Pendahuluan
Dr. P adalah seorang dokter spesialis obgyn yang berpengalaman. Beliau baru saja akan
menyelesaikan tugas jaga malamnya di sebuah rumah sakit ketika seorang wanita muda. Namun
ketika ibunya tersebut langsung pergi lagi setelah berbicara dengan suster jaga dengan alasan
harus menjaga anak-anaknya yang lain. Pasien lalu menceritakan keluhannya yaitu mengalami
perdarahan per vaginam dan sangat kesakitan. Dr. P kemudian melakukan pemeriksaan dan
menduga bahwa kemungkinan pasien mengalami keguguran atau mencoba melakukan aborsi.
Dr. P segera melakukan dilatasi dan curettage dan mengatakan kepada suster untuk menanyakan
kepada pasien apakah dia bersedia diopname di RS sampai keadaannya benar-benar baik. Tidak
lama kemudian dr. Q datang untuk menggantikan dr. P, yang langsung pulang tanpa berbicara
kepada pasien.
Dalam kasus ini muncul suatu permasalahan yang muncul antara dokter dengan pasien.
Dimana pada kasus tersebut dokter tidak melakukan komunikasi dengan pasien setelah
melakukan tindakan dan langsung pulang begitu saja. Untuk dapat memahami hal tersebut kita
perlu mengerti terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan komunikasi dokter-pasien. Komu-
nikasi dokter-pasien merupakan suatu hubungan yang berlangsung antara dokter/dokter gigi
dengan pasiennya selama proses pemeriksaan/pengobatan/perawatan yang terjadi di ruang prak-
tik perorangan, poliklinik, rumah sakit, dan puskesmas dalam rangka membantu menyelesaikan
masalah kesehatan pasien.1 Untuk dapat mengembangkan hal tersebut dibutukan suatu komu-
nikasi yang efektif dimana pengembangan hubungan dokter-pasien secara efektif yang berlang-
sung secara efisien, dengan tujuan utama penyampaian informasi atau pemberian penjelasan
yang diperlukan dalam rangka membangun kerja sama antara dokter dengan pasien. Apabila kita
tidak melakukan hal tersebut kita dapat ditindak lanjuti dalam komisi etik disiplin kedoteran,
bahkan bisa menuju ke rana hukum, yang dimana akan kita bahas lebih lanjut dalam makalah ini.
1
Pembahasan
Pada dasarnya, setiap orang memerlukan komunikasi sebagai salah satu alat bantu dalam
kelancaran bekerja sama dengan orang lain dalam bidang apapun. Komunikasi berbicara tentang
cara menyampaikan dan menerima pikiran- pikiran, informasi, perasaan, dan bahkan emosi
seseorang, sampai pada titik tercapainya pengertian yang sama antara penyampai pesan dan
penerima pesan.
Komunikasi yang baik dan berlangsung dalam kedudukan setara (tidak superior- inferior)
sangat diperlukan agar pasien mau/dapat menceritakan sakit/keluhan yang dialaminya secara
jujur dan jelas. Komunikasi efektif mampu mempengaruhi emosi pasien dalam pengambilan
keputusan tentang rencana tindakan selanjutnya, sedangkan komunikasi tidak efektif akan
mengundang masalah.
Dalam hubungan dokter-pasien, baik dokter maupun pasien dapat berperan sebagai sumber
atau pengirim pesan dan penerima pesan secara bergantian.1 Pasien sebagai pengirim pesan,
menyampaikan apa yang dirasakan atau menjawab pertanyaan dokter sesuai pengetahuannya.
Sementara dokter sebagai pengirim pesan, berperan pada saat menyampaikan penjelasan
penyakit, rencana pengobatan dan terapi, efek samping obat yang mungkin terjadi, serta dampak
dari dilakukan atau tidak dilakukannya terapi tertentu. Dalam penyampaian ini, dokter
bertanggung jawab untuk memastikan pasien memahami apa yang disampaikan.
Sebagai penerima pesan, dokter perlu berkonsentrasi dan memperhatikan setiap pernyataan
pasien. Untuk memastikan apa yang dimaksud oleh pasien, dokter sesekali perlu membuat
pertanyaan atau pernyataan klarifikasi.
2
Tidak mudah bagi dokter untuk menggali keterangan dari pasien karena memang tidak bisa
diperoleh begitu saja. Perlu dibangun hubungan saling percaya yang dilandasi keterbukaan,
kejujuran dan pengertian akan kebutuhan, harapan, maupun kepentingan masing-masing.
