PPOK

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Prediksi WHO, tahun 2020 angka kejadian PPOK akan meningkat dari posisi 12 ke 5
sebagai penyakit terbanyak di dunia dan dari posisi 6 ke 3, sebagai penyebab kematian
terbanyak. Polusi udara terutama asap rokok ditengarai penyebab meningkatnya prevalensi
penderita penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).1

Jika seseorang datang dengan keluhan batuk-batuk lama, kadang-kadang susah buat
bernafas dan terutama dia adalah seorang perokok maka kemungkinan dia mengalami penyakit
paru obstruksi kronis (PPOK) atau di dunia internasional dikenal sebagai Chronic Obstructive
Pulmonary Disease (COPD).1

PPOK sebenarnya merupakan penyakit yang preventable dan treatable. Pada penyakit
ini terjadi kelainan paru sebagai respon inflamasi kronis terhadap partikel gas yang
menyebabkan terjadinya hambatan jalan nafas yang tidak sepenuhnya bisa reversibel dan
bersifat progresif. Selain itu kelainan ini juga memberi dampak gangguan di luar paru secara
bermakna sehingga memperberat derajat penyakit. Hambatan jalan nafas tersebut terjadi akibat
obstruksi jalan nafas kecil (obstructive bronchiolitis) dan destruksi parenkim (emfisema).
Proses inflamasi juga menyebabkan hilangnya alveolar attachment terhadap jalan nafas kecil
dan menurunnya elastic recoil paru sehingga kemampuan jalan nafas tetap membuka saat
ekspirasi menjadi terganggu.1

PPOK atau COPD ini ditandai dengan keterbatasan dalam bernafas yang cukup lama
dan terdapatnya beberapa perubahan patologi pada jalan nafas disertai gangguan pada saluran
nafas yang signifikan.

PPOK dapat dicegah dan diobati, tetapi pengobatan efektif diperlukan agar pasien
merasa nyaman (mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup pasien) dan
meningkatkan kemampuan beraktivitas dalam kegiatan sehari -hari. Walaupun demikian
keterbatasan pada saluran nafas tidak bisa disembuhkan secara total.Keterbatasan aliran udara
biasanya bersifat progresif dan dihubungkan dengan respon inflamasi paru. Menurut
dr.Wiwien H. Wiyono Sp.P dari Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia “ Rokok merupakan penyebab utama dari penyakit ini dan
hampir semua negara melaporkan konstribusi rokok sebagai penyebab PPOK”.1

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernafasan

Gambar 1 : Anatomi Sistem Pernapasan2


2.1.1 Anatomi

Organ-organ yang termasuk dalam saluran pernapasan terdiri atas: 2

a. Hidung (Cavitas nasi)


Suatu rongga berbentuk piramid dan terbagi menjadi dua bagian yang simetris.
Pada dinding lateral terdapat tiga pasang tonjolan, yaitu Concha nasalis superior,
Concha nasalis media, dan Concha nasalis inferior yang berfungsi melembabkan udara
yang masuk dan menyesuaikan dengan suhu tubuh, diantara ketiga Concha nasalis
terdapat Meatus nasi superior, inferior dan media, yang merupakan muara dari Sinus
paranasalis dan Ductus nasolacrimalis. Di dalamnya juga terdapat bulu-bulu hidung
yang berfungsi menyaring udara. 2

b. Faring (Pharynx)
Faring terbagi menjadi:2

1. Nasopharynx berhubungan dengan Cavum nasi,


2. Oropharynx berhubungan dengan Cavum oris,

2
3. Laryngopharynx berhubungan dengan Larynx.
c. Laring (Larynx)
Pada sistem pernapasan laring berfungsi untuk mencegah benda asing baik
padat maupun cair masuk ke dalam trakhea dan menghasilkan suara oleh Plica vocalis.
Laring dibentuk oleh enam kartilago, tiga yang berpasangan dan tiga yang tidak
berpasangan. 2
d. Trakhea
Trakhea adalah suatu pipa yang dibentuk oleh kartilago yang berbentuk huruf
U membuka ke dorsal dan ditutupi oleh jaringan ikat. Panjangnya kira-kira 11 cm dan
diameternya ± 2,5 cm. 2
e. Bronkus (Bronchus)
Terbagi atas dua, yaitu bronkus kiri dan kanan. Masing-masing memiliki
bronkus primer yang bercabang menjadi bronkus sekunder, yang kemudian bercabang
lagi menjadi bronkus tersier. 2
f. Paru-paru (Pulmo)
Paru-paru adalah organ yang elastis berbentuk seperti kerucut dan berisi udara,
terletak dalam rongga toraks. Paru kanan memiliki tiga lobus dan paru kiri memiliki
dua lobus. Setiap paru memiliki sebuah apeks yang mencapai bagian atas iga pertama
dan berbatasan dengan Arteri subclavia, basis pulmo terletak di atas diafragma, sebuah
permukaan (facies) mediastinalis (medial) yang terpisah dari paru lain oleh
mediastinum, dan permukaan kostal berbatasan dengan kosta. 2
Permukaan mediastinal memiliki hilus (akar), tempat masuk dan keluarnya
pembuluh darah Bronkus pulmonalis, dan bronkhiolus dari paru. Paru-paru memiliki
pembungkus yang disebut pleura. Pleura terbagi dua, yaitu Pleura parietalis yang
melekat pada dinding thoraks dan Pleura visceralis yang melekat di paru-paru. 2

