PENDAHULUAN
Prevalensi SLE lebih banyak di jumpai pada wanita umur antara 13-40
tahun (usia produktif) dengan perbandingan perempuan : laki- laki (9:1) di duga
ada kaitan faktor hormon dengan pathogenesis. Tetapi tidak menutup
kemungkinan bawa lupus juga dapat menyerang anak- anak. Dari berbagai laporan
penelitian prevalensi masing – masing suku berbeda di perkirakan 15 – 50 kasus
per 100.000 penduduk. Pada suku di Asia di perkirakan prevalensi paling tinggi
terdapat pada suku cina jepang dan Filipina. Menurut data dari yayasan lupus
Indonesia, jumlah penderita lupus di Indonesia pada tahun 2012 mencapai 12.700
jiwa. Jumlah ini kemudian meningkat menjadi 13.300 jiwa pada tahun 2013.
1
Perjalanan penyakitnya bersifat fluktuatif yang di tandai dengan periode tenang
dan eksaserbasi. Jenis lupus yang sistemik yang sering di rujuk karena SLE dapat
menyerang jaringan serta organ tubuh mana saja yang ringan sampai parah.
2
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1.1. Definisi
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang ditandai
dengan adanya inflamasi tersebar luas, mempengaruhi setiap organ atau sistem
dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan
kompleks imun, sehingga mengakibatan kerusakan jaringan
Lupus erythematosus (LE) terdiri dari Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
dan Discoid Lupus Erythematosus (DLE). Berbeda dengan DLE yang hanya
akan menunjukkan manifestasi pada kulit, SLE merupakan tipe DLE yang juga
dapat menunjukkan manifestasi pada organ tertentu selain pada kulit. Menurut
para ahli reumatologi Indonesia, SLE adalah penyakit autoimun sistemik yang
ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan
kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, sehingga terjadi kerusakan pada
beberapa organ tubuh. Perjalanan penyakit SLE bersifat eksaserbasi yang
diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai
jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit SLE dapat bervariasi,
mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan,
tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ yang terlibat
2.1.2. Etiologi
Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa
faktor predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini.
Diantara beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui
faktor yang paling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini. Berikut ini
beberapa faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE:
3
a. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga
timbul. Produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik
untuk menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada
anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE,
sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%.
Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan
penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum.
b. Faktor Imunologi
Pada kasus SLE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun,
yaitu :
- Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen
Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada
penderita lupus, beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T
mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya sehingga
pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini
menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan
salah mengenali perintah dari sel T.
4
- Kelainan antibodi
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti
substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai
antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel
T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan
kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.
c. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya SLE. Beberapa
studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat
estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme
estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko
terjadinya SLE.
d. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi
dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan
tersebut terdiri dari:
5
- Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah
memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon
imun tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres
sendiri tidak akan mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem
autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal.
- Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat
yang dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa,
hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.
2.1.3. Patogenesis
Kerusakan organ pada SLE di dasari oleh reaksi imunologi proses di awali
dengan faktor pencetus yang ada di lingkungan, dapat pula infeksis, sinar
ultraviolet dan bahan kimia. Cetusan ini menimbulkan abnormalitas respon
imun di dalam tubuh yaitu.
Sel T dan B menjadi otoreaktif
Pembentukan sitokin yang berlebihan
Hilangnya regulator control pada system imun antara lain.
- Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks
imun maupun sitokin si dalam tubuh.
- Menurunnya kemamouan mengendalikan apoptosis.
- Hilangnya toleransi imun sel T mengenali molekul tubuh
sebagai antigen Karena adanya mimikro molekul.
Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibody di dalam
tubuh sebagai autoantibody. Selanjutnya anti bodi yang membentuk kompleks
imun. Kompleks imun tersebut terdeposisi pada jaringan / organ yang akhirnya
menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.
6
Anti bodi yang terbentuk pada SLE sangat banyak antara lain Antinuclear
(ANA), anti double staranded (ds DNA), anti-ss A(Ro),Anti-ss B
(La),antiribosomal P anti body.
Selain itu hilangnya kontrol system imun pada Patogenesis lupus juga di
duga berperan pada timbulnya gejala klinis SLE.
8
7 Manifestasi pada system saraf pusat
Pada penderita SLE bisa mengenai pada serebral. Pada lupus serebral di
dapatkan perubahan sel- sel saraf pada otak. Gambaran yang sering di
jumpai pada otak yaitu microinfark, atrofi, perdarahan, multiple
skelerotik. Gambaran klinik lupus serebral di bagi menjadi focal, non
spesifik, dan neuropsikiatrik.
Gangguan fokal :
- Gangangguan iskemik, gambaran seperti stroke.
- laryngeal palsy, adalah kelumpuhan sistem saraf pada laring
gejala pasien biasa sesak nafas , ngorok.
- Visual los adalah gangguan penglihatan yang secara mendadak
karena inflamasi pada nervous.
- Ptosis atau kelumpuhan pada kelopak mata karena inervasi
saraf.
- Facial weaknees adalalah kelemahan otot-otot wajah.
- Neuropati perifer adalah kesemutan, nyeri
Gejala non spesifik:
Gejala di tandai dengan pusing, gangguan di daya ingat, gangguan
konsentrasi, kejang, organic brain syndrome adalah pasien tidak
sadar tanpa di dapatkan kelainan pada otak.
Gejala neuropsikiatrik :
Gejala di tandai dengan personality disorder atau gangguan
kepribadian, sensitive atau sangat peka perasaan, mudah marah,
cemas, depresi , patah semangat.
