Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PRAKTIKUM

UJI TOKSISITAS AKUT DETERJEN BUBUK


TERHADAP BENIH IKAN NILA
Disusun guna memenuhi tugas praktikum mata kuliah ekotoksikologi dan
kesehatan lingkungan



Disusun oleh :
Samsul Aripin 21080111120016
Andika Dimas P. 21080111130033
Setiani Hapsari 21080111130080
Muhamad Hibban 21080111140100

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
Saat ini deterjen telah menjadi bahan pembersih yang tidak asing lagi bagi
seluruh lapisan masyarakat, baik yang tinggal di desa maupun di kota.
Penggunaanya pun semakin hari semakin meningkat sejalan dengan
bertambahanya jumlah penduduk. Dalam rumah tangga khususnya, penggunaan
deterjen lebih disukai dan sering digunakan karena kemampuannya dalam
menghasilkan buih dan daya pembersih yang dimilikinya jauh lebih baik daripada
sabun.
Pengetahuan masyarakat tentang deterjen kebanyakan sebatas hanya pada
sisi kelebihannya saja sebagai bahan pembersih yang baik tanpa mengetahui sisi
kekurangannya yaitu dapat menimbulkan dampak negatif berupa menurunnya
kualitas lingkungan akibat kontaminasi dari deterjen tersebut. Penggunaan
deterjen secara intensif dapat mencemari perairan pada umumnya dan ikan
maupun organism air lainnya pada khususnya yang bahkan dapat menyebabkan
kematian pada ikan maupun organism air lainnya tersebut.
Ikan dapat digunakan sebagai bioindikator karena kemampuannya dalam
merespon perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan tersebut dikarenakan
adanya bahan pencemar yang terlarut dalam air dapat mengakibatkan perubahan
tingkah laku ikan seperti perubahan aktivitas pernapasan, aktivitas dan gerakan
renang, warna tubuh dan sebagainya sebagai bentuk reaksi terhadap perubahan
fisik air dalam batas konsentrasi tertentu.
Ikan nila merupakan salah satu jenis ikan yang memiliki sensitifitas tinggi
terhadap perubahan lingkungan sehingga dapat digunakan sebagai bioindikator
bahan pencemar pada perairan . Di Indonesia ikan ini merupakan jenis ikan yang
popular, komoditi yang besar, banyak dipelihara dan juga dikonsumsi oleh
masyarakat pada umumnya.
1.2 IDENTIFIKASI MASALAH
Permasalahan yang dapat diidentifikasi dalam penelitian ini adalah:
1. Kandungan deterjen pada air merupakan salah satu unsur pencemaran
yang potensial
2. Kandunganpotensi toksisitas deterjen terhadap perilaku dan kondisibenih
ikan nila.
1.3 PEMBATASAN MASALAH
Penelitian ini dibatasi pada permasalahan mengenai:
1. Pengaruh kadar kandungan potensi toksisitas deterjen terhadap perilaku
dan kondisi benih ikan nila.
2. Pengamatan langsung perubahan perilaku dan kondisi benih ikan nila
secara fisik (by eyes).
3. Nilai Lethal Concentration 50 (LC50) deterjen pada benih ikan nila.
1.4 PERUMUSAN MASALAH
Perumusan masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Bagaimana pengaruh kadar kandungan potensi toksisitas deterjen terhadap
perilaku dan kondisi benih ikan nila?
2. Berapa nilai Lethal Concentration 50 (LC50) deterjen pada benih ikan
nila?
1.5 TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Menganalisis pengaruh kadar kandungan potensi toksisitas deterjen
terhadap perilaku dan kondisi benih ikan nila dengan pengamatan
langsung secara fisik (by eyes).
2. Menganalisis nilai Lethal Concentration 50 (LC50) deterjen pada ikan
nila.
1.6 MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Pengaruh kadar kandungan potensi toksisitas deterjen terhadap perilaku
dan kondisi benih ikan nila diharapkan dapat memberi informasi dan juga
masukan bagi masyarakat mengenai indikasi pencemaran perairan.
2. Data nilai Lethal Concentration 50 (LC50) deterjen pada benih ikan nila
diharapkan dapat menjadi masukan bagi stakeholder dan yang terkait
dalam perumusan dan penentuan kebijakan terkait pencemaran perairan.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

