Anda di halaman 1dari 142

See

discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/322095091

Sekolah Siaga Bencana : Pembelajaran dari Kota


Bengkulu

Book · January 2010

CITATIONS READS

0 5

3 authors, including:

Deny Hidayati Triyono Triyono


Indonesian Institute of Sciences Indonesia Institute of Sciences
9 PUBLICATIONS 13 CITATIONS 15 PUBLICATIONS 1 CITATION

SEE PROFILE SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Triyono Triyono on 27 March 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Sekolah Siaga Bencana:
Pembelajaran dari Kota Bengkulu
Sekolah Siaga Bencana:
Pembelajaran dari Kota Bengkulu

Penulis:
Deny Hidayati
Widayatun
Triyono

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA


© 2010 Indonesian Institute of Sciences (LIPI)
Pusat Penelitian Oseanografi*

Katalog dalam Terbitan

Sekolah Siaga Bencana: Pembelajaran dari Kota Bengkulu/Deny Hidayati,


Widayatun, dan Triyono. – Jakarta: LIPI Press, 2010.
x + 132 hlm.; 14,8 x 21 cm

ISBN 978-979-799-532-4
1. Siaga Bencana 2. Penanggulangan

628.92

Copyeditor : M. Fadly Suhendra


Layouter : M. Fadly Suhendra
Cover Design : Junaedi Mulawardana

Diterbitkan oleh:
*Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI
Jln. Pasir Putih No. 1, Ancol Timur, Jakarta 11048
Telp. : 021-682287, 6452425, 683850
Faks. : 021-681948, 682287
E-mail : ppolipi@jakarta.wasantara.net.id

iv
KATA PENGANTAR

Pengalaman berbagai bencana alam seperti gempa bumi dan tsunam­i


di Indonesia sudah seharusnya menjadi pembelajaran bagi masyara-
kat untuk selalu siap siaga menghadapi potensi ancaman bencana
tersebut di masa yang akan datang. Banyaknya korban jiwa dan
harta benda serta orang hilang mencerminkan kurangnya kesiapan
dan anti­sipasi masyarakat dalam menghadapi bencana alam. Hal ini
terjadi karena kurangnya pengetahuan dan minimnya informasi feno­
mena alam yang terjadi di wilayah pesisir dan laut.
Pendidikan siaga bencana perlu segera dilakukan mengingat se-
bagian besar masyarakat Indonesia hidup di daerah rawan bencana.
Komunitas sekolah merupakan salah satu pemangku kepentingan
yang sangat penting untuk meningkatkan kesiapsiagaan dalam meng­
antisipasi bencana alam. Komunitas sekolah adalah agen perubahan
yang sangat potensial untuk menyebarluaskan pengetahuan tentang
fenomena gempa dan tsunami serta memotivasi masyarakat untuk
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan agar dapat mengurangi
risiko bencana.
Hasil kajian Community Preparedness-LIPI atau disingkat Com-
press-LIPI (di bawah koordinasi Pusat Penelitian Oseanografi-P2O
LIPI) menggambarkan bahwa komunitas sekolah masih kurang siap
dalam mengantisipasi bencana gempa bumi dan tsunami termasuk di
Kota Bengkulu. Oleh karena itu berbagai inisiatif kegiatan dilakuka­n


oleh Compress-LIPI untuk meningkatkan pengetahuan dan kesiap-
siagaan di tataran sekolah di Kota Bengkulu semenjak tahun 2007.
Pada tahun kedua (tahun 2008), Compress-LIPI melakukan “Pilo­ting
Sekolah Siaga Bencana” di Kota Bengkulu. Piloting sekolah siaga
bencana dilakukan di dua sekolah terpilih yakni SDN 57 dan SMUN
6 Kota Bengkulu.
Buku ini mencoba untuk memberikan gambaran mengenai
proses piloting sekolah siaga bencana, perkembangan sekolah siaga
bencana tersebut setelah tidak ada lagi intervensi dari Compress-
LIPI, dan perkembangan tingkat kesiapsiagaan komunitas sekolah
sebelum dan sesudah adanya intervensi kegiatan kesiapsiagaan. Di
akhir buku ini memaparkan pembelajaran dari sekolah siaga bencana
dan rekomendasi model sekolah siaga.
Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada penulis yang
telah mencurahkan pikiran sehingga buku ini dapat terbit. Kami juga
mengucapkan terima kasih atas dukungan Direktorat Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan Nasional dan Biro Kerja sama
dan Pemasyarakatan IPTEK LIPI atas dukungan sumber dana
melalui Kegiatan Program Insentif Peneliti dan Perekayasa LIPI
2009. Semoga buku ini berguna dan bermanfaat bagi sekolah-seko-
lah lainnya di Indonesia yang ingin mengembangkan sekolah siaga
bencana.

Jakarta, Desember 2009


Kepala Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI

Prof. Dr. Suharsono

vi
Daftar Isi

Kata Pengantar...........................................................................................................v
Daftar Isi...................................................................................................................vii
Daftar Gambar / Tabel ..........................................................................................ix
BAB I Pendahuluan...................................................................................................1
1. Minimnya Kesiapsiagaan Mengantisipasi Bencana .................................. 1
2. Pentingnya Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah dalam Mengantisipasi
Bencana ...........................................................................................................4
3. Pembabakan Penulisan...................................................................................7
BAB II Piloting Sekolah Siaga Bencana di Kota Bengkulu . .............................. 9
1. Pelatihan Motivator .......................................................................................9
2. Pelatihan Guru..............................................................................................13
3. Gambaran Piloting Sekolah Siaga Bencana..............................................20
BAB III Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah .......................................................31
1. Tingkat Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah..............................................31
2. Kesiapsiagaan Sekolah ................................................................................37
3. Kesiapsiagaan Guru......................................................................................45
4. Kesiapsiagaan Siswa ....................................................................................66
BAB IV Model Sekolah Siaga Bencana: Pembelajaran dari Pilot
Sekolah Siaga Bencana ....................................................................................93
1. Kebijakan tentang Kesiapsiagaan Sekolah ...............................................93
2. Materi Kesiapsiagaan ..................................................................................99
3. Lembaga Pengelola Siaga Bencana Sekolah............................................105
4. Peralatan dan Sarana Prasarana ...............................................................112
5. Pentingnya Peningkatan Kapasitas Sekolah............................................113
BAB V Sekolah Siaga Bencana............................................................................119
1. Sintesis Upaya Peningkatan Kesiapsiagaan Sekolah
di Kota Bengkulu........................................................................................119
2. Rekomendasi: Model Sekolah Siaga Bencana.........................................123
Daftar Pustaka........................................................................................................131

vii
viii
Daftar Gambar
Gambar 1. Peserta pelatihan motivator sedang melakukan diskusi................. 11
Gambar 2. Penyerahan motivator kepada Kepala Kesbanglinmas
Kota Bengkulu.................................................................................... 12
Gambar 3. Peserta mendapatkan materi gempa bumi dan tsunami
dari Badan Meteorologi dan Geofisika Bengkulu ..................... 14
Gambar 4. Peserta mendapatkan masukan dari Pusat Kurikulum
Departemen Pendidikan Nasional ................................................. 16
Gambar 5. Kepala Sekolah SDN 57 memimpin diskusi tentang
kebijakan terkait kesiapsiagaan ....................................................... 24
Gambar 6. Guru SDN 57 melakukan pertolongan pertama
pada korban saat latihan penyelamatan diri terpadu..................... 28

Daftar Tabel
Tabel 2.1 Rencana Tanggap Darurat..................................................................... 18
Tabel 3.1 Persentase Guru Menurut Pengetahuan tentang Gempa Bumi...... 50
Tabel 3.2 Persentase Pengetahuan Guru tentang Tsunami............................... 54
Tabel 3.3 Upaya Mobilisasi Sumber Daya Guru dalam Kesiapsiagaan
Mengantisipasi Bencana........................................................................ 64
Tabel 3.4 Siswa Menurut Pengetahuan tentang Gempa Bumi.......................... 75
Tabel 4.1 Tugas Masing-Masing Kelompok Dalam Gugus Siaga Bencana.. 109
Tabel 4.2 Jenis Sarana dan Prasarana yang Diperlukan dalam
PengembanganSekolah Siaga Bencana ............................................ 112

ix
BAB I
Pendahuluan

1. Minimnya Kesiapsiagaan Mengantisipasi


Bencana
Secara geografis dan geologis, Indonesia merupakan negara yang
rawan terhadap bencana alam. Kementerian (Departemen) Dalam
Negeri tahun 2007 mengidentifikasi 25 dari 33 provinsi di Indonesi­a
merupakan daerah rawan bencana. Menurut ahli geoteknologi, dae­
ra­h gempa juga menyebar di hampir seluruh wilayah negeri, mulai
dari ujung Sumatra bagian utara, sepanjang perairan kawasan barat
Sumatra, sepanjang selatan Jawa, kepulauan Sunda Kecil, k­emudian
membelok ke utara kawasan Maluku, Sulawesi sampai utara Pulau
Papua (BMG, 2006; Natawijaya, 2005 dan Permana, 2005).
Bencana alam telah menelan banyak sekali korban jiwa, harta
benda dan kerusakan lingkungan. Gempa yang sangat besar diikut­i
hantaman air laut yang maha dahsyat di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam tahun 2004 menyebabkan 128.645 korban jiwa, 37.036
orang hilang dan 500.000 orang kehilangan tempat tinggal, dan
kerugian akibat tsunami diperkirakan mencapai US$ 5 Miliar atau
4,75 triliun rupiah (BRC, 2005 dan Wikipedia, 2005). Bencana ke-
mudian terjadi berulang kali, menimbulkan korban sekitar 200 orang
di Nias pada Maret 2005, lebih dari 5 ribu orang di Yogyakarta pada
Mei 2006 dan lebih dari 500 orang di Pangandaran dan daerah seki-
tarnya pada Juli 2006.


Banyaknya korban jiwa dan orang hilang mencerminkan kurang­
nya kesiapan dan antisipasi masyarakat dalam menghadapi ben-
cana alam. Gambaran ini mencerminkan kurangnya pengetahua­n
dan minimnya informasi mengenai fenomena alam yang terjadi di
wilayah pesisir dan laut. Minimnya pengetahuan mengenai gempa
dan tsunami bukan hanya milik masyarakat awam dengan pendidikan
yang rendah saja, tetapi juga sebagian masyarakat kelas menenga­h
dan atas. Seorang guru sekolah dasar di Aceh mengata­kan: “sebelum­
nya saya tidak mengetahui apa itu gempa. Ketika terjadi gempa be-
sar, saya menganggap sesuatu yang tidak beres pada diri saya, saya
sempoyongan dan hampir jatuh, yang ada di pikiran saya saat itu
sakratul maut sedang menjemput saya” (Hidayati, 2007).
Pendidikan siaga bencana perlu segera dilakukan mengingat se-
bagian besar masyarakat Indonesia hidup di daerah rawan bencana.
Pengalaman di Aceh dan Nias dan kemudian diikuti serangkaian
gempa yang terjadi Aceh, Nias, Padang dan Mentawai akhir-akhir
ini telah menambah kepanikan masyarakat.
Komunitas sekolah merupakan salah satu pemangku kepen­
tingan atau stakeholders yang sangat penting untuk meningkatkan ke­
siapsiagaan dalam mengantisipasi bencana alam. Komunitas sekolah
adalah agent of change yang sangat potensial untuk menyebarluaskan
pengetahuan tentang fenomena gempa dan tsunami serta memoti-
vasi masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
agar dapat mengurangi risiko bencana.
Berbagai inisiatif untuk meningkatkan pengetahuan dan kesiap-
siagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana mulai dilakukan
di Indonesia di berbagai tingkatan administrasi. Upaya ini melibat-
kan banyak lembaga dan institusi, baik di tingkat lokal dan nasional
maupun internasional. Namun hasil kajian Community Preparedness
atau disingkat Compress-LIPI (di bawah koordinasi Pusat Penelitian
Oseanografi-P2O LIPI) menggambarkan bahwa komunitas sekolah
di Kota Bengkulu, Kabupaten Aceh Besar, Serang, Cilacap, Sikka,

| Sekolah Siaga Bencana: Pembelajaran ...


Biak dan Ternate masih kurang siap dalam mengantisipasi bencana
gempa dan tsunami. Kekurangsiapan komunitas sekolah terutama
disumbangkan oleh institusi sekolah dengan nilai indeks terendah,
sehingga termasuk kategori belum siap. Guru dan murid memberi-
kan kontribusi yang lebih baik dari institusi sekolah dengan nilai
indeks yang bervariasi, termasuk dalam kelompok kurang siap dan
hampir siap. (Hidayati dkk, 2006, 2007 dan 2008; Widayatun dkk.,
2007 dan 2008; dan Daliyo dkk, 2007).
Hasil kajian di tujuh lokasi tersebut juga menginformasikan
bahwa pengetahuan dasar komunitas sekolah cukup baik, diindikasi-
kan dari nilai indeks yang mencapai kategori hampir siap (Bengkulu,
Serang, Sikka, Ternate dan Biak) dan siap (Aceh Besar dan Cilacap).
Penge­tahuan komunitas sekolah ini sebetulnya dapat dijadikan seba­
gai modal dalam meningkatkan kesiapsiagaan, tetapi kenyataannya
hal ini belum dilakukan. Keadaan ini diindikasikan dari: 1) belum
siapnya kebijakan dan panduan yang berkaitan dengan kesiapsiagaan
bencana gempa dan tsunami di semua lokasi, 2) kurang siapnya ren-
cana tanggap darurat (tempat, peta dan jalur evakuasi, pertolongan
pertama, penyelamatan dokumen penting, prosedur tetap jika terjadi
bencana) di semua lokasi, dan 3) minimnya kemampuan komunitas
sekolah untuk memobilisasi sumber daya yang tersedia di sekolah.
Kondisi ini mendorong Compress-LIPI dan berbagai institusi
memfasilitasi pengembangan pendidikan kesiapsiagaan komunitas
sekolah. Compress-LIPI juga mengembangkan “Pilot Sekolah Siaga”
di Kota Bengkulu tahun 2008. Seberapa jauh upaya peningkatan ke-
siapsiagaan komunitas sekolah dan seberapa efektif “pilot sekolah
siaga” dan “kegiatan-kegiatan kesiapsiagaan berbasis sekolah” yang
telah dilaksanakan belum diketahui, karena belum adanya kajian un-
tuk mengetahui keberhasilan dan efektivitas kegiatan kesiapsiagaan
dan pilot sekolah siaga tersebut. Selanjutnya diharapkan pemahaman
ini dapat digunakan untuk mengembangkan “model sekolah siaga”
yang efektif dan implementatif di sekolah.

Pendahuluan| 
2. Pentingnya Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah
dalam Mengantisipasi Bencana
Pendidikan kesiapsiagaan mengantisipasi bencana alam idealnya telah
diberikan sejak anak usia dini, terutama di wilayah yang ra­wan ben-
cana. Pendidikan ini dimanifestasikan sebagai program pendidika­n
yang di design untuk menumbuhkan dan meningkatkan pengeta-
huan, pemahaman dan kepedulian komunitas sekolah (termasuk
institusi sekolah, guru dan siswa) mengenai kondisi alam sekitarnya
dan keterampilan untuk mengurangi risiko apabila terjadi bencana.
Permasalahan ini yang mendorong Compress-LIPI untuk mem-
fasilitasi pengembangan pendidikan kesiapsiagaan komunitas seko-
lah. Compress-LIPI telah melakukan kegiatan pendidikan di ber­
bagai daerah, termasuk Banda Aceh, Bengkulu, Aceh Besar, Padang
Pariaman, Serang, Cilacap, Pangandaran, Yogyakarta, Maumere,
Biak, Manado dan Ternate. Compress-LIPI bekerjasama dengan
pemerintah Kota Bengkulu juga telah mengembangkan “Pilot Seko-
lah Siaga” di kota ini.
Seberapa jauh upaya peningkatan kesiapsiagaan komunitas seko-
lah dan seberapa efektif “pilot sekolah siaga” dan kegiatan-kegiatan
kesiapsiagaan berbasis sekolah telah dilaksanakan belum dapat di­
ketahui, karena belum adanya kajian untuk mengetahui keberhasi-
lan dan efektivitas kegiatan kesiapsiagaan dan pilot sekolah siaga
ter­sebu­t. Selama ini upaya peningkatan kesiapsiagaan masyarakat di-
laksanakan berdasarkan kepedulian, tujuan dan kemampuan dari in-
stitusi-institusi yang bersangkutan. Karena itu diperlukan kajian un-
tuk mengetahui apakah upaya-upaya yang dilakukan telah memenuhi
semua unsur yang diperlukan untuk meningkatkan kesiapsiagaan
komunitas sekolah dan pengembangan “model sekolah siaga” yang
sesuai dan operasional untuk diimplementasikan di sekolah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji “model sekolah siaga”
yang sesuai dan efektif untuk mengantisipasi bencana alam, khusus-

| Sekolah Siaga Bencana: Pembelajaran ...


nya gempa bumi dan tsunami, dengan mempertimbangkan kuriku-
lum, proses belajar mengajar, dan kemampuan komunitas sekolah
termasuk institusi sekolah, guru dan siswa di tingkat Sekolah Dasar
(SD) atau sederajat. Kajian ini sangat penting untuk mendapatkan
pemahaman yang komprehensif mengenai upaya peningkatan ke-
siapsiagaan dan model sekolah siaga serta keterlibatan dan peran
komunitas sekolah, pengambil kebijakan dan praktisi/pemerhati
pendidikan dalam kegiatan tersebut.
Secara spesifik kajian ini bertujuan untuk mengkaji: 1) per­
ubahan tingkat kesiapsiagaan komunitas sekolah SD dalam meng­
antisipasi bencana gempa dan tsunami menggunakan framework
kesiapsiagaan terhadap bencana yang dikembangkan oleh LIPI–
UNESCO/ISDR di sekolah-sekolah yang telah mendapat pelatihan
kesiapsiagaan, 2) “pilot sekolah siaga” yang dikembangkan oleh
Compress-LIPI bekerjasama dengan pemerintah daerah dan insti-
tusi pemerhati pendidikan, termasuk proses pelaksanaan, tingkat
keberhasilan dan kendala yang dihadapi serta faktor-faktor yang ber-
pengaruh, baik faktor internal (materi, sarana/prasarana/peralatan,
kapasitas sumber daya manusia atau SDM), maupun faktor ekster-
nal dan faktor struktural, 3) mengembangkan “model sekolah siaga”
yang efektif dan operasional untuk diimplementasikan di sekolah
dasar berdasarkan pembelajaran dari pilot siaga bencana, kegiatan-
kegiatan kesiapsiagaan berbasis sekolah, kondisi kesiapsiagaan ko-
munitas sekolah, dan kondisi pendidikan (kurikulum terutama mata
pelajaran yang relevan, kapasitas SDM dan sarpras/peralatan yang
relevan).
Kajian ini menggunakan kombinasi metode kuantitatif dan
kua­­­litatif. Metode kuantitatif dilaksanakan melalui kegiatan survei
yang melibatkan 208 responden, terdiri dari 185 siswa dan 23 guru.
Survei menggunakan instrumen daftar pertanyaan (kuesioner) yang
didesain tertutup. Kuesioner terdiri dari 3 set yaitu: kuesioner u­ntuk
institusi sekolah (S1), guru (S2), dan siswa (S3) Sekolah Dasar/­­se­

Pendahuluan| 
derajat. S­urvei komunitas sekolah dilakukan di dua Sekolah Dasar
(SDN 27 dan SDN 32) yang telah disurvei LIPI pada tahun 2006
dan 1 sekolah (SDN 57) yang menjadi Pilot Sekolah Siaga Bencan­a
yang dikembangkan LIPI tahun 2008. Responden dipilih dari siswa
kelas 5 dan 6 untuk kemudahan survei. Pengisian kuesioner dilaku-
kan di dalam kelas secara bersama-sama dengan bimbingan fasili-
tator/asisten yang telah mendapat pelatihan dari peneliti LIPI dan
peneliti. Pengisian kuesioner untuk guru dilakukan sendiri oleh res­
ponden guru dengan bimbingan peneliti. Kuesioner untuk institusi
sekolah diisi oleh kepala sekolah atau yang mewakili yaitu wakil ke-
pala sekolah atau guru yang mengetahui data dan memahami kon-
disi sekolah.
Sedangkan metode kualitatif dilakukan dengan wawancara ter­­buka
dengan informan kunci dan narasumber, dan observasi lapanga­n.
Wawancara terbuka dilakukan pada wakil-wakil stakeholders utama dan
pendukung di Kota Bengkulu. Stakeholders utama komunitas seko-
lah yaitu: kepala sekolah/wakil kepala sekolah, guru dan siswa serta
komite sekolah. Wawancara dengan pemerintah dilakukan de­ngan
Dinas Pendidikan Nasional Kota dan Provinsi Bengkulu, Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota dan Provinsi Beng-
kulu, Kesbang Kota Bengkulu, dan Kepala Puskesmas. Wawancara
juga dilakukan dengan praktisi dan pemerhati pendidik­an, termasuk
PMI, Pramuka, Dosen UNIB dan LSM yang bekerja sama dengan
Yayasan Katolik, dan motivator kesiapsiagaan bencana Bengkulu.
Selain itu, wawancara juga dilakukan dengan lembaga inter­nasional
yang bergerak di kesiapsiagaan sekolah di Provinsi Bengkulu, yaitu
German Red Cross.
Untuk mendapatkan gambaran umum mengenai pengetahuan
dan kesiapsiagaan komunitas sekolah, dan model sekolah siaga
dalam mengantisipasi bencana gempa bumi dan tsunami, kajian ini
juga melakukan Diskusi Kelompok Terfokus (Focus Group Discus-
sions atau FGD). FGD dilaksanakan dengan kelompok komunitas

| Sekolah Siaga Bencana: Pembelajaran ...


sekola­h dan motivator kesiapsiagaan bencana di Kota Bengkulu.
FGD adalah bentuk lain dari metode pengumpulan data untuk me-
lengkapi data survei yang digunakan untuk melakukan cek dan ricek
tentang isu yang berkembang berkaitan dengan subjek penelitian.

3. Pembabakan Penulisan
Buku Sekolah Siaga Bencana: Pembelajaran dari Kota Bengkulu ini terdiri
dari lima bab. Bab pertama berisi latar belakang pentingnya pendi-
dikan kesiapsiagaan komunitas sekolah dalam mengantisipasi ben-
cana alam, khususnya gempa bumi dan tsunami. Bab ke dua meng-
gambarkan “pilot sekolah siaga” yang dikembangkan oleh community
preparedness atau Compress-LIPI, termasuk kegiatan, proses dan
mekanisme pelaksanaannya di sekolah dasar di Kota Bengkulu. Bab
selanjutnya menganalisis perubahan tingkat kesiapsiagaan komuni-
tas sekolah sebelum adanya kegiatan pendidikan dan pilot sekolah
siaga dan setelah adanya kegiatan tersebut. Analisis ini penting untu­k
mengetahui efektivitas dari kegiatan pendidikan yang telah dilaku-
kan dan kendala yang dihadapi dalam pengembangan sekolah siaga
bencana tersebut. Bab berikutnya membahas model sekolah siaga
bencana yang dikembangkan berdasarkan pembelajaran dari hasil
kegiatan pendidikan kesiapsiagaan dan pilot sekolah siaga bencana.
Bab terakhir merupakan penutup yang berisi rangkuman dan sintesi­s
dari model sekolah siaga bencana sebagai antisipasi dalam meng­
hadapi bencana gempa dan tsunami.[]

Pendahuluan| 

BAB II
Piloting Sekolah Siaga Bencana
di Kota Bengkulu

Banyak sekolah di Kota Bengkulu yang terletak di wilayah rawan


gempa bumi dan tsunami, terutama sekolah-sekolah di dekat pantai.
Kegiatan pendidikan kesiapsiagaan bencana meskipun beberapa su-
dah banyak dilakukan di Kota Bengkulu, namun kesiapsiagaan seko-
lah di kota ini masih rendah dan belum memiliki kebijakan bencana
berbasis sekolah. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia melalui
Program Pendidikan Publik dan Kesiapsiagaan Bencana (Compress-
LIPI) karena itu mengembangkan piloting sekolah siaga bencana di
Kota Bengkulu tahun 2008.
Kegiatan piloting sekolah di Kota Bengkulu mencakup beberap­a
kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahu­an dan ke-
siapsiagaan dalam mengantisipasi bencana alam, khususnya gempa
bumi dan tsunami. Berbagai aktivitas dilakukan baik pada level seko-
lah, masyarakat, maupun aparat pemerintah. Di level sekolah, aktivi-
tas yang dilakukan oleh Compress-LIPI antara lain adalah pelatihan
motivator (TOM), pelatihan guru dan dukungan ilmu penge­tahuan
untuk siswa atau Children Science Support (CSS).

1. Pelatihan Motivator
Pelatihan motivator atau training of motivator (TOM) merupakan salah
satu media penyampaian pengetahuan kesiapsiagaan bencana yang
diberikan kepada siswa SMA atau sederajat. Motivator merupakan


salah satu bentuk kemitraan dalam kegiatan kesiapsiagaan ben-
cana berbasis sekolah yaitu dengan menjadikan beberapa siswa
dari SMA atau sederajat untuk menjadi agen penular kesiapsiagaan
menghadap­i bencana khususnya gempa bumi dan tsunami di Kota
Bengkulu. Peserta yang dilatih kemudian menjadi motivator untuk
meningkatkan pengetahuan kesiapsiagaan bencana kepada siswa
di sekolah, baik di tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah
Pertama (SMP) maupun Sekolah Menengah Atas (SMA) atau yang
sederajat.
Kegiatan TOM tahun 2008 menitikberatkan pada pendam­ping­
an dan pembekalan tentang kelembagaan dan pelaksanaan program-
program kesiapsiagaan Kota Bengkulu. Motivator juga dipersiapkan
untuk dapat mendampingi aktivitas yang dilakukan Compress-LIPI
di kota ini, termasuk dalam pengembangan piloting sekolah siaga
bencana. Kegiatan TOM tahun ini merupakan kegiatan yang ke dua,
karena itu tujuan spesifik training adalah:
» Memonitor motivator-motivator yang sudah terbentuk tahun
2007 di Kota Bengkulu.
» Membagi pengalaman tentang kegiatan pendidikan kesiapsiagaan
yang telah dilakukan motivator Kota Bengkulu.
» Meningkatkan kapasitas motivator tentang kesiapsiagaan meng­
antisipasi bencana.
» Memberikan pemahaman tentang kelembagaan bagi keberlan-
jutan motivator Kota Bengkulu.
» Membahas program kesiapsiagaan yang akan dilakukan oleh
para motivator Kota Bengkulu.

Pelatihan motivator dilakukan selama dua hari. Peserta pelatiha­n


diberi bekal kemampuan memfasilitasi proses pengembangan pilot-
ing sekolah siaga bencana. Selain itu, training juga lebih ditekan­kan
pada pelembagaan program/kegiatan yang selama ini telah di­­lakukan
oleh para motivator pascatraining tahun 2007. Peserta awalnya

10| Sekolah Siaga Bencana: ...


m­enyamakan persepsi tentang pengertian sekolah siaga bencana.
Mereka dibagi ke dalam empat kelompok, dan masing-masin­g ke-
lompok mendiskusikan apa yang dimaksud dengan sekolah, kesiap­
siagaan, dan sekolah siaga bencana. Hasil diskusi menyepakati bahwa
sekolah siaga bencana adalah sekolah yang seluruh komponennya
sudah siap dan memiliki kemampuan dalam mengantisipasi bencana
dengan dukungan sarana dan prasarana yang memadai serta prose-
dur tetap (protap) penanggulangan bencana.

Gambar 1. Peserta pelatihan motivator sedang melakukan diskusi

Peserta pelatihan kemudian mendiskusikan bagaimana seorang


motivator dapat memfasilitasi proses pengembangan sekolah siaga
bencana. Mereka juga membahas kegiatan dan bentuk intervensi
yang dilakukan oleh motivator dalam rangka meningkatkan kesiap-
siagaan bencana. Kegiatan dan intervensi mengacu pada framework
kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana yang dikem-
bangkan oleh LIPI dan UNESCO/ISDR tahun 2006. Peserta selain
itu mendiskusikan alat dan bahan yang diperlukan untuk menunjang

Piloting Sekolah Siaga ... | 11


kegiatan kesiapsiagaan, dan keterampilan yang diperlukan oleh mo-
tivator untuk memfasilitasi kesiapsiagaan sekolah.
Peserta yang telah selesai mengikuti pelatihan menjadi moti-
vator. Motivator tersebut dengan difasilitasi oleh Compress LIPI
kemudian “diserahkan” secara simbolis kepada pemerintah Kota
Bengkulu yang diwakili oleh Kepala Kantor Kesbanglinmas Kota
Bengkulu yang merupakan ketua ‘satlak’ kota ini. Kepala Kantor
Kesbanglinmas Kota Bengkulu memberikan respons yang sangat
positif, diindikasikan dari pernyataannya yang akan menjadikan mo-
tivator sebagai “Duta Siaga Bengkulu” dengan surat keputusan dari
Walikota Bengkulu yang bertugas menyosialisasikan kesiapsiagaan di
sekolah-sekolah di kota ini.

Gambar 2. Penyerahan motivator kepada Kepala Kesbanglinmas Kota Beng-


kulu

12| Sekolah Siaga Bencana: ...


2. Pelatihan Guru
Guru merupakan agent of changes yang sangat potensial untuk me-
ningkatkan kesiapsiagaan komunitas sekolah dan masyarakat di seki-
tarnya. Tetapi, hasil kajian LIPI-UNESCO/ISDR (2006) menun-
jukkan tingkat kesiapsiagaan guru Kota Bengkulu berada dalam
kategori hampir siap dengan nilai indeks kesiapsiagaan (Penjelasan
detail lihat bab III). Pelatihan kesiapsiagaan guru karena itu sangat
penting, terutama untuk:
» Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang potensi
bencana gempa bumi dan tsunami di Kota Bengkulu
» Mengintegrasikan seluruh komponen sekolah dalam kesiap-
siagaan berbasis sekolah
» Menyatukan persepsi guru tentang apa yang bisa dilakukan se-
belum, saat, dan setelah terjadi gempa bumi dan tsunami
» Memberikan informasi tentang sekolah siaga bencana
» Meningkatkan pemahaman guru tentang pengembangan kuri-
kulum berbasis mitigasi.

