Anda di halaman 1dari 14

RPS TEKNOLOGI SURFAKTAN

ISI MATA KULIAH

BAB I Pendahuluan
Surfaktan (surface active agent) atau zat aktif permukaan,adalah senyawa
kimia yang terdapat pada konsentrasi rendah dalam suatu system, mempunyai sifat
teradsorpsi pada permukaan antarmuka pada system tersebut. Energi bebas
permukaan-antarmuka adalah kerja minimum yang diperlukan untuk merubah luas
permukaan-antarmuka.

BAB
. II Jenis-Jenis Surfaktan
1. Surfaktan anionik
yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu anion. Contohnya adalah
garam alkana sulfonat, garam olefin sulfonat, garam sulfonat asam lemak rantai
panjang.
2. Surfaktan kationik
yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu kation. Contohnya garam
alkil trimethil ammonium, garam dialkil-dimethil ammonium dan garam alkil
dimethil benzil ammonium.
3. Surfaktan nonionik
yaitu surfaktan yang bagian alkilnya tidak bermuatan. Contohnya ester gliserin
asam lemak, ester sorbitan asam lemak, ester sukrosa asam lemak, polietilena alkil
amina, glukamina, alkil poliglukosida, mono alkanol amina, dialkanol amina dan
alkil amina oksida.
4. Surfaktan amfoter
yaitu surfaktan yang bagian alkilnya mempunyai muatan positif dan negatif.
Contohnya surfaktan yang mengandung asam amino, betain, fosfobetain.
5) Surfaktan Alkanolamida
Amida adalah turunan asam karboksilat yang paling tidak reaktif, karena itu
golongan senyawa ini banyak terdapat di alam. Amida yang terpenting adalah
protein.
Amida dapat bereaksi dengan asam dan reaksi ini tidak membentuk garam karena
amida merupakan basa yang sangat lemah. Selain itu senyawa amida merupakan
nukleofilik yang lemah dan bereaksi sangat lambat dengan alkil halida. Amida
asam
lemak pada industri oleokimia dapat dibuat dengan mereaksikan amina dengan
trigliserida, asam lemak atau metil ester asam lemak. Senyawa amina yang
digunakan
dalam reaksi amidasi sangat bervariasi seperti etanolamina dan dietanolamina,
yang
dibuat dengan mereaksikan amonia dengan etilen oksida. Alkanolamina seperti
etanolamina, jika direaksikan dengan asam lemak akan membentuk suatu
alkanolamida dan melepaskan air. Alkanolamida merupakan kelompok surfaktan
nonionik yang berkembang dengan pesat.
Surfaktan dapat digolongkan menjadi dua golongan besar, yaitu surfaktan
yang larut dalam minyak dan surfaktan yang larut dalam air.
1. Surfaktan yang larut dalam minyak
Ada tiga yang termasuk dalam golongan ini, yaitu senyawa polar berantai
panjang, senyawa fluorokarbon, dan senyawa silikon.
2. Surfaktan yang larut dalam pelarut air
Golongan ini banyak digunakan antara lain sebagai zat pembasah, zat pembusa,
zat pengemulsi, zat anti busa, detergen, zat flotasi, pencegah korosi, dan lain-lain.
Ada empat yang termasuk dalam golongan ini, yaitu surfaktan anion yang
bermuatan negatif, surfaktan yang bermuatan positif, surfaktan nonion yang tak
terionisasi dalam larutan, dan surfaktan amfoter yang bermuatan negatif dan positif
bergantung pada pH-nya.
Surfaktan menurunkan tegangan permukaan air dengan mematahkan ikatan-
ikatan hidrogen pada permukaan. Hal ini dilakukan dengan menaruh kepala-
kepala hidrofiliknya pada permukaan air dengan ekor-ekor hidrofobiknya
terentang menjauhi permukaan air. Sabun dapat membentuk misel (micelles),
suatu molekul sabun mengandung suatu rantai hidrokarbon panjang plus ujung
ion. Bagian hidrokarbon dari molekul sabun bersifat hidrofobik dan larut dalam
zat-zat non polar, sedangkan ujung ion bersifat hidrofilik dan larut dalam air.
Karena adanya rantai hidrokarbon, sebuah molekul sabun secara keseluruhan
tidaklah benar-benar larut dalam air, tetapi dengan mudah akan tersuspensi di
dalam air
StrukStruktur
BAB III Pembentuk dan Pembuatan Surfaktan
Surfaktan (surfactant = surfactive active agent) adalah zat seperti detergent
yang ditambahkan pada cairan utuk meningkatkan sifat penyebaran atau
pembasahan dengan menurunkan tegangan permukaan caira khususnya air.
Sufaktan mempunyai struktur molekul yang terdiri dari gugus hydrophobic dan
hydrophilic. Gugus hydrophobic merupakan gugus yang sedikit tertarik/menolak
air sedangkan gugus hydrophilic tertarik kuat pada molekul air. Sturktur ini disebut
juga dengan struktur amphipatic. Adanya dua gugus ini menyebabkan penurunan
tegangan muka dipermukaan cairan. Gugus hidrofilik pada surfaktan bersifat polar
dan mudah bersenyawa dengan air, sedangkan gugus lipofilik bersifat non polar
dan mudah bersenyawa dengan minyak. Di dalam molekul surfaktan, salah satu
gugus harus lebih dominan jumlahnya. Bila gugus polarnya yang lebih dominan,
maka molekul-molekul surfaktan tersebut akan diabsorpsi lebih kuat oleh air
dibandingkan dengan minyak. Akibatnya tegangan permukaan air menjadi lebih
rendah sehingga mudah menyebar dan menjadi fase kontinu. Demikian pula
sebaliknya, bila gugus non polarnya lebih dominan, maka molekul molekul
surfaktan tersebut akan diabsorpsi lebih kuat oleh minyak dibandingkan dengan
air. Akibatnya tegangan permukaan minyak menjadi lebih rendah sehingga mudah
menyebar dan menjadi fase kontinu.
Penambahan surfaktan dalam larutan akan menyebabkan turunnya tegangan
permukaan larutan. Setelah mencapai konsentrasi tertentu, tegangan permukaan
akan konstan walaupun konsentrasi surfaktan ditingkatkan. Bila surfaktan
ditambahkan melebihi konsentrasi ini maka surfaktan mengagregasi membentuk
misel. Konsentrasi terbentuknya misel ini disebut Critical Micelle
Concentration (CMC). Tegangan permukaan akan menurun hingga CMC tercapai.
Setelah CMC tercapai, tegangan permukaan akan konstan yang menunjukkan
bahwa antar muka menjadi jenuh dan terbentuk misel yang berada dalam
keseimbangan dinamis dengan monomernya (Genaro, 1990).