4.1 TERMINOLOGI TOKSIKOLOGI
2.1.1 TOKSIKOLOGI
Ilmu yang mempelajari tentang efek negatif atau efek racun dari bahan
kimia dan material lain hasil kegiatan manusia terhadap organisme
termasuk bagaimana bahan tersebut masuk ke dalam organisme.
(Rand, G.M. & Petrocelli, S.R, 1985)
Ilmu yang mempelajari racun berikut asal, efek, deteksi dan metode
pengolahannya.
(Dictionary of Scientific and Technical terms, 1984)
2.1.2 TOKSIKOLOGI LINGKUNGAN
Ilmu pengetahuan mengenai kerja senyawa kimia yang merugikan
terhadap organism hidup sehingga menyebabkan pencemaran lingkungan
yang memberikan efek toksik atau merugikan terhadap manusia,
menyebabkan perubahan biosfer dan lingkungan luar serta membebani
lingkungan secara fisik.
(Ariens, E.J, dkk. Penerjemah : Wattimena, Y.R., 1985)
Studi mengenai asal, properti, efek dan deteksi bahan racun di dalam
lingkungan dan segala spesies yang berada di lingkungan, termasuk
manusia.
(Duffus, John. H. & Howard G.K. Worth, 1996)

2.1.3 EKOTOKSIKOLOGI
Ilmu yang mempelajari efek-efek negatif (beracun) dari toksikan, tidak
hanya pada satu spesies tetapi pada jangkauan yang luas dari spesies yang
berinteraksi dalam sistem
(Rand, G.M. & Petrocelli, S.R., 1985)
Studi mengenai efek toksik dari bahan kimia dan fisik terhadap seluruh
makhluk hidup terutama populasi dan komunitas yang berada dalam
ekosistem termasuk jalannya transfer bahan-bahan tersebut dan interaksi
dengan lingkungan.
(Duffus, John. H. & Howard G.K. Worth, 1996)
4.2 DETERJEN
Detergen adalah campuran berbagai bahan, yang digunakan untuk
membantu pembersihan dan terbuat dari bahan-bahan turunan minyak bumi.
Dibanding dengan sabun, detergen mempunyai keunggulan antara lain
mempunyai daya cuci yang lebih baik serta tidak terpengaruh oleh kesadahan air.
Pada umumnya, detergen mengandung bahan-bahan berikut:
1. Surfaktan
Surfaktan (surface active agent) merupakan zat aktif permukaan yang
mempunyai ujung berbeda yaitu hidrofil (suka air) dan hidrofob (suka
lemak). Bahan aktif ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan air
sehingga dapat melepaskan kotoran yang menempel pada permukaan
bahan. Secara garis besar, terdapat empat kategori surfaktan yaitu:
a. Anionik :
-Alkyl Benzene Sulfonate (ABS)
-Linier Alkyl Benzene Sulfonate (LAS)
-Alpha Olein Sulfonate (AOS)
b. Kationik : Garam Ammonium
c. Non ionik : Nonyl phenol polyethoxyle
d. Amphoterik : Acyl Ethylenediamines
2. Builder
Builder (pembentuk) berfungsi meningkatkan efisiensi pencuci dari
surfaktan dengan cara menon-aktifkan mineral penyebab kesadahan air.
a. Fosfat : Sodium Tri Poly Phosphate (STPP)
b. Asetat :
- Nitril Tri Acetate (NTA)
- Ethylene Diamine Tetra Acetate (EDTA)
c. Silikat : Zeolit
d. Sitrat : Asam Sitrat
3. Filler
Filler (pengisi) adalah bahan tambahan deterjen yang tidak mempunyai
kemampuan meningkatkan daya cuci, tetapi menambah kuantitas. Contoh
Sodium sulfat.
4. Aditif
Aditif adalah bahan suplemen / tambahan untuk membuat produk lebih
menarik, misalnya pewangi, pelarut, pemutih, pewarna dst, tidak
berhubungan langsung dengan daya cuci deterjen. Additives ditambahkan
lebih untuk maksud komersialisasi produk. Contoh :Enzim, Boraks,
Sodium klorida, Carboxy Methyl Cellulose (CMC).
(http://id.wikipedia.org/wiki/Deterjen, diakses 23 Maret 2014, 23:15)
Surfaktan atau surface active agents atau wetting agents merupakan bahan
organik yang berperan sebagai bahan aktif pada deterjen, sabun dan shampoo.
Surfaktan dapat menurunkan tegangan permukaan sehingga memungkinkan
partikel-partikel yang menempel pada bahan-bahan yang dicuci terlepas dan
mengapung atau terlarut dalam air.
Komposisi surfaktan dalam deterjen berkisar antara 10-30%, disamping
polifosfat dan pemutih. Kadar surfaktan 1 mg/liter dapat mengakibatkan
terbentuknya busa di perairan. Meskipun tidak bersifat toksik, keberadaan
surfaktan dapat menimbulkan rasa pada air dan menurunkan absorbsi oksigen di
perairan.
Hingga tahun 1965, jenis surfaktan yang biasa digunakan dalam deterjen
adalah alkylbenzene sulphonate (ABS) yang bersifat resisten terhadap
dekomposisi biologis. Kemudian, jenis surfaktan ini diganti dengan linear alkyl
sulphonate (LAS) yang dapat diuraikan secara biologis (biodegradable). Selain
itu, Haslam (1995) mengemukakan bahwa surfaktan mengganggu transfer gas.
Surfaktan berinteraksi dengan sel dan membran sehingga menghambat
pertumbuhan sel.
Permasalahan yang ditimbulkan oleh deterjen tidak hanya menyangkut
surfaktan, akan tetapi juga berkaitan dengan banyaknya polifosfat yang juga
merupakan penyusun deterjen yang masuk ke badan air. Polifosfat dari deterjen
ini diperkirakan memberikan kontribusi sekitar 50% dari seluruh fosfat yang
terdapat di perairan. Keberadaan fosfat yang berlebihan menstimulir terjadinya
eutrofikasi (pengayaan) perairan.
Dugan (19720 mengemukakan bahwa keberadaan fosfat juga
mengakibatkan perairan menjadi lunak (soft water) dan kurang produktif karena
ion fosfat bereaksi dengan Ca
2+
, Mg
2+
dan Fe
3+
yang merupakan penyusun
kesadahan. Sebagai pengganti fosfat pada deterjen, sering digunakan borat; akan
tetapi borat bersifat toksik.
Kadar surfaktan kationik 0,1-10 mg/liter dan surfaktan non-ionik 1-10.000
mg/liter dapat menghambat pertumbuhan algae. (Haslam, 1995)
(Effendi, 2003)