Pelatihan guru ini diharapkan menghasilkan luaran sebagai berikut:


» Draft prosedur tetap kesiapsiagaan berbasis sekolah
» Terbentuknya struktur gugus siaga bencana di sekolah
» Materi kesiapsiagaan dapat menjadi muatan lokal di sekolah
» Terpilihnya sekolah yang akan dijadikan “Piloting Sekolah Siaga
Bencana”

Kegiatan Pelatihan
Pelatihan guru dilaksanakan selama dua hari yang diikuti oleh guru-
guru di Kota Bengkulu, mulai dari guru SD, guru SMP dan guru
SMA. Pelatihan hari pertama berfokus pada peningkatan pengeta-
huan dasar guru tentang peristiwa alam gempa bumi dan tsunami.
Peserta pelatihan mendapatkan materi gempa bumi dan tsunami di

Piloting Sekolah Siaga ... | 13


Bengkulu dari Badan Meteorologi dan Geofisika Bengkulu. M­ateri
mencakup sejarah, potensi dan proses terjadinya gempa bumi dan
tsunami. Guru juga memperoleh materi mengenai ekosistem pesi­
sir dengan tujuan agar mereka memahami kondisi ekologi dan
lingkunga­n di daerah ini. Kota Bengkulu terletak wilayah pesisir
yang rentan terhadap tsunami. Ekosistem pesisir seperti mangrove,
terumbu karang, maupun lamun dapat berperan penting dalam
mitigasi bencana dan mengurangi kerugian akibat ancaman tsunami
bagi wilayah di sekitarnya. Di samping itu, guru juga mendapatkan
materi tentang manajemen bencana, termasuk pengertian bahaya,
kerentanan dan kapasitas, bencana dan sifat bencana serta siklus
manajemen bencana.
Sesi terakhir hari pertama peserta menetapkan sekolah yang
akan dijadikan piloting sekolah siaga bencana, yaitu SDN 57 dan
SMAN 6 Kota Bengkulu. SDN 57 dipilih karena kerentanan sekola­h
terhadap bencana, letaknya sangat dekat dengan pantai, evakuasi

Gambar 3. Peserta mendapatkan materi gempa bumi dan tsunami dari


Badan Meteorologi dan Geofisika Bengkulu

14| Sekolah Siaga Bencana: ...


sejajar pantai, dan dikelilingi oleh muara sungai pada sisi samping
dan belakang sekolah. Sedangkan SMAN 6 dipilih karena komitmen
yang tinggi dari Kepala Sekolah sebagai pengambil kebijakan dan
kerentanan sekolah terhadap bencana gempa dan tsunami.
Pelatihan hari ke dua berfokus pada persiapan pengembangan
piloting sekolah siaga bencana. Peserta guru mendiskusikan kesiap-
siagaan sekolah mengacu pada lima parameter kesiapsiagaan, yaitu
pengetahuan tentang bencana, kebijakan dan panduan, rencana tang-
gap darurat, sistem peringatan dini, dan mobilisasi sumber daya.
Diskusi dibagi ke dalam dua kelompok, yakni kelompok guru SD-
SMP dan kelompok guru SMA.

Pengetahuan
Pengetahuan dan sikap merupakan parameter pertama kesiapsiagaan
yang menjadi dasar dalam setiap perilaku elemen sekolah melaku-
kan kesiapsiagaan terhadap bencana. Pengetahuan yang diberikan
pada hari pertama merupakan bekal awal guru untuk menyusun
dan mendiskusikan berbagai hal yang dapat dilakukan oleh sekolah
dalam rangka meningkatkan kesiapsiagaan. Untuk dapat mening-
katkan pengetahuan dan sikap dari guru dan siswa, sekolah dapat
melakukan pengintegrasian kesiapsiagaan bencana ke dalam kuriku­
lum dengan mengidentifikasi standar-standar kompetensi yang ber-
hubungan dengan kesiapsiagaan. Materi kesiapsiagaan bencana juga
dapat diintegrasikan ke dalam materi pengembangan diri. Sekolah
juga perlu membuat ornamen sekolah seperti poster, spanduk,
leafle­t atau lainnya. Ornamen sekolah lainnya yang dapat dibuat
oleh sekolah adalah peta evakuasi sekolah. Ornamen sekolah dibuat
dengan maksud agar setiap pesan yang berhubungan dengan kesiap-
siagaan bencana dapat terus dilihat oleh seluruh komponen sekolah,
sehingga setiap saat tetap terus waspada.

Piloting Sekolah Siaga ... | 15


Gambar 4. Peserta mendapatkan masukan dari Pusat Kurikulum
Departemen Pendidikan Nasional

Peningkatan pengetahuan dan sikap guru dan siswa terhadap


bencana, juga dapat dilakukan sekolah melalui program atau ke-
giatan yang dirancang tahunan oleh sekolah. Sekolah dalam acara
penerimaan siswa baru misalnya dapat menyisipkan satu tema atau
aktivitas kegiatan atau sosialisasi yang berhubungan dengan kesiap-
siagaan. Sekolah juga dapat menyisipkan dalam kegiatan rutin seko-
lah seperti Kelompok Ilmiah Remaja (KIR), misalnya perlombaan
KIR dapat bermuatan kesiapsiagaan mengantisipasi bencana.
Kegiatan lain adalah guru dan/atau siswa mengikuti pelatihan
atau sekolah dapat mengundang narasumber untuk memberikan
pemaparan yang berkaitan dengan bencana. Berdasarkan hasil dis-
kusi pada hari kedua ini, guru dan siswa memiliki keharusan untuk
mendapat peningkatan pengetahuan melalui pelatihan yang ber-
hubungan dengan potensi tsunami dan dampaknya terhadap ling-
kungan sekitar, sejarah tsunami, keterampilan medis praktis dan ke-
siapsiagaan berbasis sekolah.

16| Sekolah Siaga Bencana: ...


Kebijakan
Kebijakan merupakan landasan yang sangat diperlukan sekolah un-
tuk mendukung peningkatan kesiapsiagaan mengantisipasi bencana.
Kebijakan diperlukan oleh seluruh komponen sekolah dalam bertin-
dak dan menjadi panduan untuk pelaksanaan kesiapsiagaan di seko-
lah. Kebijakan yang diperlukan dalam upaya kesiapsiagaan bencana
bagi sekolah antara lain:
» Adanya anggaran yang dikhususkan untuk kesiapsiagaan ben-
cana
» Surat keputusan atau SK mengenai pembentukan tim siaga
bencana
» Kebijakan tentang pengintegrasian kesiapsiagaan dalam kuri-
kulum
» Adanya program tahunan sekolah yang berkaitan dengan kesiap­
siagaan
» Adanya simulasi secara berkala
Penetapan kebijakan sekolah perlu melibatkan seluruh kompo-
nen sekolah, termasuk siswa dan guru. Kebijakan yang dibuat de­
ngan demikian memang merupakan kebijakan yang dibutuhkan oleh
sekolah sesuai dengan aspirasi komunitas sekolah.

Rencana Tanggap Darurat


Rencana tanggap darurat merupakan parameter kesiapsiagaan yang
berkaitan erat dengan tindakan penyelamatan, evakuasi, dan per-
tolongan pertama kepada korban bencana, sehingga korban dapat
diminimalkan. Rencana tanggap darurat merupakan uraian tindak­
an yang dilakukan oleh komponen sekolah baik sebelum, saat, dan
setelah terjadi bencana. Rencana tanggap darurat yang lengkap
merupakan bagian dari suatu prosedur tetap (protap) sekolah.
Guru mendiskusikan dan menyusun rencana tanggap darurat
jika terjadi bencana gempa bumi dan tsunami. Sebelum menyusun

Piloting Sekolah Siaga ... | 17


rencana tanggap darurat, peserta mendefinisikan prosedur tetap
(protap) dan mendiskusikan pentingnya protap yang berisi rencana
tanggap darurat, termasuk aturan, alur, dan petunjuk bagaimana
melakukan tindakan dalam bencana. Prosedur tetap berisi perenca-
naan, pelaksanaan, dan evaluasi tindakan yang disepakati bersama
oleh seluruh komponen sekolah. Prosedur tetap bertujuan untuk
mempermudah dan memperlancar kerja dari setiap komponen seko-
lah dalam melakukan tindakan jika terjadi bencana. Prosedur tetap
sekolah berfungsi untuk meminimalkan korban dan sebagai pedo-
man atau acuan jika terjadi bencana.

Tabel 2.1 Rencana Tanggap Darurat


Pertolongan Evakuasi dan Tenda, Tungku,
Peringatan Dini
Pertama Penyelamatan Lumbung
• Melakukan pelati- • Mengadakan • Menentukan • Menentukan
han dan sosialisasi simulasi menge- titik berkum- tempat penyim-
nai pertolongan pul panan logistik
• Menyediakan tas pertama
siaga • Menentukan • Menyiapkan
• Sosialisasi cara jalur evakuasi tenda
• Menyepakati menangani sekolah • Menyiapkan
peringatan yang siswa • Pembuatan logistik yang
harus diperhatikan • Menyediakan denah sekolah tahan lama
ketika ada bencana sarana dan • Memben- • Pelatihan
• Menentukan jalur prasarana tuk petugas pendirian tenda
komando ke- • Mengerahkan evakuasi • Membentuk Tim
tika ada bencana di siswa ke titik sekolah Tenda, tungku,
evakuasi ke daerah aman • Menyiapkan lumbung
yang aman • Memberikan sarana dan • Lari ke tempat
• Pemetaan jalur pertolongan prasarana yang aman
evakuasi pertama pada • Membunyikan
korban • Mengarahkan
• Menghubungi bel berkumpul siswa ke tempat
pihak terkait • Manfaatkan • Menenangkan evakuasi
sarana dan kondisi siswa
prasarana • Mendirikan
dan guru tenda di tempat
yang aman

18| Sekolah Siaga Bencana: ...


Tabel 2.1—Lanjutan
Pertolongan Evakuasi dan Tenda, Tungku,
Peringatan Dini
Pertama Penyelamatan Lumbung
• Mengerah- • Menyiapkan
kan petugas sarana dan
evakuasi yang prasarana di
sudah ditentu- tempat evakuasi
kan Memasang
tenda dan
sarana lainnya
• Mendata
seluruh warga
sekolah
• Mengevakuasi
seluruh warga
sekolah

Sistem Peringatan Bencana


Sistem peringatan bencana merupakan parameter ke empat kesiap­
siagaan mengantisipasi bencana gempa dan tsunami. Sistem peringat­
an bencana meliputi tanda/bunyi peringatan dan distribusi atau
penye­baran informasi akan terjadinya bencana tersebut. Komunitas
se­­ko­lah dengan adanya peringatan bencana diharapkan dapat se-
cara cepat memberikan peringatan agar mereka dapat melakukan
tindakan yang tepat ketika terjadi bencana. Oleh karena itu peringat­
an bencana wajib disepakati dan disosialisasikan baik bunyi/tanda,
alat, maupun petugas yang bertanggung jawab membunyikan dan
dilakukan latihan secara rutin untuk menguji bunyi/tanda yang telah
disepakati.
Berdasarkan hasil diskusi peserta pelatihan guru, peringatan
bencana menjadi tugas dari kelompok peringatan dini dalam kom-
ponen kesiapsiagaan sekolah dengan tugas:
» Membunyikan tanda, alatnya sesuai dengan sekolah masing-
masing

Piloting Sekolah Siaga ... | 19


• Bunyi tanda 1X à menyelamatkan diri ke tempat yang luas
(titik aman 1).
• Bunyi tanda 2X à melarikan diri ke tempat evakuasi yang
sudah disepakati ( titik aman ke-2).
• Petugasnya adalah penjaga sekolah dan guru olah raga seba­gai
cadangan
» Menyiapkan jalur evakuasi
» Memberi komando evakuasi pada siswa
• Kepala sekolah
• Wakil kepala sekolah
» Mencari informasi mengenai bencana (sebelum maupun sesu-
dah)
» Pengamanan sekolah, setelah seluruh komponen sekolah meng­
ungsi

Kemampuan Memobilisasi Sumber Daya


Parameter kesiapsiagaan yang terakhir adalah mobilisasi sumber
daya, baik sumber daya manusia (SDM), maupun pendanaan dan
sarana prasarana penting untuk keadaan darurat. Mobilisasi sumber
daya didefinisikan sebagai upaya menggerakkan seluruh potensi yang
ada untuk mendukung setiap kegiatan dalam mencapai suatu tujuan.
Komponen sumber daya sekolah meliputi sumber daya manusia,
sarana dan prasarana seperti peralatan pertolongan pertama, dapur
umum, dana maupun kesiapan sekolah sendiri untuk dapat memo-
bilisasi sumber daya tersebut dalam keadaan darurat.

3. Gambaran Piloting Sekolah Siaga Bencana


Piloting sekolah siaga bencana dikembangkan melalui tiga tahapan.
Tahap pertama adalah gambaran sekolah yang akan dijadikan pilot,
yaitu SDN 57 dan SMAN 6 Kota Bengkulu. Tahap ke dua adalah
persiapan piloting sekolah siaga bencana yang didasarkan pada lima

20| Sekolah Siaga Bencana: ...


parameter kesiapsiagaan mengantisipasi bencana. Tahap ke tiga
adalah latihan penyelamatan diri secara terpadu.

Gambaran Sekolah Piloting


SDN 57 dan SMAN 6 Kota Bengkulu dipilih menjadi piloting seko-
lah pada pelatihan guru dan rekomendasi dari Dinas Pendidikan
serta komitmen kepala sekolah ke dua sekolah tersebut. Kondisi
kerentanan sekolah, jarak dari pantai juga menjadi penentu pemilih­
an sekolah piloting.

SDN 57
SDN 57 merupakan sekolah dasar yang sangat rentan, dikelilingi
oleh sungai yang bermuara ke pantai Pasar Bengkulu dan pada ba-
gian depan juga terdapat pantai. Keadaan ini menyulitkan untuk
evakuasi, salah satu alternatif untuk evakuasi jika terjadi tsunami
adalah melalui depan sekolah sejajar dengan pantai. Padahal jarak
menuju titik kumpul sekitar 500 meter. Selain itu, rasio jumlah guru
dengan siswa tidak sebanding, satu sekolah hanya memiliki delapan
guru untuk menjaga 250 siswa. Dilihat dari kondisi bangunan fisik
gedung, sekolah ini bangunan yang terbuat dari tembok ini rela-
tif kuat. Meja dan kursi dari kayu, sebagian menurut pengamatan
fasilitator sudah tidak kokoh, terutama untuk berlindung di bawah
meja jika terjadi gempa. Siswa kelas 5 dan 6 juga sudah tidak muat
untuk masuk ke kolong meja. SDN 57 sama sekali tidak memiliki
peralatan pendukung untuk penyelamatan dan pertolongan pertama
jika terjadi bencana. Hanya terdapat ruang UKS yang terbatas sekali
obat-obatannya.

SMAN 6
SMAN 6 Kota Bengkulu dipilih karena dekat dengan pantai, seki-
tar 200 meter di belakang sekolah. SMAN 6 berada agak tinggi dari
pantai, dan di belakang sekolah terhalang oleh gundukan atau bukit,

Piloting Sekolah Siaga ... | 21


sehingga masih memiliki waktu untuk evakuasi. Namun, jika tsuna-
mi terjadi dengan ketinggian lebih dari 5m, sekolah ini masih cukup
terancam. Sekolah yang berdinding tembok ini terdiri dari dua lantai
dengan akses yang sempit untuk melakukan evakuasi. Kondisi sema-
kin sulit karena tidak adanya tangga permanen (hanya dari tanah),
terutama ketika hujan sangat licin dan membahayakan. Jika akan
evakuasi melalui tangga permanen harus mengambil tangga lainnya
dan membutuhkan waktu yang cukup lama.

Pengembangan Sekolah Piloting Siaga Bencana


Pengembangan sekolah siaga bencana dilakukan oleh tim Compress-
LIPI mengacu pada lima parameter kesiapsiagaan mengantisipasi
bencana gempa dan tsunami. Kegiatan yang berlangsung selama
dua hari di tiap-tiap sekolah menggunakan kombinasi antara metode
pemaparan, diskusi, kerja kelompok, dan simulasi yang diikuti oleh
semua elemen sekolah (mulai dari kepala sekolah, guru, dan per-
wakilan siswa dari ekstra kurikuler).

Pengetahuan dan Sikap


Peningkatan pengetahuan dan sikap dilakukan melalui integrasi ma-
teri kesiapsiagaan dengan materi pelajaran yang relevan. Selain itu,
sekolah juga merancang ornamen sekolah (poster dan spanduk),
acara tahunan, dan mendesain pelatihan. Untuk SDN 57 proses ini
diikuti oleh guru (kepala sekolah dan guru kelas), sedangkan untuk
SMAN 6 Kota Bengkulu pembentukan sekolah piloting siaga ben-
cana diikuti oleh guru dan siswa anggota ekstrakurikuler.
Materi kesiapsiagaan di SDN 57 akan diintegrasikan dengan ke-
giatan ekstra kurikuler, khususnya pengembangan diri, setiap sebulan
sekali di minggu terakhir dengan cara penyusunan jadwal kegiatan
dan materi. Sedangkan di SMAN 6 materi kesiapsiagaan akan diin-
tegrasikan dengan pelajaran fisika (bagaimana mengukur kekuatan
gempa), sejarah (bagaimana sejarah gempa bumi dan tsunami di

22| Sekolah Siaga Bencana: ...


Kota Bengkulu), dan sosiologi (bagaimana efek atau dampak sosial
dari bencana). Peserta tidak secara detail membuat standar kompe-
tensi, kompetensi dasar dan silabus.
Compress LIPI juga memfasilitasi peserta untuk menyusun aca­
ra tahunan sekolah. SDN 57 akan melaksanakan kegiatan di awal
tahun ajaran, seperti mengenal alam dan lingkungan serta sosiali­
sasi ke orang tua murid mengenai dampak bencana gempa bumi
dan tsunami. Selain itu sekolah juga merencanakan kegiatan outbond
ke pantai, latihan simulasi, dan pemulihan trauma. Berikut adalah
matriks kegiatan yang akan dilakukan oleh SDN 57 untuk mening-
katkan pengetahuan dan sikap terhadap bencana.

Matriks
Kegiatan Peningkatan Pengetahuan
dan Sikap terhadap Bencana SDN 57
Waktu Minggu
No. Uraian kegiatan
Bulan I II III IV
1 Penerimaan Siswa Baru Juli   v    
* Mengenal alam lingkungan
Agustus   v    
sekolah
* Sosialisasi dampak bencana pada September   v    
wali murid
2 Simulasi tanggap bencana (guru Oktober     v
& siswa)
3 Outbond ke pantai Desember     v v
4 Pelatihan tanggap darurat (PMI,
masyarakat sekitar, dan komponen Maret v      
sekolah)
5 Pemulihan trauma April       V
  Mei       V
  Juni       V

Piloting Sekolah Siaga ... | 23


Upaya lain yang akan dilakukan oleh SDN 57 Kota Beng­
kulu untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap adalah membuat
o­rnamen sekolah, seperti poster, peta evakuasi, buletin sekolah dan
kliping.

Kebijakan
Kebijakan menjadi parameter terpenting dalam mewujudkan kesiap­
siagaan sekolah. Guru SDN 57 merekomendasikan beberapa hal
dan menyepakati beberapa kesepakatan. Ketika terjadi bencana di
sekolah, sekolah tidak akan memulangkan siswa sebelum ada yang
bertanggung jawab (orangtua) yang menjemput. Sekolah juga ber-
tanggung jawab atas keselamatan siswa selama berada di sekolah.
Selain itu, guru juga menyepakati untuk membina hubungan
dengan pihak terkait dalam memenuhi sumber daya yang tidak di-
miliki sekolah. Peserta merekomendasikan dikeluarkannya SK dari

Gambar 5. Kepala Sekolah SDN 57 memimpin diskusi tentang kebijakan


terkait kesiapsiagaan

24| Sekolah Siaga Bencana: ...


kepala sekolah untuk kelompok siaga bencana yang telah terbentuk,
pengintegrasian materi kesiapsiagaan ke dalam beberapa materi pe-
lajaran, dan dilaksanakannya simulasi evakuasi secara rutin.
Adapun struktur kelompok yang direkomendasikan adalah ke-
pala sekolah sebagai ketua dan kelompok yang terdiri dari kelom-
pok peringatan bencana, pertolongan pertama, evakuasi dan pe-
nyelamatan, dan kelompok tenda, tungku dan lumbung. Anggota
kelompok di tentukan oleh kepala sekolah sebagai pengambil ke-
bijakan.

Rencana Tanggap Darurat


Peserta untuk parameter rencana tanggap darurat membuat ren-
cana tanggap darurat berupa tindakan yang dilakukan sebelum, saat
dan sesudah bencana. Peserta dibagi menjadi kelompok peringatan
dini, pertolongan pertama, penyelamatan dan evakuasi, dan tenda,
tungku, lumbung. Masing-masing kelompok menyepakati tugas dan
tanggung jawab sebelum, saat, dan sesudah bencana. Berikut hasil
diskusi dari masing-masing kelompok tersebut.

Kelompok Peringatan Dini


Kelompok ini membuat rencana sebelum, saat dan setelah terjadi
bencana. Kegiatan yang dilakukan sebelum terjadi bencana meliputi
melakukan pelatihan, membuat kesepakatan bunyi bel/sirene untuk
tanda peringatan, melakukan sosialisasi bunyi/tanda kepada semua
komponen komunitas sekolah, melakukan uji coba bunyi/tanda ben-
cana. Kegiatan yang dilakukan saat terjadi bencana adalah membu-
nyikan bel/sirene sebagai tanda peringatan akan terjadinya bencana
tsunami. Sedangkan setelah terjadi bencana kelompok ini bertugas
mencari informasi ke BMG dan memberikan informasi tentang
pembatalan akan terjadinya tsunami atau keadaan telah aman apa-
bila terjadi tsunami.

Piloting Sekolah Siaga ... | 25


Kelompok Pertolongan Pertama
Kelompok ini juga mempersiapkan kegiatan yang dilakukan sebe-
lum, saat dan setelah terjadi bencana. Kegiatan yang sebelum terjadi
bencana adalah menyiapkan alat-alat yang diperlukan untuk perto-
longan pertama, melakukan pelatihan pertolongan pertama secara
rutin. Kelompok saat terjadi bencana bertugas memberi komando
kepada siswa untuk berlindung di kolong meja dan mengarahkan
siswa untuk keluar kelas sambil melindungi kepala. Sedangkan se­
sudah terjadi bencana kelompok mengajak siswa menuju ke tempat
aman, memantau situasi dan kondisi dan memberi pertolongan per-
tama kepada korban yang cidera ringan, dan melakukan koordinasi
dan mencari bantuan kepada SAR, RS, PMI, dan Polisi.

Kelompok Evakuasi dan Penyelamatan


Seperti kelompok lainnya, kelompok ini juga mempersiapkan tindak­
an sebelum, saat dan setelah terjadi bencana. Tindakan sebelu­m ter-
jadi bencana meliputi pembentukan tim evakuasi dan penyelamatan,
pembuatan kesepakatan tentang jalur evakuasi/titik aman, melaku-
kan simulasi secara berkala dan menyosialisasikan jalur evakuasi yang
telah ditetapkan. Saat terjadi bencana, kelompok ini bertanggung
jawab pada kegiatan evakuasi korban. Sedangkan sesudah bencana,
kelompok melakukan pendataan siswa di tempat evakuasi (siswa
yang selamat, hilang, luka ringan, dan luka parah), menghubungi
petugas PMI/tenaga medis yang terdekat dan mene­nangkan siswa
agar tidak trauma.

Kelompok Tenda, Tungku, Lumbung


Kelompok ini mempersiapkan kegiatan yang berhubungan dengan
logistik yang diperlukan komunitas sekolah. Sebelum terjadi ben-
cana, kelompok menyepakati lokasi untuk tenda, tungku, lumbung,
menyediakan logistik (tenda, bahan makanan, dan obat-obatan),
membuat duplikat atau copy dokumen-dokumen penting sekolah dan

26| Sekolah Siaga Bencana: ...


menyimpannya di tempat yang aman. Saat bencana, kelompok ber-
tugas menyelamatkan diri dan siswa menuju tempat evakuasi yang
aman, dan dokumen penting sekolah. Setelah bencana, kelompok
menyiapkan peralatan dan bahan logistik, mendirikan tenda dan
peralatan lainnya.

Sistem Peringatan Dini


SDN 57 menyepakati lonceng yang dibunyikan panjang dan terus-
menerus apabila terjadi gempa dan sebagai tanda peringatan akan
terjadinya tsunami. Sebagai tanda untuk siswa keluar kelas akan
dibunyikan lonceng 3x. Guru kelas 6 bertanggung jawab membu-
nyikan dengan pertimbangan berada di lokasi terdekat dengan lon-
ceng. Untuk mengarahkan siswa, komando berada di masing-masing
guru kelas dan siswa tetap bergandengan tangan. Siswa kelas 5 dan
6 membantu mengarahkan dan mengamankan siswa di bawahnya.

Mobilisasi Sumber Daya


SDN 57 karena minimnya sumber daya yang dimiliki sekolah ber-
harap keterlibatan dan kerjasama dari instansi terkait dalam penang-
gulangan bencana di Bengkulu. Sedangkan mengenai sumber dana
akan diusahakan dari komite sekolah maupun dana bos. Sumber
daya yang dibutuhkan mencakup sumber daya manusia, terutama
petugas kesehatan dan keamanan; sarana dan prasarana, termasuk
P3K, tenda, logistik, dapur dan WC umum.

Latihan Penyelamatan Diri Terpadu


Latihan penyelamatan diri terpadu dilakukan pada hari terakhir ke-
giatan piloting sekolah. Kegiatan ini melibatkan semua komponen
sekolah dengan skenario dan pembagian peran yang sudah disusun
sebelumnya. Sosialisasi kepada siswa dalam bentuk CSS atau children
science support dilakukan sebelum melakukan latihan penyelamatan diri
terpadu. CSS dilakukan dengan cara menarik dan menyenangkan

Piloting Sekolah Siaga ... | 27


melalui permainan dan lagu, namun mencakup muatan inti dan ske-
nario latihan penyematan diri terpadu termasuk juga titik kumpul,
titik aman, dan jalur evakuasi.
Simulasi dimulai dengan aktivitas biasa di kelas. Pada pukul
08.30 terjadi gempa, kemudian guru kelas 6 membunyikan lon-
ceng terus menerus sebagai tanda terjadinya gempa. Guru kemu-
dian membunyikan lonceng 3x sebagai tanda agar siswa keluar ke-
las. Masing-masing guru mengarahkan siswanya untuk keluar kelas
dengan tertib. Disepakati bahwa titik kumpul I adalah lapangan di
tengah sekolah, sedangkan titik kumpul II adalah lapangan Masjid
Kampung Kelawi. Simulasi dinyatakan selesai setelah korban ter-
tangani.
Dari hasil simulasi ini, kemudian dilakukan proses evaluasi dari
setiap tindakan yang telah disepakati disesuaikan dengan simulasi
yang dilaksanakan. Berdasarkan proses simulasi, guru merasakan
bahwa keterampilan dalam penanganan korban evakuasi (proses

Gambar 6. Guru SDN 57 melakukan pertolongan pertama pada korban


saat latihan penyelamatan diri terpadu

28| Sekolah Siaga Bencana: ...


menandu dan memasang tenda) dan pertolongan pertama masih
harus ditingkatkan. Untuk pengkondisian siswa melakukan evakuasi,
guru merasa potensi yang tersedia belum cukup, karena itu perlu
bantuan dari siswa kelas 5 dan 6 yang lebih besar untuk dapat mem-
bantu adik kelasnya dalam proses evakuasi.
Proses evaluasi juga dilakukan oleh para observer yang turut
menyaksikan dan mengikuti jalannya proses simulasi. Dalam sim-
ulasi tersebut turut hadir observer dari guru-guru sekolah dasar
lainnya yang ikut dalam peserta pelatihan guru, selain itu observer
juga berasal dari pramuka, PMI dan LIPI. Berikut hasil penilaian
dan pengamatan dari obersver adalah secara umum kegiatan simu-
lasi evakuasi ini berjalan lancar, namun masih terdapat kekurangan,
seperti kurang memadainya sarana komunikasi dan keamanan siswa
dalam proses evakuasi ke tempat aman serta rute evakuasi yang ter-
lalu jauh sehingga banyak siswa yang kelelahan. Kegiatan simulasi
ini perlu dilakukan secara regular, mengingat sekolah ini terletak di
lokasi yang sangat rawan terhadap bencana gempa dan tsunami.[]

Piloting Sekolah Siaga ... | 29


30
BAB III
Kesiapsiagaan
Komunitas Sekolah

1. Tingkat Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah


Tingkat kesiapsiagaan komunitas sekolah adalah gambaran sejauh
mana kesiapsiagaan komunitas sekolah yang diindikasikan dari pering­­
kat atau kategori kesiapsiagaan ketiga komponen, yaitu gabung­an
antara sekolah, guru dan siswa. Tingkat kesiapsiagaan didasarkan
pada perhitungan lima parameter kesiapsiagaan, yaitu pengetahuan,
kebijakan dan panduan, rencana tanggap darurat, peringatan ben-
cana dan kemampuan memobilisasi sumber daya yang tersedia di
sekolah.
Tingkat kesiapsiagaan dapat berubah dari waktu ke waktu ter-
gantung pada upaya peningkatan kesiapsiagaan yang dilakukan. Bab
ini akan menggambarkan perubahan tingkat kesiapsiagaan komu-
nitas sekolah Kota Bengkulu antara tahun 2006 dan 2009. Tingkat
kesiapsiagaan tahun 2006 dijadikan landasan sebelum dilakukan ber-
bagai upaya sosialisasi, pendidikan kesiapsiagaan dan pilot sekolah
siaga bencana di Kota Bengkulu. Tingkat kesiapsiagaan kemudian
diukur kembali pada tahun 2009 dengan tujuan untuk memonitor
perkembangan tingkat kesiapsiagaan di kota ini. Perubahan tingkat
kesiapsiagaan selama tiga tahun tersebut dapat mencerminkan se-
berapa jauh keberhasilan dari upaya-upaya yang telah dilakukan atau
sebaliknya kekurang-berhasilan dengan berbagai permasalahan dan
kendala yang dihadapi.

| 31
Hasil kajian mengungkapkan bahwa komunitas sekolah di Kota
Bengkulu saat ini hampir siap dalam mengantisipasi bencana gemp­a
bumi dan tsunami. Keadaan ini digambarkan dari peningkata­n nilai
indeks dari 47,6 tahun 2006 menjadi 58,8 tahu­n 2009. Peningkatan
nilai indeks ini juga berimplikasi pada peningkata­n ka­te­gori tingkat
kesiapsiagaan dari kurang siap berubah menjadi hampir siap (lihat
Diagram 3.1).