Gejala lupus serebral ini bisa muncul sebagai gejala awal, sehingga
kadang- kadang menyulitkan diagnose. Diagnose dapat di tegakan
dengan pemeriksaaan CT- SCAN atau MRI.
9
2.1.5. Pemeriksaan Penunjang.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium sederhana sangat membantu untuk diagnosis
lupus. Pada umumnya pemeriksaan darah lengkap untuk melihat jumlah
leukosit, trombosit, limfosit dan kadar HB dan LED. LED yang meningkat
.menandakan aktifnya penyakit. Urine lengkap untuk melihat adanya
protein uria yang merujuk adanya kelainan ginjal yang di tunjang dengan
pemeriksaan faal ginjal. Pemeriksaan faal hati membantu untuk melihat
adanya auto imun hepatitis, hemolitik anemia, kadar albumin yang rendah.
Pemeriksaan CRP sangat membantu untuk membedakan lupus aktis dan
infeksi. Pada lupus yang aktif kadar CRP normal atau meningkat tidak
bermakna, sedangkan pada infeksi terdapata peningkatan CRP yang sangat
tinggi. Pemeriksaan komplemen C3 dan C4 membantu untuk menilai
aktivitas penyakit. Pada keadaan aktif kadar kedua komplemen ini rendah.
Pemeriksaan Serologi
Test ANA merupakan pemeriksaan serologi yang di anjurkan sebagai
pemeriksaan serologi awal sebelum pemeriksaan antibody lainnya. Bila
kadar tinggi dengan pola yang homogen dengan pemeriksaan metode hep2
cel sangat menyokong diagnosis SLE. Selain untuk membantu
mendiagnosa, ANA tes juga di pakai untuk menilai aktivitas penyakit.
Antibody antibody lainnya mempunyai sensivitas dan spesivitas yang
berbeda beda, selain itu anti bodi ini sering kali di kaitkan dengan
manifestasi klinisnya. Misalnya kadar dsDNA yang tinggi di kaitkan
dengan timbulnya lupus nefritis ds DNA
Foto Thorax.
Menunjukan ada atau tidaknya pneumonia, efusi pericardium,
pembesaran jantung dan lain lain.
10
2.1.6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis pasien dengan SLE sebagai berikut :
1) Penatalaksanaan umum
Monitor respirasi : bebaskan jalan nafas, monitor keadaan ventilasi,
periksa AGD, berikan oksigen, alat bantu nafas bila perlu.
Control tanda-tanda vital.
Keseimbangan cairan dan elektrolit.
2) Pengobatan / farmakologi
Jenis obat-obatan yang digunakan untuk terapi SLE terdiri dari NSAID (
Non Steroid Anti-Inflamation Drugs), antimalaria, steroid, imunosupresan
dan obat terapi lain sesuai manifestasi klinis yang dialami.
a. NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs)
NSAID dapat digunakan untuk mengendalikan gejala SLE pada
tingkatan yang ringan, seperti menurunkan inflamasi dan rasa sakit pada
otot, sendi dan jaringan lain. Contoh obat : aspirin, ibuprofen, baproxen
dan sulindac. Obat-obatan tersebut dapat menimbulkan efek samping,
yaitu pada saluran pencernaan seperti mual, muntah, diare dan
perdarahan lambung.
b. Kortikosteroid
Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam
pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah atau
tinggi sesuai tingkat keparahan penyakit untuk pengendalian penyakit.
Penggunaan kortikosteroid dapat dilakukan secara oral, injeksi pada
sendi, dan intravena. Contoh : Metilprednisolon. Kesalahan yang sering
terjadi adalah pemberian dosis yang tinggi, namun tidak disertai kontrol
dan dalam waktu yang lama Beberapa efek samping dari mengkonsumsi
kortikosteroid terdiri dari meningkatkan berat badan, penipisan kulit,
osteoporosis, meningkatnya resiko infeksi virus dan jamur, perdarahan
gastrointestinal, memperberat hipertensi dan moon face.
11
c. Antimalaria
Antimalaria yang dapat digunakan untuk terapi SLE terdiri dari
hydroxychloroquinon dan kloroquin. Hydroxychloroquinon lebih sering
digunakan dibanding kloroquin karena resiko efek samping pada mata
lebih rendah. Obat antimalaria efektif untuk SLE dengan gejala fatique,
kulit, dan sendi. Baik untuk mengurangi ruam tanpa meningkatkan
penipisan pembuluh darah. Toksisitas pada mata berhubungan dengan
dosis harian dan kumulatif, sehingga selama dosis tidak melebihi, resiko
tersebut sangat kecil. Pasien dianjurkan untuk memeriksakan ketajaman
visual setiap enam bulan untuk identifikasi dini kelainan mata selama
pengobatan.
d. Immunosupresan
Obat Immunosupresan merupakan obat yang berfungsi untuk menekan
sistem imun tubuh. Ada beberapa jenis obat immunosupresan yang biasa
dikonsumsi pasien SLE seperti azathioprine (imuran), mycophenolate
mofetil (MMF), methotrexate, cyclosporine, cyclophosphamide, dan
Rituximab
Prioritas keperawatan :
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri,
depresi.
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan penurunan rentang gerak,
kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak,keterbatasan daya tahan fisik.
4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan dan
ketrgantungan fisik di akibatkan penyakit kronis.
5. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit,
penumpukan kompleks imun
12
2. 2. Asuhan Keperawatan SLE
2.2.1. Pengkajian
1. Identitas klien
Pada pengkajian pasien SLE sangat penting karena laki-laki dan
perempuan mempunya prevalensi berbeda terhadap penyakit SLE. Wanita
cenderung lebih besar berpeluang terkena SLE dari pada wanita, karena
ada faktor penyebabnya salah satunya faktor hormonal.
2. Riwayat penyakit sekarang
Riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik di fokuskan pada
gejala sekarang yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah,
nyeri, kaku, demam/ panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap
gaya hidup serta citra diri pasien
3. Riwayat penyakit dahulu
Pada pengkajian riwayat penyakit dahulu sangat penting untuk di ketahui
karena apakah pasien pernah menderita penyakit seperti ini (SLE).dan
apakah sudah mendapatkan pengobatan dan penanganan lebih lanjut.
4. Riwayat penyakit keluarga
Untuk mengetahui riwayat keluarga ada yang menderita penyakit SLE.
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga
timbul. Produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik
untuk menderita SLE. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki
saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada
populasi umum.
5. Pemeriksaan fisik
a. B1 (BREATHING)
Penyakit SLE yang sudah berat bahkan bisa mengalami gangguan di
pernafasan sehingga terjadi perubahan pada pola nafas, kedalaman,
frekuensi maupun iramanya,bias berupa cheyne stokes atau ataksia
breathing, nafas berbunyi, stridor, ronchi, wheezing (kemungkinan
13
karena aspirasi) cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada
jalan nafas. Bahkan bisa menggunakan alat bantu nafas.
b. B2 (BLOOD)
Friction rub pericardium yang menyertai miokarditis. Lesi eritematous
papuler yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi
di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ektensor lengan
bawah atau sisi lateral tangan. Pada pemeriksaan lain (seperti thorax)
dapat menunjukkan adanya pleuritis dan efusi pleura.
c. B3 (BRAIN)
Penderita sering mengalami depresi dan psikosis, juga serangan kejang
kejang ataupun manifestasi SSP lainnya.
d. B4 (BLADER)
Pada pasien dengan SLE terdapat gangguan pada produksi urin warna
biasanya hematuri. Adanya edem menunjukkan ada gangguan di renal.
e. B5 (BOWEL)
Terjadi penurunan fungsi pencernaan : bising usus lemah, mual-muntah
(muntah proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera,
gangguan menelan dan terganggunya proses eliminasi alvi.
f. B6 (BONE)
Pembengkaan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa
kaku pada pagi hari. Pada integument lesi akut pada kulit yang terdiri
atas ruam berbentuk kupu kupu yang melintang pangkal hidung serta
pipi. Ulkus oral dapat dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum
6. pemeriksaan diagnostic
Pemeriksaan Laboratorium
- Pada umumnya pemeriksaan darah lengkap untuk melihat jumlah
leukosit, trombosit, limfosit dan kadar HB dan LED. LED yang
meningkat menandakan aktifnya penyakit.
14
- Urine lengkap untuk melihat adanya protein uria yang merujuk
adanya kelainan ginjal yang di tunjang dengan pemeriksaan faal
ginjal.
- Pemeriksaan CRP sangat membantu untuk membedakan lupus aktis
dan infeksi. Pada lupus yang aktif kadar CRP normal atau
meningkat tidak bermakna, sedangkan pada infeksi terdapat
peningkatan CRP yang sangat tinggi.
Pemeriksaan Serologi
Tests ANA merupakan pemeriksaan serologi awal sebelum
pemeriksaan antibody lainnya. Bila kadar tinggi dengan pola yang
homogen dengan pemeriksaan metode hep2 cel sangat menyokong
diagnosis SLE.
Foto Thorax.
Menunjukan ada atau tidaknya pneumonia, efusi pericardium,
pembesaran jantung dan lain lain.
15
kriteria evaluasi
pasien menyatakan nyeri hilang, skla nyeri 1-3, pasien menunjukkan
rileks.
Intervensi Rasional
1. Kaji keluhan nyeri, pencetus, lokasi, 1. Kaji keluhan nyeri, pencetus, lokasi,
karakteristik dan intensitas nyeri . karakteristik dan intensitas nyeri . skala
skala nyeri (1-10) nyeri (1-10)
2. Pertahankan suhu lingkungan 2. Nyeri hampir selalu ada pada beberapa
nyaman berikan lampu penghangat, derajat beratnya keterlibatan jaringan /
penutup tubuh hangat. kerusakan.
3. Dorong perasaan tentang nyeri
3. Pengaturan suhu dapat memberikan
4. Dorong penggunaan teknik
kenyamanan dan untuk mencegah dan
manajemen stress, contoh relaksasi,
menurunkan mengigil.
napasa dalam.
4. Pernyataan memungkinkan pengungkapan
5. Berikan aktifitas terapeutik teoat
emosi dan dapat meningkatkan mekanisme
untuk usia/ kondisi.
koping.
6. Kolaborasi dalam pemberian terapi
5. Mememfokuskan kembali perhatian
analgesic.
meningkatkan relaksasi dan dapat
menurunkan rasa nyeri.
6. Membantu mengurangi nyeri yang di alami
dan memfokuskan kembali perhatian.
1. Kaji kulit setiap hari, catat warna 1. Menentukan garis dasar dimana
kulit, turgor, dan sensasi,, perubahan pada status dapat di
gambarkan lesi dan amati bandingkan dan dapat melakukan
perubahan. intervensi.
