Anda di halaman 1dari 58

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya
dari lingkungan hidup manusia. Kulit merupakan organ yang esensial dan
vital serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit sangat
kompleks, elastik, dan sensitif, yang bervariasi pada keadaan iklim, umur,
jenis kelamin, ras, dan juga sangat bergantung pada lokasi tubuh. Kulit
merupakan pembungkus yang elastik yang melindungi tubuh dari pengaruh
lingkungan. Kulit merupakan alat tubuh yang terberat, yaitu 15% dari berat
tubuh manusia dan ukuran luas kulit orang dewasa 1,50-1,75 m2 dan rata-
rata tebal kulit 1-2 mm.1,2
Fungsi utama kulit adalah proteksi, absorbsi, eksresi, persepsi,
pengaturan suhu tubuh (termoregulasi), pembentukan pigmen, pembentukan
vitamin D dan keratinisasi. Kulit yang berbatasan langsung dengan
lingkungan juga berisiko terkena paparan dan gangguan bahan kimia serta
agen fisik eksogen.1,2
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai
respon terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen,
menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema,
papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu
timbul bersamaan, bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfik).
Dermatitis cenderung residif dan menjadi kronis. Dermatitis disebabkan
oleh berbagai faktor (multifaktorial).1,3
Dermatitis kontak adalah peradangan akibat bahan atau substansi
yang menempel pada kulit dan merupakan salah satu kelainan kulit paling
umum yang berkaitan dengan pekerjaan. Dikenal dua macam dermatitis
kontak yaitu Dermatitis Kontak Iritan (DKI) dan Dermatitis Kontak Alergi
(DKA) dan keduanya dapat bersifat akut maupun kronis. Dermatitis Kontak

1
Alergi (DKA) adalah suatu dermatitis yang timbul setelah kontak dengan
alergen sehingga menyebabkan gejala sensitisasi yang melibatkan stimulasi
terhadap sel T. terdapat dua tahap dalam terjadinya dermatitis kontak alergi
yaitu tahap sensitisasi dan tahap elisitasi. Sedangkan, Dermatitis Kontak
Iritan (DKI) merupakan reaksi peradangan kulit nonimunologik yang tidak
melibatkan stimulasi sel T, jadi kerusakan kulit terjadi langsung tanpa
didahului proses sensitisasi.4,5
Asumsi awal berbagai penelitian adalah bahwa DKI lebih sering
terjadi dibandingkan dengan DKA yaitu sekitar 70-80%. Namun, beberapa
penelitian terbaru menemukan DKA lebih banyak ditemukan. DKI
merupakan efek toksik yang lokal ketika kulit kontak dengan bahan iritan
kimia seperti sabun, bahan pelarut, asam dan alkali. DKA merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat yang didapat ketika kulit kontak dengan bahan
kimia pada orang yang sebelumnya telah tersensitasi. Respon kulit terhadap
DKA dan DKI tergantung pada bahan kimia, durasi dan sifat dasar dari
kontak serta kelemahan individu. Bahan kimia yang menyebabkan
dermatitis kontak ditemukan pada perhiasan, produk untuk perawatan diri,
tanaman, pengobatan topikal ataupun sistemik. Gambaran klinik antara
DKA dan DKI sulit dibedakan, dibutuhkan tes tempel untuk membantu
mengidentifikasi alergen atau meniadakan alergen yang dicurigai.6,7

1.2 Rumusan Masalah


- Apa saja faktor yang mengakibatkan terjadinya dermatitis kontak alergi
pada pasien?
- Apakah kontak dengan alergen menjadi salah satu faktor risiko penyebab
dermatitis kontak alergi?
- Bagaimanakah tingkat pengetahuan keluarga dalam menyikapi penyakit
dermatitis kontak alergi?
- Bagaimanakah hasil dari terapi yang telah diberikan kepada penderita
dermatitis kontak alergi?

2
1.3 Aspek Disiplin Ilmu yang Terkait dengan Pendekatan Diagnosis
Holistik Komprehensif pada Penderita Dermatitis Kontak Alergi
Untuk pengendalian permasalahan dermatitis kontak alergi pada
tingkat individu dan masyarakat secara komprehentif dan holistik yang
disesuaikan dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), maka
mahasiswa program profesi dokter Universitas Muslim Indonesia
melakukan kegiatan kepanitraan klinik pada bagian Ilmu Kesehatan
Masyarakat dan Kedokteran Komunitas dilayanan primer (Puskesmas)
dengan tujuan untuk meningkatkan kompetensi yang dilandasi oleh
profesionalitas yang luhur, mawas diri dan pengembangan diri, serta
komunikasi efektif. Selain itu kompetensi mempunyai landasan berupa
pengelolaan informasi, landasan ilmiah ilmu kedokteran, keterampilan
klinis, dan pengelolaan masalah kesehatan.
Kompetensi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.3.1 Profesionalitas yang luhur (Kompetensi 1) : untuk mengidentifikasi dan
menyelesaikan permasalahan dalam pengendalian dermatitis kontak alergi
secara individual, masyarakat maupun pihak terkait ditinjau dari nilai
agama, etik moral dan peraturan perundangan.
1.3.2 Mawas diri dan pengembangan diri (Kompetensi 2) : Mahasiswa mampu
mengenali dan mengatasi masalah keterbatasan fisis, psikis, sosial dan
budaya sendiri dalam penangan dermatitis kontak alergi, melakukan rujukan
bagi kasus Dermatitis kontak alergi, sesuai dengan Standar Kompetensi
Dokter Indonesia yang berlaku serta mengembangkan pengetahuan.
1.3.3 Komunikasi efektif (Kompetensi 3) : Mahasiswa mampu melakukan
komunikasi, pemberian informasi dan edukasi pada individu, keluarga,
masyarakat dan mitra kerja dalam pengendalian Dermatitis kontak alergi.
1.3.4 Pengelolaan Informasi (Kompetensi 4) : Mahasiswa mampu memanfaatkan
teknologi informasi komunikasi dan informasi kesehatan dalam praktik
kedokteran.
1.3.5 Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran (Kompetensi 5) : Mahasiswa mampu
menyelesaikan masalah pengendalian Dermatitis kontak alergi secara

3
holistik dan komprehensif baik secara individu, keluarga maupun komunitas
berdasarkan landasan ilmiah yang mutakhir untuk mendapatkan hasil yang
optimum.
1.3.6 Keterampilan Klinis (Kompetensi 6) : Mahasiswa mampu melakukan
prosedur klinis yang berkaitan dengan masalah Dermatitis kontak alergi
dengan menerapkan prinsip keselamatan pasien, keselamatan diri sendiri,
dan keselamatan orang lain.
1.3.7 Pengelolaan Masalah Kesehatan (Kompetensi 7) : Mahasiswa mampu
mengelola masalah kesehatan individu, keluarga maupun masyarakat secara
komprehensif, holistik, koordinatif, kolaboratif, dan berkesinambungan
dalam konteks pelayanan kesehatan primer.

1.4 Tujuan Dan Manfaat Studi Kasus


Prinsip pelayanan dokter keluarga pada pasien ini adalah
menatalaksanakan masalah kesehatan dengan memandang pasien sebagai
individu yang utuh terdiri dari unsur biopsikososial, serta penerapan prinsip
pencegahan penyakit promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Proses
pelayanan dokter keluarga dapat lebih berkualitas bila didasarkan pada hasil
penelitian ilmu kedokteran terkini (evidence based medicine).
1.4.1 Tujuan Umum:
Tujuan dari penulisan laporan Studi Kasus ini adalah untuk dapat
menerapkan penatalaksanaan penderita dermatitis kontak alergi dengan
pendekatan kedokteran keluarga secara paripurna (komprehensif) dan
holistik, sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI),
berbasis evidence based medicine (EBM) pada pasien dengan
mengidentifikasi faktor risiko dan masalah klinis serta prinsip
penatalaksanaan penderita dermatitis kontak alergi dengan pendekatan
kedokteran keluarga di Puskesmas Jumpandang Baru tahun 2017.

4
1.4.2 Tujuan Khusus:
1. Untuk melakukan diagnosis secara klinis meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang, serta
mengintepretasikan hasilnya dalam mendiagnosis dermatitis kontak
alergi.
2. Untuk melakukan prosedur tatalaksana dan edukasi dermatitis kontak
alergi sesuai standar kompetensi dokter Indonesia.
3. Untuk menggunakan landasan Ilmu Kedokteran Klinis dan Kesehatan
Masyarakat dalam pendekatan holistik melakukan upaya pengendalian
dermatitis kontak alergi secara holistik dan komprehensif baik secara
individu, keluarga maupun komunitas.

1.4.3 Manfaat Studi Kasus


1. Bagi Institusi pendidikan.
Dapat dijadikan acuan (referensi) bagi studi kasus lebih lanjut sekaligus
sebagai bahan atau sumber bacaan di perpustakaan.
2. Bagi Penderita (Pasien).
Menambah wawasan akan dermatitis kontak alergi yang meliputi proses
penyakit dan penanganan menyeluruh dermatitis kontak alergi sehingga
dapat memberikan keyakinan untuk tetap berobat secara teratur.
3. Bagi tenaga kesehatan.
Hasil studi ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pemerintah
daerah dan instansi kesehatan beserta paramedis yang terlibat di dalamnya
mengenai pendekatan diagnosis holistik penderita dermatitis kontak alergi.
4. Bagi Pembelajar Studi Kasus (Mahasiswa)
Sebagai pengalaman berharga bagi penulis sendiri dalam rangka
memperluas wawasan dan pengetahuan mengenai evidenve based
medicine dan pendekatan diagnosis holistik dermatitis kontak alergi serta
dalam hal penulisan studi kasus.

5
1.5 Indikator Keberhasilan Tindakan
Indikator keberhasilan tindakan setelah dilakukan penatalaksanaan
penderita dermatitis kontak alergi dengan pendekatan diagnostik holistik,
berbasis kedokteran keluarga danevidence based medicine adalah:
a. Kepatuhan pasien datang berobat di layanan primer (puskesmas)
b. Perbaikan gejala dapat dievaluasi setelah pengobatan dermatitis kontak
alergi dan dengan dilakukannya pencegahan terhadap penyakit
dermatitis kontak alergi.
Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa Penilaian
keberhasilan tindakan pengobatan didasarkan pada hasil pemeriksaan
effloresensi kulit dan gejala yang dikeluhkan. Hal ini disebabkan
pengobatan dermatitis umumnya bersifat cepat asal berobat teratur. Selain
itu, kepatuhan untuk menghindari faktor alergi juga merupakan kunci
utama keberhasilan pengobatan.

