Ganjil/2019-2020
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Surfaktan
Surfaktan merupakan suatu molekul yang sekaligus memiliki gugus
hidrofilik dan gugus lipofilik sehingga dapat mempersatukan campuran yang
terdiri dari air dan minyak. Surfaktan adalah bahan aktif permukaan. Aktifitas
surfaktan diperoleh karena sifat ganda dari molekulnya. Molekul surfaktan
memiliki bagian polar yang suka akan air (hidrofilik) dan bagian nonpolar yang
suka akan minyak/lemak (lipofilik). Bagian polar molekul surfaktan dapat
bermuatan positif, negatif atau netral. Sifat rangkap ini yang menyebabkan
surfaktan dapat diadsorbsi pada antar muka udara-air, minyak-air dan zat padat-
air, membentuk lapisan tunggal dimana gugus hidrofilik berada pada fase air dan
rantai hidrokarbon ke udara, dalam kontak dengan zat padat ataupun terendam
dalam fase minyak. Umumnya bagian nonpolar (lipofilik) adalah merupakan
3
4
Laporan Kimia Organik/Kelompok 7/S.Ganjil/2019-2020
air, membentuk lapisan tunggal dimana gugus hidrofilik berada pada fase air dan
rantai hidrokarbon ke udara, dalam kontak dengan zat padat ataupun terendam
dalam fase minyak. rantai alkil yang panjang, sementara bagian yang polar
(hidrofilik) mengandung gugus hidroksil (Jatmika, 1998)
Jika surfaktan dilarutkan dalam satu fase pada campuran minyak dan air,
sebagian surfaktan akan berkonsentrasi pada permukaan antara minyak-air, dan
pada kesetimbangan energi bebas (disebut tegangan antar muka atau permukaan)
akan lebih rendah dari tidak adanya surfaktan. Energi mekanik yang diberikan ke
dalam sistem (misalnya dengan mencampur) berfungsi untuk membagi satu fasa,
akan meningkatkan jumlah total tegangan permukaan dan energi. Semakin rendah
jumlah energi bebas antarmuka per satuan luas, semakin besar jumlah luas antar
muka baru yang dapat dibuat dengan jumlah energi masuk yang diberikan . Tahap
yang terbagi lagi disebut fase terputus-putus, dan fase lainnya adalah fase
kontinyu (Bailey, 1996)
Surfaktan memiliki lipofilik (suka lemak) dan hidrofilik (suka air). Bagian
lipofilik dari surfaktan biasanya merupakan rantai-panjang asam lemak yang
diperoleh dari lemak atau minyak. Bagian hidrofilik adalah nonionik (misalnya
gliserol); anionik (bermuatan negatif, misalnya laktat), atau amfoter, baik
membawa muatan positif dan negatif (misalnya, asam amino serin) (Huang, 2010)
Karakteristik utama surfaktan adalah memiliki gugus polar dan non polar
pada molekul yang sama. Sifat aktif permukaan yang dimiliki surfaktan diantaranya
mampu menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka dan meningkatkan
kestabilan sistem emulsi. Tegangan permukaan adalah gaya dalam dyne yang
bekerja pada permukaan sepanjang 1 cm dan dinyatakan dalam dyne/cm, atau
energi yang diperlukan untuk memperbesar permukaan atau antarmuka sebesar 1
cm2 dan dinyatakan dalam erg/cm2. Surface tension umumnya terjadi antara gas
dan cairan sedangkan interface tension umumnya terjadi antara cairan dan cairan
lainnya atau kadang antara padat dan zat lainnya (Bailey, 1996)
yang berbeda untuk meminimalkan area permukaan atau kontak antara dua fase.