V. IV
BAB Cara Kerja Surfaktan dalam Menurunkan Tegangan Muka Cairan
Cara kerja dari surfaktan sangatlah unik karena bagian yang hidrofilik akan
masuk kedalamlarutan yang polar dan bagian yang hirdrofilik akan masuk kedalam
bagian yang non polar sehinggasurfaktan dapat menggabungkan (walaupun
sebenarnya tidak bergabung) kedua senyawa yangseharusnya tidak dapat
bergabung tersebut. Namun semua tergantung pada komposisi darikomposisi dari
surfaktan tersebut. Jika bagian hidrofilik lebih dominan dari hidrofobik maka ia
akan melarut kedalam air, sedangkan jika ia lebih banyak bagian hidrofobiknya
maka ia akan melarutdalam lemak dan keduanya tidak dapat berfungsi sebagai
surfaktan.Bagian liofilik molekul surfaktan adalah bagian nonpolar, biasanya
terdiri dari persenyawaanhidrokarbon aromatik atau kombinasinya, baik jenuh
maupun tidak jenuh. Bagian hidrofilik merupakan bagian polar dari molekul,
seperti gugusan sulfonat, karboksilat, ammonium kuartener,hidroksil, amina
bebas, eter, ester, amida.Biasanya, perbandingan bagian hidrofilik dan liofilik
dapat diberi angka yang disebutkeseimbangan Hidrofilik dan Liofilik yang
disingkat KHL, dari surfaktan.

V. Sifat Larutan Yang Mengandung Surfaktan


Larutan surfaktan dalam air menunjukkan perubahan sifat fisik yang mendadak
pada daerah konsentrasi yang tertentu. Perubahan yang mendadak ini disebabkan
oleh pembentukan agregat atau penggumpalan dari beberapa molekul surfaktan
menjadi satu, yaitu pada konsentrasi kritik misel (CMC) .
Pada konsentrasi kritik misel terjadi penggumpalan atau agregasi dari molekul-
molekul surfaktan membentuk misel. Misel biasanya terdiri dari 50 sampai 100
molekul asam lemak dari sabun Sifat-sifat koloid dari larutan elektrolit sodium
dedosil sulfat dapat dilihat pada gambar 2.4, dibawah ini:
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi nilai cmc, untuk deret homolog surfaktan
rantai hidrokarbon, nilai cmc bertambah 2x dengan berkurangnya satu atom C
dalam rantai. Gugus aromatik dalam rantai hidrokarbon akan memperbesar nilai
cmc dan juga memperbesar kelarutan. Adanya garam menurunkan nilai cmc
surfaktan ion. Penurunan cmc hanya bergantung pada konsentrasi ion lawan, yaitu
makin besar konsentrasinya makin turun cmc-nya.Secara umum misel dibedakan
menjadi dua, yaitu: struktur lamelar dan sterik seperti telihat pada gambar dibawah
ini:
Struktur misel, (a) sterik (b) lamelar

BAB V Sifat Larutan Yang Mengandung Surfaktan


Larutan surfaktan dalam air menunjukkan perubahan sifat fisik yang mendadak
pada daerah konsentrasi yang tertentu. Perubahan yang mendadak ini disebabkan
oleh pembentukan agregat atau penggumpalan dari beberapa molekul surfaktan
menjadi satu, yaitu pada konsentrasi kritik misel (CMC) .
Pada konsentrasi kritik misel terjadi penggumpalan atau agregasi dari molekul-
molekul surfaktan membentuk misel. Misel biasanya terdiri dari 50 sampai 100
molekul asam lemak dari sabun Sifat-sifat koloid dari larutan elektrolit sodium
dedosil sulfat dapat dilihat pada gambar 2.4, dibawah ini:
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi nilai cmc, untuk deret homolog surfaktan
rantai hidrokarbon, nilai cmc bertambah 2x dengan berkurangnya satu atom C
dalam rantai. Gugus aromatik dalam rantai hidrokarbon akan memperbesar nilai
cmc dan juga memperbesar kelarutan. Adanya garam menurunkan nilai cmc
surfaktan ion. Penurunan cmc hanya bergantung pada konsentrasi ion lawan, yaitu
makin besar konsentrasinya makin turun cmc-nya.Secara umum misel dibedakan
menjadi dua, yaitu: struktur lamelar dan sterik seperti telihat pada gambar dibawah
ini:
VI.
Struktur misel, (a) sterik (b) lamelar

