BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Semula shampo dibuat dari berbagai jenis bahan yang diperoleh dari sumber
alam, seperti sari biji rerak, sari daging kelapa, dan sari abu merang (sekam padi).
Shampoo yang menggunakan bahan alam sudah banyak ditinggalkan, dan diganti dengan
shampo yang dibuat dari detergen, yakni “zat sabun” sintetik, sehingga saat ini jika orang
berbicara mengenai shampo yang dimaksud adalah shampo yang dibuat dari detergen.
Dan untuk shampo yang dibuat dari bahan lain, biasanya diberikan penjelasan seperlunya,
misalnya shampo merang (Firdaus, 1992).
shampoo harus tidak terpengaruh oleh wadahnya atau pun jasad renik dan dapat
mempertahankan bau parfum yang ditambahkan kedalamnya.
Detergen yang digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan shampoo
memiliki sifat fisika kimia tersendiri yang umumnya tidak sepenuhnya searah dengan ciri
sifat yang dikehendaki untuk shampoo. Umumnya, detergen dapat melarutkan lemak dan
daya pembersih kuat, sehingga jika digunakan untuk keramas rambut, lemak rambut
dapat hilang, rambut menjadi kering, kusam, dan mudah menjadi kusut, menyebabkan
sukar diatur (Firdaus, 1992).
Menurut Firdaus, (1992) sifat detergen yang terutama dikehendaki untuk
shampoo adalah kemampuan membangkitkan busa. Jenis detergen yang paling lazim
diedarkan tergolong alkil sulfat, terutama laurilsulfat, juga alkohol monohidrat dengan
rantai C 10 – 18.Di samping itu detergen yang digunakan untuk pembuatan shampoo,
harus memiliki sifat berikut :
1. Harus bebas reaksi iritasi dan toksik, terutama pada kulit dan mata atau mukosa
tertentu.
2. Tidak boleh memberikan bau tidak enak, atau bau yang tidak mungkin ditutupi
dengan baik.
3. Warnanya tidak boleh menyolok.
2.2 Surfaktan
2.2.1 Pengertian Surfaktan
Surfaktan merupakan suatu molekul yang sekaligus memiliki gugus hidrofilik
dan gugus lipofilik sehingga dapat mempersatukan campuran yang terdiri dari air dan
minyak. Surfaktan adalah bahan aktif permukaan. Aktivitas surfaktan diperoleh karena
sifat ganda dari molekulnya. Molekul surfaktan memiliki bagian polar yang suka akan air
(hidrofilik) dan bagian nonpolar yang suka akan minyak/lemak (lipofilik). Bagian polar
molekul surfaktan dapat bermuatan positif, negatif atau netral. Sifat rangkap ini yang
menyebabkan surfaktan dapat diadsorbsi pada antarmuka udara-air, minyak-air dan zat
padat-air, membentuk lapisan tunggal dimana gugus hidrofilik berada pada fase air dan
rantai hidrokarbon ke udara, dalam kontak dengan zat padat ataupun terendam dalam fase
minyak. Umumnya bagian non polar (lipofilik) adalah merupakan rantai alkil yang
panjang, Sementara bagian yang polar (hidrofilik) mengandung gugus hidroksil
(Salanger, 2002).
Beberapa kegunaan surfaktan antara lain yaitu : deterjen, pelembut kain,
pengemulsi, cat, adesif, tinta, anti–fogging, remidiasi tanah, pendispersi, pembasah, ski
wax dan snowboard wax, daur ulang kertas, pengapungan, pencuci, zat busa, penghilang
busa, laxatives, formula agrokimia, herbisida dan insektisida, coating, sanitasi, shampo
pelembut rambut, spermicide, pemipaan pemadam kebakaran, pendeteksi kebocoran, dan
lain-lain (Salanger, 2002).