6
BAB II
ANALISIS KEPUSTAKAAN BERDASARKAN KASUS
2.1 Kerangka Teori
kosmetik
logam detergen
Bahan Reaksi

Alergen hipersensitivita DKA


s tipe IV

karet plastic dan dammar


Faktor risiko DKA Mekanisme
Gambar 1. Gambaran Penyebab Dermatitis kontak alergi

2.2 Pendekatan konsep Mandala


Gaya Hidup
- Sering memakai sendal jepit
- Aktivitas memakai sendal jepit Ling. Psiko-Sosio-Ekonomi
di tempat yang becek (pasar)
Perilaku Kesehatan Kecemasan pasien penyakitnya akan
Pasien tetap menggunakan memburuk
sendal jepit walaupun sudah
KELUARGA Ketakutan pasien penyakitnya akan
terjadi lesi di kaki tanpa
mengganti jenis sendal yang berulang bahkan tidak bisa sembuh
di gunakan. Kurangnya tingkat pengetahuan tentang
PENDERITA DERMATITIS KONTAK penyakit dermatitis kontak alergi
ALERGI Kondisi ekonomi kurang baik

- Status Generalis : Gizi Baik


Pelayanan Kesehatan - Gatal dan perih pada kedua kaki sejak 1
- Jarak rumah ke minggu yang lalu akibat berkontak dengan
puskesmas dekat sendal jepit Lingkungan Kerja
- Jaminan kesehatan - Keluhan yang sama pernah di rasakan 1
yang digunakan Pasien menggunakan sendal jepit pada
tahun yang lalu. saat menjual di pasar
BPJS
- Effloresensi :Tampak makula eritema,
batas tegas dengan distribusi terbatas pada
punggung kedua kaki dan terdapat
likenifikasi pada kedua punggung kaki.
Lingkungan Fisik

Faktor Biologi KOMUNITAS - Sumber Air Minum bersih (galon)


Hipersensitivitas tipe IV - Ventilasi dan sinar matahari
yang terjadi pada kulit - Pemukiman Padat kurang
- Hubungan dengan - Rumah dalam kondisi terawat,
ketika kontak dengan
komunitas sekitar rapi tapi kurang bersih
kulit baik

Gambar 2. Pendekatan Konsep Mandala

7
2.3 Pendekatan Diagnosis Holistik pada Pelayanan Kedokteran Keluarga di
Layanan Primer
Pendekatan secara holistik adalah memandang manusia sebagai
mahluk biopsikososio-kultural-spiritual pada ekosistemnya. Sebagai mahluk
biologis manusia adalah merupakan sistem organ yang terbentuk dari jaringan
serta sel-sel yang kompleks fungsionalnya.
Diagnosis holistik adalah kegiatan untuk mengidentifikasi dan
menentukan dasar dan penyebab penyakit (disease), luka (injury) serta
kegawatan yang diperoleh dari alasan kedatangan, keluhan personal, riwayat
penyakit pasien, pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan penunjang, penilaian
risiko internal/individual dan eksternal dalam kehidupan pasien serta
keluarganya. Sesuai dengan arah yang digariskan dalam Sistem Kesehatan
Nasional 2004, maka dokter keluarga secara bertahap akan diperankan sebagai
pelaku pelayanan pertama (layanan primer).
Tujuan Diagnostik Holistik :
1. Penyembuhan penyakit dengan pengobatan yang tepat
2. Hilangnya keluhan yang dirasakan pasien
3. Pembatasan kecacatan lanjut
4. Penyelesaian pemicu dalam keluarga (masalah sosial dalam kehidupannya)
5. Jangka waktu pengobatan pendek
6. Tercapainya percepatan perbaikan fungsi social
7. Terproteksi dari resiko yang ditemukan
8. Terwujudnya partisipasi keluarga dalam penyelesaian masalah
Diagnosa secara holistik sangat penting dilakukan sebelum melakukan
terapi, tujuannya yakni:
1. Menentukan kedalaman letak penyakit
2. Menentukan kekuatan serangan pathogen penyakit
3. Menentukan kekuatan daya tahan tubuh yang meliputi kekuatan fungsi
organ
4. Menentukan urutan tatacara terapi dan teknik terapi yang akan dipilihnya
5. Menentukan interval kunjungan terapi.

8
Diagnosis Holistik memiliki standar dasar pelaksanaan yaitu :
1. Membentuk hubungan interpersonal antar petugas administrasi (penerimaan,
pencatatan biodata) dengan pasien
2. Membentuk hubungan interpersonal antara paramedis dengan pasien.
Melakukan pemeriksaan saringan (Triage), data diisikan dengan lembaran
penyaring
3. Membentuk hubungan interpersonal anatara dokter dengan pasien
4. Melakukan anamnesis
5. Melakukan pemeriksaan fisik
6. Penentuan derajat keparahan penyakit berdasarkan gejala, komplikasi,
prognosis, dan kemungkinan untuk dilakukan intervensi
7. Menentukan resiko individual diagnosis klinis sangat dipengaruhi faktor
individual termasuk perilaku pasien
8. Menentukan pemicu psikososial dari pekerjaan maupun komunitas
kehidupan pasien
9. Menilai aspek fungsi sosial.
Dasar-dasar dalam pengembangan pelayanan/pendekatan kedokteran
keluarga di layanan primer antara lain :
1. Pelayanan kesehatan menyeluruh (holistik) yang mengutamakan upaya
promosi kesehatan dan pencegahan penyakit
2. Pelayanan kesehatan perorangan yang memandang seseorang sebagai
bagian dari keluarga dan lingkungan komunitasnya
3. Pelayanan yang mempertimbangkan keadaan dan upaya kesehatan secara
terpadu dan paripurna (komprehensif).
4. Pelayanan medis yang bersinambung
5. Pelayanan medis yang terpadu
Pelayanan komprehensif yaitu pelayanan yang memasukkan pemeliharaan
dan peningkatan kesehatan (promotive), pencegahan penyakit dan proteksi khusus
(preventive & spesific protection), pemulihan kesehatan (curative), pencegahan
kecacatan (disability limitation) dan rehabilitasi setelah sakit (rehabilitation)

9
dengan memperhatikan kemampuan sosial serta sesuai dengan mediko legal etika
kedokteran.
Pelayanan medis yang bersinambung merupakan pelayanan yang
disediakan dokter keluarga merupakan pelayanan bersinambung, yang
melaksanakan pelayanan kedokteran secara efisien, proaktif dan terus menerus
demi kesehatan pasien.
Pelayanan medis yang terpadu artinya pelayanan yang disediakan dokter
keluarga bersifat terpadu, selain merupakan kemitraan antara dokter dengan
pasien pada saat proses penatalaksanaan medis, juga merupakan kemitraan lintas
program dengan berbagai institusi yang menunjang pelayanan kedokteran, baik
dari formal maupun informal.

Prinsip pelayanan Kedokteran Keluarga di Layanan Primer adalah:


a. Comprehensive care and holistic approach
b. Continuous care
c. Prevention first
d. Coordinative and collaborative care
e. Personal care as the integral part of his/her family
f. Family, community, and environment consideration
g. Ethics and law awareness
h. Cost effective care and quality assurance
i. Can be audited and accountable care
Pendekatan menyeluruh (holistic approach), yaitu peduli bahwa pasien
adalah seorang manusia seutuhnya yang terdiri dari fisik, mental, sosial dan
spiritual, serta berkehidupan di tengah lingkungan fisik dan sosialnya.
Untuk melakukan pendekatan diagnosis holistik, maka perlu kita melihat
dari beberapa aspek yaitu:
I. Aspek Personal : Keluhan utama, harapan dan kekhawatiran.
II. Aspek Klinis: Bila diagnosis klinis belum dapat ditegakkan cukup dengan
diagnosis kerja dan diagnosis banding.

10
III. Aspek Internal : Kepribadian seseorang akan mempengaruhi perilaku.
Karakteristik pribadi amat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, sosial ekonomi, kultur, etnis, dan lingkungan.
IV. Aspek Eksternal : Psikososial dan ekonomi keluarga.
V. Derajat Fungsi Sosial :
- Derajat 1: Tidak ada kesulitan, dimana pasien dapat hidup mandiri
- Derajat 2: Pasien mengalami sedikit kesulitan.
- Derajat3: Ada beberapa kesulitan, perawatan diri masih bisa
dilakukan, hanya dapat melakukan kerja ringan.
- Derajat 4: Banyak kesulitan. Tak melakukan aktifitas kerja, tergantung
pada keluarga.
- Derajat 5: Tak dapat melakukan kegiatan

2.4 DERMATITIS KONTAK ALERGI


2.4.1 DEFINISI
Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang
timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi. Alergen yang
menyebabkan DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul yang
umumnya rendah. DKA terjadi akibat pajanan ulang dengan bahan dari luar yang
bersifat haptenik atau antigenik yang sama, atau mempunyai struktur kimia serupa
pada kulit seseorang yang telah tersensitasi sebelumnya. Reaksi alergik yang
terjadi adalah reaksi hipersensitivitas tipe lambat atau tipe IV menurut klasifikasi
Coombs dan Gell dengan perantaraan sel limfosit T.8,9
DKA adalah reaksi imun yang cenderung melibatkan kulit di sekitarnya
(spreading phenomenon) dan bahkan dapat menyebar di luar area yang terkena.
Pada DKA dapat terjadi penyebaran yang menyeluruh.1

2.4.2 ETIOLOGI
Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul
umumnya rendah (<1000 dalton), merupakan alergen yang belum diproses,
disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat menembus stratum korneum

11
sehingga mencapai sel epidermis di bawahnya (sel hidup). Berbagai faktor
berpengaruh dalam timbulnya DKA, misalnya, potensi sensitisasi alergen, dosis
per unit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan, oklusi, suhu dan
kelembaban lingkungan, vehikulum, dan pH. Juga faktor individu, misalnya
keadaan kulit pada lokasi kontak (keadaan stratum korneum, ketebalan
epidermis), status imunologik (misalnya sedang menderita sakit, terpajan sinar
matahari).1,2
Alergen penyebab dermatitis kontak alergi yang umum pada pekerja yaitu
logam (nikel, kromium, kobalt, merkuri, emas dan platinum), karet tambahan
(pedal gas: mercaptobenzothiazole, carbamates, thiurams dan thioureas,
Antioksidan: N-phenyl-N-isopropyl-paraphenylenediamine), plastik dan damar
(Epoxy, phenolic dan acrylic monomers, amine, anhydride dan peroxide catalysts,
colophony, turpentine, catechols), biosida (Formaldehyde dan glutaraldehyde,
isothiazolinones, methyldibromoglutaronitlire, iodopropynyl butylcarbamate),
kosmetik (paraphenylenediamine, glyceryl thioglycolate, cocamidopropylbetaine,
paraben dan pengawet lainnya, parfum dan minyak esensial) dan tanaman
(pentadecylcatehols, heptadecylcatehols dan sesquiterpene lactones)10

2.4.3 FAKTOR RISIKO


Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya DKA misalnya, potensi
sensitasi allergen, dosis per unit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan,
oklusi, suhu dan kelembaban lingkungan, vehikulum dan pH. Disertai juga
dengan faktor individu, misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak dan status
imunologik.1,2
Tabel 1. Alergen yang sering menimbulkan DKA11
Alergen Sumber antigen
Benzokain Penggunaan anastetik tipe kain, baik
pada penggunaan topical maupun oral
Garam kromium Plak elektronik kalium dikromat,
semen, detergen, pewarna
Lanolin Lotion, pelembab, kosmetik, sabun