Tingkat Kesiapsiagaan Menurut Komponen Komunitas Sekolah


Diagram 3.1 menggambarkan bahwa tingkat kesiapsiagaan berva­riasi
menurut komponen komunitas sekolah. Siswa mempunyai ting­kat
ke­siapsiagaan yang paling tinggi sehingga memberikan sumbangan pa­
ling besar terhadap peningkatan kesiapsiagaan komunita­s sekolah di
Kota Bengkulu. Sebaliknya, sekolah sebagai institusi, tingkat kesiap­
siagaannya paling rendah sehingga menghambat laju peningkatan ke-
siapsiagaan komunitas sekolah. Sedangkan tingkat kesiap­siagaan guru
berada di antara kedua komponen lainnya, ber­ada cukup jauh di atas
kesiapsiagaan sekolah dan sedikit di bawah kesiap­siagaan siswa.
Kesiapsiagaan institusi sekolah di Kota Bengkulu masih sanga­t
memprihatinkan, meskipun telah mengalami kemajuan selama tiga
tahun terakhir. Hal ini diketahui dari tingkat kesiapsiagaan yang
hany­a mencapai kategori kurang siap pada tahun 2009, meningka­t
hanya satu level dari tahun 2006, yaitu kategori belum siap. Pening­
kata­n peringkat ini, jika diperhatikan klasifikasi indeks, masih c­ukup
rentan karena indeks sekolah masih sangat dekat dengan nilai yang
menjadi pembatas antara kategori belum siap dan kurang siap.
Penjelasan detail dapat dilihat pada Bagian 3.2.
Kondisi kesiapsiagaan sekolah ini perlu mendapat perhatian
seriu­s, mengingat institusi sekolah mempunyai peran yang sanga­t
penting dalam meningkatkan kesiapsiagaan komunitas sekolah. Penga­
laman kejadian bencana gempa tahun 2000 dan 2007 belum memberi-
kan motivasi yang kuat bagi pimpinan sekolah untuk meningkatkan

32| Sekolah Siaga Bencana: ...


Diagram 3.1 Indeks Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah Menurut komponen

Tingkat Kesiapsiagaan:
Sangat Siap : 80–100
Siap : 65–79
Hampir Siap : 55–64
Kurang Siap : 40–54
Belum Siap : < 40
Sumber: Kajian Model Sekolah Siaga Bencana, LIPI (2009)

kesiapsiagaan. Padahal, Kota Bengkulu termasuk daerah yang rawan


bencana gempa bumi dan tsunami, karena itu upaya peningkatan
kesiapsiagaan mengantisipasi bencana sangat penting untuk men-
gurangi risiko bencana, terutama jika bencana terjadi pada saat jam
belajar di sekolah.
Diagram 3.1 juga menginformasikan kondisi kesiapsiagaan yang
berbeda untuk siswa. Siswa di Kota Bengkulu pada 2009 telah siap
dalam mengantisipasi bencana gempa dan tsunami, meskipun tingkat
kesiapsiagaan ini masih cukup rawan, karena hanya empat angka di
atas batas antara hampir siap dan siap. Kesiapsiagaan siswa karena
itu masih perlu terus ditingkatkan, mengingat mereka sekolah dan
tinggal di daerah yang rawan bencana.

Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah | 33


Tingkat kesiapsiagaan siswa ternyata mengalami perubahan
dari hampir siap tahun 2006 menjadi siap tahun 2009. Perubahan
ini meskipun demikian harus mendapat perhatian karena indeks ke-
siapsiagaan hanya mengalami sedikit kenaikan (6,7 poin) sehingga
nilainya masih jauh dari nilai indeks maksimum (100). Gambaran
ini mengindikasikan bahwa kegiatan sosialisasi, pendidikan dan pilot
sekolah siaga bencana belum berhasil secara signifikan meningkatkan
kesiapsiagaan siswa. Penjelasan secara detail tentang kesiapsiagaan
siswa dapat dilihat pada bagian 3.4.
Tingkat kesiapsiagaan siswa namun demikian masih lebih tinggi
jika dibandingkan dengan tingkat kesiapsiagaan guru. Keadaan ini
diketahui dari indeks kesiapsiaan guru yang hanya mencapai kategori
hampir siap. Tingkat kesiapsiagaan guru tidak mengalami perubahan,
meskipun nilai indeksnya meningkat 4,4 poin antara tahun 2006 dan
2009. Gambaran ini cukup memprihatinkan karena idealnya guru
lebih siap daripada siswa agar mampu membimbing siswa untuk
meningkatkan kesiapsiagaan.

Tingkat Kesiapsiagaan Menurut Parameter


Tingkat kesiapsiagaan komunitas sekolah diperoleh dari perhitungan
kelima parameter kesiapsiagaan, yaitu pengetahuan, kebijakan, ren-
cana tanggap darurat, peringatan bencana dan kemampuan memo-
bilisasi sumber daya yang dimiliki sekolah. Kelima parameter mem-
punyai bobot yang berbeda, disesuaikan dengan tingkat kepentingan
dan sensitivitas terhadap kesiapsiagaan bencana.
Hasil kajian mengungkapkan bahwa tingkat kesiapsiagaan komu­­­
nitas sekolah mengalami peningkatan untuk semua parameter (lihat
diagram 3.2). Peningkatan terbesar dan sangat signifikan terjadi
pada parameter kelima (kemampuan memobilisasi sumber daya).
Peningkatan ini mengubah kategori kemampuan memobilisasi ko-
munitas sekolah dari tingkat yang paling rendah, yaitu belum siap
tahun 2006 menjadi kategori hampir siap tahun 2009, atau naik dua

34| Sekolah Siaga Bencana: ...


tingkat. Keadaan ini diindikasikan oleh perubahan indeks yang naik
secara signifikan lebih dari dua kali lipat dalam tiga tahun terakhir.
Peningkatan ini berkaitan erat dengan banyaknya mobilisasi yang di-
lakukan oleh stakeholders kesiapsiagaan dari luar komunitas sekolah,
seperti sosialisasi kepada siswa dan pelatihan guru serta persiapan
pilot sekolah siaga oleh LIPI, PMI, dan TOM yang bekerjasama
dengan Satlak Kota Bengkulu dan Satkorlak Provinsi Bengkulu (lihat
penjelasan Bab 2 dan Bab 3.2–3.4).

Diagram 3.2 Indeks Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah dalam Mengantisipasi


Gempa dan Tsunami

Tingkat Kesiapsiagaan:
Sangat Siap : 80–100
Siap : 65–79
Hampir Siap : 55–64
Kurang Siap : 40–54
Belum Siap : <40
Sumber: Kajian Model Sekolah Siaga Bencana, LIPI (2009)

Sebaliknya, peningkatan terkecil terjadi pada parameter pertama,


yaitu pengetahuan, yang naik hanya 2,1 poin. Peningkatan ini meski-
pun kecil telah mengubah peringkat kesiapsiagaan pengetahuan dari

Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah | 35


kategori hampir siap menjadi kategori siap. Namun, kategori tingkat
kesiapsiagaan ini masih sangat rawan, karena hanya tiga angka di atas
batas kategori hampir siap. Hal ini perlu mendapat perhatian, karen­a
kondisinya masih rapuh, sehingga memungkinkan untuk turun kem-
bali ke kategori semula. Kesiapsiagaan pengetahuan komunitas seko-
lah masih perlu ditingkatkan, karena total indeksnya masih jauh dari
nilai indeks maksimum. Penjelasan lebih detail dapat dilihat pada
Bagian 3.3 dan 3.4.
Sedangkan peningkatan kesiapsiagaan parameter lainnya ber­
ada di antara mobilisasi sumber daya dan pengetahuan. Kebijakan
mengalami sedikit peningkatan, kedua terkecil setelah pengetahuan.
Keadaan ini diindikasikan dari nilai indeks yang hanya naik 2,6 poin
antara tahun 2004 dan tahun 2009. Peningkatan ini tentu saja tidak
mampu mengubah kategori kesiapsiagaan kebijakan komunitas seko-
lah yang masih tetap pada level terendah, yaitu belum siap. Sekolah
umumnya belum mempunyai atau mengeluarkan kebijakan yang
berkaitan dengan kesiapsiagaan mengantisipasi bencana, meskipun
sekolah berada di daerah rawan bencana. Keadaan ini berkaitan erat
dengan belum adanya kebijakan dari Dinas Pendidikan Nasional
Kota Bengkulu, sehingga belum ada dorongan dan inisiatif untuk
mengeluarkan kebijakan. Penjelasan secara lebih terperinci dapat
dilihat pada Bagian 3.1.
Parameter lain yang peningkatan kesiapsiagaannya cukup signi­
fikan adalah parameter ketiga, yaitu rencana tanggap darurat atau
rencana penyelamatan jika terjadi bencana. Peningkatan ini telah
mengubah kategori rencana tanggap darurat dari level yang paling
rendah belum siap menjadi hampir siap, diindikasikan dari indeks
yang naik dari 33,9 poin tahun 2004 menjadi 56,8 poin tahun 2009.
Peningkatan ini disumbangkan oleh semua komponen, terutama
sekolah, khususnya SDN 57 yang dipersiapkan sebagai pilot seko-
lah siaga bencana.

36| Sekolah Siaga Bencana: ...


Kesiapsiagaan parameter peringatan bencana juga mengalam­i
peningkatan yang cukup besar, diindikasikan dari peningkatan kate­
gori kesiapsiagaan dari belum siap tahun 2006 menjadi hampir
siap tahun 2009. Keadaan ini digambarkan dari indeks peringatan
bencana yang naik 16,5 poin dalam periode tersebut. Peningkatan
kesiap­siagaan parameter ini disumbangkan oleh sekolah dan siswa.
Sedangkan guru mempunyai kontribusi yang negatif atau meng-
hambat peningkatan kesiapsiagaan komunitas sekolah, karena in-
deks kesiapsiagaan peringatan bencana guru mengalami penurunan
selama tiga tahun terakhir. Peningkatan kesiapsiagaan peringatan
bencana sekolah berkaitan erat dengan intervensi dari luar komuni-
tas sekolah, yaitu stakeholders kesiapsiagaan yang melakukan kegiatan
pelatihan dan pengembangan pilot sekolah siaga bencana di Kota
Bengkulu.

2. Kesiapsiagaan Sekolah
Tingkat Kesiapsiagaan Sekolah
Tingkat kesiapsiagaan institusi sekolah merupakan gabungan dari
empat parameter kesiapsiagaan yaitu kebijakan, rencana tangga­p
darurat, peringatan bencana, dan kemampuan sekolah dalam me­
mobilisasi sumber daya. Nilai kesiapsiagaan ini diperoleh dari per­
hitung­an hasil survei kesiapsiagaan di tiga Sekolah Dasar (SD) dan
satu Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Kota Bengkulu, masing-masing
adalah SD Negeri 27, SD Negeri 32, SD Negeri 57 dan MI Al I­slam.
Ketiga sekolah dasar dan satu madrasah tersebut terletak dekat de­
ngan pantai.
Tingkat kesiapsiagaan institusi sekolah masih sangat rendah.
Kajian yang dilakukan pada tahun 2006 menghasilkan indeks kesiap­
siagaan sebesar 20,8 poin yang berarti masuk ke dalam kategori be-
lum siap. Tiga tahun berikutnya, tahun 2009 indeks kesiapsiagaan
sekolah naik menjadi 40,8 poin berada pada kategori batas bawah

Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah | 37


kurang siap. Dengan demikian selama tiga tahun indeks kesiapsiaga­
an institusi sekolah tidak menunjukkan perkembangan yang berarti.
Diagram 3.3 memperlihatkan bahwa pada tahun 2006 semua para­
meter kesiapsiagaan institusi sekolah berada pada kisaran antara
13,1–33,3. Parameter terendah adalah mobilisasi sumber daya dan
yang tertinggi peringatan bencana. Parameter kebijakan yang merupa­
kan aspek penting dalam kesiapsiagaan sekolah, hanya meningkat
sekitar dua poin. Ini mengindikasikan belum ada perubahan kebijak­
an yang mendukung adanya upaya meningkatkan kesiapsiagaan di
sekolah selama tiga tahun.

Diagram 3.3 Tingkat Kesiapsiagaan Sekolah Kota Bengkulu, 2006 dan 2009

80
70

60 52.3 56.2
43.8
50 42.5

40 27.5 33.3
24.9
30 20.8
15.8
20 13.1

10

0
Kebijakan Rencana P eringatan M o bilisasi Indeks
Tanggap B encana Sumber DayaKesiapsiagaan
Darurat

2006 2009

Catatan: Nilai indeks 80–90: Sangat siap, 65–79: Siap, 55–64: hampir siap,
40–54: kurang siap, <40: belum siap
Sumber: Kajian Model Sekolah Siaga Bencana, LIPI 2009
Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana
Alam, LIPI (2006).

38| Sekolah Siaga Bencana: ...


Rendahnya parameter kebijakan ini berkaitan erat dengan ma-
sih minimnya kebijakan dan panduan tentang kesiapsiagaan dalam
mengantisipasi bencana di semua sekolah. Dari ketiga sekolah yang
menjadi kajian hanya ada satu sekolah (SD Negeri 57) yang telah
mempunyai kebijakan berkaitan dengan kesiapsiagaan menghadapi
bencana. Ketiga sekolah lainnya (SD Negeri 27, SD Negeri 32 dan
MI Al Islam) belum mempunyai inisiatif untuk membuat kebijakan
sendiri, meskipun sekolah menurut Kurikulum Tingkat Satuan Pen-
didikan atau KTSP mempunyai kewenangan untuk melakukannya.
Sekolah masih mengacu pada ketentuan dari Dinas Pendidikan
tingkat Kota Bengkulu dan Provinsi Bengkulu. Sampai kajian ini
dilakukan kebijakan dan panduan kesiapsiagaan dari kedua institusi
tersebut belum ada.
Adanya kebijakan tentang kesiapsiagaan di SD 57, berkat bim­
bingan dan fasilitasi dari LIPI yang pada tahun 2007 melakukan ke-
giatan menginisiasi pilot Sekolah Siaga Bencana di SD ini. Kebijakan
tersebut berupa peningkatan pengetahuan dan keterampilan tentang
kesiapsiagaan dalam kegiatan ekstrakulikuler dan peningkatan penge­
tahuan dan keterampilan guru tentang kesiapsiagaan. Sementara
itu, kebijakan lainnya yang berkaitan dengan pengintegrasian materi
kesiapsiagaan ke dalam mata pelajaran sekolah dan diadakannya ke-
giatan simulasi secara regular serta alokasi anggaran untuk kesiap-
siagaan sekolah belum tersedia.
Parameter kesiapsiagaan sekolah yang nilainya berada pada po-
sisi terendah kedua adalah mobilisasi sumber daya. Nilai dari pa-
rameter ini pada tahun 2006 sangat rendah, hanya 13,3 berada pada
kategori batas bawah kurang siap. Tiga tahun berikutnya, walaupun
parameter ini naik menjadi 42,5 tetapi masih masuk kategori batas
bawah hampir siap. Rendahnya mobilisasi sumber daya berkaitan
erat dengan masih minimnya kesempatan guru dan pengelola seko-
lah untuk berpartisipasi dalam kegiatan/seminar/pelatihan/workshop
yang berkaitan dengan kesiapsiagaan mengantisipasi bencana. Dari

Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah | 39


empat sekolah yang dikaji terdapat dua sekolah, yaitu SD Negeri
57 dan SD Negeri 27 yang para gurunya mendapat kesempatan
mengikuti pelatihan tentang kesiapsiagaan menghadapi bencana.
Pelatihan tersebut di antaranya dilakukan oleh LIPI dan PMI ca-
bang Bengkulu.
Selain seminar/pelatihan/workshop, media untuk menyebar­
luas­­­kan informasi tentang kesiapsiagaan dalam rangka memobilisasi
sumber daya di lingkungan sekolah adalah keberadaan materi se­
perti buku-buku tentang gempa, poster, leaflet, buku saku, kliping
koran, kaset dan VCD di sekolah. Hasil kajian menunjukkan bahwa
keberadaan materi tersebut di sekolah masih minim. Dari empat SD
yang dikaji, terdapat dua SD yang telah mempunyai beberapa materi
berkaitan dengan kesiapsiagaan menghadapi bencana, yaitu SD 57
yang menjadi pilot inisiasi sekolah siaga bencana LIPI dan SD 27
yang menjadi salah satu sekolah yang akan dijadikan sebagai sekolah
siaga bencana yang diselenggarakan oleh PMI bekerjasama dengan
Palang Merah Jerman.
Berkaitan dengan mobilisasi sumber daya, dari keempat seko-
lah yang dikaji, dua di antaranya juga telah mendapatkan bantuan
dan fasilitas dari instansi pemerintah dan nonpemerintah, yaitu
SD Neger­i 57 dan SD 27, sedangkan dua sekolah lainnya belum
mendapatkan bimbingan langsung dari lembaga pemerintah maupun
LSM. Walaupun demikian, sebagian siswa SD 32, telah mendapatkan
sosialisasi mengenai kesiapsiagaan menghadapi bencana dari anak-
anak SMA Bengkulu yang telah mendapat pelatihan dari LIPI.
Rencana tanggap darurat merupakan parameter dengan nilai
indeks terendah ketiga. Nilai parameter ini pada tahun 2006 sangat
rendah hanya mencapai 15,8 berada pada level kurang siap. Pada ta-
hun 2009 parameter rencana tanggap darurat menjadi 52,3 masuk ke
dalam kategori hampir siap. Rendahnya nilai indeks disebabkan ma-
sih sangat terbatasnya upaya yang dilakukan oleh sekolah. Sekolah
umumnya belum mempunyai duplikat atau salinan dokumen-doku-

40| Sekolah Siaga Bencana: ...


men penting. Secara umum sekolah juga belum menyiapkan rencana
evakuasi jika bencana terjadi pada saat jam belajar di sekola­h, ter-
masuk menyepakati tempat-tempat evakuasi/pengungsian, membuat
peta/sketsa dan jalur evakuasi sekolah, dan belum pernah melaku-
kan latihan atau simulasi evakuasi. Hanya satu sekolah, yaitu SD 57
yang telah mempunyai rencana, peta dan peralatan evakuasi karena
adanya fasilitasi dari LIPI. Secara umum di ketiga sekolah lainnya
nilai indeks pada parameter ini hanya bersumber dari persiapan dan
peralatan evakuasi, seperti kotak Pertolongan Pertama (PP) dan
obat-obatan standar yang biasa digunakan apabila siswa mengalami
kecelakaan kecil atau sakit di sekolah.
Indikator yang paling tinggi nilai adalah peringatan bencana
dengan nilai mencapai 56,2 masuk ke dalam kategori hampir
siap. Semua sekolah telah mempunyai akses untuk mendapatkan
informas­i tentang peringatan bencana dan telah mempunyai per­
alatan untuk menyebarluaskan. Dari empat sekolah yang dikaji dua
di antaranya (SD Negeri 57 dan SD Negeri 27) telah menyiapkan
langkah untuk merespons peringatan bencana. Tanda bunyi peringat­
an bencana juga telah disepakati dan telah disosialisasikan kepada
komunitas sekolah. Uji coba peringatan bencana telah dilakukan di
dua sekolah ini melalui fasilitas dari LIPI dan PMI cabang Bengkulu.
Namun, sayangnya simulasi/uji coba ini hanya dilakukan sekali pada
saat mendapatkan fasilitas dari kedua lembaga tersebut. Sampai ka-
jian ini dilakukan pihak pengelola sekolah belum pernah melakukan
simulasi/uji coba kesiapsiagaan secara mandiri.
Indikator peringatan bencana untuk dua sekolah lainnya, yait­u SD
32 dan MI Al Islam masih memerlukan peningkatan dan tinda­k lanjut.
Walaupun sekolah tersebut telah mempunyai akses terhada­p sistem
peringatan bencana, khususnya tsunami, tetapi belum menyiap­kan
rencana atau langkah untuk merespons peringata­n ter­sebut. Sekolah
juga belum menyosialisasikan peringatan bencana kepada guru dan
siswa serta staff sekolah lainnya. Selain itu, di kedua sekolah juga

Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah | 41


belum pernah melakukan simulasi/gladi peringata­n bencana. Nilai
indeks parameter ini hanya disumbangkan oleh k­eberadaan lonceng
sebagai satu-satunya alat yang dapat di­gunakan untuk penyebarluas­
an peringatan bencana di sekolah.

Kebijakan
Parameter kebijakan merupakan acuan yang sangat penting untuk
meningkatkan kesiapsiagaan komunitas sekolah dalam mengantisi­
pasi bencana alam. Parameter ini diukur dari keberadaan kebijak­
an atau program pendidikan yang berkaitan dengan kesiapsiagaan
di Kota Bengkulu dan kebijakan atau program kesiapsiagaan di
sekola­h.
Meskipun berada dalam wilayah yang sering dilanda gempa bumi,
tetapi Dinas Pendidikan Nasional (Dinas Diknas) Kota Bengkulu
belum mempunyai kebijakan dan/atau pedoman yang berkaitan
dengan pengelolaan bencana, termasuk kesiapsiagaan mengantisi­pasi
bencana gempa dan tsunami yang dilaksanakan di sekolah. Namun,
pejabat Diknas mengakui bahwa pendidikan kesiapsiagaan ini di-
perlukan dalam upaya mengantisipasi bencana gempa dan tsunami.
Sampai saat ini kebijakan yang akan dilakukan berkaitan dengan
kesiap­siagaan menghadapi bencana adalah melakukan sosialisasi
tentang bencana gempa dan tsunami pada siswa melalui acara MOS
(Masa Orientasi Siswa). Kebijakan ini sifatnya masih imbauan ke-
pada penge­lola sekolah untuk memberikan tambahan materi kesiap-
siagaan dalam acara MOS. Implementasi di lapangan sangat tergan-
tung pada para pengelola masing-masing sekolah.
Absennya kebijakan pendidikan kesiapsiagaan di tingkat kabu­
paten juga berimbas pada kebijakan di tingkat sekolah. Sekolah-
sekolah juga belum mempunyai kebijakan pendidikan kesiapsiagaan,
karena pihak sekolah masih tergantung pada Dinas Diknas. Dari tiga
sekolah yang dikaji hanya satu sekolah yang telah mengupayakan
memberikan materi tentang gempa dan tsunami pada siswa. Materi

42| Sekolah Siaga Bencana: ...


yang diajarkan masih bersifat pengetahuan umum, belum terfokus
pada kesiapsiagaan mengantisipasi bencana.

Rencana Tanggap darurat


Parameter kedua untuk mengukur tingkat kesiapsiagaan institusi
sekolah adalah rencana tanggap darurat. Tindakan ini sangat diperlu­
kan untuk mengantisipasi bencana jika terjadi di sekolah. Rencana
tanggap darurat sekolah diukur dari upaya sekolah untuk menye­
lamatkan dokumen-dokumen penting sekolah, rencana evakuasi dan
pertolongan pertama apabila bencana terjadi pada saat jam belajar
di sekolah.
Hasil kajian pada tahun 2006 menginformasikan bahwa semua
sekolah belum menyiapkan back-up atau salinan atau duplikat doku-
men-dokumen penting sekolah. Duplikat ini sangat diperlukan untuk
mengantisipasi rusak atau hilangnya dokumen asli pada saat terjadi
bencana. Dokumen sekolah, seperti data kelulusan dan nilai siswa
serta dokumen guru sangat diperlukan siswa untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan/atau mencari pekerjaan
dan diperlukan guru untuk mengurus kenaikan jabatan. Doku­men
sekolah juga sangat penting sebagai data based sekolah. Tiga tahun
berikutnya, pada tahun 2009, dari empat sekolah yang menjadi sam-
pel kajian hanya satu sekolah yang telah memulai melakukan penyim­
panan file atau dokumen penting sekolah.
Berkaitan dengan kegiatan rencana evakuasi dari empat sekolah
yang dikaji hanya ada satu sekolah yang telah mempunyai rencana
evakuasi. Sekolah ini merupakan sekolah yang mendapat fasilitas
dari LIPI untuk menjadi sekolah siaga bencana. Berbagai kegiatan
telah dilakukan di sekolah ini dalam rangka mempersiapkan men-
jadi sekolah siaga bencana. Kegiatan tersebut di antaranya adalah,
latihan simulasi dan evakuasi. LIPI memfasilitasi mulai dari penye-
diaan peralatan pendukung, seperti peta dan jalur evakuasi, tandu,

Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah | 43


P3K dan peralatan untuk menyebarluaskan informasi sampai pada
pelaksanaan simulasi.
Tiga sekolah lainnya semuanya belum mempunyai rencana
evakuasi, padahal rencana ini sangat penting terutama jika bencana
terjadi pada saat jam belajar di sekolah. Semua sekolah belum me-
nyepakati tempat-tempat evakuasi atau pengungsian untuk komuni-
tas sekolah dan masyarakat yang tinggal di sekitar sekolah. Sekolah-
sekolah ini juga belum membuat peta atau denah dan jalur evakuasi
dari sekolah ke tempat-tempat pengungsian. Padahal denah dan jalur
evakuasi ini merupakan penuntun bagi komunitas sekolah untuk
menyelamatkan diri ke tempat aman dan evakuasi. Semua sekolah
juga belum menyiapkan peralatan dan perlengkapan evakuasi, seperti
tandu untuk siswa/guru yang menjadi korban. Ketiga sekolah juga
belum pernah melakukan latihan/simulasi evakuasi. Hal ini dikarena­
kan sekolah belum mengetahui apa saja yang harus dipersiapkan
untuk rencana evakuasi.
Kesiapsiagaan sekolah juga diukur dari adanya upaya pertolong­
an pertama korban bencana. Sebagian sekolah telah menyiapkan
kotak pertolongan pertama (PP) dan obat-obatan penting serta
posko kesehatan sekolah. Hal ini dilakukan sebagai persiapan apa-
bila terdapat siswa, guru atau staf yang mengalami gangguan ke­
sehatan atau kecelakaan pada saat jam belajar di sekolah. Persiapan
ini meskipun tidak disiapkan khusus untuk bencana, namun dapat
dimanfaatkan apabila terjadi bencana. Upaya untuk meningkatkan
kapasitas sekolah, sayangnya belum dilakukan, seperti mengaktifkan
kegiatan dokter kecil atau palang merah remaja. Padahal kegiatan
ini dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siswa dalam
pertolongan pertama. Semua sekolah juga belum melakukan latihan
dan belum menyiapkan prosedur untuk pertolongan pertama kor-
ban bencana.
Gambaran di atas mencerminkan kesiapsiagaan rencana tang­
ga­p darurat institusi sekolah masih sangat minim. Keadaan ini erat

44| Sekolah Siaga Bencana: ...


kaitannya dengan masih minimnya pengetahuan dan keterampilan
pimpinan dan pengelola sekolah tentang bencana dan tindakan yang
harus dipersiapkan untuk merespons kondisi darurat bencana agar
risiko bencana dapat diminimalkan.

Sistem Peringatan Bencana


Kesiapsiagaan institusi sekolah dari parameter sistem peringatan
bencana tsunami ditandai oleh ketersediaan akses informasi per-
ingatan bencana, peralatan untuk menyebarluaskan informasi, dan
rencana untuk merespons peringatan. Selain itu, kesiapsiagaan juga
diukur dari kegiatan latihan/simulasi peringatan bencana.
Hasil kajian menggambarkan kesiapsiagaan institusi sekolah
akan peringatan bencana tsunami masih sangat minim. Semua seko-
lah belum mendapatkan informasi tentang sistem peringatan ben-
cana tsunami yang dikembangkan oleh pemerintah. Kebanyakan
sekolah juga belum mempunyai peralatan untuk menyebarluaskan
informasi peringatan. Semua pimpinan sekolah juga belum menge-
tahui cakupan informasi dalam sistem peringatan bencana, seperti
informasi tentang pembatalan peringatan apabila setelah beberapa
waktu kemudian tidak terjadi bencana, dan informasi tentang ke-
adaan aman setelah terjadi bencana. Sekolah-sekolah juga belum
mempunyai rencana untuk merespons peringatan bencana.
Kurangnya kesiapsiagaan sekolah ini erat kaitannya dengan
masih minimnya pengetahuan pimpinan sekolah tentang sistem
peringat­an bencana. Karena itu, sekolah belum menyosialisasikan
sistem peringatan bencana pada guru dan siswa serta staf sekolah
lainnya. Semua sekolah juga belum pernah melakukan latihan atau
simulasi peringatan bencana di sekolah masing-masing.

3. Kesiapsiagaan Guru
Guru idealnya mempunyai peran besar dalam meningkatkan kesiap­
siagaan komunitas sekolah, karena itu tingkat kesiapsiagaan guru

Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah | 45


s­eharusnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan siswa. Tetapi
gambar­an tingkat kesiapsiagaan pada Bagian 3.1. mengungkap-
kan kondisi yang sebaliknya, kesiapsiagaan guru lebih rendah jika
dibandingkan dengan kesiapsiagaan siswa. Bagian ini akan memba-
has lebih detail tentang tingkat kesiapsiagaan guru yang merupakan
gabungan dari kelima parameter kesiapsiagaan, yaitu pengetahuan
tentang bencana, rencana penyelamatan, peringatan bencana, dan
kemampuan mobilisasi sumber daya guru. Gambaran ini diharapkan
dapat menjawab faktor-faktor yang menyebabkan kesiapsiagaan guru
lebih rendah daripada siswa.

