Anda di halaman 1dari 13

1.

Diskriminasi Agama yang Tak Kunjung Henti

Arie Riswandy, CNN Indonesia | Senin, 20/10/2014 07:25 WIB

Jakarta, CNN Indonesia -- Di tengah bising suara kendaraan bermotor melintas, Widyaningsih
Paulus tengah khusyuk memanjatkan doa. Tangan kanannya menggenggam alkitab. Tangan
kirinya memegang payung untuk melindungi diri dari terik matahari yang menyengat.

Widyaningsih adalah satu dari puluhan jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin yang rutin
menggelar kebaktian di depan Istana Negara setiap dua pekan sekali. Mencoba mengetuk hati
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyelesaikan persoalan mereka.

Selama lebih lima tahun terakhir jemaat GKI Yasmin terombang-ambing dalam ketidakpastian
hukum atas penyegelan dan penutupan gedung gereja mereka oleh Pemerintah Kota Bogor.

"Hak kami dipasung. Negeri ini negeri hukum, tapi kami merasakan hukum itu tidak ada," kata
Widyaningsih.

Juru bicara GKI Yasmin, Bona Sigalingging menjelaskan penyegelan gedung GKI Yasmin bukan
karena gereja itu tak punya Izin Mendirikan Bangunan (IMB). GKI Yasmin menurut Bona telah
mengantongi IMB sejak tahun 2006, yang diberikan oleh Walikota Bogor saat itu, Diani Budiarto.

Namun pada 2008, Diani kemudian membekukan dan mencabut IMB bangunan GKI Yasmin
karena berbagai alasan yang kerap berubah dari waktu ke waktu.

Bona mengungkapkan pada awalnya Pemkot Bogor menyegel gereja karena menilai bahwa
keberadaan GKI Yasmin yang berlokasi di Perumahan Taman Yasmin menimbulkan keresahan
masyarakat.

Pemkot Bogor kemudian juga menyatakan bahwa pengurus GKI Yasmin melakukan pemalsuan
tanda tangan dalam surat persetujuan warga untuk mendapatkan IMB.

Pemkot Bogor berdalih bahwa IMB yang dikeluarkan walikota Bogor kala itu bukan untuk
pembangunan rumah ibadah, melainkan untuk pembangunan Rumah Sakit Hermina yang
berlokasi di samping gereja.

“Itu konyol. Pengurusan IMB gereja kami lakukan sejak Agustus 2005, sementara RS Hermina
sudah diresmikan sejak Oktober 2002,” kata Bona.

Persoalan pembekuan IMB kemudian dibawa ke ranah hukum dan menemukan titik terang.
Pada 9 Desember 2010, Mahkamah Agung telah mengukuhkan izin pendirian bangunan GKI
Yasmin sah dan legal.

Pemkot Bogor kemudian duduk bersama dan berdiskusi dengan GKI Yasmin di Balai Kota Bogor pada 7
Maret 2011. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh The WAHID Institute, LBH Jakarta, Perhimpunan
Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, dan Human Rights Working Group, Pemkot Bogor
menyatakan telah menerima salinan putusan Mahkamah Agung tertanggal 9 Desember 2010 namun
menyatakan tidak bersedia melaksanakannya.

GKI Yasmin menolak sikap Pemkot Bogor tersebut dan menilai Pemkot Bogor melawan putusan
Mahkamah Agung.

Upaya pencabutan pembekuan IMB gedung GKI Yasmin diperkuat dengan surat rekomendasi
Ombudsman RI yang meminta Walikota Bogor untuk mencabut SK tentang pembekuan IMB dalam waktu
60 hari, atau hingga 18 September 2011.

Namun Walikota Bogor dan Polres Bogor tetap melarang jemaat GKI Yasmin beribadah di dalam gereja
sampai hari ini.

Bona mengungkapkan diskusi dan duduk bersama dengan Pemkot Bogor telah dilakukan berkali-kali,
namun tak juga menemui kata sepakat.