4.3 INDIKATOR BIOLOGIS
Beberapa istilah yang sering digunakan : (EPA,2008)
1. Indikator biologis
Nilai berupa angka yang didapat dari pengukuran yang sebenarnya, telah
diketahui sifat statistiknya, dan memberikan informasi yang berguna untuk
pengambilan keputusan terkait dengan lingkungan.
2. Integritas biologis
Kemampuan untuk mendukung dan memelihara yang berimbang,
terintegrasi, disesuaikan dengan kelompok organisme memiliki yang
campuran spesies, keragaman dan fungsional organisasi yang sama dengan
lingkungan habitat asli di alam.
3. Organismeindikator
Organisme yang karakteristiknya digunakan untuk parameter ada atau
tidaknya di kondisi lingkungan yang mana hal tersebut tidak dapat
dilakukanpengukuran dari takson lainnya atau lingkungan secara
keseluruhan.
Penggunaan ikan sebagai indikator biologi sejak dulu telah disinggung
oleh beberapa peneliti. Baru-baru ini, dengan menyampling populasi ikansecara
sistematis untuk mengevaluasi integritas biologi, para ilmuwan telah dapat
memaparkan beberapa kelebihan dan kekurangan ikan sebagai organisme
indikator. Berikut adalah kelebihan dan kekurangannya :
Kelebihan :
1. Hidup lebih lama.
2. Mudah di dapat.
3. Beragam.
4. Mudah diidentifikasi.
5. Banyak dikenal masyarakat.
6. Tren toksisitasnya mudah diketahui.
Kekurangan :
1. Tenaga kerja untuk mensampling.
2. Pergerakan ikan yang bermigrasi
3. Sampling yang salah.
(EPA,2008)