Tingkat Kesiapsiagaan
Hasil kajian menginformasikan bahwa indeks kesiapsiagaan guru
mengalami peningkatan antara tahun 2006 dan 2009 (lihat diagram
3.4). Indeks kesiapsiagaan bervariasi dan berfluktuasi menurut para­
meter, sebagian mengalami peningkatan dan sebagian lagi meng­
alami penurunan.
Peningkatan terjadi pada parameter mobilisasi sumber daya
yang naik secara signifikan hampir tiga kali lipat, sehingga meng­
ubah tingkat kesiapsiagaan parameter ini dari posisi yang paling
rendah yaitu belum siap menjadi kategori siap. Peningkatan yang
sangat tinggi ini erat kaitannya dengan kegiatan pelatihan guru yang
dilakukan oleh stakeholders kesiapsiagaan bencana, seperti LIPI dan
PMI yang bekerjasama dengan Pemerintah Kota Bengkulu, terutama
Satlak atau sekarang dikenal dengan Badan Penanggulangan Ben-
cana Daerah (BPBD Kota) dan Kesbang, dan Pemerintah Provinsi
Bengkulu, khususnya BPBD Provinsi.
Peningkatan indeks menurut diagram di atas juga terjad­i pada
parameter pengetahuan, tetapi naiknya hany­a sediki­t 3,5 poin a­ntara
tahun 2006 dan 2009. Peningkatan ini tida­k mengub­ah tingkat ke-
siapsiagaan parameter ini, m­asih tetap pada kategori hampir siap.
Keadaan ini menginformasikan bahwa kegiatan pelatihan guru yang

46| Sekolah Siaga Bencana: ...


telah meningkatka­n indeks mobilisasi sumber daya guru ter­nyata
kurang berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan guru ten-
tang bencana dan tindakan yang perlu dilakukan jika terjadi bencana
di sekolah. Hal ini sangat memprihatinkan, karena guru seharusnya
dapat menimba pengetahuan sebanyak-banyaknya tentang bencana
gempa dan tsunami pada waktu mengikuti pelatihan. Guru kurang
optimal dalam memanfaatkan kegiatan penting ini, sebagian meng­
ikuti pelatihan untuk mendapatkan sertifikat.

Diagram 3.4. Indeks Kesiapsiagaan Guru di Kota Bengkulu Menurut


Parameter

Tingkat Kesiapsiagaan:
Sangat Siap : 80–100
Siap : 65–79
Hampir Siap : 55–64
Kurang Siap : 40–54
Belum Siap : <40
Sumber: Kajian Model Sekolah Siaga Bencana, LIPI 2009
Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi
Bencana Alam, LIPI (2006).

Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah | 47


Sebaliknya, parameter rencana penyelamatan dan peringatan
bencana nilai indeksnya mengalami penurunan. Penurunan ini nilai­
nya tidak begitu tinggi, 2,3 poin untuk indeks rencana penye­lamatan
dan 0,7 poin untuk indeks peringatan bencana antara tahun 2006
dan 2009. Karena itu penurunan tidak berpengaruh terhadap tingkat
kesiapsiagaan kedua parameter tersebut, yaitu hampir siap untuk
rencana penyelamatan dan kurang siap untuk peringatan bencana.
Gambaran penurunan indeks rencana penyelamatan dan per­
ingat­an bencana guru sangat memprihatinkan. Keadaan ini mengin-
dikasikan dua hal, pertama, guru kurang serius dalam upaya mening-
katkan kesiapsiagaan mengantisipasi bencana. Pada waktu pelatihan,
kedua parameter ini menjadi topik bahasan dan simulasi. Sebagian
guru mungkin kurang konsentrasi, sehingga materi ini kurang dipa-
hami dan beberapa guru belum mengikuti pelatihan. Hal kedua,
guru tidak serius membaca pertanyaan pada kuesioner sehingga
memberikan jawaban yang salah sehingga memengaruhi indeks
kedua parameter ini.

Pengetahuan tentang Bencana


Kesiapsiagaan pengetahuan guru digambarkan dari pengetahuan
dasar tentang gempa bumi dan tsunami, antara lain penyebab, ciri-
ciri dan tindakan yang perlu disiapkan dan dilakukan untuk mengu-
rangi risiko bencana. Pada bagian awal dikemukakan pengetahuan
guru tentang bencana alam.

Bencana Alam
Gambaran tentang pengetahuan guru dimulai dari pengetahuan
tentang pengertian bencana alam. Diagram 3.5 menginformasikan
bahwa sebagian besar guru menjawab dengan benar yaitu kejadian
alam yang mengganggu kehidupan manusia. Guru yang menjawab
ini mengalami sedikit peningkatan antara tahun 2006 dan 2009.
Sebagia­n besar guru terutama pada tahun 2009 menjawab bencana

48| Sekolah Siaga Bencana: ...


alam adalah perilaku manusia yang menyebabkan kerusakan alam.
Jawaban ini didasarkan dari kejadian bencana banjir yang sering ter-
jadi di berbagai daerah di Indonesia disebabkan oleh penebangan
hutan secara berlebihan. Gambaran ini diindikasikan dari besarnya
responden yang menjawab perilaku manusia yang merusak alam.

Diagram 3.5 Persentase Guru Menurut Pengetahuan tentang Pengertian


Bencana

Sumber: Kajian Model Sekolah Siaga Bencana, LIPI (2009)


Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana
Alam, LIPI (2006)

Pengetahuan responden guru tentang pengertian bencana alam


masih terbatas. Kondisi ini diketahui dari masih banyaknya responden
memberikan jawaban yang salah. Hampir separuh responden men-
jawab “ya” pada pertanyaan bencana alam adalah bencana terjadi
karena kebakaran hutan/serangan. Sebagian kecil guru juga masih
mengatakan bencana alam adalah bencana yang disebabkan oleh
kerusuhan sosial/politik, padahal kerusuhan ini tidak ada kaitannya
dengan bencana alam.

Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah | 49


Gempa Bumi
Secara umum pengetahuan guru tentang gempa bumi juga meng­
alam­i sedikit peningkatan. Hal ini diketahui dari pengetahuan dasar
tentang gempa, seperti penyebab dan ciri-ciri gempa, dan penge-
tahuan tentang bangunan tahan gempa. Semua responden guru
mengetahui pergeseran kerak bumi merupakan penyebab terjadinya
gempa. Gambaran yang sama juga diperoleh dari penyebab gemp­a
lainnya, yaitu gunung meletus. Namun, pengetahuan ini belum
sepenuhnya dipahami oleh responden, dicerminkan dari sebagian
responden masih memberikan jawaban yang salah. Hampir separuh
responden menjawab pengeboran minyak sebagai penyebab gempa.
Sebagian kecil responden, meskipun presentasinya mengalami penu-
runan, masih menjawab tanah longsor, angin topan dan halilintar
sebagai penyebab gempa (Tabel 3.1).

Tabel 3.1 Persentase Guru Menurut Pengetahuan tentang Gempa Bumi


Tahun (%)
No. Uraian
2006 2009
1. Penyebab gempa bumi
Pergeseran kerak bumi 93,3 100,0
Gunung meletus 93,3 100,0
Tanah longsor 50,0 30,4
Angin topan dan halilintar 23,3 13,0
Pengeboran minyak 30,0 43,5

2. Ciri-ciri gempa kuat


Gempa membuat pusing/limbung 66,7 82,6
Gempa menyebabkan goyangan yang 90,0 100,0
kencang/keras sehingga orang tidak bisa
berdiri
Bangunan retak/roboh 80,0 82,6

50| Sekolah Siaga Bencana: ...


Tahun (%)
No. Uraian
2006 2009
3. Ciri-ciri bangunan/rumah tahan gempa
Bentuk bangunan simetri, seperti segi 53,3 82,6
empat, bujur sangkar dan lingkaran
Fondasi tertanam cukup dalam 73,3 87,0
Bagian-bagian bangunan tersambung 70,0 73,9
dengan kuat
Bangunan terbuat dari material yang 56,7 34,8
ringan
Sumber: Kajian Model Sekolah Siaga Bencana, LIPI (2009)
Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana
Alam, LIPI (2006)

Sebagian besar responden guru mengetahui bahwa gempa tidak


dapat diperkirakan. Pengetahuan ini meningkat secara signifikan jika
dibandingkan dengan pengetahuan mereka pada tahun 2006, lebih
dari dua kali lipat dari 45% menjadi 95,7%. Pengetahuan tentang
waktu terjadinya gempa ini sangat penting agar guru selalu waspada
akan terjadinya bencana gempa karena dapat terjadi sewaktu-waktu,
kapan saja, tanpa adanya warning terlebih dahulu.
Pengetahuan guru tentang ciri-ciri gempa kuat juga mengalami
peningkatan, meskipun belum maksimal. Semua responden menge­
tahui gempa kuat menyebabkan goyangan yang kencang/keras se-
hingga orang tidak bisa berdiri. Sebagian kecil responden guru belum
mengetahui cirri-ciri gempa kuat yang lain, seperti gempa membuat
pusing/limbung, getaran gempa cukup lama dan diikuti oleh gempa-
gempa susulan yang lebih kecil, dan bangunan retak/roboh.
Gambaran serupa juga terjadi pada pengetahuan tentang ciri-
ciri bangunan tahan gempa. Sebagian besar guru mengetahui ciri-ciri
bangunan tahan gempa, seperti bentuk bangunan simetri, se­perti
segi empat, bujur sangkar dan lingkaran; dan fondasi bangunan

Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah | 51


t­ertanam cukup dalam; dan bagian-bagian bangunan tersambung
dengan kuat. Tetapi, hanya sebagian kecil guru yang mengetahui
kalau bangunan yang terbuat dari material yang ringan merupakan
ciri bangunan yang tahan gempa. responden yang mengetahui ciri
ini mengalami penurunan antara tahun 2006 dan 2009.
Pengetahuan guru tentang dampak ikutan dari gempa cukup
baik, meskipun masih relatif terbatas. Semua responden guru men-
jawab dengan benar bahwa gempa dapat menyebabkan terjadinya
bencana tsunami dan tanah longsor. Sebagian besar guru juga menge­
tahui kalau gempa menyebabkan gunung meletus dan amblasan ta-
nah. Namun, pengetahuan tentang dampak ikutan yang lain, seperti
banjir dan kebakaran belum banyak diketahui, diindikasikan dari
hanya 13% dan 21,7% berturut-turut untuk banjir dan kebakaran.
Gambaran serupa juga terjadi pada pengetahuan guru tentang
tindakan yang dilakukan apabila terjadi gempa secara umum juga
mengalami peningkatan, meskipun beberapa tindakan mengalami
penurunan. Peningkatan pengetahuan gurunya bervariasi menurut
tindakan, mulai dari tidak signifikan sampai dengan yang signifikan.
Semua responden guru tahun 2009 telah mengetahui bahwa melin­
dungi kepala, berlindung di tempat yang aman, menjauhi benda-
benda yang tergantung, jika memungkinkan segera menuju tempat
yang terbuka dan menjauh dari jendela/dinding kaca; merupakan
tindaka­n yang harus dilakukan untuk mengurangi risiko bencana.
Pengetahuan tentang kelima tindakan ini tidak signifikan karena
mereka sudah mengetahui tindakan-tindakan ini tahun 2006. Penge­
tahuan yang meningkat secara signifikan adalah tindakan mening-
galkan ruangan setelah gempa reda, dari 53,3% tahun 2006 menjadi
91,3% tahun 2006. Sebaliknya dengan pengetahuan tentang tindaka­n
menjauhi jembatan dan keluar gedung bertingkat menggunakan
tangga setelah gempa reda ternyata mengalami penurunan. Hal ini
mungkin dikarenakan kebanyakan responden guru biasanya berada
pada gedung yang tidak bertingkat.

52| Sekolah Siaga Bencana: ...


Diagram 3.6 Persentase Pengetahuan Guru tentang Tindakan yang Dilakukan
Apabila terjadi Gempa

Sumber: Kajian Model Sekolah Siaga Bencana, LIPI (2009)


Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana
Alam, LIPI (2006)

Hasil survei juga mengungkapkan bahwa semua guru tahun


2009 mengetahui bahwa tidak setiap gempa bumi menyebabkan
tsunami. Pengetahuan ini mengalami peningkatan yang cukup sub-
stansial jika dibandingkan dengan pengetahuan tahun 2006. Gambar­
an ini cukup menggembirakan, utamanya untuk kewaspadaan guru
akan terjadinya tsunami.

Tsunami
Berbeda dengan peningkatan pengetahuan tentang gempa, penge-
tahuan responden guru tentang tsunami mengalami fluktuasi (lihat
Diagram Tabel 3.2). Keadaan ini diketahui dari pengetahuan tentang
penyebab tsunami, meningkat hanya pada gunung meletus di bawah
laut. Sedangkan penyebab yang lain mengalami penurunan, seperti
gempa bumi di bawah laut dan longsoran di bawah laut. Padahal,
sebagian besar dari responden guru ini telah mengikuti training atau
workshop tentang kesiapsiagaan mengantisipasi bencana alam.

Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah | 53


Tabel 3.2 Persentase Pengetahuan Guru tentang Tsunami

Tahun (%)
No. Uraian
2006 2009
1. Penyebab tsunami
Gempa bumi di bawah laut 96,7 95,7
Gunung meletus di bawah laut 73,3 100,0
Longsoran di bawah laut 76,7 69,6
Badai/puting beliung 13,3 8,7

2. Tanda-tanda/gejala tsunami
Gempa menyebabkan goyangan yang 53,3 82,6
kencang sehingga orang tidak bisa
berdiri
Air laut tiba-tiba surut 90,0 95,7
Gelombang besar di cakrawala 33,3 82,6
Bunyi yang keras seperti ledakan - 60,9

3. Ciri-ciri bangunan/rumah yang tahan tsunami


Rumah bertingkat yang kokoh - 39,1
Adanya ruang-ruang kosong untuk 33,3 69,6
jalannya air
Bangunan yang bagian panjangnya 23,3 78,3
tegak lurus dengan garis pantai
Sumber: Kajian Model Sekolah Siaga Bencana, LIPI (2009)
Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana
Alam, LIPI (2006).

Pengetahuan responden guru tentang tanda-tanda terjadinya


tsunami cukup baik, diindikasikan oleh peningkatan persentase
untu­k semua jawaban yang benar. Peningkatan bervariasi dengan
peningkatan tertinggi adalah adanya gelombang besar di cakrawala
dan gempa yang sangat kuat menyebabkan orang limbung atau tidak
dapat berdiri. Sedangkan untuk tanda lainnya, yaitu air laut tiba-tiba

54| Sekolah Siaga Bencana: ...


surut hanya mengalami sedikit kenaikan, karena kebanyakan respon-
den sudah mengetahui tanda ini tahun 2006.
Sebagian responden guru juga mengetahui tanda-tanda rumah
tahan tsunami, meskipun masih terbatas. Keadaan ini sangat ber-
beda dengan tahun 2006 di mana sebagian besar belum mengetahu­i
tanda-tanda ini. Sebagian besar guru mengetahui bahwa bangunan
rumah yang bagian panjangnya tegak lurus dengan garis pantai
adalah tanda bangunan yang tahan terhadap tsunami. Lebih dari
separuh responden juga mengetahui kalau bangunan yang mempu-
nyai ruang-ruang kosong untuk jalannya air merupakan bangunan
yang tahan tsunami. Tetapi, hanya sebagian kecil responden guru
yang mengetahui bahwa rumah bertingkat yang kokoh juga tahan
terhadap tsunami.
Pengetahuan guru tentang kesiapsiagaan sekolah dalam meng­
antisipasi bencana baru ditanyakan pada tahun 2009, karena itu
tidak dapat dibandingkan dengan pengetahuan guru tahun 2006.
Pengetahua­n ini didasarkan dari pengetahuan guru tentang ada­
nya kebijakan yang dikeluarkan sekolah yang berkaitan dengan
kesiap­siagaan komunitas sekolah dalam mengantisipasi bencana, ke-
beradaan gugus atau kelompok yang bertugas meningkatkan kesiap­
siagaan sekolah, integrasi materi kesiapsiagaan terhadap bencana
dengan mata pelajaran yang ada di sekolah, dan dana yang dialokasi­
kan sekolah untuk kegiatan kesiapsiagaan sekolah.
Hasil kajian menggambarkan pengetahuan guru tentang kesiap­
siagaan sekolah masih terbatas. Hal ini diindikasikan dari sedikitnya
guru yang mengetahui adanya kebijakan kesiapsiagaan sekolah, hany­a
13%. Guru yang mengetahui alokasi dana sekolah untuk kegiatan
kesiapsiagaan jumlahnya jauh lebih sedikit, hanya 4,3%. Keadaan
ini dapat dipahami, karena sebagian besar sekolah memang belum
mempunyai kebijakan. Gambaran yang lebih baik dicerminkan dari
pengetahuan guru tentang adanya gugus siaga bencana di sekolah
jumlahnya jauh lebih banyak, meskipun jumlahnya masih kurang

Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah | 55


dari separuh (43,5%). Meskipun demikian, lebih dari separuh guru
mengetahui adanya pengintegrasian materi kesiapsiagaan terhadap
bencana ke dalam mata pelajaran di sekolah. Meskipun persentase-
nya paling besar, kondisi ini masih memprihatinkan, karen­a pengeta-
huan tentang kesiapsiagaan sangat diperlukan oleh siswa, mengingat
Kota Bengkulu merupakan kota yang rawan bencana.

Sumber Informasi
Hasil kajian mengungkapkan bahwa informasi guru tentang kesiap­
siagaan dalam mengantisipasi bencana terutama bersumber dari media
massa, khususnya radio dan televisi. Hal ini terjadi dalam tiga tahun
terakhir, meskipun mengalami penurunan, mungkin disebabkan
berkurangnya intensitas pemberitaan tentang bencana.
Sumber infor­masi yang mengalami kenaikan signifikan adalah
sosialisasi, seminar, dan pertemuan, lebih dari dua kali lipat dari 40%
pada tahun 2006 menjadi 91,3% tahun 2009. Peningkatan ini erat
kaitannya dengan kegiatan sosialisasi dan penyiapan kesiapsiagaan
Diagram 3.7 Sumber Informasi Guru tentang Kesiapsiagaan Mengantisipasi
Bencana

Sumber: Kajian Model Sekolah Siaga Bencana, LIPI (2009)


Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana,
Alam, LIPI (2006)

56| Sekolah Siaga Bencana: ...


sekolah, termasuk materi berupa buku saku, poster dan lain-lain,
yang dilakukan oleh Compress-LIPI tahun 2008. Sumber informasi
yang juga meng­alami peningkatan dalam tiga tahun terakhir bersum-
ber dari petugas pemerintah dan LSM dan lembaga non pemerin-
tah. Pening­katan kedua sumber informasi ini, meskipun tidak terlalu
tinggi, mengindikasikan adanya kegiatan sosialisasi dari kedua stake-
holders tersebut (Diagram 3.7).

Rencana Penyelamatan
Kesiapsiagaan guru untuk merespons keadaan darurat digambar-
kan dari persiapan guru sebelum terjadi bencana dan tindakan yang
akan dilakukan apabila bencana terjadi pada jam belajar di sekola­h.
Persiap­an guru mencakup upaya untuk menyelamatkan diri sendiri,
siswa dan kelompok rentan di sekitar sekolah; dan untuk mengu-
rangi risiko bencana, seperti dokumen-dokumen penting.
Diagram 3.8 mengungkapkan persiapan guru untuk mengantisi­
pasi bencana gempa dan tsunami masih terbatas, tetapi mengalami
peningkatan antara tahun 2006 dan 2009. Peningkatan yang cukup

Diagram 3.8 Persiapan Guru dalam Mengantisipasi Bencana Gempa


dan Tsunami

Sumber: Kajian Model Sekolah Siaga Bencana, LIPI (2009)


Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana
Alam, LIPI (2006)

Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah | 57


tinggi adalah persiapan guru untuk menyelamatkan siswa. Keadaan
ini digambarkan dari tingginya guru yang menjawab akan melatih
siswa untuk menyelamatkan diri, meningkat sebanyak 21,3%. Per-
siapan guru untuk menyiapkan copy-an atau dokumen-dokumen dan
menyim­­pannya di tempat yang aman sedikit mengalami peningkata­n,
yaitu 12,9%.
Sebaliknya dengan rencana untuk mengurangi risiko bencana,
persiapan guru mengalami fluktuasi, naik dan turun, antara tahun
2006 dan 2009. Guru yang berencana meletakkan barang-barang
dan buku-buku di tempat yang rendah/lantai, jumlahnya mengalami
penurunan sebanyak 8,5%. Sedangkan jumlah guru-guru yang akan
memaku/mengikat rak-rak buku ke dinding atau lantai mengalami
peningkatan dalam sebanyak 22,9%.
Gambaran fluktuasi persiapan guru untuk mengantisipasi ben-
cana gempa dan tsunami di atas idealnya sudah tidak perlu terjadi
lagi, mengingat sudah dilakukannya pelatihan guru dan persiapan
pilot sekolah siaga bencana. Gambaran ini juga mengindikasikan
bahwa guru yang telah mendapat pelatihan belum sepenuhnya me­
laksanakan hasil pelatihan dan/atau menyebarluaskan hasil yang di-
peroleh kepada guru-guru yang tidak ikut pelatihan di sekolahnya.
Berbeda dengan persiapan, Diagram 3.9. menggambarkan ada­
nya peningkatan rencana tindakan yang akan dilakukan apabila
terjadi bencana gempa dan tsunami antara tahun 2006 dan 2009.
Semua guru akan memberi aba-aba agar siswa berlindung di bawah
meja yang kokoh sampai getaran gempa berhenti, memandu siswa
untuk menjauh dari rak/barang dan benda-benda yang tergantung
atau jendela kaca, memandu siswa untuk merunduk ke arah pintu
sambil melindungi kepala, membantu siswa keluar ruangan/gedung
secara teratur dan tidak berdesak-desakan, dan memandu siswa un-
tuk menggunakan tangga dan tidak menggunakan elevator/lift jika
berada di lantai dua atau lebih. Hampir semua guru menjawab akan

58| Sekolah Siaga Bencana: ...


Diagram 3.9 Rencana Tindakan Guru Apabila Terjadi Bencana

Sumber: Kajian Model Sekolah Siaga Bencana, LIPI (2009)


Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana
Alam, LIPI (2006).

menenangkan diri sendiri dan siswa apabila terjadi gempa, agar da­
pat melakukan tindakan untuk menyelamatkan diri
Gambaran rencana tindakan yang akan dilakukan guru apabil­a
terjadi gempa bumi cukup menggembirakan. Gambaran ini meng­
indi­kasikan kepedulian guru untuk mengurangi risiko bencana bagi
siswa ketika bencana terjadi pada saat jam sekolah. Kesiap­siagaan
guru akan tindakan yang akan dilakukan ini perlu terus di­tumbuh­
kembangkan, mengingat Kota Bengkulu merupakan kota yang rawan
ter­hadap bencana gempa bumi dan tsunami.
Namun, dari diagram di atas juga terungkap adanya ketidak-
konsistenan jawaban guru tentang tindakan yang akan dilakukan.
Hal ini diindikasikan oleh jawaban sebagian besar guru yang akan
lari menyelamatkan diri sendiri apabila terjadi gempa. Jumlah guru

Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah | 59


yang memberikan jawaban ini mengalami sedikit penurunan antara
tahun 2006 dan 2009, sehingga sebagian besar guru masih menja­
wab akan lari menyelamatkan diri sendiri apabila terjadi gempa.
Rencana kesiapsiagaan guru untuk merespons kondisi darurat
bencana juga dapat diketahui dari kegiatan yang dilakukan berupa
latihan simulasi evakuasi dan keterlibatan dalam gugus siaga ben-
cana bersama-sama dengan seluruh komponen sekolah. Hasil kajian
menginformasikan kurang dari separuh (43,5%) responden guru
pernah mengikuti latihan simulasi guru yang terlibat dalam gugus
siaga bencana sekolah sedikit lebih tinggi, yaitu 52,2%.
Keterlibatan guru dalam kegiatan simulasi dan gugus siaga ben-
cana ini tentu saja masih sangat kurang. Gambaran ini mengindi-
kasikan belum adanya tindak lanjut dari hasil pelatihan guru yang
dilakukan dalam rangka persiapan Pilot Sekolah Siaga Bencana di
Kota Bengkulu tahun 2008. Pada pelatihan guru tersebut, guru tidak
hanya mendapatkan materi tentang kesiapsiagaan bencana melain-
kan juga melakukan latihan simulasi evakuasi dan pengembangan
gugus siaga bencana.

Peringatan Bencana
Peringatan dini bencana sangat penting karena dengan peringatan
dini guru mempunyai waktu untuk membantu siswa menyelamat-
kan diri untuk mengurangi risiko bencana. Diagram 3.10. menginfor­
masikan bahwa pengetahuan responden guru tentang peringatan dini
tsunami di sekolah masih terbatas. Gambaran ini diketahui dari seba-
gian besar responden belum mengetahui alat yang diguna­kan seko-
lah untuk memberikan peringatan akan terjadinya bencana. S­ebagian
besar guru (60,9%) juga belum mengetahui tanda atau b­unyi yang
menjadi tanda adanya peringatan akan terjadinya bencana di seko-
lah. Sebagian kecil guru yang mengetahui tanda atau bunyi perin-
gatan. Guru yang mengetahui tanda ini ternyata kebanyakan tidak
mengetahui perbedaan tanda atau bunyi untuk peringatan tsunami,

60| Sekolah Siaga Bencana: ...


pembatalan terjadinya tsunami, dan tanda yang menyatakan kondisi
aman setelah terjadi tsunami (Diagram 3.10).

Diagram 3.10 Pengetahuan Guru tentang Alat dan Tanda, Peringatan dan
Pembatalan Peringatan serta Informasi Kondisi Aman, 2009

Sumber: Kajian Model Sekolah Siaga Bencana, LIPI (2009)

Gambaran ketidaktahuan guru tentang peringatan tsunami dapat


dimengerti. Sebagian besar responden guru belum mengetahui ada­
nya pembatalan peringatan terjadinya tsunami yang dinyatakan oleh
Satlak/BPBD atau pemerintah kota setempat. Sebagian besar guru
juga belum mengetahui adanya informasi yang menyatakan keadaan
sudah aman setelah terjadi tsunami yang dinyatakan pihak yang ber-
wenang tersebut. Keadaan ini mengindikasikan belum optimalnya
sosialisasi tentang sistem peringatan bencana di Kota Bengkulu.
Hal ini juga mengindikasikan kurangnya perhatian sebagian besar
responden guru tentang tanda pembatalan dan kondisi aman yang
sering kali diinformasikan melalui media massa, televisi dan radio,
ketika terjadi gempa di beberapa daerah di Indonesia.

Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah | 61


Diagram 3.11 menggambarkan bahwa kesiapsiagaan responden
guru yang berkaitan dengan tindakan yang akan dilakukan apabila
mendengar peringatan tsunami berfluktuasi antara tahun 2006 dan
2009. Beberapa tindakan tidak mengalami perubahan karena semua
responden menjawab benar, yaitu memandu siswa untuk lari ke tem-
pat yang tinggi dan menenangkan diri atau tidak panik. Beberapa
tindakannya mengalami penurunan, termasuk memandu siswa-siswa
menuju tempat pengungsian/evakuasi, menyelamatkan dokumen
penting, dan mematikan listrik di sekolah. Sebaliknya, tindakan yang
mengalami peningkatan adalah membantu anak-anak, ibu hamil,
orang tua dan orang cacat di sekitar sekolah ke tempat aman semua.
Semua responden memberikan jawaban ini, meningkat 13,3% dari
jawaban tahun 2006.
Pertanyaan tindakan untuk segera pulang ke rumah jika men-
dengar peringatan merupakan pertanyaan menjebak untuk mengeta-
hui pemahaman responden tentang peringatan tsunami. Responden
guru yang memberikan jawaban ini mengalami penurunan cukup

Diagram 3.11 Tindakan yang Akan Dilakukan Guru Apabila Mendengar


Peringatan Tsunami Ketika Sedang Mengajar di Sekolah

Sumber: Kajian Model Sekolah Siaga Bencana, LIPI (2009)


Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana
Alam, LIPI (2006)

62| Sekolah Siaga Bencana: ...


besar, yaitu 29,8% dalam tiga tahun terakhir ini. Tetapi, jumlah­nya
masih besar, lebih dari separuh responden yang akan melakukan
tindakan kurang tepat (segera pulang ke rumah), mementingkan diri
sendiri tanpa memedulikan kondisi sekitarnya, padahal kepedulian
ini sangat diperlukan untuk mengurangi risiko bencana.
Gambaran fluktuasi kesiapsiagaan responden guru tentang per-
ingatan tsunami masih kurang menggembirakan. Hal ini terutama
dikarenakan telah dilaksanakannya pelatihan dan persiapan untuk
pilot sekolah siaga bencana, sehingga diharapkan guru telah mem-
punyai pengetahuan dan persiapan.

Kemampuan Memobilisasi Sumber Daya


Guru merupakan stakeholder yang instrumental karena itu perlu
memobilisasi sumber daya yang dimilikinya untuk meningkatkan ke-
siapsiagaan komunitas sekolah. Mobilisasi sumber daya guru berupa
upaya meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan
dengan kesiapsiagaan, dan upaya menyebarluaskan pengetahuan
dan keterampilan kesiapsiagaan kepada masyarakat di sekitarnya, di
samping siswa di sekolah.
Tabel 3.3 menginformasikan adanya peningkatan upaya mobili­
sasi guru dalam kesiapsiagaan mengantisipasi bencana gempa dan
tsunami. Jumlah guru yang mengikuti pelatihan, workshop, seminar,
ceramah, diskusi atau simulasi mengalami peningkatan yang cukup sig-
nifikan. Hampir dua per tiga dari guru tersebut mengikuti ke­giatan
yang berkaitan dengan peningkatan pengetahuan tentang bencana.
Namun guru yang mengikuti kegiatan perencanaan tanggap daru-
rat jumlahnya masih sedikit, kurang dari separuh, sedangkan yang
mengikuti kegiatan sistem peringatan tsunami sedikit lebih banyak,
yaitu sekitar separuh responden.

Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah | 63


Tabel 3.3 Upaya Mobilisasi Sumber Daya Guru dalam Kesiapsiagaan
Mengantisipasi Bencana

Tahun 2006 Tahun 2009


No. Mobilisasi Sumber Daya
(%) (%)
1. Mengikuti dalam pelatihan, workshop,
seminar, ceramah, diskusi atau simulasi
a. Pengetahuan tentang bencana 10,0 65,2
b. Perencanaan tanggap darurat 10,0 47,8
c. Sistem peringatan bencana 13,3 56,5
2. Memberikan pelajaran pada siswa
a. Gempa bumi 40,0 95,7
b. Tsunami 40,0 87,0
3. Memberikan informasi pada siswa apa-
bila belum memberikan pelajar­an
a. Gempa 40,0 82,6
b. Tsunami 40,0 82,6
4. Memberikan pengetahuan kesiap-
siagaan pada siswa
a. Peringatan bencana - 87,0
b. Pertolongan pertama - 87,0
c. Penyelamatan dan evakuasi - 91,3
5. Melakukan latihan kesiapsiagaan ber-
sama-sama siswa
a. Peringatan bencana - 69,6
b. Pertolongan pertama - 73,9
c. Penyelamatan dan evakuasi - 73,9
6. Menginformasikan pengetahuan kesiap- 40,0 78,3
siagaan pada orang lain
(keluarga, saudara, tetangga, teman)

Sumber: Kajian Model Sekolah Siaga Bencana, LIPI (2009)


Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana
Alam, LIPI (2006)

64| Sekolah Siaga Bencana: ...


