Anda di halaman 1dari 3

Penularan Pneumocystis jirovecii terjadi melalui respiratory droplet infection, terhirup atau

kontak langsung dengan penderita dalam bentuk infektifnya yaitu kista. Dilaporkan pula
bahwa transmisi dapat terjadi secara in utero dari ibu ke bayi yang dikandungnya namun dengan
trofozoid sebagai bentuk infektifnya. Dalam bentuk kista Pneumocystis jirovecii terhirup oleh
manusia dan sampai ke alveoli dan melekat pada permukaan sel alveolar tipe I. Perlekatan
itu diperantarai oleh major surface glycoprotein (MSG) yaitu suatu antigen yang paling
banyak ditemukan pada permukaan sel pneumocystis dan berperan penting dalam
interaksinya dengan pejamu serta menimbulkan suatu respon imun. Individu dengan sistem
imun intak akan mengontrol infeksi primer itu dan mikroorganisme tersebut tetap berada di
dalam paru secara laten. Penyakit akan muncul bila suatu ketika terjadi gangguan atau
defisiensi sistem imun. 10,15

Pada proses infeksi lebih lanjut di alveoli pneumocystis jirovecii akan berkembang biak di
paru dan menstimulasi pembentukan eksudat yang eosinofilik yang mengisi ruang alveoli.
Eksudat mengandung histiosit, limfosit dan sel plasma yang menyebabkan kerusakan alveoli
paru sehingga menurunkan fungsi difusi sebagai bagian dari proses oksigenasi. Pada keadaan
lanjut interstisium paru menebal (edema interstitial) dan menjadi fibrosis. Pada akhirnya
dapat terjadi kegagalan proses difusi di paru dikarenakan blokade alveoli hingga ke bronchial
oleh massa jamur yang berproliferasi.8,15

Dinding alveoli yang menebal dan alveoli sendiri yang berisi eksudat eosinofilik, yang
mengandung histiosit, limfosit sel plasma dan mikroorganisme itu sendiri memberi gambaran
seperti sarang lebah (honeycomb appearance). Reaksi inflamasi di paru lebih berpotensi
menimbulkan kerusakan paru dibandingkan efek virulensi Pneumocystis jirovecii itu sendiri.
Penelitian selanjutnya memperlihatkan kondisi pemulihan kekebalan pada tikus yang
terinfeksi menunjukkan terjadi peningkatan sitokin proinflamasi dan kemokin di paru
sebagai tanda bahwa sistem imun mulai bekerja. 15

Pada penelitian Limper dkk, ditemukan bahwa jumlah P. jirovecii pada pasien dengan AIDS
adalah lebih tinggi dibandingkan pasien PCP lainnya dan memiliki jumlah netrofil lebih
sedikit di dalam sampel cairan BAL. Maka diambil suatu hipotesis bahwa inflamasi paru
berkontribusi terhadap kerusakan paru pada pasien PCP. 10
Penularan Pneumocystis jirovecii terjadi melalui respiratory droplet infection, terhirup
atau kontak langsung dengan penderita dalam bentuk infektifnya yaitu kista. Dilaporkan pula
bahwa transmisi dapat terjadi secara in utero dari ibu ke bayi yang dikandungnya namun dengan
trofozoid sebagai bentuk infektifnya. Dalam bentuk kista Pneumocystis jirovecii terhirup oleh
manusia dan sampai ke alveoli dan melekat pada permukaan sel alveolar tipe I. Perlekatan
itu diperantarai oleh major surface glycoprotein (MSG) yaitu suatu antigen yang paling
banyak ditemukan pada permukaan sel pneumocystis dan berperan penting dalam
interaksinya dengan pejamu serta menimbulkan suatu respon imun. Individu dengan sistem
imun intak akan mengontrol infeksi primer itu dan mikroorganisme tersebut tetap berada di
dalam paru secara laten. Penyakit akan muncul bila suatu ketika terjadi gangguan atau
defisiensi sistem imun. 10,15
Faktor pada host mempengaruhi perkembangan dari PCP termasuk kerusakan pada
imunitas seluler dan imunitas humoral. Resiko pada pasien dengan infeksi HIV meningkat
secara bermakna ketika sel T CD4+ menurun hingga di bawah 200/µL. Orang yang beresiko
PCP lainnya adalah pasien dengan agen immunosupresi (terutama glukokortikoid) pada
kanker dan transplantasi organ, orang yang mendapatkan agen biologi seperti infliximab dan
etanercept untuk rheumatoid arthritis dan inflamatory bowel disease, anak-anak dengan
penyakit immunodeficiency primer, dan bayi prematur dengan malnutrisi.6
Sel efektor dari host yang melawan Pneumocystis adalah alveolar machropages,
yang mencerna dan membunuh organisme tersebut dengan melepaskan berbagai macam
mediator inflamasi. Organisme tersebut berproliferasi di dalam alveolus, menempel kuat pada
sel tipe I. Kerusakan pada alveolar menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler alveolar
dan kelainan surfaktan, meliputi penurunan fosfolipid dan peningkatan pada protein surfaktan
A dan D. Respon inflamasi dari host pada kerusakan paru menyebabkan peningkatan
interleukin 8 dan angka neutrofil pada cairan bronchoalveolar lavage (BAL). Perubahan ini
berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit.6
Pada bagian paru dengan hemaktosilin dan eosin, alveoli terisi dengan vacuolated
exudate. Pada tingkat yang berat mungkin didapatkan edema interstisial, fibrosis, dan formasi
membran hyalin. Perubahan inflamatory pada host biasanya terdiri atas hipertrofi sel alveolar
tipe II, respon reparatif khas, dan infiltrat interstisial sedang sel mononuklear.6