“Pemkot Bogor menawari kami relokasi gereja ke daerah lain namun kami tidak mau karena IMB di
Taman Yasmin sah dan legal,” kata Bona.

Terkait penyelesaian sengketa gedung GKI Yasmin, Walikota Bogor saat ini, Bima Arya, menyatakan
akan segera duduk bersama dengan Menteri Agama untuk menyamakan informasi.

“Ada perbedaan penafsiran keputusan MA, karena beberapa pihak menilai kasus ini terlalu politis,” ujar
Bima kepada CNN Indonesia.

Diskriminasi Agama

Kasus GKI Yasmin hanyalah satu dari sekian banyak kasus diskriminasi agama yang membekap Indonesia
di era pemerintahan Presiden Susilo Yudhoyono.

Dihubungi CNN Indonesia terkait kasus ini, Ketua Komnas HAM, Siti Noor Laila menyatakan persoalan
diskriminasi terhadap pemeluk agama minoritas memang berkisar pada persoalan mendirikan rumah
ibadah baru atupun kebebasan menjalankan ibadah.

“Di daerah Jawa, banyak laporan kelompok Kristen sulit mendapatkan IMB untuk rumah ibadah. Kasus
serupa juga dirasakan umat muslim di bagian timur Indonesia,” kata Siti ketika dihubungi CNN Indonesia
di Jakarta, Jumat (19/9).

Menurut Siti, sebagai penerima penghargaan internsional di bidang HAM, Presiden SBY seharusnya turun
langsung menangani kasus ini, dan tidak hanya menyerahkan kepada pemerintah daerah.

Kasus serupa juga menimpa berbagai pemeluk agama minoritas lain, seperti jemaat HKBP Filadelfia di
Bekasi, Jemaah Ahmadiah Indonesia (JAI) dan penganut keyakinan Sunda Wiwitan.

Puluhan orang menggelar aksi di depan Mahkamah Agung, Jakarta, Rabu 21 Februari 2011. Hingga SBY turun, kasus ini
belum mendapatkan penyelesaian. (Detik Foto/Khairuddin Safri)

Kepala Badan Penanganan Kasus Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Muhammad Isnur menyatakan hingga
kini jemaah Ahmadiyah yang tersebar di lima provinsi dan 23 kabupaten di penjuru Indonesia tidak dapat
menjalankan ibadah dengan tenang.

Pasalnya, Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang ditandatangani oleh Menteri Agama, Menteri
Dalam Negeri dan Jaksa Agung pada 2008 lalu melarang kegiatan ibadah penganut aliran Ahmadiyah yang
dinilai tidak sesuai dengan ajaran Islam.

“Umat Ahmadiyah diusir dari Cikeusik dan Lombok dan hingga kini tak boleh kembali,” kata Isnur, Kamis
(23/9).

Juru bicara JAI, Zafrullah Pontoh menyatakan sikap penolakan kepada penganut aliran Ahmadiyah masih
berlangsung di sejumlah daerah, termasuk di Bekasi dan di Depok.

“Kami menerima penyerangan verbal dan fisik dan penutupan rumah ibadah di sejumlah daerah, sementara
Pemda setempat diam saja dan cenderung memfasilitasi penyerangan itu,” kata Zafrullah, ketika dihubungi
pada Senin (29/9).
Intoleransi agama juga menimpa pemeluk keyakinan Sunda Wiwitan, keyakinan yang dianut oleh
masyarakat tradisional Sunda, yang sebagian besar berdomisili di Provinsi Banten dan Jawa Barat.

Masyarakat Sunda Wiwitan dan keturunannya menerima perlakuan diskriminatif dari negara semenjak
lahir, karena tidak bisa memiliki surat kelahiran atau akte. Hal serupa juga mereka alami dalam pembuatan
KTP dan buku nikah.