Kemampuan surfaktan untuk menurunkan ini energi antarmuka antara minyak dan
air memungkinkan untuk pembentukan dan stabilisasi tetesan minyak yang lebih
kecil dan akan tersebar di seluruh air. Dalam hal ini, penurunan energi antarmuka
mengakibatkan peningkatan permukaan total luas pada sistem. Lain halnya
dengan surfaktan yang berkemampuan untuk membentuk agregat dalam larutan
dan membentuk komposit dengan berbagai struktur, seperti misel dan kristal cair,
sebagai fungsi dari konsentrasi dan suhu (Bailey, 1996)
Struktur ini sering disebut kristal cair sebagai heksagonal. Jika konsentrasi
surfaktan meningkat, tubulus akan berkembang di kedua arah dan membesar,
lembaran pipih surfaktan, sering disebut sebagai lamelar kristal cair. Kristal-
kristal cair sangat penting dalam pembuatan sabun. Sebagai inti dari sebuah misel
sangat hidrofobik, ia memiliki kemampuan untuk melarutkan minyak di
dalamnya, serta untuk menstabilkan dispersi satu. Solubilisasi ini dan suspensi
sifat surfaktan adalah dasar bagi kemampuan pembersihan sabun
dan surfaktan lainnya. Selain itu, kemampuan surfaktan untuk menstabilkan
antarmuka daerah, khususnya antarmuka udara-air, merupakan dasar untuk
penyabunan (Bailey, 1996).
1. Surfaktan anionik
Surfaktan anionik merupakan surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada
suatu anion. Surfaktan ini membentuk kelompok surfaktan yang paling besar dari
jumlahnya. Sifat hidrofiliknya berasal dari bagian kepala ionik yang biasanya
merupakan gugus sulfat atau sulfonat. Pada kasus ini, gugus hidrofobik diikat ke
bagian hidrofil dengan ikatan C-O-S yang labil, yang bagian alkilnya terikat pada
suatu anion. Surfaktan ini membentuk kelompok surfaktan yang paling besar dari
jumlahnya. Sifat hidrofiliknya berasal dari bagian kepala ionik yang biasanya
merupakan gugus sulfat atau sulfonat. Pada kasus ini, gugus hidrofobik diikat ke
bagian hidrofil dengan ikatan C-O-S yang labil, yang mudah dihidrolisis. Beberapa
contoh dari surfaktan anionik adalah Linier Alkyl Benzene Sulfonate (LABS),
Alcohol Sulfate (AS), Alpha Olefin Sulfonate (AOS) dan parafin atau Secondary
Alkane Sulfate (SAS)
2. Surfaktan kationik
Surfaktan kationik merupakan surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada
suatu kation. Contohnya garam alkyl trimethl ammonium, garam dialkyl-dimethil
ammonium dan garam alkyl dimethil benzyl ammonium.
3. Surfaktan nonionik
Surfaktan nonionik merupakan surfaktan yang bagian alkilnya tidak
bermuatan. Surfaktan sejenis ini tidak berdisosiasi dalam air, tetapi bergantung pada
struktur (bukan keadaan ion-nya) untuk mengubah hidrofilitas yang membuat zat
tersebut larut dalam air. Surfaktan nonionik biasanya digunakan bersama-sama
dengan surfaktan aniomik. Jenis ini hampir semuanya merupakan senyawa turunan
poliglikol, alkiloamida atau ester-ester dari polihidrocsi alcohol. Contohnya ester
gliserin asam lemak, ester sorbitan asam lemak, ester sukrosa asam lemak,
polietilena alkyl amina, glukamina, alkyl poliglucosida, mono alcanol amina,
dialcanol amina dan alkyl amina oksida.
4. Surfaktan amfoterik
Surfaktan amfoterik merupakan surfaktan yang bagian alkilnya mempunyai
muatan positif dan negatif. Contohnya surfaktan yang mengandung asam amino,
betain, fosfobetain. Surfaktan pada umumnya disintesis dari turunan minyak bumi,
seperti Linier Alkyl Benzene Sulfonate (LABS), Alkyl Sulfate (AS), Alkyl Etoksilate
(AE) dan Alkyl Etoksilate Sulfate (AES)
NONIONIK
ANIONIK
KATIONIK
AMFOTERIK
MES dari minyak nabati dengan ikatan atom karbon C10, C12, C14 biasa
digunakan untuk light duty diwashing detergent, sedangkan MES yang mempunyai
ikatan atom karbon C16-C18 biasa digunakan untuk detergen bubuk dan cair.
