Anda di halaman 1dari 38

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA

PERIODE 14 JANUARI – 16 FEBRUARI 2019

RS PENDIDIKAN : RUMAH SAKIT UMUM DAERAH


DR. KARDINAH, KOTA TEGAL

JOURNAL READING

TOPIK : Overnight orthokeratology is comparable with atropine in


controlling myopia

Penulis :
Apriyanti Mukadar
030.14.018

Pembimbing :
dr. H. Liliek Istoyo Yahmo, SpM

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
LEMBAR PERSETUJUAN

Journal reading dengan topik :


“Overnight orthokeratology is comparable with atropine in controlling
myopia”

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing sebagai syarat


untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik Departemen Ilmu Kesehatan Mata
di Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah Tegal
periode 14 Januari – 16 Februari 2019

Pada hari …………... tanggal ………………………………..

Tegal, ...... Februari 2019


Pembimbing,

(dr. H. Liliek Istoyo Yahmo, SpM)

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas
karunia-Nya journal reading dengan topik “Overnight orthokeratology is comparable
with atropine in controlling myopia” dapat selesai dengan semestinya. Journal
reading ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam menyelesaikan
kepaniteraan klinik departemen Ilmu Kesehatan Mata periode 14 Januari – 16
Februari 2019.
Dalam penyusunan journal reading ini tidak terlepas dari bantuan dan
bimbingan serta dukungan dalam membantu penyusunan dan penyelesaian makalah
ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih
terutama kepada dr. H. Liliek Istoyo Yahmo, SpM selaku pembimbing atas
pengarahannya selama penulis belajar dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan
Mata. Dan kepada para dokter dan staff Ilmu Kesehatan Mata RSUD Kardinah Kota
Tegal, serta rekan-rekan seperjuangan dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan
Mata.

Penulis sangat terbuka dalam menerima kritik dan saran, dikarenakan dalam
penyusunan journal reading ini masih jauh dari kata sempurna. Semoga makalah ini
bisa bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya.

Tegal, 29 Januari 2019


Penulis,

Apriyanti Mukadar
030.14.018

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................i


LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
DAFTAR ISI ...........................................................................................................iv

BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA: MIOPIA ....................................................... 1


1.1 Definisi .......................................................................................... 1
1.2 Etiologi .......................................................................................... 2
1.3 Patofisilogi ...................................................................................2
1.4 Klasifikasi ..................................................................................... 2
1.5 Gejala Klinis ................................................................................. 8
1.5 Diagnosis ...................................................................................... 9
1.6 Penatalaksanaan .......................................................................... 10
1.7 Komplikasi .................................................................................. 13
1.8 Prognosis ................................................................................... 15

BAB 2 JOURNAL READING ........................................................................ 16

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 29

4
5
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA : MIOPI

MIOPIA

1.1 Definisi

Kata miopia diambil dari bahasa Yunani “muopia” yang berarti menutup mata.
Miopia merupakan suatu keadaan mata yang mempunyai kekuatan pembiasan sinar
yang berlebihan sehingga sinar sejajar yang datang dibiaskan di depan retina, pada
kondisi mata yang tidak berakomodasi. Pada miopia, titik fokus sistem optik media
penglihatan terletak di depan makula lutea.1 Hal ini dapat disebabkan sistem optik
(pembiasan) terlalu kuat, miopia refraktif atau bola mata terlalu panjang. Kelainan ini
menyebabkan penglihatan buram untuk jarak jauh, popular dengan istilah
“nearsightness”.

Kata miopia sendiri sebenarnya baru dikenal pada sekitar abad ke 2, yang mana
terbentuk dari dua kata meyn yang berarti menutup, dan ops yang berarti mata. Ini
memang menyiratkan salah satu ciri – ciri penderita myopia yang suka menyipitkan
matanya ketika melihat sesuatu yang baginya tampak kurang jelas, karena dengan cara
ini akan terbentuk debth of focus di dalam bola mata sehingga titik fokus yang tadinya
berada di depan retina, akan bergeser ke belakang mendekati retina2

Gambar 1. Proses Penglihatan Normal dan Miopia

1
1. 2 Etiologi3
1.Axial myopia. Merupakan akibat dari peningkatan panjang diameter
anteriorposterior bola mata. Merupakan bentuk yang paling sering dijumpai.
2. Curvatural myopia. Terjadi akibat peningkatan lengkung kornea, lensa, atau
eduanya.
3. Positional myopia. Akibat dari penempatan lensa di bagian anterior.
4. Index myopia. Akibat dari peningkatan indeks refraksi lensa terkait dengan
sklerosis nukleus.
5. Myopia due to excessive accommodation. Terjadi pada pasien dengan spasme
akomodasi.3
1.3 Patofisiologi
Miopia atau “penglihatan dekat” terjadi pada saat otot siliaris relaksasi total
sehingga cahaya dari objek yang letaknya jauh difokuskan di depan retina. Keadaan
seperti ini terjadi akibat dari bola mata yang terlalu panjang, atau karena daya bias
sistem lensa terlalu kuat. Tidak ada mekanisme bagi miopia untuk mengurangi
kekuatan lensa karena otot siliaris dalam keadaan relaksasi sempurna. Pasien dengan
miopia tidak mempunyai mekanisme untuk memfokuskan bayangan dari objek jauh
dengan tepat di retina. Namun, jika objek didekatkan ke mata, bayangan akan menjadi
cukup dekat sehingga dapat difokuskan tepat di retina. Saat objek terus didekatkan ke
mata, mata akan menggunakan mekanisme akomodasi agar bayangan yang terbentuk
tetap terfokus jelas. Pasien dengan miopia mempunyai titik jauh yang terbatas untuk
penglihatan jelas.2-5
1.4 Klasifikasi 5,6

a. Berdasarkan Manifestasi Klinis


 Simple : Status refraksi mata dengan miopia sederhana tergantung pada daya
optik kornea dan lensa kristal, dan panjang aksial. Mata dengan miopi simple
merupakan mata normal yang terlalu panjang untuk kekuatan optiknya atau
memiliki kekuatan optik yang terlalu kuat untuk panjang aksisnya. Bentuk

2
miopi ini adalah yang paling umum, biasanya kurang dari 6 Dioptri atau kurang
dari 4-5 D. Ketika derajad miopi pada kedua mata tidak sama, hal ini disebut
anisomiopia. Jika salah satu mata emetrop sementara yang lainnya miopi, ini
disebut simple miopi anisometropia. Anisometropia menjadi signifikan bila
perbedaannya mencapai 1 D atau lebih.
 Miopia Nokturnal : terjadi pada kondisi pencahayaan redu akibat dari
peningkatan respon akomodasi.
 Pseudomiopia : akibat dari peningkatan kekuatan refraksi mata akibat dari
overstimulasi pada mekanisme akomodasi mata atau terjadinya spasme siliar.
Dinamakan pseudo karena pasien hanya mengalami miopi jika respon
akomodaasi tidak tepat.
 Miopia degeneratif : derajad miopia berkaitan dengan perubahan degeneratif
pada segmen posterior mata. Perubahan degeneratif dapat menyebabkan
penurunan koreksi mata terbaik atau perubahan lapang pandang.
 Miopia terinduksi : merupakan hasil dari eksposur agen farmako, perubahan
tingkat gula darah, sklerosis nukleus lensa kristalin. Miopi jenis ini reversible.

b. Berdasarkan penyebab myopia.


 Miopia refraktif : Miopia yang terjadi akibat bertambahnya indeks bias media
penglihatan, seperti pada katarak.
 Miopia aksial : Miopia yang terjadi akibat panjangnya sumbu bola mata,
dengan kelengkungan kornea dan lensa yang normal.

c. Menurut perjalanan penyakitnya, miopia di bagi atas :


 Miopia stasioner : Miopia yang menetap setelah dewasa.
 Miopia progresif : Miopia yang bertambah terus pada usia dewasa akibat
bertambah panjangnya bola mata.
 Miopia maligna : Keadaan yang lebih berat dari miopia progresif, yang dapat
mengakibatkan ablasi retina dan kebutaan.

d. Berdasarkan ukuran dioptri lensa yang dibutuhkan untuk mengkoreksinya.