2.1.2 Fisiologi

Proses fisiologi pernafasan yaitu proses masuknya O2 dari udara ke dalam


jaringan-jaringan dan CO2 yang di keluarkan melalui udara ekspirasi, proses tersebut
terbagi dalam 3 stadium: 3

a. Ventilasi
Ventilasi adalah proses pergerakan udara masuk-keluar paru secara berkala
kedalam alveolus. Ventilasi secara mekanis dilakukan dengan mengubah secara

3
berselang-seling arah gradien tekanan untuk aliran udara antara atmosfer dan alveolus
melalui ekspansi dan penciutan berkala paru. Kontraksi dan relaksasi otot-otot inspirasi
(terutama diafragma) yang berganti-ganti, secara tidak langsung menimbulkan inflasi
dan deflasi periodik paru dengan secara berkala mengembang-ngempiskan rongga
thoraks, dengan paru secara resesif mengikuti gerakannya. Karena kontraksi otot
inspirasi memerlukan energi, maka inspirasi merupakan proses aktif dan ekspirasi
merupakan proses pasif. 3
b. Difusi
Difusi merupakan tahap pertukaran O2 di alveolus dan CO2 di kapiler paru. Gas
O2 yang berasal dari udara yang kita hirup dari atmosfer yang masuk ke saluran napas
karena adanya perbedaan tekanan dan CO2 yang berasal dari kapiler paru yang dibawa
oleh darah. Gas CO2 ini diperoleh dari sisa-sisa metabolisme dari sel-sel yang ada ditubuh
kita. Jadi, gas O2 dari paru-paru (alveolus) akan bertukar dengan gas CO2 dari jaringan
dimana O2 akan dibawa ke jantung kembali untuk diedarkan ke seluruh tubuh dan CO2
akan dibawa keluar tubuh melalui paru-paru. 3
c. Transportasi
Proses ini adalah proses penyebaran O2 dari paru yang dibawa oleh darah
(eritrosit/Hb) ke jantung. Transportasi dilakukan dengan mengikuti proses sirkulasi
sistemik/besar. O2 ini akan diberikan ke sel-sel yang memerlukan untuk menghasilkan
ATP (energi) dalam melanjutkan kehidupannya dalam tubuh. 3

2.2 DEFINISI
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai
oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau
reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan
keduanya.PPOK atau COPD merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk
sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi
terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Bronkitis kronik,
emfisema paru dan asma bronkial membentuk kesatuan yang disebut COPD.4
Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh pembentukan
mukus yang berlebihan dalam bronkus dan bermanifestasi sebagai batuk kronik dan
pembentukan sputum selama selama sedikitnya 3 bulan dalam setahun, sekurang-
kurangnya dalam dua tahun berturut-turut.3

4
Emfisema paru merupakan suatu perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai
oleh pembesaran alveolus dan duktus alveolaris yang tidak normal, serta destruksi dinding
alveolar.3
Asma merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh hipersensitivitas cabang
trakeobronkial terhadap berbagai jenis rangsangan dan keadaan ini bermanifestasi sebagai
penyempitan jalan napas secara periodik dan reversibel akibat bronkospasme.3

2.3 EPIDEMIOLOGI

Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada Survai
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki
peringkat ke - 5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama.
SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronik dan
emfisema menduduki peringkat ke - 6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia.5
Faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut :5
 Kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70 %)
 Pertambahan penduduk
 Meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada tahun 1960-an menjadi
63 tahun pada tahun 1990-an
 Industrialisasi
 Polusi udara terutama di kota besar, di lokasi industri, dan di pertambangan

2.4 FAKTOR RISIKO4

1. Kebiasaan merokok merupakan satu-satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh


lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu
diperhatikan:
a. Riwayat merokok: perokok aktif, perokok pasif, atau bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-
rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam setahun
2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja
3. Hiperaktiviti bronkus
4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
5. Genetik diketahui berperan dalam terjadinya PPOK, Defisiensi antitripsi alfa-1,
umumnya jarang terdapat di Indonesia

5
6. Masalah pada paru yang terjadi saat masa gestasi atau saat anak – anak (BBLR, infeksi
pernapasan) juga berpotensi meningkatkan resiko terjadinya PPOK.