Surfaktan lignosulfonat yang dihasilkan dari jerami padi merupakan jenis sodium
lignosulfonat karena menggunakan sodium bisulfit (NaHSO3) sebagai agen
pensulfonasinya.
3. N-metil glukamida
N-metil glukamida diperoleh dari reaksi antara asam lemak, metil ester asam
lemak atau trigliserida dengan N-metil glukamina. N-metil glukamida banyak
digunakan sebagai produk farmasi dan biokimia lainnya. N-metil-glukamida
termasuk pada kelompok alkyl-glukamida surfaktan dimana kelompok surfaktan ini
diproduksi dalam jumlah besar sebagai bahan pembersih, contohnya adalah N-
dodekanoil-N metal glukamida. Sintesis N-metil glukamida menggunakan bahan
baku N-metil glukamina dari golongan gula amina.
alkil amina. N-metil glukamina merupakan salah satu senyawa gula amina yang
penting. N-metil glukamina diperoleh dari reaksi glukosa dengan monometil amina.
4. Dietanolamida
Dietanolamida pertama kali diperoleh dengan mereaksikan dua mol
dietanolamina dengan satu mol asam lemak. Senyawa ini diberi nama Kritchevsky
amida sesuai dengan nama penemunya. Bahan baku yang digunakan dalam
produksi dietanolamida dapat berupa asam lemak, trigliserida atau metil ester.
Dietanolamida biasanya diproduksi secara kimia konvensional pada temperatur
150℃ selama 6-12 jam (Herawan,1999). Dari hasil reaksi akan dihasilkan
dietanolamida dan hasil samping berupa sabun amina. Kehadiran sabun amina ini,
tentu saja akan menaikkan pH produk. Pada tahap pemurnian diperlukan pemisahan
produk utama dengan sabun amina.
Alkyl Benzene Sulfonate (ABS) merupakan bahan baku kunci pada industri
deterjen selama lebih dari 40 tahun dan berjumlah kira-kira 50 persen volume total
surfaktan anionik sintetik. Linear Alkyl Benzene Sulfonate (LABS) digunakan
secara luas menggantikan Branch Alkyl Benzene Sulfonate (BABS) dalam jumlah
besar yang ada didunia karena LAS merupakan bahan deterjen yang lebih
biodegradabilitas dibandingkan BAB. Produk umumnya dipasarkan berupa asam
bebas (free acid) atau yang dinetralkan dengan basa kuat seperti sodium
hidroksida yang ditambahkan kedalam slurry, yang umumnya dalam bentuk pasta.
Sebagian besar pasta di produksi pada sprayed-dried menghasilkan serbuk
deterjen. Pasta bisa juga di proses dengan drum-dried menjadi serbuk atau flake
atau spray dried menjadi butir-butir halus yang memiliki densitas rendah. Bentuk
kering LAS digunakan terutama pada industri dan produk kebersihan (Kent and
Riegels, 2007).
Proses sulfonasi dengan tipe batch memiliki empat unit proses dasar untuk
netralisasi antara lain yaitu sulfonation, digestion, dilution, dan phase separation.
Pada tahap sulfonasi, alkyl benzene dan oleum dicampur pada tekanan 1 atm inert.
Reaksi sulfonasi berlangsung dengan eksotermik tinggi.
