Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Polusi atau pencemaran adalah keadaan dimana suatu lingkungan sudah tidak alami lagi
karena telah tercemar oleh polutan. Misalnya air sungai yang tidak tercemar airnya masih murni
dan alami, tidak ada zat-zat kimia yang berbahaya, sedangkan air sungai yang telah tercemar
oleh detergen misalnya, mengandung zat kimia yang berbahaya, baik bagi organisme yang hidup
di sungai tersebut maupun bagi makhluk hidup lain yang tinggal di sekitar sungai
tersebut. Polutan adalah zat atau substansi yang mencemari lingkungan. Lingkungan perairan
yang tercemar limbah deterjen kategori keras dalam konsentrasi tinggi akan mengancam dan
membahayakan kehidupan biota air dan manusia yang mengkonsumsi biota tersebut. Selain itu
banyak dari kita yang belum tahu bahaya atau dampak yang ditimbulkan dari bahan-bahan kimia
yang sering kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Selama hidupnya pula manusia akan membuang kotoran ataupun limbah ke lingkungan.
Limbah tersebut akan kembali ke udara, air ataupun tanah. Telah menjadi sifat manusia untuk
selalu meningkatkan taraf hidupnya. Maka dengan akal pikirannya lahir berbagai inovasi agar
dapat mempermudah kegiatan mereka. Perkembangan tersebut semakin meningkatkan limbah
yang dibuang oleh manusia, dan dengan sendirinya akan meningkatkan potensi terjadinya
penularan penyakit/wabah dan/ataupun keracunan. Salah satu hasil inovasi dari manusia adalah
pemutih dan pemakaian pakaian yang ditujukan agar mempermudah manusia dalam kegiatan
mencuci pada setiap rumah. Padahal limbah dari pemutih dan pewangi yang banyak dibuang ke
lingkungan perairan dapat menyebabkan keracunan terutama untuk organisme airnya.
Pada akhirnya buangan yang bertambah banyak dan seringkali tidak bersifat alamiah,
membuat lingkungan tidak mampu membersihkan akibat racun yang terdapat pada buangan
tersebut. Maka pengelolaan kualitas lingkungan sangat diperlukan agar semua kegiatan manusia
tidak kembali merugikan manusia.
Air limbah detergen maupun softener termasuk polutan atau zat yang mencemari
lingkungan karena didalamnya terdapat zat yang disebut ABS (alkyl benzene sulphonate) yang
merupakan deterjen tergolong keras. Deterjen dan softener tersebut sukar dirusak oleh
mikroorganisme (nonbiodegradable) sehingga dapat menimbulkan pencemaran lingkungan
(Anonimous, 2009).
Surfaktan sebagai komponen utama dalam deterjen dan softener memiliki rantai kimia
yang sulit didegradasi (diuraikan) alam. Pada mulanya surfaktan hanya digunakan sebagai bahan
utama pembuat deterjen. Namun karena terbukti ampuh membersihkan kotoran, maka banyak
digunakan sebagai bahan pencuci lain. Surfaktan merupakan suatu senyawa aktif penurun
tegangan permukaan yang dapat diproduksi melalui sintesis kimiawi maupun biokimiawi. Sifat
aktif permukaan yang dimiliki surfaktan diantaranya mampu menurunkan tegangan permukaan,
tegangan antarmuka dan meningkatkan kestabilan sistem emulsi. Hal ini membuat surfaktan
banyak digunakan dalam berbagai industri, seperti industri sabun, deterjen, produk kosmetika
dan produk perawatan diri, farmasi, pangan, cat dan pelapis, kertas, tekstil, pertambangan dan
industri perminyakan, dan lain sebagainya (Scheibel J, 2004).

Dengan makin luasnya pemakaian deterjen dan softener maka risiko bagi kesehatan
manusia maupun kesehatan lingkungan pun makin rentan. Limbah yang dihasilkan dari deterjen
dan softener dapat menimbulkan dampak yang merugikan bagi lingkungan yang selanjutnya
akan mengganggu atau mempengaruhi kehidupan masyarakat (Heryani dan Puji, 2008).
Kelompok Livebearer meliputi empat keluarga besar yaitu: Ikan Empat-mata
(Anablepidae), Halfbeaks (Hemirhamphidae), Meksiko Topminnows (Goodeidae), dan
Toothcarps Live-bearing (Poecilliidae). Ikan platy adalah jenis livebearing dan milik keluarga
Poecilliidae. Keluarga Ini merupakan keluarga terbesar dari empat keluarga yang berisi hampir
200 spesies. Ikan platy ini relatif kokoh, mudah untuk merawat (Anonim, 2011)
B. Rumusan masalah
Berdasarkan uraian diatas, rumusan masalahnya adalah:
1. Berapakah nilai LD50 dari toksisitas softener?
2. Bagaimana keadaan ikan yang mati?
3. Bagaimana pengaruh toksisitas softener dalam berbagai konsentrasi terhadap ikan Platy ?
C.
1.
2.
3.