Klasifikasi Ikan Nila :
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Subkelas : Acanthopterigii
Suku : Cichlidae
Marga : Oreochromis
Spesies : Oreochromis niloticus atau Oreochromis sp.
(Khairuman & Khairul, 2003)
Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan ikan asli sungai Nil di Afrika
yang secara fisik hampir sama dengan ikan mujair. Perbedaan yang cukup
mencolok selain warnanya, tubuh dan pertumbuhan nila lebih cepat daripada
mujair. Selain itu pula, pada sirip ekor ikan nila terdapat garis-garis tegak
sedangkan pada ikan mujair hal ini tidak ditemukan. Ikan nila dapat hidup di air
tawar hingga air payau, mulai dari ketinggian 0 hingga 1000 m dpl dengan suhu
yang optimal untuk pertumbuhannya 25-30
o
C, pH 7-8 dan oksigen 3-5 ppm
(Saparinto, 2009).
Penggunaan ikan nilasebagai indikator biologi tidak lain dikarenakan
beberapa hal sebagai berikut :
1. Populasinya banyak.
2. Sensitif terhadap perubahan lingkungan.
3. Merupakan hewan yang berkelompok.
4. Hidup di perairan yang tenang.
5. Mudah di dapat.
6. Banyak dikenal masyarakat.
(EPA,2008)
4.4 UJI TOKSISITAS
Uji toksisitas merupakan uji untuk mengevaluasi konsentrasi atau dosis
pencemar (toksikan) dan durasi pendedahan yang dibutuhkan untuk menghasilkan
efek tertentu.
Kriteria dan pendekatannya, yaitu :
1. Pengujian harus dapat memprediksi efek pencemar pada organisme yang
berbeda.
2. Prosedur pengujian mengguanakan dasar statistic dan dapat diulang pada
waktu dan tempat yang berbeda dengan hasil yang hampir sama.
3. Data meliputi efek berbagai konsentrasi selama durasi pendedahan dan
dapat dikuantitatifkan melalui grafik interpolasi atau analisis statistik.
4. Data dapat digunakan untuk risk assessment analysis.
5. Pengujian mudah dilakukan dan ekonomis.
6. Pengujian dapat dengan mudah (sensitif) mendeteksi dan mengukur efek.
Sistem pendedahan pengujian toksisitas dalam lingkungan akuatik
meliputi :
1. Statik
2. Renewal
3. Flow-through
Pengujian toksisitas akut bertujuan menentukan konsentrasi (dosis) bahan
kimia yang menyebabkan efek merugikan pada organism melalui pendedahan
bahan kimia dalam waktu yang singkat. Dalam pengujian ini, respon yang
dipelajari berupa quantal response (dead or alive). Hubungan antara konsentrasi
(dosis) bahan kimia dengan persentase organisme yang menunjukan efek (respon)
dinyatakan dalam bentuk kurva konsentrasi (dosis)-mortalitas. Hasil pengujian
toksisitas akut berupa persentase organisme yang mati dalam setiap konsentrasi
(dosis) dan LC50 atau LD50.
Sebelum dilakukan uji toksisitas akut, benih ikan yang digunakan sebagai
bioindikator terlebih dahulu diaklimatisasi. Menurut Khairuman & Khairul, 2011,
aklimatisasi ikan adalah proses penyesuaian ikan dengan lingkungannya yang
baru dengan cara membiarkan wadah atau kantong plastic yang berisi ikan
mengapung beberapa menit di atas permukaan air wadah ikan yang akan
ditempati. Keberhasilan aklimatisasi ini akan mempengaruhi hasil uji toksisitas
akut terhadap organisme indikator.
Pengujian toksisitas akut dilakukan melalui dua tahap, yaitu : pertama,
rangefinding test yang merupakan uji pendahuluan dengan menentukan
konsentrasi (dosis) bahan kimia berdasarkan rasio geometric dan juga waktu
pendedahan. Kedua, definitive test yaitu uji toksisitas dimana konsentrasi (dosis)
yang digunakan merupakan kisaran dari hasil uji rangefinding test dan dengan
waktu pendedahan yang tergantung pada life span organisme indikator.
Setelah masa pendedahan berakhir, hasil uji definitive test dianalisa untuk
menentukan LC50 atau LD50. Penentuan LC50 atau LD50 dapat dilakukan
dengan cara :
1. Analisis probit
2. Interpolasi
3. Ekstrapolasi
4. Penggunaan garis
(Nugroho, Andhika P., 2004)
Tingkat toksisitas akut surfaktan pada ikan bervariasi tergantung jenis
ikannya. Namun, secara umum klasifikasi deterjen berdasarkan toksisitasnya
terhadap ikan dapat dibagi sebagai berikut :
LC50-48 Jam
(mg/l)
Evaluasi Toksisitas
1-10 Tinggi
10-100 Sedang
100-10.000 Rendah
(Svobodova, et all, 1993)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 BAHAN DAN ALAT
1. Benih ikan nila, 120 ekor; 10 ekor per aquarium
2. Deterjen bubuk (Attack)
3. Aquarium (p x l x t = 30cm x 20cm x 10cm = 6 liter air), 6 buah
4. Aerator , 6 buah
3.2 METODOLOGI
Tahapan pertama yang dilakukan adalah persiapan bahan dan alat
praktikum uji. Setelah itu pemeliharaan benih ikan nila selama dua hari dan
dilanjutkan proses aklimatisasi benih ikan nila selama dua hari tanpa diberi pakan.
Selanjutnya persiapan dan mulai melakukan uji toksisitas akut .
Pada praktikum pengujian toksisitas ini dilakukan dua tahap, yaitu :
1. Range Finding Test
Pendedahan terhadap organisme indikator, yaitu benih ikan nila sebanyak
10 ekor per aquarium secara statik dilakukan dalam waktu 48 jam dengan
waktu pengamatan 0, 24 dan 48 jam. Konsentrasi bahan kimia, yaitu
deterjen bubuk sebanyak 31,62277 mg/L; 100 mg/L; 316,2277mg/L ,
1000 mg/L, 3162,277 mg/Ldan kontrol 0 mg/L.
2. Definitive Test
Pendedahan terhadap organisme indikator, yaitu benih ikan nila sebanyak
10 ekor per aquariumsecara statik dilakukan dalam waktu48jam dengan
waktu pengamatan 0, 24, dan 48 jam. Konsentrasi bahan kimia, yaitu
deterjen bubuk, sebanyak kisaran konsentrasi hasil range finding test ; 0%-
100% kematian pada ikan, yang ditentukan secara logaritmik dan kontrol 0
mg/L.