2. Pertahankan dalam hygine kulit, 2. Mempertahankan kebersihan karena
misalnya membasuh kemudian di kulit yang kering dapat menjadi
keringkan dengan hati hati. barier infeksi
16
3. Tutupi luka tekan yang terbuka 3. Dapat mengurangi kontaminasi
dengan pembalut yang steril. bakteri meningkatkan proses
4. Berikan obat obatan (NSAID) dan penyembuhan.
kortikosteroid sesuai indikasi. 4. Digunakan pada perawatan lesi luka.
Pertahankan kepala dan leher pada
posisi netral.
Intervensi Rasional
1. Berikan penjelasan tiap kali 1. Penjelasan dapat mengurangi
melakukan tindakan kepada pasien. kecemasan dan meningkatkan kerja
sama yang di lakukan pada pasien
dengan penuh atau menurun.
2. Monitor fungsi motorik dan sensorik. 2. Menetukan kemampuan mobilisasi.
3. Beri bantuan untuk memenuhi 3. Kebersihan perorangan, eliminasi,
kebutuhan diri. berpakian, mandi merupakan kebutuhan
dasar akan kenyamanan yang harus di
jaga untuk meningkatkan rasa nyaman,
mencegah infeksi dan menciptakan
keindahan
17
4. Beri bantuan untuk memenuhi 4. Makan dan minuman merupakan
kebutuhan nutrisi atau cairan. kebutuhan sehari-hari yang harus di
5. Ganti posisi setiap 2 jam sekali. penuhi untuk menjaga kelangsungan
6. Beri bantuan untuk melakukan latihan perolehan energi
tentang gerak pasif setiap 4 jam 5. Penekanan yang terus menerus
menimbulkan iritasi dan dekubitus.
6. Mempertahankan mobilisasi, fungsi
sandi,konsentrasi normal ekstramitas
dan menurunkan tadinya vena yang
statis
Ventilator adalah suatu alat yang digunakan untuk membantu sebagian atau
seluruh proses ventilasi untuk mempertahankan oksigenasi.
19
2. Pressure Cycled Ventilator
Perinsip dasar ventilator type ini adalah cyclusnya menggunakan
tekanan. Mesin berhenti bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah
mencapai tekanan yang telah ditentukan. Pada titik tekanan ini, katup
inspirasi tertutup dan ekspirasi terjadi dengan pasif. Kerugian pada
type ini bila ada perubahan komplain paru, maka volume udara yang
diberikan juga berubah. Sehingga pada pasien yang setatus parunya
tidak stabil, penggunaan ventilator tipe ini tidak dianjurkan.
1. Mode Control.
Pada mode kontrol mesin secara terus menerus membantu pernafasan
pasien. Ini diberikan pada pasien yang pernafasannya masih sangat
jelek, lemah sekali atau bahkan apnea. Pada mode ini ventilator
mengontrol pasien, pernafasan diberikan ke pasien pada frekwensi dan
volume yang telah ditentukan pada ventilator, tanpa menghiraukan
upaya pasien untuk mengawali inspirasi. Bila pasien sadar, mode ini
dapat menimbulkan ansietas tinggi dan ketidaknyamanan dan bila
pasien berusaha nafas sendiri bisa terjadi fighting (tabrakan antara
20
udara inspirasi dan ekspirasi), tekanan dalam paru meningkat dan bisa
berakibat alveoli pecah dan terjadi pneumothorax. Contoh mode
control ini adalah: CR (Controlled Respiration), CMV (Controlled
Mandatory Ventilation), IPPV (Intermitten Positive Pressure
Ventilation)
21
2.3.6 Sistem Alarm
Ventilator digunakan untuk mendukung hidup. Sistem alarm perlu untuk
mewaspadakan perawat tentang adanya masalah. Alarm tekanan rendah
menandakan adanya pemutusan dari pasien (ventilator terlepas dari pasien),
sedangkan alarm tekanan tinggi menandakan adanya peningkatan tekanan,
misalnya pasien batuk, cubing tertekuk, terjadi fighting, dll. Alarm volume
rendah menandakan kebocoran. Alarm jangan pernah diabaikan tidak
dianggap dan harus dipasang dalam kondisi siap.
22
adalah positif dan menyebabkan tekanan intra thorakal meningkat. Pada
akhir inspirasi tekanan dalam rongga thorax paling positif
1. Pada paru
a. Baro trauma: tension pneumothorax, empisema sub cutis, emboli
udara vaskuler.
b. Atelektasis/kolaps alveoli diffuse
c. Infeksi paru
d. Keracunan oksigen
e. Jalan nafas buatan: king-king (tertekuk), terekstubasi, tersumbat.
f. Aspirasi cairan lambung
g. Tidak berfungsinya penggunaan ventilator
h. Kerusakan jalan nafas bagian atas
23
2. Pada sistem kardiovaskuler
Hipotensi, menurunya cardiac output dikarenakan menurunnya aliran
balik vena akibat meningkatnya tekanan intra thorax pada pemberian
ventilasi mekanik dengan tekanan tinggi.
b. Oedema cerebral
Terjadi karena peningkatan tekanan CO2 arteri diatas normal
akibat dari hipoventilasi.
25
PARAMETER ACCAPTABLE FISIOTERAPI INTUBASI
RANGE (TIDAK DADA, TERAPI TRACHEOSTOMI
PERLU TERAPI OKSIGEN, VENTILASI
KHUSUS) MONITORING MEKANIK.