Pasalnya, keyakinan Sunda Wiwitan tidak termasuk ke dalam lima agama yang diakui negara. Penganut
Sunda Wiwitan terpaksa harus memilih salah satu dari lima agama yang diakui, meskipun mereka tidak
menyakininya.

“Negara seolah-olah menjadi wakil Tuhan untuk mengakui suatu agama.,” ujar Dewi Kanti, penganut
kenyakinan Sunda Wiwitan, ketika dihubungi CNN Indonesia pada Kamis (2/10).

Dewi, yang telah menikah selama 12 tahun, hingga kini belum memiliki surat nikah karena berpegang
teguh pada keyakinannya dan menolak mengaku penganut agama lain.

Menurut Dewi, anak-anak dengan keyakinan Sunda Wiwitan memiliki akte kelahiran, namun hanya nama
ibu yang tercantum di situ, tanpa nama ayah.

Anak-anak dengan keyakinan Sunda Wiwitan dipaksa memilih salah satu agama yang diakui, bahkan
memakai jibab pada saat bulan Ramadhan, agar mendapat nilai pada mata pelajaran agama.

“Posisi perempuan penganut Sunda Wiwitan sangat direndahkan oleh negara,” kata Dewi.

Meskipun tak memiliki KTP, Dewi mengaku keluarganya dianjurkan ikut berpartisipasi dalam setiap
pemilihan umum oleh pemerintah setempat.

Harapan Masih Ada

Para pemeluk keyakinan minoritas masih menaruh harapan yang besar kepada pemerintahan untuk
memperbaiki berbagai kasus diskriminasi.

Dewi mengapresiasi langkah Menteri Agama, Lukman Hakim, yang mengundang penganut Sunda
Wiwitan untuk duduk bersama dan berdiskusi.

“Baru kali ini ada yang mau mendengar suara kami,” kata Dewi.

Serupa dengan Dewi, Zafrullah juga menyatakan apresiasinya ketika diundang untuk berdialog dengan
Lukman. Zafrullah kini menanti janji sang Menteri Agama untuk memfasilitasi semua umat beragama agar
dapat beribadah sesuai keyakinannya masing-masing.

Ketika ditemui CNN Indonesia di kantornya, Lukman menyatakan pertemuannya dengan beberapa
perwakilan kelompok minoritas merupakan upaya pemetaan terhadap persoalan diskriminasi umat berama
di Indonesia.

“Pemetaan kasus diperlukan sehingga siapapun yang kemudian menjabat sebagai menteri agama dapat
dengan cepat mengidentifikasi persoalan dan menemukan solusi,” kata Lukman.
Sumber : https://www.cnnindonesia.com

2. Survei: Hampir separuh warga Muslim


AS alami diskriminasi

Hampir setengah dari warga Muslim di AS mengaku telah mengalami diskriminasi dalam
setahun ke belakang, menurut studi Pew Research Center.

Tiga-perempatnya mengatakan bahwa terdapat "banyak" diskriminasi terhadap Muslim,


sedangkan 74% menyebut Presiden Donald Trump "tidak bersahabat" kepada mereka.

Pada studi serupa di tahun 2011, 64% menilai Presiden Barack Obama "bersahabat" kepada
mereka.

Zaineb Abdulla: Inilah cara bela diri bila jilbabmu ditarik orang

Pidana kebencian terhadap Muslim 'naik tajam' setelah Donald Trump menang
Kisah para perempuan Muslim Inggris yang berprestasi di bidang olahraga

Riset tersebut juga menunjukkan bahwa Muslim di AS menjadi semakin liberal secara sosial.

Bagian yang berpendapat masyarakat harus menerima homoseksualitas telah meningkat


hampir dua kali lipat.

Para peneliti mewawancarai 1.001 Muslim AS lewat sambungan telepon. Mereka


menyatakan bahwa responden yang dipilih merupakan sampel representatif.