2.5 PATOGENESIS
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan
struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan
hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.5Hambatan aliran udara
merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK yang diakibatkan oleh adanya
perubahan yang khas pada saluran nafas bagian proksimal, perifer, parenkim dan
vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya suatu inflamasi yang kronik dan perubahan
struktural pada paru. Terjadinya peningkatan penebalan pada saluran nafas kecil dengan
peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar saluran nafas
mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas kecil berkurang
akibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi, yang meningkat sesuai
berat sakit.6
Dalam keadaan normal radikal bebas dan anioksidan berada dalam keadaan
seimbang. Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi kerusakan di paru.
Radikal bebas mempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar
dari berbagai macam penyakit paru.6
Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya akan
menimbulkan kerusakan sel dan inflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan sel
makrofag alveolar, aktivasi sel tersebut akan menyebabkan dilepaskannya faktor
kemotatik neutrofil seperti Interleukin 8 dan leukotrien B4, Tumor Necrosis Factor (TNF),
Monocyte Chemotactic Peptide (MCP)-1, dan reactive oxygen species (ROS). Faktor –
faktor ersebut akan merangsang neutrofil melepaskan protease yang akan merusak
jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding alveolar dan hipersekresi
mukus. Rangsangan sel epitel akan meyebabkan dilepaskannya limfosit CD8, selanjutnya
terjadi kerusakan seperti proses inflamasi.6
Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat menginduksi batuk
kronis sehingga percabangan bronkus lebih mudah terinfeksi. Penurunan funsi paru terjadi
sekunder setelah perubahan struktur saluran napas. Kerusakan struktur berupa destruksi
alveol yang menuju ke arah emfisema karena produksi radikal bebas yang berlebihan oleh
leukosit, polusi, dan asap rokok, 6

6
Gambar 2. Konsep patogenesis PPOK

Gambar 3. Perbedaan konsep patogenesis Asma dan PPOK

2.6 GEJALA KLINIS


Gejala PPOK sangat bervariasi dari satu penderita ke penderita lainnya, dapat
dimulai dengan tanpa gejala, gejala ringan sampai berat, mulai dari tanpa kelainan fisik
sampai kelainan fisik yang jelas dan tanda inflasi paru. Oleh karena itu dibutuhkan
diagnosa yang akurat, pemeriksaan penunjang dan diagnosa banding untuk dapat
menegakkan penyakit PPOK.4

Seseorang diduga menderita PPOK bila (i) mengalami batuk kronis yang
umumnya muncul pada siang hari, jarang pada malam hari, (ii) memproduksi sputum
kronis, (iii) -sering mengalami bronkitis akut, (iv) sesak nafas setiap hari, memburuk pada
saat melakukan aktivitas dan terkena infeksi, (v) punya riwayat terpapar asap rokok (baik
perokok aktif maupun perokok pasif), polusi udara, debu dan bahan kimia di tempat kerja,
ataupun asap hasil pembakaran alat masak, misalnya kayu bakar, arang yang terus menerus
(setiap hari sepanjang tahun), disertai dengan pemeriksaan faal paru. Indikator diagnosis
PPOK adalah penderita di atas usia 40 tahun, dengan sesak napas yang progresif,

7
memburuk dengan aktivitas, persisten, batuk kronik, produksi sputum kronik, riwayat
pajanan rokok, asap atau gas berbahaya di dalam lingkungan kerja atau rumah.4.

Gejala-gejala PPOK eksaserbasi akut meliputi:

1) Batuk bertambah berat


2) Produksi sputum bertambah
3) Sputum berubah warna
4) Sesak nafas bertambah berat
5) Bertambahnya keterbatasan aktifitas
6) Terdapat gagal nafas akut pada gagal nafas kronis
7) Penurunan kesadaran

2.7 KLASIFIKASI

Penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit paru obstruksi kronik


adalah sebagai berikut:

1. Bronchitis Kronis

a. Definisi

Bronchitis Kronis merupakan gangguan klinis yang ditandai dengan pembentukan mucus
yang berlebihan dalam bronkus dan termanifestasikan dalam bentuk batuk kronis dan
pembentuk sputum selama 3 bulan dalam setahun, paling sedikit 2 tahun berturut – turut.7

b. Etiologi

Terdapat 3 jenis penyebab bronchitis yaitu:7

1) Infeksi : stafilokokus, sterptokokus, pneumokokus, haemophilus influenzae.