2.2.2 Klasifikasi Surfaktan
Sifat dari pada zat aktif permukaan bergantung pada macamnya gugus hidrofil,
yang dapat dibagi sebagai berikut :
a. Surfaktan anionik
Surfaktan anionik merupakan surfaktan dengan bagian aktif pada permukaannya
mengandung muatan negatif. Kelemahan surfaktan anionik adalah sensitif terhadap
adanya mineral dan perubahan PH. Contoh dari jenis surfaktan anionik adalah Linier
Alkyl Benzene Sulfonat (LAS), Alkohol Sulfat (AS), Alkohol Eter Sulfat (AES),Alpha
Olefin Sulfonat (Bailey, 1996).
b. Surfaktan kationik
Surfaktan ini merupakan surfaktan dengan bagian aktif pada permukaannya
mengandung muatan positif. Surfaktan ini terionisasi dalam air serta bagian aktif pada
permukaannya adalah bagian kationnya. Surfaktan kationik banyak digunakan sebagai
bahan antikorosi, antistatik, flotation collector, pelunak kain, kondisioner. Contoh jenis
surfaktan ini adalah ammonium kuarterner. Kelemahan surfaktan jenis ini adalah tidak
memiliki kemampuan deterjensi bila diformulasikan kedalam larutan alkali (Malik,
1975).
c. Surfaktan nonionik
Surfaktan yang tidak terionisasi di dalam air adalah surfaktan nonionik yaitu
surfaktan dengan bagian aktif permukaanya tidak mengandung muatan apapun,
contohnya : alkohol etoksilat, polioksietilen (R-OCH 2CH) (Marrakchi S & Maibach HI,
2006).
d. Surfaktan ampoterik
Surfaktan ini dapat bersifat sebagai nonionik, kationik, dan anionik di dalam
larutan, jadi surfaktan ini mengandung muatan negatif maupun muatan positif pada
bagian aktif pada permukaannya. Contohnya: Sulfobetain (RN+(CH3)2CH2CH2SO3-
(Malik, 1975).
Alkylbenzene merupakan bahan baku dasar untuk membuat Linear Alkyl benzene
sulfonate. Linear alkylbenzene sulfonate disebut juga dengan nama Acid Slurry. Acid
slurry merupakan bahan baku kunci dalam pembuatan serbuk deterjen sintetik dan
deterjen cair. Alkylbenzene disulponasi menggunakan asam sulfat, oleum atau SO3(g).
Linear Alkylbenzene sulfonate diperoleh dengan variasi proses yang berbeda pada bahan
yang aktif, bebas asam, warna maupun viskositas. Bahan baku utama untuk membuat
Acid Slurry adalah Dodecyl Benzene, Linear Alkyl Benzene. Nama Kimia Acid Slurry
D.D.B.S. adalah Dodecyl Benzene Sulphonate dan L.A.B.S dan Linear Alkyl Benzene
Sulphonate (Marrakchi S & Maibach HI, 2006).
Natrium lauril sulfat, dalam sains disebut sebagai sodium dodecyl sulfat (SDS)
atau Duponol, umumnya digunakan dalam menyusun protein untuk elektroforesis dalam
teknik SDS-PAGE. Senyawa ini bekerja dengan mengganggu ikatan non-kovalen dalam
protein, sehingga protein mengalami denaturing, dan menyebabkan molekul kehilangan
bentuk asli mereka (konformasi). SLS disintesis dengan mereaksikan lauril alkohol
dengan asam sulfat untuk menghasilkan hidrogen lauril sulfat yang kemudian dinetralisir
melalui penambahan natrium karbonat. Karena metode ini sintesis, SLS komersial yang
tersedia sebenarnya tidak sulfat dodesil murni tetapi campuran alkil sulfat dengan sulfat
dodesil sebagai komponen utama. SLS dapat memperburuk masalah kulit pada individu
dengan hipersensitivitas kulit kronis (Marrakchi S & Maibach HI, 2006).
sp., Rhodococcus erythropolis, Torulopsis sp. dan lain-lain. Ada 3 glikolipid yang paling
dikenal, yaitu rhamnolipid, trehalolipid dan sophorolipid (Rosen, 1978).
e. Metil Ester Sulfonat
Metil ester sulfonat merupakan surfaktan anionik yaitu surfaktan yang
bermuatan negatif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan (surface active).