3.3 DIAGRAM ALIR METODOLOGI
















Mulai
Persiapan bahan dan alat
Pemeliharaan benih ikan nila
Aklimatisasi benih ikan nila
Range finding test:
Konsentrasi ditentukan secara logaritmik
Definitive test:
Konsentrasi kisaran dari hasil range finding
test yang ditentukan secara logaritmik
> 10% benih ikan nila mati
Ya
Tidak
Kontrol:
> 10% benih ikan nila mati
Tidak
Ya
Kontrol:
> 10% benih ikan nila mati
Tidak
Ya
Selesai
BAB IV
DATA PENGAMATAN

4.1 TAHAP PEMELIHARAAN DAN AKLIMATISASI
Tahap pemeliharaan dilakukan selama dua hari. Pada hari pertama, enam
ekor benih ikan nila mati. Di keesokan harinya, hari kedua, tidak ada benih ikan
nila yang mati.
Tahap selanjutnya, tahap aklimatisasi, berlangsung selama dua hari tanpa
pemberian pakan. Pada hari pertama maupun hari kedua tidak ada benih ikan nila
yang mati.
4.2 TAHAP RANGE FINDING TEST
Pada tahap ini, diberikan lima konsentrasi deterjen yang berbeda pada tiap
aquarium dan satu aquarium sebagai kontrol (tidak diberi konsentrasi deterjen).
Pendedahan dilakukan selama 48 jam dengan waktu pengamatan 0, 24 dan 48jam.
Konsentrasi yang diberikan telah ditentukan sebelumnya dengan kelipatan secara
logaritmik, sebagai berikut :
Aquarium A : 0 mg/L deterjen (kontrol)
Aquarium B : 31,62277 mg/L
Aquarium C : 100 mg/L
Aquarium D : 316,2277 mg/L
Aquarium E : 1000 mg/L
Aquarium F : 3162,277 mg/L
Berdasarkan hasil pengamatan, jumlah benih ikan nila yang matipada saat
pendedahan adalah sebagai berikut :
Aquarium Jumlah Ikan
Mortalitas Ikan Pada
Waktu Pengamatan (%)
Keterangan
Jam
ke-0
Jam
ke-24
Jam
ke-48
A 10 - - -
B 10 - - -
C 10 - 70 80
Ikan terlihat bergerak
aktif pada jam ke-0.
Ikan yang tersisa
terlihat berkumpul
mendekati aerator
pada jam ke-24 dan
jam ke-48. Insang
ikan yang mati
mengeluarkan darah.
D 10 - 100 100
Ikan terlihat bergerak
aktif pada jam ke-0.
Insang ikan yang mati
mengeluarkan darah.
E 10 - 100 100
Ikan terlihat bergerak
sangat aktif pada jam
ke-0. Insang ikan
yang mati
mengeluarkan darah.
F 10 - 100 100
Ikan terlihat bergerak
sangat aktif pada jam
ke-0. Insang ikan
yang mati
mengeluarkan darah.
Mata ikan tampak
berdarah.
Sumber : (Pengamatan, 2014)
4.3 TAHAP DEFINITIVE TEST
Pada tahap ini, konsentrasi deterjen yang diberikan ditentukan berdasarkan
kisaran dari hasil tahap sebelumnya, yaitu range finding test. Dari tahap tersebut
didapatkan konsetrasi yang menyebabkan 50% benih ikan nila mati berkisar
antara 31,62277 mg/L hingga 316,2277 mg/L. Pendedahan dilakukan selama 48
jam dengan waktu pengamatan 0, 24 dan 48 jam. Konsentrasi yang diberikan
ditentukan sebelumnya dengan kelipatan secara logaritmik dan berkisar antara
31,62277 mg/L hingga 316,2277 mg/L. Berikut konsentrasi yang diberikan pada
tahap ini :
Aquarium A : 0 mg/L deterjen (kontrol)
Aquarium B : 50,11872 mg/L
Aquarium C : 79,43282 mg/L
Aquarium D : 125,89254 mg/L
Aquarium E : 199,52623 mg/L
Berdasarkan hasil pengamatan, jumlah benih ikan nila yang mati pada saat
pendedahan adalah sebagai berikut :
Aquarium
Jumlah
Ikan
Mortalitas Ikan PadaWaktu
Pengamatan (%)
Keterangan
Jam
ke-0
Jam
ke-24
Jam ke-
48
A 10 - - -
B 10 - - 10
C 10 - 20 30
Ikan masih bergerak
aktif pada jam ke-24
D 10 - 20 100
Ikan terlihat
bergerak cukup aktif
pada jam ke-0, pada
jam ke-24 ikan
sudah mulai lemas
E 10 - 100 100
Ikan terlihat
bergerak sangat
aktif pada jam ke-0.
Sumber : (Pengamatan, 2014)
BAB V
PEMBAHASAN