12
Latex Sarung tangan karet, vial, syringes
Bacitracin Pengobatan topical maupun injeksi
Kobal klorida Semen, plat logam, pewarna cat
Formaldehid Germisida, plastic, pakaian, perekat
Tiomersal Pengawet dalam sediaan obat, kosmetik
Produk rumah tangga, kosmetik, asam
Pewangi sinamat, geraniol
Sirup untuk obat batuk, penyedap
Balsam peru Pengobatan, salep antibiotic,
Neomisin sulfat aminoglikosida lainnya
Aksesoris pada celana jeans, pewarna,
Nikel sulfat perabot rumah tangga, koin
Spesies Toxicodendron (racun ivy, oak,
Tanaman sumac), primrose (Primula obonica),
tulip

2.4.4 EPIDEMIOLOGI
2.4.4.1 Trias Epidemiologi
a. Agent
Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat
molekul umumnya rendah (<1000 dalton), merupakan allergen yang
belum diproses, disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif. Dapat
menembus statum corneum sehingga mencapai sel epidermis
dibawahnya (sel hidup). Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya
DKA, misalnya potensi sensitisasi allergen, dosis perunit area, luas
daerah yang terkena, lama pajanan, oklus, suhu dan kelembaban
lingkungan vehikulum dan PH. Juga factor individu misalnya kulit
pada lokasi kontak (keadaan statum korneum, ketebalan epidermis ),
status imunologik (misalnya sedang menderita sakit , terpajan sinar
matahari).1,2

13
b. Host
Secara umum, usia tidak mempengaruhi timbulnya sensitisasi
namun dermatitis kontak alergik jarang dijumpai pada anak anak.
Lebih sering pada usia dewasa tetapi dapat mengenai segala usia. Bila
dilihat dari jenis kelamin, prevalensi pada wanita adalah dua kali lipat
dibanding pada laki laki. Selain itu bangsa kaukasian lebih sering
terkena dermatitis kontak laergi dari pada ras bangsa lain.Jenis
pekerjaan merupakan hal penting terhadap tingginya insiden
dermatitis kontak.11
c. Environment
Dermatitis Sebuah penelitian yang dilakukan di negara
Kopenhagen ditemukan bahwa nikel merupakan alergen yang paling
banyak ditemukan. Diperkirakan ada 4-5% populasi umum yang
alergi terhadap nikel dan 1-3% yang alergi terhadap bahan-bahan
kosmetik. Sebuah penelitian di India juga mengungkapkan sekitar
66% yang positif terhadap uji tempel kosmetik.1,4
Pada studi yang dilakukan di Amerika Serikat, Templet, Hall dan
Belsito mencatat bahwa dermatitis pada tangan merupakan salah satu
alasan rujukan pasien ke pusat pemeriksaan uji tempel. Studi yang
dilakukan pada sekitar 1934 pasien selama 8 tahun, ditemukan 32%
mengalami dermatitis pada tangan yang mana 54% diantaranya
merupakan DKA dan hanya 27% yang didiagnosa menderita DKI.1
DKA lebih banyak ditemukan pada kelompok pekerja. Pada
pemeriksaan uji tempel yang dilakukan pada pekerja tukang batu
didapatkan bahwa para pekerja ini mengalami dermatitis kontak alergi
terhadap semen dan karet. Sebuah studi tentang prevalensi DKA pada
perawat dan mahaiswa keperawatan ditemukan 34,8% perawat dan
19% mahasiswa keperawatan mengalami gejala dermatitis kontak
serta sebagian besar bereaksi positif terhadap nikel sulfat dan
thimerosal.6,8

14
Di Eropa dan sebagian besar negara di dunia, alergen yang paling
sering mensensitisasi adalah nikel, thiomersal dan parfum. Alergi
terhadap nikel ditemukan sebanyak 13-17% pada orang dewasa, 10%
pada remaja, dan 7-9% pada anak-anak. Wanita lebih berisiko alergi
terhadap nikel dibanding laki-laki.3,9
2.4.4.2 Variabel Epidemiologi
a. Distribusi menurut orang (Person)
- Distribusi menurut umur
Prevalensi dermatitis kontak pada populasi umum
diperkirakan sekitar 26-40% pada orang dewasa dan 21-36% pada
anak-anak. Kejadian DKA meningkat seiring pertambahan umur,
namun angka sensitisasi tertinggi terjadi pada anak-anak umur 0-3
tahun. Pada studi yang dilakukan North American Contact
Dermatitis Group antara tahun 1998-2000 didapatkan 60% kasus
DKA, sementara hanya 32% yang disebabkan oleh zat iritan.9,10
- Distribusi menurut jenis kelamin
Bila dilihat dari jenis kelamin, prevalensi DKA pada
wanita adalah dua kali lipat dibanding pada laki laki. Di Eropa
dan sebagian besar negara di dunia, alergen yang paling sering
mensensitisasi adalah nikel, thiomersal dan parfum. Alergi
terhadap nikel ditemukan sebanyak 13-17% pada orang dewasa,
10% pada remaja, dan 7-9% pada anak-anak. Wanita lebih berisiko
alergi terhadap nikel dibanding laki-laki.4,10
- Distribusi menurut etnik
Dermatitis Bangsa kaukasian lebih sering terkena
dermatitis kontak alergi dari pada ras bangsa lain. Nampaknya
banyak juga timbul pada bangsa Afrika-Amerika namun lebih sulit
dideteksi.11
b. Distribusi menurut Tempat (Place)
Tempat yang DKA lebih banyak ditemukan di lingkungan pekerja.
Pada pemeriksaan uji tempel yang dilakukan pada pekerja tukang batu

15
didapatkan bahwa para pekerja ini mengalami dermatitis kontak alergi
terhadap semen dan karet.6,8
c. Distribusi menurut Waktu (Time)
Dermatitis kontak alergi tidak mengenal masa, musim, dan
tempat di manapun. Semua akan bergantung pada kontak individu
dengan allergen.11

2.4.5 PATOGENESIS
Pada dermatitis kontak alergi terjadi reaksi tipe IV (hipersensitivitas tipe
lambat) pada lebih dari 3700 bahan kimia eksogen. Reaksi hipersensitivitas tipe
IV (delayed atau cytotoxic type cell mediated hypersensitivity) ini dijalankan oleh
komponen imunitas seluler yaitu limfosit T.Sel T yang telah tersensitisasi oleh
suatu antigen tertentu, pada pemajanan berikutnya dengan antigen yang sama akan
teraktivasi dan mengeluarkan sitokin. Sitokin yang diproduksi antara lain
macrophages chemotactic factor, macrophages inhibitory factor, interleukin 1,
tumor necrosis factor alpha(TNF ) dan interpheron gamma(IFN ). Sitokin ini
akan berfungsi merekrut sel-sel radang terutama sel T dan makrofag di tempat
antigen.1,3

Gambar 3. Mekanisme Hipersensitivitas tipe IV

Patogenesis DKA melalui 2 fase yaitu fase induksi (fase sensitisasi) dan
fase elisitasi. Fase induksi saat kontak pertama alergen dengan kulit sampai

16
limfosit mengenal dan memberi respons memerlukan waktu 2-3 minggu.
Sedangkan fase elisitasi ialah saat terjadi pajanan ulang dengan alergen yang sama
atau serupa sampai timbul gejala klinis.2,13

Gambar 4. Peristiwa imunologi pada dermatitis kontak alergi. Gambar


sebelah kiri merupakan fase sensitisasi dan sebelah kanan merupakan fase
elisitasi14

1. Fase Sensitisasi
Fase sensitisasi disebut juga fase induksi atau fase aferen. Pada
fase ini terjadi sensitisasi terhadap individu yang semula belum peka oleh
bahan kontaktan yang disebut alergen kontak.1,9
Hapten yang masuk ke dalam epidermis melewati stratum korneum
akan ditangkap oleh sel Langerhans dengan cara pinositosis, dan diproses
secara kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol serta dikonjugasikan pada
molekul HLA-DR menjadi antigen lengkap. Pada awalnya sel Langerhans
dalam keadaan istirahat dan hanya berfungsi sebagai makrofag dengan
sedikit kemampuan menstimulasi sel T. Tetapi setelah keratinosit terpajan
oleh hapten yang juga mempunyai sifat iritan, akan melepaskan sitokin
(IL-1) yang akan mengaktifkan sel Langerhans sehingga mampu
menstimulasi sel T. Aktivasi tersebut akan mengubah fenotip sel
Langerhans dan meningkatkan sekresi sitokin tertentu (misalnya IL-1)
serta ekspresi molekul permukaan sel termasuk MHC kelas I dan II,

17
ICAM-1, LFA-3, dan B7. Sitokin proinflamasi lain yang dilepaskan oleh
keratinosit yaitu TNF, yang dapat mengaktivasi sel T, menginduksi
perubahan molekul adesi sel dan pelepasan sitokin juga
meningkatkan MHC kelas I dan II.2,8
TNF menekan produksi E-cadherin yang mengikat sel
Langerhans pada epidermis, juga menginduksi aktivitas gelatinolisis
sehingga memperlancar sel Langerhans melewati membran basalis
bermigrasi ke kelenjar getah bening setempat melalui saluran limfe. Di
dalam kelenjar limfe, sel Langerhans mempresentasikan kompleks HLA-
DR-antigen kepada sel T penolong spesifik, yaitu yang mengekspresikan
molekul CD4 yang mengenali HLA-DR sel Langerhans dan kompleks
reseptor sel-T-CD3 yang mengenali antigen yang telah diproses. Ada atau
tidak adanya sel T spesifik ini ditentukan secara genetik.8
Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel T untuk
mensekresi IL-2 dan mengekspresi reseptor-IL-2 (IL-2R). Sitokin ini akan
menstimulai proliferasi sel T spesifik, sehingga menjadi lebih banyak.
Turunan sel ini yaitu sel T-memori (sel-T teraktivasi) akan meninggalkan
kelenjar getah bening dan beredar ke seluruh tubuh. Pada saat tersebut
individu menjadi tersensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung 2-3 minggu.8
Menurut konsep, bahwa sinyal antigenik murni suatu hapten
cenderung menyebabkan toleransi sedangkan sinyal iritannya
menimbulkan sensitisasi. Dengan demikian terjadinya sensitisasi kontak
bergantung pada adanya sinyal iritan yang dapat berasal dari alergen
kontak sendiri, dari ambang rangsang yang rendah terhadap respons iritan,
dari bahan kimia inflamasi pada kulit yang meradang, atau kombinasi dari
ketiganya. Jadi sinyal bahaya yang menyebabkan sensitisasi tidak berasal
dari sinyal antigenik sendiri, melainkan dari iritasi yang menyertainya.
Suatu tindakan mengurangi iritasi akan menurunkan potensi sensitisasi.2,8
Pada saat ini individu tersebut telah tersensitisasi yang berarti
mempunyai resiko untuk mengalami dermatitis kontak alergik.1,2