Kemampuan mobilisasi guru, di samping upaya peningkatan
mobilisasi untuk diri sendiri, juga diketahui dari kemampuan untuk
menyebarluaskan pengetahuan pada siswa dan lingkungan di sekitar­
nya. Hal ini terutama berkaitan dengan perannya sebagai agen per­
ubahan atau ‘agent of change’.
Jumlah guru yang memberikan pelajaran dan informasi ten-
tang gempa dan tsunami kepada siswa naik secara signifikan antara
tahu­n 2006 dan 2009. Kenaikan jumlah guru menurut tabel di atas
bervariasi antara memberikan pelajaran dan memberikan informasi,
namun keduanya mengindikasikan bahwa sebagian besar guru telah
memberikan pelajaran atau informasi tentang gempa dan tsunami.
Jika ditelusuri lebih lanjut, sebagian besar guru juga telah mem-
berikan pengetahuan tentang peringatan bencana, pertolongan per-
tama dan penyelamatan dan evakuasi dengan tertinggi adalah pe-
nyelamatan dan evakuasi. Upaya ini sayangnya baru terfokus pada
pemberian pengetahuan, belum melakukan praktik. Keadaan ini
dilihat dari turunnya guru yang bersama-sama dengan siswa mem-
praktikkan ketiga jenis pengetahuan itu.
Di samping siswa, guru juga menyebarluaskan pengetahuan
ke­siapsiagaan kepada masyarakat di sekitarnya, seperti saudara, te­
tangga dan teman. Upaya ini mengalami peningkatan yang signifi-
kan, dari 40% tahun 2006 naik menjadi 78,3% tahun 2009. Upaya
ini perlu terus ditumbuhkembangkan, karena sangat diperlukan
masyarakat dalam mengantisipasi bencana gempa dan tsunami di
Kota Bengkulu.
Hasil kajian mengungkapkan bahwa kesiapsiagaan guru secara
umum mengalami peningkatan antara tahun 2006 dan 2009. Pening-
katan yang utama terjadi pada parameter kemampuan memobilisasi
sumber daya, baik untuk kemampuan diri sendiri maupun kemam-
puan siswa dan masyarakat di sekitarnya. Sedangkan untuk parame­
ter lainnya, kesiapsiagaan guru berfluktuasi antara peningkatan dan
penurunan. Gambaran ini sebetulnya agak memprihatinkan, meng-

Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah | 65


ingat telah dilaksanakan pelatihan guru dan persiapan pilot sekolah
siaga bencana.

4. Kesiapsiagaan Siswa
Tingkat Kesiapsiagaan Siswa
Nilai tingkat kesiapsiagaan siswa ini diperoleh dari gabungan para­me­
ter pengetahuan, rencana tanggap darurat, peringatan bencana dan
mobilisasi sumber daya. Pada tahun 2006 nilai indeks kesiapsiagaan
siswa dari ketiga sekolah yang dikaji berada pada kategori hampir
siap dengan nilai 63. Tingkat kesiapsiagaan siswa ini mening­kat
menjadi 69.5 pada tahun 2009 dan masuk ke dalam kategori siap.
Peningkatan indeks kesiapsiagaan siswa ini terutama bersumber dari
parameter mobilisasi sumber daya, pengetahuan dan rencana tang-
gap darurat. Mobilisasi sumber daya meningkat cukup signifikan
dari sekitar 50 menjadi 73,1 masuk ke dalam kategori siap. Tinggi­
nya parameter mobilisasi sumber daya ini berkaitan dengan cukup
besarnya proporsi siswa yang telah mengikuti berbagai kegiatan
berkaitan dengan kesiapsiagaan seperti ceramah/pertemuan tentang
bencana, pertolongan pertama, dokter kecil, kepramukaan dan latih­
an simulasi evakuasi. Data menunjukkan bahwa hampir 75% siswa
pernah mengikuti pertemuan/ceramah tentang bencana dan sekitar
54% pernah mengikuti latihan simulasi evakuasi (Diagram 3.12).
Parameter pengetahuan siswa tentang bencana cukup baik
denga­n nilai 70,4 dan masuk kategori siap. Sebelumnya pada tahun
2006 nilainya sekitar 66, termasuk ke dalam kategori siap, namun
berada pada batas bawah. Secara umum sebagian besar siswa telah
mengetahui tentang fenomena alam dan bencana alam. Demiki-
an pula pengetahuan siswa tentang penyebab, ciri-ciri, akibat dan
tindaka­n yang perlu dilakukan apabila terjadi gempa dan tsunami
cukup baik. Kondisi ini kemungkinan terkait dengan cukup besarnya
akses siswa untuk mendapatkan informasi tentang bencana gempa
dan tsunami melalui media cetak dan elektronik. Di samping itu,

66| Sekolah Siaga Bencana: ...


Diagram 3.12 Tingkat Kesiapsiagaan Siswa Kota Bengkulu, 2006–2009

Indeks 69.5
Kesiapsiagaan 63

Mobilisasi Sumber 73.1


Daya (MSD) 49.7

Peringatan 65.3
Bencana (PB) 38.8

Rencana Tanggap 70.1


Darurat (RTD) 55.3

70.4
Pengetahuan (P)
66.3

2006 2009 0 20 40 60 80

Catatan: Nilai indeks 80–90: Sangat siap, 65–79: Siap, 55–64: hampir siap,
40–54: kurang siap, <40: belum siap
Sumber: Kajian Model Sekolah Siaga Bencana, LIPI 2009
Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana
Alam, LIPI (2006).

siswa di ketiga sekolah yang dikaji telah mendapatkan sosialisasi


tentang kesiapsiagaan dari LIPI, PMI dan para siswa dari beberapa
SMA di Bengkulu yang telah mendapat pelatihan dari LIPI. Oleh
karena itu, meskipun secara formal siswa belum mendapat informasi
tentang bencana dari sekolah melalui pelajaran, namun pengetahuan
mereka tentang bencana cukup baik.
Parameter kesiapsiagaan siswa yang nilainya juga cukup baik adalah
rencana tanggap darurat yang mempunyai nilai 70,1 dan ber­ada
dalam kategori siap. Parameter ini nilainya meningkat cukup signifi-
kan jika dibandingkan kondisi pada tahun 2006. Kesiapsiagaan siswa
dilihat dari parameter rencana tanggap darurat pada tahun 2006 hanya
berada pada kategori batas bawah hampir siap dengan nilai 55,3.

Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah | 67


Relatif baiknya parameter ini berkaitan dengan tingginya pema-
haman siswa tentang tindakan yang perlu dilakukan apabila terjadi
gempa/tsunami. Secara umum siswa telah mengetahui tempat yang
aman jika terjadi gempa yang diikuti oleh tsunami. Sebagian besar
siswa juga telah memandang perlu mempunyai alamat dan tele-
pon penting (seperti rumah sakit, polisi dan pemadam kebakaran)
serta pentingnya mengetahui tempat mengungsi anggota keluarga.
Berkait­an dengan pentingnya penyelamatan dokumen dan barang
penting lainnya para siswa juga telah mempunyai pemahaman yang
relatif baik. Hal yang perlu diperhatikan adalah masih kurangnya
pemaham­an siswa tentang pentingnya tas/kantong siaga yang berisi
buku dan keperluan sekolah. Tingginya parameter rencana tanggap
darurat ini juga terlihat dari cukup besarnya proporsi siswa yang
telah mengikuti latihan simulasi/evakuasi. Seperti telah disampaikan
pada bagian sebelumnya bahwa di dua sekolah yang dikaji pernah
dilakukan simulasi evakuasi yang difasilitasi oleh LIPI dan PMI ca-
bang Bengkulu.
Peringatan bencana merupakan parameter kesiapsiagaan siswa
yang nilainya paling rendah sebesar 65,3, masuk ke dalam batas
atas kategori hampir siap menuju ke siap. Meskipun tergolong
palin­g rendah jika dibandingkan dengan parameter lainnya, parame­
ter ini telah menunjukkan peningkatan selama periode tiga tahun.
Pada t­ahun 2006 parameter ini nilainya hanya 38,8 dan berada pada
tingkat belum siap. Peningkatan parameter ini salah satunya terkait
dengan adanya sosialisasi dan simulasi evakuasi yang telah diberikan
oleh berbagai pihak, di antaranya LIPI dan Palang Merah Cabang
Bengkulu. Tiga dari dua sekolah dasar yang dikaji, pernah melaku-
kan simulasi evakuasi yang difasilitasi oleh LIPI dan PMI Cabang
Bengkulu. Dalam simulasi tersebut siswa diberikan pemahaman
tentang tindakan-tindakan yang perlu dilakukan apabila mendengar
tanda peringatan dini tsunami.

68| Sekolah Siaga Bencana: ...


Rendahnya parameter peringatan bencana juga terlihat dari
masih terdapatnya sebagian siswa yang masih belum mengetahui
sistem peringatan bencana tsunami (TEWS) yang dikembangkan
pemerintah dan tanda kesepakatan lokal/tradisional. Demikian pula
dengan alat atau bunyi yang digunakan oleh sekolah untuk member
peringatan tentang adanya bencana belum diketahui oleh sebagian
siswa. Mereka juga belum mengetahui tanda pembatalan peringatan
dan tanda keadaan sudah aman apabila terjadi bencana. Walaupun
demikian, respons dengan adanya peringatan bencana telah banyak
diketahui oleh siswa. Umumnya, mereka akan segera menjauh dari
pantai atau lari ke tempat yang tinggi apabila mendengar tanda ba-
haya tsunami. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kesiapsiagaan
siswa, terutama parameter peringatan bencana, latihan/simulasi
evakuasi secara mandiri dan rutin di sekolah perlu dilakukan.

Pengetahuan
Pengetahuan siswa tentang bencana merupakan faktor yang sanga­t
penting untuk mengkaji kesiapsiagaan siswa dalam menghadapi
bencana. Pemahaman yang baik tentang hal-hal yang terkait dengan
bencana seperti karakteristik, penyebab, gejala-gejala dan tindakan
apa yang sebaiknya dilakukan bila terjadi bencana tentunya akan
sanga­t berpengaruh terhadap kesiapsiaagaan siswa dalam menganti­
sipasi bencana. Pengetahuan murid dalam mengantisipasi bencana
antara lain tergambar dari pengetahuan dasar tentang bencana alam,
gempa bumi dan tsunami (penyebab, ciri-ciri dan tindakan yang per-
lu disiapkan dan dilakukan untuk mengurangi risiko bencana).

Bencana Alam
Parameter pengetahuan tentang bencana dalam studi ini difokus-
kan pada pemahaman siswa tentang apa yang dimaksud dengan
bencana alam dan kejadian alam apa saja yang dapat menimbulkan
bencana. Secara umum pengetahuan siswa tentang bencana masih

Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah | 69


perlu ditingkatkan. Data menunjukkan bahwa lebih dari dua per tiga
responden siswa mengetahui bencana alam adalah kejadian alam
yang mengganggu kehidupan manusia. Namun, masih terdapat seki-
tar sepertiga siswa yang masih belum mengerti apa yang dimaksud
dengan bencana alam. Pengetahuan yang terbatas juga tecermin
dari siswa yang memberikan jawaban salah, yaitu bencana akibat
kebakaran hutan/serangan hama. Beberapa siswa juga mengatakan
bencana alam adalah bencana akibat kerusuhan sosial/politik (Dia-
gram 3.13).
Berbagai kejadian alam seperti gempa bumi, tsunami, banjir,
tanah longsor, letusan gunung berapi dan badai dapat menimbul-
kan bencana alam. Berkaitan dengan hal tersebut, data survei tahun
2006 dan 2009 menunjukkan adanya peningkatan pemahaman siswa
tentang bencana. Pada tahun 2006, siswa yang mengetahui bahwa

Diagram 3.13 Persentase Siswa Menurut Pengetahuan tentang Pengertian


Bencana Alam

B encana akibat kebakaran


47.8
hutan/serangan hama

B encana akibat kerusuhan so sial


po litik
19

P erilaku manusia yang menyebabkan


kerusakan alam
77.2

Kejadian alam yang menggaggu 84.2


kehidupan manusia

0 20 40 60 80 100

Sumber: Kajian Model Sekolah Siaga Bencana, LIPI 2009


Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana
Alam, LIPI (2006).

70| Sekolah Siaga Bencana: ...


gempa bumi dan tsunami bumi merupakan kejadian alam yang
dapat menimbulkan bencana cukup tinggi. Namun, masih terdapat
sebagian siswa yang belum memahami bahwa banjir, tanah longsor,
letusan gunung berapi dan badai merupakan kejadian alam yang
dapat menimbulkan bencana. Keadaan tersebut telah berubah pada
tahun 2009. Hampir semua responden menyatakan bahwa gempa
dan tsunami dapat menimbulkan bencana. Demikian pula kejadian
alam lainnya seperti tanah longsor, letusan gunung berapi dan badai
telah banyak diketahui sebagai kejadian alam yang dapat menimbul-
kan bencana (Diagram 3.14).

Diagram 3.14 Persentase Siswa Menurut Pemahaman tentang Kejadian Alam


yang Dapat Menimbulkan Bencana.

98.9 96.7 95.1


89.7 93.5
100 85.9
90
80
70
60
50 74.5
94.2 85.4 75.2
40 67.2 73
30
20
10
0
GempaTsunami Banjir Tanah Letusan Badai
bumi longsor gunung
berapi
2006 2009

Sumber: Kajian Model Sekolah Siaga Bencana, LIPI 2009


Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana
Alam, LIPI (2006).

Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah | 71


Gempa Bumi
Serangkaian pertanyaan yang digunakan untuk mengukur tingkat
pengetahuan siswa tentang gempa bumi antara lain adalah penye-
bab gempa, ciri-ciri gempa kuat, perkiraan waktu terjadinya gempa,
bencana ikutan dan tindakan yang akan dilakukan apabila terjadi
gempa. Hasil kajian menunjukkan bahwa pada tahun 2006 penge-
tahuan siswa tentang penyebab gempa bumi masih terbatas. Selama
rentang waktu tiga tahun pengetahuan siswa tentang penyebab gem-
pa bumi hanya sedikit mengalami peningkatan. Hal tersebut terlihat
dari adanya peningkatan responden yang menyatakan bahwa perge-
seran kerak bumi dan letusan gunung berapi merupakan penyebab
gempa bumi. Namun, bersamaan dengan itu, terdapat juga pening-
katan persentase responden yang menyebutkan penyebab terjadinya

Diagram 3.15 Persentase Siswa Menurut Pemahaman tentang Penyebab


dari Gempa Bumi

Pengeboran 13
minyak 16.8

Angin topan dan 7.6


halilintar 17.5

15.8 2009
Tanah longsor
30.7 2006

86.4
Gunung Meletus 75.2

Pergeseran 84.2
kerak bumi 67.9

0 20 40 60 80 100

Sumber: Kajian Model Sekolah Siaga Bencana, LIPI 2009


Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana
Alam, LIPI (2006).

72| Sekolah Siaga Bencana: ...


gempa bumi yang salah, yaitu angin topan dan halilintar, badai dan
tanah longsor. Karena itu perlu dilakukan pembekalan yang lebih
agar siswa mempunyai pemahaman yang baik tentang penyebab
gempa bumi (Diagram 3.15).
Keterbatasan pengetahuan siswa juga dapat diketahui dari penge­
tahuan tentang waktu terjadinya gempa. Hanya sebagian siswa yang
menjawab benar bahwa gempa bumi tidak dapat diperkira­kan ka-
pan terjadinya. Siswa lainnya masih belum mengetahui, dan sebagi­
an kecil mengatakan gempa dapat diperkirakan. Tiga tahun kemu-
dian, pengetahuan siswa tentang waktu terjadinya gempa meng­alami
sedikit peningkatan. Sekitar dua pertiga siswa mengetahui bahw­a
gempa bumi dapat diperkirakan terjadinya. Selebihnya menjawab
tidak tahu dan sebagian kecil menyatakan gempa dapat diperkirakan
terjadinya (Diagram 3.16).
Diagram: 3.16 Persentase Siswa Menurut Pengetahuan tentang Perkiraan
Kapan Terjadinya Gempa

67.9
70

60

50

37.2
40 31.4
31.4
30 22.3

20 9.8

10

0
Ya Tidak Tidak Tahu

2006 2009

Sumber: Kajian Model Sekolah Siaga Bencana, LIPI 2009


Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana
Alam, LIPI (2006).

Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah | 73


Pengetahuan dasar tentang gempa yang juga perlu diketahui
siswa adalah ciri-ciri gempa kuat. Secara umum terjadi peningkatan
pengetahuan siswa tentang ciri-ciri gempa kuat. Hal ini terlihat dari
naiknya persentase siswa yang dapat menyebutkan ciri-ciri gempa
kuat. Pada tahun 2006 dari semua ciri gempa yang ditanyakan, t­idak
ada satu ciri gempa pun yang dijawab oleh semua siswa. Siswa pa­ling
banyak mengetahui bangunan retak atau roboh sebagai ciri gempa
kuat. Sedangkan ciri-ciri gempa kuat yang tidak banyak di­ketahui
oleh siswa adalah gempa membuat pusing dan limbung. Tiga tahun
berikutnya pengetahuan tentang ciri-ciri gempa pada siswa masih
konsisten, di mana ciri gempa kuat yang paling banyak di­ketahui
adalah bangunan retak dan roboh dan yang kurang banyak diketa-
hui adalah gempa membuat pusing dan limbung. Pengetahuan siswa
tentang ciri-ciri gempa kuat lainnya seperti gempa menyebabkan
goyanga­n yang keras sehingga orang tidak bisa berdiri juga meng­
alami peningkatan yang signifikan (Tabel 3.4).
Dalam rangka meningkatkan kesiapsiagaan, siswa perlu mema­
ham­i pentingnya me­laku­kan berbagai tindakan apabila terjadi gempa.
Berkaitan dengan hal tersebut data pada Tabel 3.4 menggambar­kan
bahwa telah terjadi peningkatan yang signifikan pengetahuan siswa
tentang tindakan yang perlu dilakukan apa­bila terjadi gempa. Pada
tahun 2006 tindakan berlindung di bawah meja yang kokoh tidak
banyak diketahui oleh siswa. Tiga tahun berikutnya (tahun 2009)
hampir 100% siswa menyatakan akan berlindun­g di bawah meja
yang kokoh jika terjadi gempa. Demikia­n pula denga­n tindakan
menjauh dari jendela kaca, pada awalnya hany­a dike­tahui oleh sekitar
68% siswa menjadi hampir semua siswa menge­tahuinya.
Pengetahuan untuk menjauh dari rak-rak buku/barang dan benda­-
benda yang tergantung serta berlari menuj­u r­uangan/lapangan ter-
buka saat terjadi gempa juga mengalami pening­katan. Tindakan ini
bertujuan untuk menyelamatkan diri dari kemungkinan runtuhnya
rak-rak buku dan bangunan di mana siswa tersebut berada.

74| Sekolah Siaga Bencana: ...


Tabel 3.4 Persentase Siswa Menurut Pengetahuan tentang Gempa Bumi

No . Uraian 2006 2009


1 Ciri-Ciri Gempa Kuat
a. Gempa membuat pusing/ 32,1 69,0
limbung
b. Gempa menyebabkan goyangan 76,6 94
kencang/ keras, sehingga tak
bisa berdiri
c. Getaran cukup lama diikuti 56,9 75
gempa-gempa susulan yang
lebih kecil
d. Bangunan retak atau roboh 79,6 96,7

2 Tindakan yang dilakukan apabila


terjadi gempa:
a. Berlindung di bawah meja yang 27,7 96,7
kokoh sambil berpegangan pada
kaki meja
b. Menjauh dari rak-rak buku/ba- 70,1 90,8
rang dan benda-benda yang
tergantung
c. Menjauh dari jendela kaca 67,9 95,7
d. Tidak berdesak-desakan pada 76,6 87,5
saat keluar ruangan/gedung
e. Berlari menuju ruangan/lapang­ 77,4 90,2
an terbuka saat gempa reda
Sumber: Kajian Model Sekolah Siaga Bencana, LIPI 2009
Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana
Alam, LIPI (2006).

Tindak­an untu­k segera berlari menuju ke ruangan/lapangan


terbuka juga sudah diketahui oleh sekitar 90% responden. Hal yang
perlu mendapat perhatian adalah cukup besarnya propors­i siswa
yang masih belum mengetahui pentingnya tidak berjalan berdesak-
desak pada saat ke luar ruangan.

Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah | 75


Diagram: 3.17 Persentase Siswa Menurut Pengetahuan tentang Gempa yang
Dapat Menimbulkan Tsunami

80 71.2

70
60 48.9

50 37.2

40
20.1
30
13.9
20 8.7

10
0
Ya Tidak Tidak Tahu

2006 2009

Sumber: Kajian Model Sekolah Siaga Bencana, LIPI 2009


Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana
Alam, LIPI (2006).

Pengetahuan tentang gempa lainnya yang perlu diketahui oleh


siswa adalah apakah setiap gempa dapat menimbulkan tsunami.
Hasil kajian ini menunjukkan bahwa pengetahuan tentang hal terse-
but masih memprihatinkan (Diagram 3.17). Data pada tahun 2009
menunjukkan hanya sekitar 71% siswa yang menjawab benar bah-
wa peristiwa gempa tidak selalu diikuti dengan tsunami. Masih
ada sekitar 20% siswa yang memahami bahwa setiap gempa selalu
m­enimbulkan tsunami dan sekitar 9% tidak mengetahuinya. Meski-
pun demikian, kondisi ini telah mengalami perbaikan jika diban­
dingkan dengan hasil kajian yang dilakukan pada tahun 2006. Siswa
yang memahami bahwa gempa selalu diikuti dengan tsunami ma-
sih cukup besar yaitu sekitar 37% dan yang menyatakan tidak tahu
sebesar 14%.

76| Sekolah Siaga Bencana: ...


Tsunami
Gambaran perkembangan pengetahuan siswa tentang tsunami dalam
kajian ini antara lain dilihat dari peristiwa tsunami di Indonesia yang
diketahui, tanda-tanda dan tindakan yang perlu dilakukan apabila
terjadi tanda-tanda akan terjadi tsunami. Hasil kajian menunjukkan
bahwa pemahaman siswa tentang tsunami masih relatif kurang,
meskipun telah mengalami peningkatan selama kurun waktu tiga
tahun (Diagram 3.18).
Seperti diketahui tsunami merupakan bencana alam yang telah
beberapa kali terjadi di Indonesia. Informasi tentang sejarah ben-
cana tsunami sayangnya kurang banyak diketahui masyarakat ter-
masuk siswa. Data pada tahun 2006 menunjukkan bahwa hanya se-
bagian siswa mengetahui bencana tsunami yang terjadi di Krakatau

Diagram 3.18 Persentase Siswa Menurut Pengetahuan tentang Kejadian


Tsunami di I­ndonesia

94
100
90
80
70
60 47.3
39.7
50 94
28.8 26.6
40
30
20 29.9 24.8
10 20.4
0
0
Krakatau Simelue 1907 Flores 1992 Aceh dan Pangandaran
1883 Nias 2004 Juli 2006

2006 2009

Sumber: Kajian Model Sekolah Siaga Bencana, LIPI 2009


Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana
Alam, LIPI (2006).

Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah | 77


tahun 1883. Demikian pula dengan kejadian bencana tsunami di
Simelue tahun 1907 dan di Flores tahun 1992 hanya sebagian ke-
cil siswa yang mengetahui. Kejadian bencana tsunami yang paling
banyak diketahui siswa adalah tsunami di Aceh dan Nias pada 26
D­esember 2004, meskipun masih ada siswa yang menjawab tidak
tahu. Tiga tahun kemudian pengetahuan tentang sejarah tsunami
hanya mengalami sedikit peningkatan. Sebagian besar siswa masih
belum mengetahui terjadinya tsunami sebelum peristiwa tsunami
Aceh tahun 2004. Tsunami yang terjadi sesudah Aceh, yaitu tsunami
di Pangandaran juga hanya diketahui oleh sebagian siswa (Diagram
3.18).
Hasil kajian pada tahun 2006 menunjukkan bahwa pengetahuan
tentang penyebab tsunami pada siswa masih sangat kurang. Hal
ini terlihat dari kecilnya proporsi responden yang dapat menjawab
d­engan benar tentang penyebab tsunami seperti gempa di bawah
laut, gunung meletus di bawah laut, longsoran di bawah laut. Di
samping itu, terdapat responden yang masih menganggap bahwa
badai/putting beliung dan longsoran di bawah laut juga dapat me-
nimbulkan tsunami.
Berdasarkan hasil kajian tahun 2009 pengetahuan tentang pe-
nyebab tsunami mengalami peningkatan. Proporsi responden yang
mengetahui penyebab tsunami seperti gempa bumi bawah laut,
gunung meletus di bawah laut meningkat. Namun, hal yang masih
perl­u mendapat perhatian adalah masih adanya pemahaman pada
siswa bahwa longsoran di bawah laut, badai dan puting beliung
dapat menimbulkan tsunami (Diagram 3.19).
Pengetahuan tentang tanda-tanda tsunami mengalami pening­
kata­n selama kurun waktu 2006–2009. Hal ini terlihat dari mening­
kat­nya proporsi responden yang menjawab dengan benar tanda-
tanda tsunami. Air laut yang tiba-tiba surut merupakan tanda-tanda
tsunami yang paling banyak diketahui oleh siswa. Proporsi siswa
yang mengetahui bahwa air laut tiba-tiba surut pada tahun 2006

78| Sekolah Siaga Bencana: ...


Diagram: 3.19 Persentase Siswa Menurut Pengetahuan tentang Penyebab
Tsunami

Badai/puting 15.2
beliung 29.9

Longsoran di 23.9
baw ah laut 21.2

Gunung meletus di 73.4


baw ah laut 35

Gempa bumi 90.8


baw ah laut 78.1

0 20 40 60 80 100

2006 2009

Sumber: Kajian Model Sekolah Siaga Bencana, LIPI 2009


Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana
Alam, LIPI (2006).

hanya sekitar 77% dan meningkat menjadi hampir 97% pada tahun
2009. Pengetahuan tentang gempa kuat sehingga orang tidak bisa
berdiri merupakan salah satu tanda tsunami juga mengalami pening­
katan. Pada tahun 2006 hanya sekitar 57% siswa yang menjawab
bahwa gempa kuat merupakan penyebab tsunami. Pada tahun 2009,
angkanya menjadi sekitar 78% (Diagram 3.20).
Tanda-tanda tsunami lainnya yang lebih dipahami oleh siswa ada­
lah adanya gelombang besar di cakrawala. Pada tahun 2006, proporsi
responden yang menjawab bahwa gelombang besar di cakrawala
merupakan salah satu tanda tsunami jumlahnya hanya sekitar 22%
meningkat menjadi sekitar 66% pada tahun 2009.
Peningkatan pengetahuan siswa tentang tindakan jika terjadi
tsunami mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Jika pada
tahun 2006 masih ada siswa yang menjawab mendekati pantai dan

Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah | 79


Diagram 3.20 Persentase Siswa Menurut Pengetahuan tentang Tanda-Tanda
Tsunami

57.1
B u n yi yg k e r a s s e p e r t i l e d a k a n
0

66.3
G e l o m b a n g b e s a r d i c a k r a wa l a
22.6

96.2
A ir laut t iba-t iba s urut
76.6

G e m p a m e n ye b a b k a n g o ya n g a n 77.7
yg k e n c a n g / k e r a s s h g t d k b i s a
berdiri 56.9 2009
2006
Sumber: Kajian Model Sekolah Siaga Bencana, LIPI 2009
Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana
Alam, LIPI (2006).

tidak melakukan tindakan apa-apa, maka pada tahun 2009 seratus


persen responden menyatakan akan berlari meninggalkan pantai.
Mening­katnya pemahaman siswa tentang tindakan yang perlu dilaku-
kan apabila terjadi tsunami ini kemungkinan terkait dengan semakin
intensifnya sosialisasi tentang kejadian tsunami. Selain mendapat
pengetahuan dari berbagai media, seperti media cetak dan elektroni­
ka, siswa di beberapa sekolah yang dikaji telah mendapat sosialisasi
tentang gempa dan tsunami dari berbagai pihak, antara lain dari
LIPI dan Palang Merah Cabang Bengkulu (Diagram 3.21).

Sumber informasi tentang Gempa dan Tsunami


Pengetahuan siswa tentang gempa dan tsunami diperoleh dari ber-
bagai sumber. Sumber yang utama adalah media elektronik televisi
dan radio yang menyiarkan kejadian-kejadian bencana gempa dan

80| Sekolah Siaga Bencana: ...


Diagram: 3.21 Persentase Siswa Menurut Pengetahuan tentang Tindakan yang
Dilakukan Jika Terjadi Tanda-Tanda Tsunami

100
100 88.3
90
80
2006
70
2009
60
50
40
30
20 4.4 7.4
10
0 0
0
Berlarimenjauh Mendekati pantai Tidak tahu
dari pantai

Sumber: Kajian Model Sekolah Siaga Bencana, LIPI 2009


Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana
Alam, LIPI (2006).

tsunami di Indonesia, seperti Aceh, Nias, Yogyakarta dan Bengkulu.


Selain itu siswa juga mendapat informasi dari keluarga dan teman-
teman. Perkembangan selama tiga tahun menunjukkan bahwa sum-
ber informasi tentang gempa dan tsunami yang berasal dari buku
saku, leaflet dan poster semakin populer di kalangan siswa sekolah.
Hal ini mengindikasikan adanya advokasi ke sekolah-sekolah yang
dilakukan oleh berbagai pihak selama tiga tahun terakhir. Berbagai
pihak yang telah melakukan sosialisasi tentang gempa dan tsunami
di antaranya LIPI dan Palang Merah Cabang Bengkulu. Untuk mem-
berikan pemahaman kepada siswa tentang gempa dan tsunami, se-
lain dilakukan melalui ceramah, permainan, simulasi juga dibagikan
berbagai poster, leaflet dan buku saku (3.22).

Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah | 81


Diagram 3.22 Persentase Siswa Menurut Sumber Informasi tentang Gempa
dan Tsunami

81.5
94.6 86.4 51.1

2009

32.8
94.2 91.2
71.5
2006

TV, Radio Media cetak koran, Buku saku, poster, Keluarga,saudara


majalah, buletin leaflet atau teman

Sumber: Kajian Model Sekolah Siaga Bencana, LIPI 2009


Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana
Alam, LIPI (2006).