Lebih banyak diskriminasi - tapi juga dukungan

Setengah dari responden mengatakan hidup sebagai Muslim di AS telah menjadi semakin
sulit dalam beberapa tahun terakhir, sedangkan 48% mengaku mereka secara pribadi pernah
mengalami diskriminasi selama setahun belakangan.

Bentuk diskriminasi paling umum yang mereka sebutkan ialah diperlakukan dengan
prasangka (32% dari responden), diperlakukan secara khusus oleh petugas keamanan bandara
(19%), disebut dengan nama panggilan yang menghina (18%), diperlakukan secara khusus
oleh penegak hukum (10%), dan diancam secara fisik atau diserang (6%).

Perlakuan tersebut membuat beberapa orang merasa tidak aman, dan seorang pria imigran
berkata: "Kami perlu ekstra hati-hati mengawasi sekeliling; menyadari tempat kami berada,
siapa di sekitar, dan pandangan seperti apa yang mungkin mereka punya tentang Islam."

Mereka yang berpenampilan khas Muslim - misalnya mengenakan pakaian seperti hijab -
lebih mungkin mengaku telah mengalami diskriminasi. Bahkan, perempuan Muslim lebih
mungkin dibanding laki-laki Muslim untuk mengatakan bahwa hidup sebagai Muslim di AS
telah menjadi semakin sulit.

Angka semua bentuk diskriminasi tersebut telah bertambah sejak 2007, ketika George W.
Bush menjabat presiden, namun sebagian besar telah menurun atau tetap sejak 2011, di
bawah rezim Presiden Obama.
Pada saat yang sama, terdapat bukti tumbuhnya dukungan vokal bagi Muslim.

Hampir setengah kelompok responden (49%) mengatakan seseorang telah menyampaikan


dukungan kepada mereka karena agama mereka selama satu tahun ke belakang.

Tidak senang dengan arah perkembangan terakhir

Mayoritas warga Muslim mendukung Hillary Clinton, jadi mungkin sudah diduga bahwa
mereka tidak senang dengan orang-orang di puncak pemerintahan saat ini. Namun
pengalaman mereka didiskriminasi, dan upaya Presiden Donald Trump untuk membatasi
masuknya orang-orang dari beberapa negara Muslim, juga memengaruhi pandangan itu.
Seorang laki-laki berkata: "Ketika larangan bagi Muslim diajukan untuk pertama kali, saya
merasa seperti persekusi telah dimulai. Karena kami telah membaca sejarah Eropa dan apa
yang terjadi pada orang Yahudi di Jerman."

Lainnya berkata: "Kami hampir merasakan atmosfer pasca-9/11 karena ada penekanan
terhadap minoritas serta pemikiran dan suara minoritas.

"Orang-orang seperti kelompok alternatif-kanan atau ultrakonservatif pendukung Trump kini


dapat kesempatan untuk bersuara lebih lantang, yang dipendam hanya beberapa tahun lalu,
dan kini pemikiran mereka tentang Muslim dan minoritas pada umumnya bisa didengar, jadi
ketegangan terus bertambah."

Menjadi lebih liberal

Pandangan Muslim AS tentang homoseksualitas telah berubah dalam satu dekade terakhir.
Tahun ini, lebih dari setengah (52%) menyatakan bahwa masyarakat harus menerima
homoseksualitas - naik dari 27% pada 2007.
Kenaikan tersebut disertai dengan lonjakan yang lebih kecil dalam jumlah Muslim AS yang
mengatakan terdapat lebih dari satu cara untuk menafsirkan ajaran Islam. Pada tahun 2007,
sebanyak 57% setuju dengan pandangan liberal ini; pada tahun ini, angkanya mencapai 64%.

Pandangan terhadap terorisme dan ekstremisme

Kelompok Muslim lebih mungkin mengecam terorisme daripada populasi AS pada


umumnya.