18
2. Fase Elisitasi
Jika seseorang telah tersensitisasi mengalami paparan alergen
berulang. Hal ini berarti bahwa sel yang telah tersensitisasi telah tersedia
di dalam kompartemen dermis. Reaksiklinik yang terjadi biasanya sangat
cepat dan terjadi dalam kurun waktu 24-48 jam, namun hal ini juga
tergantung pada derajat sensitivitas, penetrasi dan faktor lainnya.2,3
Sel Langerhans akan mensekresi IL-1 yang akan merangsang sel T
untuk mensekresi IL-2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang INF
(interferon) gamma. IL-1 dan INF gamma akan merangsang keratinosit
memproduksi ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1) yang langsung
beraksi dengan limfosit T dan lekosit, serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid
akan mengaktifkan sel mast dan makrofag untuk melepaskan histamin
sehingga terjadi vasodilatasi dan permeabilitas yang meningkat. Akibatnya
timbul berbagai macam kelainan kulit seperti eritema, edema dan vesikula
yang akan tampak sebagai dermatitis. Proses peredaan atau penyusutan
peradangan terjadi melalui beberapa mekanisme yaitu proses skuamasi,
degradasi antigen oleh enzim dan sel, kerusakan sel Langerhans dan sel
keratinosit serta pelepasan Prostaglandin E-1dan 2 (PGE-1,2) oleh sel
makrofag akibat stimulasi INF gamma. PGE-1,2 berfungsi menekan
produksi IL-2 sel T serta mencegah kontak sel T dengan keratisonit. Selain
itu sel mast dan basofil juga ikut berperan dengan memperlambat puncak
degranulasi setelah 48 jam paparan antigen, diduga histamin berefek
merangsang molekul CD8 (+) yang bersifat sitotoksik. Dengan beberapa
mekanisme lain, seperti sel B dan sel T terhadap antigen spesifik, dan
akhirnya menekan atau meredakan peradangan. Fase elisitasi umumnya
berlangsung antara 24-48 jam.5,12

19
Gambar 5. Patofisiologi Dermatitis Kontak

2.4.6 KLASIFIKASI
Ada dua jenis dermatitis kontak. Pertama, dermatitis kontak iritan (DKI)
disebabkan oleh iritasi kimia, dermatitis kontak alergi (DKA) disebabkan oleh
antigen (alergen) dimana memunculkan reaksi hipersensitivitas tipe IV (cell-
mediated atau tipe lambat). Karena DKI bersifat toksik, maka reaksi inflamasi
hanya terbatas pada daerah paparan, batasnya tegas dan tidak pernah menyebar.
Sedangkan DKA adalah reaksi imun yang cenderung melibatkan kulit di
sekitarnya (spreading phenomenon) dan bahkan dapat menyebar di luar area yang
terkena. Pada DKA dapat terjadi penyebaran yang menyeluruh.1

2.4.7 MANIFESTASI KLINIS


Gejala Penderita umumnya mengeluh gatal. Pada yang akut dimulai
dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti oleh edema,
papulovesikel, vesikel atau bulla. Vesikel atau bulla dapat pecah menimbulkan
erosi dan eksudasi (basah). DKA akut ditempat tertentu misalnya kelopak mata,
penis, scrotum, eritema dan edema lebih dominan daripada vesikel. Pada yang
kronis terlihat kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur,
batasnya tidak jelas. DKA akut mungkin melibatkan eritema, vesikel, dan bula,
DKA kronis akan menimbulkan likenifikasi disertai fissur.2,15

20
Gambaran klinis DKA tergantung pada jenis alergen yang menyebabkan.
Biasanya, dermatitis terjadi pada lokasi aplikasi alergen tetapi penyebaran
dermatitis juga mungkin terjadi. Data yang berasal dari anamnesis juga meliputi
riwayat pekerjaan, hobi,obat topical, obat sistemik, kosmetik, yang diketahui
menimbulkan alergi. Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan
kelainan kulit yang ditemukan misalnya, ada kelainan kulit berukuran nummular
disekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi.15
1. Fase akut
Kelainan kulit umumnya muncul 24-48 jam pada tempat terjadinya
kontak dengan bahan penyebab. Derajat kelainan kulit yang timbul
bervariasi ada yang ringan ada pula yang berat. Pada yang ringan mungkin
hanya berupa eritema dan edema, sedang pada yang berat selain eritema dan
edema yang lebih hebat disertai pula vesikel atau bula yang bila pecah akan
terjadi erosi dan eksudasi. Lesi cenderung menyebar dan batasnya kurang
jelas. Keluhan subyektif berupa gatal.2
2. Fase Sub Akut
Jika tidak diberi pengobatan dan kontak dengan alergen sudah
tidak ada maka proses akut akan menjadi subakut atau kronis. Pada fase ini
akan terlihat eritema, edema ringan, vesikula, krusta dan pembentukan
papul-papul.2
3. Fase Kronis
Dermatitis jenis ini dapat primer atau merupakan kelanjutan dari fase
akut yang hilang timbul karena kontak yang berulang-ulang. Lesi cenderung
simetris, batasnya kabur, kelainan kulit berupa likenifikasi, papula, skuama,
terlihat pula bekas garukan berupa erosi atau ekskoriasi, krusta serta eritema
ringan. Walaupun bahan yang dicurigai telah dapat dihindari, bentuk kronis
ini sulit sembuh spontan oleh karena umumnya terjadi kontak dengan bahan
lain yang tidak dikenal.2
Selain berdasarkan fase respon peradangannya, gambaran klinis
dermatitis kontak juga dapat dilihat menurut predileksi regionalnya. Hal ini
akan memudahkan untuk mencari bahan penyebabnya.2

21
a. Tangan
Kejadian dermatitis kontak baik iritan maupun alergik paling
sering di tangan, misalnya pada ibu rumah tangga. Demikian pula
dermatitis kontak akibat kerja paling banyak ditemukan di tangan.
Sebagian besar memang disebabkan oleh bahan iritan. Bahan
penyebabnya misalnya deterjen, antiseptik, getah sayuran/tanaman,
semen dan pestisida
b. Lengan
Alergen umumnya sama dengan pada tangan, misalnya oleh jam
tangan (nikel), sarung tangan karet, debu semen dan tanaman. Di
aksila umumnya oleh bahan pengharum
c. Wajah
Dermatitis kontak pada wajah dapat disebabkan bahan kosmetik,
obat topikal, alergen yang ada di udara, nikel (tangkai kaca mata). Bila
di bibir atau sekitarnya mungkun disebabkan oleh lipstik, pasta gigi
dan getah buah-buahan. Dermatitis di kelopak mata dapat disebabkan
oleh cat kuku, cat rambut, perona mata dan obat mata.
d. Telinga
Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab lainnya
seperti obat topikal, tangkai kaca mata, cat rambut dan alat bantu
pendengaran.
e. Leher dan Kepala
Pada leher penyebabnya adalah kalung dari nikel, cat kuku (yang
berasal dari ujung jari), parfum, alergen di udara dan zat warna
pakaian. Kulit kepala relatif tahan terhadap alergen kontak, namun
dapat juga terkena oleh cat rambut, semprotan rambut, sampo atau
larutan pengeriting rambut.
f. Badan
Dapat disebabkan oleh pakaian, zat warna, kancing logam, karet
(elastis, busa), plastik dan deterjen.
g. Genitalia

22
Penyebabnya dapat antiseptik, obat topikal, nilon, kondom,
pembalut wanita dan alergen yang berada di tangan.
h. Paha dan tungkai bawah
Disebabkan oleh pakaian, dompet, kunci (nikel) di saku, kaos kaki
nilon, obat topikal (anestesi lokal, neomisin, etilendiamin),
semen,sandal dan sepatu.

2.4.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Uji Tempel atau Patch Test (In Vivo)
Uji tempel digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas
terhadap zat yang bersentuhan dengan kulit sehingga alergen dapat
ditentukan dan tindakan korektif dapat diambil.tempelan dihapus
setelah 48 jam (atau lebih cepat jika gatal parah atau terbakar pada
kulit) kemudian dibaca. Kulit yang ditempel ini perlu dievaluasi lagi
pada hari ke-4 atau 5, karena reaksi positif mungkin tidak muncul
sebelumnya menunjukkan interpretasi reaksi uji tempel.16,17
Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan
uji tempel:9 1) Dermatitis harus sudah sembuh, 2) Tes dilakukan
sekurang-kurangnya satu minggu setelah pemakaian kortikosteroid, 3)
Uji tempel dibuka setelah dua hari, kemudian dibaca, 4) Penderita
dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel
memberikan hasil negatif palsu, 5) Uji tempel dengan bahan standar
jangan lakukan pada penderita urtikaria.18
b. Provocative Use Test
Pemeriksaan ini akan mengkonfirmasi reaksi uji tempel yang
mendekati positif terhadap bahan-bahan dari zat, seperti kosmetik.
Pemeriksaan ini juga digunakan untuk menguji produk-produk untuk
kulit. Bahan di gosok ke kulit normal pada bagian dalam lengan atas
beberapa kali sehari selama lima hari.7,16
c. Uji Photopatch

23
Uji photopatch digunakan untuk mengevaluasi fotoalergi
kontak terhadap zat seperti sulfonamid, fenotiazin, asam p-
aminobenzoic, oxybenzone, 6-metil kumarin, musk ambrette, atau
tetrachlorsalicylanilide. Sebuah uji tempel standar diterapkan selama
24 jam, hal ini kemudian terekspos 5 sampai 15 J/m2 dari ultraviolet-
A dan dibaca setelah 48 jam.7

2.4.9 DIAGNOSIS DERMATITIS KONTAK ALERGI


Diagnosis dermatitis kontak alergiditegakkan berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik.19
a. Anamnesis
Keluhan kelainan kulit berupa gatal. Kelainan kulit bergantung
pada keparahan dermatitis. Keluhan dapat disertai timbulnya bercak
kemerahan. Hal yang penting ditanyakan adalah riwayat kontak
dengan bahan bahan yang berhubungan dengan riwayat pekerjaan,
hobi, obat topikal yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetik,
bahan bahan yang dapat menimbulkan alergi, serta riwayat alergi di
keluarga.19
b. Pemeriksaan Fisik
Tanda yang dapat diobservasi sama seperti dermatitis pada
umumnya, tergantung padakondisi akut atau kronis. Lokasi dan pola
kelainan kulit penting diketahui untuk mengidentifikasi kemungkinan
penyebab, seperti diketiak oleh deodorant, di pergelangan tangan oleh
jam tangan, dan seterusnya.19

2.4.10 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan dermatitis kontak alergi diberikan farmakologi
berupa:19,17
a. Topikal (2 kali sehari)
- Pelembab krim hidrofilik urea 10%
- Kortikosteroid

24
Desonid krim 0,05% (catatan: bila tidak tersedia dapat digunakan
fluosinolon asetonid krim 0,025%)
- Pada kasus dengan manifestasi klinis likenifikasi dan
hiperpigmentasi, dapat diberikan golongan betamethasone valerat
krim 0,1% atau mometason furoat krim 0,1%.
- Pada kasus infeksi sekunder, perlu dipertimbangkan pemberian
antibiotik topikal.
b. Oral sistemik
- Antihistamin hidroksisin (2x1 tablet) selama maksimal 2 minggu,
atau
- Loratadine 1x10 mg/ hari selama maksimal 2 minggu
Pasien perlu mengidentifikasi faktor risiko, menghindari bahan
bahan yang bersifat alergen, baik yang bersifat kimia, mekanis, dan fisis,
memakai sabun dengan pH netral dan mengandung pelembab serta
memakai alat pelindung diri untuk menghindari kontak alergen saat
bekerja.18
Adapun konseling dan edukasi pada penderita dermatitis kontak alergi
sebagai berikut:19,20
a. Konseling untuk menghindari bahan alergen di rumah saat
mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
b. Edukasi menggunakan alat pelindung diri seperti sarung tangan dan
sepatu boot.
c. Memodifikasi lingkungan tempat bekerja.
Indikasi rujukan:16
a. Apabila dibutuhkan melakukan patch test,
b. Apabila kelainan tidak membaik dalam 4 minggu pengobatan standar
dan sudah menghindari kontak.