Menurut Watkins (2001), jenis minyak yang dapat digunakan sebagai bahan baku
pembuatan metil ester sulfonat (MES) adalah kelompok minyak nabati seperti minyak
kelapa, minyak sawit, minyak inti sawit, stearin sawit, minyak kedelai atau tallow. Metil
ester sulfonat dari minyak nabati yang mengandung atom karbon C 10, C12, dan C14 biasa
digunakan untuk light duty diswashing detergent, sedangkan MES dari minyak nabati
dengan atom karbon C16-C18 dan tallow biasa digunakan untuk detergen bubuk dan
detergen cair (Rosen, 1978).
Metil ester sulfonat (MES) telah mulai dimanfaatkan sebagai bahan aktif pada
produk-produk pembersih (washing and cleaning products). Pemanfaatan surfaktan jenis
ini pada beberapa produk adalah karena metil ester sulfonat memperlihatkan karakteristik
dispersi yang baik, sifat detergensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan
yang tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat, ester asam lemak C 14, C16, dan C18
memberikan tingkat detergensi terbaik serta bersifat mudah didegradasi (good
biodegradability). Jika dibandingkan petroleum sulfonat, surfaktan MES menunjukkan
beberapa kelebihan diantaranya yaitu pada konsentrasi MES yang lebih rendah daya
detergensinya sama dengan petroleum sulfonat, dapat mempertahankan aktivitas enzim
yang lebih baik, toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium, dan kandungan
garam (disalt) lebih rendah (Rosen, 1978)..
Pada dasarnya metil ester sulfonat (MES) digunakan sebagai surfaktan anionik
pengganti LAS dan FAES (Fatty alcohol ether sulfate). Metil ester sulfonat (MES)
diklaim memiliki beberapa manfaat diantaranya sifat deterjensinya baik pada konsentrasi
rendah, beban terhadap lingkungan lebih rendah, merupakan pasokan yang baik untuk
bahan yang berkualitas tinggi (Rosen, 1978)..
Bentuk dari produk metil ester sulfonat (MES) menurut Rosen, (1978)
sangatlah penting, karena adanya kesulitan khusus dalam memformulasi metil ester
sulfonat (MES) ke dalam sistem alkalin yang mengandung air. Metil ester sulfonat
(MES) memperlihatkan stabilitas hidrolitik yang kurang baik pada pH yang tinggi
dibandingkan dengan surfaktan anionik yang umum seperti linear alkilbenzen (LAB)
sodium sulfonat. Sebagai contoh, ketika formulasi heavy duty laundry tertentu
mengandung metil ester sulfonat (MES) di spray dried, maka fraksi metil ester sulfonat
(MES) yang besar akan didegradasi ke bentuk di-salt selama proses pengeringan,
sehingga hasil produknya memiliki stabilitas umur simpan yang buruk.
Daya detergensi linear alkilbenzen sulfonat (LAS), alkohol sulfat (AS) dan MES
selain dipengaruhi oleh panjang rantai karbon juga dipengaruhi oleh kesadahan air yang
digunakan. Semakin panjang rantai karbon asam lemak, maka daya detergensinya
semakin meningkat. Metil ester sulfonat (MES) palmitat (C 16) mempunyai daya
detergensi paling tinggi dibandingkan dengan LAS dan AS yaitu sekitar 76%, sedangkan
LAS dan AS masing-masing hanya sebesar 70% dan 60%. Semakin tinggi kesadahan air
yang digunakan, maka daya detergensi LAS, AS, dan MES semakin rendah. Pada tingkat
kesadahan 360 ppm CaCO3 daya detergensi dari MES lebih tinggi (56%) dibandingkan
dengan LAS (20%) dan AS (38%) (Rosen, 1978).
f. N-metil glukamida
N-metil glukamida diperoleh dari reaksi antara asam lemak, metil ester asam
lemak atau trigliserida dengan N-metil glukamina. N-metil glukamida banyak digunakan
sebagai produk farmasi dan biokimia lainnya. N-metil-glukamida termasuk pada
kelompok alkyl-glukamida surfaktan dimana kelompok surfaktan ini diproduksi dalam
jumlah besar sebagai bahan pembersih, contohnya adalah N dodekanoil-N-
metilglukamida (Bailey, 1996).