3
 Miopia ringan : Lensa koreksinya 0,25 s/d 3,00 Dioptri
 Miopia sedang : Lensa koreksinya 3,25 s/d 6,00 Dioptri.
 Miopia berat : lensa koreksinya > 6,00 Dioptri. Penderita miopia kategori ini
rawan terhadap bahaya pengelupasan retina dan glaukoma sudut terbuka.

e. Berdasarkan umur :
 Juvenile-Onset Myopia (JOM) : JOM didefinisikan sebagai miopia dengan
onset antara 7-16 tahun yang disebabkan terutama oleh karena pertumbuhan
sumbu aksial dari bola mata yang fisiologis. Esophoria, astigmatisma,
prematuritas, riwayat keluarga dan kerja berlebihan yang menggunakan
penglihatan dekat merupakan faktor-faktor risiko yang dilaporkan oleh
berbagai penelitian. Pada wanita, peningkatan prevalensi miopia terbesar
terjadi pada usia 9-10 tahun, sementara pada laki-laki terjadi pada usia 11-12
tahun. Semakin dini onset dari miopia, semakin besar progresi dari miopianya.
Miopia yang mulai terjadi pada usia 16 tahun biasanya lebih ringan dan lebih
jarang ditemukan. Progresi dari miopia biasanya berhenti pada usia remaja (
♂pada usia 16 tahun, ♀ pada usia 15 tahun)
 Adult-Onset Myopia (AOM) : AOM dimulai pada usia 20 tahun.

a. Youth-onset myopia miopia yang terjadi pada usia kurang dari 20 tahun
b. Early adult onset myopia miopia yang terjadi pada usia 20 sampai 40
tahun
c. Late adult onset myopiamyopia yang terjadi setelah usia 40 tahun
Kerja mata yang berlebihan pada penglihatan dekat merupakan faktor risiko
dari perkembangan miopia.

f. Klasifikasi secara klinik :

1. Miopia kongenital
Myopia kongenital biasanya ada sejak lahir, namun biasanya baru didiagnosis pada
usia 2-3 tahun. Kebanyakan kelainan refraksi yang terjadi unilateral dan jarang
bilateral. Anak dapat sering memicingkan mata untuk melihat lebih jelas titik jauh.

4
Myopia kongenital kadang berkaitan dengan anomali kongenital lainnya seperti
katarak, microthalmos, aniridia, megalokornea, dan pemisahan retina kongenital.
Koreksi dini miopia kongenital disarankan.6

2. Miopia simplek
Miopia simplek adalah jenis yang paling sering terjadi. Jenis ini dianggap sebagai
kelainan fisiologis tanpa berkaitan dengan penyakit mata lain. Prevalensinya
meningkat dari 2% pada usia 5 tahun menjadi 14% pada usia 15 tahun. Karena
peningkatan terjadi pada usia sekolah, yaitu usia 8 sampai 12 tahun, hal ini disebut juga
school myopia.

Etiologi

Miopia ini merupakan variasi biologis normal pertumbuhan mata yang dapat atau tidak
berkaitan dengan genetik. Beberapa faktor yang berkaitan dengan miopia simpel yaitu:

 Miopia simplek tipe aksial hanya merupakan variasi fisiologis panjang bola mata
atau dapat berkaitan dengan pertumbuhan neurologis dini saat usia anak.
 Miopia simplek tipe kurvatura dianggap akibat kurang berkembangnya bola mata
 Peran diet saat usia anak telah dilaporkan tanpa ada hasil konklusif.
 Peran genetik. Genetik berperan pada variasi biologis perkembangan mata, dimana
prevalensi miopia lebih banyak pada anak dengan kedua orang tua miopia (20%)
daripada anak dengan 1 orang tua miopia (10%) dan anak tanpa orang tua miopia (5%).
 Teori pekerjaan jarak dekat berlebihan. Namun teori ini tidak membuktikan
adanya hubungan miopia dengan pekerjaan jarak dekat, menonton televisi dan tidak
melakukan pemakaian kacamata. 2,6

Gejala subjektif

 penurunan visus untuk jarak jauh adalah keluhan utama miopia


 Gejala astenopia dapat terjadi pada pasien dengan miopia ringan
 Sering memicingkan mata mungkin dikeluhkan oleh orang tua pasien dengan anak

5
miopia.
Gejala objektif

 Bola mata yang sedikit menonjol


 Pada segmen anterior ditemukan bilik mata yang dalam dan pupil yang relatif
lebar.
 Pada segmen posterior biasanya terdapat gambaran yang normal atau dapat disertai
cresen myopia (myopiaic crescent) yang ringan di sekitar papil saraf optik
 Kelainan refraksi: miopia simplek biasa terjadi antara usia 5 -10 tahun dan akan
terus naik sampai usia 18 - 20 tahun. Miopia simplek kelainan refraksinya biasanya
tidak melebihi 6-8 D. 1,3
Diagnosis dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan retinoskopi

3. Miopia patologik
Miopia patologi/ degeneratif/ progresif, seusai dengan namanya, adalah kelainan
progresif yang cepat dimulai dari usia 5-10 tahun dan menghasilkan miopia yang berat
pada dewasa muda dan biasanya berkaitan dengan perubahan degeneratif pada mata.

Etiologi

Belum ada hipotesis yang dapat menjelaskan etiopatologis dari miopia patologis secara
memuaskan. Namun, diketahui bahwa hal ini berhubungan dengan genetik dan proses
pertumbuhan secara general.

 Peran herediter
Telah dikonfirmasi bahwa faktor genetik memegang peranan penting pada
etiologinya, dimana miopia progresif: (i) familial, (ii) lebih sering pada ras
tertentu seperti Cina, Jepang, Arab, Yahudi, dan jarang pada Negroid, Nubian,
dan Sudan. Telah disimpulkan bahwa pertumbuhan retina terkait dengan
herediter sangat berpengaruh terhadap perkembangan miopia. Sklera karena
distensibilitasnya mengikuti pertumbuhan retina, namun koroid mengalami

6
degenerasi karena peregangan, yang akhirnya menyebabkan degenerasi
retina.4,7

 Peran proses pertumbuhan secara general


Walaupun tidak berpengaruh banyak, namun hal ini tidak dapat di lupakan
dalam progres miopia. Pemanjangan segmen posterior dari bola mata dimulai
hanya saat periode pertumbuhan aktif. Oleh karena itu, faktor defisiensi nutrisi,
penyakit penyerta, gangguan endokrin yang mempengaruhi proses
pertumbuhan general juga mempengaruhi progres dari miopia. 4

Gejala klinis8

Gejala subjektif :

1. Defek pada visus. Terdapat penurunan fungsi penglihatan karena biasanya


kelainannya berat. Pada tahap lanjut, penurunan visus tidak dapat terkoreksi
karena terdapat perubahan degeneratif.
2. Muscae volitantes yaitu terlihat bintik hitam berterbangan di depan mata yang
disebabkan degenerasi vitreus.
3. Night blindness dapat dikeluhkan yang disebabkan kelainan miopia yang sangat
berat dengan perubahan degeneratif signifikan.
Gejala objektif:

1. Mata yang menonjol. Mata yang mengalami pemanjangan adalah bagian posterior.
Bagian anterior bola mata biasanya normal.
2. Kornea terlihat besat
3. COA dalam
4. Pupil terlihat sedikit membesar dan reaksi terhadap cahaya lambat
 Pemeriksaan funduskopi:
 Badan kaca: dapat ditemukan kekeruhan berupa perdarahan atau degenerasi
yang terlihat sebagai floaters, atau benda-benda yang mengapung dalam badan

7
kaca. Kadang-kadang ditemukan ablasi badan kaca yang dianggap belum jelas
hubungannya dengan keadaan miopia.
 Papil saraf optik: terlihat pigmentasi peripapil, kresen miopia, papil terlihat
lebih pucat yang meluas terutama ke bagian temporal. Kresen miopia dapat ke
seluruh lingkaran papil, sehingga seluruh papil dikelilingi oleh daerah koroid
yang atrofi dan pigmentasi yang tidak teratur.
 Makula: berupa pigmentasi di daerah retina, kadang-kadang ditemukan
perdarahan subretina pada daerah makula.
 Retina bagian perifer: berupa degenerasi sel retina bagian perifer.
 Seluruh lapisan fundus yang tersebar luas berupa penipisan koroid dan retina.
Akibat penipisan retina ini maka bayangan koroid tampak lebih jelas dan
disebut sebagai fundus tigroid.

1.5 Gejala Klinis 3

Sebagian kasus-kasus miopia dapat diketahui dengan adanya kelainan pada jarak
pandang.Pada tingkat ringan, kelainan baru dapat diketahui bila penderita telah
diperiksa.

 Akibat sinar dari suatu objek jauh difokuskan di depan retina, maka penderita
miopia hanya dapat melihat jelas pada waktu melihat dekat, sedangkan
penglihatan kabur bila melihat objek jauh.
 Keluhan astenopia, seperti sakit kepala yang dengan sedikit koreksi dari
miopianya dapat disembuhkan.
 Kecendrungan penderita untuk menyipitkan mata waktu melihat jauh untuk
mendapatkan efek “pinhole” agar dapat melihat dengan lebih jelas.
 Penderita miopia biasanya suka membaca, sebab mudah melakukannya tanpa
usaha akomodasi

8
1.6 Diagnosis

Diagnosis miopia dapat ditegakkan dengan cara refraksi subjektif dan objektif,
setelah diperiksa adanya visus yang kurang dari normal tanpa kelainan organik. Cara
subyektif ini penderita aktif menyatakan kabur terangnya saat di periksa.Pemeriksaan
dilakukan guna mengetahui derajat lensa negatif yang diperlukan untuk memperbaiki
tajam penglihatan sehingga menjadi normal atau tercapai tajam penglihatan terbaik.
Alat yang digunakan adalah kartu Snellen, bingkai percobaan dan sebuah set lensa
coba. 4,9

Tehnik pemeriksaan :