6.1 TAHAP PEMELIHARAAN DAN AKLIMATISASI
Berdasarkan hasil data pengamatan, didapatkan pada tahap pemeliharaan,
enam ekor benih ikan nila mati. Kematian ikan sangat mungkin dikarenakan ikan
tersebut dalam kondisi stress. Stress ikan disebabkan oleh beberapa faktor, seperti
perubahan suhu dan tempat pemeliharaan.
Perubahan suhu dapat menyebabkan stress pada ikan dikarenakan
ketidakmampuan ikan tersebut dalam beradatasi dengan cepat terhadap perubahan
suhu lingkungannya dan mengakibatkan ikan tersebut akhirnya mati. Begitu pula
dengan tempat pemeliharaan ikan. Ikan menjadi stress karena tempat
pemeliharaan berubah seperti terlalu sempit/kecil atau terlalu luas/besar untuk
ikan tersebut bergerak dan beraktifitas.
Aklimatisasi dikatakan berhasil apabila tidak ada ikan yang mati pada
proses tersebut. Hasil data pengamatan didapatkan bahwa tidak ada ikan yang
mati pada saat proses dan hal ini dapat disimpulkan bahwa pada tahap ini,
aklimatisasi berhasil dilakukan.
6.2 TAHAP RANGE FINDING TEST
Sebelum melakukan uji, pada tahap ini konsentrasi deterjen harus terlebih
dahulu ditentukan. Penentuan konsentrasi deterjen ditentukan dengan kelipatan
secara logaritmik. Berikut langkah-langkah dalam penentuan konsentrasi :
1. Tentukan konsentrasi terendah.
Rumus logaritma = a
c
= b
a
log b = c
a sebagai nilai basis; digunakan basis 10
b sebagai nilai konsentrasi yang akan digunakan; digunakan satuan mg/L
c sebagai nilai kelipatan; digunakan kelipatan 0,5.
c awal atau c
1
ditentukan sebesar 1,5 sehingga b bernilai 31,62277 mg/L
2. Penentuan konsentrasi lainnya.
c
0
= kontrol; 0 mg/L
c
1
= 1,5; kelipatannya 0,5
c
2
= 2,0 b = 100 mg/L
c
3
= 2,5 b = 316,2277 mg/L
c
4
= 3,0 b = 1000 mg/L
c
5
= 3,5 b = 3162,277 mg/L
Setelah menentukan konsentrasi yang akan diberikan selanjutnya adalah
menentukan dosis atau takaran deterjen yang akan dilarutkan dengan air sebagai
pelarut. Berikut langkah-langkah dalam penentuan dosis atau takaran :
1. Tentukan jumlah atau volume air yang akan digunaka. Pada praktikum ini
digunakan enam liter air atau 10 cm tinggi air pada setiap aquarium yang
memiliki panjang 30 cm dan lebar 20 cm.
2. Dosis atau takaran yang digunakan dari tiap konsentrasi dalam setiap
aquarium.
Aquarium A : 0 mg/L deterjen (kontrol)
Aquarium B : 31,62277 mg/L
Aquarium C : 100 mg/L
Aquarium D : 316,2277 mg/L
Aquarium E : 1000 mg/L
Aquarium F : 3162,277 mg/L
Pada saat uji jam ke-0, tidak ada ikan yang mati pada seluruh aquarium.
Namun pada saat itu perilaku ikan di aquarium C, D, E, dan F mulai berubah.
Perubahan perilaku ikan yang diamati berupa pergerakan ikan yang aktif, bahkan
di aquarium E dan F sangat aktif, dan cenderung berenang ke permukaan air.
Sedangkan pada aquarium yang lainnya, ikan terlihat lebih tenang.
Jam ke-24, didapati ikan mati pada aquarium C, D, E, dan F. Pada
aquarium D, E, dan F didapati 100% ikan mati dan di aquarium C didapati 70%
ikan mati. Perubahan perilaku ikan yang tersisa pada aquarium C terlihat lebih
tenang.
Jam ke-48, didapati ikan yang mati pada aquarium C menjadi 80%.
Sedangkan pada aquarium A dan B tidak ada yang mati dan tidak ada perubahan
perilaku pada ikan.
Kematian ikan diakibatkan oleh buih yang yang ditimbulkan oleh
surfaktan yang merupakan salah satu bahan dalam kandungan deterjen. Buih
tersebut menutupi permukaan air yang menyebabkan terhalangnya oksigen masuk
ke dalam air tempat ikan berada. Keadaan miskin oksigen, DO menurun, pada
perairan aquarium menyebakan ikan mati karena kekurangan oksigen. Hal ini
dibuktikan dengan keadaan ikan yang mati, yaitu insang pada ikan mengeluarkan
darah. Kerja keras insang ikan dalam menyerap oksigen yang terlarut dalam
perairan yang miskin oksigen menyebakan kerusakan dan akibatnya
mengeluarkan darah. Kerusakan insang menyebabkan pernapasan terhenti,
terputusnya konsumsi oksigen, pada ikan dan menyebabkan ikan tersebut mati.