Rencana Penyelamatan (Rencana Tanggap Darurat)


Kesiapsiagaan siswa untuk merespons keadaan darurat digambarkan
dari persiapan murid sebelum terjadi bencana dan tindakan yang
akan dilakukan apabila bencana terjadi pada jam belajar di sekolah.
Persiapan murid mencakup upaya untuk mengantisipasi apabila ter-
jadi gempa dan tsunami di sekolah, tindakan penyelamatan diri dan
untuk mengurangi risiko bencana, seperti penyelamatan dokumen-
dokumen penting.
Secara umum kesiapsiagaan siswa dalam merespons keadaan
darurat menunjukkan peningkatan. Tindakan yang paling banya­k
dilakukan oleh siswa adalah mengetahui tempat yang aman. Penge­
tahu­an ini sangat penting untuk menentukan ke mana siswa akan

82| Sekolah Siaga Bencana: ...


Diagram 3.23 Persentase Siswa Menurut Tindakan yang Akan Dilakukan
dalam Mengantisipasi Apabila Terjadi Gempa dan Tsunami

Mengetahui tempat mengungsi 94.6


keluarga 0

0
Menenangkan diri/tidak panik 62

Mengetahui tempat penting (RS, 62


Polisi, PLN dll) 36.5 2009
76.1 2006
Mencatat alamat, no telp keluarga 38

94
Mengetahui tempat yang aman 73.7

Mengikuti latihan menyelamatkan diri 87


59.9

0 20 40 60 80 100

Sumber: Kajian Model Sekolah Siaga Bencana, LIPI 2009


Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana
Alam, LIPI (2006).

menyelamatkan diri. Selain itu siswa juga sudah memahami pen­ting­


nya mengetahui tempat berkumpul keluarga apabila terjadi gempa
dan tsunami. Pemahaman pentingnya mempunyai kesepakatan ten-
tang tempat berkumpulnya keluarga ini diperlukan untuk memberi­
kan rasa aman dan ketenangan pada anggota keluarga lainnya.
Selai­n itu diperlukan untuk memudahkan melakukan evakuasi dan
pengungsian.
Peningkatan kesiapsiagaan siswa dalam merespons rencana
tang­gap darurat juga terlihat dari meningkatnya pemahaman siswa
tentang perlunya memiliki atau mencatat nomor-nomor penting
anggota keluarga. Mempunyai nomor-nomor telepon dan alamat
keluarga bagi siswa cukup penting untuk memberi tahu anggota
keluarga jika sewaktu-waktu terjadi gempa di sekolah. Selain itu,
pentingnya mengikuti latihan simulasi/evakuasi untuk merespons

Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah | 83


rencana tanggap darurat juga semakin dipahami oleh siswa. Data
menunjukkan bahwa proporsi siswa yang memandang perlu melaku-
kan simulasi dan evakuasi naik dari sekitar 60% menjadi 87%.
Tindakan untuk merespons rencana tanggap darurat siswa yang
masih belum diketahui oleh siswa adalah mengetahui tempat-tempat
penting seperti rumah sakit, kantor polisi, dan kantor PLN. Data
menunjukkan bahwa pada tahun 2006 siswa yang menjawab perlu
mengetahui tempat-tempat penting hanya sekitar 37% dan naik
menjadi sekitar 62% pada tahun 2009 (3.23).
Diagram 3.24 memperlihatkan persiapan siswa untuk menye­
lamat­kan dokumen dan barang belum maksimal dan hanya meng­
alami sedikit peningkatan selama tiga tahun. Hal yang perlu men­
dapat perhatian adalah siswa yang menjawab akan menyelamatkan
raport/ijazah nya lebih kecil daripada menyelamatkan surat-s­urat

Diagram 3.24 Persentase Siswa Menurut Tindakan yang Dilakukan oleh


Siswa untuk Penyelamatan

100 92.9
90 82.1
78.1 77.4
80
70
56
60
50 43.1
38.6
40 2006
29.2
30 2009
20
10
0
Raport/Ijazah Tas/Kantong Surat-surat Barang-barang
berisi buku & penting lainnya kesayangan
keperluan
sekolah

Sumber: Kajian Model Sekolah Siaga Bencana, LIPI 2009


Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana
Alam, LIPI (2006).

84| Sekolah Siaga Bencana: ...


dan barang-barang penting lainnya. Selama tiga tahun siswa yang
menyata­kan akan menyelamatkan rapor/ijazahnya mengalami
kenaika­n yang lebih kecil jika dibandingkan dengan siswa yang akan
menye­lamatkan surat-surat penting lainnya. Padahal sebagai siswa,
raport/ijazah adalah dokumen yang sangat penting untuk pendidik­
an dan kehidupan masa depan mereka. Gambaran ini mencermin­
kan sebagi­an siswa masih belum memahami hal penting yang men-
jadi prio­ritas untuk diselamatkan jika terjadi bencana.
Siswa hanya sebagian akan menyelamatkan tas/kantong/kota­k
yang berisi buku dan keperluan sekolah. Keadaan ini dapat di-
mengerti karena ketika terjadi bencana mereka panik dan tidak
sempat untuk mengumpulkan dan mengambil keperluan sekolah.
Sebagian siswa menjawab akan menyelamatkan tas sekolah, walau-
pun isinya hanya buku dan keperluan sekolah pada hari terjadinya
bencana.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah masih adanya
sebagian kecil siswa yang akan menyelamatkan barang-barang kesa­
yangan jika terjadi gempa dan tsunami. Proporsi siswa yang akan
melakukan tindakan tersebut justru menunjukkan peningkatan dari
sekitar 29% menjadi 39%. Padahal, barang-barang kesayangan bu-
kan barang prioritas yang perlu diselamatkan siswa. Gambaran ini
mencerminkan pentingnya peningkatan pemahaman siswa tentang
hal-hal yang menjadi prioritas untuk diselamatkan ketika terjadi
bencana.

Kemampuan Mobilisasi Sumber Daya


Secara umum kemampuan siswa dalam memobilisasi sumber daya
masih belum menggembirakan, namun telah menunjukkan pening-
katan yang cukup berarti dalam waktu tiga tahun. Pada tahun 2006,
semua indikator mobilisasi sumber daya nilainya sangat rendah.
Siswa yang pernah mengikuti ceramah tentang bencana gempa dan
tsunami hanya sekitar separuh dari jumlah responden. Demikian

Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah | 85


pula siswa yang pernah mengikuti simulasi/evakuasi jumlahnya
masih minim, hanya sekitar sepertiga dari seluruh responden. Hal
ini kemungkinan terkait dengan masih minimnya latihan simulasi/
evakuasi yang dilakukan oleh sekolah secara mandiri. Beberapa seko-
lah telah melakukan simulasi evakuasi dengan mendapat fasilitas
dari LIPI dan PMI Cabang Bengkulu. Sampai kajian ini dilakukan
belum ada satu sekolah yang pernah melakukan simulasi evakuasi
secara mandiri.
Masih minimnya kemampuan memobilisasi sumber daya siswa
juga terlihat dari kecilnya proporsi siswa yang mempunyai kete­ram­
pilan P3K dan proporsi siswa yang mengikuti kepramukaan. Rendah­
nya proporsi siswa yang mempunyai keterampilan P3K dan ke-
pramukaan terkait dengan semakin jarangnya kegiatan kepramukaan

Diagram 3.25 Persentase Siswa Menurut Pengalaman Mengikuti Kegiatan


Kesiapsiagaan

80 73.4

70

60 51.6 54.3 54.7


51.1

50
40.1
34.3
40 32.1

30

20

10

0
P3K, Dokter Kecil Kepramukaan Latihan/simulasi Pertemuan/ceramah
evakuasi tentang bencana
2006 2009

Sumber: Kajian Model Sekolah Siaga Bencana, LIPI 2009


Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana
Alam, LIPI (2006).

86| Sekolah Siaga Bencana: ...


sebagai kegiatan ekstra kurikuler di sekolah-sekolah di Bengkul­u.
Padahal beberapa kegiatan dalam kepramukaan seperti tali-temali,
mendirikan tenda dan pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K)
adalah merupakan kegiatan yang berkaitan dengan tindakan rencana
tanggap darurat (Diagram 3.25).

Peringatan Bencana
Peringatan dini bencana sangat penting karena dengan peringatan
dini komunitas sekolah dapat segera menyelamatkan diri dari ben-
cana sehingga jatuhnya korban dapat diminimalkan. Komunitas
sekolah menerima peringatan dari dua sumber yaitu tradisional/ke-
sepakatan lokal dan sistem peringatan tsunami nasional.

Diagram: 3.26 Persentase Siswa Menurut PengetahuanTentang Peringatan


Dini Tsunami

100
90 74.5
80
59.2
70
60

50
40

30
20

10

0
Tradisional/Lokal Nasional TEWS

Sumber: Kajian Model Sekolah Siaga Bencana, LIPI 2009


Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana
Alam, LIPI (2006).

Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah | 87


Hasil kajian ini menunjukkan bahwa pengetahuan siswa tentang
tanda/cara peringatan dini bencana masih sangat terbatas. Hanya se-
bagian kecil responden siswa yang mengetahui tanda peringatan dini
yang berasal dari sumber tradisional/kesepakatan. Sementara penge-
tahuan siswa berkaitan dengan sistem peringatan tsunami pemerin-
tah (TEWS) lebih baik. Salah satu tanda peringatan dini tradisional
adalah pemukulan tiang-tiang listrik oleh masyarakat apabila terjadi
bencana. Sedangkan pengetahuan siswa tentang TEWS bersumber
dari TV yang menayangkan adanya potensi tsunami setelah terjadi
gempa di beberapa tempat di Indonesia (Diagram 3.26).
Pengetahuan siswa tentang informasi berkaitan dengan per­
ingat­an dini lainnya juga masih terbatas. Sebagian besar siswa be-
lum mengetahui informasi tentang pembatalan peringatan tsunami.
Mereka belum pernah mendengar bahwa jika tidak terjadi tsunami
maka pemerintah akan mengumumkan pembatalan terhadap per­
ingatan yang telah disebarluaskan pada masyarakat.
Informasi berkaitan dengan pernyataan sudah aman setelah
terjadi tsunami tampaknya juga belum banyak dipahami oleh siswa.
Data menunjukkan bahwa sebagian besar siswa belum mengetahui
tanda atau informasi yang menyatakan keadaan sudah aman setelah
terjadi bencana. Hal ini dapat dimengerti karena informasi tentang
gempa dan tsunami yang diperoleh dari sekolah masih sangat ter-
batas (Diagram 3.27).
Meskipun pengetahuan siswa tentang peringatan bencana m­asih
terbatas, pemahaman tentang tindakan yang perlu dilakukan jika
ada peringatan dini tsunami cukup baik. Data menunjukkan bahwa
hampir semua siswa menjawab akan menjauhi pantai dan/atau laut
menuju ke tempat yang tinggi. Pada tahun 2006 masih ada sebagia­n
kecil siswa yang masih akan menunggu perkembangan k­ondisi
s­ebelum menuju tempat evakuasi. Tiga tahun kemudian hampir
semua siswa menyatakan akan menjauh dari pantai menuju ke tem-
pat yang tinggi. Gambaran ini cukup menggembirakan karena siswa

88| Sekolah Siaga Bencana: ...


Diagram: 3.27 Persentase Siswa Menurut Pengetahuan tentang Peringatan
Tsunami

Tanda/informasi
41.8
keadaan sudah
aman setelah
terjadi tsunami

Pembatalan 31.5
peringatan
tsunami

10 30 50 70

Sumber: Kajian Model Sekolah Siaga Bencana, LIPI 2009


Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana
Alam, LIPI (2006).

telah memberikan jawaban yang benar. Langkah ini sangat diperlu-


kan untuk menyelamatkan jiwa mereka. Langkah berikutnya yaitu
bergegas menuju ke tempat pengungsian juga sudah dipahami oleh
siswa. Jika pada tahun 2006 terdapat sebagian siswa yang belum
mempersiapkan diri menuju ke tempat pengungsian, maka pada ta-
hun 2009 sudah ada namun jumlahnya relatif kecil.
Siswa yang menjawab akan menenangkan diri/tidak panik
setelah mendengar peringatan bencana jumlahnya paling kecil. Pada
tahun 2006 jumlah siswa yang menyatakan akan menenangkan diri/
tidak panik hanya sekitar dua pertiga dari jumlah responden. Jumlah
ini meningkat menjadi sekitar 90% pada tahun 2009. Kondisi ini me­
rupa­kan hal yang menggembirakan karena tindakan ini sangat pen­
ting dan menjadi faktor kunci bagi siswa untuk melakukan tindakan

Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah | 89


penyelamatan dan tindakan lain yang diperlukan untuk merespons
keadaan darurat bencana (Diagram 3.28).
Bab ini menginformasikan bahwa kesiapsiagaan komunitas se­ko­
lah mengalami sedikit kenaikan, hanya satu level dari kurang siap
menjadi hampir siap antara tahun 2006 dan 2009. Tingkat kesiap­
siagaan bervariasi antarkomponen komunitas sekolah dengan kenaik­
an tertinggi terjadi pada siswa. Sebaliknya, institusi sekolah meng­
alami kenaikan paling rendah, kondisi ini memperlambat kenaikan
kesiap­siagaan komunitas sekolah secara keseluruhan. Sedangkan
ke­siap­siagaan guru berada di antara kedua komponen lainnya, sedi­
kit di bawah siswa tetapi berada cukup jauh di atas institusi seko-
lah. Kenaik­an terjadi pada setiap parameter kesiapsiagaan dengan

Diagram: 3.28 Persentase Siswa Menurut Tindakan yang Akan Dilakukan Apa-
bila Terdapat Tanda-Tanda Tsunami
99.5 94.6
92.7
100 89.7

90
73.7
80 65

70
60
50
40
30
20
10
0
Menjauh pantai/lari ke Bergegas menuju Menenangkan diri/tdk
tempat yang tinggi tempat pengungsian panik

2006 2009

Sumber: Kajian Model Sekolah Siaga Bencana, LIPI 2009


Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana
Alam, LIPI (2006).

90| Sekolah Siaga Bencana: ...


kenaik­an tertinggi terjadi pada parameter kemampuan memobilisasi
sumber daya sekolah dan kenaikan terendah terjadi pada parameter
penge­tahuan. Kenaikan ini berkaitan erat dengan kegiatan sosialisasi
dan pendidikan kesiapsiagaan kepada siswa dan guru, dan persiap­
an piloting sekolah siaga bencana yang dilakukan oleh Compress-
LIPI.[]

Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah | 91


92
BAB IV
Model Sekolah Siaga Bencana:
Pembelajaran dari Pilot
Sekolah Siaga Bencana

Menyadari rentannya komunitas sekolah dan pentingnya kesiap-


siagaan mengantisipasi bencana di wilayah yang rawan gempa dan
tsunami, beberapa lembaga telah mengembangkan “Pilot Seko-
lah Siaga Bencana” di daerah rawan bencana. Hasil “Pilot Sekolah
Siaga Bencana” di Kota Bengkulu yang dilakukan Compress-LIPI
tahun 2008 menggambarkan masih terbatasnya peningkatan kesiap­
siagaan komunitas sekolah. Kondisi ini memberikan pelajaran yang
penting untuk pengembangan model sekolah siaga bencana. Bab
ini mendiskusikan model siaga bencana yang difokuskan pada kebi-
jakan kesiapsiagaan sekolah dalam mengantisipasi bencana, materi
kesiapsiagaan, kelembagaan, dan mobilisasi sumber daya yang terse-
dia di sekolah.

1. Kebijakan tentang Kesiapsiagaan Sekolah


Kebijakan tentang kesiapsiagaan sekolah dalam mengantisipasi ben-
cana sangat penting dan memegang peran utama dalam pening­katan
kesiapsiagaan komunitas sekolah. Kebijakan, parameter kedua dari
framework kesiapsiagaan mengantisipasi bencana, merupakan acuan
atau panduan untuk melakukan berbagai kegiatan dan upaya yang
sangat diperlukan komunitas sekolah agar dapat mengurangi risiko
apabila terjadi bencana alam. Kebijakan sekolah adalah landasan
bagi komunitas sekolah untuk mengembangkan kesiapsiagaan, baik

93
melalui proses belajar mengajar mata pelajaran wajib yang rele­
van dan mata pelajaran muatan lokal (mulok), maupun melalui
pengembanga­n diri dalam kegiatan ekstra kurikuler.
Tingkat kesiapsiagaan kebijakan sekolah untuk mengantisipasi
bencana alam didasarkan pada indikator keberadaan kebijakan atau
program pendidikan kesiapsiagaan sekolah di tingkat Kota/Kabu-
paten dan di tingkat sekolah. Kebijakan sekolah pada dasarnya dapat
dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu:
» Peningkatan pengetahuan dan keterampilan komunitas sekolah
(guru dan siswa) untuk mengantisipasi bencana, termasuk
• Pengintegrasian materi kesiapsiagaan dalam pelajaran (wajib
dan muatan lokal yang relevan) dan kegiatan ekstrakurikuler;
• Pelaksanaan simulasi evakuasi secara reguler.
» Peningkatan kapasitas sekolah yang terdiri dari:
• Pembentukan organisasi pengelola kesiapsiagaan, seperti gu-
gus siaga bencana;
• Pengelolaan pemenuhan kebutuhan dasar komunitas sekolah,
termasuk back-up atau duplikasi dokumen-dokumen penting;
• Sarana dan prasarana kesiapsiagaan sekolah, seperti peralatan
untuk peringatan dini bencana, rencana untuk merespons
kondisi darurat, pertolongan pertama dan evakuasi;
• Peningkatan kualitas/ketahanan bangunan fisik sekolah;
• Pengalokasian dana untuk kegiatan kesiapsiagaan sekolah.

Keberadaan kebijakan sekolah diukur dari beberapa poin, se­


perti Surat Keputusan (SK) atau surat edaran atau keputusan rapat
dewan guru yang berkaitan dengan kebijakan yang sudah dikemuka­
kan di atas.

94| Sekolah Siaga Bencana: ...


Gambaran Kebijakan Kesiapsiagaan Sekolah di Kota Bengkulu
Hasil kajian mengungkapkan bahwa sekolah SD di Kota Bengkulu
belum siap dengan kebijakan untuk mengantisipasi bencana alam
(penjelasan detail lihat bab III). Sekolah belum mempunyai kebi-
jakan yang berkaitan dengan kesiapsiagaan sekolah. K­eadaan ini
berkaitan erat dengan belum adanya kebijakan dari Dinas Pendidika­n
Nasional (Dinas Diknas) di tingkat Provinsi Bengkulu maupun di
tingkat Kota Bengkulu. Sekolah belum berinisiatif u­ntuk mengeluar­
kan kebijakan karena belum tersedianya panduan atau acuan dalam
pembuatan kebijakan kesiapsiagaan sekolah. Gambara­n ini juga ber-
laku pada sekolah yang telah mendapat pelatihan dan difasilitasi oleh
Compress-LIPI dan telah dinyatakan sebagai Pilot Sekolah Siaga
Bencana di Kota Bengkulu.

Dinas Diknas Tingkat Provinsi


Dinas Diknas Provinsi Bengkulu belum mengeluarkan kebijakan
yang tertulis berkaitan dengan kesiapsiagaan sekolah dalam mengan-
tisipasi bencana alam, termasuk gempa bumi dan tsunami. N­amun,
Pimpinan Dinas telah memberikan imbauan kepada setiap sekolah
untuk melakukan simulasi gempa, terutama tindakan yang perlu
dilakukan apabila terjadi gempa, seperti berlari keluar dan berlin­
dung di tempat yang aman. Imbauan ini dikemukakan pada rapat
kepala sekolah. Sedangkan imbauan yang berkaitan dengan pening-
katan pengetahuan berupa materi atau bahan ajar belum dilakukan.
I­mbauan secara lisan dari pimpinan ini tidak efektif, karena tidak
ada sanksi bagi kepala sekolah yang tidak melaksanakannya.

Dinas Diknas Tingkat Kota


Gambaran yang serupa juga terjadi pada Dinas Diknas Kota Beng-
kulu. Dinas Diknas Kota juga belum siap dengan kebijakan yang
berkaitan dengan kesiapsiagaan sekolah dalam mengantisipasi
bencana alam. Dinas Diknas Kota Bengkulu belum mempunyai

Model Sekolah Siaga Bencana: ... | 95


k­ebijakan secara tertulis. Kepedulian pihak dinas akan penting-
nya kesiapsiagaan sekolah masih terbatas. Namun pejabat Diknas
meng­akui bahwa pendidikan kesiapsiagaan ini diperlukan meng­ingat
Bengkulu rawan terhadap gempa dan tsunami. Kota ini bahkan per-
nah mengalami beberapa kali bencana gempa. Kebijakan tentang
kesiapsiagaan terhadap bencana, meskipun dianggap penting, belum
menjadi prioritas.
Namun, upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan kesiap-
siagaan sekolah mengantisipasi bencana sudah mulai dirintis. Hal
ini diindikasikan dari dikeluarkannya surat oleh Kepala Dinas Dik-
nas Kota Bengkulu untuk memasukkan materi siaga bencana dalam
kegiatan Masa Orientasi Siswa (MOS) untuk tahun ajaran 2009.
Sura­t tersebut tidak sepenuhnya ditanggapi oleh sekolah, mengingat
banyak­nya kegiatan yang telah dimasukkan dalam agenda MOS, dan
waktu penerimaan surat juga sangat dekat dengan acara, sehingga ti-
dak cukup waktu untuk mempersiapkan materi bencana alam dalam
acara tersebut.
Kesiapsiagaan sekolah dalam mengantisipasi bencana masi­h
dalam tataran wacana di Kota Bengkulu. Kesiapsiagaan akan di­
masuk­kan dalam pelajaran muatan lokal (mulok) dan kegiatan ekstra
kurikuler, dan untuk kesiapan mental akan dimasukkan dalam pelajar­
an agama. Untuk itu pemerintah kota akan mengadakan pelatihan
guru dan pengurus sekolah, rencananya akan menggunakan anggar­
an tahun 2010. Pemerintah kota rencananya juga akan membangun
Taman Pendidikan, termasuk unit bencana.

Tingkat Sekolah
Absennya kebijakan pendidikan kesiapsiagaan di tingkat Provinsi
Bengkulu dan Kota Bengkulu juga berimbas pada kebijakan di
tingkat sekolah. Sekolah-sekolah juga belum mempunyai kebijakan
pendidikan kesiapsiagaan, karena pihak sekolah masih tergantung
pada Dinas Diknas.

96| Sekolah Siaga Bencana: ...


Gambaran kesiapsiagaan kebijakan tingkat sekolah diperoleh
dari dua sumber, yaitu: sekolah yang menjadi pilot sekolah siaga
bencana (SDN 57) dan sekolah yang tidak menjadi pilot sekolah
siag­a bencana (SDN 27 dan SDN 32). Kesiapsiagaan kedua sekolah
ini telah dikaji tahun 2006, yaitu sebelum adanya intervensi pendidik­
an dan pelatihan kesiapsiagaan mengantisipasi bencana.
SDN 57 adalah sekolah dasar yang dijadikan sebagai pilot seko-
lah siaga bencana oleh Compress-LIPI tahun 2008. Keberhasilan
pilot sekolah siaga bencana ini menggunakan lima parameter kesiap­
siagaan komunitas sekolah dalam mengantisipasi bencana alam, sama
seperti pengukuran kesiapsiagaan bencana untuk SDN 27 dan SDN
32. Kelima parameter tersebut adalah pengetahuan, kebijakan, ren-
cana tanggap darurat, sistem peringatan bencana dan kemampuan
untuk memobilisasi sumber daya. Pada bagian ini pembelajaran akan
difokuskan pada salah satu parameter, yaitu kebijakan sekolah yang
menjadi payung pelaksanaan kesiapsiagaan sekolah.

Gambaran Kesiapsiagaan Kebijakan di SDN 57


“Pilot Sekolah Siaga Bencana”
SDN 57 sebagai sekolah yang telah dipersiapkan dan dijadikan pilot
sekolah siaga bencana (penjelasan detail dapat dilihat pada bab II)
idealnya telah siap dalam mengantisipasi bencana, khususnya ben-
cana gempa bumi dan tsunami. Demikian juga dengan kebijakan,
sekolah seharusnya sudah mengeluarkan kebijakan yang relevan.
Tetapi, hasil kajian mengungkapkan bahwa sekolah ini belum siap
dengan kebijakan, diindikasikan dari belum tersedianya kebijakan
secara tertulis yang berkaitan dengan kesiapsiagaan sekolah dalam
mengantisipasi bencana gempa dan tsunami.
Sekolah juga belum mempunyai Surat Keputusan (SK) tentan­g
organisasi pengelola atau gugus siaga bencana, padahal gugus siag­a
bencana telah dibentuk (difasilitasi oleh Compress-LIPI) pada wak-
tu mempersiapkan sekolah sebagai pilot sekolah siaga tahun 2008.

Model Sekolah Siaga Bencana: ... | 97


K­epala sekolah yang terlibat langsung dalam kegiatan persiapan
tersebut, bahkan sudah lupa akan gugus siaga bencana di sekolah­
nya, siapa saja yang terlibat dan apa keterlibatan masing-masing ang­­
gota gugus.
Keadaan ini mengindikasikan tidak adanya tindak lanjut ke­giatan
setelah sekolah ini dipersiapkan menjadi pilot sekolah. Bagan gugus
sekolah siaga bencana yang telah dibuat sudah disimpan di gudang
dan memerlukan waktu untuk mengambilnya kembali. Hal ini ter-
jadi karena kurangnya bimbingan dan kontrol dari Compress-LIPI.
Padahal, sekolah ini masih membutuhkan bimbingan untuk menin-
daklanjuti persiapan yang telah dilakukan.
SDN 57 juga belum mempunyai kebijakan untuk meng­integrasi­
kan materi kesiapsiagaan dalam pelajaran wajib yang rele­van, pela-
jaran mulok dan kegiatan ekstra kurikuler. Kepala sekolah dalam
rapat guru memberikan kesempatan pada guru kelas untuk secara
leluasa memberikan materi siaga bencana, dan pada guru mulok
untu­k memberikan materi bencana dalam kegiatan pengembangan
diri siswa. Pemberian materi, baik substansi, waktu maupun evalua­
si­nya dibebaskan pada guru kelas.
Imbauan seperti ini tentu saja kurang efektif, karena mem-
berikan kebebasan pada guru tanpa aturan dan sanksi yang jelas
sehingg­a pemberian materi sangat tergantung pada inisiatif guru.
Guru yang punya inisiatif akan mengajarkan materi kesiapsiagaan,
dan sebaliknya dengan guru yang tidak punya inisiatif. Dengan
demikian, sekolah ini belum mempunyai standar dalam penyampaian
materi, baik ruang lingkup atau materi pokok yang harus diajarkan,
karena itu kesiapan terhadap pengetahuan yang harus diketahui
siswa juga tidak dapat diukur.
SDN 57 belum mempunyai kebijakan untuk melakukan latihan
atau simulasi evakuasi secara rutin, meskipun telah dipersiapkan se-
bagai pilot sekolah siaga bencana. Kegiatan simulasi baru dilakukan
sekali pada saat dilakukan pelatihan guru dan persiapan sekolah

98| Sekolah Siaga Bencana: ...


menjadi pilot. Kegiatan ini difasilitasi oleh Compress-LIPI bekerja
sama dengan Pemerintah Kota dan Lembaga Pemerhati kesiap-
siagaan terhadap bencana, seperti PMI. Sekolah ini belum melaku-
kan simulasi lagi, menurut kepala sekolah disebabkan kendala dana
dan kesibukan para guru dalam menjalankan kewajibannya. Meski-
pun demikian, kepala sekolah telah mengeluarkan kebijakan untuk
merespons kondisi darurat bencana yang dikemukakan secara lisan
dalam rapat dewan guru pada akhir tahun ajaran 2008/2009 dan
awal tahun 2009/2010. Kebijakan ini lebih tepat disebut instruksi,
yaitu:
» “Jika ada bencana, anak pulang”, dijemput keluarga atau pu-
lang sendiri
» Penyelamatan siswa dilakukan di titik pengumpul (lapangan di
muka sekolah)

2. Materi Kesiapsiagaan
Pengetahuan tentang bencana dan tindakan yang perlu dilakukan
sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana sangat diperlukan dan
menjadi parameter utama untuk mengukur kesiapsiagaan dalam
mengantisipasi bencana. Pengetahuan tentang kesiapsiagaan bencana
ini idealnya tercantum dalam materi yang dipelajari siswa di sekolah.
Materi kesiapsiagaan pada dasarnya mencakup dua bagian, yaitu:
» Pengetahuan tentang fenomena alam dan bencana alam, khu­sus­
nya gempa dan tsunami; dan pengetahuan tentang tindakan yang
harus dilakukan sebelum, saat dan setelah terjadi bencan­a.
» Keterampilan untuk merespons kondisi darurat agar dapat
mengu­rangi korban bencana

Materi kesiapsiagaan idealnya diberikan pada siswa melalui pe-


lajaran wajib yang relevan, pelajaran muatan lokal (mulok), dan ke-
giatan ekstra kurikuler (ekskul). Ketiga bentuk pelajaran/kegiatan
ini saling melengkapi satu dengan lainnya, pelajaran wajib lebih

Model Sekolah Siaga Bencana: ... | 99


menekankan pada pengetahuan/teori, sedangkan pelajaran mulok
dan kegiatan ekskul pada pengetahuan dan keterampilan. Materi
pada masing-masing pelajaran seharusnya tecermin dalam silabus,
termasuk materi pokok atau bagian dari materi pokok yang akan
dipelajari, indikator, model pembelajaran, waktu dan sumber belajar.
Dengan demikian dapat ketahui cakupan materi dan keterampilan
yang akan diperoleh siswa menurut kelas dan tingkatan pendidikan.
Pemberian materi ini dalam pelaksanaannya harus disesuaikan de­
ngan kebutuhan dan kondisi masing-masing sekolah atau daerah.

