Anda di halaman 1dari 11

A.

LATAR BELAKANG
Surfaktan adalah suatu senyawa kimia yang bersifat ampipilik dimana sifat hidropilik
dan hidropobik ada dalam satu molekul surfaktan. Gugus hidrofilik dan hidrofobik yang
terdapat pada surfaktan menyebabkan surfaktan dapat digunakan sebagai bahan pembusa atau
emulsifier dalam industri farmasi, kosmetik, kimia, pertanian dan pangan. Surfaktan sebagian
besar diproduksi dari minyak bumi, namun ancaman akan kekurangan sumber energi tak
terbarukan, menyebabkan industry yang memproduksi surfaktan beralih menggunakan bahan
baku yang dapat diperbaharui (renewable) dan ramah lingkungan (Sukkary dkk., 2007).
Salah satu jenis dari surfaktan yaitu surfaktan non ionik. Surfaktan non ionik
merupakan bahan yang penting dalam berbagai produk industri seperti pada proses pembuatan
sabun (Ivanov dkk., 2010), sebagai pembersih, personal care, proteksi tanaman, cat dan
coating, stabilitas emulsi, pangan dan pengolahan kulit (Giribabu dan Ghosh, 2007). Dari
pengeplotan tegangan antarmuka versus konsentrasi surfaktan dalam badan larutan, jumlah
surfaktan yang teradsorpsi pada antarmuka dapat ditentukan.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana cara membedakan surfaktan non ionik dengan surfaktan lainnya ?
2. Bagaimana struktur dari surfaktan non ionik ?
3. Apa saja contoh dari surfaktan non ionik ?
4. Bagaimana aplikasi surfaktan non ionik dalam bidang farmasi ?

C. TUJUAN
1. Dapat membedakan surfaktan non ionik dengan surfaktan lainnya.
2. Untuk mengetahui struktur dari surfaktan non ionik .
3. Untuk mengetahui contoh dari surfaktan non ionik.
4. Untuk mengetahui aplikasi surfaktan non ionik dalam bidang farmasi.

D. PEMBAHASAN
1. Surfaktan

Surfaktan merupakan senyawa ampifilik, yaitu senyawa yang molekul-molekulnya

1
mempunyai dua gugus yang berbeda interaksinya dengan air. Gugus hidrofilik yang
memiliki ketertarikan kuat dengan air berada pada ujung polar (biasa disebut kepala),
sedangkan gugus hidrofobik/lipofilik yang “suka minyak” berada pada ujung nonpolar
(biasa disebut ekor). Gugus molekul surfaktan dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Gugus Molekul Surfaktan (Sumber : www.wikipedia.org)

Kehadiran dua susunan grup yang berbeda di dalam satu molekul adalah karakteristik
paling dasar dari surfaktan. Sifat permukaan (aktivitas permukaan) dari molekul surfaktan
ditentukan oleh susunan pembentuknya, kelarutan, ukuran relatif, dan lokasi di dalam
molekul surfaktan. Surfaktan diklasifikasikan berdasarkan muatan dari bagian permukaan
yang aktif. Pada surfaktan-surfaktan anionik, bagian ini membawa muatan negative
seperti dalam sabun, C17H35CO- 2Na+, Pada surfaktan-surfaktan kationik, muatannya
adalah positif, (C18H37)2N+ (CH3)2Cl-. Pada surfaktan-surfaktan nonionik, seperti
namanya, tidak ada muatan di dalam molekulnya. Kelarutan juga gugus fungsi lainnya,
dan atau ikatan rangkap (Kirk dan Othmer, 1998).

2. Mekanisme kerja surfaktan

Molekul surfaktan terdiri dari gugus hidropobik (ekor) dan gugus hidropilik
(kepala). Sifat hidropilik dan hidropobik dalam satu molekul menyebabkan surfaktan
dapat berikatan dengan komponen baik bersifat hidropobik maupun hidropilik.
Interaksi gugus hidropobik dan gugus hidropilik dengan fluida, menyebabkan
surfaktan dapat menurunkan tegangan permukaan antar fase. Surfaktan dalam jumlah
sedikit apabila ditambahkan ke dalam suatu campuran dua fase yang tidak saling

2
bercampur seperti minyak dan air dapat mengemulsikan kedua fase tersebut menjadi
emulsi yang stabil. Sifat surfaktan ditentukan oleh struktur kimia dari gugus hidropilik
dan hidropobik yang menyusun surfaktan dan diantaranya dinyatakan oleh parameter
HLB (hydrophobic, lyphopylyc balance), CMC (Critical Michele Concentration),
stabilitas termal- kimia dan IFT (interfacial surface tention) (Furi dan Coniwanti,
2012).