6. Fauci, et al. 2008. Harrison’s Principle of Interna Medicine 17th. United State: The Mc-
Graw-Hill Company.
....
MANIFESTASI KLINIS

Gejala klinis Pneumocystis pneumonia meliputi demam yang tidak terlalu tinggi, batuk yang
non produktif dan sesak napas yang terjadi secara subakut 2 minggu atau lebih.Gambaran
penyakitnya akan berbeda pada pasien AIDS dan pasien tanpa sindroma AIDS. Pada pasien
bukan AIDS onsetnya tidak jelas dengan masa inkubasi sampai 2 bulan. Batuk nonproduktif
merupakan gejala yang tipikal dan dapat berlanjut hingga kapasitas ventilasinya menurun.
Meski gangguan pernapasannya menjadi berat, tanda-tanda kliniknya tidak begitu jauh dari
normal. Pasien mungkin afebris, jumlah sel darah putih normal atau meningkat sedikit, dan
mungkin terdapat eosinophilia. Pada bayi di bawah 3 bulan dapat timbul batuk-batuk,
takipnea, dengan episode apnea. Pada pemeriksaan fisik biasanya terdapat ronki yang difus.
9,11
Pada pasien dengan AIDS, masa inkubasinya lebih lama, rata-rata sekitar 40 hari tetapi dapat
sampai setahun dengan berat badan menurun, malaise, diare, batuk nonproduktif, dispnea
progresif dan demam ringan. Pada pemeriksaan dada, ronki dapat ada atau tidak ada.
Laporan-laporan menunjukkan bahwa sebanyak 28% dari pasien terindikasi P. jiroveciifoto
toraksnya normal serta kelainan fisik di dadanya tidak ada atau tidak jelas. Klinisi
diharapkanwaspada akan kemungkinan infeksi pneumocystis bila ditemukan bintik seperti
kapas di fundus mata, terutama bila tidak ada diabetes atau hipertensi. Meskipun P. jirovecii
telah ditemukan pada berbagai jaringan seperti kelenjar limfe, limpa, hati, darah perifer,
lambung, usus kecil, sumsum tulang, miokardium, kelenjar adrenal dan tiroid, penyebaran
yang berasal dari paru-paru sangat jarang. Dapat ditemukan juga cairan serosa dan sel-sel
lain di rongga interstisial dan alveoli paru-paru.
11,12,13

Diagnosis dan Tata Laksana Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP)/Pneumocystis Jirovecii


Pneumonia pada pasien HIV: Sebuah Laporan Kasus

Anda mungkin juga menyukai