Integrasi Materi Kesiapsiagaan dalam Mata Pelajaran Wajib


yang Relevan
Materi tentang bencana dan kesiapsiagaan mengantisipasi bencana
idealnya diintegrasikan dengan mata pelajaran wajib yang relevan
yang disesuaikan menurut kelas. Materi dan pelajaran yang relevan
terdiri dari:
» Pengetahuan dasar tentang gempa dan tsunami relevan diberi-
kan pada siswa untuk pelajaran
• Tematik “Peristiwa alam” untuk siswa sekolah dasar kelas 1,
kelas 2, dan kelas 3
• IPA untuk siswa kelas 4, kelas 5, dan kelas 6 dapat diberikan
pada pelajaran IPA

Materi pengetahuan dasar perlu dilengkapi dengan keterampil­


an dan tindakan yang diperlukan untuk mengurangi risiko bencana.
Pengetahuan, keterampilan dan tindakan ini mencakup:
» Pengetahuan tentang tempat dan jalur evakuasi dan tindakan
penyelamatan menuju tempat evakuasi relevan. Pengetahuan
dan keterampilan ini diberikan pada siswa pada pelajaran olah
raga. Siswa dapat berlatih lari dari sekolah ke tempat aman,
denga­n demikian dapat diperkirakan waktu tempuh untuk sam-
pai ke tempat evakuasi/aman.

100| Sekolah Siaga Bencana: ...


» Pengetahuan fenomena alam dan pentingnya kesiapsiagaan
mengantisipasi bencana alam dari perspektif agama relevan
diberikan pada siswa untuk pelajaran agama. Dalam pelajaran
agama juga perlu ditumbuhkembangkan kepekaan dan kepedu-
lian sosial untuk tolong menolong dalam upaya peningkatan
kesiapsiagaan dan menghadapi kondisi darurat apabia terjadi
bencana.
Pengintegrasian materi kesiapsiagaan bencana dengan mata
pelajaran wajib belum sepenuhnya dilakukan. Kepala sekolah sebe­
tulnya sudah memberikan imbauan pada guru kelas untuk mem-
berikan materi tersebut dalam pelajaran tematik “peristiwa alam”
pada siswa kelas 1 sampai kelas 3, dan pelajaran IPA untuk kelas 4
sampai kelas 6. Tetapi imbauan ini belum sepenuhnya dilaksanakan
oleh semua guru, karena guru bebas untuk melaksanakan atau tidak
melaksanakan.
Imbauan Kepala SDN 57 ini dapat lebih efektif pelaksanaan-
nya apabila imbauan tersebut dituangkan secara tertulis dan menjadi
kebijakan dan ketentuan yang harus dilaksanakan oleh semua guru
kelas. Untuk itu, materi tersebut harus dimasukkan ke dalam sila-
bus, menjadi materi pokok atau bagian materi pokok tersen­diri leng-
kap dengan indikator dan metode pembelajaran. Dengan demikian,
materi ini dapat dievaluasi, untuk mengetahui tingkat kesiapsiagaan
siswa.
Pengintegrasian materi kesiapsiagaan bencana tentu saja berim-
plikasi pada keberadaan materi tersebut di sekolah. Materi tentang
kesiapsiagaan bencana untuk sekolah dasar masih sangat terbatas.
Untuk SDN 57 materi yang tersedia masih terbatas pada materi
yang diberikan oleh Compress-LIPI. Materi yang lengkap sebetul-
nya sudah tersedia dalam Serial Buku Pesisir dan Laut Kita mulai
dari kelas 1 sampai dengan kelas 6 yang dibuat oleh Bidang Edukasi
COREMAP LIPI, namun buku-buku ini baru diberikan setelah ka-
jian ini dilaksanakan di sekolah tersebut.

Model Sekolah Siaga Bencana: ... | 101


Muatan Lokal (Mulok) Siaga Bencana
Bengkulu sebagai daerah yang secara geologi dan geografi rentan
terhadap bencana gempa bumi dan tsunami, pengetahuan ten-
tang bencana dan keterampilan untuk mengurangi risiko bencana
sanga­t vital bagi masyarakat, termasuk komunitas sekolah di kota
ini. Pening­katan pengetahuan dan keterampilan sangat penting dan
perlu segera dilakukan.
Pelajaran muatan lokal (mulok) merupakan media belajar yang
sangat relevan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
siswa dalam mengantisipasi bencana. Sekolah dapat memfokuskan
pelajaran mulok untuk meningkatkan kesiapsiagaan siswa. Denga­n
demikian, waktu yang dialokasikan untuk materi ini bisa lebih pan-
jang, sehingga guru mulok dapat lebih fokus dan leluasa untuk
memberikan pengetahuan dan keterampilan pada siswa.
Pelajaran mulok siaga bencana agar dapat dilaksanakan secara
efektif harus memenuhi ketentuan seperti pelajaran wajib, yaitu
mempunyai Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
Silabus untuk mulok kesiapsiagaan harus mencakup Standar Kom-
petensi (SK) dan Kompetensi/Kemampuan Dasar (KD) kesiap-
siagaan yang harus dicapai oleh siswa. Silabus sangat diperlukan
untuk perencanaan pelajaran pada periode tertentu (satu semester
atau satu tahun), cakupan materi yang akan dipelajari, kegiatan pem-
belajaran, indikator capaian, waktu belajar, penilaian dan sumber
belajar. Sedangkan RPP merupakan rencana pembelajaran untuk
satu pertemuan atau beberapa kali pertemuan untuk mencapai suatu
kompetensi dasar.
Pelajaran mulok kesiapsiagaan yang dikembangkan berdasarka­n
ketentuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang ber-
laku akan sangat membantu dalam pengembangan sekolah siaga
bencana. Siswa bisa mendapatkan pengetahuan dan keterampil­an
yang dibutuhkan sesuai dengan kelasnya. Kesiapsiagaan siswa juga

102| Sekolah Siaga Bencana: ...


dapat diukur dari indikator-indikator dan penilaian yang telah ditentu­
kan dalam silabus.
Tantangan yang dihadapi adalah penyusunan silabus per kelas
yang harus dilakukan oleh guru. Padahal hasil kajian mengungkap-
kan kesiapsiagaan sebagian besar guru juga masih terbatas. Pening-
katan pengetahuan dan keterampilan guru tentang kesiapsiagaan
dalam mengantisipasi bencana harus ditingkatkan, melalui berbagai
kegiatan seperti pelatihan, sosialisasi dan simulasi serta penyediaan
bahan ajar yang relevan.
Selain peningkatan pengetahuan tentang kesiapsiagaan, pelajar­an
mulok kesiapsiagaan juga perlu meningkatkan keterampilan untu­k
merespons kondisi darurat apabila terjadi bencana. Peran guru mu-
lok sangat penting untuk meningkatkan kesiapsiagaan komunitas
sekolah dalam mengantisipasi bencana alam.

Kegiatan Ekstra Kurikuler (Ekskul)


Kesiapsiagaan mengantisipasi bencana, di samping pentingnya me-
ningkatkan pengetahuan, juga perlu meningkatkan keterampilan
dan mempersiapkan sarana dan prasarana untuk merespons kondisi
darurat dan mengurangi risiko bencana. Keterampilan yang perlukan
terutama berkaitan erat dengan:
» Penyelamatan diri ketika terjadi bencana
» Pertolongan pertama (PP) dan evakuasi

Penyelamatan Diri
Keterampilan menyelamatkan diri ketika terjadi bencana sangat di­
perlu­kan dalam kesiapsiagaan mengantisipasi bencana. Bentuk ke­
terampilan adalah tindakan yang dilakukan untuk melindungi diri
dan menyelamatkan diri ketika terjadi gempa dan tsunami. Penge-
tahuan tentang tindakan saja belum cukup tanpa dilengkapi dengan
keteram­pilan.

Model Sekolah Siaga Bencana: ... | 103


Keterampilan penyelamatan diri dapat dicapai dengan latihan
yang dilakukan secara teratur. Siswa berlatih tindakan-tindakan yang
harus dilakukan apabila terjadi gempa di sekolah dan tindakan-tindak­
an yang harus dilakukan apabila mendengar adanya peringatan akan
terjadinya tsunami. Siswa, dengan latihan, mengetahui tindakan apa
yang dilakukan dan ke mana mereka harus menyelamatkan diri.

Keterampilan Pertolongan Pertama (PP) dan Evakuasi


Keterampilan untuk melakukan pertolongan pertama (PP) dan
evakuasi sangat diperlukan untuk mengurangi risiko bencana. Kete­
rampilan ini tentu saja disesuaikan dengan kemampuan siswa menu-
rut kelas dan tingkatan pendidikan. Untuk tingkatan sekolah dasar,
keterampilan yang dapat dilatihkan antara lain:
» Perawatan luka ringan
» Perawatan siswa yang pingsan
» Pembuatan tandu dan tenda sederhana untuk kondisi darurat
bencana
» Pengolahan air bersih dan makanan sederhana untuk kondisi
darurat bencana
Keterampilan PP dan evakuasi sebetulnya bukan kegiatan yang
baru di sekolah. Di sekolah dasar terdapat Unit Kesehatan Sekolah
(UKS) dan program dokter kecil (dulu pernah dilakukan di seko-
lah). Unit atau program ini sangat relevan untuk PP. Keterampilan
PP perlu terus ditumbuhkembangkan pada siswa, terutama siswa
kelas yang tinggi, kelas 4 sampai kelas 6. Pelatihan-pelatihan perlu
dilakukan oleh sekolah, dan agar tidak mengganggu jam belajar, ke-
giatan ini dilakukan pada kegiatan ekstra kurikuler. Materi pelatihan
termasuk pengetahuan dan keterampilan dalam menangani luka
ringan dan siswa yang pingsan, disesuaikan dengan kemampuan
siswa menurut kelas.
Keterampilan penyelamatan diri dan evakuasi juga sangat rele­
van dengan kegiatan ekskul kepramukaan. Kegiatan kepramukaan

104| Sekolah Siaga Bencana: ...


sayangnya akhir-akhir kurang diminati sehingga mengalami kemun-
duran. Hal ini mungkin dikarenakan kegiatan yang dilakukan kurang
variatif, lebih identik dengan baris berbaris dan kedisiplinan (se­perti
yang dilakukan oleh salah satu guru SD yang menjadi sampel dalam
kajian ini). Revitalisasi kegiatan kepramukaan harus segera dilaku-
kan. Kegiatan pramuka perlu dikemas menjadi kegiatan yang dapat
meningkatkan kesiapsiagaan, termasuk penyelamatan diri, keteram­
pilan tali-temali yang sangat diperlukan untuk kondisi darurat, se­
perti pembuatan tandu dan tenda, dan pengolahan air bersih serta
makanan.
Peran sekolah sangat penting untuk merevitalisasi kegiatan
UKS/dokter kecil dan kepramukaan dalam upaya meningkatkan
kesiapsiagaan sekolah mengantisipasi bencana alam. Peran ini dapat
dilakukan melalui beberapa hal, yaitu:
» Meningkatkan kapasitas (kemampuan materi dan keterampila­n)
guru yang relevan dengan kegiatan ini, seperti guru olahrag­a,
guru mulok dan guru pengembangan diri dalam kegiatan ekskul.
» Mengaktifkan kegiatan UKS/dokter kecil dan kepramukaan.
Upaya yang perlu dilakukan adalah mengembangkan silabus
atau kegiatan yang jelas dan terukur dan mengimplementasikan
dalam kegiatan ekskul.
» Mengembangkan kerjasama atau net working dengan lembaga
yang relevan, seperti PMI, Pramuka dan Dinas Kesehatan/
Puskesmas.

3. Lembaga Pengelola Siaga Bencana Sekolah


Kesiapsiagaan sekolah dapat diwujudkan dengan melibatkan seluru­h
komponen sekolah utamanya kepala sekolah, guru, siswa dan pe­tu­
ga­s sekolah lainnya. Di samping itu, masyarakat yang bermukim di
sekitar sekolah, orang tua siswa, organisasi pemerhati kebencana­an
dan pendidikan, dan pemerintah daerah juga berperan dalam m­e­nun­­
jang terwujudnya siaga bencana sekolah. Keseluruhan komponen

Model Sekolah Siaga Bencana: ... | 105


tersebut di atas mempunyai peran dan tanggung jawab masing-
m­asing.
Peran dan tanggung jawab masing-masing unsur dalam kom-
ponen siaga bencana sekolah mencakup semua kegiatan yang di-
lakukan untuk mengembangkan parameter kesiapsiagaan, mulai
dari peningkatan pengetahuan, pengembangan kebijakan, peringatan
dini, rencana tanggap darurat hingga mobilisasi sumber daya. Upaya
peningkatan pengetahuan tentang bencana, misalnya menjadi tang-
gung jawab pengelola sekolah (kepala sekolah dan guru) dengan
difasilitasi dari pemerintah daerah, Diknas setempat dan organisasi
pemerhati masalah kebencanaan. Demikian pula upaya pengem-
bangan kebijakan di tingkat sekolah, peran kepala sekolah yang
didukung oleh guru dan staf sekolah sangat penting. Kebijakan di
tingkat sekolah akan lebih mudah dikembangkan apabila telah ada
landasan kebijakan yang berada pada tingkatan lebih tinggi, misalnya
pengembangan kebijakan yang telah dilakukan oleh Diknas Tingkat
Provinsi atau Tingkat Kabupaten/Kota. Peran dan tanggung jawab
kepala sekolah, guru serta semua pihak yang terlibat dalam penge-
lolaan sekolah juga cukup penting dalam mengembangkan sistem
peringatan dini di sekolah. Pengembangan sistem peringatan dini ini
dimulai dari membuat kesepakatan tentang alat yang dipakai, prose-
dur tetap (protap), sosialisasi dan penyebarluasan informasi terkait
dengan penggunaan alat dan protapnya.
Kegiatan berkaitan dengan rencana tanggap darurat melibat-
kan semua unsur dalam komponen siaga bencana sekolah. Rencana
tanggap darurat dibuat oleh sekolah dengan tujuan agar semua kom-
ponen sekolah dapat mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan
dan siapa yang terlibat di dalamnya. Semua komponen siaga bencana
sekolah, dalam mengembangkan rencana tanggap darurat, kepala
sekolah, guru, siswa dan komite sekolah perlu bermusyawarah un-
tuk memperoleh kesepakatan tentang tindakan yang perlu dilakukan
oleh masing-masing komponen. Agar lebih mudah dalam pembagian

106| Sekolah Siaga Bencana: ...


peran dan tanggung jawab setiap komponen sekolah seperti siapa
yang bertugas membunyikan peringatan, siapa yang bertanggung
jawab melakukan penyelamatan, pertolongan pertama, evakuasi dan
menyiapkan logistik perlu dilakukan pembagian kelompok yang ter-
gabung ke dalam Gugus Siaga Bencana. Kelompok di dalam Gugus
Siaga Bencana ini terdiri lima kelompok, yaitu Kelompok Peringatan
Dini, Kelompok Pertolongan Pertama, Kelompok Penyelamatan dan
Evakuasi, Kelompok Logistik dan Kelompok Keamanan.
» Kelompok peringatan bencana
Kelompok ini memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan
dan menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan keben-
canaan kepada seluruh komponen sekolah. Kelompok ini perlu
merumuskan dan menyepakati mengenai bentuk peringatan dini
dan mekanisme pelaksanaannya di sekolah. Setelah terdapat ke-
sepakatan tentang alat dan mekanisme pelaksanaannya, kelom-
pok ini bertugas menyosialisasikan hasil kesepakatan tersebut
kepada semua komponen sekolah.
» Kelompok pertolongan pertama
Tugas utama kelompok ini adalah melakukan pertolongan per-
tama kepada korban untuk menyelamatkan jiwa. Jika diperlukan
melakukan rujukan korban ke Puskesmas atau rumah sakit ter-
dekat untuk mendapatkan penanganan medis lanjutan. Berkait­
an dengan kesiapsiagaan sekolah kelompok ini juga bertugas
melakukan upaya penyelamatan berbagai dokumen, file dan aset
penting yang dimiliki sekolah, seperti rapor, ijazah, file admin­
strasi sekolah dan surat-surat penting lainnya yang dimiliki oleh
sekolah.
» Kelompok evakuasi
Kelompok ini berperan penting pada saat terjadi bencana.
T­ugas utamanya adalah mencari, membantu dan menangani kor­
ban serta mengevakuasi korban yang berada di daerah b­ahaya

Model Sekolah Siaga Bencana: ... | 107


di sekolah untuk di bawa ke tempat yang aman. Bekerja sama
dengan kelompok pertolongan pertama, kelompok ini melaku-
kan rujukan korban ke rumah sakit atau Puskesmas terdekat.
Di samping penanganan terhadap korban, kelompok ini juga
bertugas melakukan penyelamatan file, dokumen dan asse­t mi-
lik sekolah.
» Kelompok logistik
Jika terjadi bencana kelompok ini memiliki peran apabila terjadi
pengungsian para siswa dan guru. Pada saat bencana kelompok
ini bertugas mendirikan tempat pengungsian sementara, mem-
bentuk pusat informasi (hot line), UKS darurat dapur seko-
lah darurat. Sebelum terjadi bencana, kelompok ini bertugas
menyiap­kan peralatan evakuasi (tenda, tikar), penerangan, alat
transportasi dan komunikasi.
» Kelompok pengamanan
Tugas dan peran utama kelompok ini terutama melakukan
pengawalan dan pengamanan pada saat proses evakuasi. Setelah
terjadi bencana kelompok ini bertugas melakukan pengaman-
an tempat pengungsian, menjaga keamanan terhadap barang-
b­arang logistik yang dipergunakan untuk evakuasi, seperti tenda,
tandu, alat penerangan dan transportasi.

Rincian tugas masing-masing kelompok sebelum, pada saat dan


sesudah terjadi bencana secara lebih terperinci dapat dilihat pada
Tabel 4.1 berikut ini.

108| Sekolah Siaga Bencana: ...


Tabel 4.1 Tugas Masing-Masing Kelompok Dalam Gugus Siaga Bencana

Tugas dan Peran Kelompok Dalam Penanganan Bencana


Kelompok
Sebelum Bencana Saat Bencana Sesudah Bencana
Peringatan • Menyepakati • Membunyikan • Menginformasi-
Dini tanda bahaya, tanda bahaya kan bahwa
bunyi dan siapa untuk melaku- keadaan sudah
yang berwenang kan penyela­ aman
membunyikan matan diri
• Mempersiapkan
alat dan tanda
bahaya yang telah
disepakati
• Melakukan sosial­
isasi pada seluruh
komponen
sekolah tentang
tanda peringatan
dini yang telah
dise­pakati
• Melakukan
pengecekan alat
atau tanda per-
ingatan dini se-
cara reguler.
Pertolongan • Memberikan • Mengingatkan • Melakukan
Pertama pembekalan siswa untuk pendataan dan
kepada siswa ten- melindungi diri menginfor-
tang pertolongan • Memberikan masi-kan jumlah
pertama pertolongan korban baik yang
• Menyiapkan pertama kepada luka ringan, berat
dan memasti- siswa atau guru ataupun yang
kan keberadaan yang cidera meninggal.
peralatan PP di • Melakukan
sekolah komunikasi
kepada orang tua
siswa tentang
keberadaan siswa
yang menjadi
korban.

Model Sekolah Siaga Bencana: ... | 109


Tugas dan Peran Kelompok Dalam Penanganan Bencana
Kelompok
Sebelum Bencana Saat Bencana Sesudah Bencana
Penyelamatan • Menentukan jalur • Membimbing • Mengevakuasi
dan Evakuasi evakuasi, titik dan meng­arah­ korban
kumpul dan titik kan seluruh • Membantu siswa
aman (tempat komponen yang selamat
pengungsian sekolah untuk berkomunikasi
sementara. melakukan dan memper-
• Bekerja sama evakuasi pada temukan pada
dengan pen- jalur yang telah orang tuanya/ke-
gelola sekolah ditentukan. luarganya.
meng­identifikasi • Melakukan • Melakukan peng­­-
dan menyimpan penyelamatan a­manan file,
ber­bagai doku- file, dokumen dokumen dan
men, file dan as- dan aset milik aset milik se­
set penting milik sekolah. kolah.
sekolah di tempat • Bekerja sama
yang aman. dengan pengelola
sekolah melaku-
kan identifikasi
file, dokumen
dan aset pen­ting
milik sekolah
yang hilang,
rusak dan yang
terselamatkan.

Logistik • Menyiapkan per­ • Mendirkan tem- • Mendata dan


alatan evakuasi pat pengungsian melaporkan
(tenda, tikar), sementara, pendistribusian
penerangan, alat membentuk logistik
transportasi dan pusat informasi
komunikasi (hot line), UKS
• Memfungsikan darurat, dapur
koperasi atau sekolah darurat.
kantin sekolah
sebagai lumbung
atau kebutuh-
an darurat jika
diperlukan dalam
pengungsian.

110| Sekolah Siaga Bencana: ...


• Menyosialisasikan
dan memastikan
tersedianya tas
siaga bencana
pada guru dan
siswa.
Kelompok • Melakukan peng­ • Melakukan • Menjaga ke-
pengamanan awasan terhadap pengawasan amanan tempat
tanda-tanda dan dan pengawal­ pengungsian
jalur evakuasi an pada saat • Melakukan peng-
evakuasi amanan terhadap
logistik yang di-
pergunakan saat
proses evakuasi
dan dalam peng-
ung­sian: alat
evakuasi, sarana
transportasi, sa-
rana penerangan
dll.
• Menjaga keaman-
an dokumen dan
file serta aset
sekolah yang
tercerai-berai
karena bencana.

Hasil kajian terhadap empat SD di Bengkulu menunjukkan


bahwa pembentukan gugus siaga bencana sekolah secara umum be-
lum dilaksanakan. Hal tersebut kemungkinan terkait dengan belum
tersedianya kebijakan yang melandasi pentingnya mengembangkan
sekolah siaga bencana dan pembentukan kelembagaan untuk men-
dukung pelaksanaanya. Di samping dukungan kebijakan, terbangun-
nya sekolah siaga bencana juga memerlukan bimbingan dan fasilitas
dari Dinas Pendidikan tingkat kota, lembaga pemerhati kebencanaan
dan pemerintah daerah. Dukungan masyarakat di sekitar sekolah
melalui komite sekolah juga diperlukan dalam upaya membangun
sekolah siaga bencana.

Model Sekolah Siaga Bencana: ... | 111


4. Peralatan dan Sarana Prasarana
Upaya mewujudkan sekolah siaga bencana memerlukan sarana prasa-
rana yang dapat mendukung setiap kegiatan kesiapsiagaan mengha-
dapi bencana. Jenis sarana dan prasarana yang diperlukan dapat
diperinci menurut jenis kegiatan yang dilakukan untuk mengem-
bangkan siaga bencana sekolah, seperti kebijakan, peningkatan pen-
getahuan, rencana tanggap darurat, peringatan dini dan mobilisasi
sumber daya yang tersedia di sekolah. Perincian jenis sarana dan
prasarana dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Jenis Sarana dan Prasarana yang Diperlukan dalam Pengembangan-
Sekolah Siaga Bencana
Jenis Kegiatan Jenis Prasarana dan Sarana
• Peningkatan penge­ • Materi kesiapsiagaan menghadapi bencana seperti
tahuan dan keter- buku, alat peraga/permainan, poster, spanduk,
ampilan tentang papan siaga, stiker, kaset film dokumentasi tentang
bencana gempa dan tsunami
• Alat peraga/permainan, peralatan elektronika se­
perti VCD, radio kaset, OHP, Komputer, in-Focus.
• Peringatan dini • Alat tanda bahaya: kentongan, lonceng, sirine.
• Alat komunikasi menerima berita dan menyebar­
luaskan informasi: telp, hp, radio, HT, toa.

• Rencana tanggap • Pertolongan pertama:


darurat • Sarana medis praktis pertolongan pertama: obat-
obatan, tandu.
• Pengamanan file, dokumen dan aset penting
sekolah:
• Back up file penting (bentuk soft copy), Lemari
yang kokoh untuk menyimpan dokumen (hard
copy) seperti rapor, ijazah siswa, surat penting
seperti SK dsbnya
• Penyelamatan dan evakuasi:
» Rambu-rambu evakuasi seperti tanda panah,
tanda titik kumpul, tanda evakuasi.

112| Sekolah Siaga Bencana: ...


• Rencana tanggap » Tempat evakuasi yang disepakati sesuai dengan
darurat—lanjutan kapasitas sekolah
» Tenda, terpal, tikar.
• Sarana/alat transportasi: Menggunakan sarana
yang ada di sekolah: motor atau mobil atau akses
untuk dapat menggunakan kendaraan.
• Sarana penerangan: senter, lampu untuk camping
(pelita).
• Logistik: Peralatan sederhana untuk memenuhi
keperluan sekolah darurat.

Secara umum hasil kajian terhadap empat SD di Bengkul­u


menunjukkan bahwa prasarana dan sarana berkaitan dengan pengem­
bangan sekolah siaga bencana masih minim. Sarana yang dimiliki
umumnya merupakan kelengkapan sekolah yang secara rutin dipakai
untuk menunjang kegiatan belajar dan mengajar. K­eberadaan lon-
ceng sekolah, misalnya yang secara rutin dipakai untuk memberi
tanda dimulai dan selesainya jam pelajaran, dapat dipakai u­ntuk
memberikan tanda adanya peringatan dini jika terjadi bencana. Alat
dan kelengkapan PP standar seperti obat merah dan minyak gosok
umumnya juga dimiliki oleh sekolah karena adanya ke­giatan UKS.
Kelengkapan PP ini biasa digunakan untuk memberikan pertolonga­n
pada siswa yang sakit karena kecelakaan atau sakit pada saat jam
sekolah. Umumnya, sekolah belum mempunyai tandu yang dapat
dipakai untuk memberikan pertolongan pertama pada siswa jika
terjadi kecelakaan.

5. Pentingnya Peningkatan Kapasitas Sekolah


Kapasitas sekolah adalah kekuatan dan sumber daya yang dimilik­i
oleh komponen sekolah (siswa dan guru) dan institusi sekolah
yang mampu mencegah, melakukan mitigasi, siap menghadapi dan
melakukan pemulihan dari bencana dengan cepat. Kapasitas yang
dimiliki oleh setiap sekolah dapat diidentifikasi dari beberapa aspek.

Model Sekolah Siaga Bencana: ... | 113


Aspek yang pertama adalah adanya pengetahuan yang cukup dari
guru dan siswa tentang bencana. Pengetahuan yang cukup tentang
bencana akan mengurangi risiko korban dan hilangnya dokumen
penting sekolah. Adanya pengetahuan memberikan pemahaman
bagaimana harus bertindak jika terjadi bencana. Kapasitas sekolah
juga dapat dilihat dari apakah sekolah telah mempunyai kebijakan
terkait dengan kebencanaan. Adanya kebijakan memberikan landasan
bagi pengembangan upaya meningkatkan kesiapsiagaan dalam meng-
hadapi bencana. Aspek lainnya adalah keberadaan sumber daya yang
meliputi dana untuk mengantisipasi bencana, peralatan peringatan
dini, pertolongan pertama dan evakuasi serta sarana lainnya yang
dapat digunakan untuk memobilisasi jika terjadi bencana. Kapasitas
sekolah juga dapat diindentifikasi dari adanya keteram­pilan yang di-
miliki oleh pengelola sekolah dan siswa yang dapat diguna­kan jika
terjadi bencana.
Hasil kajian menunjukkan bahwa secara umum kapasitas me­
mobilisasi sumber daya sekolah dalam menghadapi bencana gempa
dan tsunami di empat SD yang dikaji masih perlu ditingkatkan lagi
untuk lebih mengurangi risiko jika terjadi bencana. Pengetahuan
komponen sekolah (guru, staff dan siswa) tentang bencana relatif
cukup, namun masih perlu peningkatan lagi. Keterampilan terkait
dengan pertolongan pertama dan evakuasi masih minim dan perlu
mendapat perhatian. Sementara itu sumber daya yang dimiliki oleh
sekolah seperti dana untuk mengantisipasi bencana, peralatan perto-
longan dan evakuasi masih memprihatinkan. Kebijakan yang dapat
memberikan landasan untuk melakukan berbagai upaya menganti-
sipasi bencana juga masih sangat minim.
Untuk meningkatkan kapasitas sekolah dapat dilakukan dengan
berbagai cara dan media. Upaya tersebut antara lain adalah pening-
katan pengetahuan, peningkatan keterampilan dan latihan secara
regular.

114| Sekolah Siaga Bencana: ...


» Peningkatan Pengetahuan
Berbagai cara dan media dapat dilakukan untuk meningkatkan
pengetahuan guru dan siswa tentang bencana. Peningkata­n
pengetahuan guru dapat dilakukan melalui training (TOT),
seminar/workshop, diskusi atau sarasehan bersama dan penye-
diaan berbagai bahan/materi (buku, artikel, kaset, film dan alat
perag­a) terkait dengan bencana gempa dan tsunami.
Sementara itu, peningkatan pengetahuan siswa tentang ben-
cana gempa dan tsunami dapat dilakukan melalui berbagai
cara. Di antaranya adalah melalui pengintegrasian materi ke­
siapsiagaan ke dalam mata pelajaran di sekolah seperti pelajaran
IPS, IPA, olah raga, pendidikan agama dll. Cara lainnya adalah
melalui mata pelajaran muatan lokal (mulok). Materi kesiap-
siagaan dalam mulok dikembangkan dan dikemas menjadi mata
pelajaran yang tersendiri. Di samping melalui pengintegrasian
ke dalam mata pelajaran dan mulok, peningkatan pengetahuan
siswa tentang bencana dapat juga dilakukan melalui kegiatan
ekstra kurikuler seperti kegiatan pramuka, PMR, kesenian dll.
(lihat uraian pada subbab 4.2).
Selain berbagai cara dan media seperti tersebut di atas, cara lain
untuk meningkatkan pengetahuan siswa adalah dengan mem-
buat ornamen, spanduk, poster maupun media lain yang berisi
semboyan dan pesan tentang kesiapsiagaan. Berbagai ornamen,
poster, spanduk tersebut dapat dipasang di beberapa tempat
strategis di lingkungan sekolah, sehingga dapat dibaca oleh
semua komponen sekolah maupun orang yang sedang bertamu
di sekolah.
Meningkatkan pengetahuan dan sikap elemen sekolah tentan­g
bencana juga dapat dilakukan dengan cara menyisipkan kegiatan­
kegiatan yang berhubungan dengan kesiapsiagaan dalam acara
tahunan sekolah. Misalnya dalam acara masa orien­tasi siswa
(MOS), acara tutup tahun kegiatan sekolah, acara k­eagamaan

Model Sekolah Siaga Bencana: ... | 115


yang diperingati di sekolah. Selain itu dapat dilakukan pada saat
melakukan kegiatan rapat komite sekolah yang membahas pro-
gram tahunan sekolah, pertemuan orang tua siswa dan penge­
lola sekolah.
» Peningkatan Keterampilan
Berbagai cara dan media dapat dilakukan untuk meningkat-
kan keterampilan guru dan siswa untuk menunjang kegiatan
mengantisipasi bencana. Salah satunya adalah melalui kegiatan
kepramukaan. Dalam kegiatan kepramukaan banyak diajarkan
life skills (kecakapan hidup), seperti membuat air kotor menjadi
bersih-bersih, mendirikan tenda, tali-temali, menolong orang
yang cidera, memasak makanan dalam keadaan darurat dan se-
bagainya. Demikian pula dalam kegiatan Palang Merah Remaja
atau dokter kecil banyak keterampilan yang bisa diaplikasikan
untuk kegiatan mengantisipasi bencana seperti pertolongan per-
tama, cara membantu orang patah tulang, cara mengatasi orang
yang pingsan, mengatasi sesak napas dan sebagainya.
Selain kegiatan kepramukaan dan palang merah remaja atau
dokter kecil, peningkatan keterampilan juga dapat dilakukan
melalui berbagai kegiatan lainnya yang bersifat ‘fun’ atau pe-
nyaluran hobby seperti kegiatan perkemahan, hiking dan naik
gunung. Dalam kegiatan ini banyak keterampilan yang bisa
dikembangkan untuk menunjang tindakan dalam mengantisi-
pasi bencana.
» Latihan secara reguler
Media dan cara untuk meningkatkan kapasitas sekolah yang
cukup penting adalah latihan bersama (simulasi) secara reguler.
Simulasi secara reguler yang melibatkan seluruh komponen
sekolah dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
G­ugus Siaga Bencana yang telah terbentuk. Tujuan dari latih­
an bersama adalah meningkatkan pengetahuan, pemahaman,

116| Sekolah Siaga Bencana: ...


keteram­pilan, kepedulian dan menerapkan sistem peringatan
bencana yang disepakati dalam penanggulangan bencana di
sekolah.