1. Penderita duduk menghadap kartu Snellen pada jarak 6 meter (minimal 5


meter), jika kurang dari 5 meter akan terjadi akomodasi.
2. Pada mata dipasang bingkai percobaan/trial frame dan satu mata ditutup dengan
occlude, didahului dengan mata kanan.
3. Penderita di suruh membaca kartu Snellen mulai huruf terbesar dan diteruskan
sampai huruf terkecil yang masih dapat terbaca.
4. Lensa sferis negatif terkecil dipasang pada tempatnya dan bila tajam
penglihatan menjadi lebih baik ditambahkan kekuatannya perlahan-lahan
hingga dapat terbaca huruf pada baris terbawah.
5. Sampai terbaca basis 6/6.
6. Jika ditambah lensa sferis masih tidak bisa, kemungkinan pasien mempunyai
astigmatisma. Dilakukan Fogging Test.
7. Mata yang lain dikerjakan dengan cara yang sama.
Cara Obyektif

Cara ini untuk anomali refraksi tanpa harus menanyakan bagaimana tambah atau
kurangnya kejelasan yang di periksa, dengan menggunakan alat-alat tertentu yaitu
retinoskop. Cara objektif ini dinilai keadaan refraksi mata dengan cara mengamati
gerakan bayangan cahaya dalam pupil yang dipantulkan kembali oleh retina. Pada saat
pemeriksaan retinoskop tanpa sikloplegik (untuk melumpuhkan akomodasi), pasien

9
harus menatap jauh. Mata kiri diperiksa dengan mata kiri, mata kanan dengan mata
kanan dan jangan terlalu jauh arahnya dengan poros visual mata.Jarak pemeriksaan
biasanya ½ meter dan dipakai sinar yang sejajar atau sedikit divergen berkas
cahayanya. Bila sinar yang terpantul dari mata dan tampak di pupil bergerak searah
dengan gerakan retinoskop, tambahkan lensa plus. Terus tambah sampai tampak
hampir diam atau hampir terbalik arahnya. Keadaan ini dikatakan point of reversal
(POR), sebaliknya bila terbalik tambahkan lensa minus sampai diam. Nilai refraksi
sama dengan nilai POR dikurangi dengan ekivalen dioptri untuk jarak tersebut,
misalnya untuk jarak ½ meter dikurangi 2 dioptri.6

Cara pemeriksaan subyektif dan obyektif biasanya dilakukan pada setiap pasien.
Cara ini sering dilakukan pada anak kecil dan pada orang yang tidak kooperatif, cukup
dengan pemeriksaan objektif.Untuk yang tidak terbiasa, pemeriksaan subjektif saja
pada umumnya bisa dilakukan.

1.7 Tatalaksana 3,7

Penatalaksanaan miopia adalah dengan mengusahakan sinar yang masuk mata


difokuskan tepat di retina. Penatalaksanaan miopia dapat dilakukan dengan cara :

 Cara optik
1. Kacamata (Lensa Konkaf)

Koreksi miopia dengan kacamata, dapat dilakukan dengan menggunakan lensa


konkaf (cekung/negatif) karena berkas cahaya yang melewati suatu lensa cekung akan
menyebar. Bila permukaan refraksi mata mempunyai daya bias terlalu tinggi atau bila
bola mata terlalu panjang seperti pada miopia, keadaan ini dapat dinetralisir dengan
meletakkan lensa sferis konkaf di depan mata. Lensa cekung yang akan
mendivergensikan berkas cahaya sebelum masuk ke mata, dengan demikian fokus
bayangan dapat dimundurkan ke arah retina.

10
2. Lensa kontak

Lensa kontak dari kaca atau plastik diletakkan dipermukaan depan kornea. Lensa
ini tetap ditempatnya karena adanya lapisan tipis air mata yang mengisi ruang antara
lensa kontak dan permukaan depan mata. Sifat khusus dari lensa kontak adalah
menghilangkan hampir semua pembiasan yang terjadi dipermukaan anterior kornea,
penyebabnya adalah air mata mempunyai indeks bias yang hampir sama dengan kornea
sehingga permukaan anterior kornea tidak lagi berperan penting sebagai dari susunan
optik mata. Sehingga permukaan anterior lensa kontaklah yang berperan penting.

3.Tetes mata Atropin

Progresifitas miopia juga dapat ditekan dengan pemberian tetes mata atropine
dalam konsentrasi kecil (0,5%, 0,25%, dan 0,1%), karena atropine akan menghambat
akomodasi. Konsentrasi yang tinggi (1%). meningkatkan insiden dan derajat efek
samping lokal seperti midriasis, fotofobia, buram, dan dermatitis alergi serta efek
samping sistemik.3 Pemberian atropine pertama kali dilakukan oleh Wells pada abad
ke-19.3

 Cara operasi
Ada beberapa cara, yaitu :

1. Insisi Radikal

Untuk membuat insisi radial yang dalam pada pinggir kornea dan ditinggalkan 4
mm sebagai zona optik.Pada penyembuhan insisi ini terjadi pendataran dari permukaan
kornea sentral sehingga menurunkan kekuatan refraksi. Prosedur ini sangat bagus
untuk miopi derajat ringan dan sedang.

Kelemahannya:

Kornea menjadi lemah, bisa terjadi ruptur bola mata jika terjadi trauma setelah RK,
terutama bagi penderita yang berisiko terjadi trauma tumpul, seperti atlet, tentara. Bisa

11
terjadi astigmat irreguler karena penyembuhan luka yang tidak sempurna,namun jarang
terjadi. Pasien Post RK juga dapat merasa silau saat malam hari.

2. Laser photorefractive keratektomy (PRK)

Pada teknik ini zona optik sentral pada stroma kornea anterior difotoablasi dengan
menggunakan laser excimer (193 nm sinar UV) yang bisa menyebabkan sentral kornea
menjadi flat. Sama seperti RK, PRK bagus untuk miopi -2 sampai -6 dioptri.

Kelemahan PRK:

- Penyembuhan postoperatif yang lambat

- Keterlambatan penyembuhan epitel menyebabkan keterlambatan pulihnya


penglihatan dan pasien merasa nyeri dan tidak nyaman selama beberapa minggu.

- Dapat terjadi sisa kornea yang keruh yang mengganggu penglihatan

- PRK lebih mahal dibanding RK

3. Laser in-situ Keratomileusis (LASIK)

Pada teknik ini, pertama sebuah flap setebal 130-160 mikron dari kornea anterior
diangkat. Setelah Flap diangkat, jaringan midstroma secara langsung diablasi dengan
tembakan sinar excimer laser , akhirnya kornea menjadi flat. Sekarang teknik ini
digunakan pada kelainan miopi yang lebih dari - 12 dioptri.

Kriteria pasien untuk LASIK

 Umur lebih dari 20 tahun.


 Memiliki refraksi yang stabil,minimal 1 tahun.
 Motivasi pasien
 Tidak ada kelainan kornea dan ketebalan kornea yang tipis merupakan
kontraindikasi absolut LASIK
Keuntungan LASIK

12
- Minimimal atau tidak ada rasa nyeri post operatif
- Kembalinya penglihatan lebih cepat dibanding PRK.
- Tidak ada resiko perforasi saat operassi dan ruptur bola mata karena trauma
- Tidak ada gejala sisa kabur karena penyembuhan epitel.
- Baik untuk koreksi miopi yang lebih dari -12 dioptri.
Kekurangan LASIK

- LASIK jauh lebih mahal


- Membutuhkan skill operasi para ahli mata.
- Dapat terjadi komplikasi yang berhubungan dengan flap, seperti flap putus
saat operasi, dislokasi flap postoperatif, astigmat irreguler.

4. Ekstraksi lensa jernih (Fucala's operation)


Dianjurkan untuk miopi -16 sampai -18D, terutama pada kasus unilateral. Baru-
baru ini, ekstraksi lensa yang jernih dengan implantasi IOL dengan kekuatan yang
sesuai direkomendasikan untuk mopia lebih dari 12 D.

5. Phakic Intraocular Lens


Atau implantasi intraocular contact lens (ICL) juga dipertimbangkan untuk koreksi
miopia lebih dari 12 D. Pada teknik ini, IOL khusus diimplantasi di COA atau di COP
di anterior dari lensa asli.

6. Orthokeratology

Metode reversibel nonbedah dengan memakai lensa kontak rigid gas permeabel
saat malam. Metode ini dapat dipertimbangkan untuk koreksi miopia hingga -5D dan
dapat digunakan untuk pasien usia kurang dari 18 tahun.

1.8 Komplikasi 8,9

a. Ablasio retina

Resiko untuk terjadinya ablasio retina pada 0D – (- 4,75)D sekitar 1/6662.


