Anda di halaman 1dari 4

Imam Ali bin Abi Thalib pun pernah menyatakan: “Kalau nikah mut’ah tidak juga diharamkan,

niscaya orang-orang sudah berzina.” Riwayat yang dinukil oleh al-Baihaqi dari Ja’far bin Muhammad
ketika ditanya tentang nikah mut’ah pun menjelaskan soal ini. Ketika ditanya tentang nikah mut’ah,
Ja’far menjawab: “Nikah jenis itulah yang disebut zina.”1

Penghalalan sesuatu karena desakan kondisi darurat memang salah satu metode legislasi hukum
yang dapat diterima. Syaratnya, kondisi darurat itu harus diukur betul dengan suatu penilaian yang
akurat. Dalam soal ini, tidak ada sosok yang paling bertanggungjawab dan sangat jeli dalam menaksir
dan menetapkan suatu hukum melebihi Rasulullah. Beliau adalah sosok yang tidak melandaskan tutur
kata dan perbuatannya berdasarkan pertimbangan hawa nafsu belaka.

Perdefinisi, nikah mut’ah adalah kontrak pernikahan yang diajukan seorang laki-laki kepada
perempuan untuk suatu masa tertentu agar ia dapat menikmati perempuan tersebut dengan imbal
balas materi tertentu pula. Jika tempo yang sudah ditetapkan bersama selesai, maka berakhir pula
ikatan pernikahan tersebut. Para fuqaha Sunni satu suara untuk mengatakan haramnya nikah mut’ah
secara mutlak. Mereka melandaskan alasannya dengan hadis Rasulullah ketika Haji Perpisahan: “Wahai
sekalian manusia, dulu aku pernah mengizinkan kalian untuk melakukan mut’ah, tapi ketahuilah, kini
Alah telah mengharamkannya sampai hari kiamat!”2

Meski di lingkungan Sunni nikah mut’ah dapat dikategorikan bagian dari zina, tetapi para ulama
umumnya juga enggan menerapkan hukum rajam bagi pelakunya. Para ulama Syiah justru menghalalkan
mut’ah dengan menafsirkan ayat-ayat al-Quran tentang mut’ah dengan interpretasi yang
membolehkannya. Mereka juga menolak prinsip penganuliran hukum (naskh) al-Quran oleh Sunnah
Nabi.

Sikap ini ditanggapi fuqaha Sunni dengan penafsiran al-Quran dari sudut pandang berbeda, serta
berbagai argumen tentang validnya pembatalan hukum al-Quran dengan Sunnah Nabi. Kalangan Sunni
misalnya merujuk ketetapan Rasulullah tentang hukuman rajam bagi pelaku zina walau al-Quran tidak
mengatakan sanksinya kecuali cambuk. Al-Quran pun tidak pernah menyebutkan rajam sebagai
hukuman zina. Ini adalah persoalan khilafiyah yang tidak akan kita paparkan kepada pembaca agar tidak
terlalu berkepanjangan.

Hampir semua pria pada masa itu juga mempunyai gundik. Di antara mereka adalah Ali bin Abi
Thalib sosok sangat asketis yang sudah cukup puas dengan 19 orang gundik. Padahal, asketisme Ali
dengan sifat wara dan penolakannya terhadap kemewahan dunia, sudah tidak perlu dibuktikan lagi. Ada
pula yang punya gundik puluhan, ratusan, bahkan ribuan. Namun, lingkungan Syiah pun masih
membolehkan mut’ah setelah adanya legalitas pergundikan. Pembolehan ini membuat seorang laki-laki
dimungkinkan untuk memperistri seorang perempuan dalam tempo tertentu, baik satu hari, sebulan,
atau beberapa bulan saja. Sebagai imbalannya, ia harus menyerahkan uang kontrak sejumlah
kesepakatan antar mereka. Lalu setelah selesai masa kontrak, ia boleh menceraikan perempuan
tersebut tanpa rasa berdosa dan tanpa merasa iba.

1
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah. Beirut: Darul Kitab al-Arabi, tt. hal. 44.
2
Ibid, hal. 42.
Fenomena nikah mut’ah ini masih dapat dianggap legal jika kita melanggar konsensus Sunni dan
berpegang kepada fatwa ulama Syiah. Setelah itu barulah kita bertanya: apakah orang masih
memerlukan zina setelah terbukanya pintu pergundikan dan mut’ah? Apakah masuk akal bagi orang-
orang yang hidup di lingkungan seperti ini untuk menyatakan bahwa hukum rajam mengandung unsur
sadisme?

Syarat-syarat dakwaan atas tindak perzinahan yang ditetapkan oleh kitab-kitab fikih pun justru
tak memungkinkan diberlakukannya sanksi atas mereka. Syarat yang ketat tersebut mengharuskan
adanya empat orang saksi laki-laki yang adil dan terpercaya, tidak punya reputasi buruk dan tidak
pernah melakukan perbuatan dosa. Perempuan dan orang-orang fasiq tidak diterima kesaksiannya.