Tujuan
Mengetahui nilai LD50.
Mengetahui keadaan ikan Platy yang mati.
Mengetahui pengaruh toksisitas softener dalam berbagai konsentrasi terhadap ikan Platy.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Softener merupakan bahan pelembut dan pewangi pakaian, biasa dipakai sebagai
pelengkap saat mencuci baju setelah memakai detergen lebih dulu. Wujudnya berupa cairan
kental. Saat ini di masyarakat telah marak produk pelembut dan pewangi sekali bilas. Produk ini
dapat menghilangkan busa deterjen dari pakaian dengan sekali bilas sehingga, dapat menghemat
pemakaian air. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Felicia (2011) sebanyak 73 persen
responden mendukung dan ikut berpartisipasi dalam Gerakan Sekali Bilas yang dihimbau dalam
tayangan iklan salah satu produk pelembut dan pewangi pakaian sekali bilas yang bertujuan
untuk penghematan air Negara.
Bahan aktif yang terdapat dalam produk pelembut dan pewangi pakaian sekali bilas
adalah kuartener ammonium klorida yang termasuk ke dalam golongan surfaktan kationik,
sedangkan bahan aktif yang umum digunakan dalam deterjen di indonesia adalah linear
alkilbenzene sulfonat (LAS) yang termasuk ke dalam golongan surfaktan anionik. Surfaktan
kationik memiliki toksisitas lebih tinggi dari pada surfaktan anionik (singh et al., 2002).
Penelitian Wester dan Roghair (2002) dalam Hanifah menunjukan bahwa zat ditallow dimetil
ammonium klorida (salah satu jenis kwartener ammonium klorida) memiliki potensi teratogenik
terhadap ikan. Teratogenik adalah perubahan formasi dari sel, jaringan, dan organ yang
dihasilkan dari perubahan fisiologi dan biokimia. Amonium klorida pada tingkat toksik juga
dapat menyebabkan peningkatan pH pada darah, gangguan osmoregulasi, dan kesulitan
bernafas.
Hewan berinteraksi dengan lingkungannya agar dapat terus bertahan hidup. Mereka
melakukan adaptasi dengan berbagai cara yang ditunjukkan melalui reaksi-reaksi dalam
berinteraksi antara lain berupa perbubahan organ, sifat, atau perilaku. Reaksi tersebut tidak akan
berubah atau akan berubah secara normal apabila lingkungan sekitarnya juga dalam kondisi
normal atau masih dalam kisaran yang dapat diterima oleh suatu spesies. Sebaliknya, reaksi pada
spesies itu akan berubah secara tidak normal atau bahkan menyebabkan kematian apabila
perubahan yang terjadi pada lingkungan telah melebihi batas kemampuan (Riefani dalam Lestari,
2011). Perubahan lingkungan yang dimaksud adalah keadaan dimana lingkungan tempat hewan
tersebut hidup mengalami seperti pencemaran.
Pencemaran lingkungan ada beberapa macam, namun yang berkaitan dengan praktikum
kali ini adalah pnecemaran air. Pencemaran air menurut PP no 82 Tahun 2001 adalah masuknya
atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh
kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air
tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Sedangkan pengendalian pencemaran air
adalah upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran air serta pemulihan kualitas air untuk
menjamin kualitas air agar sesuai dengan baku mutu air. Pengendalian pencemaran air banyak
dilakukan untuk mengurangi masuknya bahan pencemar hingga ke perairan sungai.
Pengendalian pencemaran dapat dilakukan sesuai dengan jenis bahan pencemar yang
ada.Adanya banyak pencemar dalam suatu perairan dapat dilihat dari beberapa kategori indikator

seperti fisik, kimia dan biologis. Indikator fisik diantaranya adalah adanya warna, tumpukan
material, bahan terlarut dan sebagainya.Indikator kimia diantaranya adalah adanya bau serta
kandungan bahan-bahan berbahaya yang dapat diketahui melalui uji laboratorium. Indikator
biologis meliputi biota yang hidup dalam perairan tersebut (Anonim, 2009).
Bioindikator adalah suatu populasi tumbuhan, hewan, atau mikroorganisme (yaitu
organisme yang sangat kecil) yang dapat memberikan perubahan karena pengaruh kondisi
lingkungan. Beberapa kriteria umum untuk menggunakan suatu jenis organisme sebagai
bioindikator (Pearson, 1994) antara lain:

Secara taksonomi telah dikenal luas, dapat diidentifikasikan dengan jelas, dan bersifat stabil.