Sedangkan pada (- 5) D – (-9,75) D resiko meningkat menjadi 1/1335. Lebih dari (-10)

13
D resiko ini menjadi 1/148. Dengan kata lain penambahan faktor resiko pada miopia
rendah tiga kali sedangkan miopia tinggi meningkat menjadi 300 kali.

b. Vitreal Liquefaction dan Detachment

Badan vitreus yang berada di antara lensa dan retina mengandung 98% air dan 2%
serat kolagen yang seiring pertumbuhan usia akan mencair secara perlahan-lahan,
namun proses ini akan meningkat pada penderita miopia tinggi. Hal ini berhubungan
dengan hilangnya struktur normal kolagen. Pada tahap awal, penderita akan melihat
bayangan-bayangan kecil (floaters). Pada keadaan lanjut, dapat terjadi kolaps badan
vitreus sehingga kehilangan kontak dengan retina. Keadaan ini nantinya akan beresiko
untuk terlepasnya retina dan menyebabkan kerusakan retina. Vitreusdetachment pada
miopia tinggi terjadi karena luasnya volume yang harus diisi akibat memanjangnya
bola mata.

c. Miopic makulopaty

Dapat terjadi penipisan koroid dan retina serta hilangnya pembuluh darah kapiler
pada mata yang berakibat atrofi sel-sel retina sehingga lapang pandang
berkurang.Dapat juga terjadi perdarahan retina dan koroid yang bisa menyebabkan
kurangnya lapangan pandang.Miopia vaskular koroid/degenerasi makular miopik juga
merupakan konsekuensi dari degenerasi makular normal, dan ini disebabkan oleh
pembuluh darah yang abnormal yang tumbuh di bawah sentral retina.

d. Glaukoma

Resiko terjadinya glaukoma pada mata normal adalah 1,2%, pada miopia sedang
4,2%, dan pada miopia tinggi 4,4%. Glaukoma pada miopia terjadi dikarenakan stres
akomodasi dan konvergensi serta kelainan struktur jaringan ikat penyambung pada
trabekula.

14
e. Skotoma

Komplikasi timbul pada miopia derajat tinggi. Jika terjadi bercak atrofi retina
maka akan timbul skotoma (sering timbul jika daerah makula terkena dan daerah
penglihatan sentral menghilang). Vitreus yang telah mengalami degenerasi dan
mencair berkumpul di muscae volicantes sehingga menimbulkan bayangan lebar
diretina sangat menggangu pasien dan menimbulkan kegelisahan. Bayangan tersebut
cenderung berkembang secara perlahan dan selama itu pasien tidak pernah
menggunakan indera penglihatannya dengan nyaman sampai akhirnya tidak ada fungsi
penglihatan yang tersisa atau sampai terjadi lesi makula berat atau ablasio retina.

1.9 Prognosis
Sebagian besar miopia pada anak-anak memiliki derajat miopia yag rendah
sampai sedang, tetapi beberapa diantaranya dapat juga berkembang menjadi miopia
tinggi. Termasuk faktor resiko yang menjadi penyebab miopia tinggi adalah
ras/bangsa, orang tua dengan kelainan refraksi dan derajat pregresifitas miopia.
Umumnya diketahui bahwa semakin cepat miopia muncul semakin besar derajat
perkembangan penyakit.10

15
BAB II
JOURNAL READING

Lin et al. BMC Ophthalmology

Overnight orthokeratology is comparable with atropine in controlling myopia

Hui-Ju Lin1,2,3, Lei Wan1,2, Fuu-Jen Tsai1,2, Yi-Yu Tsai3, Liuh-An Chen1,3,
Alicia Lishin Tsai3 and Yu-Chuen Huang1,2

ABSTRAK
Latar Belakang: Banyak upaya telah dilakukan untuk memperlambat perkembangan
miopia. Di antara metode-metode tersebut, pemberian atropin dan ortokeratologi (OK)
paling banyak digunakan. Penelitian ini menganalisis kemanjuran atropin dan lensa
OK dalam mengendalikan perkembangan miopia dan panjang aksial.
Metode: Penelitian retrospektif ini mencakup 105 pasien (210 mata) yang memakai
lensa OK dan 105 pasien (210 mata) yang menerapkan atropin 0,125% setiap malam
selama 3 periode berikutnya. Student t-test, analisis regresi linier, ANOVA ukuran
berulang, dan koefisien korelasi Pearson digunakan untuk analisis statistik.
Hasil: Perubahan panjang aksial per tahun adalah 0,28 ± 0,08 mm, 0,30 ± 0,09 mm,
dan 0,27 ± 0,10 mm pada kelompok lensa OK, dan 0,38 ± 0,09 mm, 0,37 ± 0,12 mm,
dan 0,36 ± 0,08 mm pada atropin kelompok untuk tahun 1, 2, dan 3. Analisis regresi
linier mengungkapkan peningkatan miopia 0,28 D dan 0,34 D per tahun, dan
peningkatan panjang aksial 0,28 mm dan 0,37 mm per tahun pada lensa OK dan
kelompok atropin. Pengukuran berulang ANOVA menunjukkan perbedaan signifikan
dalam miopia (p = 0,001) dan panjang aksial (p <0,001) antara atropin dan kelompok
lensa OK; pada astigmatisme, tidak ada perbedaan signifikan dalam parameter ini (p =
0,320). Perbandingan peningkatan panjang aksial dalam kaitannya dengan miopia awal
menunjukkan korelasi yang signifikan baik pada kelompok lensa OK (koefisien
korelasi Pearson, r = 0,259; p <0,001) dan kelompok atropin (r = 0,169; p = 0,014).
Pasien miopia tinggi mendapat manfaat lebih baik dari lensa OK dan atropin dari pada

16
pasien miopia rendah. Korelasi miopia awal dan perkembangan miopia lebih kuat pada
kelompok lensa OK kemudian pada kelompok atropin.
Kesimpulan: Lensa OK adalah metode yang berguna untuk mengendalikan
perkembangan miopia bahkan pada pasien miopia tinggi
Kata kunci: Atropin, Panjang aksial, Kornea endotelium, Miopia, Orthokeratologi

Pendahuluan
Miopia adalah salah satu gangguan okular paling umum di dunia. Prevalensi
miopia adalah sekitar 20% - 30% pada populasi Amerika Utara, Australia, dan Eropa
(1-3)
, dan jauh lebih tinggi (40% -70%) pada populasi Asia [4-6], terutama di Tiongkok.
(7-9)
Miopia adalah masalah kesehatan masyarakat yang penting karena dikaitkan
dengan peningkatan risiko degenerasi korioretinal, ablasi retina, dan kelainan yang
mengancam penglihatan lainnya.(10,11) Beberapa metode terapi ada untuk koreksi
miopia, seperti kacamata korektif, lensa kontak, pembedahan keratorefractive, lensa
intraokular (IOLs), dan ekstraksi lensa bening.(12-14) Namun, kemungkinan sekuel dari
operasi keratorefractive dari kesalahan refraktif yang tinggi, seperti silau, halo, dan
(15,16).
sensitivitas kontras telah dilaporkan Oleh karena itu, pencegahan miopia tinggi
sangat penting.
Antagonis reseptor muskarinik asetilkolin non-selektif (mAChR), atropin,
memperlambat perkembangan miopia dengan cara yang tergantung pada dosis
(17-19)
dibandingkan dengan yang ada pada kelompok yang diobati dengan plasebo.
Atropin telah terbukti bermanfaat baik dalam studi pada hewan dan uji klinis pada
manusia dan sekarang banyak digunakan untuk mengontrol perkembangan miopia.
Namun, miopia tidak pernah sepenuhnya terselesaikan. Pada pengguna atropin,
peningkatan tekanan intraokular dan tekanan foto pada lensa kristal dan retina sering
terjadi; fotofobia dan penglihatan dekat yang buruk sering kali harus dihadapi. Selain
itu, efek rebound setelah penghentian atropin telah disebutkan sebelumnya (20). Setelah
menghentikan pengobatan, mata yang diobati dengan atropin menunjukkan tingkat
perkembangan miopia yang lebih tinggi dibandingkan dengan mata yang diobati

17
dengan plasebo. Namun, perkembangan miopia absolut setelah 3 tahun secara
signifikan lebih rendah pada kelompok atropin dibandingkan dengan plasebo (20).
Orthokeratology (OK) menggunakan lensa kontak kaku yang dirancang
khusus untuk membentuk kembali kornea untuk mengurangi sementara atau
menghilangkan kesalahan refraktif.(21,22) OK modern menggunakan lensa kontak
canggih dengan desain reversegeometry dapat memberikan perubahan bias yang lebih
cepat, lebih besar, dan lebih dapat diprediksi dibandingkan lensa OK yang digunakan
dalam metode asli yang diperkenalkan pada awal 1960-an.(23) Overnight OK lens dapat
mengurangi kebutuhan pasien untuk memakai lensa kontak atau kacamata di siang hari
dengan memberikan penglihatan yang dapat diterima saat beraktivitas. Mekanisme
diduga karena reduksi miopia yang diinduksi lensa OK meliputi perataan kornea
sentral, penipisan epitel kornea sentral(24,25) penebalan kornea mid-peripheral, dan
pergeseran rabun pada penglihatan perifer (26) Namun, beberapa penelitian melaporkan
bahwa lensa OK meningkatkan aberasi kornea tingkat tinggi dan menurunkan
sensitivitas kontras. (27,28) Meskipun ada kontroversi terkait dengan masalah keamanan,
(21)
penggunaan lensa OK menjadi semakin populer Miopia tinggi adalah salah satu
penyebab utama kebutaan, dan banyak upaya telah dilakukan untuk memperlambat
perpanjangan panjang aksial dan mengurangi perkembangan miopia. Dalam penelitian
ini, dua metode yang paling berguna saat ini dalam mengendalikan miopia
dibandingkan: lensa OK dan atropin 0,125%. Kesalahan bias, panjang aksial, dan
jumlah sel endotelium dianalisis untuk menentukan efek dari dua kelompok dalam
mengendalikan perkembangan miopia.