Keempat orang saksi itu pun secara keseluruhan harus bersaksi tentang telah terjadinya praktik
perzinahan. Kesaksian langsung tentu tidak mudah karena mensyaratkan mereka sebagai pelaku aksi
perzinahan juga. Lebih dari itu, mereka tidak boleh rabun mata sehingga dapat benar-benar dan jelas
menyaksikan aktivitas tersebut. Apabila salah seorang di antara mereka memberi kesaksian berbeda
atau mencabut kembali dakwaannya, maka saksi-saksi yang tersisa justru akan dikenakan sanksi qazaf,
yaitu 80 kali cambukan.

Mungkin karena inilah kita sangat kesulitan menelusuri catatan sejarah tentang penerapan
hukum rajam bagi kasus perzinahan. Bahkan, satu-satunya kasus yang nyaris diberlakukannya hukum
rajam terjadi pada masa Umar. Itu pun berakhir dengan dicambuknya para saksi sendiri. Umar pribadi
mungkin meyakini peristiwa itu benar-benar terjadi. Buktinya, ia memecat sang pelaku yang kebetulan
adalah salah seorang gubernurnya sendiri. Peristiwa ini juga dapat memberi pelajaran penting: manusia
tetaplah manusia juga, di manapun mereka berada.

Namun yang menggelikan, orang-orang melupakan bahwa sistem perundang-undangan Mesir


sebetulnya telah menyediakan sanksi hukum atas tindak-tindak kejahatan yang tidak diatur oleh syariat.
Ini bukan berarti syariat itu sendiri lemah. Akan tetapi, masyarakat modern memang lebih
membutuhkan aturan-aturan hukum yang lebih canggih dan lebih rumit dalam detilnya dibandingkan
ketentuan syariat yang masih mentah. Ketidakmampuan menegakkan hukum yang sudah ada tidak
dapat kita persalahkan begitu saja sembari menyelewengkan isinya dengan tuntutan penerapan hukum
syariat. Yang justru harus kita lakukan adalah menyelami tujuan pokok atau filosofi hukum syariat dan
tidak bersikap kaku terhadap doktrin-doktrin agama. Yang perlu kita perbuat adalah menghidupkan
kembali semangat Umar yang telah mengajarkan tentang pentingnya menangkap semangat dan
dinamika zaman lewat mekanisme ijtihad dan meninggalkan makna literal teks agama kalau memang
tidak mungkin lagi diterapkan.

Artinya, jika semangat dasar hukum agama untuk mengatasi kejahatan sudah dapat
diberlakukan lewat jalur hukum positif, maka kita tidak perlu lagi menolak hukum positif yang sudah
menjadi kesepakatan bersamaitu. Dengan demikian, teks agama akan tetap terasa hidup dan tidak akan
mengalami pembusukan akibat penafsiran-penafsiran yang kaku dan literal. Inilah tujuan tertinggi
agama Islam dan esensi dari roh Islam yang sesungguhnya.
Khalifah-khalifah yang memperoleh petunjuk Allah, dan mendapat bimbingan ke jalan yang lurus
itu, tentu akan sangat sulit dikritisi dan dibongkar aspek-aspek negatif dari perilakunya. Pemahaman-
pemahaman yang dikembangkan seperti itulah yang secara tidak langsung melegitmasi tindakan
khalifah meski bertentangan dengan nilai-nilai agama. Berkat tradisi seperti itu, kesemena-menaan
berubah menjadi kebiasaan pengusa, otoritarianisme dijalankan atas nama agama. Mudah-mudahan
dengan ini kita tersadar bahwa agama sangat suci untuk sekadar dijadikan ideologi. Agama tidak perlu
dipolitisasi, tetapi hanya perlu dijadikan pegangan moral dalam kehidupan bernegara dan berpolitik.

Dari paparan kita yang panjang tentang masa Abbasiyah ini, kita dapat menyimpulkan beberapa
hal.

Kesimpulan Pertama

Sistem khilafah yang kita sematkan padanya kata “Islamiyyah”, pada hakikatnya tak lebih dari
sistem kekuasaan monarki absolut Arab-Quraisy. Ia tidak menampilkan apa-apa dari Islam kecuali
namanya. Dan seruan untuk menghidupkannya lagi, sebenarnya lebih pas disetarakan dengan ambisi
nasionalisme Arab untuk mempersatukan beberapa wilayah Arab, daripada ambisi untuk menegakkan
negara teokratis ala Islam. Jika dasarnya itu, kita dapat menerimanya sebagai seruan politik an sich. Jika
agendanya mengajak persatuan, dasarnya mestilah kepentingan semua. Dan bila ajakannya berupa
kampanye untuk saling melengkapi, maka pijakannya haruslah prinsip-prinsip peradaban yang rasional.
Dan bila ia tetap ingin mengambil inspirasi dari masa lalu, hendaklah itu dilakukan lewat analisis yang
cermat terhadap geografi sejarah.