2) Alergi

3) Rangsang : misal asap pabrik, asap mobil, asap rokok dll

c. Manifestasi klinis7

1) Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar mukus pada bronchi besar, yang
mana akanmeningkatkan produksi mukus.

8
2) Mukus lebih kental

3) Kerusakan fungsi cilliary sehingga menurunkan mekanisme pembersihan


mukus. Oleh karena itu, "mucocilliary defence" dari paru mengalami kerusakan
dan meningkatkan kecenderungan untuk terserang infeksi. Ketika infeksi timbul,
kelenjar mukus akan menjadi hipertropi dan hiperplasia sehingga produksi mukus
akan meningkat.

4) Dinding bronchial meradang dan menebal (seringkali sampai dua kali ketebalan
normal) dan mengganggu aliran udara. Mukus kental ini bersama-sama dengan
produksi mukus yang banyakakan menghambat beberapa aliran udara kecil dan
mempersempit saluran udara besar. Bronchitis kronis mula-mula mempengaruhi
hanya pada bronchus besar, tetapi biasanya seluruh saluran nafas akan terkena.

5) Mukus yang kental dan pembesaran bronchus akan mengobstruksi jalan nafas,
terutama selama ekspirasi. Jalan nafas mengalami kollaps, dan udara terperangkap
pada bagian distal dari paru-paru. Obstruksi ini menyebabkan penurunan ventilasi
alveolar, hypoxia dan asidosis.

6) Klien mengalami kekurangan oksigen jaringan ; ratio ventilasi perfusi abnormal


timbul, dimana terjadi penurunan PaO2. Kerusakan ventilasi dapat juga
meningkatkan nilai PaCO2.

7) Klien terlihat cyanosis. Sebagai kompensasi dari hipoxemia, maka terjadi


polisitemia (overproduksi eritrosit). Pada saat penyakit memberat, diproduksi
sejumlah sputum yang hitam, biasanya karena infeksi pulmonary.

8) Selama infeksi klien mengalami reduksi pada FEV dengan peningkatan pada RV dan
FRC. Jika masalah tersebut tidak ditanggulangi, hypoxemia akan timbul yang
akhirnya menuju penyakit cor pulmonal dan CHF

2. Emfisema

a. Definisi

9
Perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai pelebaran dinding alveolus, duktus
alveolaris dan destruksi dinding alveolar.7

b. Etiologi7

1) Faktor tidak diketahui

2) Predisposisi genetic

3) Merokok

4) Polusi udara

c. Manifestasi klinis7

1) Dispnea

2) Takipnea

3) Inspeksi : barrel chest, penggunaan otot bantu pernapasan

4) Perkusi : hiperresonan, penurunan fremitus pada seluruh bidang paru

5) Auskultasi bunyi napas : krekles, ronchi, perpanjangan ekspirasi

6) Hipoksemia

7) Hiperkapnia

8) Anoreksia

9) Penurunan BB

10) Kelemahan

3. Asthma Bronchiale

a. Definisi

Suatu penyakit yang ditandai dengan tanggap reaksi yang meningkat dari trachea dan
bronkus terhadap berbagai macam rangsangan dengan manifestasi berupa kesukaran
bernafas yang disebabkan oleh peyempitan yang menyeluruh dari saluran nafas.7

b. Etiologi7

10
1) Alergen (debu, bulu binatang, kulit, dll)

2) Infeksi saluran nafas

3) Stress

4) Olahraga (kegiatan jasmani berat)

5) Obat-obatan

6) Polusi udara

7) Lingkungan kerja

8) Lain-lain (iklim, bahan pengawet)

c. Manifestasi Klinis7

1) Dispnea

2) Permulaan serangan terdapat sensasi kontriksi dada (dada terasa berat),

3) wheezing,

4) batuk non produktif

5) takikardi

6) takipnea

2.8 DIAGNOSIS
2.8.1 Anamnesis
Gejala klinis yang biasa ditemukan pada penderita PPOK adalah sebagai berikut :5,8
1) Batuk kronik
Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan dalam 2 tahun terakhir yang
tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Batuk dapat terjadi sepanjang hari atau
intermiten. Batuk kadang terjadi pada malam hari.
2) Berdahak kronik
Hal ini disebabkan karena peningkatan produksi sputum. Kadang kadang pasien
menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk. Karakterisktik batuk
dan dahak kronik ini terjadi pada pagi hari ketika bangun tidur.