3. Penggolongan surfaktan

Menurut sifat ionik dan molekul dalam larutan surfaktan digolongkan (Rosen, 1978) :
a. Surfaktan anionik, akan terionisasi memberi muatan negatif anion hidrofobik dan
sedikit muatan positif.
b. Surfaktan kationik, terionisasi membentuk banyak muatan positif kationik hidrofoterik
dan sedikit muatan negatif anionik hidrofilik.
c. Surfaktan amfoterik, surfaktan jenis ini dapat bersifat anionik, kationik atau netral
tergantung pada pH larutan.
d. Surfaktan non ionik tidak terionisasi dalam larutan, yang dapat dipakai ahli kimia
untuk membentuk spektrum yang luas. Surfaktan ini bisanya tidak toksik, netral,
stabil terhadap elektrolit dan stabil dengan zat ionik.

3
Tabel 1 menampilkan jenis gugus hidrofilik surfaktan anioik, kationik,
nonionik dan amfoter. Sedangkan gugus hidropobik terdiri dari rantai alkil lurus,
bercabang atau rantai alkil tertutup atau gabungan dari rantai alkil lurus dan
bercabang. Pada paper ini, kami hanya membahas mengenai surfaktan non ionik.

Surfaktan non ionik


Surfaktan nonionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya tidak bermuatan.
Surfaktan nonionik : sejenis ini tidak berdisosiasi dalam air, tetapi bergantung pada
struktur (bukan keadaan ion-nya) untuk mengubah hidrofilitas yang membuat zat
tersebut larut dalam air. Surfaktan nonionik biasanya digunakan bersama-sama dengan
surfaktan anionik.
Jenis ini hampir semuanya merupakan senyawa turunan poliglikol, alkiloamida
atau ester-ester dari polihidroksi alkohol.

4
Contoh surfaktan non ionik antara lain :
1. Polyoxyetilene
Tween 20 atau nama lainnya disebut polioksietilena sorbitan monolaurat merupakan
kelompok hidroksil sorbitol dan sorbitol anhidrat. Tween 20 dengan rumus
C58H114O26. Tween 20 banyak digunakan sebagai emulsifier, pelarut bahan
makanan, pengolahan roti, campuran kue, salad dressing, shortening dan pengolahan
cokelat (Food Safety Commission., 2007).

Struktur kimia tween 20


Tween 20, 60, dan 80 merupakan surfaktan nonionik dan emulsifier yang
berasal dari sorbitol yang diperoleh dari berbagai jenis buah. Semua larut dalam
air, etanol, metanol atau etil asetat, tetapi hanya sedikit dalam minyak mineral.
Sebagai bahan yang tidak menimbulkan iritasi, polisorbat adalah ambar cair agak
kekuningan, yang sedikit pahit dan masam dan dengan rasa hangat. Polisorbat
banyak digunakan sebagai emulsifier, penstabil, solubilizer di industri makanan,
kosmetik, farmasi dan tekstil (Medical Biocare, 2002).

2. Monogliserida

5
Monogliserida merupakan gliserol yang satu gugus hidroksilnya bersubtitusi
dengan asam lemak.

Monogliserida merupakan istilah untuk gliserida dimana satu molekul


gliserol telah membentuk satu ikatan ester dengan satu molekul asid lemak.
Monoasilgliserol ini bisa berbentuk 1-monoasilgliserol atau 2-monoasilgliserol,
bergantung kepada kedudukan ikatan ester dalam moieti gliserol ini.
Monoasilgliserol boleh dihasilkan dengan pelbagai cara dengan menggunakan
proses kimia perindustrian atau secara biologi. Secara biokimianya, ia biasanya
terbentuk melalui hidrolisis berenzim asam lemak daripada diasilgliserol melalui
tindak balas diasilgliserol lipase atau sebagai perantaraan dalam pengasilan
gliserol untuk membentuk lemak.
Monoasilgliserol merupakan bentuk intermediet yang terjadi selama
alkoholisis lemak atau pemecahan lemak (fat splitting). Gliserida dari minyak lemak
pangan diklasifikasikan “Generally Recognized as Safe (GRAS). Emulsifier
merupakan bahan yang dapat mengurangi tegangan permukaan pada interfasial dua
fase yang dalam keadaan normal tidak saling bercampur sehingga menyebabkan
keduanya dapat bercampur dan membentuk emulsi. Emulsifier mengandung gugus
hidrofilik dan lipofilik dalam satu molekul yang sama. Senyawa ini akan
meningkatkan kestabilan emulsi dengan menurunkan tegangan antar muka antara fase
minyak dan air (Rieger, 1985).