Dengan terbangunnya hubungan saling percaya, pasien akan memberikan keterangan yang benar
dan lengkap sehingga dapat membantu dokter dalam mendiagnosis penyakit pasien secara baik
dan memberi obat yang tepat bagi pasien.
Komunikasi efektif diharapkan dapat mengatasi kendala yang ditimbulkan oleh kedua
pihak, pasien dan dokter. Opini yang menyatakan bahwa mengembangkan komunikasi dengan
pasien hanya akan menyita waktu dokter, tampaknya harus diluruskan. Sebenarnya bila dokter
dapat membangun hubungan komunikasi yang efektif dengan pasiennya, banyak hal-hal negatif
dapat dihindari. Dokter dapat mengetahui dengan baik kondisi pasien dan keluarganya dan
pasien pun percaya sepenuhnya kepada dokter. Kondisi ini amat berpengaruh pada proses
penyembuhan pasien selanjutnya. Pasien merasa tenang dan aman ditangani oleh dokter
sehingga akan patuh menjalankan petunjuk dan nasihat dokter karena yakin bahwa semua yang
dilakukan adalah untuk kepentingan dirinya. Pasien percaya bahwa dokter tersebut dapat
membantu menyelesaikan masalah kesehatannya.
Kurtz (1998) menyatakan bahwa komunikasi efektif justru tidak memerlukan waktu lama.
Komunikasi efektif terbukti memerlukan lebih sedikit waktu karena dokter terampil mengenali
kebutuhan pasien (tidak hanya ingin sembuh). Dalam pemberian pelayanan medis, adanya
komunikasi yang efektif antara dokter dan pasien merupakan kondisi yang diharapkan sehingga
dokter dapat melakukan manajemen pengelolaan masalah kesehatan bersama pasien,
berdasarkan kebutuhan pasien.1
Tujuan dari komunikasi efektif antara dokter dan pasiennya adalah untuk mengarahkan
proses penggalian riwayat penyakit lebih akurat untuk dokter, lebih memberikan dukungan pada
pasien, dengan demikian lebih efektif dan efisien bagi keduanya (Kurtz, 1998).1
Keberhasilan komunikasi antara dokter dan pasien pada umumnya akan melahirkan
kenyamanan dan kepuasan bagi kedua belah pihak, khususnya menciptakan satu kata tambahan
bagi pasien yaitu empati. Empati itu sendiri dapat dikembangkan apabila dokter memiliki
ketrampilan mendengar dan berbicara yang keduanya dapat dipelajari dan dilatih.2
3
Aspek Etik dan Hukum
Pada kode etik kedokteran dan kedokteran gigi secara tersirat tidak tercantum etika
berkomunikasi. Pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal
35 disebutkan kompetensi dalam praktik kedokteran antara lain dalam hal kemampuan
mewawancarai pasien. Kode Etik adalah pedoman perilaku dokter. Kode Etik harus memiliki
sifat-sifat sebagai berikut:3
Kode Etik Kedokteran Indonesia dikeluarkan dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 434/Menkes/SK/X/1983.4 Kode Etik Kedokteran Indonesia disusun dengan
mempertimbangkan International Code of Medical Ethics dengan landasan idiil Pancasila dan
landasan strukturil Undang Undang Dasar 1945. Kode Etik Kedokteran Indonesia ini mengatur
hubungan antar manusia yang mencakup kewajiban umum seorang dokter, hubungan dokter
dengan pasiennya, kewajiban dokter terhadap sejawatnya dan kewajiban dokter terhadap diri
sendiri. Pelanggaran terhadap butir-butir Kode Etik Kedokteran Indonesia ada yang merupakan
pelanggaran etik semata-mata dan ada pula yang merupakan pelanggaran etik dan sekaligus
pelanggaran hukum.
Hubungan antara dokter dengan pasien yang seimbang atau setara dalam ilmu hukum
disebut hubungan kontraktual. Hubungan kontraktual atau kontrak terapeutik terjadi karena para
pihak, yaitu dokter dan pasien masing-masing diyakini mempunyai kebebasan dan mempunyai
kedudukan yang setara. Kedua belah pihak lalu mengadakan suatu perikatan atau perjanjian di
mana masing- masing pihak harus melaksanakan peranan atau fungsinya satu terhadap yang lain.