6.3 TAHAP DEFINITIVE TEST
Pada tahap ini, sebelum melakukan uji konsentrasi deterjen harus terlebih
dahulu ditentukan. Langkah-langkah penentuan konsentrasi dan dosis atau takaran
deterjen dan waktu pendedahan dilakukan sama seperti pada tahap range finding
test. Perbedaan pada tahap ini dengan tahap sebelumnya adalah pada kuantitas
konsentrasi saat pendedahan. Konsentrasi yang digunakan adalah interval dari
hasil tahap sebelumnya yaitu antara 31,62277 mg/L hingga 316,2277 mg/L
dengan nilai kelipatan (c) sebesar 0,2.
Pada tahap ini konsentrasi yang digunakan adalah sebagai berikut :
Aquarium A : 0 mg/L deterjen (kontrol)
Aquarium B : 50,11872 mg/L
Aquarium C : 79,43282 mg/L
Aquarium D : 125,89254 mg/L
Aquarium E : 199,52623 mg/L
Pada saat uji jam ke-0, tidak ada ikan yang mati pada seluruh aquarium.
Namun pada saat itu perilaku ikan di aquarium C, D, dan E mulai berubah.
Perubahan perilaku ikan yang diamati berupa pergerakan ikan yang aktif, bahkan
di aquarium E sangat aktif, dan cenderung berenang ke permukaan air. Sedangkan
pada aquarium B, ikan terlihat tenang.
Jam ke-24, didapati ikan mati pada aquarium C, D, dan E. Pada aquarium
C dan D didapati 20% dan di aquarium E didapati 100% ikan mati. Perubahan
perilaku ikan yang tersisa pada aquarium C cukup tenang.
Jam ke-48, didapati 10% ikan yang mati pada aquarium B, di aquarium C
menjadi 30% ikan yang mati, dan di aquarium D menjadi 100% ikan yang mati.
Kematian ikan diakibatkan oleh sebab yang sama seperti pada tahap
sebelumnya, yaitu karena buih yang ditimbulkan oleh surfaktan. Buih
menyebakan terhalangnya oksigen terlarut ke dalam perairan sehingga perairan
kekurangan oksigen yang cukup untuk konsumsi pernapasan ikan. Kurang
terpenuhinya oksigen dalam perairan menyebabakan kematian pada ikan.