2.4.11 DIAGNOSIS BANDING


Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran morfologik
yang khasdapat menyerupai dermatitis seboroik, dermatitis numularis,

25
dermatitis atopik, psoriasis. Ada kecenderungan umum ke arah kulitnya
yang sifatnya berminyak, predileksi lesi ini adalah kulit kepala, tempat
predileksinya pada wajah, dada tengah, dan lipatan inguinal. Dermatitis
atopik sering onsetnya pada masa bayi atau anak usia dini. Kulit tampak
kering dan meskipun pruritus merupakan fitur yang menonjol, pruritus
akan muncul sebelum lesi, bukan setelah lesi. Daerah yang paling sering
terlibat adalah permukaan fleksura. Batas dermatitis tidak tegas, dan
perkembangan dari eritema ke papula dan ke vesikel tidak terlihat.
Dermatitis psoriatik ditandai oleh plak eritematosa berbatas tegas dengan
sisik warna putih keperakan. Lesi sering didistribusikan secara simetris di
atas permukaan ekstensor seperti lutut atau siku. Dermatitis iritan primer
mungkin hampir tidak bisa dibedakan dalam penampilan fisiknya dari
DKA.2,18

2.4.12 PENCEGAHAN
Pencegahan merupakan hal yang sangat penting pada
penatalaksanaan dermatitis kontak alergik. Di lingkungan rumah, beberapa
hal dapat dilaksanakan misalnya penggunaan sarunga tangan karet di ganti
dengan sarung tangan plastik, menggunakan mesin cuci, sikat bergagang
panjang, penggunaan deterjen sesuai aturan pabrik dll. Barang-barang atau
aksesoris yang berbahan nikel diganti dengan bahan lain, bila tidak,
dilapisi dengan isolasi bening atau pelapis kuku bening.Pihak pabrik harus
memberi informasi barang-barang yang mengandung nikel. Untuk
pencegahan terutama pada tangan digunakan krim yang berbasis emolien,
dan digunakan pembersih yang lembut. Di lingkungan industri dapat
dilakukan tindakan pencegahan sesuai dengan UU No. 1 tahun 1970
tentang Keselamatan Kerja, Bab III pasal 3 ayat 1 yang berbunyi sebagai
berikut ; Dengan peraturan perundangan ditetapkan syarat - syarat
keselamatan kerja untuk mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit
akibat kerja baik fisik, psikis, peracunan, infeksi dan penularan.
Disamping itu para karyawan baru wajib diberikan pendidikan dan

26
penerangan mengenai hal tersebut sesuai isi UU No.1 tahun 1970 tentang
Keselamatan kerja Bab V pasal 9 ayat 1 dan 2.2

2.4.13 PROGNOSIS
Prognosis dermatitis kontak alergi tergantung pada penyebab dan
bagaimana caranya menghindari pajanan alergen yang berulang-ulang.
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan
kontaktannya dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi
kronis, bila bersamaan dengan dermatitis oleh faktor endogen (dermatitis
atopik, dermatitis numularis atau psoriasis) atau pajanan dengan bahan
iritan yang tidak mungkin dihindari.2,19

27
BAB III

METODOLOGI DAN LOKASI STUDI KASUS

3.1 Metodologi
Studi kasus ini menggunakan desain studi kasus untuk mempelajari
hubungan antara faktor risiko dan efek (penyakit atau masalah kesehatan), dengan
memilih kelompok studi berdasarkan perbedaan faktor risiko. Kemudian melihat
berapa banyak subjek dalam masing-masing kelompok yang mengalami efek
penyakit atau masalah kesehatan untuk melakukan penerapan pelayanan dokter
layanan primer secara holistik.
Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode
wawancara dan observasi dengan pasien dimana wawancara merupakan suatu
cara mengumpulkan data dengan cara mengajukan pertanyaan langsung kepada
seorang informan atau autoritas atau seorang ahli yang berwenang dalam suatu
masalah.Sedangkan observasi adalah pengamatan dan juga pencatatan sistematik
atas unsur-unsur yang muncul dalam suatu gejala atau gejala-gejala yang muncul
dalam suatu objek penelitian. Hasil dari observasi tersebut akan dilaporkan dalam
suatu laporan yang tersusun secara sistematis mengikuti aturan yang berlaku.

3.2 Lokasi dan Waktu Studi Kasus


Studi kasus dilakukan pertama kali dilakukan saat penderita datang
berobat di Puskesmas Maccini Sawah pada tanggal 22 Mei 2017. Selanjutnya
dilakukan home visit untuk mengetahui secara holistik keadaan dari penderita.

3.2.1 Gambaran Umum Lokasi Studi Kasus


Puskesmas Maccini Sawah terletak dijalan Maccini no.38 merupakan salah
satu puskesmas yang ada dipuskesmas di kecamatan di kota makassar dengan luas
wilayah kerja 69 Ha, berupa daratan.
Adapun wilayah kerja puskesmas maccini sawah berbatasan dengan :
Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Bontoala
Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Bara-Baraya Utara dan Bara-
Baraya Timur.
Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Panakkukang
Sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Barana

28
Gambar 6. Tampak logo depan Puskesmas Maccini Sawah

3.3.1 Keadaan Demografis


Jumlah Penduduk di wilayah kerja puskesmas Maccini Sawah pada tahun
2012 sebanyak 20.516 jiwa dengan perincian : laki-laki 10393 orang dan
perempuan 10123

1.3.2 Sarana dan Prasarana


Untuk melayani masyarakat di wilayah kerja, disamping fasilitas sarana kesehatan
juga tersedia kendaraan roda empat, pelayanan puskesmas keliling, dan lima unit
kendaraan roda dua bantuan dari pusat/pemerintah kota (Proyek)

- Dokter Umum : 3 orang


- Dokter Gigi : 2 orang
- Perawat : 6 orang
- Bidan : 5 orang
- Pranata Laboratorium : 1 orang
- Sarjana Apoteker : 1 orang
- Asisten Apoteker : 1 orang
- Perawat Gigi : 1 orang
- Rekam Medik : 1 orang
- Sarjana Kesehatan Masyarakat :
Epidemiologi : 1 orang

29
3.3.2 Visi dan Misi Puskesmas Maccini Sawah
i. Visi Puskesmas Maccini Sawah
Masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan di wilayah kerja
puskesmas maccini sawah

j. Misi Puskesmas Maccini Sawah


1. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui masyarakat,
termasuk swasta dan masyarakat madani.
2. Melindungi Kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya
upaya kesehatan paripurna, merata, bermutu dan berkeadilan.
3. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumber daya kesehatan.

3.3.3 Sepuluh Penyakit Terbanyak di Puskesmas Maccini Sawah


Sepuluh penyakit umum terbanyak yang tercatat di Puskesmas Maccini
Sawah adalah:
1. ISPA : 13971 Kasus
2. Hipertensi : 1128 Kasus
3. Dispepsia : 1478 Kasus
4. Diare : 1931 Kasus
5. Infeksi Kulit : 2354 Kasus
6. Rhematik : 1698 Kasus
7. Penyakit Gusi : 1301 Kasus
8. Dermatitis/Eksim : 1102 Kasus
9. Bronchitis : 1020 Kasus
10. CCI : 942 Kasus

3.3.4 Kegiatan Pelayanan Kesehatan


1. Tempat Pengambilan Kartu dan Kamar Kartu
a. Menerima pasien
b. Menyediakan dan memberikan kartu bagi pengunjung baru
c. Menyediakan dan memberikan buku kontrol pada pasien

30
d. Pencatatan dan pelaporan jumlah pasien yang berkunjung ke
puskesmas.
2. Poliklinik Umum / Kamar Periksa
Poliklinik adalah bentuk pelayanan kesehatan rawat jalan
yang bertujuan menyembuhkan penyakit dan pemeliharaan kesehatan
baik secara perorangan atau berkelompok (masyarakat). Kegiatan
poliklinik dilaksanakan dari senin hingga sabtu dari jam 08.00 14.00,
kecuali padahari jumat dari jam 08.00 11.00. Kegiatan yang
dijalankan selama di poliklinik adalah anamnesis dan pemeriksaan
fisik, diagnosis penyakit, penulisan resep. Dalam program mengikuti
kegiatan poliklinik ini kami dapat mempelajari cara berkomunikasi
yang benar dengan pasien yang datang dari berbagai golongan dan
latar belakang. Keluhan-keluhan yang paling sering ada pada pasien
yang datang ke puskesmas untuk berobat adalah batuk, pilek, demam,
tekanan darah tinggi, dan kelainan kulit.
3. Poliklinik Gigi
Pemeriksaan kesehatan gigi berupa anamnesis pasien,
pemeriksaan fisik, diagnosis penyakit, tindakan pemeriksaan gigi dan
mulut, penulisan resep dan pemberian obat.
4. Unit Gawat Darurat (UGD)
a. Ganti verband
b. Cross insisi
c. Hecting dan affhecting
d. Sirkumsisi
e. Merawat luka

5. Apotek
a. Tempat pengambilan obat
b. Mengatur pengadaan obat sesuai kebutuhan
c. Membuat pelaporan tentang pemakaian obat
6. KIA (Kesehatan Ibu dan Anak)
Beberapa kegiatan KIA adalah :
a. Pemeriksaan HIV, malaria, dan sifilis pada ibu hamil
b. Pemeriksaan kehamilan trimester pertama, kedua, dan ketiga (K1-
K4)

31
c. Pemberian tablet Fe, kalsium, Vitamin B complex
d. Suntikan tetanus toxoid
e. Penimbangan berat badan
f. Mengukur tekanan darah ibu hamil
g. Mengukur lingkar lengan atas (LILA)
h. Mendeteksi risiko tinggi pada ibu hamil
3.4 Pengumpulan Data / Informasi
Semua yang berkaitan dengan penyakit atau permasalahan kesehatan
penderita informasinya dikumpulkan dengan melakukan komunikasi personal
dengan pasien dan atau keluarganya dan analisis data.

