru. Skripsi. Pekanbaru : Universitas Islam
Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

Bhairi, M. 2001. Detergent A Guide To the Properties and Uses A Detergent


In       Biological System. Calbiochem : Nova Biochem Coorperation.

Day, R.A. and A.L. Underwood, 1986. Analisa Kimia Kuantitatif,  diterjemahkan oleh R.


Soendoro, Widaningsih dan Sri Rahadjens. Jakarta : Erlangga.

Fessenden, R.J and Fessenden, J. S. 1986. Kimia Organik Edisi Ketiga Jilid 2. Jakarta :
Erlangga.

Hui, Y. H., 1996, Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Edisi ke-5, volume ke-2. New
York: John Willey & Sons, Inc.

Ika. F. U, dkk. (2018). Penurunan Kadar Surfaktan Anionik dan Fosfat dalam Air
Limbah Laundry di Kawasan Keputih, Surabaya Menggunakan Karbon
Aktif. Journal Akta Kimia Indonesia. Vol 3 (1) : 127-140.

Irianto, K. 2015. Buku Bahan Ajar Pencemaran Lingkungan. Fakultas Pertanian Program


Studi Agroteknologi. Bali : Universitas Warmadewa.
Octaviani, Ervina. 2017. Formulasi Deterjen Cuci Cair Sebagai Penyuci Najis Mughalladzah
dengan variasi Tanah Kaolin–Nano Bentonit. Skripsi. Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah.

Salager, J. L. 2002. Surfactants types and uses. Venezuela : De Los Andes University.

Sastrohamidjojo H. 2005. Kimia Organik: Stereokimia, Karbohidrat, Lemak, dan Protein.


Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada.

Nur. I, A. Rahman. R, dan Nurhaeni. 2016. Sintesis Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES)
dari Metil Laurat. Jurnal Riset Kimia Kovalen, Universitas Tadulako, 2 (2) : 54-56.

PT. KAO Indonesia Chemicals. 2018. Rangkuman Keselamatan Strategi Produk Global.


EMAL 10N, 1-6.

Rosariawari, F. (2008). Penurunan Konsentrasi Limbah Deterjen Menggunakan Furnace


Bottom Ash (FBA). Jurnal Rekayasa Perencanaan, 4 (3).

SNI (1996), Deterjen Cuci Cair, Badan Standarisasi Nasional, Standar Nasional Indonesia,
06-4075-1996.

Sampepana, E & Suroto, H.S. 2013. Pemanfaatan Metil Ester Sulfonat pada Pembuatan
Deterjen Cair. Jurnal Riset Teknologi Industri. Samarinda: Balai Riset dan
Standarisasi Industri Samarinda.

Wulan, J. E, Arneli, dan Sriatun. 2012. Pemanfaatan Surfaktan Kationik Hasil Sublasi


Sebagai Molekul Pengarah Pada Pembuatan Material Berpori dari Sekam Padi. Jurnal
Kimia Sains dan Aplikasi. Vol.15 (1) : 24-28.

Anda mungkin juga menyukai