6.4 PERHITUNGAN LC50
Perhitungan LC50 pada praktikum ini dilakukan dengan dua metode, yaitu
by eyes dan interpolasi. Berikut perhitungannya :
Hasil Data Pengamatan 2014
Konsentrasi
(mg/L)
Mortalitas
(%)
31.62277 0
50.11872 10
79.43282 30
100.00000 80
125.89254 100
199.52623 100
316.22770 100
1000.00000 100
3162.27700 100

Perhitungan dengan metode by eyes :
100 79,43282 = 20,56718 mg/L
80 30 = 50 %
50 : 20,56718 = 2,431057636
artinya 2,431057636% setiap penambahan 1 mg/L konsentrasi
50 -30 = 20%
20 : 2,431057636 = 8,226872 mg/L
artinya untuk mencapai 50% mortalitas perlu penambahan 8,226872 mg/L
Sehingga nilai LC50 adalah 79,43282 + 8,226872 = 87,659692 mg/L


Perhitungan dengan metode interpolasi :








Dari dua metode perhitungan diatas didapatkan hasil yang sama untuk nilai
LC50, yaitu sebesar 87,659692 mg/L dan dikategorikan dalam kelas toksisitas
sedang karena masih dalam range 10-100 mg/L.
.
0
20
40
60
80
100
120
a
n
t
i

l
o
g

1
,
5
a
n
t
i

l
o
g

1
,
7
a
n
t
i

l
o
g

1
,
9
a
n
t
i

l
o
g

2
,
0
a
n
t
i

l
o
g

2
,
1
a
n
t
i

l
o
g

2
,
3
a
n
t
i

l
o
g

2
,
5
a
n
t
i

l
o
g

3
,
0
a
n
t
i

l
o
g

3
,
5
M
o
r
t
a
l
i
t
a
s

(
%
)

Konsentrasi --> Basis log 10
(mg/l)
Nilai LC50
Mortalitas
BAB VI
PENUTUP

6.1 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengamatan praktikum uji toksisitas akut deterjen
terhadap benih ikan nila dapat disimpulkan bahwa konsentrasi deterjen dalam
perairan dapat mempengaruhi perilaku benih ikan nila yaitu perubahan pergerakan
ikan yang menajadi lebih aktif dan cenderung bergerak ke permukaan air. Nilai
LC50 yang didapat dari hasil analisis data pengamatan sebesar 87,659692 mg/L.
Tingkat toksisitas akut deterjen pada praktikum kali ini berdasarkan toksisitasnya
terhadap ikan dikategorikan ke dalam kelas dengan toksisitas yang sedang.
6.2 SARAN
Ketelitian dan ketelatenan praktikan perlu ditingkat guna meminimalisir
kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi pada saat praktikum berlangsung.



DAFTAR PUSTAKA

Ariens, E.J, dkk. Penerjemah : Wattimena, Y.R. 1985. Pengantar Toksikologi
Umum. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Dictionary of Scientific and Technical terms. 1984. Singapore : McGraw-Hill.
Duffus, John. H. & Howard G.K. Worth. 1996. Fundamental Toxicology for
Chemists. United Kingdom : The Royal Society of Chemistry Publisher.
Effendi, Hefni. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya Dan
Lingkungan Perairan. Yogyakarta : Kanisius.
EPA.2008. An Introduction to Freshwater Fishes as Biological Indicators. US :
Washington DC.
http://id.wikipedia.org/wiki/Deterjen, diakses 23 Maret 2014, 23:15
Khairuman, H & Khairul Amri. 2003. Budi Daya Ikan Nila Secara Intensif.
Jakarta : PT. AgroMedia Pustaka.
Khairuman, H & Khairul Amri. 2011. 2,5 Bulan Panen Ikan Nila. Jakarta : PT.
AgroMedia Pustaka.
Nugroho, Andhika P. 2004. Buku Ajar Ekotoksikologi. Yogyakarta : Universitas
Gadjah Mada.
Rand, G.M. & Petrocelli, S.R. 1985. Fundamentals of Aquatic Toxicity : Methods
and Application. Hempsphere Public Corporation.
Saparinto, Cahyo. 2009. Budi Daya Ikan Di Kolam Terpal. Semarang : Penebar
Swadaya.
Svobodova, Zdenka; et all. 1993. Water Quality And Fish Healt. Rome : Food and
Agriculture Organization of United Nations

FOTO DOKUMENTASI

Anda mungkin juga menyukai