O
||
Karena metode sintesis ini, di pasaran SLS yang tersedia berupa campuran alkyl
sulfate dengan dodecyl sulfate sebagai komponen utamanya (Amin, 2011)
2.4 Piknometer
Berat jenis suatu zat dapat dihitung yaitu dengan mengukur secara langsung
berat zat dalam piknometer (dengan menimbang) dan volume zat (ditentukan
dengan piknometer). Volume zat padat yang tidak beraturan dapat ditentukan secara
tidak langsung dengan menggunakan piknometer. Bila volume dan berat zat
tersebut telah diketahui, maka dapat dihitung berat jenisnya (Malik, 2008)
Dalam menggunakan piknometer massa suatu zat cair dapat diketahui dari
pengurangan berat piknometer + zat cair dengan berat piknometer kosong. Nilai
massa jenis suatu zat adalah tetap, tidak tergantung pada massa maupun volume zat,
tetapi tergantung pada jenis zatnya, oleh karenanya zat yang sejenis selalu
mempunyai masssa jenis yang sama. Massa jenis zat dapat dihitung dengan
membandingkan massa zat (benda) dengan volumenya. Massa jenis merupakan
salah satu ciri untuk mengetahui kerapatan zat. Pada volume yang sama, semakin
rapat zatnya, semakin besar massanya. Sebaliknya makin renggang, makin kecil
massa suatu benda. Contoh : kubus yang terbuat dari besi akan lebih besar massanya
dibandingkan dengan kubus yang terbuat dari kayu, jika volumenya sama. Contoh:
volume air lebih besar dibanding volume besi, jika massa kedua benda tersebut
sama (Fessenden, 1997)
2.5 Viskositas
Lapisan fluida yang bergerak mempunyai kelajuan sama dengan kelajuan
lempeng yang bergerak, yaitu sebesar v. Lapisan fluida yang diam akan menahan
lapisan fluida di atasnya karena adanya gaya kohesi. Lapisan yang ditahan itu
menahan lapisan di atasnya lagi dan seterusnya sehingga kelajuan setiap lapisan
fluida bervariasi dari nol sampai v. Untuk menggerakkan lempeng diperlukan gaya.
Untuk membuktikannya, dapat dicoba dengan menggerakan sebuah potongan kaca
di atas tumpahan sirup. Semakin kental fluida, semakin besar gaya yang diperlukan
untuk mendorong (Giancoli, 1999)
Viskositas diukur dengan beberapa cara, dalam “viskometer Oswald” waktu
yang diperlukan oleh larutan untuk melewati pipa kapiler dicatat dan dibandingkan
dengan sampel standar (Atkins, 1999)
𝑡. 𝜌
𝑉𝑖𝑠𝑘𝑜𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 = × 𝜇𝑜
𝑡𝑜 . 𝜌𝑜
ke atas namun sekaligus ditarik ke bawah karena adanya aliran cairan (drainage)
akibat gaya gravituasi. Karena ditarik dari 2 arah maka film busa menjadi menipis
sehingga lebih mudah pecah (rupture). Disampig itu, ukuran busa yang bervariasi
menyebabkan adanya gradient tekanan gas. Akibatnya dapat terjadi difusi gas,
dimana busa-busa kecil akan bergabung menjasi busa yang lebih besar (kaolesen).
Ukuran busa yang semakin besar berarti tegangan permukaan seakin besar,
sehingga semakin mudah pecah (Tadros, 2005)
Agregat dari bulatan fase dalam cenderung naik untuk kr permukaan atau
jatuh ke dasar emulsi. Terjadinya bulatan-bulatan tersebut disebut creaming.
Upward creaming terjadi jika fase dispers memiliki kerapatan lebih rendah dari
pada medium dispers, sedangkan downward creaming terjadi jika fase dispers
memiliki kerapatan lebih tinggi dari pada medium dispers (Sinko, 2011). Kecepatan
creaming dapat di kurangi dengan cara mengecilkan ukuran droplet, menyamakan
berat jenis dari dua fase, dan menambah viskositas medium dispers. Creaming
Koalesens terjadi ketika dua droplet saling mendekati satu sama lain dan
tidak ada pembatas di antara kedua droplet tersebut (Kim, 2004). Peristiwa itu dapat
mengarah kepada penggabungan bulatan-bulatan fase dalam dan pemisahan emulsi
tesebut menjadi suatu lapisan. Peristiwa itu disebut breaking dan emulsinya disebut
“pecah” atau “retak” (cracking), diamana sifatnya adalah irreversible karena lapisan
pelindung di sekitar bulatan fase terdispersi tidak ada lagi (Ansel, 2005).