Kesimpulan Kedua

Islam adalah agama-non-negara. Orang-orang yang tidak sependapat dengan premis ini
hendaklah menunjukkan bukti-bukti sebaliknya dari argumen sejarah. Bagi kita tidak ada argumen yang
lebih telak daripada sejarah. Jika mereka masih bersikeras memperjuangkan Islam sebagai negara,
hendaklah mereka memaparkan cara-cara menegakkan negara-agama itu. Sebab bagi kita, tidak ada
gagasan yang lebih rancu dibandingkan kampanye “Islam adalah agama dan negara, mushaf dan
pedang”. Kita juga berpendapat bahwa negara selalu menjadi beban bagi Islam, bahkan mengebiri, dan
bukan justru menjadi nilai tambah bagi Islam. Kita tidak perlu menjelaskan preposisi ini lagi setelah
paparan kita yang panjang-lebar sebelumnya.

Kesimpulan Ketiga

Selalu ada perbedaan yang esensial antara manusia dengan hewan. Yang pertama selalu belajar
dari pengalaman-pengalamannya. Akumulasi dari pengalamannya itulah yang lalu dihimpun di dalam
suatu wadah yang disebut sebagai “wawasan” (al-tsaqafah).

Kesimpulan Keempat

Ketika kita teliti dalam membaca sejarah Islam, kita segera akan menyadari kenyataan bahwa
kehidupan masyarakat kita dewasa ini jauh lebih maju daripada sebelumnya dengan ukuran apapun,
bahkan pun itu dalam standar moralitas. Masyarakat kita dewasa ini jauh lebih maju dan lebih humanis
terutama dalam aspek hubungan antara pemimpin dengan rakyatnya. Dan untuk soal itu, kita telah
berhutang banyak kepada pencapaian peradaban kemanusiaan yang tidak pernah bertentangan dengan
esensi agama. Kita juga telah berhutang banyak kepada kemajuan hak-hak asasi manusia yang juga tidak
berlawanan dengan hak-hak Islam.

Kesimpulan Kelima

Sejarah selalu mengulang dirinya; seakan-akan tidak ada hal baru di dalam sejarah. Sungguh pun
demikian, kita terkadang tidak juga kunjung mampu menangkap pesan-pesan utamanya. Tak jarang, kita
masih saja lebih memfokuskan diri pada aspek-aspek yang paling remeh dari sejarah, terutama ketika
menelaahnya dari sudut pandang agama. Padahal, untuk mampu menelaah dan memetik pelajaran dari
sejarah, kita seharusnya berupaya menjauhkan diri dari kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat kaum
ekstremis. Terutama tatkala mereka mengajak kita menggunakan metode ‘fotokopi’ sejarah. Karena itu,
saya mengajak pembaca untuk menerjemahkan peristiwa-peristiwa sejarah itu ke dalam ungkapan dan
gaya modern agar kita dapat memetik pelajarannya.

Kesimpulan Keenam

Sesungguhnya pertumbuhan Jamaah Islamiyyah dan aliran-aliran politik keagamaan yang


ekstrem telah begitu banyak memengaruhi sektor pendidikan, pengajaran, dan sarana informasi
masyarakat kita. Itu berakibat pada bergantinya kegiatan olah-pikir (al-tafkir) menjadi pengarahan (al-
taujih), menyempitnya orientasi dan paradigma pendidikan, serta maraknya upaya memperlakukan
suatu versi kebenaran sebagai kebenaran yang utuh.

Kesimpulan Ketujuh

Islam sesungguhnya sedang berada di persimpangan jalan. Satu jalan sedang mengarahkan kita
kepada disharmoni dan konflik berdarah akibat kelalaian dan sempitnya wawasan kita. Dan di atas
segalanya, ini adalah akibat dari tidak munculnya upaya-upaya pencerahan. Sementara jalan lainnya
mempertemukan Islam dengan dunia modern. Jalan ini sesungguhnya sangat ramah, dan rute satu-
satunya adalah upaya-upaya pencerahan, menyingkap terobosan-terobosan baru, dan memperluas
cakrawala pemikiran.

Kesimpulan Kedelapan

Detil-detil peristiwa dan kejadian yang kita paparkan sesungguhnya tidaklah terlalu penting.
Yang lebih penting kita kembangkan adalah sebuah metode berpikir yang memungkinkan akal pikiran
bekerja, menganalisis, lalu mengambil kesimpulan. Yang tidak kalah penting adalah mengembangkan
keberanian untuk mengungkap fakta-fakta sejarah secara proporsional. Untuk soal ini, saya tidak sedang
berobsesi untuk menjadi pelopor. Semua yang kita lakukan ini tak lebih karena dorongan rasa cinta
kepada agama kita, kesetiaan kepada bangsa, dan pengharapan besar akan masa depan.

Anda mungkin juga menyukai