METODE
Studi kohort retrospektif dilakukan selama tiga tahun, pasien yang
menggunakan atropin atau lensa OK dikelompokkan berdasarkan pemilihan pasien itu
sendiri. Tidak ada rekomendasi khusus yang dilakukan di departemen kami. Manfaat
dan kemungkinan cacat dari kedua metode semuanya diinformasikan kepada pasien
dan keluarga pasien. Termasuk fotofobia, penglihatan dekat yang buruk dan risiko
peningkatan tekanan intraokular (IOP) yang mungkin dihadapi saat menggunakan

18
atropin, risiko penglihatan tidak stabil di siang hari, silau pada malam hari dan risiko
keratitis pada pengguna lensa OK. Pada saat pengobatan, pasien dan keluarga mereka
memahami metode yang berbeda untuk mengobati miopia dan memilih metode itu
sendiri. Pasien dengan data klinis lengkap selama periode penelitian (3 tahun, dari
Maret 2009 hingga Maret 2012) dan menjalani pemeriksaan lengkap dan teratur
dimasukkan dalam penelitian ini. Semua peserta memiliki ketajaman visual dengan
koreksi jarak 0,1 logMAR (20/25) atau lebih baik. Landolt C ETDRS Distance Chart
digunakan. UCVA (ketajaman visual tidak dikoreksi) dan BCVA (ketajaman visual
terbaik dikoreksi) semua diukur antara jam 2 dan 4 sore untuk setiap pasien. Kami
menggunakan alpha 0,05, kekuatan 80%, dan ukuran sampel diperkirakan sekitar 105
subjek untuk setiap kelompok, dimasukan dengan nomor ID pasien..
Kami memilih 210 pasien pertama (105 atropin dan 105 lensa OK) yang
memenuhi kriteria inklusi dan yang mengunjungi departemen kami dengan
menggunakan nomor ID. Total 105 pasien yang menggunakan lensa OK dan 105
pasien yang menggunakan atropin 0,125% (farmasi Wu-Fu Cc., Inc., YiLan, Taiwan)
setiap malam sebelum tidur. Studi sebelumnya dari Wu et al. telah membuktikan bahwa
konsentrasi rendah atropin efektif dalam mengendalikan perkembangan miopia [29],
atropin 0,125% dipilih pada kelompok kontrol karena atropin 0,125% adalah
konsentrasi atropin terendah yang tersedia dan dipasarkan di negara kita sekarang. Usia
mereka berkisar antara 7 hingga 17 tahun dan miopia berkisar antara 1,5 hingga 7,5 D.
Pasien yang menerima atropin 0,125% dan tidak menghentikan obat selama lebih dari
10 hari selama masa studi (3 tahun). Penelitian ini disetujui oleh komite etika Rumah
Sakit Universitas Kedokteran Cina (Taichung, Taiwan) dan dilakukan sesuai dengan
prinsip Deklarasi Helsinki untuk penelitian yang melibatkan subyek manusia. Informed
consent diperoleh dari semua peserta.
Pemeriksaan komprehensif mata dilakukan sebelum perawatan dan pada
setiap kunjungan. Peserta tidak memiliki kelainan mata atau penyakit seperti retinopati,
prematuritas, masalah neonatal, riwayat penyakit genetik, dan gangguan jaringan ikat
yang terkait dengan miopia seperti sindrom Strickler atau Marfan. Pemeriksaan klinis
termasuk ketajaman visual, kesalahan refraksi, pemeriksaan slim lamp, gerakan mata,

19
tekanan intraokular, dan fundoskopi. Pasien dengan penyakit mata organik, riwayat
atau bukti pembedahan intraokular, dan riwayat katarak dikeluarkan dari penelitian ini
(Tabel 1). Visi subyektif non-cycloplegic dan refraksi objektif cycloplegic dicatat pada
kunjungan sebelum dimulainya atropin 0,125% atau perawatan lensa OK (baseline)
dan pada setiap tahun setelah dibandingkan. Dioptik miopik dan panjang aksial juga
diperiksa setiap tahun setelah menghentikan penggunaan lensa OK selama 3 minggu
dalam liburan musim panas antara semester.
Kesalahan bias (dalam dioptri [D]) dari masing-masing individu diukur
setelah pemberian satu tetes obat sikloplegik (1% mydriacyl; Alcon, Berlin, Jerman).
Data pasien dilakukan setiap mata dan kedua mata digunakan untuk menganalisis;
perbedaan derajat miopia antara kedua mata lebih dari 2 D dan astigmatisme lebih dari
1,5 D juga dikeluarkan dari penelitian ini. Individu dengan miopia dari 1,5 hingga 7,5
D (rata-rata, 4,25 ± 1,5 D) dan astigmatisme dari 0 hingga 2,75 D (rata-rata, 0,75 ±
0,75 D) (silinder negatif digunakan dalam penelitian ini) dimasukkan dalam penelitian
ini; kasus miopia tinggi ekstrim (lebih dari 7,5 D) dan astigmatisme (lebih dari 2,75 D)
dikeluarkan. Auto-refraksi dilakukan untuk kedua mata oleh dokter mata
berpengalaman yang dilatih dan disertifikasi dalam protokol penelitian. Data bias, bola
(s), silinder negatif (c), dan pengukuran sumbu dilakukan analisis.
Pasien yang menggunakan tetes mata atropin diberikan satu tetes 0,125%
atropin setiap malam sebelum tidur dan memakai kacamata yang diresepkan oleh
dokter spesialis mata bersertifikat dan dimodifikasi sesuai dengan perubahan bias
selama periode penelitian. Lensa OK yang digunakan dalam penelitian ini adalah 4-
zona, lensa geometri terbalik dengan Dk nominal 100×10−11 cm2/dtk (mL O2/mL
mmHg). Ketebalan tengah lensa adalah 0,22 mm, dan diameternya adalah 10,4-11,0
mm. Parameter lensa bervariasi untuk mencapai konsentrasi yang baik dan pola
fluorescein yang baik. Setelah lensa diberikan, pasien disarankan untuk memakainya
setiap malam selama setidaknya 6-8 jam berturut-turut. Pada kelompok lensa OK,
pasien dengan miopia lebih dari 5,75 D akan menggunakan kurva terbalik ganda dan
desain geometri ganda (DG) lensa OK. Pasien dari 2 kelompok kembali untuk
pemeriksaan setiap 3 bulan dan menjalani pemeriksaan slit lamp untuk kondisi yang

20
tidak diinginkan. Kesesuaian lensa OK dievaluasi pada kunjungan ini. Kacamata
pertama yang diberikan kepada pasien dalam kelompok atropin adalah ketika UCVA
mereka lebih besar dari 0,3 logMAR. Lensa dan kacamata OK diganti jika ketajaman
visual lebih besar dari 0,3 logMAR selama periode penelitian.

Refraksi, tajaman penglihatan, panjang aksial, dan jumlah sel endotel kornea
yang diperoleh sebelum memulai pengobatan, digunakan sebagai penilaian dasar.
Pengukuran dipantau setiap 3 bulan dan dilakukan diperiksaan setiap tahun bagi pasien
yang menghentikan penggunaan lensa OK selama 3 minggu dalam liburan semester
musim panas. Artinya, kesalahan refraksi pada kelompok OK diukur 3 minggu setelah
penghentian lensa 3 minggu pada setiap pasien setelah UCVA diukur. Panjang aksial
dievaluasi menggunakan perangkat biometrik optik nonkontak. Pada setiap
kesempatan, 5 pengukuran berturut-turut diperoleh, dan nilai tengahnya digunakan
sebagai nilai representatif. Data pengukuran diperoleh oleh pemeriksa yang terlatih
untuk mengurangi kesalahan yang disebabkan oleh pemeriksa yang berbeda.
Perubahan panjang aksial dievaluasi secara prospektif dan dibandingkan. Mikroskopi
specular noncontact dari endotel kornea sentral dilakukan dengan mikroskop specular
dan dan didokumentasi gambar endotel. Selanjutnya, sistem pemrosesan Topcon
IMAGEnet (Topcon) digunakan untuk menganalisis gambar-gambar ini. Batas
minimal 100 sel per gambar didigitalkan, dan rata-rata kepadatan sel endotel, koefisien
variasi luas sel, dan persentase sel heksagonal dihitung dengan mode semi-otomatis.

21
Data disajikan rentang atau rata-rata ± standar deviasi. Student t-test
digunakan untuk membandingkan kondisi awal dari kedua kelompok. Regresi linier,
pengukuran berulang ANOVA dan analisis koefisien korelasi Pearson dilakukan untuk
membandingkan kesalahan bias pada awal dan peningkatan panjang aksial. Semakin
besar korelasi linear dan semakin tinggi koefisien regresi (β), semakin tinggi pula
korelasi positifnya. Nilai p <0,05 signifikan dalam penelitian ini.

Hasil
Dalam kelompok lensa OK, 105 pasien (53 laki-laki dan 52 perempuan) yang
berhasil menyelesaikan pemeriksaan selama 3 tahun. Usia mereka berkisar antara 7
hingga 17 tahun (rata-rata, 11,82 ± 1,25 tahun). 16 (15,24%) pasien berusia 7-9 tahun,
70 (66,67%) pasien berusia 10-13 tahun, dan 19 (18,83%) pasien berusia 14-17 tahun
(Tabel 2).