3. Digliserida
Digliserida merupakan gliserol yang dua gugus hidroksilnya bersubtitusi dengan
asam lemak.

6
Digliserida juga merupakan lipid umum; mereka sangat berlimpah di membran
biologis (seperti trigliserida, yang pernah ditemukan dalam membran). Seperti namanya,
digliserida berisi dua asam lemak terkait dengan backbone gliserol; karbon ketiga gliserol
biasanya terkait dengan zat yang lebih polar. Para digliserida paling umum ditemukan di
membran fosfolipid, senyawa polarnya terdiri dari gugus fosfat bermuatan negatif terkait
dengan senyawa polar lainnya (seperti kolin organik dasar, atau serin asam amino, atau
gula sederhana inositol).

Tidak seperti trigliserida, kebanyakan digliserida yang jelas “skizofrenia” (atau


lebih teknis, amphipathic) sehubungan dengan sifat kelarutannya. Residu asam lemak
yang jelas hidrofobik, sedangkan residu polar sangat hidrofilik. Dengan demikian, bagian
kutub fosfolipid dapat larut dalam larutan air. Properti amphipathic ini adalah dasar untuk
perakitan spontan fosfolipid dalam membran bilayer dan stabilitas dinamis komponen
seluler yang penting. Untuk alasan ini fosfolipid dan lipid membran amphipathic lainnya
sering disebut “lipid struktural”.

4. Monoetanolamida

Menurut (Holmberg, 2001), monoetanolamida dan dietanolamida digunakan


secara luas sebagai surfaktan, penstabil dan pengembang busa. Meskipun
monoetanolamida bersifat lebih efektif baik sebagai penstabil busa, pengental dan boster
busa, namun karena berbentuk padatan berlilin menyebabkan sulit untuk diinkorporasikan
karena titik cairnya yang tinggi. Ditambahkan bahwa diperlukan temperatur reaksi yang
tinggi untuk menginkorporasikan monoetanolamida ke dalam campuran produk
kosmetika.

7
Surfaktan alkanolamida tidak bermuatan atau tidak terjadi ionisasi daripada
molekul. Keberadaan gugus metil amida didalam alkanolamida bermanfaat untuk
meningkatkan kelarutan surfaktan (Burczyk, dkk. 2001). Disamping itu alkanolamida
dapat digunakan pada rentang pH yang luas, biodegradabel, lembut dan bersifat noniritasi,
baik untuk kulit maupun mata. Surfaktan ini juga menghasilkan reduksi tegangan
permukaan yang besar, toksisitas yang rendah dan pembusaan yang bagus serta stabil.
Surfaktan alkanolamida juga sangat kompatibel dengan ketiga jenis surfaktan lainnya
yaitu surfaktan anionik, kationik dan amfoterik. Sebagaimana surfaktan nonionic lainnya,
alkanolamida menunjukkan performa yang baik seperti kelarutan yang tinggi, stabil
terhadap berbagai enzim dan media yang alkali. Karena sifat-sifatnya tersebut maka
surfaktan ini dapat digunakan sebagai bahan pangan, obat-obatan, kosmetika dan aplikasi
industri serta dapat digunakan pada rentang penggunaan surfaktan anionik. Produk-
produk yang menggunakan surfaktan alkanolamida diantaranya shampo non iritasi, sabun
mandi cair, produk perawatan rambut, losion, cream, produk pembersih serta produk
kosmetika, produk farmasi, biokimia dan biomedikal.

5. Dietanolamida

Dietanolamida pertama kali diperoleh dengan mereaksikan dua mol dietanolamina


dengan satu mol asam lemak. Senyawa ini diberi nama Kritchevsky amida sesuai dengan
nama penemunya. Bahan baku yang digunakan dalam produksi dietanolamida dapat
berupa asam lemak, trigliserida atau metil ester. Dietanolamida biasanya diproduksi
secara kimia konvensional pada temperatur 150oC selama 6-12 jam (Herawan, dkk.
1999). Dari hasil reaksi akan dihasilkan dietanolamida dan hasil samping berupa sabun
amina. Kehadiran sabun amina ini, tentu saja akan menaikkan pH produk. Pada tahap
pemurnian diperlukan pemisahan produk utama dengan sabun amina.