11
3) Sesak napas
Terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi
dengan sesak nafas yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan.
Selain gejala klinis, dalam anamnesis pasien juga perlu ditanyakan riwayat
pasien dan keluarga untuk mengetahui apakah ada faktor resiko yang terlibat. Merokok
merupakan faktor resiko utama untuk PPOK. Lebih dari 80% kematian pada penyakit
ini berkaitan dnegan merokok dan orang yang merokok memiliki resiko yang lebih
tinggi (12-13 kali) dari yang tidak merokok. Resiko untuk perokok aktif sekitar 25%.5,8
Akan tetapi, faktor resiko lain juga berperan dalam peningkatan kasus PPOK.
Faktor resiko lain dapat antara lain paparan asap rokok pada perokok pasif, paparan
kronis polutan lingkungan atau pekerjaan, penyakit pernapasan ketika masa kanak-
kanak, riwayat PPOK pada keluarga dan defisiensi α1-antitripsin.5,8
Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis
ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik dan berdahak
dengan sesak nafas terutama pada saat melakukan aktivitas pada seseorang yang berusia
pertengahan atau yang lebih tua.5,8

2.8.2 Pemeriksaan fisik


Tanda fisik pada PPOK jarang ditemukan hingga terjadi hambatan fungsi paru yang
signifikan. Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang jelas terutama
auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai terdapat hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada
PPOK derajat sedang dan berat seringkali terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan
bentuk anatomi toraks. Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai
berikut :5,8
 Inspeksi
o Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong)
o Terdapat purse lips breathing (seperti orang meniup)
o Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu nafas
 Palpasi : Sela iga melebar, stem fremitus melemah
 Perkusi : Hipersonor
 Auskultasi
o Suara nafas vesikuler melemah atau normal
o Ekspirasi memanjang

12
o Bunyi jantung menjauh
o Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi

2.8.3 Pemeriksaan penunjang


2.8.3.1 Pemeriksaan rutin5,8
1) Faal paru
 Spirometri
Pemeriksaan dilakukan ketika tidak dalam eksaserbasi akut. Terbagi menjadi 4
klasifikasi.
GOLD 1 Ringan VEP1 ≥ 80% prediksi
GOLD 2 Sedang 50% ≤ VEP1< 80% prediksi
GOLD 3 Berat 30% ≤ VEP1< 50% prediksi
GOLD 4 Sangat berat VEP1< 30% prediksi
Tabel 1. Klasifikasi derajat keterbatasan aliran udara pada PPOK
( berdasarkan VEP1 setelah penggunaan bronkhodilator )

 Uji bronkodilator
o Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan
APE meter.
o Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20
menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan
VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml
o Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2) Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
3) Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain. Terlihat
gambaran hiperinflasi, hiperlusen, ruang retrosternal melebar, diafragma mendatar,
jantung menggantung ( tear drop appearance ), corakan bronkovaskuler meningkat.
Meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK
ringan tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis
penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien.

13
2.8.3.2 Pemeriksaan khusus (tidak rutin)5
1) Faal paru
2) Uji latih kardiopulmoner
3) Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat
hipereaktiviti bronkus derajat ringan
4) Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau
metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2 minggu yaitu peningkatan
VEP1 pasca bronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak
terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid
5) Analisis gas darah
Terutama untuk menilai gagal napas kronik stabil dan gagal napas akut pada gagal
napas kronik
6) Radiologi
 CT - Scan resolusi tinggi untuk mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta
derajat emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos
 CT - Scan ventilasi perfusi untuk mengetahui fungsi respirasi paru
7) Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi
ventrikel kanan.
8) Ekokardiografi untuk menilai fungsi jantung kanan
9) Bakteriologi

14
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan
untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran
napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di
Indonesia.
10) Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda),
defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.

2.9 DIAGNOSIS BANDING5


 Asma
 SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis) adalah penyakit obstruksi saluran
napas yang ditemukan pada penderita pascatuberculosis dengan lesi paru yang
minimal.
 Pneumotoraks
 Gagal jantung kronik
 Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain (bronkiektasis, destroyed lung )

Tabel 2. Perbedaan Asma, PPOK, dan SOPT

2.10 PENATALAKSANAAN

Tujuan penatalaksanaan umum PPOK :


- Mengurangi gejala
- Mencegah eksaserbasi berulang
- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
- Meningkatkan kualitas hidup penderita

15
2.10.1 Penatalaksanaan PPOK Stabil
Penatalaksanaan PPOK dibagi menjadi terapi non farmakologi dan terapi farmakologi.
Penatalaksaan non farmakologi pada pasien PPOK berdasarkan penilaian risiko eksaserbasi
dan gejala, yaitu :8,9
 Pasien kelompok A : smoking cessation (konseling, terapi pengganti nikotin, aktivitas
fisik
 Pasien kelompok B, C, D : smoking cessation, rehabilitasi pulmonal, aktifitas fisik