3.5 Cara Pengumpulan Data / Informasi


Dilakukan dengan komunikasi personal dengan pasien/keluarganya secara
langsung dengan menggunakan pertanyaan what, why, who, where, when dan how

32
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL STUDI KASUS


4.1.1 ANAMNESIS DAN DIAGNOSIS KLINIS
A. Identitas Pasien
Nama : Nn. N
Umur : 50 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Bangsa/suku : Makassar
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Status Perkawinan : Menikah
Alamat : Jl. Gunung bawakaraeng
Tanggal Pemeriksaan : 22 Mei 2017
B. Riwayat Penyakit
- Keluhan Utama
Gatal dan nyeri pada kedua punggung kaki sejak 1 minggu yang lalu
- Anamnesis Terpimpin
Seorang wanita usia 50 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan
gatal dan nyeri pada kedua punggung kaki sejak 1 minggu yang lalu.
Awalnya berupa kulit yang memerah saja pada kedua punggung kaki yang
berkontak dengan sendal jepit. Kemerahan pada kulit tidak langsung
muncul melainkan setelah berkontak ulang dengan sendal jepit. Kemudian
kulit yang memerah tersebut mulai terasa gatal, nyeri dan kasar. Selama ini
pasien sudah pernah berobat ke puskesmas dan mendapat obat yang
diminum dan salep.
- Riwayat Penyakit Dahulu
Sekitar 1 tahun yang lalu sebelumnya pasien pernah berobat ke
Puskesmas Maccini sawah dengan keluhan yang sama akibat sering

33
menggunakan sendal jepit. Keluhan membaik setelah diberikan
pengobatan oleh dokter.
- Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita keluhan yang sama
- Riwayat Atopi
Pasien tidak mempunyai riwayat asthma pada dirinya maupun
keluarganya.
- Riwayat Alergi
Pasien alergi terhadap penggunaan sendal jepit . Tidak ada riwayat alergi
terhadap substansi atau obat-obatan tertentu pada pasien.
- Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang penjual ikan di pasar
Riwayat Pengobatan
Pasien pernah berobat dengan keluhan yang sama di Puskesmas Maccini
sawah.

C. Pemeriksaan Fisis
- Keadaan Umum
Pasien tampak sakit ringan, gizi baik, kesadaran compos mentis
- Vital Sign
1. Tekanan Darah : 120/80 mmHg
2. Nadi : 80 x/menit
3. Pernapasan : 20 x/menit
4. Suhu : 36,7 oC
- Status Generalis
1. Kepala : Biasa
Ekspresi : Simetris muka : Simetris ki=ka
Rambut : Hitam, sulit dicabut
Mata : Eksoptalmus atau enoptalmus: (-)
Tekanan bola mata : Tidak dilakukan pemeriksaan
Kelopak mata : Dalam batas normal

34
Konjungtiva : Anemis (-)
Kornea : Jernih
Sklera : Ikterus (-)
Pupil : Isokor 2,5 mm
2. Telinga
Tophi : (-)
Pendengaran : Dalam batas normal
Nyeri tekan di prosesus mastoideus : (-)
3. Hidung
Perdarahan : (-)
Sekret : (-)
4. Mulut
Bibir : Kering (-)
Gigi geligi : Karies (-)
Gusi : Perdarahan (-)
Tonsil : Hiperemis (-)
5. Leher
Kelenjar getah bening : MT (-), NT (-)
Kelenjar gondok : MT (-), NT (-)
DVS : R-2 cmH2O
Kaku kuduk : (-)
Tumor : (-)
6. Dada
Inspeksi : Simetris ki=ka
Bentuk : Normochest
Pembuluh darah : Bruit (-)
Buah dada : Tidak ada kelainan
Sela iga : Tidak ada pelebaran
7. Thorax
Palpasi : Fremitus Raba : Ki=Ka
Nyeri tekan : (-)

35
Perkusi : Paru kiri : Sonor
Paru kanan : Sonor
Batas paru hepar : ICS VI Dextra Anterior
Batas paru belakang kanan : V Th IX Dextra Posterior
Batas paru belakang kiri : V Th X Sinistra Posterior
Auskultasi : Bunyi pernapasan : vesikuler
Bunyi tambahan : Rh -/- Wh-/-
8. Punggung
Inpeksi : skoliosis (-), kifosis (-)
Palpasi : MT (-), NT (-)
Nyeri ketok : (-)
Auskultasi : Rh -/- Wh -/-
9. Cor
Inspeksi : Ictus kordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Pekak,batas jantung kesan normal
Auskultasi : BJ I/II murni regular
Bunyi tambahan : Bising (-)
10. Abdomen
Inspeksi : Datar, ikut gerak napas
Palpasi : MT (-), NT (-)daerah epigastrium
Hati : Tidak teraba
Limpa : Tidak teraba
Ginjal : Ballotement (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal

11. Status dermatologi

36
Gambar 7. Lesi pada Jari dan Tangan Kanan

- Lokasi : kedua punggung kaki


- Effloresensi :Tampak makula eritema, batas tegas dengan distribusi
bebrbatas tegas pada kedua punggung kaki. Terdapat likenifikasi pada
bekas lesi.
Follow Up pasien setelah tujuh hari pemgobatan :

Gambar 8. Hasil Follow up pada pasien

37
D. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan

E. Diagnosis
Dermatitis kontak alergi et causa sndal jepit

4.1.2 PENATALAKSANAAN DAN EDUKASI


- Penatalaksanaan
o Topikal : hidrokortison dioleskan 3x1
o Sistemik : Cetirizine 1x1
- Edukasi
o Menghindari faktor pencetus terjadinya dermatitis kontak alergi
o Hindari penggunaan sendal jepit di tempat yang becek
o Memperbaiki higienitas pribadi dan keluarga

4.1.3 PENDEKATAN HOLISTIK DERMATITIS KONTAK ALERGI


- Profil Keluarga
Pasien Ny. N tinggal bersama suami, 3 orang anak, 3 orang menantu dan 8
cucunya .

- Karakteristik Demografi Keluarga


a. Identitas Kepala keluarga : Tn. T
b. Identitas Pasangan : Ny. N
c. Alamat : Jl. Gunung bawakaraeng
d. Bentuk Keluarga : extended Family

38
Tabel 2. Anggota Keluarga yang Tinggal Serumah

Kedudukan
No Nama dalam Gender Umur Pendidikan Pekerjaan
keluarga

1. Tn. T Ayah L 55 SD Supir mobil


kampas

2. Ny. N Ibu P 50 SD Penjual ikan


di pasar
3. Ny. S Anak P 28 SMA Ibu rumah
pertama tangga

4. Tn. J Suami Anak L 30 SMA karyawan


pertama

5. Ny. A Anak ke dua P 25 SMA Ibu rumah


tangga

Tn.
5. H Suami anak L 25 SMA Pedagang
ke dua campuran di
pasar
7. Tn. M Anak ke tiga L 23 SMA Pedagang
ikan di pasar

8. Ny. B Istri anak ke P 22 SMP Ibu rumah


tiga tangga

9. An. I Cucu P 13 SMP Siswa


pertama

10. An. U Cucu ke dua P 12 SMP siswa

11. An. D Cucu ke tiga L 11 SD siswa

12. An. L Cucu ke P 8 SD siswa


empat

13. An. N Cucu ke lima P 7 SD siswa

39
14. An. B Cucu ke P 5 _ _
enam

15. An. T Cucu ke L 3 _ _


tujuh

16. An. K Cucu ke P 2 - -


delapan

- Penilaian Status Sosial dan Kesejahteraan Hidup


Pekerjaan sehari-hari pasien adalah seorang penjual ikan di pasar. Suami
pasien adalah seorang supir kampas dengan pendapatan setiap bulannya
cukup dan bisa untuk membiayai kebutuhan sehari-hari keluarganya.
Pasien ini tinggal di rumah yang kondisinya kurang baik, tetapi tetap
tertata rapi serta terawat namun sangat padat penduduk. Rumah terdiri dari
1 ruang tamu sekaligus ruang keluarga, 4 kamar tidur, 1 dapur, dan 1
kamar mandi.

Tabel 3. Lingkungan Tempat Tinggal


Status kepemilikan rumah : pribadi
Daerah perumahan : padat
Karakteristik Rumah dan Lingkungan Kesimpulan
Luas rumah : 6X8m2 Keluarga Ny. N tinggal di
Jumlah penghuni dalam satu rumah : 16 orang rumah dengan status
Luas halaman rumah : - kepemilikian pribadi. Ny. S
Tidak Bertingkat tinggal dalam rumah yang
Lantai rumah dari : semen kurang sehat dengan
Dinding rumah dari : kayu dan tripleks lingkungan rumah yang padat
Jamban keluarga : ada yang dihuni oleh 16 Orang.

Tempat bermain : tidak ada Dengan penerangan listrik 450

Penerangan listrik : 450 watt watt. Air PAM umum sebagai

Ketersediaan air bersih : ada (PAM) sarana air bersih keluarga.

Tempat pembuangan sampah : ada

40
- Kepemilikan barang barang berharga
Keluraga Ny.N memiliki beberapa barang elektronik di rumahnya antara
lain yaitu,satu buah televisi yang terletak di ruang tamu, 5 buah kipas
angin yang terletak di ruang tamu dan masing-masing kamar tidur, satu
buah rice cooker yang terletak di dapur dan satu buah kulkas ukuran 1
pintu.

- Penilaian Perilaku Kesehatan Keluarga


o Jenis tempat berobat : Puskesmas
o Asuransi / JaminanKesehatan : KIS

- Sarana Pelayanan Kesehatan (Puskesmas)


Tabel 4. Pelayanan Kesehatan
Faktor Keterangan Kesimpulan
Cara mencapai pusat Keluarga Letak Pkm Maccini sawah
pelayanan kesehatan menggunakan tidak jauh dari tempat
kendaraan umum tinggal pasien, sehingga
berupa pete-pete untuk mencapai puskesmas
atau bentor untuk keluarga pasien dapat naik
menuju ke pete-pete atau bentor.
puskesmas. Untuk biaya pengobatan
Tarif pelayanan kesehatan Menurut keluarga diakui oleh keluarga pasien
biaya pelayanan yaitu setiap kali datang
kesehatan cukup berobat tidak dipungut biaya
murah. dan pelayanan Puskesmas
Kualitas pelayanan Menurut keluarga pun dirasakan keluarga
kesehatan kualitas pelayanan pasien memuaskan pasien.
kesehatan yang
didapat
memuaskan.

41
- Pola Konsumsi Makanan Keluarga
Kebiasaan makan : keluarga Ny.N memiliki kebiasaan makan antara
2-3 kali dalam sehari.
- Pola Dukungan Keluarga
Faktor pendukung terselesaikannya masalah dalam keluarga
Di antara yang merupakan faktor pendukung dalam penyelesaian
masalah keluarga seperti ada komunikasi yang baik dalam keluarga.
Selain adanya hubungan yang harmonis. Keluarga juga sangat terbuka
untuk setiap masalah kesehatan yang dihadapi.