Sejarah alamiahnya diketahui.


Populasinya dapat disurvei, ditemukan, diamati, dan ditandai atau diberi perlakuan dengan
mudah.
Taksa yang lebih tinggi terdistribusi secara luas pada berbagai tipe habitat.
Taksa yang lebih rendah spesialis dan sensitif terhadap perubahan habitat.
Pola keanekaragaman mengambarkan atau terkait dengan taksa lainnya yang berkerabat atau
tidak.
Memiliki potensi ekonomi yang penting.
Sedang toksisitas racun tergantung pada :
Spesies uji
Cara racun tubuh
Frekuensi dan lamanya paparan
Konsentrasi dan zat pemapar
Bentuk, sifat kimia/fisika
Kerentanan berbagai jenis spesies terhadap pencemar
Ikan sebagai salah satu komponen penting penghuni perairan dapat digunakan sebagai
indikator pencemaran air. Adanya bahan pencemar dapat mempengaruhi kehidupan ikan yang
dapat dilihat dari bentuk tubuh, adanya berbagai kelaian dalam tubuh ikan hingga kematian ikan
(tidak terdapat ikan pada perairan yang tercemar berat). Berdasarkan kandungan bahan pencemar
perairan, kematian ikan tidak hanya disebabkan oleh faktor tunggal tetapi dapat diakibatkan oleh
beberapa faktor sekaligus. Kombinasi faktor pencemar yang meracuni ikan dapat dikategorikan
dalam :
Fenomena sinergis, merupakan kombinasi dari dua zat atau lebih yang bersifat memperkuat daya
racun. Adanya satu bahan pencemar tidak terlalu mematikan terhadap ikan, ketika muncul bahan
pencemar lain maka gabungan kedua zat tersebut mempunyai toksisitas yang berlipat sehingga
mengakibatkan kematian ikan.
Fenomena antagonis, merupakan kombinasi antara dua zat atau lebih yang saling menetralisir,
sehingga zat-zat yang tadinya beracun berhasil dikurangi dinetralisir daya racunya sehingga tidak
membahayakan.
Ikan dapat digunakan sebagai bioindikator karena mempunyai kemampuan merespon
adanya bahan pencemar. Ikan dapat menunjukkan reaksi terhadap perubahan fisik air maupun

terhadap adanya senyawa pencemar yang terlarut dalam batas konsentrasi tertentu. Reaksi yang
dimaksud antara lain adanya perubahan aktivitas pernafasan, aktivitas dan gerakan renang, warna
tubuh ikan dan sebagainya. Kemampuan ikan merespon bahan pencemar sering digunakan dalam
pengujian penanganan limbah industri. Limbah industri pada umumnya melewati beberapa
tahapan pengolahan seperti penyaringan secara mekanis (secara fisik), pengendapan dan
penjernihan dengan bahan kimia (secara kimia) serta penghilangan senyawa berbahaya dengan
bakteri pengurai limbah (secara biologis) setelah melewati ketiga tahapan tersebut air limbah
yang sudah diolah dilewatkan dalam kolam kecil berisi ikan. Apabila masih terdapat bahan
pencemar maka ikan akan bereaksi mulai dari gerakan renang, percepatan gerakan operculum
hingga kematian pada air yang masih beracun (Anonim, 2009).
Ikan Platy merupakan ikan air tawar yang memiliki daya tahan tubuh yang cukup kuat
terhadap perubahan lingkungan akibat pencemaran oleh bahan-bahan yang bersifat toksik. Tubuh
ikan ini kecil, hanya seukuran jari kelingking orang dewasa dengan panjang sekitar 2 cm.
Memilki warna yang mencolok, kombinasi merah dan kuning ataupun oranye dan hitam.

Gb. 1 Ikan Platy

Ikan Platy adalah jenis livebearing dan milik keluarga Poecilliidae. Ikan ini berasal dari
Amerika, tapi ikan liar Poecilliidae hari ini ditemukan di perairan tropis dan subtropis di banyak
bagian dunia. Ikan Platy relatif kokoh, bahkan dapatbertahan hidup dengan tanpa makanan
(Anonim, 2011). Oleh karena itu, ikan ini cocok sebagai bioindikator toksisitas pencemaran air.