KETAT
1. MEKANIK
- Frekwensi nafas 12 - 25 25 - 35 > 35
- Vital capacity
70 - 30 30 - 15 < 15
(ml/kg)
- Inspiratori force, 100 - 50 50 - 25 < 25
CmH2O
2. OKSIGENASI
50 - 200 200 - 350 > 350
- A - aDO2 100%
O2 mmHg
- PaO2 mmHg 100 – 75 (Air) 200 -70( O2 < 70( O2 Masuk )
Masuk)
3. VENTILASI
- VD / VT 0,3 - 0,4 0,4 - 0,6 0,6
- PaCO2 35 - 45 5 - 60 60
26
INTERVENSI RASIONAL
1. Auskultasi bunyi napas tiap 2-4 jam. 1. Mengevaluasi keefektifan jalan
2. Lakukan pengisapan bila terdengar napas.
ronchi 2. Untuk membebaskan jalan nafas
3. Pertahankan suhu humidifer tetap 3. Membantu mengencerkan skret.
hangat (35 - 37,8 o C 4. Memudahkan pelepasan sekret.
4. Melakukan fisioterapi napas / dada 5. Mengencerkan sekret.
sesuai indikasi dengan cara clapping, 6. Menentukan lokasi penumpukan
fibrasi sekret, mengevaluasi kebersihan
5. Berikan obat mukolitik sesuai indikasi / tindakan
program. 7. Deteksi dini adanya kelainan
6. Kaji suara napas sebelum dan sesudah
melakukan tindakan pengisapan.
7. Observasi tanda-tanda vital sebelum
dan sesudah melakukan tindakan.
27
INTERVENSI RASIONAL
INTERVENSI RASIONAL
28
4. Gangguan pemenuhan komunikasi verbal berhubungan dengan
pemasangan selang endotracheal
Tujuan: Mempertahankan komunikasi
Kriteria hasil: Klien dapat berkomunikasi dgn menggunakan metode
alternatif
INTERVENSI RASIONAL
1. Berikan papan, kertas dan pensil, 1. Mempermudah klien untuk
gambar untuk komunikasi, ajukan mengemukakan perasaan /
pertanyaan dengan jawaban ya atau keluhan dengan berkomunikasi.
tidak. 2. Mengurangi cemas.
2. Yakinkan klien bahwa suara akan
kembali bila ETT dilepas.
29
5. Resiko tinggi terjadinya infeksi saluran nafas berhubungan dengan
pemasangan selang endotracheal
Tujuan: Tidak terjadi infeksi saluran napas s/d pemasangan selang ETT /
ventilator
Kriteria hasil:
- Suhu tubuh normal (36 - 37,5 C)
- Warna sputum jernih.
- Kultur sputum negatif.
INTERVENSI RASIONAL
30
6. Resiko tinggi terjadinya trauma atau cedera berhubungan dengan
ventilasi mekanis, selang endotracheal, ansietas, stress
Tujuan: Bebas dari cedera selama ventilasi mekanik.
Kriteria hasil:
- Tidak terjadi iritasi pada hidung maupun jalan napas.
- Tidak terjadi barotrauma.
INTERVENSI RASIONAL
31
BAB III
TINJAUAN KASUS
Asuhan keperawatan pada Ny I dengan dx SLE, suspect lupus cerebral dan suspect
lupus nefritis terpasang Ventilasi Mekanik di ruang ROI RSUD Dr.Sutomo
Surabaya
3.1.1. Pengkajian.
1) Identitas
Pasien :
Nama : Ny. I
Umur : 21 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku : Jawa Indonesia
Pendidikan : SLTA
Alamat : karang menjangan 8 buntu No. 2
No. Reg : 12456200
Tanggal MRS : 10/11/2015
Tanggal masuk ROI : 10/11/2015
Tanggal pengkajian : 14/11/2015 Jam : 07.30 WIB
Penanggung jawab
Nama : Tn .N
Umur : 23 thn
Alamat : karang menjangan 8 buntu No.2
Hubungan : suami
Pekerjaan : swasta
2) Riwayat kesehatan
a) Keluhan utama
Klien tidak bisa di kaji karena klien tersedasi.
b) Riwayat kesehatan sekarang
Tanggal 27-29 /10/2015 datang ke RSUA dengan keluhan bengkak di
wajah dan mulut di curigai alergi obat (paracetamol, cotrim, tremenza,
32
sanmag) pasien meminum obat tersebut, keluhan diare dan nyeri
perut. 1 bulan yang lalau (09/2015) mengeluh muka sering
kemerahan. Pasien sebelumnya opname di RSUA selama 2 minggu
(26/09/15). Di rujuk ke RSUD dr soetomo tgl 10/11/2015. Terjadi
penurunan kesadaran sejak 6 jam sebelum dirujuk mendadak diserta
sesak dan gangguan menelan.
c) Riwayat penyakit dahulu
Keluarga klien mengatakan, klien sebelumnya tidak pernah mengalami
seperti ini.
d) Riwayat penyakit keluarga
Keluarga klien tidak ada yang mempunyai penyakit maupun seperti
yang di derita pasien, tidak menderita penyakit seperti DM, HT dan
lain-lain
e) Pemeriksaan fisik (Fiew of system)
a. B1 (Breath)
Airway bebas, terintubasi dengan endotracheal tube no. 7.0 cuff
(+), batas ETT no 22. Di sambung ventilator dengan mode PCV,
PS :16 PC:18,PEEP :10, FiO2 : 50%,VTe : 342 Ftot 29 x/menit,
Ronchi +/+ whezzing -/-, suction (+) Prod. Secret (+), warna putih
cair. Expansi dada simetris, reflek batuk (-)
b. B2 (Blood)
Perfusi KDP, CRT > 2 detik, TD 140/100 mmHg, S:37C- 37,5°C
sub febris , N:142x/menit, irama jantung reguler. Gambaran ECG :
sinus takhicardi, dari hasil thorax jantung dalam batas normal.
terpasang infus aminofluid 500cc cc/24 jam, ivelip 20% 100
cc/24jm. Lasik 5mg/jam per syring pump., midazolam 2mg/jm
persyring pump.
33
c. B3 (Brain)
Pasien tersedasi dengan midazolam 2mg/jm per syring pumP GCS
1x1. pupil isokor, ukuran 3 mm reflek cahaya +/+, mata normal,
konjungtiva pucat, sclera putih.
d. B4 (Bladder)
DC (+) no 16 hr ke 5. Prod. Urin (+) = 50cc/1jam ,hematuri (-)
e. B5 (Bowel)
NGT no 14. Sonde proten 6 x 200 cc plus ekstra putih telur, retensi
(-), peristaltic (+), distensi abdomen (-).
BAB 1000cc warna hitam.
3) Pemeriksaan penunjang
Urine lengkap tgl 09/11/2015
Glukosa : Negative (negatif)
Bil : 1positif (negative)
Ket : negative (negative)
SG :1,025 (1010 – 1015)
BLD : 3 positif (-)
pH : 5.0 (6 – 8)
PRO : 3 positif (negatif)
34
URO : 3,2umol/L (<17)
NIT : Negative (negatif)
LEU : 1 positif (negatif)
Albumin : 2,76 g/dl (3,40 – 5,00)
Bil direc : 0,22 mg/dl (<0,20)
Bil Total : 0,50 mg/dl (0,00 – 1,00)
Tanggal 14/11/2015
Kimia:
Bun : 96 mg/dl (N/10-20)
Albumin : 2,71 g/dl (3,4-5)
Glukosa : 135 mg/dl (40-121)
Kreatinin : 2,52 mg/dl (0,50-1,20)
SGOT : 92 u/l (< 48)
SGPT : 20 u/l ( < 41)
Elektrolit :
Natrium : 140 mmol/l (136-144)
Kalium : 4,8 mmol/l (3,8-5,8)
Klorida : 106 mmol/l (97-103)
Gas Darah :
PH : 7,302 aaHg/I ( 7,35-7,45 )
PCO2 : 35,2 aaHg/I ( 35-45)
PO2 : 97,0 aaOl/I ( 80-107)
HCO3 : 17,6 aaOl/I (21-25)
TCO2 : 18,6 aaOl (-3,5-+2)
BE : -7,3 aaOl % (-1,5 - +2 )
FiO2 : 50 %
35
Tanggal 14/11/2015 pagi
Darah lengkap :
WBC : 13,52 10³/ul (4,5 – 16,5)
RBC : 3,11 10³/ul (4,00 – 6,00)
HGB : 9,6 g/dl (11,0 – 18,0)
HCT : 26,3 % (35,0 – 50,0)
MCV : 84,6 Fi (80 – 99,9)
MCH : 30,8 pg (27,0 – 31,0)
MCHC : 36,4 9/dl (33,0-37,0)
RDW : 16,6 % (11,6 – 13,7)
PLT : 25 10³/ul (150 - 450)
Foto thorak tanggal 28 oktober 2015 “foto thorak tak tampak kelainan”
4) Terapi
Posisi head up 30°- 40°
Fisioterapi clapping + vibrating 6 x/hari
Nebulizer combivent 6 x/hari
Suction kalau perlu
INFD aminofluid 500cc//24 jam
Inf ivelip 20% 100 cc/ 24 jm
Infuse fluconazole 1x 200 mg
Drip cycloporamid 300mg dalam pz 500 cc/24jm
Inj lasix 15 mg/jm syring pump
Inj OMZ 2x 40 mg
Inj Methylprednisolone 1x 50 mg
36
3.1.2. Analisa Data
2. DS : -
DO : Penurunan kontraktilitas Gangguan perfusi
o GCS 1 x 1 jantung jaringan
o CRT > 2detik
o Perfusi KDP Beban jantung meningkat
o Terdapat odem di
tangan kanan kiri, Cardiac output menurun
kaki kanan kiri
o TD 140/100 mmHg
o Nadi = 140 x/mnt Penurunan curah janatng
o Pupil isokor 3/3
o Reflek cahaya (+)
o Konjungtiva pucat
o Lasik 5mg/jam syring
pump
37
3.1.3. DIAGNOSA KEPERAWATAN
3.1.4. INTERVENSI
Diagnosa
No. Tgl Intervensi Rasional
keperawatan
1 14/11 Ketidakefektifan 1. Auskultasi bunyi nafas 1) Mengevaluasi
/15 jalan nafas tisp 2-4 jam keefektifan jalan
berhubungan dengan 2. Lakukan penghisapan napas.
penumpukan secret, bila terdengar ronchi 2) Menghilangkan
peningkatan 3. Berikan oksigen 100% secret yang ada di
produksi sekret sebelum dilakukan paru.
Tujuan: penghisapan minimal 3) Memberikan
Setelah 4-5x pernafsan cadangan O2 untuk
dilakukan 4. Perhatikan teknik menghindari
intervensi jalan aseptic, gunakan hipoksia
nafas efektif sarung tangan steril, 4) Mencegah infeksi
dalam waktu 1 x kateter penghisap nosokomial
30 mnt, steril. 5) Aspirasi lama dapat
meningkatkan 5. Lakukan penghisapan menimbulkan
dan 10 detik hipoksia, karena
mempertahankan 6. Lakukan penghsapan tindakan
keefektifan jalan berulang – ulang penghisapan akan
napas. sampai bersih. mengeluarkan secret
Kriteria hasil: 7. Pertahankan suhu dan O2
Suara napas humidifier tetap 6) Menjamin
bersih, tidak ada hangan (36 -37,8°C) keefektifan jalan
ronchi/wheezing 8. Lakukan fisioterapi napas.
Tidak ada nafas sesuai indikasi. 7) Membantu
retraksi otot 9. Sebelum dan sesudah mengencerkan
bantu napas melakukan tindakan secret
Tidak ada penghisapan. 8) Memudahkan
pernapasan Dengarkan suara pelepasan secret
cuping hidung napas. 9) Menjamin ada
Ronchi (-) tidaknya secret
Frekw.RR 16-
27x/mnt
SpO2 >96%
38
Diagnosa
No. Tgl Intervensi Rasional
keperawatan
2 14/11 Gangguan perfusi 1) Observasi perfusi 1) Mengetahui
/15 jaringan berhubungan perifer tiap jam perubahan
dengan penurunan perfusi pasien
curah jantung. 2) Monitoring ECG 2) Perubahan irama
jantung
Tujuan : menandakan
Setelah dilakukan 3) Observasi output dan adanya
askep dalam waktu kualitas urin tiap jam gangguan
1x 24 jam.perfusi sirkulasi.
jaringan membaik 3) Mengetahui
Kriteria hasil : 4) Observasi tanda – kebutuhan cairan
Perfusi hangat, tanda vital pasien
kering , merah 4) Mengetahui
Produksi urine > 5) Observasi tingkat perubahan tanda
1cc/kg/BB kesadaran pasien – tanda vital
Hemodinamik 5) Perubahan
dalam batas normal 6) Kolaborasi dengan tingkat
TD=110 – 130 tim dokter dalam kesadaran
mmHg, Nadi < 100 pemberian terapi berpengaruh
x/mnt, CRT > 2dtk pada kondisi.
6) Terapeutik
kolaborasi dg
tim medis lain
39
3.1.5. IMPLEMENTASI dan EVALUASI
09.30
jam atau jika terdengar TV 347, MV 8,9, PS
ronchi atau SpO2 < 95%. 17, PC 18 SpO2 100%,
4. Mempertahankan suhu Produksi sputum
10.000 humidifier tetap hangat ( berkurang, Wh -/-, Rh -
35-37,80C). /-, cuping hidung (-
11.00 5. Melakukan auskultasi ),retraksi costae (-),
suara nafas sebelum dan cyanosis (-).
sesudah melakukan
TD : 140/100 mmHg; N : 140
tindakan pengisapan.
12.00 x/menit; T : 37,50 C
6. Memonitor tanda – tanda
vital sebelum dan
A: Masalah teratasi sebagian
sesudah tindakan
P: Intervensi dilanjutkan no
7. Memberikan posisi head
1,2,3,4,5,6,7,8
up ± 300.
8. Melakukan kolaborasi
dengan tim medis dalam
hal pengobatan dan
setting Ventilator.
40
Tgl/Jam No Dx Implementasi Evaluasi Formatif Ttd
41
Tgl/Jam No Dx Implementasi Evaluasi Formatif
P : Intervensi dilanjutkan
(2,3,4,5)
42
Tgl/Jam No Dx Implementasi Evaluasi Formatif
P : Intervensi di hentikan
43
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis akan membahas mengenai kesenjangan antara teori dan
kasus pada Ny, I dengan diagnosa Hernia SLE terpasang Ventilator menggunakan
pendekatan asuhan keperawatan, menganalisa faktor-faktor pendukung dan penghambat
juga memberikan alternatif pemecahan masalah atau solusi dalam memberikan asuhan
keperawatan yang sesuai dengan proses keperawatan terdiri dari pengkajian, diagnosa
keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi selama 3 hari dari tanggal 14
Nopember 2015 sampai 16 Nopember 2015.
4.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan suatu tahap awal dari proses keperawatan secara
menyeluruh, sebelum melakukan pengkajian, penulis melakukan pendekatan
terhadap keluarga dengan cara membina hubungan saling percaya, menjelaskan
maksud dan tujuan. Pada tahap ini penulis mengumpulkan data melalui observasi
secara langsung pada pasien dan wawancara dengan keluarga (suami pasien),
pemeriksaan fisik, serta mendapatkan data dari hasil laborat, radiologi dan catatan
rekam medis pasien. Dari hasil pengumpulan data.
Sistemik lupus erytematosus adalah penyakit autoimun kronis yang di tandai
dengan berbagai antibody yang membentuk kompleks imun dan menimbulkan
inflamasi pada berbagai organ. oleh karena bersifat sistemik maka manifestasinya
sangat luas tergantung organ yang terkena mulai dari manifestasi klinis yang ringan
berupa ruam atau sampai pada manifestasi klinis yang berat misalnya lupus nefritis
dan lupus cerebal,(lupus neuropsikiatrik) pnemonitis, perdarahan paru. Perjalanan
penyakitnya bersifat fluktuatif yang di tandai dengan periode tenang dan
eksaserbasi.
44
Pada Ny.I dari hasil observasi didapatkan Pasien terpasang alat bantu nafas
(ventilator) karena terjadi gagal nafas, pada kasus SLE yang terserang adalah
autoimunya dapat menimbulkan inflamasi pada berbagai organ. Pada hasil
pemeriksaan penunjang pasien, hasil foto thorak hasilnya tak tampak kelainan pada
jantung maupun paru. Dari hasil laborat didapatkan hasil :tgl 09/11/2015 PH= 7,436,
PCO2= 30,6, PO2= 108, HCO3= 20,8, Be= -1,7.Faktor pendukung dalam
melakukan pengkajian adalah adanya kerja sama yang baik antara keluarga pasien
dengan perawat ruangan, serta tim medis lainnya, dan tersedianya format pengkajian
yang sistematis.
4.3 Perencanaan
Perencanaan merupakan tahap selanjutnya dari proses keperawatan, pada tahap
awal dilakukan penentuan prioritas masalah yang harus diatasi lebih dahulu, setelah
itu ditentukan tujuan tindakan keperawatan dan jangka waktu evaluasi serta kriteria
hasil. Perencanaaan yang telah penulis susun tidak ditemukan kesenjangan antara
teori dan kasus. Tujuan pada perencanaan disusun berdasarkan masalah keperawatan
yang timbul sedang kriteria hasil berdasarkan etiologi dari masalah tersebut, begitu
juga dengan penyusunan perencanaan. Maka penulis menyusun perencanaan yang
akan diimplementasikan pada Ny.I adalah Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d
peningkatan produksi secret..
4.4 Implementasi
Perencanaan keperawatan yang telah disusun ternyata tidak bisa seluruhnya
dilaksanakan selama 24 jam oleh penulis sendiri karena keterbatasan waktu dalam
melakukan tindakan tersebut, maka penulis dapat melakukan kerjasama dengan
perawat ruangan untuk melanjutkan rencana yang tersusun sehingga tindakan
tersebut dapat dilakukan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan selama 2x24
jam. Diagnosa pertama, kebersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan
produksi sekret. Pada tanggal 16/11/2015 kondisi pasien memburuk, implementasi
yang penulis lakukan adalah melakukan observasi hemodinamik,menaikkan fio2 ke
100% dan melakukan melakuakn RJP.
46
4.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yang dilaksanakan
untuk mengajukan apakah tujuan yang ditetapakan dapat tercapai atau belum dengan
kriteria hasil standar dari masing-masing masalah keperawatan yang penulis
rumuskan dan rencanakan yang ditetapkan dapat diperoleh hasil sebagai berikut:
masalah teratasi, masalah teratasi sebagian.
47
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Lupus dapat menyerang organ tubuh vital seperti : mata, syaraf, sendi, ginjal,
hati, paru, jiwa, jantung, kulit, darah, paru dan hati. Namun, serangan penyakit
Lupus jarang mengenai seluruh organ tubuh sekaligus. Apabila seseorang
mengalami dua atau lebih dari gejala-gejala Lupus maka harus segera diwaspadai.
Penyakit ini tidak mudah diketahui. Contoh kasus banyak terjadi pasien datang ke
rumah sakit sudah dalam keadaan parah dan terjadi komplikasi.
Setelah penulis menguraikan dalam berbagai hal yang berhubungan dengan
asuhan keperawatan pada Ny.I dengan diagnosa SLE terpasang ventilator di ruang
ROI RSUD dr. soetomo, maka penulis menyimpulkan bahwa lupus nefritis dan
Cerebral selalu menyertai penderita SLE dan akan memperburuk keadaan pasien
jika tidak segera dilakukan pengobatan. Pada diagnosa keperawatan ketidakefektifan
bersihan jalan nafas berhubungan dengan inflamasi saluran pernafasan.
Pada rencana tindakan yang penulis lakukan adalah observasi tanda-tanda vital
tiap jam, observasi amplitudo dari nadi, observasi irama jantung, monitor
laboratorium elektrolit, balance cairan dan kolaborasi dengan tim medis dalam
pemberian cairan dan obat-obatan.
48
5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas penulis menganggap perlu adanya saran-saran
untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Adanya saran-
saran untuk memperbaiki dari beberapa pihak antara lain:
1 Pendidikan / diklat
Hendaknya pembuatan asuhan keperawatan kritis lebih ditekankan pada
pemahaman peserta pelatihan, agar peserta pelatihan dapat melakukan
penanganan yang cepat dalam mengatasi systemik lupus eritematosus.
2 Peserta pelatihan ICU dan Mahasiswa lain :
Harus mampu menguasai konsep systemik lupus eritematosus dengan
mencari dan mempelajari literatur dalam memberikan asuhan
keperawatan pada klian dengan systemik lupus eritematosus.
Mampu berkomunikasi secara terapeutik kepada klien dan keluarganya
sehingga akan mendapat data lebih lengkap dan dapat melakukan
implementasi.
Mampu menjalin kerja sama dengan perawat ruangan, untuk dapat
melaksanakan asuhan keperawatan secara profesional.
49
Daftar pustaka
Chang, Esther, dkk. 2009. Patofisiologi Aplikasi Praktik Keperawatan. Jakarta: EGC.
Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Buku 2 Edisi 4. Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta: Media
Aesculapius.
Siregar, Parlin & Dharmeizar. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. Jakarta : EGC
50
LAMPIRAN
51