Klasifikasi Eksaserbasi
Pasien Karakteristik CAT mMRC
Spirometri per tahun
Risiko rendah,
A GOLD 1-2 ≤1 < 10 0-1
gejala sedikit
Risiko rendah,
B GOLD 1-2 ≤1 ≥ 10 ≥2
gejala banyak
Risiko tinggi,
C GOLD 3-4 ≥2 < 10 0-1
gejala sedikit
Risiko tinggi,
D GOLD 3-4 ≥2 ≥ 10 ≥2
gejala banyak
Tabel 3. Kombinasi penilaian pasien PPOK ( Sumber GOLD 2015 )

Terapi farmakologi pasien PPOK stabil :


Grup Rekomendasi pilihan Terapi lainnya yang
Pilihan alternatif
Pasien pertama memungkinkan
 Antikolinergik kerja  Antikolinergik kerja lama
cepat  Atau β2 agonis kerja lama
A teofilin
 Atau β2 agonis kerja  Atau β2 agonis kerja cepat
cepat + antikolinergik kerja cepat
 β2 agonis kerja
 Antikonergik kerja lama cepat dan atau
Antikonergik kerja lama + β2
B  Atau β2 agonis kerja antikolinergik kerja
agonis kerja lama
lama cepat
 teofilin

16
 Antikonergik kerja lama +
β2 agonis kerja lama  β2 agonis kerja
 Kortikosteroid inhalasi +
 Atau antikolinergik kerja cepat dan atau
β2 agonis kerja lama
C lama + inhibitor antikolinergik kerja
 Atau antikolinergik kerja
fosfodiesterase-4 (PDE-4) cepat
lama
 Atau β2 agonis kerja lama +  teofilin
inhibitor PDE-4
 Kortikoseroid inhalasi +
Antikonergik kerja lama +
β2 agonis kerja lama
 Atau steroid inhalasi + β2
 Karbosistein
agonis kerja lama +
 Kortikosteroid inhalasi +  β2 agonis kerja
inhibitor PDE-4
β2 agonis kerja lama cepat dan atau
D  Atau Antikonergik kerja
 Dan / atau antikolinergik antikolinergik kerja
lama + β2 agonis kerja
kerja lama cepat
lama
 teofilin
 Atau Atau antikolinergik
kerja lama + inhibitor
fosfodiesterase-4 (PDE-4)

Tabel 4. Terapi farmakologi pasien PPOK stabil

2.10.2 Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi


Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan
kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya seperti polusi
udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi. Gejala eksaserbasi :5,8,9
- sesak bertambah
- produksi sputum meningkat
- perubahan warna sputum
Gejala dapat disertai batuk semakin sering, keterbatasan aktivitas, gagal napas acute on
chronic, hingga penurunan kesadaran. Eksaserbasi akut dapat diklasifikasikan berdasarkan 3
gejala kardinal di atas :5,8,9
1) eksaserbasi berat : terdapat 3 gejala kardinal

17
2) ekaserbasi sedang : terdapat 2 dari 3 gejala kardinal
3) eksaserbasi ringan : terdapat 1 dari 3 gejala kardinal ditambah salah satu dari kriteria
tambahan, antara lain infeksi saluran napas > 5 hari, demam tanpa sebab lainnya,
peningkatan batuk, mengi, peningkatan laju pernapasan atau frekuensi nadi > 20% nilai
dasar.
Penyebab tersering adalah infeksi saluran pernapasan oleh virus atau bakteri. Penyebab lainnya
dapat berupa pneumonia, gagal jantung, aritmia, emboli paru, asupan nutrisi buruk, aspirasi,
polusi udara, pneumothoraks atau penyebab sistemik (DM atau gangguan elektrolit).5,8,9
Penatalaksanaan yang dilakukan, yaitu :5,8,9
1. Penilaian awal ( derajat kesadaran )
2. Pemberian oksigen
3. Pemeriksaan penunjang : darah perifer lengkap, foto toraks, EKG, analisa gas darah.
Spirometri tidak direkomendasikan untuk dilakukan ketika akut.
4. Bronkodilator : β2 agonis kerja cepat dengan/tanpa antikolinergik kerja cepat
- Nebulizer : β2 agonis kerja cepat ( salbutamol ) + antikolinergik { 2,5 + 0,5 mg }
 lama kerja 4-8 jam
- Xantin IV ( bolus dan drip )
Contoh : aminofilin (sediaan oral 200mg, IV 240mg, lama kerja 4-6 jam), teofilin
(oral 100-400mg, lama kerja bervariasi hingga 24 jam ).
5. Kortikosteroid sistemik
Pemberian ini akan mempercepat waktu pemulihan, meningkatkan fungsi paru dan
hipoksemia arteri, menurunkan resiko relaps, kegagalan terapi dan durasi rawat inap.
Dianjurkan pemberian prednison 30-40 mg selama 10-14 hari. Diberikan per oral untuk
eksaserbasi ringan sedang atau IV untuk eksaserbasi berat. Pemberian kortikosteroid
sebaiknya < 2 minggu untuk mencegah efek samping.
6. Antibiotik
Antibiotik diindikasikan jika terdapat salah satu gejala kardinal atau pada pasien yang
membutuhkan ventilasi mekanik. Pemilihan regimen antiobiotik bergantung dari data
prevalensi bakteri setempat. Dianjurkan untuk menggunakan antibiotik :
- spektrum sempit jika belum memiliki riwayat penggunaan antibiotik sebelumnya
( amoksisilin 500 mg 3x/hari PO 3-14 hari atau doksisiklin 100mg 2x/hari PO 3-
14 hari ) atau