DAFTAR PUSTAKA
Heryani, A., Puji, H. 2008. Pengolahan Limbah Deterjen Sintetik dengan Trickling Filter. Diakses
melalui http://eprints.undip.ac.id pada tanggal 28 Maret 2012.
Scheibel, J. 2004. Jurnal of surfactan and detergent. The Evolution of Anionic Surfactan Technology
to Meet The Requirement of The Laundry Detergent Industry.
Rahman, A.Z., Sandriansyah, D., Meiria, dkk. 2010. Laporan. Toksisitas pemutih dan pewangi
terhadap perilaku fauna air dan lingkungan.
Haifah, N.H.
. Artikel. Ataoksikologo Hasil Reaksi Kuartener Amonium Klorida dan Linear
Lakilbenzen
Sulfonat
(LAS)
Terhadap
Organisme
Akuatik.
Diakses
melalui http://google.com/toksikologisoftener.htmpada tanggal 27 Maret 2012.
Lestari,
N.C.
2011. Perilaku
Hewan
sebagai
Bioindikator
Lingkungan.
Diakses
melalui http://google.com/bioindikator.htm pada tanggal 27 Maret 2012.
Pratiwi,
N.F.
2011. Cara
Kerja
Molto
Ultra
Sekali
Bilas.
Diakses
melaluihttp://google.com/softener.htm pada tanggal 27 Maret 2012.
Anonim.
2009. Pengolahan
Limbah
Deterjen
dengan
Biofilter.
Diakses
melalui http://greenradio.fm.hml pada tanggal 28 Maret 2012.
Anonim.
2009. Ikan
Sebagai
Indikator
Pencemaran
Air.
Dikases
melaluihttp://WordPress.com/akademiperikananyogyakarta.html pada tanggal 27 Maret 2012.
Anonim. 2011. Ikan Platy. Diakses melaluihttp://google.com/zona_ik@n.htm pada tanggal 27 Maret
2012.

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian eksperimental dimana dalam penelitian ini terdapat
variabel manipulasi, variabel respon, dan variabel kontrol.
B. Variabel penelitian
Variabel dalam penelitian ini antara lain, yaitu:
a. Variabel manipulasi: konsentrasi softener
b. Variabel respon: jumlah ikan platy yang mati
c. Variabel kontrol: volume air, ukuran akuarium, jumlah ikan platy yang dimasukkan kedalam
akuarium, umur ikan platy, lamanya uji.
C. Alat dan bahan
Alat:
Akuarium besar
Akuarium kecil
Neraca digital
Aerator
Serok
Bahan:
Ikan Platy
Air suling
Softener

1 buah
4 buah
1 buah
1 buah
1 buah

D. Langkah kerja
1. Menyiapkan air bersih dalam akuarium besar untuk tempat penampungan ikan Platy.
Membiarkan air selama sehari semalam.
2. Menyiapkan ikan Platy 150 ekor. Memasukkan ikan Platy tersebut kedalam akuarium besar.
Mengaklimatisasi ikan selama 1 minggu.
3. Setelah 1 minggu, menyiapkan 4 akuarium kecil dengan mengisi akuarium tersebut masingmasing 3 liter air suling tiap akuarium.
4. Melakukan uji orientasi, yaitu menentukan ppm dari softener dengan harapan dapat menemukan
LD100. Dalam praktikum ini 0 ppm, 100 ppm, 200 ppm, dan 300 ppm. 0 ppm sebagai kontrol.
5. Menimbang softener dengan neraca digital untuk tiap-tiap ppm
6. Memasukkan softener yang telah ditimbang sesuai ppm kedalam masing-masing akuarium.
7. Mengaduk-aduk akuarium agar softener larut.
8. Memasukkan masing-masing 10 ekor ikan Platy kedalam masing-masing akuarium.
9. Mencatat waktu memasukkan ikan. Menunggu hingga 24 jam.
10. Setelah 24 jam, menghitung jumlah ikan yang mati ditiap-tiap konsentrasi softener.