Penelitian ini menggunakan asam laurat sebagai sumber asam lemak. Kedua
substrat yaitu asam laurat dan n-metil glukamina mempunyai polaritas dan kelarutan
yang berbeda, asam laurat larut dalam pelarut hidrofilik sedangkan N-metil glukaminase
dikit larut. Sebagai pelarut pada reaksi amidasi ini dipilih isopropanol, tert butanol,tert-
amil alkohol dan n-heksana karena alkohol ini dapat melarutkan N-metil glukamina,
merupakan pelarut yang non toksik serta bukan merupakan substrat lipase.Katalis lipase
yang immobil dari Candida antarctica dan Rhizomucor meihei dapat digunakan karena
enzim immobilisasi ini mudah diperoleh, stabil dalam pelarut sertamudah direcovery
(Bailey, 1996).
permukaan tidak bisa untuk mengukur tegangan permukaan tidak bisa untuk mengukur
tegangan antarmuka (Kent dan Riegels, 2007).
2. Metode tersiometer Du-Nouy
Metode cincin Du-Nouy bisa digunakan untuk mengukur tegangan permukaan
ataupun tegangan antarmuka. Prinsip dari alat ini adalah gaya yang diperlukan untuk
melepaskan suatu cincin platina iridium yang diperlukan sebanding dengan tegangan
permukaan atau tegangan antarmuka dari cairan tersebut (Salanger, 2002).
Pada dasarnya tegangan permukaan suatu zat cair dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya suhu dan zat terlarut. Dimana keberadaan zat terlarut dalam suatu cairan akan
mempengaruhi besarnya tegangan permukaan terutama molekul zat yang berada pada
permukaan cairan berbentuk lapisan monomolekular yang disebut dngan molekul
surfaktan (Salanger, 2002).
Faktor-faktor yang menpengaruhi tegangan permukaan:
1. Suhu
Tegangan permukaan menurun dengan meningkatnya suhu, karena meningkatnya
energi kinetik molekul (Fessenden,1995).
2. Zat terlarut
Keberadaan zat terlarut dalam suatu cairan akan mempengaruhi tegangan
permukaan. Penambahan zat terlarut akan meningkatkan viskositas larutan, sehingga
tegangan permukaan akan bertambah besar. Tetapi apabila zat yang berada
dipermukaan cairan membentuk lapisan monomolekular, maka akan menurunkan
tegangan permukaan, zat tersebut biasa disebut dengan surfaktan (Fessenden,1995).
3. Surfaktan
Surfaktan (surface active agents), zat yang dapat mengaktifkan permukaan, karena
cenderung untuk terkonsentrasi pada permukaan atau antarmuka. Surfaktan
mempunyai orientasi yang jelas sehingga cenderung pada rantai lurus. Shampo
merupakan salah satu contoh dari surfaktan (Fessenden, 1995).
11
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
3.1 Bahan
1. Aquadest
2. LABS
3. NaOH
4. Parfum
5. Pewarna makan
6. Shampo motor kit
7. SLS
3.2 Alat-alat
1. Botol aqua
2. Gelas ukur 100 ml
3. Labu ukur 100 ml
4. Pengaduk plastik
5. Piknometer 10 ml
6. Spatula
7. Timbangan analitik
8. Viskometer Ostwald
9. Wadah plastik
3.3 Prosedur Percobaan
3.3.1 Pembuatan Larutan NaOH
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada uji densitas sampel pertama memiliki densitas 1,049g/ml, sampel kedua
1,026g/ml dan shampo kit sebagai pembanding 1,041g/ml. Dari uji densitas sampel
pertama memiliki densitas yang lebih besar dan sampel keduamemiliki densitas yang
lebih kecil. Pada uji viskositas sampel pertama memiliki viskositas 0,026g/ml.s, sampel
kedua memiliki viskositas 0,013g/ml.s dan viskositas shampo kit 0,188g/ml. Dari uji
viskositas shampo kit memiliki nilai kekentalan yang lebih besar, dan sampel kedua
memiliki nilai kekentalan yang lebih kecil.