BAB VI Surfaktan dalam Kehidupan


1. PENGGUNAAN SURFAKTAN DALAM KOSMETIKA
1.Pembasah
Umumnya, penggunaan surfaktan sebagai pembasah untuk
memudahkanpencampuran padatan dengan cairan pada pembuatan sediaan
kosmetika. Padatan yangsusah dibasahi dengan cairan akan sukar terdispersi
dengan baik dalam cairan, denganpenambahan surfaktan yang cocok maka padatan
tersebut akan lebih mudah didispersikandan terdispersi dengan baik. Sebagai
pembasah, biasanya tidak melebihi kadar misel kritisdari surfaktan tersebut. Surfaktan
jarang digunakan untuk maksud memudahkan pembasahan sediaankosmetika pada
tempat penggunaan, misalnya sabun atau kreim cukur, pewarna rambutatau
pengikal dingin. Untuk menguji efek pembasahan surfaktan, cara yang paling
umumdilakukan dengan melakukan 5 gram gulungan benang kapas pada larutan
surfaktan yangdiuji, catat beberapa lama benang tersebut tenggelam dalam larutan,
makin cepattenggelam makin baik efek pembasah surfaktn tersebut.

2. Pembentuk Busa
Jika larutan surfaktan dikocok, akan menghasilkan busa. Pembentukan busa
padapenggunaan zat pembersih, sesungguhnya tidak begitu penting karena hanya
sedikitpengaruhnya pada proses pembersihan. Biasanya sabun tidak berbusa
sehingga tidakmemuaskan, sehingga produsen kosmetik memasukkan zat
pembentuk busa untukkosmetika pembersih. Ada sediaan kosmetika yang
menggunakan zat ini untuk tujuan lainseperti pembentuk busa halus pada sabun
pencukur untuk membuat jenggot berdirisehingga mudah dicukur. Cara yang
paling umum untuk menguji efek pembentukan busa surfaktan adalah dengan cara
masukkan 50 ml larutan surfaktan yang diuji ke dalam bejanagelas setinggi 100
cm, diameter dalam 5 cm. Tegakkan pipet 200ml dengan lubangpenetesan
berdiameter 2,9 mm sedimikian rupa sehingga ujung paling bawah tepat 90 cm
diatas permukaan cairan dalam bejana gelas. Isi pipet dengan larutan ynag di uji,
biarkanlarutan ini turun bebas dan jatuh dalam bejana gelas.ukur segera tinggi busa
yang terjadi,setelah 5 menit ukur lagi untuk mengetahui kemantapan busa. Suhu
selama pengujian harus sama.

1. Pelarutan
Kadang-kadang, dalam sediaan kosmetika yang berbentuk larutan air,
diperlukan zatpendispersi yang tidak larut dalam air, tetapi tidak menimbulkan
kabutan, misalnyapemberian parfum pada sediaan ikal dingin, atau sediaan yang
mengandung alkohol kadarrendah, misalnya lotio wajah dan lotio cukur. Pada
minyak mandi larut-air, penambahanparfum pada zat manfaat utama memerlukan
surfaktan larut. Sebenarnya, efek larut tidakmempengaruhi tegangan permukaan,
tetapi berfungsi pada formasi misel. Untukmendispersikan minyak kedalam air
dapat ditambahkan surfaktan misel sperik atau linear.Dahulu untuk maksud
tersebut banyak digunakan minyak jarak tersulfonkan, tetapi sekarangsudah
banyak digunakan surfaktan non-ion, misalnya polioksietilen sorbitan
monolauret.Jumlah surfaktan yang diperlukan untuk melarutkan minyak
tergantung dari sifat minyak.Efek larut juga penting pada aktifitas pembersih
larutan surfaktan kental, jikasurfaktan ini dilarutkan dalam air dapat melarutkan
sebagian lemak atau minyak.

4.Pengemulsi
Untuk memilih surfaktan yang tepat sebagai emulgator sehingga diperoleh
emulsistabil, maka KHL surfaktan dapat dihitung dari suatu formula.Faktor lain
yang mempengaruhi stabilitas emulsi adalah ada atau tidak adanyakepolaran dalam
zat yang di emulsikan.
Nilai KHL yang diperlukan, tergantung dari tipe emulsi yang dikendaki. Karena
nilaiKHL saling mempengaruhi satu dengan yang lain, maka untuk memilih lebih
dari satuemulgator yang tepat untuk emulsi, dapat dilakukan dengan memilih satu
emulgator yangnilai KHLnya lebih rendah dan satu emulgator yang nilai KHLnya
lebih tinggi dari nilai KHLyang dihitung.

5. Dispersi
Dispersi adalah system dimana partikel padatan kecil berada dalam cairan
suspensi.Sistem ini mirip emulsi, bedanya fase dispersinya adalah padatan. Dalam
kosmetika, dispersitidak begitu penting, biasanya terdapat dalam tat arias, cairan
dan krim, serbuk padatanterdispersi cairan pembawa. Dalam lipstik, zat warna
yang tidak larut dapat terdispersidalam lemak. Zat pendispersi sering kali
ditambahkan kedalam sabun sampo untukmencegah sabun calcium, yang terdapat
dalam air bilasan atau air cucian sadah kuat, padarambut.

BAB YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM MEMILIH SURFAKTAN UNTUK


VII KOSMETIKA
1.Surfaktan harus stabil efektivitasnya selama dalam penyimpanan maupun
selama digunakan. Pengaruh pH dan kadar asam tidak boleh
menghambatefektivitasnya, dan tidak boleh bereaksi dengan zat manfaat.

2.Kadar surfaktan yang digunakan tidak boleh mengiritasi, melukai atau


sensitisasipada kulit; misalnya sediaan yang kontak dengan mata, seperti
sampo, atauyang diabsorpsi oral, seperti lipstik, pasta gigi.
3.Surfaktan harus tidak mempunyai efek samping yang tidak diinginkan,
misalnyadalam aerosol tidak boleh merusak logam, dalam disifektan tidak
bolehmenghambat efektivitasnya.

4.Surfaktan tidak boleh mempengaruhi bau dan warna sediaan.

2. Perbedaan antara surfaktan anionik dan kationik, dan penerapannya pada detergen.

Surfaktan adaalah zat yang memiliki gugus hidrofilik dan gugus hidrofobik.

1. Berdasarkan namanya, surfaktan yang berdisosiasi dalam air dan melepaskan


kation dan anion (atau zwitterions) diistilahkan sebagai surfaktan ionik (kationik,
anionik, zwitterionik). Di sisi yang lain, surfaktan yang tidak berdisosiasi disebut
surfaktan nonionik.
2. Surfaktan anionic memiliki gugus hidrofilik anionik. Contoh surfaktan anionic
biasa disebut “sabun” (sabun asam lemak), garam asam alkilsulfonat (komponen
utama deterjen sintetis, seperti alkil benzene sulfonat (LAS) )lemak alcohol sulfat
(komponen utama shampoo atau deterjen netral) dan lain-lain.
3. Karena sabun asam lemak adalah garam dari asam lemak dan logam basa (garam
asam lemah dan basa kuat), maka sabun ini terhidrolisis dalam air dan larutannya
menjadi sedikit basa. Namun, larutan dari surfaktan anionik lainnya adalah netral.
Larutan deterjen sintetis diatur agar sedikit basa, tapi bukan disebabkan oleh
deterjen itu sendiri (deterjennya netral) melainkan karena efek dari zat tambahan
(natrium karbonat dan lain-lain). Ini merupakan perbedaan utama antara sabun dan
deterjen sintetis.
4. Telah diketahui sejak awal bahwa kotoran data dicuci oleh basa, seperti larutan
alkali dan soda pencuci. Deterjen di pasaran (baik sabun bubuk dan deterjen
sintetis) akan memiliki efek yang sama, karena larutan dalam air yang dihasilkan
adalah basa. Diduga bahwa serat (pakaian) menjadi lembut karena basa, sehingga
melepaskan kotoran. Jadi tidak efektif untuk mencuci serat hewani tahan basa,
seperti sutra dan bol dengan alkali. Diduga bahwa alkali membersihkan kotoran
berminyak dengan reaksi saponifikasi (pembentukan sabun yang mudah larut),
yang merupakan prinsip yang sama dengan pembuatan sabun. Tetapi, sangat
diragukan apakah reaksi ini benar-benar terjadi selama pencucian di rumah.
5. Serat hewani, seperti sutra dan wol, disebut serat amfoter, yang artinya bahwa serat
data menjadi kationik dan anionik, tergantung ada sifat larutan pencucinya. Bila
detergen basa (baik sabun bubuk atauun deterjen sintetis) digunakan untuk
mencuci serat macam ini, surfaktan anionik akan menyerap gugus kationik (gugus
amino) pada serat. Sangat mungkin untuk mencuci serat tahan basa dengan
menjaga pH tetap netral. Namun, kitatidak dapat melakukan apapu tentang
masalah penyerapan surfaktan ionic pada serat. Ini merupakan kelebihan surfaktan
nonionik. Ada deterjen yang dapat mencuci pakaian dengan tanda “dry cleaning”
(pencucian kering), dengan gambar merekomendasikan bahwa pencucian kering
bisa dilakukan untuk produk sutra dan wol) dengan air di rumah. Sebagaimana
telah Anda sadari, komponen utama dari deterjen ini adalah surfaktan nonionik.
Karena gaya elektrostatik tidak bekerja ada surfaktan non ionic, jumlah deterjen
yang tersisa setelah pencucian adalah sedikit untuk kain lain seperti untuk
pencucian sutra dan wol.
6. Ada kemungkinan bahwa surfaktan anionik dengan ion kationik, sebagai contoh,
ion kalsium dalam air sadah. Khususnya dalam hal sabun bubuk, asam lemak
bergabung dengan ion kalsium dan membentuk kekam, yang tidak larut dalam air
dan mengenda, mengurangi efek pencucian. Surfaktan anionik lainnya juga
bergabung dengan kalsium, tapi jumlahnya sangat sedikit. Lagian, tidak ada
pengendapan yang terjadi jika surfaktan non ionik digunakan. Jadi titik ini juga
merupakan kelebihan surfaktan non ionik.
7. “Two in One (Conditioner dan Shampoo)”popular beberapa waktu yang lalu. Ini
sebenarnya shampoo, yang tidak membutuhkan kondisioner lain. Kondisioner
berfungsi seperti elembut dalam pencucian pakaian, jadi komponen utama
kondisioner adalah surfaktan kationik, yang merupakan pelembut pakaian. Hal ini
berarti tidak mungkin untuk menyatukan zat kondisioner dengan shampoo biasa.
Jika Anda mencampur shampoo biasa dan kondisioner di kamar mandi, Anda akan
melihat pengendapan seperti kekam. Hal ini disebabkan gabungan surfaktan
kationik dengan surfaktan anionik. Tentu saja, pengendapan ini tidak akan berefek
apa-apa.
Ada tiga jenis “Two in One (Conditioner dan Shampoo)”:
a. KOndisioner saja dengan surfaktan kationik yang memiliki daya cuci.
b. Shampoo saja dengan kandungan minyak.
c. “Kondisioner dan Shampoo” sebenarnya, sebagai contoh surfaktan utama
shampoo tidak bergabung dengan surfaktan kationik dalam kondisioner.
Anda bisa menebak dengan mudah bahwa surfaktan yang digunakan pada jenis
ketiga adalah surfaktan non ionik. Konsep yang sama digunakan pada deterjen
untuk mencuci akaian, dan sekarang deterjen mengandung pelembut pakaian
yangbanyak dijual. Komponen utama dari deterjen ini adalah surfaktan non ionik.
Surfaktan non ionik data digunakan untuk banyak zat tambahan, membuat
surfaktan non ionik sangat berguna dengan kelebihannya.
Penerapan Surfaktan non ionik untuk Deterjen Pakaian
8. Mari pikirkan mengapa surfaktan non ionik, yang tampaknya memiliki banyak
kelebihan, tidak digunakan sebagai bahan deterjen hingga sekarang. Semua
surfaktan yang bisa digunakan untuk makanan (berdasarkan peraturan kebersihan
makanan di Jepang) adalah surfaktan non ionik, kecuali untuk fosfolipid kacang
kedelai (lesitin, surfaktan amfoter). Diduga bahwa mereka tidak berbhaya karena
senyawa tersebut adalah ester polialkohol asam lemak seerti sorbitan, sukrosa dan
gliserin. Jadi sangat luar biasa bila kita mnggunakan surfaktan jenis ini untuk
pakaian. Saya melakukan percobaan – bagaimanapun, segala kotoran sangat sulit
dihilangkan dengan ester asam lemak sukrosa. Jadi, daya bersih surfaktan non
ionik sangat lemah. Saya melakukan percobaan lebih jauh dan menemukan bahwa
surfaktan non ionik yang memiliki daya bersih tertentu. Bagaimanapun, surfaktan
ini bentuknya cair, membuatnya sangat sulit digunakan. Surfaktan ini bia sangat
berguna bila dipakai dalam deterjen cair, tapi ini bukanlah tren untuk
menggunakan deterjen cair, dan penambahannya harus diteteskan, membuatnya
sulit untuk ditangani, sehingga membuatnya sangat tidak umum. Karena surfaktan
non ionik dapat dengan mudah disintesis, maka surfaktan ini banyak digunakan
dalam berbagai bidang sekarang ini. Namun, surfaktan non ionik tidak akan
digunakan sebagai surfaktan deterjen sintetis untuk akaian hingga dikembangkan
surfaktan non ionik (polioksietilena)dalam bentuk bubuk.
9. Saya menemukan bahwa Kristal cair terbentuk selama proses pencucian kotoran
berminyak dan Kristal cair ini berkontribusi dalam menghilangkan kotoran. Dan
saya mengembangkan metode baru untuk menunjukkan efektivitas pencucian
(kinetika pencucian). Saya mengukur kecepatan pembentukan Kristal cair dan
kecepatan pencucian. Ketika saya menggunakan surfaktan non ionik
(olioksietilena) untuk percobaan, saya menemukan bahwa Kristal cair terbentuk
pada konsentrasi dan suhu yang lebih rendah (dibandingkan dengan surfaktan
anionik). Percobaan ini dipublikasikan, dan pada waktu yang sama, produsen
mengembangkan bentuk bubuk dari surfaktan non ionik (polioksietilena). Jadi,
deterjen padat serbuk, yang komonennya adalah surfaktan non ionik,
dikembangkan oleh produsen deterjen dengan motto “Kristal cair membersihkan
kotoran”. Bagaimanapun, deterjen ini tidak dilanjutkan selama beberapa tahun
setelah dilepas kea saran, mungkin karena konsumen saat itu belum sadar akan
lingkungan.
10. Penggunaan deterjen yang komponen utamanya adalah surfaktan non ionik
semakin meningkat. Peningkatan tidak hanya terkait dengan kelebihan yang
disebutkan di atas, tapi juga ada efek yang baik. Karena baru-baru ini kebanyakan
pakaian tidak sekotor seperti kondisi sebelumnya, dan kesadaran lingkungan juga
bertambah, maka deterjen yang ramah lingkungan, bahkan dengan kemampuan
daya bersih yang berkurang, dapat diterima di kehidupan modern.
BAB BAHAN BAKU SURFAKTAN
VIII A. Karakteristik Bahan Baku
MES merupakan salah satu kelompok surfaktan anionik yang paling banyak
digunakan. Surfaktan ini dapat disintesis dari minyak nabati yaitu minyak sawit.
Tanaman Kelapa Sawit secara umum waktu tumbuh rata-rata 20 – 25 tahun. Pada
tiga tahun pertama disebut sebagai kelapa sawit muda, hal ini dikarenakan kelapa
sawit tersebut belum menghasilkan buah. Kelapa sawit mulai berbuah pada usia
empat sampai enam tahun. Dan pada usia tujuh sampai sepuluh tahun disebut
sebagai periode matang , dimana pada periode tersebut mulai menghasilkan buah
tandan segar. Tanaman kelapa sawit pada usia 11-20 tahun mulai mengalami
penurunan produksi buah tandan segar. Dan terkadang pada usia 20-25 tahun
tanaman kelapa sawit mati. Semua komponen buah sawit dapat dimanfaatkan secara
maksimal. Buah sawit memiliki daging dan biji sawit (kernel), dimana daging sawit
dapat diolah menjadi CPO (crude palm oil) sedangkan buah sawit diolah menjadi PK
(kernel palm). Ekstraksi CPO rata-rata 20 % sedangkan PK 2.5%. Sementara itu serta
dan cangkang biji sawit dapat dipergunakan sebagai bahan bakar ketel uap.

Minyak sawit dapat dipergunakan untuk bahan makanan dan industri melalui proses
penyulingan, penjernihan dan penghilangan bau atau RBDPO (Refined, Bleached
and Deodorized Palm Oil). Disamping itu CPO dapat diuraikan untuk produksi minyak
sawit padat (RBD Stearin) dan untuk produksi minyak sawit cair (RBD Olein). RBD
Olein terutama dipergunakan untuk pembuatan minyak goreng. Sedangkan RBD
Stearin terutama dipergunakan untuk margarin dan shortening, disamping untuk
bahan baku industri sabun dan deterjen.

Pemisahan CPO dan PK dapat menghasilkan oleokimia dasar yang terdiri dari asam
lemak dan gliserol. Secara keseluruhan proses penyulingan minyak sawit tersebut
dapat menghasilkan 73% olein, 21% stearin, 5% PFAD ( Palm Fatty Acid Distillate)
dan 0.5% buangan.

Minyak sawit merupakan minyak nabati yang diproduksi terbanyak nomor dua di
dunia. Karena kandungan asam lemak jenuhnya yang tinggi (hampir 50 persen),
maka minyak sawit kadang-kadang dianggap sama dengan lemak hewan yang juga
jenuh seperti mentega dan lard (lemak babi). Padahal, studi-studi pada hewan
percobaan dan juga pada manusia menunjukkan bahwa minyak sawit ini berbeda
dengan lemak yang bersifat hiperkolesterolemik (meningkatkan kolesterol) seperti
lard. Minyak sawit lebih tepat digolongkan sebagai minyak dengan kadar lemak jenuh
moderat karena perbandingan antara lemak jenuh dan tak jenuhnya hampir
seimbang. Dari segi ekonomi minyak sawit adalah yang termurah karena memang
Indonesia kaya akan perkebunan sawit.

Minyak sawit terdiri dari gliserida campuran yang merupakan ester dari gliserol dan
asam lemak rantai panjang. Dua jenis asam lemak yang paling dominan dalam
minyak sawit yaitu asam palmitat, C16:0 (jenuh), dan asam oleat, C18:1 (tidak jenuh).
Umumnya, komposisi asam lemak minyak sawit dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah
ini.
BAB IX TEKNOLOGI PEMBUATAN SURFAKTAN

B. Teknologi Proses

1. Sifat Fisik Kimia Produk


Surfaktan Metil Ester Sulfonat termasuk golongan surfaktan anionik, yaitu surfaktan
yang bermuatan negatif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan.
Struktur kimianya dapat terlihat pada gambar berikut,

Menurut Hui (1996), surfaktan anionik adalah bahan aktif permukaan yang bagian
hidrifobiknya berhubungan dengan gugus anion (ion negatif). Gugus anion
merupakan pembawa sifat aktif permukaan pada surfaktan anionik. Oleh karena itu,
Metil Ester Sulfona lebih baik terhadap keberadaan kalsium dan kandungan garam
alkali lebih rendah.

Menurut Watkins (2001), jenis minyak yang dapat digunakan sebagai bahan baku
pembuatan MES adalah kelompok minyak nabati seperti minyak kelapa, sawit, inti
sawit, stearin sawit, kedelai, atau tallow. Menurut Matheson (1996) dalam Hapsari
(2003), MES ini memperlihatkan karakteristik disperse yang baik, sifat penyabunan
yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi, bersifat mudah
didegradasi. Kelebihan dari MES ini yaitu pada konsentrasi MES yang lebih rendah
daya penyabunannya sama dengan petroleum sulfonat, dapat mempertahankan
aktifitas enzim.

MES dari minyak nabati dengan ikatan atom karbon C10, C12, C14 biasa digunakan
untuk light duty diwashing detergent, sedangkan MES yang mempunyai ikatan atom
karbon C16-C18 biasa digunakan untuk detergen bubuk dan cair (Watkins,2001).