18
- spektrum luas jika diketahui terdapat resistensi antibiotik ( amoksisilin klavulanat
875 mg 2x/hari atau 500mg 3x/hari PO 5 hari atau levofloksasin 500mg 1x/hari
PO 5 hari). Dapat diberikan intravena jika dirawat di rumah sakit.
7. Terapi suportif , tergantung dari kondisi pasien.
Contoh pemberian diuretik, bila ada retensi cairan.

Indikasi rawat inap di rumah sakit :5,8,9


Peningkatan intensitas gejala ( misal, timbul saat tidak beraktifitas), PPOK derajat
berat, timbul tanda fisik yang baru (sianosis, edema ), tidak ada perbaikan dari penatalaksanaan
inisial, terdapat komorbiditas serius, seringnya terjadi eksaserbasi, dan tidak sanggup untuk
melakukan perawatan di rumah.

Indikasi rawat ICU :5,8,9


- Sesak berat setelah tata laksana IGD/ruang rawat
- Penurunan kesadaran, kelemahan otot respirasi, hemodinamik tidak stabil
- Setelah pemberian oksigen, terjadi hipoksemia atau PaO2< 50 mmHg atau PaCO2> 50
mmHg, memerlukan ventilasi mekanis
- Perlu ventilasi mekanis
Golongan obat Jenis obat Sediaan Lama kerja
Nebulizer : 0,25-0,5 mg
Antikolinergik Ipratropium bromida Oral : - 6-8 jam
IDT : 20, 40 µg
Salbutamol IDT : 100-200 µg 4-6 jam
Nebulizer : 2,5-5 mg
Oral : 2-4 mg

Fenoterol IDT : 100-200 µg 4-6 jam


Agonis β2 kerja
Nebulizer : 2,5-5 mg
singkat
Oral : 0,05 % (sirup)

Terbutalin IDT : 250-500 µg 4-6 jam


Nebulizer : 5-10 mg
Oral : 2,5-5 mg

19
Formoterol IDT : 4,5-12 µg 12 jam
Agonis β2 kerja
lama
Salmeterol IDT : 50-100 µg 12 jam
Aminofilin Oral : 200 mg 4-6 jam
Injeksi : 240 mg
Metilsantin

Teofilin Oral : 100-400 mg Variasi s/d 24 jam


Salbutamol + ipratropium IDT : 75 + 15 µg 4-8 jam
Nebulizer : 2,5+0,5 µg

Kombinasi Fenoterol + ipratropium IDT : 200 + 20 µg 4-8 jam

Budesonid + formoterol IDT : 80/160 + 4,5µg 12 jam

Budesonid IDT : 100,200,400 µg


Nebulizer : 0,5 mg
Oral : -

Flutikason Nebulizer : 0,5 mg


Kortikosteroid
Oral : -

Beklometason IDT : 100,200 µg


Oral : -

Prednison Oral : 5, 30mg

Kortikosteroid Metilprednisolon IDT : 10-1000 µg


sistemik Nebulizer : -
Oral : 4,8,16 mg
Injeksi : 125 mg
Tabel 5. Obat dalam penatalaksanaan PPOK
2.10.3 Manajemen di Rumah

a) Bronkodilator

20
Bronkodilator utama yang sering digunakan adalah β2-agonis, antikolinergik dan metilxantin.
Obat tadi dapat diberikan secara monoterapi atau kombinasi. Pemberian secara inhalasi (MDI)
lebih menguntungkan dari pada cara oral atau parenteral karena efeknya cepat pada organ paru
dan efek sampingnya minimal. Pemberian secara MDI lebih disarankan dari pada pemberian
cara nebulizer. Obat dapat diberikan sebanyak 4-6 kali, 2-4 hirup sehari. Bronkodilator kerja
cepat (fenoterol, salbutamol, terbutalin) lebih menguntungkan dari pada yang kerja lambat
(salmeterol, formeterol), karena efeknya bronkodilatornya sudah dimulai dalam beberapa
menit dan efek puncaknya terjadi setelah 15-20 menit dan berakhir 4-5 jam. Bila tidak segara
memberikan perbaikan, bisa ditambah dengan pemakaian antikolinergik sampai dengan
perbaikan gejala.10

b) Glukokortikosteroid

Jika FEV1<50% prediksi, dapat diberikan 40 mg prednisolon (oral) per hari selama 10-14 hari
bersamaan dengan pemberian bronkodilator. Budesonid nebulizer bisa dipakai sebagai
alternatif terapi selain oral. Glukokotikosteroid dipakai untuk pengobatan yang non asidosis10

c) Antibiotik

Diberikan gejala sesak napas dan batuk disertai dengan peningkatan volume dan purulensi
sputum. Antibiotik hendaknya diberikan diberikan dengan spektrum luas yang bisa
menghadapi H.influenzae, S.pneumoniae dan M.catarrhalis sambil menunggu hasil kultur
sensitivitas kuman.10

2.10.4 Manajemen di Rumah Sakit

Terapi farmakologi pada PPOK akut eksaserbasi di rumah sakit adalah:10

 Bronkodilator kerja cepat: β2-agonis dan antikolinergik dosis ditinggikan dan frekuensi
pemberian dinaikkan.
 Steroid: oral atau intravena
 Antibiotik: oral atau intravena
 Pertimbangkan teofilin oral atau intravena
 Pertimbangkan ventilator mekanik invasif

Obat-obat tambahan lainnya10

 α1-antitripsin: diberikan pada pasien emphisema muda, bila terdapat defisiensi zat ini.

21
 Mukolitik: secara keseluruhan pemberian mukolitik pada pasien dengan sputum kental
hanya memberi sedikit keuntungan, terutama pada keadaan akut eksaserbasi, sehingga
jarang dipakai secara rutin.
 Antioksidan: hanya bermanfaat pada keadaan akut eksaserbasi
 Imunoregulator

Menghentikan kebiasaan merokok pada pasien PPOK sebenarnya merupakan usaha yang
mudah dan ekonomis dalam rangka mengurangi progresivitas penyakit. Bila pasien dapat
berhenti merokok maka progresivitas penurunan FEV1-nya dapat diperkecil. Pasien PPOK
yang merokok akan mengalami penurunan FEV1>50 ml per tahun (pada orang normal yang
tidak merokok, penurunan FEV1 hanya 18 ml pertahun).10

2.11 KOMPLIKASI

1. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg, dengan nilai
saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan mood, penurunan
konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul cyanosis.

2. Asidosis Respiratory

Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul antara lain
: nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.

3. Infeksi Respiratory

Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus, peningkatan


rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya aliran
udara akan meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dyspnea.

4. Gagal jantung

Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus diobservasi
terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan
bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.

5. Cardiac Disritmia

Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis respiratory.

22
6. Status Asmatikus

Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma bronchial. Penyakit ini
sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak berespon terhadap
therapi yang biasa diberikan.Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi vena leher
seringkali terlihat.

DAFTAR PUSTAKA

1. PPOK. ETHICAL DIGEST, SemijurnalFarmasidanKedokteran no 37 Maret 2007


2. Rafiah, St. Pengenalan Sistem Organ. Dalam: Tim Penyusun BMD, editor. Bahan Ajar
Mekanisme Dasar Penyakit. Makassar: Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin;
2008.
3. Wilson Lorraine M. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernapasan. Dalam: Price Sylvia
A,Wilson Lorraine M,editor. Patofisiologi.Volume 2.Edisi 6.Jakarta: EGC; 2006.
4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) PPOK. Pedoman Praktis Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia.2009
5. Antariksa B. Sutoyo, dkk. PPOK Pedoman praktis diagnosis dan penatalaksanaan di
Indonesia revisi 2010. Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2010

23
6. Khairani.Fathia, Fatur Nur Kholis, Dwi Ngestiningsih. Hubungan antara skor COPD
Assesment Test ( CAT ) dengan Rasio FEV1/FVC pada pasien penyakit paru obstruktif
Kronik ( PPOK ) Klinis, Studi kasus pada pasien di RSUP dr. Kariadi Semarang.
Laporan Hasil Karya Tulis Ilmiah. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro ; 2013
7. Brunner &Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 volume 2.
Jakarta, EGC.
8. Tanto. Chris, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Media
Aesculaptus; 2014
9. Decramer M. Vestbo, dkk. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD) Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management, and Prevention; 2015
10. Aru W, Sudoyo&dkk. Ilmu Penyakit Dalam Edisi 5 Jilid III. Jakarta: Interna
Publishing.2012.

24

Anda mungkin juga menyukai