Kepada mereka diajukan pertanyaan berikut ini: "Beberapa orang berpikir bahwa menyasar
dan membunuh warga sipil bisa dibenarkan demi memajukan perjuangan politik, sosial, atau
agama. Orang lain percaya bahwa apapun alasannya, kekerasan seperti ini tak bisa
dibenarkan. Bagaimana perasaan Anda pribadi?"

Sebanyak 75% Muslim mengatakan itu tidak akan pernah bisa dibenarkan, sedangkan hanya
59% masyarakat umum mengatakan hal yang sama.

Beberapa orang dengan latar belakang Muslim atau non-Muslim berkata bahwa mereka
berpikir tindakan tersebut sering atau terkadang dibenarkan. Demi memahami jawaban
mereka dengan lebih baik, para peneliti menelepon mereka kembali dan menanyakan
maksudnya. Kebanyakan dari mereka menyebut situasi selain terorisme, termasuk aksi militer
dan membela diri.

Tiga perempat Muslim mengatakan mereka merasa tidak ada dukungan terhadap ekstremisme
di antara Muslim AS, dan kalaupun ada, dukungan itu sangat sedikit. Sementara 6%
mengatakan mereka melihat 'cukup banyak' dukungan kepada ekstremisme itu.

Masyarakat umum lebih mungkin memandang Muslim sebagai pendukung ekstremisme.

Dan Muslim lebih mungkin dari masyarakat umum untuk khawatir tentang ekstremisme atas
nama Islam, di AS dan di seluruh dunia.

Apakah komunitas Muslim berpikir mereka cocok dengan kehidupan di Amerika?

Kebanyakan Muslim berpikir mereka tidak dipandang sebagai bagian dari warga Amerika
biasa, dan 60% menganggap liputan tentang mereka di media arus utama "tidak adil".

Namun 92% mengatakan mereka bangga menjadi warga Amerika. Sebanyak 89%
mengatakan mereka bangga menjadi Muslim dan warga Amerika.
Seorang perempuan berusia 40-an berkata kepada para peneliti: "Kesamaan saya dengan
kebanyakan warga Amerika adalah dedikasi kepada negara ini.

"Kami juga sama-sama manusia. Kami semua berjuang untuk mencari nafkah, membayar
pajak, dan membesarkan anak-anak kami."

Pew Research Center memperkirakan bahwa terdapat 3,35 juta Muslim dari segala usia di
AS, satu juta lebih banyak dari jumlah pada tahun 2007. Mayoritas Muslim dewasa
dilahirkan di luar AS, di lebih dari 70 negara asal. Secara keseluruhan, mereka lebih muda
daripada populasi AS pada umumnya.

Sumber : http://www.bbc.com
PENDAPAT DAN ARGUMENTASI

Jadi sebenarnya diskriminasi agama adalah hal yang sangat tidak terpuji,
Karena sejatinya setiap umat manusia memiliki Tuhan yang sama hanya saja cara
beribadahnya saja yang berbeda. Maka dari itu perlulah kita sebagai umat manusia
yang berlogika saling menghormati dan bertoleransi, bukannya malah saling
membenci dan mendiskriminasi karena perbedaan agama.

Kedua artikel diatas menunjukan bahwa sebenernya diskriminasi agama


bukan dilabelkan kepada agama tertentu, namun memang dari masyarakat itu
sendirilah yang memberikan diskriminasi. Sebenarnya, perlu adanya penyadaran
dimasyarakat bahwa perbedaan itu biasa, dan dari perbedaan itu sendirilah akan
tercipta keindahan.

KESIMPULAN

Maka janganlah kita saling mendiskriminasi, tapi mulailah untuk saling


mencintai.
Artikel Diskriminasi Agama di Dalam & Luar Negeri

Disusun Oleh :

B. A. Galih Krisyanuarta Aji

17.H1.0040

PROGRAM STUDI PERPAJAKAN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

Anda mungkin juga menyukai