Tahapan yang perlu dipersiapkan dalam melakukan latihan ber-


sama antara lain adalah:
• Membentuk komponen kesiapsiagaan di sekolah (Kelompok
Peringatan Dini, Pertolongan Pertama, Evakuasi dan Penye­
lamatan, Logistik dan Keamanan).
• Mengidentifikasi kapasitas sumber daya sekolah (Jumlah siswa
dan guru yang terlatih dalam penanganan bencana: pertolong­
an pertama, evakuasi dan penyelamatan)
• Menyosialisasikan denah dan rambu evakuasi di sekolah dan
lingkungan sekitar
• Menyepakati tanda peringatan bencana
• Membuat skenario dan lokasi latihan bersama yang disepakati
dan disosialisasikan kepada seluruh komponen sekolah.[]

Model Sekolah Siaga Bencana: ... | 117


118
BAB V
Sekolah Siaga Bencana

Belajar dari pengalaman pilot sekolah siaga bencana dan beberapa


sampel sekolah tingkat Sekolah Dasar (SD) dalam meningkatkan ke-
siapsiagaan sekolah mengantisipasi bencana alam, khususnya gempa
bumi dan tsunami, maka sekolah siaga bencana hanya memfokus-
kan pada kesiapsiagaan komunitas sekolah. Padahal, kesiapsiagaan
komunitas sekolah ini hanya menekankan pada aspek pengetahuan
dan keterampilan atau nonstruktural atau ‘software’ saja tidak cukup
karena korban bencana juga sangat dipengaruhi oleh struktur fisik
bangunan sekolah atau ‘hardwaare’. Kajian ini karena itu merekomen-
dasikan model sekolah siaga bencana harus memenuhi dua kriteria
utama, yaitu aspek nonstruktural berupa kesiapsiagaan komunitas
sekolah dan aspek struktural yaitu kesiapsiagaan fisik sekolah.

1. Sintesis Upaya Peningkatan Kesiapsiagaan


Sekolah di Kota Bengkulu
Kota Bengkulu secara geografi dan geologi merupakan kota rawan
bencana alam, khususnya gempa bumi dan tsunami. Kegiatan pendi-
dikan publik dan kesiapsiagaan masyarakat karena itu menjadi sanga­t
penting dan urgent untuk dilakukan agar dapat mengurangi risiko
bencana. Komunitas sekolah merupakan agent of change yang sangat

Komunitas Sekolah merupakan gabungan dari institusi sekolah, guru dan siswa di
tingkat Sekolah Dasar (SD) atau yang sederajat.

119
potensial untuk menyebarluaskan pengetahuan tentang fenomena
gempa dan tsunami serta memotivasi masyarakat untuk meningkat-
kan kesiapsiagaan agar dapat mengurangi risiko bencana. Namun,
hasil kajian LIPI tahun 2006 menggambarkan bahwa komunitas
sekolah di Kota Bengkulu masih kurang siap dalam mengantisipasi
bencana gempa dan tsunami.
Permasalahan ini mendorong Community Preparedness atau Com-
press-LIPI memfasilitasi pengembangan pendidikan kesiapsiagaan
komunitas sekolah. Compress-LIPI melakukan pendidikan publik
di Kota Bengkulu pascagempa tahun 2007. Berbagai aktivitas di-
lakukan pada level sekolah, seperti pelatihan guru, pelatihan motiva-
tor, dan dukungan ilmu pengetahuan bagi siswa atau children science
support (CSS). Compress-LIPI tahun 2008 mengembangkan “Pilot
Sekolah Siaga Bencana” berdasarkan lima parameter kesiapsiagaan,
yaitu: pengetahuan, kebijakan, rencana tanggap darurat, peringatan
bencana, dan kemampuan memobilisasi sumber daya yang tersedia
pada komunitas sekolah.
“Pilot Sekolah Siaga” tingkat sekolah dasar ditetapkan di SDN
57 yang rentan terhadap tsunami karena letaknya dekat laut. Pro­
ses pembentukan sekolah siaga bencana dilakukan dengan metode
pemaparan, diskusi, kerja kelompok, dan simulasi yang diikuti oleh
semua elemen sekolah (mulai dari kepala sekolah, guru, dan per-
wakilan siswa dari ekstra kurikuler). Metode ini dilakukan untuk
membedah bersama-sama apa yang dapat dilakukan oleh sekolah
dalam rangka meningkatkan kesiapsiagaan per parameter.
Untuk meningkatkan pengetahuan, peserta mencoba menginte­
grasikan kesiapsiagaan sekolah ke dalam kurikulum/materi pelaja-
ran. Selain itu, sekolah juga merancang ornamen sekolah (poster,
spanduk), merancang acara tahunan sekolah, dan mendesain pelati-
han yang dibutuhkan dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan
sikap tentang kesiapsiagaan.

120| Sekolah Siaga Bencana: ...


Kebijakan menjadi parameter terpenting dalam mewujudkan
kesiapsiagaan sekolah. Kebijakan diperlukan untuk dapat melak-
sanakan semua yang sudah disusun dan disepakati bersama. Peserta
merekomendasikan beberapa kebijakan yang harus/setidaknya ada
untuk mendukung upaya peningkatan kesiapsiagaan sekolah se­perti
dikeluarkannya SK dari kepala sekolah untuk kelompok siaga ben-
cana yang telah terbentuk, pengintegrasian materi kesiapsiagaan
ke dalam beberapa materi pelajaran, dan dilaksanakannya simulasi
evakuasi secara rutin.
Peserta, untuk parameter rencana tanggap darurat, membuat
rencana tanggap darurat yaitu apa yang dilakukan sebelum, saat dan
sesudah bencana. Peserta dibagi menjadi kelompok peringatan dini,
pertolongan pertama, penyelamatan dan evakuasi, logistik, dan ke-
lompok keamanan. Masing-masing kelompok menyepakati tugas dan
tanggung jawab sebelum, saat, dan sesudah bencana.
Peserta, untuk parameter sistem peringatan dini, menyepakati
tanda dan alat bunyi untuk menginformasikan jika terjadi gempa
bumi dan tsunami di sekolah. Mereka juga menyepakati siapa yang
bertanggung jawab untuk membunyikan alat tersebut jika terjadi
gempa. Bunyi tersebut juga disepakati untuk kondisi sudah aman.
Peserta, untuk parameter mobilisasi sumber daya, menyepakati
pembentukan gugus atau kelompok siaga bencana, yang terdiri dari
kelompok peringatan bencana, pertolongan pertama, evakuasi, lo-
gistik dan keamanan. Mereka juga menyepakati siapa yang bertang-
gung jawab dalam masing-masing kelompok (baik guru, maupun
siswa perwakilan dari ekstrakurikuler). Selain itu, mereka sepakat
untuk memanfaatkan sumber daya yang dimiliki oleh sekolah jika
terjadi bencana.
Pilot sekolah siaga bencana yang melibatkan semua kompone­n
sekolah (pimpinan sekolah, guru dan siswa) melakukan latihan penye­
lamatan diri terpadu (simulasi evakuasi). Simulasi evakuasi ini juga

Sekolah Siaga Bencana | 121


dilakukan untuk menguji kesiapan semua komponen dari pro­ses
yang telah disepakati. Dari hasil simulasi ini, kemudian dilakukan
evaluasi terhadap semua proses yang telah disepakati disesuaikan
dengan simulasi yang dilaksanakan.
Tujuan utama dari kegiatan pendidikan publik dan piloting
sekolah siaga bencana adalah untuk meningkatkan kesiapsiagaan
komunitas sekolah. Hasil kajian menginformasikan upaya ini hanya
mampu meningkatkan kesiapsiagaan komunitas sekolah satu level,
yaitu dari kurang siap tahun 2006 menjadi hampir siap tahun 2009,
digambarkan dari indeks yang naik dari 47,6 menjadi 58,8. Tingkat
kesiapsiagaan bervariasi menurut komponen, siswa mempunyai
tingkat kesiapsiagaan paling tinggi, sebaliknya, sekolah sebagai insti-
tusi, tingkat kesiapsiagaannya paling rendah, sehingga menghambat
laju peningkatan kesiapsiagaan komunitas sekolah, sedangkan guru
berada di antara kedua komponen lainnya. Kesiapsiagaan komunitas
sekolah mengalami peningkatan untuk semua parameter, meskipun
belum mampu meningkatkan tingkat kesiapsiagaan secara signifikan.
Peningkatan terbesar terjadi pada kemampuan memobilisasi sumber
daya. Peningkatan ini berkaitan erat dengan sosialisasi kepada siswa
dan pelatihan guru serta persiapan pilot sekolah siaga yang dilaku-
kan oleh Compress-LIPI. Peningkatan terkecil terjadi pada parame­
ter pertama, yaitu pengetahuan, hanya naik kurang dari tiga angka.
Kesiapsiagaan institusi sekolah di Kota Bengkulu masih s­angat
memprihatinkan, meskipun telah mengalami kemajuan selama tiga
tahun terakhir. Hal ini diketahui dari tingkat kesiapsiagaan yang
hanya mencapai kategori kurang siap tahun 2009, meningkat hanya
satu level dari tahun 2006, yaitu kategori belum siap. Peningkatan
peringkat ini, jika diperhatikan klasifikasi indeks, masih cukup rentan
karena indeks sekolah masih sangat dekat dengan nilai yang menjadi
pembatas antara kategori belum siap dan kurang siap.
Kondisi kesiapsiagaan sekolah ini perlu mendapat perhatian
serius, mengingat institusi sekolah mempunyai peran yang s­angat

122| Sekolah Siaga Bencana: ...


penting dalam meningkatkan kesiapsiagaan komunitas sekolah. Peng­
alaman kejadian bencana gempa tahun 2000 dan 2007 belum mem-
berikan motivasi yang kuat bagi pimpinan sekolah untuk mening-
katkan kesiapsiagaan. Padahal, Kota Bengkulu termasuk daerah yang
rawan bencana gempa bumi dan tsunami, karena itu upaya pening-
katan kesiapsiagaan mengantisipasi bencana sangat penting untuk
mengurangi risiko bencana, terutama jika bencana terjadi pada saat
jam belajar di sekolah.
Hasil kajian juga mengungkapkan bahwa pilot sekolah siaga
bencana mengalami stagnasi, karena kurangnya bimbingan dan moni­
toring dari Compress-LIPI. Kondisi ini dapat berpengaruh pada
kesiapsiagaan komunitas sekolah dan kredibilitas pilot sekolah yang
sudah diumumkan sebagai sekolah siaga bencana.

2. Rekomendasi: Model Sekolah Siaga Bencana


Hasil kajian ini merekomendasikan model sekolah siaga bencana
adalah sekolah siaga bencana yang memenuhi dua kriteria utama,
yaitu kesiapsiagaan nonstruktural dan kesiapsiagaan struktural atau
fisik sekolah. Kesiapsiagaan nonstruktural terdiri dari lima parame­
ter: 1) pengetahuan tentang fenomena gempa dan tsunami, dan ke-
siapsiagaan untuk mengurangi resiko bencana, harus masuk dalam
kurikulum sekolah, 2) kebijakan sekolah secara tertulis, berkaitan
dengan kesiapsiagaan mengantisipasi bencana, 3) rencana dan tin-
dakan untuk merespons kondisi darurat bencana untuk semua kom-
ponen (sekolah, guru dan siswa), peralatan dan bahan dalam kondisi
yang baik dan siap dioperasikan jika sewaktu-waktu akan terjadinya
bencana, 4) sistem peringatan bencana, peralatan dan prosedur tetap
(SOP), termasuk tanda/bunyi peringatan dan mekanisme pelaksa-
naan untuk peringatan, pembatalan peringatan dan tanda keadaan
sudah aman, dan sosialisasinya pada komunitas sekolah, dan 5) me-
ningkatkan kemampuan memobilisasi sumber daya, termasuk gu-
gus/kelompok siaga bencana, pelatihan dan penyediaan materi dan

Sekolah Siaga Bencana | 123


bahan serta peralatan yang diperlukan untuk meningkatkan kesiap-
siagaan sekolah. Sedangkan kesiapsiagaan dari aspek struktur diin-
dikasikan dari kondisi fisik sekolah yang harus memenuhi standar
bangunan tahan gempa dan tsunami, dan mempunyai sarana fisik,
khususnya untuk penyelamatan diri dan evakuasi, termasuk pintu
dan/atau tangga keluar (jumlah, ukuran dan kualitas), jalur-jalur
evakuasi dan meja belajar yang kuat.

Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah


Suatu sekolah dikatakan siaga bencana apabila telah memenuhi
indikator kesiapsiagaan dalam mengantisipasi bencana alam, khu-
susnya gempa dan tsunami. Indikator kesiapsiagaan mengacu pada
framework kesiapsiagaan dalam mengantisipasi bencana yang terdiri
dari lima parameter, yaitu pengetahuan, kebijakan, rencana tanggap
darurat, peringatan bencana dan mobilisasi sumber daya yang terse-
dia pada komunitas sekolah.

Pengetahuan tentang Fenomena Gempa dan Tsunami,


dan Kesiapsiagaan Mengantisipasi Bencana
Pengetahuan tentang fenomena alam, khususnya gempa bumi
dan tsunami, dan kesiapsiagaan untuk mengurangi risiko bencana
merupa­kan faktor yang sangat penting dan vital, karena itu materi
ini harus masuk dalam proses belajar mengajar. Hasil kajian mere­
komendasikan bahwa materi tentang kesiapsiagaan masuk dalam
pelajaran sebagai berikut:
» Pelajaran wajib yang relevan, seperti tematik “peristiwa alam”
untuk kelas 1, kelas 2, dan kelas 3; dan pelajaran IPA untuk ke-
las 4, kelas 5 dan kelas 6; pelajaran olahraga dan agama untuk
semua kelas.
» Pelajaran muatan lokal (mulok) siaga bencana.
» Kegiatan ekstra kurikuler (ekskul) dengan merevitalisasi kegiatan
Unit Kesehatan Sekolah (UKS) atau Dokter Kecil, dan kegiatan
kepramukaan.

124| Sekolah Siaga Bencana: ...


Peningkatan pengetahuan dan keterampilan kesiapsiagaan ko-
munitas sekolah dalam mengantisipasi bencana gempa dan tsunami
dapat berjalan efektif apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut:
» Penyusunan dan keberadaan standar kompetensi kesiapsiagaan
mengantisipasi bencana, silabus dan RPP untuk ketiga pelajar­
an/kegiatan di atas, yaitu pelajaran wajib yang relevan, pelajaran
mulok dan kegiatan ekskul
» Pelaksanaan pelajaran dan kegiatan sesuai dengan silabus dan
RPP, dan evaluasi terhadap pelajaran dan kegiatan kesiapsiagaan
sesuai dengan indikator yang ditetapkan dalam silabus dan stan-
dar kompetensi yang telah ditetapkan
» Ketersediaan materi dan bahan ajar kesiapsiagaan mengantisi-
pasi bencana gempa dan tsunami, menurut kelas
» Kapasitas (kemampuan) guru kelas, guru mulok, guru mata pela-
jaran yang memberikan materi (pengetahuan dan keterampila­n)
kesiapsiagaan terhadap bencana
Kebijakan Kesiapsiagaan Sekolah dalam Mengantisipasi
Bencana Alam
Kebijakan sekolah berkaitan dengan kesiapsiagaan mengantisipasi
bencana sangat penting, karena menjadi payung untuk legalitas dan
acuan dalam pelaksanaan kegiatan kesiiapsiagaan sekolah. Kebijakan
menjadi salah satu parameter penting untuk mengukur tingkat ke­
siapsiagaan sekolah. Kebijakan yang dituangkan secara tertulis dapat
menjadi satu indikator suatu sekolah dikatakan siap mengantisipasi
bencana. Kebijakan ini diindikasikan dari beberapa hal, seperti:
» Surat atau dokumen yang menyatakan masuknya materi ke­
siapsiagaan mengantisipasi bencana dalam proses belajar dan
mengajar di sekolah, seperti pengintegrasian materi ke dalam
pelajaran wajib yang relevan, pelajaran muatan lokal (mulok)
dan kegiatan ekstra kurikuler (ekskul)

Sekolah Siaga Bencana | 125


» Surat atau dokumen yang menyatakan adanya latihan atau simu-
lasi evakuasi (skill dan drill) gempa dan tsunami yang dilakukan
sekolah secara reguler
» Surat Keputusan (SK) gugus siaga bencana. Gugus siaga ben-
cana terdiri dari kelompok evakuasi, pertolongan pertama,
peringatan bencana, logistik dan keamanan. Gugus tugas ini
bertanggung jawab dalam pengelolaan bencana di sekolah, men-
cakup peningkatan pengetahuan dan keterampilan bencana, per-
siapan untuk merespons kondisi darurat apabila terjadi bencana,
peringatan akan terjadinya bencana, pertolongan pertama dan
evakuasi ketika terjadi bencana, dan persiapan logistik serta ke-
amanan yang diperlukan jika terjadi bencana
» Surat atau dokumen yang menyatakan adanya alokasi dana
untuk kegiatan kesiapsiagaan. Dana dapat dialokasikan untuk
berbagai keperluan, termasuk pembelian peralatan, bahan ajar
dan insentif guru untuk mengajar atau membimbing kegiatan
kesiapsiagaan.

Kebijakan tertulis ini sangat penting untuk legalitas dan kelang-


sungan kegiatan kesiapsiagaan sekolah. Sekolah dengan kurikulum
tingkat satuan pelajaran (KTSP) diberi wewenang untuk mengem-
bangkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan sekolah, termasuk me-
masukkan materi kesiapsiagaan dalam kurikulum sekolah.

Rencana Tanggap Darurat


Rencana tanggap darurat merupakan parameter ketiga untuk meng­
ukur tingkat kesiapsiagaan komunitas sekolah. Semua komponen
komunitas sekolah (sekolah sebagai institusi, guru dan siswa) harus
mempersiapkan rencana dan tindakan untuk merespons kondisi
darurat bencana agar dapat mengurangi risiko.
Kesiapsiagaan rencana tanggap darurat sekolah diindikasikan
dari beberapa hal, yaitu rencana penyelamatan dan evakuasi serta

126| Sekolah Siaga Bencana: ...


pertolongan pertama, penyediaan dan/atau pengamanan kebutuhan
dasar sekolah, penyediaan peralatan evakuasi, dan latihan/simulasi
evakuasi.
Sekolah siaga bencana telah siap dengan:
» Back up atau copy/salinan/duplikat dokumen-dokumen penting
yang disimpan di tempat yang aman
» Mempunyai kelompok peringatan bencana, evakuasi, pertolon-
gan pertama, logistik dan keamanan. Masing-masing kelompok
mempunyai tugas, kewajiban dan wewenang yang disepakati
oleh komunitas sekolah. Penjelasan detail untuk masing-masing
kelompok dapat dilihat pada bagian sebelumnya (4.3).
» Rencana evakuasi dan pertolongan pertama, termasuk:
• tempat-tempat, peta/denah dan jalur-jalur evakuasi; peralatan
dan perlengkapan evakuasi; latihan atau simulasi evakuasi
• kotak atau obat-obatan untuk pertolongan pertama, posko/
unit kesehatan sekolah, latihan pertolongan pertama, dan
panduan untuk pertolongan pertama
» Mempunyai prosedur tetap (protap) evakuasi, termasuk protap
untuk gugus/kelompok siaga bencana (kelompok evakuasi, per-
tolongan pertama, peringatan bencana dan logistik)
» Melakukan latihan/simulasi evakuasi secara reguler

Sedangkan kesiapsiagaan rencana tanggap darurat siswa dan


guru dapat diperoleh dari pengetahuan dan keterampilan serta per-
siapan yang telah dilakukan sesuai dengan materi yang diberikan
atau tercantum dalam silabus di atas. Tingkat kesiapsiagaannya dapat
diukur menggunakan instrumen yang sudah dipersiapkan, seperti
pengukuran pada Bab 3.

Sekolah Siaga Bencana | 127


Peringatan Bencana
Peringatan bencana tsunami sangat penting untuk menyelamatkan
siswa dan guru dari bencana tsunami. Sekolah dikatakan sebagai
siaga tsunami apabila:
» Mempunyai peralatan dalam kondisi yang baik dan siap menye-
barluaskan informasi peringatan sewaktu-waktu akan terjadinya
bencana.
» Mempunyai prosedur tetap (SOP) peringatan bencana, terma-
suk tanda/bunyi peringatan dan mekanisme pelaksanaan untuk
peringatan, pembatalan peringatan dan tanda keadaan sudah
aman, dan sosialisasinya pada komunitas sekolah.
» Mempunyai akses terhadap informasi peringatan bencana yang
bersumber dari pemerintah (BMKG), pemerintah daerah/kota
dan media yang dapat dipertanggungjawabkan.
» Mempunyai gugus/kelompok peringatan bencana yang meren-
canakan, mempersiapkan peralatan dan menyosialisasikan sistem
peringatan pada komunitas sekolah sebelum terjadi bencana dan
sesuai dengan SOP menyebarluaskan peringatan saat terjadi
bencana dan informasi pembatalan atau keadaan aman.
Mobilisasi Sumber Daya
Kesiapsiagaan sekolah dalam mengantisipasi bencana gempa dan
tsunami dapat dicapai apabila sekolah mampu memobilisasi sum-
ber daya yang tersedia pada komunitas sekolah, termasuk sekolah
sebagai institusi, guru, siswa dan komite sekolah. Mobilisasi sumber
daya yang harus dilakukan adalah;
» Tersedianya gugus/kelompok tugas yang dapat mempersiapkan
dan melaksanakan tugas dalam kegiatan kesiapsiagaan (jenis
kelompok dan tugas masing-masing secara detail dapat dilihat
pada bagian 4.3). Gugus tugas/kelompok ini idealnya terdiri
dari guru, siswa kelas yang relatif tinggi (kelas 4 dan kelas 5)
dan komite sekolah.

128| Sekolah Siaga Bencana: ...


» Peningkatan kapasitas komunitas sekolah, termasuk
• Peningkatan kemampuan guru dan siswa, baik pengetahuan
maupun keterampilan yang mendukung kesiapsiagaan sekolah
dalam mengantisipasi bencana gempa dan tsunami. Upaya ini
dapat dilakukan melalui pelatihan dan simulasi, buku, doku-
men dan informasi dari media (televisi, radio, dan Koran)
• Penyediaan materi dan bahan ajar tentang fenomena alam,
khususnya gempa bumi dan tsunami, dan kesiapsiagaan dalam
mengantisipasi bencana
• Penyediaan peralatan dan bahan untuk penyelamatan dan
evakuasi, pertolongan pertama, peringatan bencana dan ke-
butuhan dasar/logistik sekolah
• Pelatihan dan simulasi peringatan dan evakuasi secara ter­
atu­r
• Pengembangan kerjasama (net working) dengan pemerintah
(BPBD, Pemda/Pemkot, Dinas Diknas dan Dinas Kesehat-
an), lembaga non pemerintah (seperti PMI dan LSM yang
bergerak dikebencanaan)

Kesiapsiagaan Fisik Sekolah


Di samping kesiapsiagaan dari aspek non-struktural atau ‘software’,
seperti telah dijelaskan sebelumnya, kesiapsiagaan sekolah juga men-
cakup kesiapsiagaan dari aspek struktural atau ‘hardware’. Kesiap-
siagaan kondisi fisik sekolah sangat penting untuk keselamatan jiwa,
terutama jika bencana terjadi pada jam belajar. Kesiapsiagaan struk-
tural ini mencakup:
» Bangunan fisik sekolah harus memenuhi standar bangunan
tahan gempa dan tsunami.
» Bangunan fisik harus mempunyai sarana fisik kesiapsiagaan
mengantisipasi bencana, khususnya untuk penyelamatan diri
dan evakuasi, seperti:

Sekolah Siaga Bencana | 129


• Pintu kelas dan pintu halaman sekolah dengan ukuran dan
jumlah yang sesuai dengan jumlah murid.
• Meja dan bangku yang kuat sehingga siswa dapat berlindung
di bawah meja yang kokoh ketika terjadi gempa.
» Sarana infrastruktur, seperti jalan dan jembatan, yang men-
jadi jalur evakuasi bagi siswa sampai ke tempat yang aman/
evakuas­i.
» Kebutuhan dasar sekolah: dokumen data sekolah dicopy di flash
disk atau CD dan yang telah dicetak disimpan di tempat yang
agak tinggi dan aman.

Pentingnya Pembimbingan dan Monitoring Sekolah


Siaga Bencana
Belajar dari pengalaman pengembangan pilot sekolah bencana, kaji­an
ini juga menyarankan pentingnya melakukan bimbingan lanjut­a­n dan
monitoring terhadap sekolah yang menjadi pilot agar upaya pening-
katan kesiapsiagaan yang telah dilakukan dapat terus berkembang.
Kurangnya kegiatan pembimbingan dan monitoring langsung oleh
Compress-LIPI dapat dipahami karena kendala waktu dan dana
mengingat lokasi yang cukup jauh dari Jakarta. Karena itu, Com-
press-LIPI perlu membangun kerjasama dengan lembaga lokal di
Kota Bengkulu yang bergerak di bidang kesiapsiagaan bencana, se­
perti PMI kota yang telah membantu dalam penyiapan pilot sekolah
siaga bencana. Kerjasama antara Compress-LIPI dan lembaga lokal
(seperti PMI) ini mutlak dilakukan mulai dari penyiapan pilot seko-
lah dan bimbingan lanjutan serta monitoring setelah pencanangan
sekolah tersebut menjadi pilot sekolah siaga bencana. Keberlanjutan
bimbingan dan monitoring ini sangat diperlukan untuk keberlanjut­
an sekolah siaga bencana.[]

130| Sekolah Siaga Bencana: ...


Daftar Pustaka

Bhagwani, S. 2002. Community Based Disaster Preparedness. New Delhi:


Swiss Agency for Development and Cooperation.
Bill, F., Hai, V.M., and District PMI Staff. 2005. Integrated Community Based
Risk Reduction. The British Red Cross Society.
Daliyo., Bandiono, S., Fatoni, Z., dan Nugraha, B. 2008. Kesiapsiagaan Masyara­
kat dalam Mengantisipasi Bencana Alam di Kabupaten Sikka. Jakarta:
LIPI Press.
Hidayati, D. 2005. Panduan Merintis Siaga Bencana Berbasis Masyarakat. Ja-
karta: LIPI–Bidang Pendidikan Kelautan, COREMAP.
Hidayati, D., Ngadi., Purwaningsih, S.S., and Soekarno, M. 2008. Kesiapsiagaa­n
Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana Alam di Kabupaten Cilacap.
Jakarta: LIPI Press.
Hidayati, D., Asiati, D., Fatoni, Z., dan Ayu, G. 2008. Kesiapsiagaan Masyara­
kat dalam Mengantisipasi Bencana Alam di Kota Ternate. Jakarta:
Laporan Penelitian.
Indonesian Institute of Sciences (LIPI)–UNESCO/ISDR. 2006. Framework
Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana Gempa dan
Tsunami. Jakarta.
International Strategy for Disaster Reduction (ISDR). 2005. Hyogo Framework
for Action 2005–2015: Building the Resilience of Nations and Com-
munities to Disasters. World Conference on Disaster Reduction 18–
22 January 2005, Kobe, Hyogo, Japan.
International Strategy for Disaster Reduction (ISDR). 2003. Rationale Paper
on the Framework for Guidance and Monitoring of Disaster Risk
Reduction. Inter-Agency Task Force on Disaster Reduction. Geneva.

131
LIPI. 2008. Membangun Sekolah Siaga Bencana. Jakarta.
Natawijaya, D.H. 2005. Aceh–Gempa Andaman 28 Desember 2004. Paper
Dipresentasikan pada Pertemuan di BAPPENAS. Jakarta.
Palang Merah Indonesia (PMI). 2005. Konsep, Strategy dan Pendekatan
Kesiap­siagaan Masyarakat Terhadap Bencana: Kesiapsiagaan Masya­
rakat Terhadap Bencana. Jakarta: PMI.
Pemerintah Kabupaten Aceh Besar. 2007. Standard Operation Procedure:
Manajemen Bencana di Aceh Besar, Kota Jantho.
Permana, H. 2005. Pembelajaran dari Aceh: Pemahaman Bencana Geologi.
Paper Dipresentasikan pada Pertemuan di BAPPENAS. Jakarta.
UNESCO-LIPI. 2009. Cerita dari Maumere: Membangun Sekolah Siaga Bencana.
Jakarta.
Widayatun., Situmorang, A., Cahyadi, R., Antariksa, I.G.P. 2008. Kesiapsiagaan
Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana Alam di Kabupaten Serang.
Jakarta: LIPI Press.
Widayatun., Hidayati, D., Situmorang, A., dan Ngadi. 2008. Kesiapsiagaan
Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana Alam di Kabupaten Biak.
Jakarta: Laporan Penelitian.

132

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai