Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Surfaktan

2.1.1 Pengertian Surfaktan

Surfaktan (surface active agent) adalah suatu kelompok senyawa yang memiliki
gugus hidrofilik (suka air) dan gugus hidrofobik (tidak suka air), atau disebut juga
ampifilik. Kana strukturnya ini, surfaktan bisa berikatan dengan air dan minyak sekaligus
(Alfauziyah, 2018). Interaksi gugus hidropobik dan gugus hidropilik dengan fluida,
menyebabkan surfaktan dapat menurunkan tegangan permukaan antar fase. Surfaktan
dalam jumlah sedikit apa ditambahkan ke dalam suatu campuran dua fase yang tidak
saling bercampur seperti minyak dan air dapat mengemulsikan kedua fase tersebut
menjadi emulsi yang stabil (ningtyas dan Mahni, 2015).

Mekanisme penurunan tegangan permukaan oleh surfaktan dapat dipelajari dari


mekanisme penetrasi molekul surfaktan ke dalam fase hidropobik dan hidropilik. Bagian
kepala bersifat hidropilik masuk ke fase hidropil dan bagian ekor bersifat hidropobik
masuk ke fase hidropobik. Interaksi dua gugus ke dalam dua fase menyebabkan
penurunan tegangan permukaan antar fase. Penurunan tegangan permukaan dapat diamati
pada perubahan bentuk tetesan minyak di permukaan yang bersifat hidropilik. Minyak
bersifat hidropobik, apabila minyak diteteskan dipermukaan benda padat yang bersifat
hidropilik, bentuk tetesan adalah bulat disebabkan kana tegangan permukaan tetesan
minyak tidak sama dengan permukaan benda padat. Hal ini disebabkan kana gaya kohesi
molekul minyak lebih besar dibandingkan dengan gaya adesi antara permukaan minyak
dan padatan. Setelah surfaktan ditambahkan ke permukaan antar fase, tetesan minyak
akan terdistribusi di permukaan padatan (ningtyas dan Mahni, 2015).

Hal ini membuat surfaktan banyak digunakan dalam berbagai industri, seperti
industri sabun, detergen, produk kosmetika, produk perawatan diri, farmasi, pangan, cat,
kertas, tekstil, pertambangan dan industri perminyakan untuk Enhanced Oil covery
(EOR). Surfaktan ini dapat berupa anionik (Alkil Benzena Sulfonat/ABS, Linear Alkil
Benzena Sulfonat/LABS, Alpha Olein Sulfonat/AOS), kationik (garam ammonium),
nonionik (nonyl phenol polyethoxyle), amfoterik (acyl ethylenediamines) (Elefani, 2008).

Penambahan surfaktan dalam larutan akan menyebabkan turunnya tegangan


permukaan larutan. Setelah mencapai konsentrasi tertentu, tegangan permukaan akan
konstan walaupun konsentrasi surfaktan ditingkatkan. Bila surfaktan ditambahkan
melebihi konsentrasi ini maka surfaktan mengaggasi membentuk misel. Konsentrasi
terbentuknya misel ini disebut Critical Micelle Concentration (CMC). Tegangan
permukaan akan menurun hingga CMC tercapai. Setelah CMC tercapai, tegangan
permukaan akan konstan yang menunjukkan bahwa antar muka menjadi jenuh dan
terbentuk misel yang berada dalam keseimbangan dinamis dengan monomernya
(Oppusunggu dkk., 2015)

2.1.2 Klasifikasi Surfaktan

Menurut Adinda (2016) klasifikasi surfaktan berdasarkan muatannya yaitu:

a. Surfaktan anionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu anion.
Karakteristiknya yang hidrofilik disebabkan kana adanya gugus anionic yang
cukup besar, biasanya gugus sulfat atau surfonat. Contohnya adalah garam alkana
sulfonat, garam olefin sulfonat, garam sulfonat asam lemak rantai panjang.
b. Surfaktan kationik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu kation.
Surfaktan ini memecah dalam media air, dengan bagian kepala bertindak sebagai
pembawa sifat aktif permukaan. Contohnya adalah garam alkil trimethil
ammonium, garam dialkil-dimethil ammonium dan garam alkil dimethil benzil
ammonium.
c. Surfaktan nonionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya tidak bermuatan.
Contohnya ester gliserin asam lemak, ester sorbitan asam lemak, ester sukrosa
asam lemak, polietilena alkil amina, glukamina, alkil poliglukosida, mono
alkanol amina, dialkanol amina dan alkil amina oksida.
d. Surfaktan amfoter yaitu surfaktan yang bagian alkilnya mempunyai muatan
positif dan negatif. Contohnya surfaktan yang mengandung asam amino, betain,
fosfobetain.

2.1.3 Macam-macam Surfaktan

Surfaktan pada umumnya disintesis dari turunan minyak bumi, seperti linier
alkilbensen sulfonat (LAS), alkil sulfonat (AS), alkil etoksilat (AE) dan alkil etoksilat
sulfat (AES). Surfaktan dari turunan minyak bumi dan gas alam ini dapat menimbulkan
pencemaran terhadap lingkungan, kana surfaktan ini setelah digunakan akan menjadi
limbah yang sukar terdegradasi. Disamping itu, minyak bumi yang digunakan merupakan
sumber bahan baku yang tidak dapat diperbaharui. Masalah inilah yang menyebabkan
banyak pihak mencari alternative surfaktan yang mudah terdegradasi dan berasal dari
bahan baku yang dapat diperbaharui.

1. Alkil Benzena Sulfonat (ABS).


Proses pembuatan ABS ini adalah dengan meaksikan Alkil benzena
dengan Belerang trioksida, asam Sulfat pekat atau Oleum. aksi ini menghasilkan
Alkil Benzena Sulfonat. Jika dipakai Dodekil benzena maka persamaan aksinya
adalah :
C6H5C12H25 + SO3                 C6H4C12H25SO3H ( 2.1)
Alkil Benzena           Blerang Trioksit        Dodekil Benzena Sulfonat

aksi selanjutnya adalah netralisasi dengan NaOH sehingga dihasilkan


Natrium Dodekil Benzena Sulfonat.

Gamb
ar 2.1 Alkil Benzene Sulfonat ( Borwankar dkk., 1992)

2. Linear Alkil Benzene Sulfonat (LABS).

Proses pembuatan (LAS) adalah dengan meaksikan Lauril Alkohol dengan


asam Sulfat pekat menghasilkan asam Lauril Sulfat dengan aksi:

C12H25OH     +   H2SO4                    C12H25OSO3H       + H2O ( 2.2 )

          Lauril Alkohol        asam sulfat         LAS   Air

Molekul LAS berisi cincin aromatik tersulfonasi pada posisi para dan
melekat pada rantai alkil linier di setiap posisi kecuali karbon terminal. Rantai
karbon alkil biasanya memiliki atom karbon 10 sampai 14 dan linearitas dari
rantai alkil berkisar 87-98%. Sementara LAS komersial terdiri dari lebih dari 20
individu komponen, rasio dari berbagai homolognya dan isomer, yang mewakili
panjang rantai alkil yang berbeda dan posisi cincin aromatik di sepanjang rantai
alkil linier, latif konstan dalam produk saat ini diproduksi, dengan tertimbang
jumlah karbon rata-rata rantai alkil berdasarkan volume produksi per daerah
antara 11,7-11,8. LAS didukung sebagai kategori kana konsistensi dekat
campuran, penggunaan komersial meka, nasib, dan kesehatan dan dampak
lingkungan.

3. SLS ( Sodium Lauryl Sulfonat )

Natrium lauril sulfat (SLS), natrium lauril sulfate atau sodium


dodecyl sulfat (SDS  atau NaDS) (C12H25SO4Na) adalah anionic surfaktan yang
digunakan dalam membersihkan dan produk kebersihan. SLS adalah surfaktan
sangat efektif dan digunakan dalam setiap tugas yang membutuhkan penghapusan
noda berminyak. SLS terkadang dijadikan sebagai penunjang busa, pertimbangan
banyak busa adalah pertimbangan salah kaprah tapi selalu dianut oleh banyak
konsumen. 

Banyaknya busa tidak berkaitan secara signifikan dengan daya bersih


deterjen, kecuali deterjen yang digunakan untuk proses pencucian dengan air
yang jumlahnya sedikit (misalnya pada pencucian karpet). Untuk kebanyakan
kegunaan di rumah tangga, misalnya pencucian dengan jumlah air yang
berlimpah, busa tidak memiliki peran yang penting. Dalam pencucian dalam
jumlah air yang sedikit, busa sangat penting kana dalam pencucian dengan sedikit
air, busa akan berperan untuk tetap "memegang" partikel yang telah dilepas dari
kain yang dicuci, dengan demikian mencegah mengendapnya kembali kotoran
tersebut (Voight, 1994).

Gambar 2.2 Struktur SLS (Voight, 1994).

2.2 Shampo Motor atau Mobil

Sampo motor atau mobil adalah suatu detergen yang sekarang sudah banyak
dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan yang penting dalam pembuatan sampo ini adalah
surfaktan, yaitu LABS (Linear Alkil Benzena Sulfonat) atau kadang disebut juga Linear
Alkil Benzena (LAB) dan surfaktan penunjang yaitu SLS (Sodium Lauril Sulfonat).
Teknologi pembuatan produk sampo motor atau mobil ini termasuk salah satu teknologi
tepat guna dalam pembuatannya. Kana dalam proses pembuatannya tidak memerlukan
alat yang canggih dan proses yang rumit (Prayetno, 2008).

Semula sampo dibuat dari berbagai jenis bahan yang diperoleh dari sumber alam,
seperti sari biji perak, sari daging kelapa, dan sari abu merang (sekam padi). Sampo yang
menggunakan bahan alam sudah banyak ditinggalkan, dan diganti dengan sampo yang
dibuat dari detergen, yakni “zat sabun” sintetik, sehingga saat ini jika orang berbicara
mengenai sampo yang dimaksud adalah sampo yang dibuat dari detergen (Ismunandar,
2004).

2.3 Natrium Hidroksida

Natrium hidroksida (NaOH) juga dikenal sebagai soda kaustik atau sodium
hidroksida yang merupakan jenis basa logam kaustik. Natrium hidroksida murni
berbentuk putih padat dan tersedia dalam bentuk pelet, serpihan, butiran ataupun larutan
jenuh 50%. Natrium hidroksida sangat larut dalam air dan akan melepaskan panas ketika
dilarutkan. Natrium hidroksida juga larut dalam etanol dan metanol, walaupun kelarutan
NaOH dalam kedua cairan ini lebih kecil daripada kelarutan KOH (Kirk dan Othmer,
1981 dalam Panaie dkk., 2017)

Adapun sifat–sifat fisika natrium hidroksida (NaOH) ditunjukkan pada tabel


dibawah ini.

Tabel 2.1 Sifat Fisika Natrium Hidroksida (NaOH)

Karakteristik Nilai
Berat molekul 40 g/mol
Titik leleh 323℃
Titik didih 1390 ℃
Temperatur kritis 2546,85 ℃
Tekanan kritis 249,998 atm
Kapasitas panas -36,56 Kkal/kg.℃
Densitas 1090,41 kg/m3
Panas pembentukan -47,234 Kkal/kmol
Wujud Padat, kristal higroskopis
Warna Putih
Sumber : (Perry, 1984 dalam Panaie dkk., 2017).

NaOH merupakan zat berwarna putih dan rapuh dengan cepat dapat mengabsorbsi
uap air dan CO2 dari udara, kristal NaOH berserat membentuk anyaman. NaOH mudah
larut dalam air, jika kontak dengan udara akan mencair dan jika dibakar akan meleleh
(Kirk & Othmer, 1981 dalam Panaie dkk., 2017).
2.4 Aquadest

Aquadest adalah air hasil destilasi/penyulingan sama dengan air murni atau H 2O,
kana H2O hampir tidak mengandung mineral. Sedangkan air mineral adalah pelarut yang
universal. Oleh kana itu air dengan mudah menyerap atau melarutkan berbagai partikel
yang ditemuinya dan dengan mudah menjadi tercemar. Dalam siklusnya di dalam tanah,
air terus bertemu dan melarutkan berbagai mineral anorganik, logam berat dan
mikroorganisme. Jadi, air mineral bukan aquadest (H2O) kana mengandung banyak
mineral (Fessenden, 1999 dalam Bernad, 2019).

Aquadest berwarna bening, tidak berbau, dan tidak memiliki rasa. Aquadest biasa
digunakan untuk membersihkan alat-alat laboratorium dari zat pengotor (Petrucci, 2008
dalam Khotimah dkk., 2017).

2.5 Pewangi dan Pewarna

Parfum atau pewangi didefinisikan menjadi suatu kompleks campuran dari


berbagai variasi senyawa dengan konsentrasi yang tepat dan dilarutkan dalam pelarut
yang sesuai. Zat pewangi dapat berasal dari minyak atsiri atau dibuat sintetis (Putri,
2020). Pemberian pewangi ke dalam deterjen dimaksudkan untuk memberikan aroma
yang menyenangkan dan menutupi bau yang timbul pada saat pencucian. Pada umumnya
penggunaan konsentrasi pewangi maksimal adalah 10 persen.

Pewarna merupakan zat aditif yang berfungsi untuk memperbaiki penampilan asli
dari suatu produk. Warna asli sabun adalah putih pucat sehingga kurang menarik minat
konsumen. Pewarna makanan dapat ditambahkan pada proses pembuatan sabun. Pewarna
sabun masih diperbolehkan sepanjang memenuhi syarat dan peraturan yang ada, pigmen
yang dipakai untuk sabun harus stabil dan konsentrasinya kecil (0,01-0,5%). Untuk
menambahkan efek berkilau pada sabun dapat ditambahkan titanium dioksida (0,01%)
(Wasitaadmadja,1997).

2.6 Xylene

Xylene memiliki rumus C6H4(CH3)2 dengan nama lainnya antara lain xylol, dan
dimetilbenzena. Xylene merupakan cairan tidak berwarna yang diproduksi dari minyak
bumi atau aspal cair dan sering digunakan sebagai pelarut dalam industri. Xylene pada
aspal cair pertama kali ditemukan pada pertengahan abad ke-19. Nama dari xylene berasal
dari bahasa latin “wood xulon” karna xylene dapat diperoleh dari hasil distilasi kayu tanpa
kehadiran oksigen (Richard,2007).
Tabel 2.2 Sifat Fisika Xylene
Karakteristik Keterangan
Rumus molekul C6H4(CH3)2
Berat molekul 106,17 gr/mol
Massa jenis 0.86 kg/L
Fasa Cair
Warna Bening
Sumber : (Richard, 2017).

2.7 Densitas

Massa jenis (densitas) adalah pengukuran massa setiap satuan volume benda.
Semakin tinggi massa jenis suatu benda, maka semakin besar pula massa setiap
volumenya. Massa jenis rata-rata setiap benda merupakan total massa dibagi dengan total
volumenya (Saputra dkk., 2017).

berat piknometer berisi−berat piknometer kosong


ρ=
volume sa mpel

Densitas suatu zat dapat dihitung yaitu dengan mengukur secara langsung berat zat
dalam piknometer (dengan menimbang) dan volume zat (ditentukan dengan piknometer).
Volume zat padat yang tidak beraturan dapat ditentukan secara tidak langsung dengan
menggunakan piknometer. Bila volume dan berat zat tersebut telah diketahui, maka dapat
dihitung berat jenisnya (Malik, 2008)

2.8 Viskositas

Viskositas dapat dinyatakan sebagai tahanan aliran fluida yang merupakan gesekan
antara molekul–molekul cairan satu dengan yang lain. Suatu jenis cairan yang mudah
mengalir, dapat dikatakan memiliki viskositas yang ndah, dan sebaliknya bahan yang
sulit mengalir dikatakan memiliki viskositas yang tinggi (Febrianto dkk., 2013). Adapun
persamaan viskositas adalah sebagai berikut:

txp
η = ηo
¿ x po

Keterangan:
𝜂 = Viskositas (Pa. s)
t = Waktu aliran sampel (s)
𝜌 = Massa jenis sampel ( gr/ml)
𝜌𝑜 = Massa Jenis Pembanding ( gr/ml)
to = Waktu aliran Pembanding (s)
𝜂o = Viskositas Pebanding (Pa. s)

Viskometer merupakan alat yang digunakan untuk mengukur viskositas suatu


fluida. Viskometer yang umum digunakan adalah viskometer Oswald, biasanya
digunakan untuk mengukur sampel yang encer atau kurang kental (Asidu dkk, 2017).

2.9 Stabilitas Busa

Busa (foam) adalah suatu system disperse yang terdiri atas gelembung gas yang
dibungkus oleh lapisan cairan. Stabilitas busa dinyatakan sebagai ketahanan suatu
gelembung untuk stabilitas busa setelah lima menit busa harus mampu bertahan antara
60- 70% dari volume awal (Dragon et al., 1969 dalam Murti dkk., 2017).

Penyebab utama dari pecahnya busa (foam collapse) adalah penipisan (thinning)
lapisan film dan koalesen. Thinning terjadi kana busa cenderung naik ke atas namun
sekaligus ditarik ke bawah kana adanya aliran cairan (drainage) akibat gaya gravituasi.
Kana ditarik dari 2 arah maka film busa menjadi menipis sehingga lebih mudah pecah
(ruptu). Disamping itu, ukuran busa yang bervariasi menyebabkan adanya gradient
tekanan gas. Akibatnya dapat terjadi difusi gas, dimana busa-busa kecil akan bergabung
menjasi busa yang lebih besar (kaolesen). Ukuran busa yang semakin besar berarti
tegangan permukaan semakin besar, sehingga semakin mudah pecah (Tadros, 2005).

2.10 Stabilitas Emulsi

Emulsi adalah suatu sistem heterogen yang tidak stabil secara termodinamika, yang
terdiri dari paling sedikit dua fasa cairan yang tidak bercampur, dimana salah satunya
terdispersi dalam cairan lainnya dalam bentuk tetesan-tetesan kecil, yang berukuran 0,1-
100 µm, yang distabilkan dengan emulgator/surfaktan yang cocok. Komponen emulsi
yang stabil harus harus terdiri dari 3 komponen yaitu fasa terdispersi atau fasa internal,
fasa kontinu atau fasa eksternal, dan bahan pengemulsi (Tungadi, 2014).

Stabilitas emulsi merupakan suatu hal yang penting untuk diperhatikan.


Ketidakstabilan yang dapat terjadi terhadap emulsi diantaranya adalah flokulasi dan
caming, koalesens dan baking, perubahan fisika kimia, dan inversi fase (Sinko, 2011).
Selain itu, emulsi juga dapat mengami ketidakstabilan biologi, seperti adanya
kontaminasi dan pertumbuhan mikroba

Anda mungkin juga menyukai