Faktor penghambat terselesaikannya masalah dalam keluarga


Faktor kecemasan yang dialami pasien dan keluarga jika penyakit itu
semakin memburuk.
- Analisa Kedokteran Keluarga (Family Assesment Tools)
Fungsi Fisiologis (APGAR)
Fungsi fisiologis adalah suatu penentu sehat tidaknya suatu
keluarga yang dikembangkan oleh Rosan, Guyman dan Leyton,
dengan menilai 5 Fungsi pokok keluarga, antara lain:
1. Adaptasi: Tingkat kepuasan anggota keluarga dalam menerima
bantuan yang dibutuhkan
2. Partnership: Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap
komunikasi dalam mengambil keputusan dan menyelesaikan
masalah
3. Growth: Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kebebasan
karena dukungan dan dorongan yang diberikan keluarga dalam
mematangkan pertumbuhan dan kedewasaan semua anggota
keluarga
4. Affection: Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kasih
sayang serta interaksi emosional yang berlangsung

42
5. Resolve: Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kebersamaan
dalam membagi waktu, kekayaan dan ruang atas keluarga
- Penilaian
o Hampir Selalu = skor 2
o Kadang-kadang = skor 1
o Hampir tidak pernah = 0
- Total Skor
8-10 = Fungsi keluarga sehat
4-7 = Fungsi keluarga kurang sehat
0-3 = Fungsi keluarga sakit

Tabel 5. Penilaian Fungsi Fisiologis (APGAR) Keluarga Penderita Dermatitis


Kontak Alergi
Penilaian
Kadang Hampir
Hampir
No Pertanyaan - Tidak
selalu
Kadang Pernah
(2)
(1) (0)
1. Adaptasi
Saya puas dengan keluarga saya karena
masing masing anggota keluarga sudah
menjalankan kewajiban sesuai dengan
seharusnya
2. Partnership (Kemitraan)
Saya puas dengan keluarga saya karena

dapat membantu memberikan solusi
terhadap permasalahan yang saya hadapi
3. Growth (Pertumbuhan)
Saya puas dengan kebebasan yang diberikan

keluarga saya untuk mengembangkan
kemampuan yang saya miliki
4. Affection (Kasih Sayang)
Saya puas dengan kehangatan/ kasih sayang
yang diberikan keluarga saya
5. Resolve (Kebersamaan)

Saya puas dengan waktu yang disediakan

43
keluarga untuk menjalin kebersamaan
Total Skor 10
Dari tabel APGAR diatas total Skor adalah 10 ini menunjukkan Fungsi
keluarga sehat.
- Fungsi Patologis (SCREEM)
Aspek sumber daya patologi
1. Sosial: Pasien dapat hidup bermasyarakat dengan baik.
2. Cultural: Pasien dan keluarganya mengadakan acara pernikahan,
aqiqah, dan khitanan sesuai adat istiadat Makassar.
3. Religious: Keluarga pasien rajin melakukan ibadah sebagai umat Islam,
seperti: sholat lima waktu, tadarrus, puasa pada bulan Ramadhan, dan
ikut serta dalam kegiatan Isra Miraj dan Maulid Nabi Muhammad
saw.
4. Ekonomi: Keluarga pasien merasa kebutuhan ekonomi tercukupi.
5. Education: Tingkat pendidikan tertinggi di keluarga pasien yaitu SMA
6. Medication: Pasien dan keluarga menggunakan sarana pelayanan
kesehatan dari Puskesmas serta memilki asuransi kesehatan BPJS
- Genogram (Fungsi Genogram)
Dalam keluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit dermatitis
kontak alergi namun memungkinkan penyakit dermatitis kontak alergi
yang diderita pasien juga diderita anggota keluarganya.
- Bentuk keluarga
Bentuk keluarga ini adalah extended family yang terdiri dari Tn. T sebagai
kepala keluarga dan Ny. N sebagai seorang istri dan ibu dari anaknya.
Dari hasil pernikahan Tn. T dan Ny. N mereka dikarunai 2 orang anak
perempuan dan 1 anak laki-laki kemudian 8 cucu. Seluruh anggota
keluarga ini tinggal dalam satu rumah.
- Tahapan siklus keluarga
Tn. T merupakan pasangan Ny. N mereka dikaruniai 2 orang anak
perempuan dan 1 anak laki-laki yang masing-masing sudah dapat
mengurus diri sendiri.

44
- Family map

Gambar 9. Genogram pasien


Keterangan:
: suami penderita

: penderita DKA

: anak pertama

: anak kedua

: anak ke tiga
: cucu pertama
: cucu ke dua
: cucu ke tiga
: cucu ke empat
: cucu ke lima
: cucu ke enam
: cucu ke tujuh
: cucu ke delapan

4.2 PEMBAHASAN
4.2.1 DIAGNOSIS KLINIS
A. Anamnesis
- Aspek Personal

45
- Seorang wanita usia 50 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan gatal
dan nyeri pada kedua punggung kaki sejak 1 minggu yang lalu. Awalnya
berupa kulit yang memerah saja pada kedua punggung kaki yang
berkontak dengan sendal jepit. Kemerahan pada kulit tidak langsung
muncul melainkan setelah berkontak ulang dengan sendal jepit. Kemudian
kulit yang memerah tersebut mulai terasa gatal, nyeri dan kasar. Tidak ada
riwayat alergi makanan, namun terdapat riwayat alergi sendal jepit 1 tahun
sebelumnya sebelumnya. Kekhawatiran, takut penyakitnya memburuk.
Harapan: dapat sembuh dan anggota keluarga yang lain tidak menderita
penyakit yang sama dengannya.
- Aspek Klinik
o Gatal dan nyeri pada kaki punggung kaki
o Ada riwayat penyakit dermatitis kontak alergi (alergi sendal jepit)
sebelumnya, yaitu 1 tahun lalu sebelum gejala sekarang muncul.
- Pemeriksaan fisis: Effloresensi berupa makula eritema, batas tegas dengan
distribusi terbatas punggung kaki. Terdapat likenifikasi akibat penebalan
kulit yang kering.
- Aspek Faktor Risiko Internal
o Kurangnya pengetahuan tentang Dermatitis kontak alergi
o Mengidentifikasi dan mengeliminasi faktor penyebab Dermatitis
kontak alergi kurang
- Aspek Faktor Risiko Eksternal
Anggota keluarga kurang mengetahui penyebab penyakit dermatitis kontak
alergi pasien
- Aspek Psikososial Keluarga
Di dalam keluarga terdapat faktor-faktor yang dapat menghambat dan
mendukung kesembuhan pasien. Di antara faktor-faktor yang dapat
menghambat kesembuhan pasien yaitu, kurangnya pengetahuan keluarga
tentang penyakit yang diderita pasien sehingga tidak ada upaya
pencegahan faktor pencetus penyebab dermatitis kontak alergi pasien.
Sedangkan faktor yang dapat mendukung kesembuhan pasien yaitu adanya

46
dukungan dan motivasi dari semua anggota keluarga baik secara moral dan
materi.
- Aspek Fungsional
Secara aspek fungsional, pasien tidak ada kesulitan dan masih mampu
dalam hal fisik dan mental untuk melakukan aktifitas di dalam maupun di
luar rumah.

B. Derajat Fungsional
Ny. N masih dapat beraktifitas dengan baik tanpa bantuan siapapun (derajat 1
minimal)
C. Rencana Penatalaksanaan (Plan Of Action)
- Pertemuan ke-1: Puskesmas maccini sawah , 22 mei 2017 pukul 10.00
WITA.
- Pertemuan ke-2: Rumah pasien, tanggal 30 mei 2017 Pukul 10.30 WITA.
Tabel 6. Rencana Pelaksanaan (plan Of Action)
Aspek Kegiatan Sasaran Waktu Hasil yang Biaya Ket.
diharapkan
Aspek Menginformas Pasien Saat Pasien dapat Tidak Tidak
personal ikan kepada pasien bersabar ada menolak
Ny. N ke dengan
bersabar PKM penyakit dan
dengan dan saat memiliki
penyakit yang home semangat
diderita visit ke untuk
rumah berobat
pasien
Aspek Menganjurkan Pasien Saat Penyakit Tidak Tidak
klinik pasien untuk pasien sembuh ada menolak
meminum ke
obat sesuai PKM
yang dan saat
ditentukan home
dokter visit ke
rumah
pasien
Aspek Menganjurkan Pasien Saat Untuk Tidak Tidak

47
risiko pasien untuk pasien menjaga agar ada menolak
internal menggunakan ke penyakit
sarung tangan PKM yang diderita
saat mencuci dan saat pasien tidak
dengan home kambuh lagi
detergen visit ke
rumah
pasien
Aspek Memberitahu- Ayah, Saat Untuk Tidak Tidak
risiko kan keluarga ibu, anak datang menjaga agar ada menolak
external pasien untuk dan ke penyakit
senantiasa cucunya PKM yang diderita
mengingat- dan saat pasien tidak
kan pasien home kambuh lagi
untuk visit ke
menggunaka rumah
sarung tangan pasien
jika ingin
mencuci
dengan
detergen
Aspek Mengajarkan Seluruh Saat Mengurangi Tidak Tidak
psiko- kepada Keluarga home faktor faktor ada menolak
sosial keluarga visit ke yang dapat
keluarga pasien untuk rumah memperberat
selalu pasien keadaan
memberikan klinis pasien.
motivasi demi Menjaga
kesembuhan keluarga
pasien tetap sehat.
Aspek Menganjurkan Pasien Saat Untuk Tidak Tidak
fungsion pasien untuk home menjaga agar ada menolak
al menghindari visit ke penyakit
mencuci rumah yang diderita
dengan pasien pasien tidak
detergen tanpa kambuh
sarung tangan

D. Pemeriksaan Fisik

48
- Lesi pada pada kedua punggung kaki. Effloresensi berupa makula eritema,
batas tegas dengan distribusi terbatas punggung kaki. Terdapat likenifikasi
akibat penebalan kulit yang kering.
Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan
E. Diagnosis Holistik
- Diagnose Klinis :Dermatitis kontak alergi
- Diagnose Psikososial :Kecemasan akan penyakit pasien
memburuk, ketakutan akan penyakit pasien berulang bahkan tidak
sembuh.

4.2.2 PENATALAKSANAAN DAN EDUKASI


Penatalaksanaan secara kedokteran keluarga pada pasien ini
meliputi penatalaksanaan farmakologi dan edukasi sebagai berikut.
Pengobatan farmakologi berupa:
- Topical: Hidrocortison zalf 3x1
- Sistemik: Cetirizine 1x1
Edukasi
Edukasi untuk keluarga hanya berupa konseling untuk menghindari
bahan alergen pada saat ingin pergi menjual di pasar, serta
menggunakan alat pelindung diri seperti sarung tangan dan sepatu
boot/ mengganti jenis sendal yang di gunakan. Serta pemahaman
kepada keluarga pasien agar bisa memberikan dukungan dan motivasi
pasien atas kesembuhan pasien dari penyakit dermatitis kontak alergi.