Pada awal, miopia mereka berkisar 1,5 hingga 7,5 D (rata-rata, 4,25 ± 1,5 D),
dan astigmatisme berkisar antara 0 hingga 2,75 D (rata-rata, 0,75 ± 0,75 D), ketajaman
visual yang tidak dikoreksi logMAR (UCVA) adalah antara 0,20 dan 1,40 logMAR
(rata-rata, 0,80 ± 0,45), dan panjang aksial berkisar antara 22,05 hingga 27,05 mm
(rata-rata, 24,12 ± 1,25 mm. Tabel 2). Pada kelompok atropin, 105 pasien (53 pria dan
52 wanita) menggunakan atropin 0,125% setiap malam selama 3 tahun (Tabel 2). Usia
mereka berkisar antara 7 hingga 17 tahun (rata-rata, 11,12 ± 1,68 tahun). 23 (21,91%)
pasien berusia 7-9 tahun, 70 (66,67%) pasien berusia 10-13 tahun, dan 12 (11,41%)

22
pasien berusia 14-17 tahun. Di antara 105 subjek, 90 (90,5%) pasien membutuhkan
kacamata untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Pada awal, miopia mereka berkisar
1,5 hingga 7,5 D (rata-rata, 4,0 ± 1,75 D; Tabel 2) dan astigmatisme antara 0 dan 2,75
D (rata-rata, 0,5 ± 0,75 D; Tabel 2); UCVA berkisar antara 0,10 hingga 1,40 logMAR
(rata-rata, 0,81 ± 0,28, Tabel 2), dan panjang aksial berkisar antara 21,12 hingga 27,23
mm (rata-rata, 24,23 ± 1,35 mm; Tabel 2). Pada awal, 2 kelompok sebanding dalam
hal miopia (p = 0,975), astigmatisme (p = 0,897), dan panjang aksial (p = 0,985) (Tabel
2). Semua data demografis pada UCVA, panjang aksial, usia, dan jenis kelamin
tercantum pada Tabel 2, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam semua kondisi
dasar antara kelompok.

Menggunakan analisis regresi linier, kami menemukan bahwa miopia


meningkat masing-masing 0,28 D ± 0,18 D dan 0,34 D ± 0,21 D per tahun pada
kelompok lensa OK dan kelompok atropin (Tabel 3). Perubahan dioptri miopia per
tahun adalah 0,29 ± 0,31 D, 0,27 ± 0,24 D, dan 0,28 ± 0,31 D pada kelompok lensa
OK, dan 0,31 ± 0,19 D, 0,35 ± 0,85 D, dan 0,32 ± 0,53 D pada kelompok atropin untuk
tiap tahun ke-1, 2, dan 3 (Tabel 4). Perubahan panjang aksial per tahun adalah masing-
masing 0,28 ± 0,08 mm dan 0,37 ± 0,09 mm pada kelompok lensa OK dan kelompok
atropin (Tabel 3). Perubahan panjang aksial per tahun adalah 0,28 ± 0,08 mm, 0,30 ±
0,09 mm, dan 0,27 ± 0,10 mm pada kelompok lensa OK, dan 0,38 ± 0,09 mm, 0,37 ±
0,12 mm, dan 0,36 ± 0,08 mm pada kelompok atropin untuk masing-masing 1, 2, dan

23
3 (Tabel 4). Ada juga perbedaan yang signifikan tetapi lemah untuk membandingkan
panjang aksial dan derajat rabun setiap tahun namun data tidak menunjukan. Kami juga
membandingkan perubahan pada kelompok yang berusia 10-13 tahun. Rata-rata
perubahan miopia adalah 0,29 ± 0,21 D dan 0,34 ± 0,31 D pada lensa OK dan kelompok
atropin per tahun (p = 0,003). Perubahan rata-rata panjang aksial per tahun: Lensa OK
dan kelompok atropin masing-masing adalah 0,29 ± 0,11 mm dan 0,37 ± 0,12 mm (p
= 0,0035). Astigmatisme masing-masing berubah sebesar ± 0,02 D dan ± 0,01 D per
tahun pada kelompok lensa OK dan kelompok atropin (Tabel 3); poros astigmatisme
tidak menunjukkan perubahan signifikan selama periode studi dalam 2 kelompok.
Perubahan rata-rata jumlah sel endotelium kornea tidak berbeda secara signifikan
antara lensa OK dan kelompok atropin (perubahan per tahun, ± 38 sel / mm2 dan ± 30
sel / mm2; p = 0,785). UCVA dari kelompok lensa OK adalah 0,2 logMAR (20/30)
hingga −0.1 logMAR (20/16), dan BCVA dari kelompok atropin adalah 0,1 logMAR
(20/25) hingga −0.1 logMAR (20/16) masing-masing pada jam 2 dan 4 sore.
Untuk memahami hubungan antara kesalahan bias pada awal dan
peningkatan panjang aksial, koefisien korelasi Pearson digunakan. Korelasi signifikan
ditemukan antara parameter-parameter ini dalam kelompok lensa OK (koefisien
korelasi Pearson; r = 0,259, p <0,001) serta dalam kelompok atropin (r = 0,169, p =
0,014; Gambar 1 dan 2). Efek penurunan perkembangan panjang aksial lebih jelas pada
pasien miopia tinggi daripada pada pasien miopia rendah untuk kedua kelompok.
Koefisien regresi (β) lebih tinggi pada kelompok lensa OK dibandingkan kelompok
atropin dengan (β = 0,060) untuk kelompok lensa OK dan 0,029 kelompok atropin.
Pada kelompok lensa OK, komplikasi yang paling umum adalah
konjungtivitis alergi pada 37 mata (17,6%), ada rasa tidak nyaman seperti gatal di siang
hari, keluarnya cairan saat bangun, dan kebutuhan obat untuk menghilangkan gejala.
Solusi perawatan lensa OK yang digunakan adalah "Solusi Pengkondisian Boston dan
Pembersih Boston" (Bausch & Lomb Taiwan Ltd, Taiwan) atau Solusi Lensa Kontak
BIOCLE. 15 mata (7,14%) menunjukkan keratitis superfisial, yang meningkat 3-7 hari
setelah menghentikan penggunaan lensa OK, tanpa perlu pemberian obat dan lensa OK
digunakan terus menerus setelah edukasi ulang tentang perawatan lensa. Tidak ada

24
komplikasi lain, termasuk ulcus kornea saat pemeriksaan. Pada kelompok atropin, 2
mata (1 pasien [0,095%]) menunjukkan gejala ringan blepharitis alergi, yang membaik
setelah diberikan obat anti alergi topikal. Dalam kelompok lensa OK, pasien dengan
miopia lebih dari 5,75 D akan menggunakan kurva reverse ganda dan dual geometric
(DG) desain lensa OK dari Euclid Systems Corp. UCVA mereka lebih baik daripada
0,2 logMAR pada jam 2- 4 sore dan hanya 2 pasien yang membutuhkan kacamata pada
malam hari untuk mengambil pelajaran sepulang sekolah, tidak ada yang
membutuhkan kacamata dalam kehidupan sehari-hari. Keluhan utama aplikasi atropin
adalah fotofobia pada siang hari (35%), yang dapat diatasi dengan lensa fotokromik
atau kacamata hitam (72%), dan ketajaman penglihatan dekat (12%) yang buruk, yang
dapat ditingkatkan dengan lensa multifokal pada kebanyakan pasien (96%). Adapun
efek lensa multifokal dan lensa photochromic untuk menunda perkembangan miopia
juga merupakan subjek penting tetapi bukan yang utama dalam penelitian ini dan perlu
dilakukan penelitian lain. Tidak ada kelainan yang berbahaya lainnya yang dicatat
selama masa pengobatan.