2. Teknologi Proses Produksi


Proses produksi surfaktan Metil Ester Sulfonat dilakukan dengan mereaksikan metil
ester dengan pereaksi sulfonasi. Menurut Ghazali (2002), pereaksi tersebut antara
lain oleum (larutan S03 di dalam H2S04) dan sulfur trioksida (S03). Untuk
menghasilkan kualitas produk terbaik, beberapa perlakuan penting yang harus
dipertimbangkan adalah rasio mol, waktu netralisasi, suhu reaksi, konsentrasi gugus
sulfat yang ditambahkan , jenis dan konsentrasi katalis, serta pH dan suhu netralisasi.
Proses pertama dilakukan dengan proses sulfonasi metil ester. Proses sulfonasi
dilakukan pada skala laboraturium (500 ml), dengan reaktor untuk mereaksi metil
ester minyak inti sawit sebagai bahan baku utama dengan reaktan natrium bisulfit.
Selanjutnya proses produksi dilakukan secara batch, dengan rasio mol metil ester dan
natrium bisulfit 1:1,5, suhu reaksi 100°C dan lama reaksi 4,5 jam. Proses dilanjutkan
dengan pemurnian menggunakan methanol 30% pada suhu 50°C dengan lama reaksi
1,5 jam. Proses yang terakhir adalah netralisasi menggunakan NaOH 20% (Pore,
1976) dan modifikasi (Hidayat, 2005). Namun, yang harus diperhatikan setelah proses
netralisasi dengan NaOH adalah terbentuknya produk samping reaksi sulfonasinya
yang akan menghasilkan garam alkali sehingga dapat menurunkan biodegradabilitas
dari surfaktan MES ini.

3. Teknologi Proses Produk Turunan


Hasil turunan dari surfaktan Metil Ester Sulfonat ini salah satunya adalah sebagai Oil
Well Stimulation Agent. Komposisi Oil Well Stimulation Agent ini terdiri dari bahan
aktif Surfaktan MES, pelarut, Surfaktan nonionic (DEA), dan buthyl cellosolve.
Pembuatan Oil Well Stimulation Agent ini berdasarkan perbedaan jenis pelarut dan
konsentrasi MES. Formulasinya merujuk pada komposisi Oil Well Stimulation Agent
yang telah ada yaitu Stimsol, Tiorco, dan EOR 2095 yang diproduksi oleh Witco
Coorporation yaitu 50% surfaktan (bahan aktif), 40% pelarut, dan 10% bahan aditif
(7% surfaktan nonionic, 3% buthyl cellosolve).

Pelarut Oil Well Stimulation Agent ini merupakan suatu bahan yang melarutkan bahan
lain untuk membentuk suatu larutan. Zat yang dilarutkan dalam pelarut disebut zat
terlarut. Sebagian besar pelarut membentuk larutan yang berupa cairan, namun ada
juga yang berupa gas atau padatan. Dalam pembuatan Oil Well Stimulation Agent
digunakan pelarut nonpolar untuk melarutkan bahan aktif dan bahan aditif. Menurut
Allen dan Roberts (1993), pelarut yang digunakan sebagai campuran Oil Well
Stimulation Agent ini adalah minyak tanah, solar, bensin, dan minyak mentah.
C. Peluang Pasar dan Pemasaran
Pengembangan produk turunan minyak sawit penting untuk dilakukan mengingat
peningkatan nilai tambah yang dapat diperoleh. Produk hilir sawit lanjutan yang dapat
dihasilkan melalui penerapan proses lanjutan terhadap produk-produk oleokimia yang
telah berkembang di Indonesia akan memberikan tambahan nilai tambah yang cukup
besar. Nilai tambah produk hilir sawit tersebut akan lebih besar dibandingkan nilai
tambah produk-produk oleokimia. Peluang pengembangan produk turunan (hilir)
minyak sawit mengingat lembaga-lembaga riset di Indonesia telah melakukan riset-
riset mengenai produk hilir sawit. Riset-riset produk hilir sawit yang telah
dikembangkan hingga skala produksi pilot plant oleh lembaga riset di Indonesia
sangat baik untuk diaplikasikan ke skala industri.

Produk oleokimia sangat prospektif untuk dikembangkan sebagai salah satu jawaban
kurang prospektusnya harga CPO dan PKO karena berlawanan dengan kondisi
supply-demand minyak mentah nabati yang saat ini dan di masa yang akan datang
berada dalam posisi excess supply, kesetimbangan produk oleokimia dunia justru
diperkirakan masih akan berada dalam kondisi excess demand hingga beberapa
tahun mendatang. Kondisi excess demand pada produk oleokimia ini tentu
merupakan sebuah indikasi akan prospektifnya harga komoditi tersebut. Menurut
FAO, di pasar dunia saat ini terjadi pertumbuhan demand yang stabil atas produk-
produk oleokimia dengan pertumbuhan 3% per tahunnya. Diramalkan pertumbuhan
industri oleokimia yang terbesar akan terjadi di kawasan Asia. Pertumbuhan industri
oleokimia yang diperkirakan terjadi sangat pesat di kawasan Asia sebenarnya tidak
terlepas dari pertumbuhan produksi minyak nabati (bahan baku industri oleokimia)
yang sangat tinggi di kawasan tersebut.