Peranan tersebut berupa hak dan kewajiban.4
4
Hubungan karena kontrak atau kontrak terapeutik dimulai dengan tanya jawab (anamnesis)
antara dokter dengan pasien, kemudian diikuti dengan pemeriksaan fisik. Kadang-kadang dokter
membutuhkan pemeriksaan diagnostik untuk menunjang dan membantu menegakkan
diagnosisnya yang antara lain berupa pemeriksaan radiologi atau pemeriksaan laboratorium,
sebelum akhirnya dokter menegakkan suatu diagnosis. Sebagaimana telah dikemukakan,
tindakan medik mengharuskan adanya persetujuan dari pasien (informed consent) yang dapat
berupa tertulis atau lisan. Persetujuan tindakan kedokteran atau informed consent harus
didasarkan atas informasi dari dokter berkaitan dengan penyakit. Hal ini diatur dalam Undang-
Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Paragraf 2, Pasal 45. Komunikasi
antara dokter dengan pasien merupakan sesuatu yang sangat penting dan wajib.3
Melihat pentingnya komunikasi timbal balik yang berisi informasi ini, maka secara jelas
dan tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
Paragraf 2, Pasal 45 ayat (2), (3), Paragraf 6, Pasal 50 huruf (c), Paragraf 7, Pasal 52 huruf (a),
(b), dan Pasal 53 huruf (a). Paragraf 6 dan 7 dalam Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran secara jelas menyebutkan mengenai hak dan kewajiban dokter dan
hak dan kewajiban pasien yang di antaranya memberikan penjelasan dan mendapatkan
informasi. Hak pasien sebenarnya merupakan hak yang asasi yang bersumber dari hak dasar
individual dalam bidang kesehatan (The Right of Self Determination). Meskipun sebenarnya
sama fundamentalnya, hak atas pelayanan kesehatan sering dianggap lebih mendasar.3
Perlindungan masyarakat yang menggunakan pelayanan medis oleh dokter dan dokter gigi
selain dipedomani oleh etika universal, saat ini dijamin oleh undang-undang. Segala tindakan
yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi dalam rangka pengobatan mengikuti prosedur sesuai
dengan ketentuan yang berlaku, yang dalam hal ini diatur oleh disiplin ilmu masing-masing.
Masyarakat pengguna pelayanan medis, dalam batasan tertentu, perlu mengetahui alasan tinda-
kan pengobatan yang dilakukan terhadap dirinya. Hal ini menyiratkan perlunya mengembangkan
hubungan dokter - pasien sebagai hubungan penuh kepercayaan dalam wujud komunikasi dua
arah yang memberikan peluang bagi masing-masing pihak untuk menyampaikan pendapatnya.2
6
Pasal 53 UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran mengatur tentang
kewajiban pasien, yaitu: Pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran,
mempunyai kewajiban: 3
1. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;
2. mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
3. mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
4. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
Kecenderungan secara global menunjukkan bahwa hubungan dokter dengan pasien
haruslah berupa mitra, keduanya bekerja bersama untuk mencari jalan terbaik bagi kesembuhan
pasien. Bila dari permulaan hubungan dokter/dokter gigi pasien sudah lebih baik dan saling
terbuka, maka banyak masalah dapat diatasi bersama, karena dokter yang sudah mengetahui
semua sejarah penyakit pasien serta keluhannya akan dapat membuat diagnosis yang lebih tepat.
Di lain pihak pasien yang juga sudah mendapat keterangan lengkap tentang penyakitnya, cara
pengobatan dan perawatannya, kemungkinan efek samping yang mungkin timbul, serta
kemungkinan lain akibat tindakan medis tertentu, mestinya sudah lebih siap menghadapi segala
kemungkinan (yang terburuk sekalipun) dan tidak akan begitu saja menyalahkan dokter, tanpa
memahami seluruh rangkaian proses yang harus dilalui dalam suatu pengobatan ataupun
perawatan medis.2
7
Hak dokter meliputi:
1. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang ia melakukan praktik kedokteran sesuai
dengan standar profesi dan standar prosedur operasional.