Diskusi dan kesimpulan


Atropin adalah obat yang terkenal untuk mengobati miopia. Dalam penelitian
ini, lensa OK efektif dalam memperlambat perkembangan miopia dan meningkatkan
panjang aksial selama periode 3 tahun dan kompatibel dengan efek atropin. Dalam

25
pengetahuan kami, ini adalah makalah pertama yang membandingkan efek atropin dan
lensa Ok dalam mengendalikan perkembangan miopia. Dalam penelitian ini, kami
menemukan bahwa lensa Ok lebih ringan dibandingkan atropin dalam mengendalikan
perpanjangan panjang aksial dan perkembangan miopia. Selain itu, pengguna lensa Ok
tidak menderita fotofobia dan risiko menginduksi crowding sudut ruang anterior dan
peningkatan tekanan intraokular (IOP) yang dapat disebabkan oleh atropin. Selain itu,
manfaat lensa OK pasien berhenti memakai kacamata dalam kehidupan sehari-hari
yang membawa kenyamanan, kualitas hidup yang lebih baik, tidak ada pengaruh atau
penglihatan dekat dan baik dalam segi kosmetik. Namun demikian, masih ada beberapa
kekurangan lensa OK, seperti risiko kerusakan kornea, infeksi dan penurunan jumlah
sel endotelium kornea, silau di malam hari atau penurunan penglihatan di malam hari
terlihat pada beberapa pengguna lensa OK. Tidak ada kesimpulan mutlak bahwa lensa
OK atau atropin lebih baik, kami hanya menyarankan bahwa dari pandangan
mengendalikan miopia, lensa ok adalah metode yang berguna.
Data yang disajikan dalam penelitian ini, peningkatan panjang aksial adalah
0,28 ± 0,08 mm per tahun pada kelompok lensa OK dengan 0,37 ± 0,11 mm per tahun
pada kelompok atropin. Pada tahun 2005, Cho et al. melaporkan bahwa panjang aksial
meningkat 0,29 ± 0,27 mm pada kelompok lensa OK dan 0,54 ± 0,27 mm pada
kelompok kontrol yang diobati dengan kacamata selama 2 tahun.(30) Pada tahun 2009,
Walline et al. melaporkan temuan serupa; peningkatan rata-rata panjang aksial setelah
2 tahun adalah 0,25 mm pada kelompok OK dan 0,57 mm pada kelompok kontrol
kacamata.(31) Pada 2011, Kakita et al. memperoleh perubahan yang serupa sebesar 0,39
± 0,27 mm pada kelompok lensa OK denngan 0,61 ± 0,24 mm pada kelompok
kacamata kontrol selama 2 tahun.(32) Studi tentang Walline et al. dilakukan dengan
pasien Amerika, di mana perkembangan miopia dilaporkan lebih lambat dari pada
populasi Asia. Ini mungkin menjelaskan peningkatan yang lebih rendah dalam panjang
aksial dalam penelitian mereka. (31)
Keterbatasan utama dari penelitian kami adalah bahwa diopter myopic dan
panjang aksial diperiksa setiap tahun setelah menghentikan penggunaan lensa OK
hanya selama 3 minggu, ini mungkin tidak mengganggu hasil pemeriksaan panjang

26
aksial tetapi 3 minggu mungkin tidak cukup untuk menghindari kesalahan bias karena
belum sepenuhnya pulih ke kondisi awal. Namun, pasien dalam kelompok lensa OK
sering mengandalkan lensa OK untuk penglihatan harian mereka dan tidak bisa
(34)
menghentikan penggunaan lensa OK selama 4-6 minggu dan 4-6 minggu telah
terbukti memadai untuk pemulihan pasien. kelengkungan kornea dengan kondisi awal
sehingga miopia diopter yang tepat dapat ditentukan. Keterbatasan ini diimbangi oleh
fakta bahwa panjang aksial, yang tidak banyak dipengaruhi oleh penggunaan lensa OK,
yang juga diukur dalam penelitian ini, dan didapatkan perbedaan signifikan dalam
panjang aksial. Selain itu, pasien yang menyelesaikan periode penelitian 3 tahun tanpa
melepas mungkin dengan efek hasil yang baik dalam kontrol miopia dan insiden efek
samping yang lebih rendah atau ringan, ini mendorong studi ini bias terhadap kasus-
kasus yang berhasil. Namun demikian, bias di kedua lensa OK dan kelompok atropin
dan tidak dapat dihindari atau diabaikan.
Keterbatasan lain dari penelitian kami adalah bahwa usia dapat
mempengaruhi perkembangan miopia. Sebuah studi sebelumnya menunjukkan bahwa
miopia meningkat pada usia 10-13 tahun, oleh karena itu, jika kami menilai hanya
pasien 10-13 tahun, perbedaan derajat rabun dan panjang aksial antara 2 kelompok
masih tetap diamati, tetapi pada tingkat yang lebih rendah (masing-masing p = 0,003
dan p = 0,0035). Namun, jumlah sampel menurun setelah pengelompokan usia. Oleh
karena itu, sampel penelitian yang lebih besar diperlukan untuk penelitian di masa
depan berdasarkan pengelompokan usia.
Konjungtivitis alergi terjadi pada 37 mata (17,6%) dari lensa OK. Solusi
perawatan lensa Ok yang digunakan adalah "Solusi Pengkondisian Boston dan
Pembersih Boston" atau Solusi Lensa Kontak BIOCLEN Tidak ada perbedaan nyata
bahwa solusi mana yang akan menyebabkan konjungtivitis alergi pada pasien kami.
Kondisi alergi akan mereda setelah memberi anti-histamin topikal selama 2 hari tanpa
perubahan perawatan. Konjungtivitis alergi mungkin disebabkan oleh iklim yang
hangat dan lembab di negara kita. Pasien memilih solusi perawatan sesuai kenyamanan
mereka sendiri. Tidak ada pasien yang mengeluh solusi perawatannya.

27
Beberapa pengguna lensa OK menunjukkan UCVA lebih besar dari 0,2
logMAR (20/30) atau memiliki fluktuasi yang jelas dalam UCVA diurnal. Pasien-
pasien ini sering memiliki kelengkungan kornea yang lebih rata, permukaan kornea
yang tidak teratur, atau kelopak mata yang ketat. Keterbatasan lensa OK sudah jelas,
dan kelopak mata yang ketat dari subjek Asia adalah kekhawatiran yang substansial.
Meskipun multi-zone baru, lensa reverse-geometry memiliki hasil yang lebih baik,
tidak semua pasien puas dengan lensa OK. Tidak ada infeksi kornea yang parah terjadi
pada kelompok studi ini; penting untuk mendidik pasien dan keluarga mereka tentang
pemeliharaan kebiasaan sehat dan penanganan lensa OK yang tepat.
Pasien dengan miopia tinggi menunjukkan sedikit peningkatan panjang aksial
dibandingkan miopia rendah di lensa OK dan kelompok atropin. Korelasi linier lebih
signifikan pada kelompok lensa OK dibandingkan kelompok atropin (r = 0,259
dibandingkan r= 0,169). Fenomena ini dapat terjadi karena perubahan refraksi perifer
lebih jelas pada pasien miopia tinggi dengan lensa OK.(32) Mata rabun biasanya
memiliki hyperopia perifer relatif di perifer, karena mata memanjang di sepanjang
sumbu optik. Studi terbaru menunjukkan bahwa penglihatan perifer dapat
mempengaruhi panjang aksial di mata manusia, berpotensi mengubah kesalahan bias
dan perkembangannya karena efek emmetropisasi pertumbuhan mata. Konversi
hyperopia perifer relatif ke miopia perifer relatif adalah metode yang baik untuk
(26,35)
membatasi perpanjangan aksial yang mengarah ke miopia, dan lensa OK
tampaknya menjadi pilihan yang sangat baik untuk mencapai tujuan ini. Lensa OK
tampaknya menjadi alat yang baik untuk mengontrol miopia tinggi. Lensa OK
menciptakan zona pusat kecil dan bidang visual pusat lebih kecil pada pasien miopia
tinggi dibandingkan dengan yang miopia lebih rendah. Pada saat yang sama, pasien
miopia tinggi dengan area yang lebih besar dari bidang perifer yang tersisa rabun. Jika
perubahan refraksi perifer adalah alasan utama untuk memperlambat perkembangan
miopia, ini akan diharapkan untuk mengurangi perpanjangan panjang aksial terutama
pada pasien miopia tinggi.(36) Diperlukan lebih banyak penelitian pada manusia dan
hewan untuk menguji hipotesis ini dengan jelas. Namun, visi sentral yang jelas sangat
penting untuk mencegah miopia yang menyebabkan penurunan penglihatan.

28
Kegunaan dan keamanan atropin tidak diragukan. Namun demikian,
peningkatan tekanan intraokular dan fotofobia, dan penglihatan yang buruk sering
menjadi perhatian pada pasien yang menggunakan atropin. Atropin konsentrasi rendah
telah terbukti bermanfaat dalam penelitian baru-baru ini yang dapat mengontrol
perkembangan miopia dan mengurangi efek samping atropin konsentrasi tinggi,
atropin konsentrasi rendah mungkin merupakan pilihan lain yang baik. Lensa OK
dengan perawatan dan kebersihan yang baik mungkin merupakan salah satu kebijakan
yang baik untuk mencegah perkembangan miopia dan itu tidak hanya membawa
kenyamanan bagi pasien rabun untuk melepas kacamata di siang hari. Penggunaan
gabungan lensa OK dan atropin adalah pengobatan potensial untuk perkembangan
miopia dan sedang diuji di departemen kami. Semoga ini bisa memberikan konsep baru
dalam menunda perkembangan miopia dan bisa melangkah lebih jauh untuk
menyelesaikan masalah rabun jauh.