Pada tes aplikasi 10 ml air dan 20 ml minyak dicampurkan pada gelas ukur
kemudian ditambahkan 3 tetes shampo sampel pertama, sampel kedua, dan kit. Waktu
yang dibutuhkan sampel pertama untuk mengikat minyak hingga ke dasar 10 detik,
sampel kedua 15 detik dan shampo kit 8 detik. Dari tes aplikasi shampo kit memiliki
waktu yang lebih cepat untuk mengikat minyak hingga kedasar gelas ukur, hal ini
menandakan shampo kit memiliki kemampuan mengikat minyak yang lebih baik.
Sedangkan shampo sampel kedua memiliki kemampuan mengikat
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.2 Kesimpulan
1. Dari hasil praktikum sampel pertama memiliki densitas 1,049g/ml, sampel kedua
1,026g/ml dan shampo kit sebagai pembanding 1,041g/ml.
2. Pada uji viskositas sampel pertama memiliki viskositas 0,026g/ml.s, sampel
kedua memiliki viskositas 0,013g/ml.s dan viskositas shampo kit 0,188g/ml.
3. Waktu yang dibutuhkan sampel pertama untuk mengikat minyak hingga ke dasar
10 detik, sampel kedua 15 detik dan shampo kit 8 detik.
5.2. Saran
Ketika membuat larutan LABSNa, pengadukan harus dilakukan secara perlahan, serta
ketika pembuatan larutan SLS pengadukannya juga harus perlahan dan jangan sampai
timbul busa
Daftar Pustaka
Bailey, A. E.1996. “Industrial Oil and Fat Products”. Interscholastic Publishing, Inc.
New York.
Fessenden, J. R. and Fessenden, S. J., 1995, Kimia Organik, a.b. Aloysius Handayana
Pudjaatmaka, Ph.D, Jilid 2, edisi 3, Jakarta: Erlangga
Firdaus, N., 1992, Studi Pendahuluan Detergensi dan Beberapa Faktor yang
Mempengaruhi, Skripsi Jurusan Kimia FMIPA UNDIP.
Kent and Riegels. 2007. Paper Recycling. Vol. 14. No. 1. November 2007, USA.
Malik, R. K., 1975, Acid, Slurry and Detergent Powder Industry, Small Industry
Research Institute, Roop Nagar Delhi
Rosen, J. M., 1978, Surfactant and Interfacial Phenomena, John Willey and sons, New
York.
Salanger, J. L., 2002, Surfactant Types and Uses, Laboratory of Formulating Interface
Rheologi and Process, Universidad De.
LAMPIRAN B
PERHITUNGAN
1. Shampo I
Diketahui :
LABS : NaoH = 40 : 60
Massa SLS = 30 gr
Ditanya :
b. Densitas Shampo
c. Viskositas
Jawab :
40
a. Volume LABS = ×150 ml
100
= 60 ml
60
Volume Naoh = ×150 ml
100
= 90 ml
m
b. Densitas =
V
10.49
=
10
gr
= 1.049
ml
ρ
c. Viskositas =
t
gr
1.049
= ml
40 s
gr
= 0.026
ml . s
2. Shampo II
Diketahui :
LABS : NaoH = 40 : 60
Ditanya :
b. Densitas Shampo
c. Viskositas
Jawab :
40
a. Volume LABS = ×200 ml
100
= 80 ml
60
Volume NaoH = ×200 ml
100
= 120 ml
m
b. Densitas =
V
10.26
=
10
gr
= 1.026
ml
ρ
c. Viskositas =
t
gr
1.026
= ml
77 s
gr
= 0.013
ml . s
25.45 gr −15.04 gr
=
10
gr
= 1.041
ml
ρ
Viskositas pada kit =
t
gr
1.041
= ml
5.55 s
gr
= 0.188
ml . s
LAMPIRAN C
DOKUMENTASI