Di Jepang, perusahaan Lion telah menggunakan MES dalam bentuk bubuk deterjen
sejak awal 1990-an. Dalam beberapa tahun ini, Stephan Inc. (Amerika) telah
mengkomersialkan MES dengan Carbon 12-14, dan Huish Inc. (Amerika) akan
segera memulai menproduksi MES 82.000 ton per tahun dengan harga yang murah
dari persediaan oleokimia. Jika dibandingkan dengan alkilbenzen, persediaan dari
LAS berperan dalam penggunaan MES. Dalam keadaan ini, MES lebih ekonomis
daripada LAS. Pemakai-pemakai dengan ide produk yang ramah lingkungan tapi tidak
berkeinginan untuk membayar murah dengan produk seperti itu (Itsuo and Kazuo,
2002).

MES mungkin menawarkan kemungkinan dari dua sisi tersebut, yaitu efisien dan
ramah lingkungan. Seperti pada surfaktan-surfaktan non-ionik, sementara AE (Alkil
Etoksilat) umumnya lebih mahal dari surfaktan anionik lainnya, MEE dapat
diproduksi cukup murah karena tidak butuh banyak fatty alkohol, seperti yang tadi
disebutkan. Jadi kesimpulannya, MES dan MEE berpotensi dalam deterjen untuk
menggantikan LAS dan AE (Itsuo and Kazuo, 2002).

III. KESIMPULAN
Minyak sawit merupakan minyak nabati yang diproduksi terbanyak nomor dua di
dunia. Minyak sawit terdiri dari gliserida campuran yang merupakan ester dari gliserol
dan asam lemak rantai panjang. Produk non pangan dari oleokimia yang berasal dari
minyak sawit salah satunya adalah Metil Ester. Metil Ester Sulfonat (MES) merupakan
salah satu kelompok surfaktan anionik yang paling banyak digunakan dan dapat
disintesis dari minyak nabati yaitu minyak sawit.

MES dari minyak nabati dengan ikatan atom karbon C10, C12, C14 biasa digunakan
untuk light duty diwashing detergent, sedangkan MES yang mempunyai ikatan atom
karbon C16-C18 biasa digunakan untuk detergen bubuk dan cair. Proses produksi
surfaktan Metil Ester Sulfonat dilakukan dengan mereaksikan metil ester dengan
pereaksi sulfonasi.

Proses pertama dilakukan dengan proses sulfonasi metil ester, proses produksi yang
kedua dilakukan secara batch, dan proses yang terakhir adalah netralisasi. Namun,
yang harus diperhatikan setelah proses netralisasi dengan NaOH adalah
terbentuknya produk samping reaksi sulfonasinya yang akan menghasilkan garam
alkali sehingga dapat menurunkan biodegradabilitas dari surfaktan MES ini.

Hasil turunan dari surfaktan Metil Ester Sulfonat ini salah satunya adalah sebagai Oil
Well Stimulation Agent. Dalam pembuatan Oil Well Stimulation Agent digunakan
pelarut nonpolar untuk melarutkan bahan aktif dan bahan aditif. Pelarut yang
digunakan sebagai campuran Oil Well Stimulation Agent ini adalah minyak tanah,
solar, bensin, dan minyak mentah.

Pengembangan produk turunan minyak sawit penting untuk dilakukan mengingat


peningkatan nilai tambah yang dapat diperoleh. Nilai tambah produk hilir sawit
tersebut akan lebih besar dibandingkan nilai tambah produk-produk oleokimia salah
satunya surfaktan MES. Surfaktan MES lebih ekonomis daripada LAS. MES
menawarkan dua kelebihan, yaitu efisien dan ramah lingkungan.

BAB X BIOSURFAKTAN

DAFTAR PUSTAKA

Allen T.O. dan A.P. Roberts. 1993. Production Operation 2: Well Completions,
Worker, and Simulation. Oil & Gas Consultants International (OGCI), Inc., Tulsa,
Oklahoma, USA.

Ghazali R. 2002. The Effect of Disalt on The Biodegradability of Methyl Ester


Sulphonates (MES). Journal of Oil Palm Research 14(1):45-50.

Hambali, et.al. 2004. Pemanfaatan Surfaktan Ramah Lingkungan dari Minyak Sawit
sebagai Oil Well Stimulant Agent untuk Meningkatkan Produksi Sumur Minyak Bumi.
Proposal Hibah Kompetisi Pengembangan Masyarakat. Departemen Teknologi
Industri Pertanian IPB. Bogor.

Hapsari M. 2003. Kajian Pengaruh Suhu dan Kecepatan Pengadukan pada Proses
Produksi Surfaktan dari Metil Ester Minyak Inti KElapa Sawit dengan Metode
Sulfonasi. [Skripsi]. Bogor : FATETA IPB.

Hidayat, Sri. 2005. Proses pembuatan MES dari Palm kernel oil Menggunakan
Natrium Bisulfit. Jurnal Teknologi Industri Pertanian, FATETA, IPB.

Hui. 1996. Mechanistic Approach to The Thermal Degradation of α-Olefin Sulfonates.


Ethyl Coorporation. Baton Rouge, L.A. USA.

Itsuo, H and Kazuo, O. 2002. New Technology and Development on the Use of Palm
Oil in Oleochemical Industries. Bali:International Oil Palm Conference.

Ketaren, S. 1986. Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI Press.

Pore J. 1976. Sulfated and Sulfonated Oils. Di dalam : Karlenskind, A. (Ed.). Oil and
Fats. Manual Intercept Ltd., New York.

Watkins C. 2001. All Eyes are on Texas. Inform 12:1152-1159.

Anda mungkin juga menyukai