29
DAFTAR PUSTAKA
1. Staff AAoO. Clinical Optics. Basic and Clinical Science Course. San
Francisco: American Academy of Ophthalmology; 2009. 120-2.
2. Morgan I, Rose K. How Genetic is School Myopia? Progress in Retinal and
Eye Research. 2011;24:1-38.
3. Saw SM, Gazzard G, Eong K-GA, Tan DTH. Myopia: Attempts to Arrest
Progression. British Journal of Ophthalmology. 2008;86:1306-11.
4. Fredrick DR. Myopia. British Journal of Ophthalmology. 2007;324:1195-9.
5. Gwiazda J, Marsh-Tootle WL, Hyman L, Hussein M, Norton TT. Baseline
Mutti DO, Mitchell GL, Moeschberger ML, Jones LA, Zadnik K. Parental
Myopia, Near Work, School Achievement, and Children's Refractive Error.
Investigative Ophthalmology & Visual Science. 2012;43:3633-40.
6. Eye Anatomy. [cited 2006 April 17]; Available from:
http://www.eyemdlink.com/anatomi.asp. 12. Sato T. The Cause and
Prevention of School Myopia. Amsterdam:Excerpta Medica. 1993:1-26.
7. Rose K, Harper R, Tromans C, Waterman C, Goldberg D, Haggerty C, et al.
Quality of Life in Myopia. British Journal of Ophthalmology. 2010;84:1031-
4.
8. Amos JF. Optometric clinical practice guideline care of patient with Myopia.
America optometric Association. Reviewed 2008. P. 1-39.
9. Brian S. Whats Eye Problems Looks Like [cited 2015 Mei 29]; Available
from: http://www.wedmd.com/eyehealth. 2014
10. Saxena R, Vashist P, Tandon R, Pandey RM. Prevalence of Myopia
and Its Riks Factors in Urban School Children in Delhi: The North India
Myopia Study (NIM Study). Plos One Journals. 2015; 10(2).

References
1. Midelfart A, Midelfart S: Prevalence of refractive errors among adults in Europe.
Arch Ophthalmol 2005, 123:580.

30
2. Kempen JH, Mitchell P, Lee KE, Tielsch JM, Broman AT, Taylor HR, Ikram MK,
Congdon NG, O’Colmain BJ: The prevalence of refractive errors among adults in the
United States, Western Europe, and Australia. Arch Ophthalmol 2004, 122:495–505.
3. Rose K, Smith W, Morgan I, Mitchell P: The increasing prevalence of myopia:
implications for Australia. Clin Experiment Ophthalmol 2001, 29:116–120.
4. Sawada A, Tomidokoro A, Araie M, Iwase A, Yamamoto T: Refractive errors in an
elderly Japanese population: the Tajimi study. Ophthalmology 2008, 115:363–370.
5. Wong TY, Foster PJ, Hee J, Ng TP, Tielsch JM, Chew SJ, Johnson GJ, Seah SK:
Prevalence and risk factors for refractive errors in adult Chinese in Singapore. Invest
Ophthalmol Vis Sci 2000, 41:2486–2494.
6. Pan CW, Wong TY, Lavanya R, Wu RY, Zheng YF, Lin XY, Mitchell P, Aung T,
Saw SM: Prevalence and risk factors for refractive errors in Indians: the Singapore
Indian Eye Study (SINDI). Invest Ophthalmol Vis Sci 2011, 52:3166–3173.
11. Liu HH, Xu L, Wang YX, Wang S, You QS, Jonas JB: Prevalence and progression of
myopic retinopathy in Chinese adults: the Beijing Eye Study. Ophthalmology 2010,
117:1763–1768. 8. He M, Zheng Y, Xiang F: Prevalence of myopia in urban and rural
children in mainland China. Optom Vis Sci 2009, 86:40–44.
12. Zhang M, Li L, Chen L, Wu J, Yang A, Chen C, Xu D, Lam DS, Sharma A, Griffiths
S, Gao Y, Congdon N: Population density and refractive error among Chinese children.
Invest Ophthalmol Vis Sci 2010, 51:4969–4976.
13. Moriyama M, Ohno-Matsui K, Shimada N, Hayashi K, Kojima A, Yoshida T, Tokoro
T, Mochizuki M: Correlation between visual prognosis and fundus autofluorescence
and optical coherence tomographic findings in highly myopic eyes with submacular
hemorrhage and without choroidal neovascularization. Retina 2011, 31:74–80.
14. Ikuno Y, Jo Y, Hamasaki T, Tano Y: Ocular risk factors for choroidal
neovascularization in pathologic myopia. Invest Ophthalmol Vis Sci 2010, 51:3721–
3725.
15. Kawesh GM, Kezerian GM: Laser in situ keratomileusis for high myopia with the
VISX star laser. Ophthalmology 2000, 107:653–661.
16. Huang D, Schallhorn SC, Sugar A, Farjo AA, Majmudar PA, Trattler WB, Tanzer DJ:
Phakic intraocular lens implantation for correetion of myopia: A report by the
American academy of ophthalmology. Ophthalmology 2009, 116:2244–2258.

31
17. Pesando PM, Ghiringhello MP, Di Megilo G, Fanton G: Posterior chamber phakic
intraocular lens for hyperopia: Ten-year follow-up. J Cataract Refract Surg 2007,
33:1579–1584.
18. Tuan KM, Liang J: Improved contrast sensitivity and visual acuity after wavefront-
guided laser in situ keratomileusis: in-depth statistical analysis. J Cataract Refract Surg
2006, 32:215–220.
19. Oshika T, Okamoto C, Samejima T, Tokunaga T, Miyata K: Contrast sensitivity
function and ocular higher-order wavefront aberrations in normal human eyes.
Ophthalmology 2006, 113:1807–1812.
20. Shih YF, Hsiao CK, Chen CJ, Chang CW, Hung PT, Lin LL: An intervention trial on
efficacy of atropine and multi-focal glasses in controlling myopic progression. Acta
Ophthalmol Scand 2001, 79:233–236.
21. Cottriall CL, Truong HT, McBrien NA: Inhibition of myopia development in chicks
using himbacine: a role for M(4) receptors? Neuroreport 2001, 12:2453–2456.
22. Chia A, Chua WH, Cheung YB, Wong WL, Lingham A, Fong A, Tan D: Atropine for
the treatment of childhood myopia: safety and efficacy of 0.5%, 0.1%, and 0.01%
doses (Atropine for the Treatment of Myopia 2). Ophthalmology 2012, 119:347–354.
23. Tong L, Huang XL, Koh AL, Zhang X, Tan DT, Chua WH: Atropine for the treatment
of childhood myopia: effect on myopia progression after cessation of atropine.
Ophthalmology 2009, 116:572–579.
24. Cho P, Cheung SW, Mountford J, White P: Good clinical practice in orthokeratology.
Cont Lens Anterior Eye 2008, 31:17–28.
25. Swarbrick HA: Orthokeratology review and update. Clin Exp Optom 2006, 89:124–
143.
26. Tahhan N, Du Toit R, Papas E, Chung H, La Hood D, Holden AB: Comparison of
reverse-geometry lens designs for overnight orthokeratology. Optom Vis Sci 2003,
80:796–804.
27. Reinstein DZ, Gobbe M, Archer TJ, Couch D, Bloom B: Epithelial, stromal, and
corneal pachymetry changes during orthokeratology. Optom Vis Sci 2009, 86:E1006–
E1014.
28. Zhong X, Chen X, Xie RZ, Yang J, Li S, Yang X, Gong X: Differences between
overnight and long-term wear of orthokeratology contact lenses in corneal contour,
thickness, and cell density. Cornea 2009, 28:271–279.

32
29. Kang P, Swarbrick H: Peripheral refraction in myopic children wearing
orthokeratology and gas-permeable lenses. Optom Vis Sci 2011, 88:476–482.
30. Stillitano I, Schor P, Lipener C, Hofling-Lima AL: Long-term follow-up of
orthokeratology corneal reshaping using wavefront aberrometry and contrast
sensitivity. Eye Contact Lens 2008, 34:140–145.
31. Hiraoka T, Okamoto C, Ishii Y, Okamoto F, Oshika T: Recovery of corneal irregular
astigmatism, ocular higher-order aberrations, and contrast sensitivity after
discontinuation of overnight orthokeratology. Br J Ophthalmol 2009, 93:203–208.
32. Wu PC, Yang YH, Fang PC: The long-term results of using lowconcentration atropine
eye drops for controlling myopia progression in schoolchildren. J Ocul Pharmacol
Ther 2011, 27:461–466.
33. Cho P, Cheung SW, Edwards M: The longitudinal orthokeratology research in children
(LORIC) in Hong Kong: a pilot study on refractive changes and myopic control. Curr
Eye Res 2005, 30:71–80.
34. Walline JJ, Jones LA, Sinnott LT: Corneal reshaping and myopia progression. Br J
Ophthalmol 2009, 93:1181–1185.
35. Kakita T, Hiraoka T, Oshika T: Influence of overnight orthokeratology on axial
elongation in childhood myopia. Invest Ophthalmol Vis Sci 2011, 52:2170–2174.
36. Olsen T, Thorwest M: Calibration of axial length measurements with the Zeiss
IOLMaster. J Cataract Refract Surg 2005, 31:1345–1350.
37. Wu R, Stapleton F, Swarbrick HA: Residual corneal flattening after discontinuation of
long-term orthokeratology lens wear in asian children. Eye Contact Lens 2009,
35:333–337.
38. Queirós A, González-Méijome JM, Jorge J, Villa-Collar C, Gutiérrez AR: Peripheral
refraction in myopic patients after orthokeratology. Optom Vis Sci 2010, 87:323–329.
39. Charman WN, Mountford J, Atchison DA, Markwell EL: Peripheral refraction in
orthokeratology patients. Optom Vis Sci 2006, 83:641–648.

33

Anda mungkin juga menyukai