8
Sintesis dietanolamida menggunakan bahan baku dietanolamina dan asam laurat.
Dietanolamina adalah senyawa yang terdiri dari gugus amina dan dialkohol. Dialkohol
menunjukkan adanya dua gugus hidroksil pada molekulnya. Sifat-sifat dietanolamina
adalah sebagai berikut (E Merck, 2008):
Rumus molekul : C4H11NO2
Berat Molekul : 105,1364 gr/mol
Densitas : 1,090 gr/cm3
Titik Lebur : 28oC (1 atm)
Titik Didih : 269 - 270oC (1 atm)
Kelarutan : H2O, alkohol dan eter
Sintesis alkanolamida dari dietanolamina akan menghasilkan alkanolamida yang
memiliki tingkat kepolaran yang lebih baik dibandingkan amida lainnya karena adanya
dua gugus hidroksil dalam molekul alkanolamida yang dihasilkan.

4. Aplikasi surfaktan non ionik


Surfaktan sangat banyak kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam
rumah tangga maupun di industry. Surfaktan banyak digunakan dalam industri farmasi
antara lain sebagai emulsifier, corrosion inhibition, foaming, detergency, dan hair
conditioning. Surfaktan digunakan sebagai bahan pencuci yang bersih karena
mengandung sifat antikuman yang membuat mereka banyak digunakan di rumah sakit.
Surfaktan dalam sediaan obat sering digunakan sebagai bahan tambahan. Surfaktan
digunakan karena kemampuannya mengemulsi, mensuspensi dan melarutkan obat dan
kecenderungannya menambah absorpsi obat (Lachman, dkk., 1986). Kemampuan
berinteraksi membentuk komplek antara tween 80 sebagai surfaktan non ionik dengan
obat tertentu dapat diharapkan untuk menstabilkan obat sehingga kecepatan degradasinya
berkurang (Sudjaswadi, 1991).

9
Dietanolamida merupakan salah satu surfaktan alkanolamida yang paling penting.
Dietanolamida berfungsi sebagai bahan penstabil dan pengembang busa. Hal ini
disebabkan karena adanya kotoran berminyak seperti sebum menyebabkan stabilitas busa
sabun cair atau shampo akan berkurang secara drastis. Untuk mengatasi hal tersebut,
diperlukan penstabil busa yang berfungsi untuk menstabilkan dan mengubah struktur busa
agar diperoleh busa yang lebih banyak, pekat dengan buih yang sedikit. Pada pembuatan
sabun, dietanolamida digunakan agar sabun menjadi lembut. Pemakaian dietanolamida
pada formula shampo dapat mencegah terjadinya proses penghilangan minyak yang
berlebihan pada rambut (efek perlemakan berlebihan) dan produk yang dihasilkan tidak
menyebabkan rasa pedih di mata, sehingga cocok untuk digunakan sebagai produk sabun
dan shampo bagi bayi (Holmberg, 2001).

E. KESIMPULAN

Dalam makalah ini dapat di simpulkan bahwa Surfaktan merupakan senyawa


ampifilik, yaitu senyawa yang molekul-molekulnya mempunyai dua gugus yang berbeda
interaksinya dengan air Salah satu contoh surfaktan adalah surfaktan non ionoik yaitu
surfaktan yang bagian alkilnya tidak bermuatan. Contoh surfaktan non ionik adalah
Polyoxyetilene, Monogliserida, Digliserida, Monoetanolamida, Dietanolamida. Aplikasi
non ionik sebagai bahan tambahan dalam sediaan obat dan pembuatan sabun, bahan
penstabil, dan pengembang busa.

10
DAFTAR PUSTAKA

Adisalamun, Djumali Mangunwidjaja, Dkk. 2012. Adsorpsi Surfaktan Nonionik Alkil


Poliglikosida pada Antarmuka Fluida-Fluida. Banda Aceh : Universitas Syiah Kuala.

Furi, Triaveta Anna dan Pamilia Coniwanti. 2012. Pengaruh Perbedaan Ukuran Partikel dari
Ampas Tebu dan Konsentrasi Natrium Bisulfit (NaHSO 3) pada Proses Pembuatan
Surfaktan. Surabaya : Universitas Airlangga.

Reningtyas, Renung dan Mahreni. 2015. Biosurfaktan. Yogyakarta : Universitas Pembangunan


Nasional Veteran Yogyakarta.

11

Anda mungkin juga menyukai