Standar profesi menurut Penjelasan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
adalah batasan kemampuan (knowledge, skill dan professional attitude) minimal yang
harus dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya
pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi. Sedangkan
menurut pasal yang sama, standar prosedur operasional adalah langkah-langkah yang
dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu. Standar Prosedur
Operasional memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus
bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh
sarana pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi.3
Dokter yang melakukan praktik sesuai dengan standar tidak dapat disalahkan dan
bertanggungjawab secara hukum atas kerugian atau cidera yang diderita pasien karena
kerugian dan cidera tersebut bukan diakibatkan oleh kesalahan atau kelalaian dokter.
Perlu diketahui bahwa cedera atau kerugian yang diderita pasien dapat saja terjadi
karena perjalanan penyakitnya sendiri atau karena risiko medis yang dapat diterima
(acceptable) dan telah disetujui pasien dalam informed consent.
2. Melakukan praktik kedokteran sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional.
Dokter diberi hak untuk menolak permintaan pasien atau keluarganya yang
dianggapnya melanggar standar profesi dan atau standar prosedur operasional.
3. Memperoleh informasi yang jujur dan lengkap dari pasien atau keluarganya.
Dokter tidak hanya memerlukan informasi kesehatan dari pasien, melainkan juga
informasi pendukung yang berkaitan dengan identitas pasien dan faktor-faktor
kontribusi yang berpengaruh terhadap terjadinya penyakit dan penyembuhan penyakit.
4. Menerima imbalan jasa
Hak atas imbalan jasa adalah hak yang timbul sebagai akibat hubungan dokter dengan
pasien, yang pemenuhannya merupakan kewajiban pasien. Dalam keadaan darurat
atau dalam kondisi tertentu, pasien tetap dapat dilayani dokter tanpa
mempertimbangkan aspek finansial.
8
Selain itu dokter juga memiliki hak-hak yang berasal dari hak azasi manusia, seperti:
hak atas privasinya
hak untuk diperlakukan secara layak
hak untuk beristirahat
hak untuk secara bebas memilih pekerjaan
hak untuk terbebas dari intervensi, ancaman dan kekerasan, dan lain-lain sewaktu meno-
long pasien.
Kewajiban dokter pada dasarnya terdiri dari:
1. kewajiban yang timbul akibat pekerjaan profesinya atau sifat layanan medisnya yang dia-
tur dalam sumpah dokter, etika kedokteran dan berbagai standar dan pedoman
2. kewajiban menghormati hak pasien, dan
3. kewajiban yang berhubungan dengan fungsi sosial pemeliharaan kesehatan.
Beberapa kewajiban dokter tersebut adalah:
1. Memberi pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional, serta kebutuhan pasien.
Standar Pelayanan menurut penjelasan Pasal 44 ayat (1) Undang Undang Nomor 29
tahun 2004 adalah pedoman yang harus diikuti oleh dokter atau dokter gigi dalam
menyelenggarakan praktik kedokteran. Ayat (2) pasal 44, standar pelayanan tersebut
dibedakan menurut jenis dan strata sarana pelayanan kesehatan. Penjelasan ayat tersebut
strata pelayanan adalah tingkatan pelayanan yang standar tenaga dan peralatannya sesuai
dengan kemampuan yang diberikan.
2. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampu-
an yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan.
Kewajiban merujuk pasien tersebut dapat dilaksanakan apabila keadaan kesehatan pasien
memang dapat bergerak atau dapat dibawa untuk dipindahkan dalam keadaan stabil dan
layak. Kewajiban merujuk hanya dapat disimpangi apabila pasien tidak menginginkan
dirinya dirujukkan meskipun telah dijelaskan manfaatnya, atau apabila tidak ada dokter
yang memiliki keahlian yang dibutuhkan di daerah tersebut (yang terjangkau).
3. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah
pasien itu meninggal dunia.
Merahasiakan keadaan pasien diwajibkan dalam sumpah dokter, kode etik
kedokteran/kedokteran gigi, dan beberapa peraturan perundangundangan. Sebagian pakar
menyatakan bahwa kewajiban tersebut absolut sifatnya, sebagian menyatakan relatif.
9
Paham yang relatif mengatakan bahwa rahasia kedokteran dapat dibuka untuk
kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam
rangka menegakkan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan
perundang-undangan.
4. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada
orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya.
5. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedok-
teran gigi
Selain itu, sebagaimana diuraikan di atas, masih terdapat kewajiban dokter lainnya yang diatur
dalam sumpah dokter dan kode etik kedokteran.2
15
Penutup
DAFTAR PUSTAKA
S 16
.