11. Selanjutnya, melakukan uji pendahuluan, yaitu menentukan ppm dari softener dengan harapan
dapat menemukan LC50. Dalam praktikum ini 0 ppm, 150 ppm, 175 ppm, dan 225ppm. 0 ppm
sebagai kontrol.
12. Menimbang softener dengan neraca digital untuk tiap-tiap ppm
13. Memasukkan softener yang telah ditimbang sesuai ppm kedalam masing-masing akuarium.
14. Mengaduk-aduk akuarium agar softener larut.
15. Memasukkan masing-masing 10 ekor ikan Platy kedalam masing-masing akuarium.
16. Mencatat waktu memasukkan ikan. Menunggu hingga 24 jam.
17. Setelah 24 jam, menghitung jumlah ikan yang mati ditiap-tiap konsentrasi softener.
18. Setelah mendapatkan data, menghitung LC50 dengan menggunakan analisis probit atau TSK
19. Menyiapkan air suling masing-masing 3 liter untuk tiap akuarium kecil.
20. Memasukkan softener dengan konsentrasi 90 ppm, 180 ppm,270 ppm kedalam tiap-tiap
akuarium.
21. Memasukkan 10 ekor ekor ikan kedalam tiap akuarium kecil. Menunggu 24 jam.
22. Setelah menunggu 24 jam, menghitung jumlah ikan yang matidan mendata nya.
23. Mengolah data.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Tabel 1. Hasil Pengamatan Pengaruh Berbagai Macam Konsentrasi Softener terhadap Ikan Platy
Konsentrasi
Presentase
Jumlah ikan per 24 jam
Uji
Perlakuan
ikan mati
Awal
Mati
Sisa
(ppm)
(%)
0 (kontrol)
10
0
0
0
100
10
3
7
30
Orientasi
200
10
2
8
20
300
10
10
0
100
0 (kontrol)
10
0
0
0
150
10
0
10
0
Pendahuluan
175
10
7
3
70
225
10
10
0
100
0 (kontrol)
10
0
0
0
90
10
0
10
0
Eksperimen
180
10
3
7
30
270
10
10
0
100
Analisis
Pada uji orientasi, konsentrasi softener yang digunakan yaitu 100 ppm, 200 ppm dan 300 ppm
yang masing-masing menyebabkan kematian pada ikan platy sebesar 30%, 20% dan 100% pada
pengamatan 24 jam setelah perlakuan. Pada uji pendahuluan, konsentrasi softener yang
digunakan yaitu 150 ppm, 175 ppm dan 225 ppm yang masing-masing menyebabkan kematian
pada ikan platy sebesar 0%, 70% dan 100% pada pengamatan 24 jam setelah perlakuan. Dari uji
pendahuluan ini dapat dihitung nilai LD50 yaitu sebesar 183 ppm. Jadi pada uji eksperimen,
konsentrasi softener yang digunakan yaitu 90 ppm (0,5 x LD50), 180 ppm (1 x LD50)dan 270 ppm
(1,5 x LD50) yang masing-masing menyebabkan kematian pada ikan platy sebesar 0%, 30% dan
100%.
B. Pembahasan
Berdasarkan uji pendahuluan, didapatkan nilai LD50 sebesar 183 ppm, hal ini menjadi
standart kadar softener di perairn, artinya keadaan ambang batas softener di perairan adalah
sebesar 183 mg per liter air. Pada uji eksperimen, dilakukan perlakuan 90 ppm (0,5 x LD 50), 180
ppm (1 x LD50)dan 270 ppm (1,5 x LD50) yang masing-masing menyebabkan kematian pada ikan
platy sebesar 0%, 30% dan 100%. Pada perlakuan 1 x LD50 dilakukan pemberian softener
sebanyak 180 ppm, tetapi konsentrasi ini tidak menimbulkan 50% kematian hewan uji, tetapi
hanya sbesar 30%. Hal ini terjadi karena konsentrasi yang digunakan sebagai perlakuan kurang
dari LD50.

Ciri-ciri ikan yang mati pada setiap perlakuan yaitu sisiknya mengelupas dan mata buram.
Ini adalah akibat dari toksikan surfaktan anionik yaitu Linier Alkyl Benzene Sulfonate/LAS.
Bahan aktif ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan air sehingga dapat melepaskan
kotoran yang menempel pada permukaan bahan. Sehingga, pada saat ikan mati,sisik ikan akan
mengelupas.

BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Softener memiliki efek toksik pada ikan Platy. Semakin tinggi konsentrasi softener,
semakin tinggi tingkat kematian ikan. Konsentrasi softener yang menyebabkan ikan platy lethal
50% dari jumlah hewan uji yaitu sebesar 183 ppm. Ikan platy yang mati akibat perlakuan pada
percobaan ini sisiknya akan mengelupas. Hal ini terjadi karena adanya aktivits dari bahan aktif
softener yaitu Linier Alkyl Benzene Sulfonate/LAS.
B. Saran
Untuk penelitian selanjutnya, perlu dilakukan uji toksisitas softener sekali bilas yang
sedang marak beredar di masyarakat. Sehingga dapat dibandingkan antara toksisitas dan
efektivitas penggunaan softener dan softener sekali bilas.

Anda mungkin juga menyukai