4.2.3 PENDEKATAN HOLISTIK


Pendekatan Kedokteran Keluarga pada Penderita Dermatitis kontak alergi
Tabel 7. Skoring Kemampuan Pasien dan Keluarga dalam Penyelesaian
Masalah dalam keluarga
No Masalah Skor Upaya Resume Hasil Skor
Awal Penyelesaian Akhir Akhir
1. Faktor Biologi 3 Edukasi kepada - Penyuluhan 5

49
Hipersensiti pasien untuk terselenggara
vitas tipe IV menghindari - Keluhan
yang terjadi penggunaan sendal berkurang
pada kulit jepit.
ketika
terkena
bahan
allergen
2. Faktor Ekonomi Edukasi kepada - Penyuluhan 5
dan Pemenuhan pasien dan keluarga terselenggara
Kebutuhan pasien untuk - Kecemasan
Kecemasan menghindari kontak pasien dan
pasien dan dengan bahan keluarga
keluarganya 3 allergen berkurang
terhadap
penyakit
yang dapat
memburuk
3. Faktor Perilaku 3 Edukasi kepada - Penyuluhan 5
kesehatan pasien untuk terselenggara
keluarga menghindari - Pasien
Pasien tetap penggunaan sandal menggunakan
menggunaka jepit terlalu sering. sarung tangan
n sendal saat mencuci
jepit meski dengan
telah detergen
terdapat lesi
di kedua
punggung
kaki.
Total Skor 9 15
Rata-Rata Skor 3 5

Skor Kemampuan Menyelesaikan Masalah:


Skor 1 : Tidak dilakukan, keluarga menolak, tidak ada partisipasi
Skor 2 : Keluarga mau melakukan tapi tidak mampu, tidak ada sumber (hanya
keinginan), penyelesaian masalah dilakukan sepenuhnya oleh provider

50
Skor 3 : Keluarga mau melakukan namun perlu penggalian sumber yang belum
dimanfaatkan, penyelesaian masalah dilakukan sebagian besar oleh
provider
Skor 4 : Keluarga mau melakukan namun tak sepenuhnya, masih tergantung pada
upaya provider
Skor 5 : Dapat dilakukan sepenuhnya oleh keluarga

Dengan hasil yang didapatkan pada tabel di atas berarti bahwa pasien dan
keluarga pasien dapat menyelesaikan masalah kesehatan secara mandiri.

- Diagnosa Holistik, Tanggal Intervensi, dan Penatalaksanaan Selanjutnya


Pertemuan ke 1 : 22 Mei 2017
Saat kedatangan yang pertama dilakukan beberapa hal yaitu :
1. Memperkenalkan diri dengan pasien.
2. Menjalin hubungan yang baik dengan pasien.
3. Menjelaskan maksud kedatangan dan meminta persetujuan pasien
4. Menganamnesa pasien, mulai dari identitas sampai riwayat psiko-sosio-
ekonomi dan melakukan pemeriksaan fisik.
5. Memastikan pasien telah mengerti tujuan prosedur pemeriksaan.
6. Meminta persetujuan pemeriksaan kepada pihak pasien.
7. Membuat diagnostik holistik pada pasien.
8. Mengevaluasi pemberian penatalaksanaan farmakologis

51
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
5.1.1 Untuk melakukan diagnosis secara klinis meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang, serta
mengintepretasikan hasilnya dalam mendiagnosis dermatitis kontak
alergi.
Dari uraian pada bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa, diagnosis
telah dilakukan dengan baik dan benar, dimana pasien dapat
mengemukakan keluhan serta kecemasan yang dialaminya dengan jujur
kepada pemeriksa sehingga dapat didiagnosis pasien menderita dermatitis
kontak alergi.

5.1.2 Untuk melakukan prosedur tatalaksana dan edukasi dermatitis


kontak alergi sesuai standar kompetensi dokter Indonesia.
Dari uraian pada bab sebelumnya telah dipaparkan mengenai
penatalaksanaan pada pasien dermatitis kontak alergi berupa terapi
farmakologi berupa terapi topikal yaitu kortikosteroid dan sistemik yaitu
antihistamin, serta memberikan edukasi pada pasien agar menghindari
faktor pemicu berupa sandal jepit, sehingga penatalaksanaan yang
diberikan pada pasien telah sesuai standar kompetensi dokter Indonesia.

5.1.3 Untuk menggunakan landasan Ilmu Kedokteran Klinis dan


Kesehatan Masyarakat dalam pendekatan holistik melakukan upaya
pengendalian dermatitis kontak alergi secara holistik dan
komprehensif baik secara individu, keluarga maupun komunitas.

52
Dari bab sebelumnya telah dijelaskan mengenai pendekatan holistic
yang telah dilakukan dilihat dari berbagai aspek pasien, sebagai berikut:

- Aspek Personal
Pasien perempuan usia 50 tahun memiliki gejala yang mendukung ke arah
dermatitis kontak alergi serta memiliki kekhawatiran, takut penyakitnya
memburuk. Harapan: dapat sembuh dan anggota keluarga yang lain tidak
menderita penyakit yang sama dengannya.
- Aspek Klinik
Pasien mengeluh gatal pada kedua punggung kaki dan ada riwayat
penyakit dermatitis kontak alergi (alergi sandal jepit) sebelumnya, yaitu 1
tahun sebelum gejala sekarang muncul. Pada Pemeriksaan fisis:
Effloresensi berupa makula eritema, batas tegas dengan distribusi terbatas
pada punggung ke dua kaki dan terdapat likenifikasi akibat penebalan kulit
yang kering
- Aspek Faktor Risiko Internal
Pasien tidak mengetahui penyakitnya dan tidak memiliki pengetahuan
tentang dermatitis kontak alergi
- Aspek Faktor Risiko Eksternal
Anggota keluarga kurang mengetahui penyebab penyakit dermatitis kontak
alergi pasien
- Aspek Psikososial Keluarga
Di dalam keluarga terdapat faktor-faktor yang dapat menghambat dan
mendukung kesembuhan pasien. Di antara faktor-faktor yang dapat
menghambat kesembuhan pasien yaitu, kurangnya pengetahuan keluarga
tentang penyakit yang diderita pasien sehingga tidak ada upaya
pencegahan faktor pencetus penyebab dermatitis kontak alergi pasien.
Sedangkan faktor yang dapat mendukung kesembuhan pasien yaitu adanya
dukungan dan motivasi dari semua anggota keluarga baik secara moral dan
materi.

53
- Aspek Fungsional
Secara aspek fungsional, pasien tidak ada kesulitan dan masih mampu
dalam hal fisik dan mental untuk melakukan aktifitas di dalam maupun di
luar rumah.

5.2 Saran
Dari masalah yang dapat ditemukan pada Ny.N berupa Dermatitis Kontak
Alergi maka disarankan untuk:
1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan DKA;
2. Penggunaan bahan-bahan alergen tertentu di dalam rumah tangga
sehari-hari juga harus dipantau, jika terjadi reaksi akut, maka
penghentian pemakaian substansi tersebut harus segera dilakukan dan
segera menghubungi pelayanan kesehatan setempat;
3. Menghindari pemakaian bahan alergen kembali untuk mencegah
kekambuhan dermatitis kontak alergi.

54
DAFTAR PUSTAKA

1. Cohen DE, Jacob SE. Allergic Contact Dermatitis. In: Wolf K., Goldsmith
L.A., Katz S.I., editors. Fizpatricks Dermatology in General Medicine. 7 thEd.
New York: McGrawHill; 2008. P.135-46
2. Sulastri SA, Djuanda S. Dermatitis. Dalam: Djuanda A., editor. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin.Ed-5. Jakarta: Fk-UI; 2010. H. 129-39
3. Beck M.H, Wilkinson S.M. Contact Dermatitis: Allergic. In: Rooks,
Textbook of Dermatology. 7thEd. Oxford: Blackwell; 2004. P.20.1-2
4. Bourke J, Coulson I, English J. Guidelines for management of contact
dermatitis : an update.British Journal of Dermatology.2009;160:946-54
5. Imbesi S, Minciullo P.L, Isola S, Gangemi S. Allergic contact dermatitis:
Immune system involvement and distinctive clinical cases.
AllergolImmunopathol. 2011;39(6):374-7
6. Sterry W, Paus R, Burgdorf W. Contact Dermatitis. In Thieme Clinical
Companions Dermatology. New York: Thieme New York Publication; 2006.
P. 195-203
7. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews Diseases of The Skin Clinical
Dermatology. 10th Ed. Philadelphia: Elsevier Inc 2006. Chapter 6, Contact
Dermatitis and Drug Eruption; P.91-111
8. Spiewak R. Patch Testing For Contact Allergy And Allergic Contact
Dermatitis. Jagieollonian University Medical College, Krakow Poland. The
Open Allergy Journal. 2008;1:42-51
9. Duarte I, Malvestiti A, Lazzarini R. Evaluation of the permanence of skin
sensitization to allergens in patients with allergic contact dermatitis. An Bras
Dermatol. 2012;87(6):8337
10. Sasseville D. Occupational Contact Dermatitis. Allergy, Asthma, and Clinical
Immunology. 2008;4(2):59-65
11. Keefner, D.M., dan Curry, C.E., 2004, Contact Dermatitis dalam Handbook of
Nonprescription Drug, 12th edition, APHA, Washington D.C.

55
12. Akan A, Toyran M, Erkocoglu M, Kaya A, Kocabas CN. The prevalence of
Allergic Contact Sensitization of Practicing and Student Nurses. International
Journal of Occupational and Environmental medicine. 2012;3(1):10-8
13. Shimizu H. Shimizus Textbook of Dermatology. Hokkaido: Hokkaido
University Press; 2007. Chapter 3, Immunology of the skin; P.39-47
14. Rustemeyer T, Hoogstraten IM, Blomberg BM, Scheper RJ. Mechanisms in
Allergic Contact Dermatitis. In: Contact dermatitis. 4th ed. Berlin. Springer-
Verlag Berlin Heidelberg; 2006. P.11-33
15. Usatine R, Riojas M. Diagnosis and management of contact dermatitis. Am
Fam Physician. 2010:1-5.
16. Sudewi NP, Kurniati N, Suyoko EMD, Munasir Z, Akib AAP, et al. Berbagai
Teknik Pemeriksaan Untuk Menegakkan Diagnosis Penyakit Alergi. Sari
Pediatri. 2009;11(3):174-8
17. Rustemeyer T, Hoogstraten IM, Blomberg BM, Scheper RJ. Mechanisms in
Allergic Contact Dermatitis. In: Contact dermatitis. 4th ed. Berlin. Springer-
Verlag Berlin Heidelberg; 2006. P.11-33
18. Wahleberg JE, Lindberg M. Patch Testing. In: Contact dermatitis. 4th ed.
Berlin. Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2006. P.11-33
19. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 2014.
20. Craig K, Susan E. What Is The Best Duration Of Steroid Theraphy For
Contact Dermatitis.The Journal of Family Practice. 2006; 55(2): 166-7

56
LAMPIRAN DOKUMENTASI

Tampak Depan Rumah Pasien

Ruang Tamu Pasien Kondisi Kamar Tidur


Pasien

57
Kondisi Dapur dan Tempat Cuci
Piring Pasien

Gambar 11. Kondisi Rumah Pasien

58

Anda mungkin juga menyukai